BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prasangka Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik 1. Pengertian Prasangka terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik - BAB II Copy

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prasangka Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik 1. Pengertian Prasangka terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik Menurut Baron dan Byrne (2003) mendefinisikan prasangka sebagai

  sebuah sikap terhadap anggota kelompok tertentu, berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Chaplin (2004), prasangka adalah: a. Satu sikap, baik positif maupun negatif, yang telah dirumuskan sebelumnya agar bisa memberikan cukup bukti dan diperhatikan dengan kegigihan emosional; b. Satu kepercayaan atau pendapat, biasanya tidak baik, yang mempengaruhi individu untuk bertingkah laku dengan cara tertentu atau berpikiran dengan cara tertentu mengenai orang lain. Lebih lanjut Brown (2005) menyatakan bahwa prasangka sering kali didefinisikan sebagai penila ian negatif yang salah atau tidak berdasar mengenai anggota suatu kelompok, tetapi, definisi semacam itu menimbulkan kesulitan konseptual karena ada masalah pemastian apakah penilaian sosial itu memang salah atau sekedar menyimpang dari kenyataan. Jadi, prasangka ialah sikap, emosi atau perilaku negatif terhadap anggota suatu kelompok.

  Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai pemimpin. Pemimpin adalah tokoh atau elit anggota sistem sosial yang dikenal oleh masyarakat dan berupaya memengaruhi para pengikutnya secara langsung atau tidak langsung (Wirawan, 2014). Lebih lanjut Bass dan Avolio (1998) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi orang lain yang berada dalam suatu sebelumnya. Menjadi seorang pemimpin yang efektif mampu meningkatkan kesadaran diri, memahami kekuatan sekaligus kelemahan yang dimiliki, yakin terhadap kapabilitas diri sendiri, selain itu para pemimpin harus berpikir positif tentang dirinya sendri sebelum berpikir positif tentang orang-orang yang ada dibawahnya selain itu memimpin berarti mempengaruhi, memandu baik secara langsung maupun tidak langsung, melatih, action dan memberikan masukan (Nanus dalam Munandar, 2001). Jadi, kepemimpinan adalah seorang pemimpin yang mampu mempengaruhi dan membing orang lain atau kelompok tertentu menuju pencapaian tertentu.

  Kepemimpinan perempuan dalam politik adalah keterlibatan atau terwakilnya perempuan dalam ploitik (Agustina dalam Sastriyani, 2009). Menurut Asfar (Hadiz, 2004) kepemimpinan perempuan dalam politik adalah seorang perempuan yang memperjuangkan kepentingan umum maupun kepentingan kelompok dalam politik baik dibidang DPR/MPR maupun DPD. Jadi, kepemimpinan perempuan dalam politik adalah keterlibatan atau terwakilnya perempuan dalam politik untuk memperjuangkan kepentingan umum maupun kelompok.

  Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa prasangka kepemimpinan perempuan dalam politik adalah sikap, emosi atau perilaku negatif terhadap keterlibatan atau terwakilnya perempuan untuk menjadi pemimpin dalam politik.

2. Aspek-Aspek Prasangka Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik

  Menurut W.J.Thomas (Ahmadi, 2009) berpendapat prasangka mempunyai 3 macam aspek yakni; 1)

  Aspek Kognitif Aspek ini meliputi keyakinan, persepsi, informasi tentang sifat pribadi yang dimiliki orang dalam kelompok atau kategori tertentu. Dari sinilah prasangka yang sering mempengaruhi sikap individu terhadap keanggotaan individu lain pada suatu kelompok diluar kelompoknya. Salah satu contoh prasangka negatif terhadap kepemimpinan perempuan dalm politik. Hal ini terwujud dari pengolahan pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang sekelompok objek tertentu. 2)

  Aspek Afektif Aspek ini berwujud dalam proses yang menyangkut perasan-perasan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati, suka dan tidak suka.

  Perasaan tidak suka terhadap suatu kelompok tertentu atau individu lainnya dikarenakan penilaian terdahulu atau pengalaman sebelumnya. Perasaan tidak suka kepada kaum perempuan yang menjadi pemimpin dalam politik.

  3) Aspek Konatif

  Seseorang yang memiliki prangka terhadap suatu kelompok atau individu tertentu perilakunya kecenderungan tidak memberi pertolongan, menjauhkan diri dari kelompok yang diprasangkainya. Prasangka terhadap kepemimpinan perempuan muncul dalam bentuk sikap anti kepemimpinan perempuan dalam politik. Sehingga sulitnya perempuan menepati jabatan yang lebih tinggi atau menjadi pemimpin dalam politik.

  Myers (2002) menyatakan prasangka merupakan suatu sikap, terdapat tiga aspek prasangka antara lain : 1)

  Kognitif Komponen kognitif mengacu pada keyakinan-keyakinan dan harapan-harapan individu terhadap anggota dari suatu kelompok masyarakat tertentu. 2)

  Afektif Komponen afektif mengacu pada perasaan atau emosi negatif individu apabila seseorang berjumpa atau bahkan hanya berpikir tentang anggota suatu kelompok masyarakat tertentu. 3)

  Kecenderungan Perilaku Komponen perilaku mengacu pada tendensi individu untuk berperilaku dalam cara-cara yang bersifat negatif terhadap anggota suatu kelompok masyarakat tertentu. Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan aspek dari W.J.Thomas

  (Ahmadi, 2009) yaitu: kognitif, afektif, dan konatif. Dengan pertimbangan dalam kehidupan sosial bermasyarakat kita tidak terlepas dari norma, nilai-nilai, asumsi dan informasi mengenai sifat, aktivitas, peran yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku. Dari pengalaman nyata dan konkret yang telah ditanamkan (kognitif) oleh masyarakat dan keluarga dapat menimbulkan rasa marah, kesal, ketakutan dalam politik seperti antipati, suka tidak suka, kebencian, konflik kecenderungan tidak memberi pertolongan, menjauhkan diri dari kelompok yang diprasangkainya (konatif).

  Wirawan (2014) mengatakan bahwa untuk menjadi pemimpin, orang harus memenuhi persyaratan atau kualifikasi tertentu seperti: 1)

  Elit Masyarakat Pemimpin adalah elit anggota sistem sosial yang mempunyai kualitas pendidikan, ekonomi, status sosial yang relatif lebih tinggi dari pada para anggota sistem sosial lainnya. Banyak pemimpin yang berasal dari status sosial rendah, kemudian meniti karir hingga dapat bergerak kestatus sosial tinggi. Ia menjadi pemimpin dapat dipilih karena, diangkat, keturunan, atau dituakan oleh para anggota sistem sosial lainnya.

  2) Kualitas Fisik

  Seorang pemimpin memerlukan kesehatan fisik yang prima. Jika seorang pemimpin tidak sehat atau secara fisik cacat fisik dan jiwanya, ia tidak akan mampu melaksanakan fiungsinya dengan baik dan akan bergatung pada bantuan para pengikutnya. Misalnya, salah satu tugas pemimpin adalah membuat keputusan yang tepat dan memengaruhi para pengikutnya untuk melaksanakan keputusan tersebut. Pembuatan keputusan dan memengaruhi aktivitas keduanya memerlukan kesehatan jiwa dan fisik.

  3) Kualitas Psikologis

  Untuk menjadi seorang pemimpin juga perlu kualitas psikologis tertentu. Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi, yaitu proses interaksi psikologis antara pemimpin dengan pengikutnya. Orang yang tidak sehat jiwanya atau kualitas psikologisnya rendah maka ia akan sulit untuk menjadi pemimpin. Kualitas pskikologis antara lain: a.

  Memahami Diri Sendiri Pemimpin harus mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri dibandingkan dengan orang lain dan para pengikutnya, harus mengukur dirinya sendiri apakah mempunyai kompetensi yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin dan mampu memimpin dirinya sendiri.

  b.

  Kecerdasan Intelektual Seorang pemimpin merupakan seorang intelektual, orang yang cerdas, berakal, cendikiawan dan mudah memahami sesuatu.

  c.

  Kecerdasan Emosional Emosi seorang pemimpin sangat mempengaruhi perilaku pemimpin dalam memengaruhi para pengikutnya.

  d.

  Kecerdasan spiritual Kecerdasan spiritual adalah kemampuan seseorang untuk memahami dirinya sebagai makhluk spiritual yang merupakan bagian dari alam semesta dari kehidupannya. Kecerdasaan ini memungkin orang memahami sesuatu yang fisik dan meta fisik.

  e.

  Kecerdasan Sosial Istilah tersebut sebagai kemampuan untuk memahami dan memanajemeni laki-laki dan perempuan, keterampilan- keterampilan yang dibutuhkan semu orang untuk hidup dengan baik didunia kepemimpinan (Goleman, 2006).

  Wirawan (2014) mengatakan bahwa ada aspek yang dapat menjadi pembeda antara kepemimpinan laki-laki dan perempuan antara lain: 1)

  Perbedaan Fisik Secara esensial wanita fisiknyamemang berbeda dari laki-laki.

  Wanita didesain untuk mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Laki- laki dianggap dengan alat kelamin yang berbeda dengan wanita dan mempunyai sperma yang berfungsi membuahi indung telur yang terdapat pada wanita. Secara alami keduanya menghasilkan keberlanjutan perkembangan manusia. 2)

  Jenis dan Jumlah Hormon Berbeda Jenis dan jumlah hormon yang ada ditubuh wanita berbeda dengan laki-laki.

  3) Otak

  Otak manusia terdiri dari otak kanan dan otak kiri. Beberapa artikel menguraikan perbedaan antara otak laki-laki dan otak perempuan. Laki- wanita kedua otaknya mampu memproses keduanya saat bersamaan. Perbedaan ini menjelaskan mengapa laki-laki lebih kuat dalam aktivitas otak kirinya dan pendekatan pemecahan masalah, sedangkan wanita menyelesaikan problem lebih kreatif dan lebih sadar terhadap perasaan ketika berkomunikasi.

  4) Psikologi

  Psikologi membedakan pskilogi laki-laki dan wanita. Perbedaan psikologi ini berdampak pada perebedaan pola pikir, sikap dan perilaku wanita terhadap perilaku laki-laki. Karena kepemimpinan merupakan pola pikir dan perilaku pemimimpin dalam memengaruhi para pengikutnya.

  5) Persepsi lingkungan sosial Masyarakat mempunyai persepsi yang berbeda terhadap wanita.

  Perbedaan persepsi mengenai wanita yang pertama kali disebabkan karena budaya yang telah berkembang dan terbentuk dalam waktu lama. Pada masyarakat primitif, wanita merupakan bagian dari hak milik laki-laki yang dapat diperdagangkan, ditukar dengan benda lain dan dapat diberikan kepada orang lain. Dalam budaya ini wanita hanya dapat berperan sebagai pemimpin di rumah suaminya, melahirkan dan mengurusi anak-anaknya.

  6) Undang-undang

  Sejarah kewanitaan berkembang dari ketidaksamaan gender ke arah persamaan gender.

  Berdasarkan beberapa aspek di atas pada penelitian ini, penulis memilih pskiologis serta akan menggabungkan dengan aspek prasangka dari W.J.Thomas (Ahmadi, 2009). Pemilihan tersebut di lakukan dengan pertimbangan seperti yang kita tau pemimpin adalah elit dalam masyarakat sehingga untuk menjadi seorang pemimpin harus memiliki kualitas pendidikan, ekonomi dan status sosial yang relatif tinggi dari pada anggota sistem sosial lainnya, kualitas fisik, kualitas psikologis seperti; memahami diri sendiri, memiliki kecerdasan intelektual (cerdas, berakal, cendikiawan, mudah memahami sesuatu), kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial. Dari informasi atau kualifikasi yang telah di berikan oleh status sosial dijadikan pengalaman dan ditanamkan dialam bawah sadar (kognitif) sehingga ketika informasi, pengalaman tidak sesuai harapan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut maka akan timbul rasa marah, kesal, ketakutan (afektif) hingga menimbulkan sebuah prasangka kepada pemimpin perempuan dalam politik seperti antipati, suka tidak suka, kebencian, konflik kecenderungan tidak memberi pertolongan, menjauhkan diri dari kelompok yang diprasangkainya (konatif) (Wirawan, 2014).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prasangka terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik

  Baron dan Bryne (2003) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat ditunjukkan atau yang dapat diprasangkai yaitu antara lain: 1)

  Usia Berdasarkan penelitian Sherif, dkk (Baron & Byrne, 2003) menyatakan bahwa usia pun dapat menunjukkan adanya sebuah prasangka. prasangka yang diperoleh melalui sosialisasi langsung yang dilakukan oleh orangtua mereka maupun sumber-sumber lain seperti pengaruh teman sebaya dan saluran-saluran transmisi kultural lazimnya.

  Dari hasil penelitian tersebut dapat di simpulkan bahwa ternyata prasangka telah ditanamkan sejak awal perkembangan dan pertumbuhan manusia. Pentranferan terjadi berasal dari lingkungan keluarga, masyarakat melalui proses belajar serta menjadikan nilai tersebut sebagai bagian dirinya. 2)

  Asal geografis Sebuah kompetisi tidak selalu harus nyata atau langsung dimulai dari proses ini. Misalnya yang terjadi pada pendukung Osma Bin Laden, ia mempersangkai Amerika Serikat dan semua bangsa barat mengancam kebudayaan dan agama mereka. Hasilnya mereka cenderung untuk “meyakini” Amerika Serikat lebih baik dan mereka percaya setiap aksi ditujukan untuk melemahkan atau menghancurkan bahkan membunuh penduduk sipil yang tidak berdosa adalah hal yang benar. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan atau anggapan asal geografi lebih baik dan ini bagi mereka merupakan memberikan atribusi untuk kelompoknya. 3)

  Pekerjaan atau organisasi Pekerjaan atau organisasi sering kali membentuk prasangka. Baik itu yang diprasangkai pekerjaannya, organisasinya maupun orang yang bekerja dan berorganisasi. Suatu kelompok anggotanya yang bekerja diperusahaan tertentu, atau kelompok tersbut menjadi pemimpin kelompok tersebut dapat diprasangkai oleh kelompok lainnya.

  4) Kelebihan berat badan

  Orang yang mengalami obesitas menjadi target prasangka. Hal tersebut merupakan bagian dari fenomena terbesar yang dikenal sebagai prasangka penampilan atau prasangka terhadap orang yang dinyatakan tidak menarik dimasyarakat. Prasangka terhadap orang yang kelebihan berat badan ini tampaknya merupakan salah satu masalah yang penting dan berkembang dalam sebuah masyarakat di mana semakin banyak orang yang tampaknya akan kal ah dalam “perang melawan kegemukan” tersebut. 5)

  Ras Pada dasarnya sumber prasangka biasanya dimulai dengan orang membagi dunia sosial dalam dua kategori yang berbeda yaitu

  “kita” dan “mereka” hal ini merujuk pada kategori sosial. Singkatnya mereka memandang orang lain sebagai bagian dari kelompok mereka sendiri (in group) atau kelompok lain (out group).

  Berikut contoh prasangka ras: prasangka antara orang berkulit hitam di Amerika, perbedaan ras antara pribumi dan Tinghoa (berkulit putih) di Indonesia dan kasus lainnya. Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa ras merupakan suatu sistem kepercayaan yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada suatu ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu bahwa suatu ras

  6) Gender

  Istilah gender tidak akan lepas dari pengaruh perbedaan biologis (jenis kelamin atau sex) pada laki-laki dan perempuan. Gender merupakan atribut dasar dan menetap pada setiap individu yang ditetapkan sejak masih bayi dan anak-anak untuk membedakan pola hubungan sosial laki- laki (Fakih, 2008). Lebih lanjut Bem (1997) (Baron dan Bryne, 2003) gender merupakan karakteristik kepribadian dimana sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya.

  Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan inilah yang membentuk peran gender (maskulin dan feminin) yang mengacu pada dimensi sosial budaya seseorang sebagai laki-laki dan perempuan (Baron dan Bryne, 2003). Sifat yang diyakini dalam masyarakat lama seperti maskulin (berani, kasar, tegas), aktivitas maskulin (gemar olahraga), dan peran maskulin (mencari nafkah bagi keluarga) dianggap khas milik laki - laki, sedangkan sifat feminin (takut, lembut, penurut), aktivitas feminin (menari, memasak), dan peran feminin (melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak) dianggap khas sebagai milik perempuan. Oleh karena itu apabila perempuan mengembangkan maskulinitasnya dengan mencari nafkah atau gemar berolahraga maka dianggap sebagai mengingkari kodratnya. Begitu pula dengan lelaki yang mengembangkan femininitasnya dengan berhias atau melakukan kerja rumah tangga juga dianggap mengingkari kodratnya bahkan bisa dianggap sakit karena memunculkan sebuah prasangka terhadap kepemimpinan perempuan dalam politik (Suwarno, 2004).

  Prasangka muncul sebagai akibat dari pemikiran individu berupa keunggulan dan kelemahan potensi kepemimpinan perempuan dan laki- laki, perempuan diprasangkai bahwa memiliki kualitas diri yang rendah sehingga perlu meningkatkan kulitas diri dan memperkaya karakteristik kepemimpinannya dengan komponen-komponen, antara lain pembangunan mental, ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial serta menutupi agresivitasnya menjadi ketegasan sikap, inisiatif, dan percaya diri akan kompetensinya.

  7) Latar belakang etnis

  Setiap kebudayaan memiliki identitas yang berbeda dari sinilah individu menilai unsur kebudayaan satu dengan yang lainnya berbeda.

  Mereka terkadang tanpa sadar menilai atau beranggapan bahwa etnik mereka lebih baik dai yang lain. Dari sinilah atau dari latar belakang etnik dapat menimbulkan prasangka yang sangat tinggi. Menurut Turner (2012) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prasangka adalah sebagai berikut: 1)

  Kepribadian Prasangka akan muncul pada orang yang memiliki kepribadian otoriter. Seseorang dengan kepribadian otoriter dan dogmatis dengan ciri- cirinya antara lain, bersifat kaku dan konvensional, tidak toleran, loyalitas

  2) Frustasi dan scapegoating

  Prasangka ini menyebabkan frustasi. Seseorang yang frustasi cenderung menyalahkan dan marah pada lingkungannya, sehingga mencari obyek lain sebagai kambing hitam yang bisa disalahkan atas kesalahannya. Anggapan negatif inilah yang menimbulkan prasangka.

  3) Konflik karena adanya kompetisi

  Menunjukkan konflik yang nyata disebabkan oleh sebuah persaingan untuk memperebutkan pemuas kebutuhan yang sifatnya terbatas. Kompetisi yang tidak sehat dan terus menerus dapat menyebabkan orang berpikiran negatif selain itu dapat memunculkan permusuhan jika terus berlanjut. 4)

  Kecemburuan sosial Aspek ini muncul disebabkan adanya anggapan bahwa salah satu kelompok memiliki status sosial yang lebih tinggi maupun rendah dibandingkan kelompok lain dan merasa perlakuan yang diberikan kepadanya bersifat diskriminatif. Kecemburuan sosial ini dipicu oleh adanya pebedaan tingkat kemakmuran ekonomi dalam masyarakat. 5)

  Etnosentrisme Melalui proses kategorisasi sosial seseorang menempatkan dan mengidentifikasi dirinya dengan kelompok entik tertentu. Identitas etnik ini dapat meninggalkan harga diri individu dan memunculkan etnosentrisme. Etnosentrisme membuat individu menilai unsur kebudayaan lain kurang bagus dibandingkan dengan etniknya sendiri hal ini dilakukan dengan menggunakan alat ukur kebudayaannya sendiri.

  6) Norma kultural

  Prasangka timbul karena norma atau budaya yang mengajarkan individu-individu untuk berprasangka kepada orang atau kelompok lain.

  Prasangka ini ditanamkan sejak awal perkembangan dan pertumbuhan manusia. Sebab penginternalisasian nilai tersebut berasal dari keluarga dan lingkungan sekitarnya melalui proses belajar serta menjadikan nilai tersebut sebagai bagian dari dirinya.

  7) Penilaian yang terlalu ekstrim dan menggenaralisir

  Penilaian individu yang terlalu ekstrim dan menggeneralisir dari suatu pengalaman yang menyakitkan atau kesan yang tidak menyenangkan terhadap seorang dari etnis tertentu kepada seluruh anggota dari etnik tersebut dapat menimbulkan prasangka dari individu tersebut.

  Berdasarkan uraian di atas yang mempengaruhi prasangka kepemimpinan perempuan dalam politik yaitu usia, asal geografis, pekerjaan atau organisasi, kelebihan berat badan, ras, gender, latar belakang etnis (Baron dan Bryne, 2003). Salah satu faktor yang dapat menimbulkan prasangka atau yang dapat membentuk terjadinya sebuah prasangka adalah faktor gender. Salah satunya adalah peran gender. Peran gender terbentuk dari pola hubungan sosial laki-laki dan perempuan dalam berbagai masyarakat yang berbeda sedangkan perempuan memiliki (melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak) dianggap khas sebagai milik perempuan. Apabila perempuan keluar untuk mencari nafkah atau bekerja diluar rumah, maka dianggap sebagai mengingkari kodratnya. Begitu pula dengan laki-laki yang mengerjakan peran perempuan dengan melakukan kerja rumah tangga juga dianggap mengingkari kodratnya bahkan bisa dianggap sakit karena bertindak tidak sesuai dengan harapan masyarakat (Suwarno, 2004).

B. Peran gender 1. Pengertian Peran Gender

  Secara terminologis, gender digunakan untuk untuk menandai segala sesuatu yang ada dalam masyarakat termasuk didalamnya bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, alat reproduksi dan sebagainya. Menurut Bem (1997) (Baron dan Bryne, 2004) gender merupakan karekteristik kepribadian dimana sikap dan perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya.

  Peran gender adalah seluruh harapan yang dibentuk oleh lingkungan sosial tentang perilaku maskulin dan feminin. Harapan-harapan ini dibentuk oleh nilai- nilai yang dianut masyarakat sosial setempat (Baron dan Bryne, 2004). Misalnya seorang perempuan bertangungg jawab membesarkan anak. Peran gender juga merupakan kumpulan sikap, atribut, dan perilaku tertentu yang sesuai dengan jenis kelaminnya (Fakih, 2008).

  Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan peran gender adalah kegiatan (pekerjaan) yang pantas dilakukan laki-laki dan yang pantas dilakukan perempuan.

2. Aspek-aspek/ Karekteristik/ Ciri-ciri Peran Gender

  Aspek-aspek peran gender akan dijelaskan berdasarkan model-model menurut Bem Sex Inventory (Baron dan Byrne, 2003), yakni: 1)

  Model tradisional Dalam masyarakat tradisional yang menganut sistem patriarkhi masih terjadi pemisahan tajam pada sifat, aktivitas dan peran gender antara laki-laki dan perempuan, yang dianggap hanya khas dimiliki oleh masing- masing jenis kelamin. Misalnya sifat maskulin (berani, kasar, tegas), aktivitas maskulin (gemar olahraga), dan peran maskulin (mencari nafkah bagi keluarga) dianggap khas milik laki-laki, sedangkan sifat feminin (takut, lembut, penurut), aktivitas feminin (menari, memasak), dan peran feminin (melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak) dianggap khas sebagai milik perempuan. Oleh karena itu apabila perempuan mengembangkan maskulinitasnya dengan mencari nafkah atau gemar berolahraga maka dianggap mengingkari kodratnya. Lelaki yang mengembangkan femininitasnya dengan berhias atau melakukan kerja rumah tangga juga dianggap mengingkari kodratnya (Suwarno, 2004).

  Dari sanalah pandangan feminitas dan maskulinitas sebagai suatu dikotomi. Model tradisional menyebutkan bahwa maskulinitas dan feminitas merupakan titik-titik yang berlawanan pada sebuah kontinum feminitas menyebabkan derajat yang tinggi dari maskulinitas yang menunjukkan derajat yang rendah dari feminitas, begitu juga sebaliknya derajat yang tinggi dari feminitas menunjukkan derajat yang rendah dari maskulinitas (Nauly, 2003).

  Model tradisional dengan pengukuran yang bersifat bipolar ini memiliki konskuensi, yaitu dimana individu-individu yang memiliki ciri- ciri maskulinitas dan feminitas yang relatif seimbang tidak akan terukur, sehingga menimbulkan reaksi dengan dikembangkannya model yang bersifat non tradisional (Nauly, 2003). 2)

  Model Nontradisional Menurut huntington (1976) dalam Fakih (2013) proses modernisasi atau nontradisional bersifat volusioner (perubahan cepat dalam dari tradisional ke modern), kompleks (melalui banyak cara), global (akan mempengaruhi semua manusia), bertahap (melalui langkah-langkah) sebagaimana prosesnya sosialisasi dalam keluarga sehingga dalam masyarakat modern atau nontradisional, setiap individu dapat mengkombinasi antara sifat, aktivitas dan peran gender antara laki - laki dan perempuan sehingga maskulinitas dan feminitasrelatif seimbang dan tidak akan terukur. Hal ini terbentuk melalui proses belajar dan perkembangan kognitif. Proses belajar tersebut melalui observasi dengan mempelajari definisi-definisi kultural dari masyarakat mengenai keperempuanan dan kelelakian.

  1) Marginalisasi

  Timbulnya kemiskinan dalam masyarakat bahkan negara merupakan sebuah akibat dari proses marginalisasi yang menimpa kaum laki-laki maupun perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian antara lain: penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Bentuk marginalisasi yang paling dominan terjadi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh gender. Meskipun tidak setiap bentuk marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender namun, yang dipermasalahkan disini bentu marginalisasi yang disebabkan oleh gender

  differences (perbedaan gender).

  Gender differences ini sebagai akibat dari beberapa perbedaan jnis

  dan bentuk, tempat dan waktu, serta mekanisme dari proses marginalisasi kaum perempuan. Gender differences ini bila ditinjau dari sumbernya dapat berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.Bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara, jadi tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan. 2)

  Subordinasi Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional bentuk dari subordiasi yang dimaksud. Proses subordinasi yang disebabkan oleh gender terjadi dalam segala macam bentuk dan mekanisme yang berbeda dari waktu kewaktu dan dari tempat ketempat. Dalam kehidupan di masyarakat, rumah tangga, dan bernegara, banyak kebijakan yang dikeluarkan tanpa menganggap penting kaum perempuan. 3)

  Stereotip Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, secara umum dinamakan stereotip. Akibat dari stereotip ini biasanya timbul diskriminasi dan ketidakadilan. Salah satu bentuk stereotip ini adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali bentuk stereotip yang terjadi di masyarakat yang dilekatkan kepada umumnya kaum perempuan sehingga berakibat menyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan kaum perempuan. 4)

  Violence Kekerasan (violence) atau serangan terhadap fisik maupun integrasi mental psikologis seseorang yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan sebagai akibat dari perbedaan gender. Bentuk dari kekerasan ini seperti pemerkosaan dan pemukulan hingga pada bentuk yang lebih halus, seperti; pelecehan seksual dan penciptaan ketergantungan. Violence terhadap perempuan banyak sekali terjadi karena stereotip gender. Gender violence pada dasarnya disebabkan karena ketidak setaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.

  5) Beban kerja

  Peran perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah sebagai pengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dibanding kaum laki-laki. Kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Beban kerja yang diakibatkan dari bias gender tersebut kerap kali diperkuat dan disebabkan oleh adanya keyakinan/pandangan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap pekerjaan laki-laki, dan dikategorikan sebagai sebagai pekerjaan yang bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan, berkaitan dengan anggapan gender, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak laki- laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni peran gender berbagai jenis pekerjaan domestik itu. Kesemuanya ini telah mmperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan.

  Berdasarkan uraian diatas aspek peran gender menurut Bem Sex Inventory memiliki terdiri atas dua model yaitu: Model tradisional dan nontradisional. Konsep dari model tradisional maskulin dan feminin dipandang dipandang relatif sama. Dari kedua konsep ini Bem Sex Inventory mengembangkan alat ukur atau merancang alat ukur didasarkan pada dua asumsi teoritis khusus yang sesuai dengan teori skema gender: yang akan dijelaskan berdasarkan masyarakat tradisional yakni; aspek maskulin dan feminin yang digunakan untuk mengukur dan mendeskripsikan sejauh mana seseorang melibatkan karekteristik tradisional (Baron dan Byrne, 2004).

  Dalam masyarakat tradisional yang menganut sistem patriarkhi sifat yang diyakini dalam masyarakat lama seperti maskulin (berani, kasar, tegas), aktivitas maskulin (gemar olahraga), dan peran maskulin (mencari nafkah bagi keluarga) dianggap khas milik laki-laki, sedangkan sifat feminin (takut, lembut, penurut), aktivitas feminin (menari, memasak), dan peran feminin (melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak) dianggap khas sebagai milik perempuan. Oleh karena itu apabila perempuan mengembangkan maskulinitasnya dengan mencari nafkah atau gemar berolahraga maka dianggap sebagai mengingkari kodratnya. Begitu pula dengan lelaki yang mengembangkan femininitasnya dengan berhias atau melakukan kerja rumah tangga juga dianggap mengingkari kodratnya bahkan bisa dianggap sakit karena bertindak tidak sesuai dengan harapan masyarakat (Suwarno, 2004). Hal ini dikarenakan dalam model tradisional menyebutkan bahwa maskulinitas dan feminitas merupakan titik-titik yang berlawanan pada sebuah kontinum yang bipolar.

  Pengukuran yang ditujukan untuk melihat maskulinitas dan feminitas menyebabkan derajat yang tinggi dari maskulinitas yang menunjukkan derajat feminitas menunjukkan derajat yang rendah dari maskulinitas (Nauly, 2003). Dengan pengukuran yang bersifat bipolar ini memiliki konskuensi, yaitu dimana individu-individu yang memiliki ciri-ciri maskulinitas dan feminitas yang relatif seimbang tidak akan terukur, sehingga menimbulkan reaksi dengan dikembangkannya model yang bersifat non tradisional (Nauly, 2003).

  Perbedaan skor yang besar pada hasil penelitian dari Bem Sex Inventory (1974) antara sifat maskulin dan feminin (dengan skor maskulin yang tinggi dan skor feminin yang rendah atau sebaliknya) adalah indikasi orang yang memiliki tipe jenis kelamin yang jelas atau sex typed, dan apabila berkebalikan pada kedua jenis kelamin disebut cross sex typed. Skor yang kecil antara sifat maskulin dan feminin (dengan skor maskulin dan feminin yang kira-kira hampir sama atau seimbang) adalah indikasi orang androgini. Kesimpulannya berarti orang yang memiliki sifat androgini adalah individu yang tidak membedakan sifat maskulin dan feminin dalam mendeskripsikan dirinya sendiri, jadi tidak ada perbedaan dalam hal dukungan diri individu terhadap atribut-atribut maskulin dan femininnya. Cara yang dilakukan oleh Bem diatas disebut model balance (Bem, 1974). Akan tetapi model balance yang digunakan Bem pertama kali itu ternyata diakui sendiri oleh Bem (1975, 1977) memiliki kelemahan, yaitu tidak adanya pembedaan dalam hal mengkategorisasikan orang androgini yang memiliki skor tinggi dan yang memiliki skor rendah padahal mereka sebetulnya berbeda, karena itu perlu penandaan yang lebih jelas tentang hal tersebut. Penyekoringan yang dilakukan oleh Bem dalam penelitiannya dirinya mengasumsikan bahwa berlawanan. Setelah dirinya mengasumsikan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda, dirinya membuat tipe berdasarkan jenis kelaminnya seperti: laki-laki maskulin atau perempuan feminin, tipe kebalik laki-laki feminin dan perempuan maskulin, laki-laki atau perempuan androgini (memiliki keduanya), laki-laki atau perempuan andorgini yang memiliki deskripsi diri sesuai dengan prasangka terhadap laki-laki maupun perempuan, atau sebuah tipe yang tidak dapat dibedakan dalam memberikan dukungan pada prasangka baik laki-laki ataupun perempuan. Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Bem teridentifikasi bahwa sepertiga dari semua laki-laki yang dites sesuai dengan tipe gender maskulin dan sekitar sepertiga dari perempuan sesuai dengan tipe gender feminin, sepertiga laki-laki yang lain dan sepertiga yang lain sesuai dalam kategori andorgini dan sisanya masuk dalam kategori tidak dapat dibedakan atau kategori cross-gender. Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa ada efek dari peran gender dan ada hubungannya dengan feminin dan maskulin.

C. Hubungan antara Peran Gender dengan Prasangka terhadap Kepemimpinan Perempuan dalam Politik

  Dengan munculnya modern dan globalisasi yang tidak bisa terelakan lagi isu tentang gender ini telah menjadi perdebatan banyak kalangan. Modernitas menawarkan visi dan misi tentang perubahan tatanan sosial yang sudah lama dipahami dan dianut yaitu; untuk terus bergerak maju menuju kehidupan yang lebih baik. Misalnya semakin terbukanya kesempatan perempuan untuk mengaktualisasikan seluruh potensinya dalam berbagai bidang kehidupan. lakiakan tetapi, dalam setiap kegiatan sangat jarang dilibatkan selain itu meskipun perempuan sudah banyak yang mengutarakan pendapatnya tetapi pendapat tersebut jarangdilaksanakan, hal ini merupakan gambaran mengenai adanya prasangka terhadap perempuan (Martha dan Hastuti, 2013).

  Penyebabnya perempuan masih berada di posisi kedua setelah laki-laki atau masih diprasangkai sebagai mahluk yang berada di bawah kepemimpinan laki-laki, sehingga dalam pengambilan keputusan, berkaitan dengan kehidupan sosial, politik ekonomi maupun kehidupan pribadi itu sendiri umumnya perempuan tidak memiliki hak suara apalagi hak untuk mengambil dan menjalankan keputusan Hamka (2012). Selanjutnya Wahyuni & Esti (Sastriyani, 2009) mengatakan, hambatan tersebut diantaranya norma-norma budaya atau sosial-kultural, keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, kriteria, karakteristik yang dimiliki laki-laki maupun perempuan dari masyakarat itu sendiri, yang dikaitkan dalam ranah negara dan ranah rumah tangga.

  Dalam masyarakat tradisional yang masih menganut sistem patriarkhi (sistem yang menempatkan laki-laki pada posisi utama dan perempuan pada posisi kedua) masih terjadi pemisahan tajam pada sifat, aktivitas dan peran gender antara laki-laki dan perempuan, yang dianggap hanya khas dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin. Misalnya sifat maskulin (berani, kasar, tegas), aktivitas maskulin (gemar olahraga), dan peran maskulin (mencari nafkah bagi keluarga) dianggap khas milik laki-laki, sedangkan sifat feminin (takut, lembut, penurut), aktivitas feminin (menari, memasak), dan peran feminin (melakukan kerja rumah tangga, nilai yang dianut oleh masyarakat sosial setempat, yang merupakan sikap, atribut dan perilaku yang dianggap sesuai untuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Jika harapan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tidak sesuai dengan pemikiran, pengalaman nyata dan kongkret yang telah ditanamkan (kognitif) oleh masyarakat dan keluarga dapat menimbulkan rasa marah, kesal, ketakutan (afektif) hingga menimbulkan sebuah prasangka kepada kepemimpinan perempuan dalam politik seperti antipati, suka tidak suka, kebencian, konflik kecenderungan tidak memberi pertolongan, menjauhkan diri dari kelompok yang diprasangkainya (konatif) (W.J.Thomas dalam Ahmadi, 2009).

  Pemikiran-pemikiran tersebut berupa bahwa dunia politik merupakan wilayah yang tidak boleh dimasuki dan disentuh perempuan, dunia politik adalah dunia milik laki-laki yang cara pandangannya selalu maskulin (Manurung dalam Sastriani, 2009). Dari sanalah prasangka terhadap kepemimpinan perempuan dalam politik seringkali disangkutpautkan dengan peran gender atau peran jenis kelamin. Prasangka tersebut berupa suatu keyakinan ini, berakar pada pemikiran- pemikiran kuno. Adapun bentuk dari prasangka terhadap perempuan yakni; keterlibatannya perempuan dalam ranah publik atau terjunnya perempuan sebagai pemimpin dalam politik dikaitkan dengan peran gender hal ini dapat terjadi karena berawal dari persepsi gender. Menurut Fakih (2004) prasangka terhadap gender tersebut telah terjadi sejak usia dini tidak hanya mempengaruhi aspek emosi, kognitif suatu individu, melainkan juga mempengaruhi fisik dan biologisnya secara evolutif. Proses tersebut akhirnya melibatkan perempuan lebih menimbulkan kerugian, salah satu kerugian itu berupa tindakan intimidasi (Mose,2004).

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki budaya patriarki yang mengatakan bahwa perempuan itu seharusnya tidak bekerja di sektor publik tapi hanya di sektor domestik atau dapat dikatakan seharusnya bekerja sesuai peran seksnya masing-masing. Misalnya laki-laki berani, kasar, tegas, kuat, mencari nafkah bagi keluarga, berwibawa dalam menghadapi masalah, sedangkan perempuan takut, lembut, penurut, menari, memasak, melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak dari kehassan yang di milik laki- laki maupun perempuan inilah di anggap dan diyakini bahwa laki-laki lebih mampu menahan semua cobaan dari pada perempuan. Dari pemisahan tajam antara laki-laki dan perempuan, yang dianggap hanya khas dimiliki oleh masing- masing jenis kelamin. Jika seseorang tidak mengikuti nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat berdasarkan pemikiran, pengalaman nyata dan kongkret. Maka akan menimbulkan sebuah prasangka yang akan ditunjukkan melalui rasa marah, kesal, ketakutan (afektif) hingga menimbulkan sebuah prasangka kepada kepemimpinan perempuan dalam politik seperti antipati, suka tidak suka, kebencian, konflik kecenderungan tidak memberi pertolongan, menjauhkan diri dari kelompok yang diprasangkainya (konatif) (Baron & Bryne, 2003).

D. Hipotesis

  Ada hubungan antara peran gender dengan prasangka terhadap kepemimpinan perempuan.