Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

PEMIKIRAN HABAIB TERHADAP PERNIKAHAN ANTARA

  (Studi Pendapat Habaib Kabupaten Semarang)

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

  DISUSUN OLEH YASIN NIM : 212-11-010 JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2017

  

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO “Dalammengajakkebaikan,

bersikapkeraslahkepadadirisendiridanlemahlembutlahkepada orang

lain‟‟. (KH. Ahmad MusthofaBisyri)

  PERSEMBAHAN Untuk Para Orang tuaku ( al ahya‟ walamwat).

  Para dosen dan sahabat-sabatku. Istri dan anak-anakku yang selalu menjadi penyemangat hidupku.

  

ABSTRAK

  Yasin. 2017. Pemikiran Habaib Terhadap Pernikahan Antara Syarifah Dengan Laki-

  

laki Non Syarif (Studi Pendapat Habaib Kabupaten Semarang) . Skripsi. Fakultas

Syariah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

  Pembimbing: Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si.

  Kata Kunci: Pernikahan, habaib, syarifah, non sy arif, kafa’ah.

  Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada makhluk Allah, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.Semua yang diciptakan Allah adalah berpasang-pasangan.Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodoh itu dengan melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dengan wujud aturan-aturan yang disebut hukum perkawinan dalam Islam.Diantara aturannya adalah seorang laki-laki harus sekufu dengan perempuan yang akan dinikahi. Dalam hal ini banyak ulama yang berbeda pendapat. Olehkarenaitu, perluadanya penelitian tentang pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan yang tidak sekufu. Pemikiran para habaib di kabupaten Semarang terhadap pernikahan syarifah dengan laki-laki non syarif perlu diteliti boleh dan tidaknya karena sampai sekarang masih menjadi problem.

  Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research). Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sedangkan dalam analisisnya, penulis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, adalah analisis yang menggunakan tolak ukur penilaian yang mengarah pada predikat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan apakah seorang

  

syarifah boleh menikah dengan seorang laki-laki non syarif dengan mencari jawaban

  melalui pendapat para habaib yang berada di Kabupaten Semarang Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat disimpulkan bahwa sebagian besar habaib di kabupaten Semarang tidak memperbolehkan pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non syarif, dengan alasan untuk tidak memutuskan jalur keturunan Rasulullah, selain karena fukaha kalangan habaib melarangnya, ada juga habaib yang berpendapat bahwa seorang syarifah boleh menikah dengan seorang laki-laki yang bukan syariftetapi dengan memenuhi syarat- syarat tertentu dan hal itu hanya sebagai rukhsah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang lazim berlaku pada

  makhluk-Nya, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Semua yang diciptakan Allah adalah berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan, sebagaimana berlaku pada makhluk yang paling sempurna, yakni manusia (Saebani, 2008:12). Dalam surat Az Zariyat ayat 49 disebutkan:

   َنْوُرَّكَذَت ْمُكَّلَعَل ِنْيَجْوَز اَنْقَلَخ ٍءْيَش ِّلُك ْنِمَو „‟Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran

  Allah”2.

  Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodoh itu dengan melalui jenjang pernikahan yang ketentuannya dirumuskan dengan wujud aturan- aturan yang disebut hukum perkawinan (fiqh munakahat) dalam Islam (Darajat, 1995:43). Hukum Islam juga diterapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya keluarga yang sejahtera, karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kesejahteraan keluarga. Demikian pula kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai terperinci, yang demikian ini menunjukan perhatian yang sangat besar dalam kesejahteraan keluarga.Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh agama Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan. Tujuan itu dinyatakan dalam Al Qur ‟an maupun As Sunnah.

  Melalui perkawinan syariat Islam tidak hanya ingin merealisir masalah duniawi dan kesejahteraan material belaka, akan tetapi ingin merealisir kesejahteraan dan rohani secara bersama-sama, serta ingin menjadikan perkawinan sebagai sarana untuk peningkatan dan perbaikan akhlak, membersihkan masyarakat dari perbuatan perbuatan tercela, menciptkaan dan membentuk tatanan masyarakat yang agamis. Perkawinan dapat dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab tanpa adanya perkawinan manusia akan menurunkan sifat kebinatangan dalam melampiaskan hawa nafsunya yang akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan antar sesama (Rasyid, 1972:48).

  Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi sebuah masalah peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan melalui sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi.Disamping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, seorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi (Syarifudin, 2006:48).

  Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk menjadi pasangan hidupnya. Pokok diantaranya adalah karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan laki-laki atau kesuburan keduanya dalam mengharapkan keturunan, karena kekayaannya, karena kebangsawanannya, dan keberagamannya. Diantara alasan yang banyak itu, maka yang paling utama dijadikan motivasi adalah karena keberagamaannya.

  Seorang laki-laki yang shalih walaupun dari keturunan rendah berhak menikah dengan perempuan yang berderajat lebih tinggi.Laki-laki yang tidak memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki itu muslim dan menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorangpun dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. Selain itu, ada kerelaan dari wali yang mengakadkan dari pihak perempuan (Ghazali, 2003:98).

  Ada rukun dan syarat yang akan menentukan perbuatan suatu hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

  Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah suatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian dari unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya (Syarifudin, 2006:59)

  Pernikahan pun mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas: 1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.

  2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.

  3. Adanya dua orang saksi.

  4. Sighat akad nikah, yaitu ijab dankabul.

  Sedangkan untuk syarat pernikahan secara garis besar ada tiga (Ghazali, 2003:49), yaitu :

  1. Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri.

  2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.

  3. Mahar.

  Namun di masyarakat kalangan habaib di kabupaten Semarang, ada hal lain yang mensyaratkan seseorang yang ingin menikahkan putrinya atau syarifah (Zulkifli, 2011:63), yaitu sebaiknya syarifah dinikahkan dengan seorang syarif/sayyid (Zulkifli, 2011:63)atau putra dari habib juga, dan bagi yang bukan sayyid agar tidak menikahi seorang syarifah. Al-Alamah Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husin al Masyhur seorang ulama yang juga merupakan dari kalangan Alawiyyin yang terkenal dengan kitabnya Bughyah Al-Mustarsyidin mengatakan : seorang Syarifah yang dipinang selain Sayyid (selain keturunan Rasul SAW) maka aku tidak melihat bahwa pernikahan itu diperbolehkan walaupun Syarifah dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tidak bisa diraih dan disamakan.

  Bagi setiap kerabat yang dekat atau yang jauh dari keturunan

  

Sayyidatina Fatimah Az-Zahrah r.a. adalah lebih berhak menikahi

Syarifah dari pada yang lain. Padahal di dalam al-

  qur‟an telah dijelaskan bahwa semua manusia adalah sama, yang membedakan hanya ketakwaannya. Seperti yang terdapat dalam firman Allah surat al Hujurat ayat 13 yang artinya :

  Hai sekalian manusia sesungguhnya kami telah menciptakanmu dari

laki-laki dan perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya orang yang

paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantaramu,

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

  Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk meniliti hal tersebut dengan judul :“Pemikiran Habaib Terhadap Pernikahan Antara

  

Syarifah Dengan Laki-Laki Non Syarif (Studi Pendapat Habaib

Kabupaten Semarang).

B. Penegasan Istilah

  Habaib merupakan jamak dari kata Habib, sebutan/gelar habib di

  kalangan Arab-Indonesia dinisbatkan secara khusus terhadap keturunan Nabi Muhammad SAW melalui Fatimah az-Zahra dan ali bin Abi Thalib (Zulkifli, 2011:41)

  Panggilan Habib biasa digunakan untuk mereka yang dipandang sebagai tokoh agama yang secara geneologis dari keturunan sayyidina Hasan ataupun sayyidina Husein dipanggil dengan sebutan Habib (bentuk tunggal dari Habaib ) (Baharun, 2013:33).

  Syarifah adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada seorang wanita

  yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW.melalui cucu beliau hasan bin ali dan Husain bin Ali, yang merupakan dua anak laki-laki dari Fatimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.

  Syarif secara bahasa berati Yang Mulia, secara harfiah berarti tuan dan

  menurut istilah dalam pembahasan ini adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau hasan bin ali dan Husain bin Ali, yang merupakan dua anak Fatimah Az- Zahra dan Ali bin Abi Thalib.

  Sedangkan non syarif yaitu seseorang yang bukan/selain syarif.

C. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah tentang penelitian ini adalah:

  1. Apa faktor yang melatarbelakangi pernikahan syarifah dengan laki-laki

  non syarif? 2.

  Bagaimana kondisi psikologi dan sosiologi syarifah pelaku pernikahan tersebut?

  3. Bagaimana pendapat Habaib kabupaten Semarang mengenai pernikahan

  syarifah dengan laki-laki non syarif?.”

D. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini adalah:

  a. Mengetahui factor yang melatarbelakangi pernikahan syarifah dengan laki-laki non syarif.

  b. Mengetahui kondisi psikologi dan sosiologi syarifah pelaku pernikahan tersebut c. Mengetahui pendapat para habaib kabupaten Semarang mengenai pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non syarif.

  2. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini:

  a. Bisa menjadi bahan pengalaman dalam bidang penelitian bagi penulis. b. Bisa menjadi bahan pengetahuan bagi penulis tentang pendapat habaibkabupaten Semarang mengenai pernikahan antara syarifah dengan laki-laki non syarif.

  c. Bermanfaat bagi dunia penelitian di lingkungan IAIN Salatiga.

  d. Dapat menjadi bahan bacaan bagi civitas akademika IAIN Salatiga, baik untuk kepentingan akademik maupun untuk kepentingan pengayaan pengetahuan.

E. Telaah Pustaka

  Fungsi dilakukannya telaah pustaka terhadap skripsi adalah untuk membedakan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan peneliti lain sebelumnya.

  Kemudian untuk memahami judul sebuah skripsi perlu pendefinisian judul secara professional, agar dapat diketahui secara jelas dan untuk menghindari kesalahfahaman serta untuk membedakan kajian ini dengan kajian sebelumnya, maka perlu penulis sebutkan beberapa skripsi tentang pernikahan syarifah dengan laki laki non syarif, antara lain:

  Pertama, Tesis yang dibuat oleh Irvan Maria Hussein mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program studi Agama dan Filsafat,Konsentrasi Studi al Qur‟an dan Hadits, yang berjudul Kafa‟ah Syarifah Dalam

  Perspektif Hadits. Di sana penulisnya membahas tentang studi kritik terhadap

  hadits yang melandasi konsep kafa‟ah dalam pernikahan syarifah.

  Kedua, Dalam skripsi STAIN Purwokerto, Mohammad Zidni melakukan penelitian yang berjudul Konsep Kafa'ah Dalam Perkawinan Menurut

  Mazhab Hanafi Dan Mazhab Maliki. Bahwa menurut mazhab Maliki dan

  mazhab Hanafi

  kafa‟ah adalah bukan syarat sah dalam perkawinan akan tetapi sebuah pertimbangan dalam menentukan calon pasangannya.

  Permasalahan pada penelitian ini bisa ditemukan di beberapa buku yang

  telah disebutkan di atas, akan tetapi yang menjadi perbedaan dalam skripsi

  ini dengan penelitian sebelumnya adalah bagaimana pendapat para habaib yang ada di kabupaten Semarang mengenai pernikahan yang dilakukan antara

  syarifah dengan laki-laki non syarif, ditambah dengan informasi latar

  belakang terjadinya pernikahan dan kondisi psikologi dan sosiologi pelaku pernikahan tersebut.

F. Metode Penelitian

  Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis, yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya (Lexi, 2009: 6). Jenis penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan kepada latar dan individu secara holistik (Suparyogo dan Troboni, 2009: 9).Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami (understanding) dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat menurut perspektif masyarakat itu sendiri. Adapun Metode pendekatan dalam penelitian melalui pendekatan sebagai berikut:

  Pendekatan historis atau sejarah adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latarbelakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. (Taufik, 1987: 105). Dengan pendekatan historis peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.(Nata, 2014: 47). Pendekatan historis yaitu sebuah pendekatan dengan melihat sejarah yang mendasari suatu hal tersebut terjadi dan melihat kondisi saat yang berbeda. Dalam hal ini penulis mencoba melacak sejarah kemunculan konsep

  kafa‟ah dalam perkawinan.

  Pendekatan fenomenologi yaitu suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakikat atau esensi dari apa yang ada dibalik segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di muka bumi (Amin, 2015:27). Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi- situasi tertentu.Yang ditekankan kaum fenomenologis adalah aspek subjektif perilaku. Pendekatan ini berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti (Lexi,2002: 9).

  1. Kehadiran Peneliti Penelitian dan pengumpulan data-data di Kabupaten Semarang ini dimulai pada tanggal bulan april 2017 sampai dengan selesai penelitian.Penulis melakukan wawancara langsung dengan habaib Kabupaten Semarang dan syarifah pelaku pernikahan dengan laki-laki non syarif.

  2. Lokasi Penelitian Penelitian ini bertempat di Kabupaten Semarang. Adapun alasan pemilihan tempat ini adalah karena tempat tersebut merupakan salah satu daerah yang banyak dihuni oleh para habaib dan wilayahnya mudah dijangkau oleh peneliti.

  3. Sumber Data Data diperoleh dari informan yakni para habaib dan syaroif yaitu orang yang punya geneologi tersambung pada Rosulullah dan mempunyai kapasitas untuk mengeluarkan statemen tentang masalah di atas. Dalam hal menggunakan data verbal berupa wawancara dan catatan lapangan.Selain itu juga menggunakan data non verbal yaitu audio visual.

4. Teknik Pengumpulan Data

  Prosedur yang diperoleh untuk mengumpulkan data adalah dari data primer, yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertama.

  Disamping data primer terdapat data sekunder yang sering kali juga diperlukan oleh peneliti (Sumadi, 2009:39). Data-data sekunder biasanya berupa bentuk-bentuk dokumen misalnya data mengenai keadaan demografis suatu daerah, foto-foto, video, surat-surat, laporan, peraturan, catatan harian, biografi, simbol, foto, dan data lainnya yang tersimpan. Langkah-langkahnya adalah dengan cara sebagai berikut: a.

  Studi Pustaka Studi Pustaka yaitu penelitian mencari dari bahan-bahan tertulis.

  Berupa catatan, buku-buku, surat kabar, foto-foto dan sebagainya. Buku-buku yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Pernikahan Terkaknat Karya Khudzaifah Al Jarjani, Fiqh Islam kary a H. Sulaiman Rasjid, Kitab Majmu‟ Syariah karya KH. Sholeh Darat.

  b.

  Wawancara (Interview) Wawancara adalah salah satu sumber studi kasus yang sangat penting dan sumber yang esensial bagi studi kasus (Yin. R.K,

  2004:108). Dalam pengumpulan data, peneliti mewancarai secara mendalam yang diarahkan pada masalah tertentu oleh para informan yang sudah dipilih untuk mendapatkan data yang diperlukan. Pihak- pihak yang diwawancarai adalah habaib, syaroif dan pelaku pernikahan tersebut.

  c.

  Pengamatan (Observasi) Dengan membuat kunjungan lapangan terhadap situs studi kasus, peneliti melakukan observasi langsung yaitu penulis dalam rangka memperoleh data dengan melihat dan mengamati secara langsung keadaan kehidupan para habaib guna memperoleh data yang menyakinkan dalam proses tersebut.

  5. Metode Analisis Data Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap dari lapangan, tahap berikutnya yang harus dilakukan adalah tahap analisa.Ini adalah tahap yang penting dan menentukan. Pada tahap inilah data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan- persoalan yang diajukan dalam penelitian. Disini imajinasi dan kreatifitas si peneliti diuji betul (Koentjaraningkrat, 2004:269).

  Dalam penulisan ini, setelah data diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode induksi yaitu cara berfikir dari pernyataan yang bersifat khusus untuk ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.

  6. Pengecekan keabsahan data Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian, karena dari itulah nantinya akan muncul teori. Dalam memperoleh keabsahan temuan, penulis akan menggunakan teknik- teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, ketekunan pengamatan, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, teori), pelacakan kesesuaian, kecukupan referensi dan pengecekan anggota (Lexy, 2011:327). Jadi temuan data tersebut bisa diketahui keabsahannya.

  Untuk menggunakan teknik triangulasi dapat ditempuh dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan wawancara, membandingkan apa yang dikatakan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, membandingkan apa dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang masa, membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan.

7. Tahap-Tahap Penelitian a.

  Penelitian Pendahuluan Penulis mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan hukum pernikahan islam dan konsep

  kafa‟ah.

  b.

  Pengembangan Desain Setelah penulis mengetahui banyak hal tentang pernikahan dan konsep kafa‟ah, kemudian penulis turun ke lapangan untuk melakukan observasi dan wawancara.

G. Sistematika Penulisan

  Penulisan skripsi ini disusun dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bagian awal skripsi ini berisi Halaman Judul, Halaman Nota

  Pembimbing, Halaman Pengesahan, Halaman Motto, Halaman Persembahan, Kata Pengantar dan Daftar Isi.

  Bab pertama mencakup pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

  Bab dua mencakup kajian kafa‟ah dalam perkawinan menurut tinjauan fiqh, dalam bab ini akan diungkap teori perkawinan yang bersumber dari Al qur‟an, al hadits, kitab-kitab ulama klasik dan modern serta buku-buku yang mengkaji seputar penjelasan yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

  Bab berisi tentang selayang pandang habaib di Indoneisa yang mencakup sejarah habaib di Arab dan sejarah persebaran habaib di Nusantara.

  Bab empat berisi tentang faktor yang melatarbelakangi pernikahan syarifah dengan laki-laki non syarif, kondisi psikologis dan sosiologis pelaku pernikahan tersebut dan pendapat habaib kabupaten Semarang, dan analisa data.

  Sedangkan bab lima merupakan bagian akhir dari pembahasan skripsi, yang berupa penutup yang mencakup kesimpulan dan saran penulis.

BAB II KAJIAN TENTANG PERNIKAHAN DAN KAFA’AH MENURUT ISLAM A. Teori Pernikahan 1. Pengertian pernikahan secara umum Secara Bahasa arti atau pengertian pernikahan adalah al-Jamru dan

  al-Dhommu yang artinya kumpul. Makna ini disinyalir berasal dari sebuah syair Arab: Wahai orang yang menikah, kesulitan bisa menjadi kemudahan, Allah memanjangkan umurmu untuk bisa berkumpul, yaitu kesulitan bila terbebas, dan kemudahan bila terlepas sisi kanannya." Maksud dari syair diatas adalah bahwa orang yang berusaha menyatukan antara hal yang sulit dan halyang mudah, sesungguhnya ia sedang melakukan sesuatu yang sulit untuk terjadi. Pengertian pernikahan secara maknawi, makna nikah (zawaj) bisa diartikan sebagai aqdu al-tazwiij yang artinyaNikah juga bisa diartikan dengan (wathu' al

  zawjah ) bermakna menyetubuhi isteri, sebagaimana disebutkan oleh

  beberapa ahli fiqih. Abu Ali al-Qalii berkata: Orang Arab membedakan penempatan kata akad dengan wath'u. Maka ketika mereka mengatakan 'Menikahkan si fulanah', mereka mengarahkan pada maksud aqdu al-

  . Tapi bila mereka mengatakan 'Menikahi isterinya', maka

  tazwiij

  maknanya berkonotasi kepada Jima' dan wath'u."

  Sedangkan pengertian pernikahan menurut syara', pernikahan adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan atau wanita dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahlirkata, zawaj atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata: Inkaah atau

  

tazwiij . Menurut pendapat Ibnu Qudamah pada umumnya akad nikah

  adalah akad tazwij. Perkawinan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  Menurut Bachtiar (2004), adalah pintu bagi bertemunya dua hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Perkawinan itu merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara kelangsungan manusia di bumi.

  Menurut Kartono (1992merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna perkawinan berbeda-beda, tetapi praktek-prakteknya perkawinan dihampir semua kebudayaan cenderung sama perkawinan menunujukkan pada suatu peristiwa saat sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal dihadapan ketua agama, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi dengan upacara dan ritual-ritual tertentu.

  Sedangkan pernikahan menurut fiqh munakahat yaitu, Nikah atau

  

ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan kawin. Kalimat nikah atau

ziwaj diartikan dengan perkawinan. Abdurrahman Al-Jarizi dalam

  kitabnya Al- Fiqh „Ala Madzahibil Arba‟ah menyebutkan ada tiga macam makna nikah. Pertama, menurut bahasa nikah adalah:

  مَّضلاَو ُءْطَولْا َوُىَو

  “Bersenggama atau campur "

  Kedua, makna Ushuli atau makna menurut syar‟i, yaitu nikah arti hakikatnya adalah watha‟ (bersenggama), akad, musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha‟.

  Dan yang ketiga, menurut para ahli fiqih. Menurut golongan ulama Hanafiyyah, nikah adalah :

  اًدْصَق ِةَعْ تُمْلا َكْلِم ُدْيِفُي ٌدْقَع ُوَّنَاِب ُحاَكِّنلا “Nikah itu adalah akad yang memberi faidah kepemilikan untuk bersenang- senang dengan sengaja”

  Menurut golongan Syafi‟iyah mendefinisikan nikah sebagai:

  اَمُىاَنْعَم ْوَا ٍجْيِوْزَ ت ْوَا ٍحاَكْنٍا ِظْفَلِب ِءْطَوْلا َكْلِم ُنَّمَضَتَ ي ٌدْقَع ُوَّنَاِب ُحاَكٍّنلا “Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan

watha‟ dengan akar lafadz nikah atau tazwij atau yang satu makna

dengan keduanya”

  Menurut Malikiyah:

   ٍةَنِّ يَ بِب اَهَ تَمْيِق ٍبِجْوُم ُرْ يَغ ٍةَّيِمَدَاِب َذُّذَلَّ تلا ِوِعْتُم ِدَّرَجُم ىَلَع ٌدْقَع ُوَّنَاٍب ُحاَكِّنلا “Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-

mata untuk memperbolehkan watha‟, bersenang-senang dan menikmati

apa yang ada pada diri seorang wanita yang dinikahinya”

  Sedangkan menurut golongan Hanabilah, mendefinisikan bahwa:

   ِةَعَفْ نَم ىَلَع ٍجْيِوْزَ ت ْوَا ٍحاَكْنِا ِظْفَلِب ٌدْقَع َوُى ِعاَتْمِتْسِْلْا ”Nikah adalah sebuah akad dengan menggunakan lafadz nikah atau

tazwij guna memperbolehkan manfaat bersenang-senang dengan

wanita

  ” atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Berdasarkan istilah lain juga dapat bera(akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan akan menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan menghara Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia nikah/ni·kah/n ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama: hidup sebagai suami istri tanpa - merupakan pelanggaran terhadap agama. Berdasarkan uraian diatas dapat dismplkan bahwa pernikahan adalah bersatunya antara laki- laki dan perempuan yang diikat dengan status pernikahan yang sesuai dengan ajaran agama dan undang-undang di Indonesia.

  Berdasarkan berbagai definisi tentang perkawinan di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki- laki dan perempuan sebagai suami isteri yang memiliki kekuatan hukum dan diakui secara sosial dengan tujuan membentuk keluarga sebagai kesatuan yang menjanjikan pelestarian kebudayaan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan inter-personal.

2. Rukun pernikahan

  Rukun Nikah adalah bagian terpenting yang menjadi pilar dalam pernikahan dan itu wajib terpenuhi adanya.

  Rukun perkawinan menurut Rasjid (2000 : 382) menyatakan bahwa rukun perkawinan yaitu : a.

  Sighat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan,seperti kata wali,”saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama..” Jawab mempelai laki- laki, “Saya terima menikahi”. Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij, atau terjemahan dari keduanya. b.

  Wali (wali si perempuan).

  Keterangannya adalah sabda Nabi SAW yang artinya “barang siapa diantara yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal”.

  c.

  Dua orang saksi Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “tidak sah nikah kecuali dengan wali dua saksi yang adil”.

  d.

  Kerelaan kedua belah pihak atau tanpa paksaan.

  e.

  Ada mempelai yang akan menikah.

  3. Syarat-syarat perkawinan Syarat pernikahan adalah dasar sahnya bagi pernikahan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan hijab qobul.

  4. Tujuan pernikahan Dasar tujuan nikah yaitu

  “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang

  

perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan

kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha

Mengetahui“ (Q.S. An-Nur 32).

  Salah satu penafsiran ayat diatas adalah, hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita-wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.

  

  

  Berdasarkan berbagai definisi tentang perkawinan di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki- laki dan perempuan sebagai suami isteri yang memiliki kekuatan hukum dan diakui secara sosial dengan tujuan membentuk keluarga sebagai kesatuan yang menjanjikan pelestarian kebudayaan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan inter-personal.

  Perkawinan merupakan aktivitas sepasang laki-laki dan perempuan yang terkait pada suatu tujuan bersama yang hendak dicapai. Dalam pasal 1 Undang-Undang perkawinan tahun 1974 tersebut diatas dengan jelas disebutkan, bahwa tujuan perkawinan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Walgito (2000), masalah pernikahan adalah hal yang tidak mudah, karena kebahagiaan adalah bersifat relatif dan subyektif.

  Subyektif karena kebahagiaan bagi seseorang belum tentu berlaku bagi orang lain, relatif karena sesuatu hal yang pada suatu waktu dapat menimbulkan kebahagiaan dan belum tentu diwaktu yang juga dapat menimbulkan kebahagiaan. Masdar Helmy (dalam Bachtiar, 2004) mengemukakan bahwa tujuan perkawinan selain memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan di dunia, mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat. Menurut Soemijati (dalam bachtiar, 2004) tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan keluarga bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, memperoleh keturunan yang sah dengan mengikuti ketentuan- ketentuan yang telah diatur oleh hukum.

5. Perbedaan tujuan perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI

  Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan perkawinan yaitu ” perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan menurut UU tersebut adalah untuk mencapai bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Arti bahagia sebenarnya bukan konsep fikih (Hukum Islam). Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti Thalib yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kasih mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu diambil dari ajaran Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup semati. Namun bisa juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian antara pasangan suami dan istri.

  Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) tujuan perkawinan dijelaskan pada pasal 3 KHI yaitu ” Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan wa rahm ah. ” Artinya tujuan perkawinan sesuai dengan konsep Hukum Islam.

  Perbedaan KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 juga tampak pada penerapan sahnya perkawinan. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan ” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen, Budha, Hindu adalah sah menurut UU Perkawinan.Hal ini berbeda menurut pasal 4 KHI yaitu ” perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Artinya KHI lebih menekankan perkawinan dalam konsep hukum Islam, namun tetap didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974.

  Menurut Marzuki Wahid, di dalam CLD KHI ada beberapa hal yang mereka tawarkan yakni sebagai berikut: a.

  Pernikahan bukan ibadah, tetapi akad sosial kemanusiaan (Mu‟amalah) b. Pencatatan perkawinan oleh Pemerintah adalah rukun perkawinan c. Perempuan bisa menikahkan sendiri dan menjadi wali nikah d.

  Mahar bisa diberikan oleh calon suami dan calon istri e. Poligami dilarang f. Perkawinan dengan pembatasan waktu boleh dilakukan g.

  Perkawinan antaragama dibolehkan h. Istri memiliki hak talak dan rujuk i. Hak dan kewajiban suami dan istri setara B.

   Tujuan Pernikahan untuk Sakinah (Ketenangan)

  Salah satu dari tujuan pernikahan atau perkawinan adalah untuk memperoleh keluarga yang sakinah. Sakinah artinya tenang, dalam hal ini seseorang yang melangsungkan pernikahan berkeinginan memiliki keluarga yang tenang dan tentram. Dalam Tafsirnya Al-Alusi mengatakan bahwa sakinah adalah merasa cenderung kepada pasangan. Kecenderungan ini merupakan satu hal yang wajar karena seseorang pasti akan merasa cenderung terhadap dirinya. Apabila kecenderungan ini disalurkan sesuai dengan aturan Islam maka yang tercapai adalah ketenangan dan ketentraman, karena makna lain dari sakinah adalah ketenangan. Ketenangan dan ketentraman ini yang menjadi salah satu dari tujuan pernikahan atau perkawinan. Karena pernikahan adalah sarana efektif untuk menjaga kesucian hati agar terhindar dari perzinahan.

C. Tujuan Pernikahan untuk Mencapai Mawadah dan Rahmah

  Tujuan pernikahan yang selanjutnya adalah untuk memperoleh keluarga yang mawadah dan rahmah. Tujuan pernikahan Mawadah yaitu untuk memiliki keluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta, berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah. Tujuan pernikahan Rahmah yaitu untuk memperoleh keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang, yakni yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.

  Mengenai pengertian mawaddah menurut Imam Ibnu Katsir ialah al mahabbah (rasa cinta) sedangkan ar rahmah adalah ar- ra‟fah (kasih sayang).

  Mawaddah adalah makna kinayah dari nikah yaitu jima‟ sebagai konsekuensi dilangsungkannya pernikahan. Sedangkan ar rahmah adalah makna kinayah dari keturunan yaitu terlahirnya keturunan dari hasil suatu pernikahan. Ada juga yang mengatakan bahwa mawaddah hanya berlaku bagi orang yang masih muda sedangkan untuk ar-rahmah bagi orang yang sudah tua.

  Implementasi dari tujuan pernikahan mawaddah wa rahmah ini adalah sikap saling menjaga, saling melindungi, saling membantu, saling memahami hak dan kewajiban masing-masing. Pernikahan adalah lambang dari kehormatan dan kemuliaan. Fungsi pernikahan diibaratkan seperti fungsi pakaian, karena salah satu fungsi pakaian adalah untuk menutup aurat. Aurat sendiri bermakna sesuatu yang memalukan, karena memalukan maka wajib untuk ditutup. Dengan demikian seharusnya dalam hubungan suami istri, satu sama lainnya harus saling menutupi kekurangan pasangannya dan saling membantu untuk mempersembahkan yang terbaik.

D. Undang-undang Penikahan Yang Berlaku Di Indonesia

  Di Indonesia masalah perkawinan diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang mulai diundangkan pada tanggal 2 januari 1974. Undang- undang tersebut dibuat dengan mempertimbangkan bahwa falsafah Negara Republik Indonesia adalah Pancasila, maka perlu dibuat undang-undang perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara . Bagi umat islam di Indonesia, undang-undang tersebut meskipun tidak sama persis dengan hukum pernikahaan di dalam fikih islam, namun dalam pembuatannya telah di cermati secara mendalam sehingga tidak bertentangan dengan hokum islam.

  Untuk kelancaran pelaksanaan undang-undang perkawinan tersebut pemerintah telah mengeluarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia No .9 tahun 1975. Peraturan pemerintah tersebut terdiri atas 10 bab dan 49 pasal yang ditetapkan di Jakarta pada April 1975. Dengan adanya undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, diharapkan masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan di Indonesia akan dapat teratasi. Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 Bab dan terbagi dalam 67 pasal. Isi masing - masing bab itu secara garis besarnya sebagai berikut :

1. Bab I Dasar Perkawinan

  Berisi ketentuan mengenai a. Pengertian dan tujuan perkawinan b.

  Sahnya perkawinan c. Pencatat perkawinan d.

  Asas monogami dalam perkawinan 2.

Bab II Syarat- syarat Perkawinan Berisi ketentuan-ketentuan a. Persetujuan kedua mempelai b. Izin kedua orang tua

  c.

  Pengecualian persetujuan kedua calon mempelai dan izin kedua orang tua d.

  Batas umur perkawinan e. Larangan kawin f. Jangka waktu tunggu g.

  Tata cara pelaksanaan perkawinan 3.

  Bab III Pencegahan Perkawinan Berisi tentang: a. Pencegahan perkawinan b. Penolakan perkawinan 4. Bab IV Batalnya Perkawinan Berisi ketentuan tentang dapat dibatalkannya suatu perkawinan, pihak yang dapat mengajukan pembatalan dan ketentuan-ketentuan lain yang berkenan dengan perkawinan.

  5. Bab V Perjanjian Perkawinan Berisi ketentuan tentang dapat diadakannya perjanjian tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan oleh kedua belah pihak , atas persetujuan bersama, dan mengenai pengesahan, mulai berlakunya , serta kemungkinan perubahan perjanjian tersebut.

  6. Bab VI Hak dan Kewajiban Suami Istri Berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban suami istri, baik sendiri- sendiri atau bersama-sam.

  7. Bab VII Harta Benda dalam Perkawinan Berisi ketentuan tentang harta benda bawaan masing-masing.

  8. Bab VIII Putusnya Perkawinan dan Akibatnya Berisi ketentuan putusnya perkawinan dan sebab-sebabnya.

  9. Bab IX Kedudukan Anak Berisi ketentuan tentang kedudukan anak yang sah dan anak yang dilahirkan di luar pernikahan.

  10. Bab X Hak dan Kewajiban Antara Orangtua dan Anak Berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban orang tua serta hak dan kewajiban anak .

  11. Bab XI Perwalian Berisi ketentuan mengenai perwalian bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya.

  12. Bab XII Ketentuan-ketentuan Lain 13.

  Bab XIII Ketentuan peralihan 14. Bab XVI Ketentuan Penutup E. Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Kom pilasi hukum di Indonesia berarti „Buku Kumpulan-kumpulan hukum islam”. Usaha untuk mengadakan kompilasi hukum islam telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan penyebarannya berdasarkan Intruksi Pemerintah RI No. 1 tahun 1991 dan ditindaklanjuti dengan keputusan Mentri Agama No. 154 tahun 1991. Kompilasi hukum islam di Indonesia telah menjadi semacam “fikih keindonesiaan” yang diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum material bagi para hakim di lingkungan peradilan agama, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum. Kompilasi itu terdiri atas tiga buku yaitu : .

1. Buku I tentang Perkawinan 2.

  Buku II tentang Kewarisan 3. Buku III tentang Pewakafan

  Dalam buku I terdapat 19 bab dan 170 pasal, dan setiap pasalnya diuraikan secara jelas menurut keperluan hukum.

  Bab-bab tersebut yaitu :

  BAB I : Ketentuan Umum (1 pasal) BAB II : Dasar-dasar Perkawinan (19 pasal) BAB III : Pemenangan (3 pasal) BAB IV : Rukun dan Syarat Perkawinan (16 pasal) BAB V : Mahar (9 pasal) BAB VI : Larangan Perkawinan (7 pasal) BAB VII : Perjanjian Perkawinan (8 pasal) BAB VIII : Kawin Hamil (2 pasal) BAB IX : Beristri lebih dari satu (5 pasal) BAB X : Pencegahan Perkawinan (10 pasal)

  BAB XI : Batalnya Perkawinan (7 pasal) BAB XII : Hak dan kewajiban suami istri (8 pasal) BAB XIII : Harta kekayaan dalam perkawinan ( 12 pasal) BAB XIV : Pemeliharaan anak ( 9 pasal) BAB XV : Perwalian(6 pasal) BAB XVI : Putusnya perkawinan (36 pasal) BAB XVII : Akibat putus perkawinan (14 pasal) BAB XVIII : Rujuk (7 pasal) BAB XIX : Masa berkabung (1 pasal) Setiap pasal dari bab-bab tersebut telah di jelaskan menurut keperluan hukumnya. Misalnya, kamu dapat menyimak aturan pencatatan perkawinan dan cara perceraian yang ditulis dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, yaitu : a.

  Pencatat perkawinan Pencatat perkawinan diatur dalam pasal-pasal seperti berikut ini :

  Pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan adalah sah , apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

  Pasal 5

  1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.