Hubungan Antara Optimisme dan Problem Focused Coping pada Mahasiswa

  

Hubungan Antara Optimisme dan Problem Focused Coping

pada Mahasiswa

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Widuri Listiana

  

NIM : 03 9114 033

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2009

 

  Hidup itu perlu DIPERJUANGKAN….

  Hidup bagaikan untaian benang yang tergulung, Benang yang terurai tak akan mungkin tergulung seperti sedia kala…

TETAP SEMANGAT! HIDUP ITU KERAS!

  

karya ini khusus kupersembahkan untuk:

Jesus Christ

  

IBU & MOMO

Juga Teman – Temanku

  

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME DAN PROBLEM FOCUSED

COPING PADA MAHASISWA

  Widuri Listiana Universitas Sanata Dharma

  Yogyakarta 2008

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang positif antara optimisme dan problem focused coping pada mahasiswa. Subyek dalam

  laki-laki dan perempuan sejumlah 150 orang, yang

  penelitian ini adalah mahasiswa

  

berusia 18 – 22 tahun; berada pada semester tiga (angkatan 2007), semester 5 (angkatan

2006), dan semester 7 (angkatan 2005). Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan

yang positif antara optimisme dan problem focused coping pada mahasiswa. Data

penelitian diungkap dengan skala optimisme yang mempunyai reliabilitas 0.924 dan skala

problem focused coping yang memiliki reliabilitas 0.909. Analisis data dilakukan dengan

korelasi Product Moment dari Pearson. Hasil penelitian menunjukkan korelasi

  sebesar 0.692 (p=0.000; p<0.01), yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara optimisme dan problem focused coping pada mahasiswa.

  Kata kunci : optimisme, problem focused coping

  

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN OPTIMISM AND PROBLEM

FOCUSED COPING ON UNIVERSITY STUDENTS

  Widuri Listiana Sanata Dharma University

  Yogyakarta 2008

  Current research was conducted to investigate if there is a positive relationship between optimism and problem focused coping on college students. The subjects studied in the research were 150 students, whose age were between

  rd th th

  18 – 22 years old. They were also in the 3 , 5 , and 7 semester. The proposed hypothesis was there is a positive relationship between optimism and problem focused coping on the students. The research used optimism scale with the reliability of 0.924 and problem focused coping scale with the reliability of 0.909. The data analysis was conducted with the correlation of Pearson’s Product Moment. The result of the research showed the correlation of 0.692 (p=0.000; p<0.01), which means that the positive relationship exists significantly between optimism and problem focused coping on the students.

  Keyword: optimism, problem focused coping

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, karunia, bimbingan, dan segala yang Ia berikan serta rencanakan untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya kerelaan hati, semangat, dan cinta yang tulus dari orang-orang terdekat yang selalu membantu dan membimbing penulis baik dalam menyelesaikan skripsi ini maupun dalam hidup penulis. Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

  1. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. yang telah memberikan ijin dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

  2. Bapak V. Didik Suryo H., S.Psi., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu sabar dalam memberikan arahan, masukan, dan dorongan untuk penulis agar segera menyelesaikan skripsinya. Terimakasih banyak pak atas waktu dan tenaga yang sudah disisihkan untuk saya. Tuhan memberkati Bapak sekeluarga.

  3. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik.

  4. Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi atas waktu, masukan dan motivasinya baik dalam menyelesaikan skripsi.

  5. YB. Cahya Widiyanto, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Penguji.

  6. Agung Santoso, S.Psi., MA. selaku Dosen Penguji.

  7. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, terimakasih atas bimbingannya dan seluruh bekal ilmu pengetahuan yang telah diberikan.

  8. Mba Nanik, Mas Gandung, dan Pak Gie, terimakasih atas semua bantuan dan kesabaran dalam melayani kepentingan akademik.

  9. Mas Mudji selaku laboran yang selalu direpotkan ketika praktikum.

  Terimakasih atas bantuan, kepercayaan, dan dukungan yang membuat penulis lebih maju.

  10. Mas Doni atas bantuannya selama kuliah dan skripsi, serta kesabarannya ketika penulis berisik di Ruang Baca.

  11. Beberapa teman-teman mahasiswa Angkatan 2005, 2006, dan 2007 yang merelakan waktunya untuk mengisi skala penelitianku.

  12. Ibu Waltini Endrani, terimakasih yang teramat besar atas tenaga, waktu, kasih sayang, kemarahan, kesedihan, kepercayaan, kebahagiaan, dukungan, dan segalanya yang engkau berikan untukku selama duapuluh tiga tahun ini. Bagiku, Ibu adalah Ibu yang paling HEBAT. Aku banyak belajar dari asam garam hidupmu dalam menyikapi kehidupan ini. Tuhan Yesus selalu memberkatimu Bu. Maaf, aku selalu merepotkan dan membuatmu sedih. Aku selalu mencintaimu.

  13. Eko Widhi Martanto, orang kedua yang terpenting dalam kehidupanku setelah Ibuku. Terimakasih banyak atas waktu, tenaga, kemarahan, kebahagiaan, kepercayaan, kesetiaan, dukungan, dan segalanya yang kamu berikan untukku agar aku bisa lebih maju dan lebih baik lagi. Maafkan aku yang suka lemot, sensitif, moody, dan sering bingung sendiri. JBU. ILU.

  14. Didi’03, Nana’03, Nonie’03, Sarie’03, Otic’03, dan Poke’03, terimakasih sudah mewarnai hidupku dengan pertemanan kita.

  15. Gothe’03, makasih selalu mengingatkanku untuk segera menyelesaikan skripsiku dan untuk dukungannya. Maaf ya kalau sering membuatmu bingung the. Tetap Semangat! Kehidupan Keras!

  16. Ajeng’03, wah, ternyata aku salah menilaimu…hehehe. Makasih untuk dukungannya, aku cukup banyak belajar darimu dan Gothe. Kalian menyenangkan. Ayo kapan kita pergi bertiga lagi!

  17. Sutaboy, tetap semangat boy! Ayo, segera selesaikan kuliahmu!

  18. Seluruh teman-teman angkatan 2003 yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu, terimakasih buat semuanya.

  19. Teman-teman asisten P2TKP: Mas Desta, Otic, Abe, Gothe, Srie, Rondang, Astin, Vania, Atiek, Betty, Wulan, Lia, Tinul, Weni, Mitha, Baday, Budi, makasih banyak untuk dukungan dan kebersamaannya selama ini; asisten-

  20. Teman-Teman di Aswangga, TETAP SEMANGAT! KEHIDUPAN KERAS!

  21. Alit-TulAlit, wah rajin banget bimbingannya. Ayo, segera selesaikan skripsimu. Tetap Semangat! Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas doa dan dukungannya, serta masukannya dalam proses penyelesaian skripsi ini.

  Yogyakarta, April 2009 Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL……………………………………………………. i HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING…………........ ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……………………………… iii HALAMAN MOTTO…………………………………………………... iv HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………….. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………….. vi ABSTRAK ……………………………………………………………... vii ABSTRACT…………………………………………………………….. viii PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI…………………….... ix KATA PENGANTAR………………………………………………….. x DAFTAR ISI……………………………………………………………. xiii DAFTAR TABEL………………………………………………………. xvi DAFTAR GRAFIK...…………………………………………………… xvii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………. xviii BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….

  1 A. Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1

  B. Rumusan Masalah……………………………………………….. 6

  C. Tujuan Penelitian………………………………………………… 6 D. Manfaat Penelitian……………………………………………….

  7 BAB II LANDASAN TEORI..……………………………..…………..

  8 A. Mahasiswa…..……………………………………………………

  8 B. Problem-Focused Coping (PFC)..…………...…………………...

  10

  1. Pengertian PFC………………………………………………. 10

  2. Fungsi PFC…………………………………………………… 14

  3. Aspek-Aspek PFC…………………………………………… 15

  4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PFC……………………. 16

  C. Optimisme……..…………………………………………………

  18

  1. Pengertian Optimisme……………………………………….. 18

  3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Optimisme……………... 22

  3. Reliabilitas……………………………………………………

  49 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...……………………………...

  47 C. Pembahasan……………………………………………………...

  2. Pengujian Hipotesis Penelitian………………………………

  47

  a. Uji Normalitas…………………………………………… 45 b. Uji Linearitas…………………………………………….

  45

  B. Hasil Penelitian………………………………………………….. 44 1. Uji Asumsi Data Penelitian………………………………….

  2. Deskripsi Data Penelitian……………………………………. 44

  43

  1. Deskripsi Subyek Penelitian…………………………………

  43 A. Deskripsi Hasil Penelitian……………………………………….. 43

  BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………

  41 H. Analisis Data…………………………………………………….. 42

  2. Seleksi Aitem………………………………………………… 38

  4. Dampak dari Optimisme…………………………………….. 23

  37

  1. Validitas………………………………………………………

  G. Pertanggungjawaban Alat Ukur…………………………………. 37

  F. Prosedur Penelitian………………………………………………. 36

  E. Alat Pengumpulan Data…………………………………………. 32

  31 D. Subyek Penelitian………………………………………………… 31

  30 2. Problem-Focused Coping (PFC)……………………………..

  1. Optimisme……………………………………………………

  C. Definisi Operasional……………………………………………… 30

  B. Identifikasi Variabel……………………………………………... 30

  30 A. Jenis Penelitian…………………………………………………... 30

  29 BAB III METODE PENELITIAN……………………………………...

  D. Hubungan Antara Optimisme dan Problem-Focused Coping pada Mahasiswa.………………………………………………… 24 E. Hipotesis………………………………………………………….

  52

  B. Keterbatasan Penelitian………………………………………….

  52 C. Saran …………………………………………………………….

  53

  1. Saran kepada Mahasiswa……………………………………

  53 2. Saran kepada Dosen Pengajar……………………………….

  54 3. Saran kepada Penelitian Selanjutnya………………………..

  55 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..

  56

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Optimisme…………………………….

  35 Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Problem-Focused Coping…………….

  36 Tabel 3. Bentuk Final Skala Optimisme ……………………………….

  40 Tabel 4. Bentuk Final Skala Problem-Focused Coping …..……………

  41 Tabel 5. Deskripsi Subyek Penelitian…………………………………… 43 Tabel 6. Deskripsi Data Penelitian………………………………………

  44 Tabel 7. Hasil Uji Normalitas…………………………………………… 45 Tabel 8. Hasil Uji Linearitas…………………………………………….

  47

                               

  

DAFTAR   GRAFIK  

  Halaman Grafik 1. Sebaran Data Variabel Optimisme……………………………. 46 Grafik 2. Sebaran Data Variabel PFC.…………………………………..

  46 Grafik 3. Arah Hubungan Variabel Penelitian…………………………..

  48

                                     

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran A: Skala Try-Out Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC)

  Reliabilitas Skala Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC) Skala Penelitian Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC)

  Lampiran

  B: Deskriptif Data Optimisme dan Problem-Focused Coping (PFC) Hasil Analisis One Sample T-test

  Lampiran

  C: Hasil Analisis Uji Normalitas Hasil Analisis Uji Linearitas Hasil Analisis Korelasi Pearson Product Moment

   

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai kaum muda, mahasiswa mulai menentukan arah dan

  perjalanan hidupnya yang menyangkut masa depan. Mereka akan dihadapkan pada berbagai permasalahan untuk mencapai apa yang mereka tuju. Mereka dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam memutuskan sesuatu, berbeda dengan masa remaja yang terdahulu yang bisa bertindak “semau gue”, saat ini mereka diharapkan ketika menyelesaikan suatu masalah, tidak hanya menggunakan emosi semata tetapi lebih dipikirkan secara matang dalam memutuskan sesuatu.

  Dalam menghadapi segala permasalahan kehidupan, mahasiswa akan menggunakan mekanisme perilaku koping untuk melindungi dirinya dari tekanan-tekanan psikologis yang dialami. Secara umum bentuk perilaku koping dapat dibedakan menjadi dua tipe (Baron & Byrne, 2005), yaitu koping yang berpusat pada emosi (emotion-focused coping) yang berarti usaha untuk mengurangi respon-respon emosional negatif yang muncul akibat dari suatu ancaman dan untuk meningkatkan afek-afek positif. Tipe yang kedua adalah koping yang berpusat pada masalah (problem-focused coping), yaitu usaha untuk mengatasi ancaman itu sendiri dan untuk memperoleh kontrol terhadap situasi.

  2 Mahasiswa dapat menghadapi tekanan-tekanan yang muncul dari perubahan situasi ini dengan cara yang positif, misalnya, melakukan perencanaan kuliah, menyelesaikan kuliah sesuai dengan target waktu, mengerjakan tugas tepat waktu, mempersiapkan dan mempelajari materi ujian beberapa hari sebelum ujian dilaksanakan, mengikuti kegiatan-kegiatan akademik maupun non-akademik untuk mengembangkan diri, dan berusaha meraih prestasi akademik maupun non-akademik. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada juga mahasiswa yang mengatasi permasalahan yang ada dengan berfokus pada sumber masalah.

  Namun, ada juga yang kurang siap menghadapi tantangan ataupun tuntutan yang muncul sehingga mereka cenderung lari dari masalah-masalah yang mereka hadapi. Beberapa mahasiswa yang merasa kurang mampu mengatasi masalahnya akan menggunakan cara yang kurang matang ketika menghadapi suatu masalah, misalnya, mencontek, memalsukan tanda tangan, membolos kuliah, menunda pengumpulan tugas kuliah, mengabaikan studinya, minum minuman beralkohol, menggunakan narkoba, dan sebagainya. Cara ini digunakan untuk menghilangkan perasaan negatif yang muncul dari suatu peristiwa yang tidak nyaman.

  Mahasiswa sebagai remaja akhir yang beranjak dewasa mulai mampu berpikir tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi dan dapat dilakukannya. Ketika menemui suatu permasalahan, mereka juga sudah mulai mampu menyusun berbagai rencana untuk menyelesaikan masalah tersebut.

  Walaupun mereka mendapatkan tekanan untuk mencapai prestasi akademis

  3 maupun non-akademis yang tinggi, mereka dapat mengatasinya dan merasa tertantang untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang akan diselesaikannya.

  Ketika mahasiswa mampu untuk membayangkan hal-hal yang dapat terjadi dan dapat dilakukan untuk mewujudkan harapan mereka, maka akan memotivasi mereka dalam mencapai harapan-harapan mereka dengan melihat kemampuan yang dimiliki oleh diri sendiri, sehingga mereka memiliki keyakinan pada diri mereka sendiri. Keyakinan akan diri sendiri akan mempengaruhi diri untuk tetap bertahan dan terus berjuang dalam mengatasi masalah hidup dan menjadikan individu sebagai orang yang optimis. Seseorang yang memiliki optimisme tidak takut menghadapi kegagalan dan berusaha untuk mengetahui apa yag menjadi penyebab kegagalannya.

  Optimisme berarti memiliki pengharapan dan keyakinan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan akan berhasil atau dapat dijalani. Cara individu memandang situasi yang sedang terjadi dapat menunjukkan apakah orang tersebut merupakan orang optimis atau pesimis. Cara pandang yang positif terhadap suatu peristiwa akan menimbulkan rasa mampu menghadapi peristiwa tersebut. Sedangkan cara pandang yang negatif akan menimbulkan rasa tidak mampu dan tidak berdaya pada individu tersebut.

  Orang-orang yang optimis cenderung menafsirkan permasalahan mereka sebagai hal yang sementara, terkendali, dan hanya khusus pada satu situasi. Sedangkan orang pesimis adalah sebaliknya, yaitu meyakini bahwa permasalahan mereka berlangsung selamanya, menghancurkan segala yang

  4 sudah dilakukan, dan tidak terkendali (Abramson, dalam Atkinson et al., 1996; Bourne & Russo, 1998; Gerrig & Zimbardo, 2008). Cara pandang individu terhadap suatu peristiwa atau masalah akan berpengaruh pada motivasi, suasana hati dan perilaku mereka dalam menghadapi masalah tersebut. Individu yang optimis cenderung memiliki motivasi yang tinggi dan suasana hati yang positif dalam memandang masalah mereka, hal ini berpengaruh pada perilaku mereka dalam mengatasi masalah yang cenderung fokus pada penyelesaian di sumber masalah.

  Menurut Scheier dan Carver (dalam Baron, 1998; Bourne & Russo, 1998), orang yang optimis dan pesimis menggunakan strategi koping yang berbeda dalam menghadapi stres. Orang yang optimis fokus pada penyelesaian permasalahan, seperti membuat dan menetapkan rencana dalam mengatasi sumber stres, serta mencari dan mendapatkan dukungan sosial dalam mengatasi stress. Sedangkan orang yang pesimis cenderung menggunakan strategi yang berbeda, seperti merasa putus asa dalam mencapai tujuan atau keinginannya, menyangkal bahwa ia mengalami stres dan lebih menggunakan emosi dalam mengatasi permasalahan.

  Penelitian Seligman (2005), selama dua dekade terakhir ini, menunjukkan bahwa orang-orang yang pesimis memiliki delapan kali kemungkinan menjadi depresi ketika mengalami peristiwa yang buruk, sehingga berakibat pada prestasi sekolah yang buruk, pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan, kesehatan fisik yang lebih buruk, dan usia mereka yang menjadi lebih pendek, serta mereka memiliki hubungan yang kurang lancar

  5 dengan orang lain. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa optimisme berpengaruh pada bagaimana orang berprilaku dan kesehatan seseorang.

  Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang optimis memiliki penyesuaian diri yang baik, mengalami kecemasan dan depresi yang rendah, memiliki pengontrolan diri, koping yang efektif, sistem imun yang tinggi, kesehatan fisik yang baik, dan suasana hati yang baik saat menghadapi situasi hidup penuh stress (Scheier, et al., 2002; Passer & Smith, 2007; Scheier & Carver, dalam Myers, 2003; Segerstrom, et al., 1998; Chang, 1998).

  Sebagai mahasiswa sangatlah penting untuk memiliki pandangan yang optimis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Brissette, Scheier, dan Carver (2002) pada mahasiswa semester pertama, menunjukkan bahwa mahasiswa yang optimis memiliki penyesuaian diri yang baik terhadap peristiwa yang penuh stres. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa mahasiswa yang optimis menggunakan koping aktif dan perencanaan dalam menghadapi situasi penuh stres, serta menunjukkan rendahnya penyangkalan dan tindakan yang merugikan ketika menghadapi kondisi yang penuh stres.

  Peneliti ingin melihat apakah hal tersebut juga terjadi di Indonesia, khususnya hubungan antara optimisme dan problem-focused coping pada mahasiswa. Mahasiswa di Indonesia cenderung lebih santai dalam menjalankan studinya maupun menyelesaikan tugas-tugas mereka dibandingkan dengan mahasiswa dari Negara bagian barat. Ketika seseorang tidak berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mewujudkan harapannya atau tujuannya maka ia tidak akan mendapatkan apa yang diharapkan. Orang-orang

  6 di Negara bagian barat lebih fokus dalam mewujudkan harapan-harapan mereka sehingga mereka bisa lebih maju dibanding orang-orang di Indonesia. Ketika seseorang yakin dalam menetapkan tujuan dan harapannya maka orang tersebut akan memiliki motivasi yang tinggi dalam mewujudkannya, hal ini juga diikuti oleh perilaku orang tersebut yang berusaha untuk mewujudkan harapannya atau tujuannya.

  Dari penelitian-penelitian di atas menunjukkan pentingnya optimisme pada individu dalam menghadapi situasi yang penuh stres. Sebagai mahasiswa yang memiliki optimisme tinggi maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan baik, dengan cara penanganan masalah yang berfokus pada sumber masalah. Sedangkan pada mahasiswa yang memiliki optimisme yang rendah atau pesimis dalam menghadapi hidup, ia cenderung melarikan diri dari masalah dan kurang mampu mengatasi masalah dengan baik sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan yang dihadapi.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: apakah sikap optimis memiliki hubungan yang positif dengan problem-focused coping pada mahasiswa? C.

   Tujuan

  Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adakah hubungan yang positif antara sikap optimis dengan problem-focused coping pada mahasiswa.

  7 D.

   Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis

  a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan di bidang ilmu psikologi kognitif mengenai hubungan antara optimisme dan problem-focused coping pada mahasiswa.

  2. Manfaat Praktis

  a. Memberikan wawasan kepada pembaca mengenai pentingnya peran optimisme dalam hubungannya dengan problem-focused coping ketika mengatasi suatu masalah, karena optimisme berpengaruh pada motivasi, mood, dan perilaku ketika menghadapi masalah.

BAB II LANDASAN TEORI A. Mahasiswa Mahasiswa merupakan individu yang melanjutkan sekolahnya ke

  jenjang perguruan tinggi. Mahasiswa tergolong pada masa remaja akhir, dan juga berada pada peralihan menuju masa dewasa. Masa remaja akhir berada pada usia 15 tahun ke atas sampai usia 18 – 22 tahun (Santrock, 2003). Pada usia ini, minat pada karir, prestasi, pacaran, dan eksplorasi tentang diri lebih menonjol. Pada usia remaja akhir, mereka dituntut agar mampu mengambil keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan sosial, serta tentang gaya hidup (Santrock, 2002).

  Tugas-tugas perkembangan pada remaja menurut Havighurst (dalam Sarwono, 2004) adalah: 1. Menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.

  2. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana pun.

  3. Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).

  4. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan dewasa lainnya.

  5. Mempersiapkan karir ekonomi.

  6. Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.

  7. Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab.

  9 8. Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah laku.

  Cara berpikir pada masa remaja lebih maju, efisien, dan efektif dibanding saat masa anak-anak. Hal ini dapat dilihat melalui lima perubahan kognitif pada masa remaja menurut Keating (dalam Steinberg, 2002): 1.

  Selama masa remaja, individu lebih mampu berpikir tentang hal-hal yang mungkin terjadi.

  2. Remaja menjadi lebih mampu berpikir secara abstrak.

  3. Selama masa remaja, individu mulai sering memikirkan tentang proses berpikir itu sendiri.

  

4. Remaja mulai berpikir secara multidimensi dan tidak terbatas pada satu hal

saja.

  

5. Remaja memandang suatu hal secara lebih relatif dan bukan sesuatu yang

mutlak.

  Menurut Piaget (Santrock, 2003), remaja masuk dalam tahap operasional formal, tahap ini muncul atau dimulai pada usia 11 atau 15 tahun sampai pada masa dewasa. Pada tahap ini remaja mampu berpikir secara:

  1. Abstrak, remaja mampu membayangkan situasi rekaan, kejadian yang semata-mata berupa kemungkinan hipotesis, dan mencoba mengolahnya dengan pemikiran yang logis.

  2. Idealis, munculnya pemikiran-pemikiran yang penuh idealisme dan berpikir tentang kemungkinan hal-hal yang dapat terjadi.

  3. Logis, remaja mulai menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah, dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan.

  Piaget menyebut cara berpikir ini sebagai penalaran hipotetis-deduktif.

  10 Sebagai mahasiswa, tekanan yang mereka hadapi bertambah berat, seperti bertambahnya tekanan untuk mencapai prestasi, unjuk kerja, dan nilai- nilai ujian yang baik (Santrock, 2003). Bayangan mengenai hari depan yang masih dianggap kabur, seperti mengenai pekerjaan yang belum jelas yang akan dilakukan setelah menamatkan sekolah merupakan masalah yang dihadapi oleh mahasiswa. Rasa takut akan kegagalan di dunia yang berorientasi pada keberhasilan sering menjadi alasan penyebab stres dan depresi bagi mahasiswa (Santrock, 2003). Namun, mahasiswa mampu merencanakan masa depannya dengan memproses pengalaman-pengalaman di masa lalunya, kemudian melihat apa yang mampu ia lakukan saat ini untuk mewujudkan rencana masa depannya.

B. Problem-Focused Coping

1. Pengertian Problem-Focused Coping (PFC)

  Adanya tuntutan untuk memecahkan masalah dan situasi yang menekan (stressor) merupakan pemicu munculnya sekumpulan cara dari individu untuk menghadapinya. Cara-cara individu menghadapi situasi yang menekan ini disebut sebagai proses coping. Lazarus & Folkman (dalam Folkman, 1984; Gerig & Zimbardo, 2008; Hockenbury & Hockenbury, 2003; Huffman et al., 2000) mengatakan bahwa coping adalah usaha individu secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi tuntutan-tuntutan internal maupun eksternal yang dirasa mengancam atau

  11 melebihi kemampuan individu, sehingga situasi stres tersebut menjadi berkurang atau hilang.

  Secara umum coping merupakan proses dalam menghadapi situasi yang dirasa mengancam atau tidak nyaman dengan melakukan penyelesaian masalah, mengatasi efek emosional dari masalah atau stresor tersebut, atau mencari dukungan sosial dalam mengurangi situasi yang tidak nyaman tersebut (Santrock, 2005; Atkinson et al., 1996; Carver et al., 1989). Coping juga merupakan proses yang dinamis dan terus berjalan dalam menghadapi situasi penuh stres (Hockenbury & Hockenbury, 2003).

  Setiap individu akan memberikan respon yang berbeda walaupun menghadapi permasalahan yang sama. Perbedaan respon atau cara tersebut menyebabkan ada individu yang berhasil mengatasi masalahnya, ada pula yang gagal. Respon atau cara individu menggunakan coping ini dibedakan menjadi dua golongan (Lazarus & Folkman dalam Hockenbury & Hockenbury, 2003; Chang, 1998; Baron & Byrne, 2006), yaitu:

  a. Problem-Focused Coping yang selanjutnya ditulis PFC, merupakan strategi individu dalam mengatasi atau mengurangi stresor yang dianggap mengancam atau berbahaya bagi dirinya dan untuk memperoleh kontrol terhadap situasi.

  b. Emotion-Focused Coping yang selanjutnya ditulis EFC, merupakan strategi individu dalam mengatasi dampak emosional dari situasi yang penuh stres atau mengancam sehingga memperoleh rasa nyaman dan memperkecil tekanan yang dirasakan. Bahkan ketika ancaman tersebut

  12 masih ada, individu lebih memilih untuk merasa tidak terlalu cemas atau marah, dan berusaha untuk meningkatkan perasaan-perasaan positif. EFC digunakan saat individu merasa tidak mampu mengatasi masalah dan tujuannya untuk memberikan rasa nyaman pada individu bersangkutan.

  Folkman dan Lazarus (1986) menyebutkan bahwa perbedaan antara PFC dan EFC terletak pada cara yang digunakan untuk menghadapi stres. Pemecahan masalah dalam PFC adalah dengan membuat rencana dan melakukan tindakan langsung terhadap sumber masalah sehingga mendapatkan hasil yang diinginkan. Pemecahan masalah dalam EFC dilakukan individu dengan mengarahkan perilakunya pada pengontrolan emosi yang tidak menyenangkan melalui usaha mencari sisi baik dari masalah yang dihadapi, mencari simpati dan pengertian orang lain, atau dengan cara menghindarinya untuk melupakan semua permasalahan yang dihadapi. PFC digunakan oleh individu untuk menyelesaikan masalah hingga benar-benar terbebas dari masalah yang dihadapi. Sedangkan penyelesaian masalah dengan cara EFC bersifat sementara, dalam arti masalah yang sesungguhnya belum terselesaikan karena yang dilakukan hanyalah meredakan emosi yang ditimbulkan oleh sumber stres.

  Lazarus dan Folkman (dalam Hockenbury & Hockenbury, 2003; Chang, 1998; Santrock, 2005; Halonen & Santrock, 1999) menyatakan PFC adalah usaha individu dalam mengatasi stresor yang dianggap mengancam atau berbahaya bagi dirinya. Hockenbury & Hockenbury

  13 (2003) mengatakan strategi PFC adalah usaha individu dalam mengatasi sumber stres (stresor) dengan tujuan mengubah atau mengurangi sumber stres tersebut. Menurut Baron dan Byrne (2005) PFC adalah usaha untuk mengatasi sumber stres yang dianggap sebagai ancaman itu sendiri, dan untuk memperoleh kontrol terhadap situasi.

  Strategi PFC merupakan usaha untuk mengatasi masalah atau usaha dalam melakukan sesuatu untuk menangani sumber stres (Carver et al., 1989; Baron et el., 2006). Strategi ini cenderung digunakan saat individu merasa mampu melakukan sesuatu untuk mengatasi masalahnya (Carver et al., 1989; Gazzaniga & Heatherton 2003). Dalam PFC terdapat beberapa tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengubah situasi yang penuh stress menjadi lebih nyaman, antara lain: perencanaan (planning), melakukan tindakan secara langsung pada sumber masalah (taking direct

  

action ), mencari bantuan berupa informasi (seeking assistance), mencoba

  alternatif lain dalam mengatasi masalah, dan menunggu waktu yang tepat sebelum bertindak (Carver et al., 1989; Baron et al.,2006).

  PFC digunakan untuk mengontrol masalah yang muncul dari konflik antara kebutuhan individu dan tuntutan lingkungan dengan menggunakan pemecahan masalah (problem solving), membuat keputusan, dan tindakan secara langsung (Folkman 1984; Gazzaniga & Heatherton 2003).

  Dalam strategi PFC, individu berusaha untuk mencari sumber masalah, mengembangkan alternatif pemecahan masalah, menentukan

  14 pemecahan masalah yang menguntungkan bagi dirinya, dan juga menyiapkan alternatif lain jika pemecahan masalah kurang berhasil dilakukan (Atkinson et al., 1996; Huffman et al., 2000; Gazzaniga & Heatherton 2003). Menurut Billings dan Moos (dalam Atkinson et al., 1996) individu yang menggunakan PFC dalam mengatasi masalahnya menunjukkan tingkat depresi yang rendah, baik saat menghadapi stress maupun sesudahnya.

2. Fungsi PFC

  Menurut Folkman (1984), fungsi utama koping ada dua yaitu menyelesaikan masalah yang dihadapi hingga tuntas sehingga menghambat munculnya masalah lain (PFC) dan mengatur respon emosi terhadap situasi yang penuh stres (EFC).

  Penelitian yang dilakukan oleh Folkman dan Lazarus (dalam Folkman, 1984) menunjukkan bahwa baik PFC maupun EFC digunakan individu untuk menghadapi setiap situasi yang penuh stres. Penggunaan PFC meningkat pada situasi yang dinilai dapat diubah menjadi lebih baik. Sedangkan penggunaan EFC meningkat pada situasi yang dinilai tidak memungkinkan untuk diubah. Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa-siswa yang menilai stressor akademik sebagai situasi yang menantang dan terkontrol akan lebih menggunakan PFC dan pikiran positif (positive thinking) dibandingkan siswa-siswa yang menilai stressor akademik sebagai situasi yang mengancam (dalam Pestonjee, 1992).

  15 Berdasarkan beberapa penelitian pengaruh koping terhadap proses penyesuaian diri, Holahan dan Moos (1987) menyatakan beberapa kelebihan PFC dibandingkan EFC, antara lain:

  a. PFC memiliki hubungan dengan menurunnya tingkat depresi, sedangkan EFC berhubungan positif dengan munculnya stres psikologis.

  b. Pada kalangan praktisi hukum, semakin sering mereka menggunakan EFC untuk mengatasi masalah, semakin meningkat ketegangan fisik maupun psikisnya.

  c. Usaha untuk mengatasi perasaan-perasaan tidak menyenangkan dengan jalan menarik diri secara aktual justru akan meningkatkan stres dan menguatkan munculnya problem baru di masa datang.

  Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa PFC pada dasarnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah hingga tuntas dan bagaimana mengatasi situasi penuh stres dengan efektif agar dampak buruk stres terhadap kesehatan mental individu dapat dihindarkan, serta dapat menghambat munculnya masalah yang lainnya.

3. Aspek - Aspek PFC

  Tiga aspek dari koping yang berorientasi pada pemecahan masalah (Aldwin & Revenson, 1987) adalah: 1) Cautiousness (kehati-hatian)

  16 Individu merencanakan sesuatu dengan baik sebelum melakukan sesuatu hal. Dalam hal ini, individu bertindak dengan hati-hati dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah, mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, mengevaluasi strategi-strategi yang sudah pernah dilakukan sebelumnya, dan meminta pendapat dari orang lain.

  2) Instrumental action (tindakan instrumental) Usaha-usaha secara langsung yang dilakukan untuk mengatasi masalah. individu membuat perencanaan penyelesaian masalah secara logis, melakukan penyusunan rencana, dan melakukannya sesuai dengan yang telah direncanakan.

  3) Negotiation (negosiasi) Usaha yang memusatkan perhatian pada penyelesaian masalah dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan pada orang lain atau sumber masalah untuk ikut menyelesaikan permasalahan.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PFC

  a. Perbedaan individual dalam memandang situasi penuh stress (cognitive

  appraisal )

  Perbedaan individu dalam mengatasi stres tergantung dari cara mereka memandang situasi stres tersebut sehingga mereka akan menentukan dan memilih koping yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Suatu situasi akan dipersepsi menimbulkan stres atau tidak tergantung pada

  17 penilaian kognitif individu. Perbedaan ini muncul karena masing- masing individu memiliki kemampuan, potensi, dan berbagai pertimbangan lainnya sehingga akhirnya akan memunculkan kualitas koping tertentu yang berbeda-beda pada setiap individu (Folkman & Lazarus 1986). Individu cenderung menggunakan PFC ketika ia percaya bahwa sumber-sumber dalam dirinya mampu mengatasi masalah yang ada atau yakin bahwa situasi penuh stres dapat diubah. Sebaliknya individu yang kurang yakin bahwa ia dapat melakukan sesuatu untuk mengubah situasi stres tersebut, ia akan cenderung menghindari masalah dengan minum minuman beralkohol, mengkonsumsi obat-obatan, serta makan dan tidur secara berlebihan untuk menghindari masalah (Lazarus 1976; Gerig & Zimbardo, 2008).

  b. Dukungan Sosial, dukungan sosial yang positif berhubungan dengan berkurangnya kecemasan dan depresi (Hufman et al., 2000; Hockenbury & Hockenbury, 2003).

  c. Perbedaan budaya juga akan berpengaruh dalam pemilihan dan penggunaan strategi koping individu (Passer & Smith, 2007; Hockenbury & Hockenbury, 2003).

  d. Jenis Kelamin; dari penelitian yang dilakukan oleh Tamres, Janicki, dan Helgeson (dalam Baron et al., 2006) menunjukkan bahwa pria dan wanita memiliki perbedaan cara dalam mengatasi stres. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa wanita menggunakan area strategi koping yang luas, baik dengan strategi problem-focused (antara

  18 lain, perencanaan dan koping secara aktif) maupun emotion-focused (antara lain, mencari dukungan sosial, perenungan kembali, dan penilaian ulang secara positif) dibandingkan dengan pria. Para peneliti tersebut menemukan bahwa wanita lebih banyak menghadapi stresor dibanding dengan pria. Hal ini berpengaruh pada penggunaan area strategi koping yang luas, termasuk pencarian dukungan sosial dalam menghadapi stres yang dilakukan oleh wanita.

C. Optimisme

1. Pengertian Optimisme

  Menurut Seligman (dalam Carver & Scheier, 2003), pandangan terhadap masa depan berasal dari pandangan individu tentang penyebab suatu peristiwa di masa lalu. Ketika pandangan individu terhadap kegagalan di masa lalu bersifat stabil, maka pada situasi yang sama kedepannya, ia akan yakin bahwa ia tidak akan berhasil. Kegagalan dipandang sebagai sesuatu yang cenderung permanen dan sulit untuk diubah. Namun, ketika pandangan individu terhadap kegagalan bersifat sementara, maka pada situasi yang hampir sama kedepannya, ia yakin bahwa ia akan berhasil dan penyebab dari kegagalan tersebut dapat diatasi. Individu yang optimis akan belajar dari pengalaman ketika mengalami situasi yang sulit.

  Seligman (dalam Carver & Scheier, 2003) juga mengatakan bahwa ketika individu melihat kegagalan sebagai sesuatu yang berpengaruh

  19 dalam segala aktivitas (global), maka kedepannya ia memiliki keyakinan bahwa ia tidak akan berhasil dalam melakukan segala hal. Namun, ketika individu melihat kegagalan secara spesifik (tidak berpengaruh pada segala aktivitas), maka kedepannya ia yakin bahwa ia akan berhasil pada hal-hal yang lain.