BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Konsep Lansia - BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Konsep Lansia

  2.1.1 Pengertian Penduduk di atas usia 15 tahun dan dibawah 65 tahun makin membengkak karena pertumbuhan penduduk anak-anak peninggalan masa lalu.

  Begitu juga penduduk diatas usia 60 tahun, atau diatas usia 65 tahun. Penduduk usia ini dikenal sebagai penduduk lanjut usia yang tumbuh dengan kecepatan paling tinggi (Suyono, 2007).

  Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas, menurut UU RI No.13 Tahun 1998 Bab 1 Pasal 1. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu: usia pertengahan (middle

  age) adalah 45 – 59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 – 74 tahun, lanjut usia

  tua (old) adalah 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2008). Lansia merupakan seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (Tamher, 2009).

  2.1.2 Batasan lansia 1) Menurut WHO, lansia dibagi dalam beberapa kelompok yaitu :

  1. Usia pertengahan ( Middle Age ) = usia 45 – 59 tahun

  2. Usia lanjut ( Elderly ) = usia 60 – 74 tahun

  10

  3. Usia lanjut tua ( Old ) = usia 75 – 90 tahun

  4. Usia sangat tua ( Very Old ) = usia diatas 90 tahun 2) Menurut Siti Maryam (2009), lansia dikatagorikan sebagai berikut :

  1. Pralansia (prasenilis) Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun

  2. Lansia Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

  3. Lansia resiko tinggi Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih / seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan

  4. Lansia potensial Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan / atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang / jasa

  5. Lansia tidak potensial Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada orang lain.

  3) Menurut Undang - Undang No.13 tahun 1998 Seseorang diktakan sebagai lanjut usia setelah mencapai umur 60 tahun keatas

  .4) Menurut Departemen Kesehatan tahun 1994

  1. Kelompok lanjut usia dini (55-64 tahun), yakni kelompok yang baru memasuki lanjut usia

  2. Kelompok lanjut usia (65 tahun keatas)

  3. Kelompok lanjut usia resiko tinggi, yakni lanjut usia yang berusia lebih dari 70 tahun.

  2.1.3 Tipe lansia Tipe yang ada pada lansia tergantung oleh karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho , 2000 dalam

  Siti Maryam 2009) : 1) Tipe arif bijaksana

  Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan

  2) Tipe mandiri Mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan. 3) Tipe tidak puas

  Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut. 4) Tipe pasrah

  Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja 5) Tipe bingung

  Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

  2.1.4 Tugas perkembangan lansia Menurut Siti Maryam (2009), tugas perkembangan pada lansia yaitu :

  1) Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun 2) Mempersiapkan diri untuk pensiun 3) Membentuk hubungan yang baik dengan orang seusianya 4) Mempersiapkan kehidupan baru 5) Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial / masyarakat secara santai 6) Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan

  Tugas perkembangan pada usia lanjut menurut Tamher (2009) yaitu : 1) Penyesuaian terhadap penurunan kekuatan dan kesehatan fisik 2) Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan penghasilan 3) Penyesuaian terhadap kematian pasangan atau orang terdekat, membangun suatu perkumpulan dengan sekelompok seusia, mengambil prakarsa dan beradaptasi terhadap peran sosial dengan cara yang fleksibel, serta membuat pengaturan hidup atau kegiatan fisik yang menyenangkan.

  2.1.5 Teori proses menua

  2.1.5.1 Teori Biologi Teori biologi tentang proses penuaan terdiri dari :

  1) Teori Radikal Bebas Radikal bebas mampu merusak membran sel, lisosom, mitokondria, dan inti membran melalui reaksi kimia yang disebut peroksidasi lemak.

  Teori radikal bebas pada penuaan ditunjukkan oleh hormon yang ditandai dengan munculnya efek patologis. Radikal bebas dapat menyebabkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan. Meningkatnya radikal bebas dapat dihambat dengan pengaturan diet (jumlah kalori) serta konsumsi obat/makanan yang mengandung banyak anti oksidan seperti makanan yang mengandung vitamin E, vitamin C, selenium, glutation peroksidae, dan superokside dismutase.

  2) Teori Autoimun Menurut teori autoimun, penuaan diakibatkan oleh antibodi yang bereaksi terhadap sel normal dan merusaknya. Reaksi tersebut terjadi karena tubuh gagal mengenal sel normal dan memproduksi antibodi yang salah. Akibatnya, antibodi tersebut akan bereaksi terhadap sel normal, disamping sel abnormal yang menstimulasi pembentukannya. Teori ini didukung dengan kenyataan bahwa jumlah antibodi autoimun meningkat pada lansia dan terdapat persamaan antara penyakit imun (seperti artritis reumatoid, diabetes, tiroiditis, dan amiloidosis) dengan fenomena menua di masyarakat.

  3) Teori Telomer Dalam pembelahan sel, DNA membelah dengan proses mekanisme satu arah. Setiap pembelahan akan menyebabkan panjang ujung telomer (ujung lengan pendek kromosom) berkurang panjangnya (65 rantai dasar asam amino) saat terjadi pemutusan duplikat kromosom.

  Makin sering sel membelah, makin cepat ujung telomer memendek dan akhirnya tidak mampu untuk membelah lagi.

  4) Teori Hormonal Pusat terjadinya proses penuaan terletak pada otak. Hal ini didasarkan pada studi tentang hipotiroidisme yang dapat menjadi fatal apabila tidak diobati dengan tiroksin. Manifestasi dari penuaan akan tampak jika penyakit tersebut tidak segera ditangani seperti penurunan sistem kekebalan, kulit yang mulai keriput, munculnya uban, dan penurunan proses metabolisme secara perlahan.

  5) Teori Mutasi Somatik ( error catastrophe ) Menurut teori ini terjadi penuaan karena adanya mutasi somatik yang diakibatkan oleh pengaruh lingkungan yang buruk. Mutasi somatik bisa terjadi karena adanya kesalahan dalam proses transkripsi DNA- aRNA dan proses translasi RNA- a protein atau enzim, dan berlangsung terus-menerus, sehingga terjadi penurunan fungsi organ atau sel-sel menjadi kanker atau penyakit. (Suhana, 1994 dalam Rahayu, 2002). 6) Teori Stres

  Teori ini didasarkan pada fakta bahwa menua terjadi sebagai akibat dari hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai kembali.

  2.1.5.2 Teori Sosiopsikologis 1) Teori aktivitas atau kegiatan Teori ini menyatakan bahwa lansia harus tetap aktif mengikuti kegiatan di masyarakat untuk mencapai kesejahteraan pada usianya.

  Aktivitas sosial dibutuhkan oleh lansia untuk mempertahankan kepuasan hidup dan konsep diri yang positif. Lansia yang masih aktif diharapkan tetap bersemangat dan tidak merasa terasingkan oleh masyarakat karena faktor usia. Teori ini didasarkan pada tiga asumsi bahwa lebih baik aktif daripada pasif, lebih baik bahagia daripada murung, dan lansia sejahtera adalah lansia yang bisa selalu aktif dan bahagia (Havighurst, 1972 dalam Leukenotte, 2000). 2) Teori Pembebasan Dalam teori ini dijelaskan bahwa bertambahnya usia, seseorang perlahan-lahan mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial pada lansia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda, yaitu kehilangan peran, hambatan kontak sosial, dan berkurangnya komitmen.

  3) Teori kepribadian lanjut Teori kepribadian lanjut menyangkal teori aktivitas dan teori pembebasan. Perubahan yang terjadi pada seseorang yang usianya telah lanjut sangat dipengaruhi oleh tipe personaliti yang dimilikinya (Havighurst, 1972 dalam Luekenotte, 2000).

  4) Teori Lingkungan

  1. Exposure Theory

  Teori ini menyatakan bahwa paparan sinar matahari dapat mengakibatkan percepatan proses penuaan

  2. Radiation Theory

  Adanya paparan radiasi sinar gamma, sinar X dan ultraviolet dari alat- alat medis memudahkan sel mengalami denaturasi protein dan mutasi DNA

  3. Polution Theory

  Polusi udara, air, dan tanah mengandung substansi kimia yang mempengaruhi kondisi epigenetik dan menimbulkan penuaan dini

  4. Stress Theory

  Stres fisik maupun psikis yang terjadi dapat meningkatkan kadar kortisol dalam darah. Jika kondisi stres berlangsung terus-menerus, maka proses penuaan akan terjadi lebih cepat.

  2.1.6 Perubahan yang terjadi pada lansia Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia menurut Nugroho (2000) yaitu :

  1) Perubahan Fisiologis

  1. Sel : jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan cairan intraseluler menurun

  2. Sistem persarafan : Saraf pancaindera mengecil, sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespons dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stres.

  3. Sistem pendengaran : Gangguan pendengaran karena membran timpani menjadi atrofi. Tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan

  4. Sistem pengelihatan : Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun, akomodasi menurun dan katarak

  5. Sistem kardiovaskuler : Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun, elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat

  6. Sistem pengaturan suhu : Hipotalamus dianggap sebagai suatu termostat yaitu menetapkan suhu tertentu, kemunduran terjadi berbagai faktor yang sering ditemui antara lain temperatur tubuh menurun secara fisiologik akibat metabolisme menurun, keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi panas.

  7. Sistem respirasi : Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas

  8. Sistem gastrointestinal : Esofagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, dan peristaltik menurun. Ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun, sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim pencernaan.

  9. Sistem genitourinaria : Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di glomerulus menurun, dan fungsi tubulus menurun 10. Sistem kulit : Keriput serta kulit kepala dan rambut menipis.

  Rambut dalam hidung dan telinga menebal. Elastisitas menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih, kelenjar keringat menurun.

  11. Sistem muskuloskletal : Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh, bungkuk, persendian membesar dan menjadi kaku, tremor 2) Perubahan mental

  Di dalam perubahan mental pada usia lanjut, perubahan dapat berupa sikap yang semakin egosentris, mudah curiga, bertambah pelit atau tamak akan sesuatu. Faktor yang mempengaruhi perubahan mental antara lain perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan, dan lingkungan (Nugroho, 2000). 3) Perubahan psikososial

  Perubahan psikososial meliputi pensiun yang merupakan produktivitas dan identitas yang dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan, merasakan atau sadar akan kematian, perubahan dalam cara hidup, ekonomi akibat dari pemberhentian dari jabatan, dan penyakit kronis.

2.2 Konsep Tidur

  2.2.1 Pengertian

  2.2.1.1 Tidur secara umum Tidur adalah perubahan alami status kesadaran yang biasanya terjadi pada manusia dalam irama biologis 24 jam atau bioritme (Brooker, 2009). Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang, dan dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup (Asmadi, 2008).

  2.2.1.2 Kebutuhan tidur pada lansia Kebutuhan tidur setiap orang berbeda-beda, usia lanjut membutuhkan waktu tidur 6-7 jam per hari (Hidayat, 2008). Walaupun mereka menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur, tetapi usia lanjut sering mengeluh terbangun pada malam hari, memiliki waktu tidur kurang total, mengambil lebih lama tidur, dan mengambil tidur siang lebih banyak (Kryger et al, 2004). Kecenderungan tidur siang meningkat secara progresif dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang hari yang dipakai untuk tidur dapat terjadi karena seringnya terbangun pada malam hari. Dibandingkan dengan jumlah waktu yang dihabiskan ditempat tidur menurun sejam atau lebih (Perry& Potter, 2005).

  Pada usia lanjut menunjukkan berkurangnya jumlah tidur gelombang lambat, sejak dimulai tidur secara progresif menurun dan menaik melalui stadium 1 ke stadium IV, selama 70-100 menit yang diikuti oleh letupan REM. Periode REM berlangsung kira-kira 15 menit dan merupakan 20% dari waktu tidur total.

  Umumnya tidur REM merupakan 20-25% dari jumlah tidur, stadium II sekitar

  50% dan stadium III dan IV bervariasi. Jumlah jam tidur total yang normal berkisar 5-9 jam pada 90% orang dewasa. Pada usia lanjut efisiensi tidur berkurang, dengan waktu yang lebih lama di tempat tidur namun lebih singkat dalam keadaan tidur. Menurut Darmojo (2009), seiring bertambahnya usia, terdapat penurunan periode tidur. Seorang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama di tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih sedikit waktu tidur nyenyaknya.

  2.2.2 Fase tidur Menurut Asmadi (2008), fase tidur terbagi menjadi :

  2.2.2.1 Tidur REM (Rapid Eye Movement ) Merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur paradoksial yang berarti bahwa tidur REM sifatnya nyenyak sekali, namun fisiknya yaitu gerakan kedua bola mata sangat aktif. Tidur REM ditandai dengan mimpi, otot-otot kendor, tekanan darah meningkat, gerakan mata cepat (mata cenderung bergerak bolak-balik), sekresi lambung meningkat, ereksi penis pada laki- laki, gerakan otot tidak teratur, kecepatan jantung, dan pernapasan sering tidak teratur dengan ciri lebih cepat, serta suhu dan metabolisme meningkat. Gejala seseorang yang mengalami kehilangan fase tidur REM, yaitu : 1) Cenderung hiperaktif 2) Emosinya labil 3) Nafsu makan bertambah 4) Bingung dan curiga

  2.2.2.2 Tidur NREM ( Non Rapid Eye Movement ) Merupakan tidur yang nyaman dan dalam dengan gelombang otak yang lebih lambat dibanding pada orang yang sadar atau tidak tidur.

  Tanda-tanda pada tidur NREM yaitu mimpi berkurang, tekanan darah turun, kecepatan pernapasan dan metabolisme tubuh menurun, dan gerakan bola mata melambat.

  Tidur NREM memiliki empat tahap dan setiap tahap ditandai dengan pola perubahan aktivitas gelombang otak. Tahapan tersebut yaitu : 1) Tahap I

  Tahap ini adalah tahap transisi dimana seseorang beralih dari sadar menjadi tidur. Pada tahap I ini ditandai dengan seseorang merasa kabur dan rileks, seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata mulai menutup mata, kedua bola mata bergerak ke kanan dan ke kiri, kecepatan jantung dan pernapasan menurun, pada pemeriksaan EEG terjadi penurunan voltasi gelombang-gelombang alfa pada otak. Pada tahap ini, seseorang dapat dibangunkan dengan mudah. 2) Tahap II

  Tahap ini merupakan tahap tidur yang ringan dan ditandai dengan kedua bola mata yang mulai berhenti bergerak, tonus otot perlahan berkurang, kecepatan pernapasan turun secara signifikan. Pada pemeriksaan EEG, muncul gelombang beta yang berfrekuensi 14-18 siklus/detik, gelombang ini disebut dengan gelombang tidur. Tahap II berlangsung 10-15 menit.

  3) Tahap III Pada tahap III ini, keadaan fisik lemah lunglai karena tonus otot lenyap secara menyeluruh. Terdapat penurunan kecepatan jantung, pernapasan, dan proses metabolisme tubuh akibat dominasi dari sistem saraf parasimpatis. Pada EEG terlihat perubahan gelombang beta menjadi 1-2 siklus / detik. Selama tahap III ini berlangsung, seseorang sulit dibangunkan.

  4) Tahap IV Tahap ini merupakan tahap tidur dimana seseorang berada dalam keadaan sangat rileks dan jarang bergerak serta sulit untuk dibangunkan. Pada pemeriksaan EEG hanya tampak gelombang delta yang lambat dengan frekuensi 1-2 siklus / detik. Denyut jantung dan pernapasan menurun sekitar 30%. Dalam tahap ini seseorang akan mengalami mimpi. Selain itu, keadaan tubuh akan pulih pada tahap ini.

  Setelah tahap keempat, sebenarnya ada tahap kelima yaitu tahap dimana kembali gerakan bola mata yang berkecepatan lebih tinggi dari tahapan sebelumnya dan berlangsung salam 10-15 menit. Selama tidur malam selama 7-8 jam, seseorang mengalami REM dan NREM secara bergantian sekitar 4-6 kali.

  Jika seseorang tidak mengalami fase tidur NREM, maka akan muncul gejala :

  1. Menarik diri, apatis, dan respon tubuh mengalami penurunan

  2. Merasa kurang enak badan

  3. Ekspresi wajah kuyu

  4. Malas berbicara

  5. Merasakan kantuk berlebihan

  2.2.3 Fisiologi tidur Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur yang menghubungkan mekanisme serebral secara bergantian agar mengaktifkan dan menekan pusat otak untuk dapat tidur dan bangun. Salah satu aktivitas tidur ini diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis. Sistem pengaktivasi retikularis mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat, termasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur. Fisiologi tidur seseorang dapat terganggu seiring terjadinya proses penuaan karena adanya kerusakan sensorik pada sistem saraf pusat. (Hidayat, 2008). Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons. Dalam keadaan sadar, neuron dalam Reticular Activating

  System (RAS) akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Selain itu, RAS

  yang dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan perabaan, juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir (Hidayat, 2008). Saat tidur terdapat pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu Bulbar

  Synchronizing Regional (BSR). Sedangkan pada saat bangun bergantung dari

  keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan sistem limbik. Demikian, sistem pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2008). Menurut Potter dan Perry (2005) seseorang tetap terjaga atau tertidur tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi seperti pikiran, reseptor sensori perifer seperti stimulus bunyi atau cahaya, dan sistem limbik seperti emosi. Orang yang mencoba tertidur maka aktivasi RAS menurun dan BSR mengambil alih kemudian seseorang bisa tertidur.

Gambar 2.1 Struktur tidur pada usia lanjut dibandingkan dengan anak dan dewasa muda ( H a p o n i k E F . D i s o r d e r S l e e p i n t h e E l d e r l y

  d a l a m Principles of Geriatric Medicine and Gerontology.Mc Graw-Hill Inc. 1990).

  2.2.4 Fisiologi gelombang tidur Pada saat berbaring dalam keadaan masih terjaga ditunjukkan dengan gelombang otak beta yang bercirikan frekuensi yang cepat yaitu lima belas hingga dua puluh putaran perdetik dan bertegangan rendah yaitu kurang dari lima puluh mikrovolt. Selanjutnya dalam keadaan yang lelah dan siap tidur mulai untuk memejamkan mata, pada saat ini gelombang otak yang muncul mulai melambat frekuensinya, meninggi tegangannya dan menjadi lebih teratur. Gelombang ini dinamakan gelombang alpha yang memiliki 8 hingga 12 putaran per detik yang menggambarkan keadaan santai, tidak tegang tapi terjaga. Setelah beberapa menit dalam keadaan alpha kecepatan napas mulai melambat. Ini adalah transisi tidur awal (tidak nyenyak) yang ditandai oleh gelombang theta 50 hingga 100 mikrovolt, 4 hingga 8 putaran perdetik. Dalam keadaan permulaan tidur ini denyut jantung melambat dan menjadi stabil, napas menjadi pendek-pendek dan teratur. Tahap ini dapat berlangsung dari sepuluh detik hingga 10 menit dan kadang disertai dengan citra visual yang disebut halusinasi hipnagogik, karena otot rangka tiba-tiba mengendur, dan kadang mengalami sensasi seperti jatuh, yang menyebabkan kita terbangun sebentar dengan gerakan yang menyentak, keadaan ini dinamakan tidur tahap pertama. Tidur tahap kedua ditandai dengan gelombang otak theta dengan disertai munculnya gelombang tunggal dengan amplitudo tinggi dan munculnya sleep spidle (jarum tidur, karena terlihat di monitor atau kertas perekam yang menunjukkan aktivitas otak). Pada tahap ini gerakan dan ketegangan otot menurun berlangsung sekitar 10 hingga 20 menit menandai permulaan tidur yang sebenarnya. Pada tahap ini seseorang biasanya tidak dapat merespon rangsang dari luar, dan rerata bila seseorang dibangunkan pada tahap ini akan merasa betul-betul telah tertidur (Setiyo, 2008).

  Tahap selanjutnya setelah 20–30 menit adalah memasuki tahap ketiga yaitu kombinasi theta dan delta (tegangan tinggidengan frekuensi sangat rendah).

  Segera setelah tahap ke tiga ini dilanjutkan dengan tahap ke empat yaitu hilangnya sama sekali gelombang theta dan hanya tinggal gelombang delta dengan 0,5 – 2 putaran perdetik, amplitudo 100 – 200 mikrovolt. Dalam tidur delta ini relaksasi otot terjadi sepenuhnya, tekanan darah menurun, denyut nadi dan pernafasan melambat. Pasokan darah ke otak berada pada batas minimal. Kondisi tidur normal ini tidak selamanya dirasakan oleh seseorang yang akan memasuki tidur. Gangguan dan kesulitan tidur seringkali mengganggu baik ketika memasuki tahap pertama tidur ataupun ketika tidur berlangsung. Gangguan ini dapat terjadi karena adanya permasalahan psikis maupun fisik, yang dapat menimbulkan kesulitan seseorang untuk memasuki keadaan tenang. Keadaan cemas yang berlebihan akan menyebabkan otot-otot tidak dapat rileks dan pikiran tidak terkendali (Setiyo, 2008).

  2.2.5 Kualitas tidur Kualitas tidur adalah suatu keadaan tidur yang dijalani seorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek kuantitatif dari tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur serta aspek subjektif dari tidur. Kualitas tidur merupakan kemampuan setiap orang untuk mempertahankan keadaan tidur dan untuk mendapatkan tahap tidur REM dan NREM yang pantas (Khasanah, 2012). Kualitas tidur lansia dipengaruhi beberapa hal, yaitu pola tidur siang, lama tinggal di panti atau rumah sakit, dan kebiasaan sebelum tidur. Lansia yang lebih lama tinggal di panti, memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik daripada penghuni panti yang baru. Gangguan tidur sering terjadi pada malam pertama di tempat perawatan jangka panjang atau hospitalisasi yang lama, tetapi sulit tidaknya lansia tidur berhubungan dengan kemampuan lansia dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru (Gitawati, 2007).

  Adanya kualitas tidur yang buruk disebabkan seseorang mengalami gangguan kebutuhan tidur. Gangguan tidur yang sering dialami seseorang terdiri dari insomnia, hipersomnia, enuresis, narkolepsi, dan apnea tidur.

  2.2.5.1 Insomnia Insomnia adalah bukan bagian normal dari penuaan, tapi gangguan tidur malam hari pada dewasa yang lebih tua, yang menyebabkan kantuk di siang hari yang berlebihan (Cole & Richards,2007). Insomnia dapat berupa kesulitan untuk tetap tidur atau pun seseorang yang terbangun dari tidur, tetapi merasa belum cukup tidur (Japardi, 2002). Menurut Hidayat (2008), insomnia dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

  1) Insomnia initial, yang merupakan ketidakmampuan untuk jatuh atau mengawali tidur.

  2) Insomnia intermiten, yang merupakan ketidakmampuan memepertahankan tidur atau keadaan sering terjaga dari tidur.

  3) Insomnia terminal, yang merupakan ketidakmampuan untuk tidur kembali setelah bangun tidur pada malam hari.

  Sedangkan menurut Stanley (2006), insomnia dibagi menjadi 1) Jangka pendek

  Berakhir beberapa minggu dengan muncul akibat pengalaman stress yang bersifat sementara seperti kehilangan orang yang dicintai, tekanan di tempat kerja. Biasanya kondisi ini dapat hilang tanpa intervensi medis setelah orang itu beradaptasi dengan stressor.

  2) Sementara Biasanya disebabkan oleh perubahan-perubahan lingkungan seperti konstruksi bangunan yang bising atau pengalaman yang menimbulkan ansietas. 3) Kronis

  Berlangsung selama 3 minggu atau seumur hidup. Disebabkan kebiasaan tidur yang buruk, masalah psikologis, penggunaan obat tidur yang berlebihan, penggunaan alkohol yang berlebihan. Empat puluh persen insomnia kronis disebabkan oleh masalah fisik seperti apnea tidur, sindrom kaki gelisah, atau nyeri kronis.

  2.2.5.2 Hipersomnia Hipersomnia dicirikan dengan tidur lebih dari 8 atau 9 jam per periode 24 jam, dengan keluhan tidur berlebihan (Stanley, 2006). Biasanya disebabkan oleh masalah psikologis, depresi, kecemasan, dan gaya hidup yang membosankan. Dengan pada ciri mengantuk di siang hari yang persisten, mengalami serangan tidur.

  2.2.5.3 Enuresis Enuresis yaitu kencing yang tidak disengaja atau mengompol, paling banyak terjadi pada laki-laki (Asmadi, 2008). Pada pria lansia dapat terjadi hipertrofi kelenjar prostat yang menyebabkan tekanan pada leher kandung kemih sehingga sering berkemih. Selain itu, hipertrofi prostat dapat mengakibatkan kesulitan memulai dan mempertahankan aliran urine. Wanita lansia, terutama wanita yang memiliki anak, dapat mengalami inkontinensia stress, yaitu terjadi pelepasan urine involunter saat batuk, bersin, atau pun saat tidur tanpa disadari mereka akan mengompol sehingga menyebabkan terbangun. Hal ini disebabkan karena melemahnya otot kandung kemih pada lansia (Perry & Potter, 2005).

  2.2.5.4 Narkolepsi Merupakan keinginan yang tidak terkendali untuk tidur atau serangan mengantuk mendadak, sehingga dapat tertidur pada setiap saat di mana serangan tidur itu datang (Asmadi, 2008). Serangan mendadak yang dialami pada siang hari tidak bisa dihindari, biasanya berlangsung 10-20 menit atau kurang dari 1 jam (Copel, 2007). Gambaran tidur pada narkolepsi ini menunjukkan penurunan fase REM 30-70 %. Terdapat empat gejala klasik penderita narkolepsi yaitu rasa kantuk berlebihan (EDS), melemasnya otot secara mendadak (katapleksi), dan

  sleep paralysis (keadaan ketika akan tidur atau bangun tidur merasa sesak napas

  seperti tercekik, dada sesak, sulit berteriak, dan badan sulit bergerak) (Hanun, 2011).

  2.2.5.5 Apnea tidur Apnea tidur merupakan henti napas saat tidur atau mendengkur (Stanley,

  2006). Yang disebabkan oleh rintangan terhadap pengaliran udara di hidung dan di mulut. Pangkal lidah yang menyumbat saluran napas sering terjadi pada usia lanjut karena otot-otot di bagian belakang mengendur lalu bergetar jika dilewati udara pernapasan (Asmadi, 2008). Telah dilaporkan apnea napas terjadi pada 11% sampai 62% pada usia lanjut (Cole & Richards, 2007). Sebagian besar penderita apnea tidur ini adalah pria, dengan keluhan sering terbangun di malam hari, banyak tidur di siang hari, mendengkur,dan nyeri kepala pada saat bangun (Lumbantobing, 2004)

  2.2.6 Faktor yang mempengaruhi kualitas tidur 1) Faktor psikologis dan stres

  Menurut para spesialis masalah tidur, stres merupakan penyebab kesulitan tidur jangka pendek nomor satu. Pemicu stres yang umum dialami oleh masyarakat adalah masalah sekolah atau pekerjaan, masalah keluarga atau pernikahan, dan penyakit serius atau musibah kematian dalam keluarga. Biasanya masalah tidur akan menghilang seiring dengan situasi stres yang berlalu. Jika masalah tidur disebabkan oleh insomnia dan tidak segera ditangani, hal ini akan berlanjut meskipun stres yang menjadi pemicu telah hilang (Rafiudin, 2004). Seseorang yang mengalami kecemasan juga dapat terganggu kebutuhan tidurnya. Cemas dan depresi akan menyebabkan gangguan pada frekuensi tidur. Hal ini disebabkan karena pada kondisi cemas akan meningkatkan norepinefrin dalam darah melalui sistem saraf simpatis. Norepinefrin akan mengurangi tahap IV pada NREM dan menghilangkan tahap REM (Asmadi, 2008) 2) Gaya hidup dan diet

  Kelelahan dapat mempengaruhi pola tidur seseorang. Jika seseorang mengalami kelelahan tingkat menengah, tidur nyenyak masih dapat dialami. Namun bagi seseorang dengan kelelahan yang berlebihan, dapat menyebabkan periode tidur REM lebih pendek (Asmadi, 2008).

  Kebiasaan buruk atau tidak sehat yang dilakukan setiap hari dapat mempengaruhi kualitas tidur dan kemudian menimbulkan gangguan. Gaya hidup ini antara lain kebiasaan minum minuman beralkohol atau minuman yang mengandung cafein di senja atau sore hari, berolahraga saat mau tidur, mengikuti jadwal pagi dan malam hari yang tidak beraturan, dan bekerja yang memerlukan aktivitas daya pikir sesaat sebelum tidur (Rafiudin, 2004). 3) Kerja lembur

  Pekerjaan yang memerlukan jam lembur / shift, dapat mengganggu kebutuhan tidur seseorang. Pekerjaan ini menghalangi seseorang memiliki kesempatan untuk tidur dengan jam tidur cukup dibanding seseorang yang memiliki pekerjaan reguler di pagi hari (Rafiudin,2004) 4) Status kesehatan

  Seseorang yang kondisi tubunya sehat, memungkinkan seseorang dapat mengalami kualitas tidur yang baik. Namun pada orang yang sakit dan mengalami nyeri, kebutuhan istirahat dan tidurnya mengalami gangguan sehingga kualitas tidurnya menurun. (Asmadi, 2008). Penyakit- penyakit seperti ISPA, gagal jantung, dan penyakit pembuluh darah sangat berpeluang mengalami gangguan tidur. Seperti misalnya pada pasien jantung, sangat sering mengalami kualitas tidur yang buruk. Pada pasien dengan penyakit gagal jantung kongestif, adanya sesak di saat tidur atau apnea, membuat pasien mengalami gangguan tidur berat. (Rafiudin, 2004). 5) Obat-obatan

  Terapi pengobatan yang dikonsumsi seseorang ada yang menyebabkan tidur, tetapi ada pula yang berefek mengganggu pola tidur, seperti obat golongan amfetamin dapat menurunkan fase REM (Asmadi, 2008).

  2.2.7 Penatalaksanaan gangguan tidur

  2.2.7.1 Terapi Farmakologi Seperti pada terapi nonfarmakologi, tujuan terapi farmakologi adalah untuk menghilangkan keluhan pasien sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada usia lanjut (Galimi R., 2010). Ada beberapa prinsip dalam terapi farmakologi yaitu:

  1) menggunakan dosis yang rendah tetapi efektif, 2) dosis yang diberikan bersifat intermiten (3-4 kali dalam seminggu), 3) pengobatan jangka pendek (3-4 mimggu) 4) penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejala insomnia, 5) memiliki efek sedasi yang rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.

  Terapi farmakologi yang paling efektif untuk insomnia adalah golongan Benzodiazepine (BZDs) atau nonBenzodiazepine. Obat golongan lain yang digunakan dalam terapi insomnia adalah golongan sedating antidepressant, antihistamin, antipsikotik. Menurut The NIH state of the Science Conference obat hipnotik baru seperti eszopiclone, ramelteon, zaleplon, zolpidem dan zolpidem MR lebih efektif dan aman untuk usia lanjut. Beberapa obat hipnotik yang aman bagi usia lanjut :

  1. Benzodiazepine Benzodiazepine (BZDs) adalah obat yang paling sering digunakan untuk mengobati insomnia pada usia lanjut. langsung pada reseptor benzodiazepine.

  (Kamel & Gammack, 2006). Efek yang ditimbulkan oleh BZDs adalah menurunkan frekuensi tidur pada fase REM, menurunkan sleep latency, dan mencegah pasien terjaga di malam hari (Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian BZDs pada usia lanjut mengingat terjadinya perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik terkait pertambahan umur (Galimi, R., 2010). Absorpsi dari BZDs tidak dipengaruhi oleh penuaan akan tetapi peningkatan masa lemak pada lanjut usia akan meningkatkan drug

  elimination half life, disamping itu pada usia lanjut lebih sensitif terhadap

  BZDs meskipun memiliki konsentrasi yang sama jika dibandingkan dengan pasien usia muda. Pilihan pertama adalah short-acting BZDs serta dihindari pemakaian long acting BZDs (Galimi, R., 2010).

  BZDs digunakan untuk transient insomnia karena tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Penggunaan lebih dari 4 minggu akan menyebabkan tolerance dan ketergantungan. Golongan BZDs yang paling sering dipakai adalah temazepam, termasuk intermediate acting BZDs karena memiliki waktu paruh 8-20 jam. Dosis temazepam adalah 15-30 mg setiap malam. Efek samping BZDs meliputi: gangguan psikomotor dan memori pada pasien yang diterapi short-acting BZDs, sedangkan residual sedation muncul pada pasien yang mendapat terapi long acting BZDs. Pada pasien yang menggunakan BZDs jangka panjang akan menimbulkan resiko ketergantungan, daytime sedation, jatuh, kecelakaan, dan fraktur (Kamel & Gammack, 2006).

  2. Non-Benzodiazepine Memiliki efek pada reseptor GABA dan berikatan secara selektif pada reseptor benzodiazepine subtife 1 di otak. Obat ini efektif pada usia lanjut karena dapat diberikan dalam dosis yang rendah. Obat golongan ini juga mengurangi efek hipotoni otot, gangguan prilaku, kekambuhan insomnia jika dibandingkan dengan obat golongan BZDs. Zaleplon, Zolpidem dan Eszopiclone berfungsi untuk mengurangi latensi tidur sedangkan Ramelteon (Melatonin Receptor Agonist) digunakan pada pasien yang mengalami kesulitan untuk mengawali tidur (Galimi, 2010). Obat golongan non- Benzodiazepine yang aman pada usia lanjut:

  3. Zaleplon Ancoli- Israel menemukan keefektifan dan keamanan dari zaleplon pada usia lanjut. Zaleplon dapat digunakan jangka pendek maupun jangka panjang, tidak ditemukan terjadinya kekambuhan atau withdrawal symptom setelah obat dihentikan. Dosis dari zaleplon 5-10 mg, akan tetapi waktu paruhnya hanya 1 jam (Kamel & Gammack, 2006).

  4. Zolpidem Zolpidem merupakan obat hipnotik yang berikatan secara selektif pada reseptor benzodiazepine subtife 1 di otak. Efektif pada usia lanjut karena tidak mempengaruhi sleep architecture. Zolpidem memiliki waktu paruh 2,5-2,9 jam dengan dosis 5-10 mg. Zolpidem merupakan kontraindikasi pada sleep related breathing disorder dan gangguan hati. Efek samping dari zolpidem adalah mual, dizziness, dan efek ketergantungan jika digunakan lebih dari 4 minggu (Petit, dkk., 2003).

  5. Eszopiclone Golongan non-benzodiazepine yang mempunyai waktu paruh paling lama adalah eszopiclone yaitu selama 5 jam pada pasien usia lanjut (Galimi,

  2010). Scharf et al dalam penelitiannya menyimpulkan eszopiclone 2 mg dapat menurunkan sleep latency, meningkatkan kualitas dan kedalaman tidur, meningkatkan TST pada pasien usia lanjut dengan insomnia primer (Scharf M., dkk., 2005). Krystal AD et al dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa eszopiclone 3 mg setiap malam dapat membantu mempertahankan tidur dan meningkatkan kualitas tidur pada pasien usia lanjut dengan insomnia kronik (Krystal, dkk., 2003).

  6. Melatonin reseptor agonist Melatonin Reseptor Agonist (Ramelteon) obat baru yang direkomendasikan oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi insomnia kronis pada usia lanjut. Ramelteon bekerja secara selektif pada reseptor melatonin MT1 dan MT2. Dalam penelitian yang dilakukan dengan metode A randomized, double blind study selama 5 minggu pada 829 sampel berumur rata-rata 72,4 tahun dengan chronic primary insomnia disimpulkan terjadi penurunan latensi tidur dan peningkatan TST pada minggu pertama. Ramelteon tidak menimbulkan withdrawal effect (Petit, dkk., 2003).

  7. Sedating Antidepressant Sedating antidepressant hanya diberikan pada pasien insomnia yang diakibatkan oleh depresi. Amitriptiline adalah salah satu sedating antidepressant yang digunakan sebagai obat insomnia, akan tetapi pada usia lanjut menimbulkan beberapa efek samping yaitu takikardi, retensi urin, konstipasi, gangguan fungsi kognitif dan delirium. Pada pasien usia lanjut juga dihindari penggunaan trisiklik antidepresan (Galimi, 2010). Obat yang paling sering digunakan adalah trazodone. Walsh dan Schweitzer menemukan bahwa trazodone dosis rendah efektif pada pasien yang mengalami insomnia oleh karena obat psikotik atau monoamnie oxidase inhibitor dan pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap BZDs. Dosis trazodone adalah 25-50 mg perhari, efek samping dari trazodone adalah: kelelahan, gangguan sistem pencernaan, dizziness, mulut kering, sakit kepala dan hipotensi (Kamel & Gammack, 2006).

  2.2.7.2 Non farmakologik 1) Higene tidur

  Memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk tidur merupakan syarat mutlak untuk gangguan tidur. Jadwal tidur-bangun dan latihan fisik sehari-hari yang teratur perlu dipertahankan. Kamar tidur dijauhkan dari suasana tidak nyaman. Penderita diminta menghindari latihan fisik berat sebelum tidur. Tempat tidur jangan dijadikan tempat untuk menumpahkan kemarahan. Perubahan kebiasaan, sikap, dan lingkungan ini efektif untuk memperbaiki tidur. Edukasi tentang higene tidur merupakan intervensi efektif yang tidak memerlukan biaya (Petit, dkk., 2003).

  2) Terapi pengontrolan stimulus Terapi ini bertujuan untuk memutus siklus masalah yang sering dikaitkan dengan kesulitan memulai atau jatuh tidur. Terapi ini membantu mengurangi faktor primer dan reaktif yang sering ditemukan pada insomnia.

3) Sleep Restriction Therapy

  Membatasi waktu di tempat tidur dapat membantu mengkonsolidasikan tidur. Terapi ini bermanfaat untuk pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Misalnya, bila pasien mengatakan bahwa ia hanya tertidur lima jam dari delapan jam waktu yang dihabiskannya di tempat tidur, waktu di tempat tidurnya harus dikurangi. Tidur di siang hari harus dihindari. Lansia dibolehkan tidur sejenak di siang hari yaitu sekitar 30 menit. Bila efisiensi tidur pasien mencapai 85% (rata-rata setelah lima hari), waktu di tempat tidurnya boleh ditambah 15 menit. Terapi pembatasan tidur, secara berangsurangsur, dapat mengurangi frekuensi dan durasi terbangun di malam hari (Petit, dkk., 2003).

  4) Terapi relaksasi dan biofeedback Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik. Menghipnosis diri sendiri, relaksasi progresif, dan latihan nafas dalam sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif untuk memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan yang cukup dan serius. Biofeedback yaitu memberikan umpan-balik perubahan fisiologik yang terjadi setelah relaksasi. Umpan balik ini dapat meningkatkan kesadaran diri pasien tentang perbaikan yang didapat. Teknik ini dapat dikombinasi dengan higene tidur dan terapi pengontrolon tidur (Petit, dkk., 2003).

  2.2.8 Pengkajian istirahat tidur Menurut Asmadi (2008), aspek yang perlu dikaji pada klien untuk mengidentifikasi mengenai gangguan kebutuhan istirahat tidur meliputi pengkajian mengenai :

  1) Pola tidur, seperti jam berapa klien masuk kamar untuk tidur, jam berapa biasa bangun tidur dan keteraturan pola tidur klien.

  2) Kebiasaan yang dilakukan klien menjelang tidur, seperti membaca buku, buang air kecil dan lain-lain.

  3) Gangguan tidur yang sering dialami klien dan cara mengatasinya 4) Adanya kebiasan tidur siang atau tidak 5) Lingkungan tidur klien, bagaimana kondisi lingkungan tidur klien, apakah kondisinya bising, gelap, atau suhunya dingin dan lain-lain.

  6) Peristiwa yang baru dialami klien dalam hidup, perawat mempelajari apakah peristiwa yang dialami klien yang menyebabkan klien gangguan tidur. 7) Status emosi dan mental klien. Status emosi dan mental mempengaruhi terhadap kemampuan klien untuk istirahat dan tidur. Perawat perlu mengkaji mengenai status

  8) Emosi dan mental misalnya apakah klien mengalami stress emosional atau ansietas, yang dikaji sumber stress yang dialami klien.

  9) Perilaku deprivasi tidur yaitu manifestasi dan perilaku yang timbul sebagai akibat gangguan istirahat tidur seperti :

  1. Penampilan wajah misalnya adakah area gelap di sekitar mata, bengkak dikelopak mata, konjungtiva kemerahan, mata terlihat cekung dan lain-lain

  2. Perilaku yang terkait dengan gangguan istirahat tidur misalnya apakah klien mudah tersinggung, selalu menguap, kurang konsentrasi, terlihat bingung dan lain-lain.

3. Kelelahan misalnya apakah klien tampak lelah, letih, lesu dan lain-lain.

  Selain itu informasi tambahan mengenai istirahat tidur dapat menggunakan kuesioner untuk tujuan penelitian serta untuk evaluasi klinis. Ada tiga contoh instrument untuk pengkajian kebutuhan istirahat tidur antara lain Stanford

  Sleepiness Scale (SSS), The Epworth Sleepiness Scale (ESS), The Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI). Dimana SSS dan ESS digunakan untuk mengukur perasaan

  mengantuk atau kelelahan pada waktu tertentu, tetapi ESS lebih mengukur kecenderungan tertidur dan jatuh tidur pada waktu tertentu.Sedangkan PSQI yang mempunyai 9 item digunakan untuk mengukur kualitas tidur subjektif, latensi tidur, durasi tidur, kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi siang hari selama satu bulan terakhir. Penilaian dengan skala PSQI ini menggunakan kunci scoring untuk keseluruhan tujuh pasien, yang masing-masing berkisar dari 0 sampai 3. Semua nilai dihitung dan menghasilkan nilai keseluruhan taun global yang berkisar dari 0 sampai 21. Nilai keseluruhan 5 atau lebih yang menununjukkan kualitas tidur yang buruk, semakin tinggi nilai maka semakin buruk kualitas tidur (Smyth, 2007).

2.3 Penatalaksanaan dengan Musik

  2.3.1 Pengertian Penatalaksanaan dengan musik atau yang lebih dikenal sebagai intervensi musik terdiri dari dua kata, yaitu “intervensi” dan “musik”. Kata “intervensi” berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau menolong orang. Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks pada masalah fisik. Kata “musik” dalam intervensi musik digunakan untuk menjelaskan media yang secara khusus digunakan dalam rangkaian proses terapi. Intervensi musik adalah sebuah terapi yang bersifat nonverbal karena dengan bantuan musik, pikiran klien dibiarkan untuk mengenang hal-hal yang membahagiakan, membayangkan ketakutan yang dirasakan, mengangankan hal-hal yang dicita- citakan. (Djohan, 2006)

  Intervensi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya yang diorganisir sedemikian rupa hingga tercipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental. Musik memiliki kekuatan untuk mengobati penyakit dan meningkatkan kemampuan pikiran seseorang. Ketika musik diterapkan menjadi sebuah intervensi, musik dapat meningkatkan, memulihkan, dan memelihara kesehatan fisik, mental, emosional, sosial dan spiritual. Hal ini disebabkan musik memiliki beberapa kelebihan, yaitu karena musik bersifat nyaman, menenangkan, membuat rileks, berstruktur, dan universal. Perlu diingat bahwa banyak dari proses dalam hidup kita selalu ber-irama. Sebagai contoh, nafas kita, detak jantung, dan pulsasi semuanya berulang dan berirama (Pusat Riset Intervensi musik, 2011).

  2.3.2 Manfaat musik Manfaat musik antara lain :

  1) Musik merangsang fungsi otak Musik dapat memberi rangsangan pertumbuhan fungsi pada otak

  (fungsi ingatan, belajar, bahasa, mendengar dan bicara, serta analisis, intelek, dan fungsi kesadaran) dan merangsang pertumbuhan gudang ingatan. (Satyadarma, 2002). Efek Mozart adalah salah satu istilah untuk efek yang bisa dihasilkan sebuah musik yang dapat meningkatkan intelegensia seseorang (Satyadarrna, 2002). Penelitian menunjukkan bahwa gelombang otak dapat dimodifikasi oleh musik dan suara-suara yang ditimbulkannya. Semakin lamban gelombang otak, individu semakin merasa rileks, puas, dan tenang. Seperti halnya meditasi, yoga, sugesti dan latihan lain untuk menyatukan fisik dan pikiran. Musik dengan tempo lambat sekitar 60 beat / menit, dapat mengubah tingkat kesadaran dari susunan gelombang beta ke gelombang alfa, sehingga meningkatkan tingkat rileks dan ketenangan (Campbell,2002).

  2) Musik mempengaruhi detak jantung, nadi, dan tekanan darah Detak jantung manusia berespon terhadap beberapa variabel musik seperti frekuensi, tempo, volume, dan cenderung cepat atau lambat sesuai irama musik. Seperti halnya dengan pernafasan, detak yang lambat membuat tekanan darah dan stres menurun, membantu tubuh menyembuhkan diri sendiri dan dapat menenangkan pikiran (Barnason, 1995).