PERBEDAAN KECEMASAN ANTARA AYAH DAN IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS Skripsi

  PERBEDAAN KECEMASAN ANTARA AYAH DAN IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS Skripsi Diajukan sebagai salah satu syarat meraih gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Pskologi

  Universitas Sanata Dharma Yogyakarta disusun oleh:

  

Juniati Sembiring

999114077

  PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

  

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini kupersembahkan untuk :

Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu setia

mengasihiku.

Kedua orang tuaku; A. Sembiring & J. Singarimbun.

  

Adikku Maria Elsa Maya Sari Sembiring.

iv

  

Sebuah Pesan

Menjadi dewasa dalam dunia berbahaya ini sulit dan

menakutkan.

  

Bagaimana kau bisa hidup sesuai dengan janji-janji masa

depan?

Kau telah diberi contoh bahwa Tuhan sudah mempunyai

rencana.

  

Kami mendukungmu untuk menerima setiap tantangan

dengan kekuatan dan keyakinan, dengan kesabaran dan

keseimbangan.

Bersikaplah jujur, lembut dan selalu memaafkan.

Melalui bela rasa kau akan belajar cara hidup bersama

penuh pengertian.

  

Bertualanglah dengan mata terbuka lebar.

Untuk bekal perjalanan, seringlah menengok ke alam

sadar.

  

Carilah pantun, gairah, keindahan, dan seni.

  

Simpan sihir dan keajaiban dekat hati.

v

  

Rayakan kegagalan dengan satu lagi upaya.

Hargailah kekayaan yang tak dapat dibeli raga.

Bersyukurlah atas kekayaan, tapi ketahuilah apa

taruhannya.

  

Dan kembalikan ke bumi apa yang kau ambil, dengan

lebih banyak upaya.

  

Tanami kebun, beri makan merpati, berjalan pelan di atas

salju.

  

Dengan memelihara semua kehidupan, kau membantu

dirimu sendiri melaju.

  

Jadilah sepolos kanak-kanak, sering tertawa, dan

membagi setiap ceria.

  

Hormatilah sang wanita dewasa, ingat sang bocah remaja.

  

Menangislah karena film sedih dan ketika berduka.

  

Air mata adalah cara hati memberi pelipur lara.

Belajarlah dari penderitaanmu, untuk membantumu

bijaksana.

  

Yang terutama, ingatlah bahwa cinta tak pernah sirna.

vi

  

vii

  

Lalu, ketika menyusuri kilometer terakhir yang bisa kau

ukur,

Lihatlah kebelakang dengan senyum penuh syukur,

Ingatlah semua wajah yang membantu menerangi

perjalananmu.

Ucapkan terima kasih atas cinta mereka dan ingatlah hari

ini selalu.

  • ---Tom Witte---

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 31 Oktober 2007 Penulis (Juniati Sembiring)

viii

  

Abstrak

Perbedaan Kecemasan Antara Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak autis

Juniati Sembiring

Universitas Sanata Dharma

  

2007

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya perbedaan kecemasan

antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis. Hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini yaitu, ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki

anak autis

  Penelitian ini adalah penelitian komparatif. Subjek penelitian ini berjumlah 80

orang, yang terdiri dari 40 orang ayah dan 40 orang ibu. Metode pengambilan data

dilakukan dengan memberikan skala kecemasan kepada subjek. Skala kecemasan

tersebut diuji validitasnya melalui professional judgement yang dilakukan oleh dosen

pembimbing skripsi, seleksi item dan uji reliabilitas.

  Data penelitian dianalisis dengan independent sample t-test dari program

SPSS for windows versi 12,00. Hasil analisis uji-t menunjukkan harga t sebesar 3,471

dengan probabilitas (p) 0,001 (<0,05). Mean subjek ayah adalah 114,8250 dan mean

subjek ibu 133,7250. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ada

perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis, dimana

kecemasan ibu lebih tinggi daripada kecemasan ayah.

  Kata kunci: Anak autis, Kecemasan, ayah dan ibu

ix

  

Abstract

A difference of Anxiety Between Father And Mother Whose Have A Child With

Autism

Juniati Sembiring

  

Sanata Dharma University of Yogyakarta

2007

This research aimed to see the difference of anxiety between father and

mother owning autism child. This research hypothesis was there is a difference of

anxiety between father and mother whose have child with autism.

  This research was comparative research. The amount of subject in this

research were 80 people, consisted by 40 father and 40 mother. The method of data

collecting was conducted by giving anxiety scale to subject. The anxiety scale tested

its validity through professional judgement conducted by counsellor lecturer, item

selection and reliability tested.

  Research data analysed by independent sample t-test from SPSS for Windows

12.00 version program. T-test analyzing result showed the t value equal to 3,471 and

the probability (p) 0,001 (< 0,05). Mean of father was 114,8250 and mean of mother

was 133,7250. Pursuant to inferential analysis result that there was a difference of

anxiety between father and mother whose have a child with autism, and mother’s

anxiety was higher than father.

  Keyword : autism child, anxiety, father and mother

x

KATA PENGANTAR

  Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas

kasih sayang dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini

memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis tetap terbuka terhadap kritik dan

saran yang membangun dari para pembaca.

  Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak, yang membantu penulis dalam menghadapi kesulitan-kesulitan

yang penulis temukan selama proses penyusunan skripsi ini. Dalam kesempatan ini

penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada:

  1. Tuhan Yesus Kristus, atas banyak keajaiban-keajaiban kecil yang telah dianugerahkan kepada penulis selama pembuatan skripsi ini.

  2. Bapak dan Ibuku tercinta, yang penuh kesabaran, selalu menyayangi, mendukung dan mempercayaiku.

  3. Adikku Maya atas kasih sayang dan dukungannya selama proses penulisan skripsi ini.

  4. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

xi

  

5. Ibu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si, selaku Kaprodi fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma yang selalu menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

  

6. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi. yang telah membimbingku selama proses

pengerjaan skripsi ini.

  

7. Bapak T.Priyo Widiyanto, M.Si dan Bapak Minta Istono, M.Si atas kritik dan

saran yang telah diberikan.

  

8. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah

mendidik dan membimbingku selama kuliah.

  

9. Seluruh staff seketariat dan laboratorium Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma atas bantuannya

  

10. Almarhum Bapak Tengah dan Mamak Tengah yang telah menerimaku di

rumah, selalu menolongku saat mengalami kesulitan dan memperlakukanku seperti anak sendiri.

  

11. Keluarga Pdt. Petrus Ginting, khususnya Ibu Ginting. “Makasih ya Kak atas

bantuannya nyari subjek penelitian di Sarjito”

  

12. Ruben adik sepupuku, atas pinjaman komputernya “Jangan manja terus dek,

kan udah STM, dengerin kata-kata dan nasehat Mama. Semua itu untuk kebaikan Ruben loh

  

13. Bibiku Martha Sinuraya. “Bagaimanapun, Kalau ga ada bibi Uni ga akan

sampai di Yogya” xii

  

14. Samuel, kakak sepupuku, “Thanks ya bang untuk sms-sms Ayo cepat

lulusnya”

  

15. Sarah Sinuraya dan Susi Sinuraya, “Melalui kakak aku lebih mengenal dan

mengasihi Yesus”

  

16. Bang Makmur yang sering bertanya “Udah selesai belum skripsinya?”

sehingga memacu semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

  

17. Sahabatku Yussri yang memberi warna dalam hari-hariku “Ga nyangka ya

kita jadi deket, makasih atas buku statistiknya. Hidup naruto, hidup bleach, hidup anime.”

  

18. Sahabatku Kristianus Siahaan, “Walau 12 tahun kita ga ketemu, tapi berkat

Hp kita tetap berteman dan saling support. Makasih karena selalu menyemangatiku untuk cepat lulus”

  

19. Temen-temenku, Vincent, Yuyun, Tony, Andi, Abas yang telah berbagi

informasi ataupun mengajariku selama proses penyusunan skripsi ini.

  

20. Temen-temenku Agung dan Riyadi yang telah membantuku dalam mencari

subjek penelitian untuk skripsi ini.

  

21. Temen-temenku ex-CSP & NICCO Japan Platform; Mba Nita, Mba Octi,

Yussri, Janti, Dendi, Daniel, Mas Anto, Dimas, Lisa, Pak Hadi, Pak Kukuh, Pak Seno, Pak Sarjono, Sato, Kubo, Yumi, Eiko, “terimakasih atas xiii

  kesempatan dan atas pelajaran hidup yang aku terima saat kita masih bekerjasama”

  

22. Terakhir buat semua pihak yang telah terlibat dalam proses penulisan skripsi

ini baik secara moral maupun material yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, dengan sepenuh hati penulis ucapkan terimakasih. xiv

  DAFTAR ISI Halaman Judul i

  

Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi ii

Halaman Persembahan iii Halaman Motto iv Pernyataan Keaslian Karya vi Abstrak vii Abstract viii Kata Pengantar ix Daftar Isi xii Daftar Tabel xv

BAB I PENDAHULUAN

  1 A. Latar Belakang

  1 B. Perumusan Masalah

  8 C. Tujuan Penelitian

  8 D. Manfaat Penelitian

  8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  10 A. Kecemasan

  10

1. Pengertian Kecemasan

  10

2. Aspek-Aspek Kecemasan

  13 xv

  3. Sumber-Sumber Kecemasan

  15 B. Ayah dan Ibu

  18

  

1. Peran Ayah dan Ibu dalam Keluarga

  18

  2. Peran Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis

  20 C. Anak Autis

  22

  1. Pengertian Autis

  22

  2. Gejala Autisme

  25

  3. Penyebab Autisme

  29 D. Perbedaan Kecemasan Ayah dan Ibu yang

  38 Memiliki Anak Autis

E. Hipotesis

  41 BAB III METODE PENELITIAN

  42 A. Jenis Penelitian

  42 B. Identifikasi Variabel Penelitian

  42 C. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

  42 D. Subjek Penelitian

  44 E. Metode Pengumpulan Data

  44 F. Validitas dan Reabilitas

  46 G. Metode Analisis Data

  48 BAB IV PELAKSANAAN PENELITIAN

  50 xvi

DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

  50 B. Analisis item dan Uji Reabilitas

  51 C. Deskripsi Data Penelitian

  53

  1. Deskripsi Berdasarkan Mean Empirik dan

  53 mean teoririk

  2. Kategorisasi Jenjang

  54 D. Analisis Data

  55

  1. Hasil Uji Asumsi

  55

  2. Uji Hipotesis

  57 E. Pembahasan

  58 BAB V PENUTUP

  65 A. Kesimpulan

  65 B. Saran

  65 Daftar Pustaka

  67 Lampiran

  71 xvii

  DAFTAR TABEL

  54

  9. Rangkuman Hasil Uji Hipotesis (Independent Sample t-test)

  56

  8. Hasil Uji Homogenitas Varians

  56

  7. Hasil Penghitungan Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov

  55

  6. Kategorisasi Kecemasan Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis

  5. Norma Kategorisasi

  1. Blue Print Skala Kecemasan Ayah dan Ibu yang Memiliki

  53

  4. Deskripsi Data Penelitian

  52 yang Memiliki Anak Autis Setelah Uji Coba

  3. Table Spesifikasi Skala Kecemasan antara Ayah dan Ibu

  52 yang Memiliki Anak Autis

  2. Tabel Spesifikasi Skala Kecemasan Antara Ayah Dan Ibu

  45 Anak Autis

  57 xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memiliki anak normal, sehat jasmani dan rohani merupakan dambaan

  setiap orang tua dan keluarga. Semenjak anak dalam kandungan, orang tua terutama ibu selalu menjaga kondisi fisik dan psikisnya agar bayi yang dikandungnya lahir dengan sehat dan normal. Harapan dan cita-cita orang tua dan keluarga atas bayi yang dikandung begitu besar, namun kenyataan yang dialami belum tentu sama dengan harapan. Anak yang dilahirkan dapat mengalami kelainan tertentu salah satunya adalah gangguan autisme.

  Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Autis adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormal yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan ciri fungsi yang abnormal dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Judarwanto, 2004). Mereka tidak mampu mengekspresikan perasaan maupun keinginannya, yang mengakibatkan perilaku dan hubungannya dengan orang tua terganggu. Pemakaian istilah autis kepada penyandang pertama kali diperkenalkan oleh Leo Karner, seorang psikiater dari Harvard pada tahun 1943. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan hasil pengamatannya terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh (Judarwanto, 2004).

  Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat di berbagai

belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen

sejak 1980. Di

Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada

60.000 – 15.000 anak di bawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan

prevalens autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan

1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan

angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 di antara 10 anak

menderita autisma. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini

belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun diperkirakan

jumlah anak autis dapat mencapai 150 -–200 ribu orang. Perbandingan antara

laki dan perempuan adalah 2,6 – 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena

akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Judarwanto, 2004).

  Ciri khas anak autis adalah sejak dilahirkan mempunyai kontak sosial

yang sangat terbatas. Perhatiannya hampir tidak tertuju pada orang-orang lain,

melainkan hanya pada benda-benda mati. Dalam bidang kognitif anak autis

mempunyai ingatan yang baik tetapi tegar, fantasi yang kurang, pengamatan

yang baik dan perkembangan bahasa terlambat. Anak autis terganggu dalam

interaksi sosialnya, berkomunikasi, serta bertingkahlaku dan tertarik pada

sesuatu yang berulang, terbatas, dan khas (Monks dkk, 1991).

  Ginanjar (2007) mengemukakan bahwa ciri-ciri awal yang dapat

diketahui dari seorang anak autis adalah jika sampai umur 12 bulan tidak ada

babbling (kata-kata baba baba baba, dst), sampai umur 18 bulan belum keluar

  

satu kata pun atau bila sampai usia 24 bulan belum dapat membentuk satu

kalimat sederhana atau menyebut sesuatu tidak dalam konteks sebenarnya

seperti menyebut kata ”mama” pada semua perempuan. Ciri autis pada anak

usia besar, yaitu adanya gangguan berbahasa, verbal maupun nonverbal.

  

Selain itu, bisa juga berupa gangguan interaksi dengan anak seumurnya, tidak

mau bergaul, tidak mau bermain, perilakunya aneh, goyang-goyang terus

(body rocking), memutar badan (spin) tanpa efek apa-apa, atau kalau diberi

mainan, tidak digunakan untuk fungsi yang sesungguhnya.

  Elmira (2002) mengungkapkan ciri-ciri anak yang menderita autisme,

yaitu: 1) adanya gangguan komunikasi verbal dan non-verbal, seperti

terlambat bicara, mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti, membeo,

meniru kata tanpa mengerti makna dan bila ingin sesuatu benda, anak itu

menarik tangan orang lain untuk menjangkau benda tersebut, 2) mengalami

gangguan interaksi sosial berupa menolak atau menghindar untuk bertatap

mata, tidak menengok bila dipanggil namanya, menolak untuk dipeluk, asyik

main sendiri, tidak mau bergabung dengan orang lain dan bila didekati, malah

menjauh, 3) gangguan perilaku, misalnya menunjukkan perilaku berlebihan

dan sebaliknya kekurangan, dan 4) gangguan emosi atau perasaan, misalnya

tergugah perasaan bila menghadapi stimulasi emosi dari lingkungan, tertawa

sendiri atau marah tanpa sebab, mengamuk tak terkendali bahkan menjadi

agresif dan destruktif.

  Dampak kondisi autisme terhadap perilaku anak autis bisa berlebihan

dan kekurangan. Perilaku berlebihan misalnya hiperaktif, melompat-lompat,

  

lari ke sana-sini takterarah, berputar-putar atau mengulang-ulang gerakan

tertentu. Sedang perilaku kekurangan seperti bengong, tatapan matanya

kosong, bermain dengan monoton, kurang variatif dan biasanya dilakukan

secara berulang-ulang (Yusuf, 2003). Kusuma (2005) mengatakan bahwa anak

autis memiliki beberapa masalah diantaranya tidak mampu bergaul, berbicara

dan bertingkahlaku dengan baik, mereka tidak memahami apa yang orang lain

ucapkan, dan kurang bisa mengendalikan emosi.

  Safaria (2005) mengemukakan ada berbagai reaksi yang sering dialami

oleh para orang tua saat mengetahui bahwa anaknya menyandang autisme,

beberapa diantaranya yaitu: pertama, shock. Perasaan shock menimbulkan

dampak negatif secara fisik seperti tubuh yang lemas, dingin, dada yang sesak,

merasa mual hingga hampir pingsan; kedua, perasaan menolak keadaan.

Orang tua tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya menyandang

autisme, mereka berusaha mencari berbagai pengobatan, berganti-ganti dokter

termasuk pengobatan alternatif; ketiga, perasaan tidak berdaya. Setelah dapat

menerima keadaan anak, orang tua mulai mencari sebanyak mungkin

informasi tentang autis. Saat mereka memperoleh informasi-informasi

tersebut, timbul perasaan tidak berdaya karena banyaknya biaya yang harus

dikeluarkan atau besarnya tuntutan akan perhatian orang tua terhadap anak.

Pada tahap ini, jika ayah dan ibu tidak saling mendukung maka beban dalam

keluarga tersebut semakin bertambah; keempat, kecemasan, bisa berbentuk

kesedihan akan nasib anak di masa depan, apa yang akan terjadi, bagaimana

anak harus hidup kelak, bagaimana kalau di tengah jalan orang tua meninggal,

  

bagaimana pendapat orang di lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Jika

perasaan-perasaan negatif itu terus berlanjut, orang tua menjadi depresi atau

stress.

  Salah satu reaksi yang muncul saat orang tua mengetahui bahwa

anaknya menyandang autisme adalah kecemasan. Kecemasan merupakan

emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti

kekhawatiran, dan perasaan takut. Segala bentuk situasi yang mengancam

kesejahteraan organisme dapat menumbuhkan kecemasan. Adanya ancaman

fisik, ancaman terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan

sesuatu di luar kemampuan juga menumbuhkan kecemasan (Atkinson,1996).

  Noor (2003) menjelaskan bahwa kecemasan yang dialami orang tua

penderita autisme dapat muncul dalam bentuk reaksi fisik, psikis maupun

perilaku. Berbagai keluhan seperti miggrain, sesak nafas, maag dan keluhan

lain berupa sulit tidur, nafsu makan menurun, konsentrasi menurun, mudah

tersinggung dan marah bahkan ada yang lebih berat lagi seperti depresi. Gejala

tersebut bersifat sangat individual dalam arti tidak semua orang tua yang

mempunyai anak autis mengalami keluhan-keluhan tersebut. Sementara itu,

reaksi masing-masing orang tua atas kondisi anak autis berbeda-beda. Hal ini

disebabkan adanya perbedaan informasi, kesiapan mental untuk menerima

kenyataan, tingkat berat ringannya gangguan yang dialami dan dukungan yang

didapat dari keluarga dan masyarakat (Dewo, 2006).

  Kecemasan ini kadang-kadang begitu mengganggu sehingga membuat

orang tua tidak sempat lagi untuk berbagi perhatian pada anaknya yang lain

  

(Safaria, 2005). Adriana (2003) menambahkan bahwa kecemasan yang

dialami orang tua yang mempunyai anak autis yaitu terkait dengan kesulitan

anak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, kesulitan untuk menemukan

sekolah yang bersedia menerima kondisi anak, dan besarnya biaya yang harus

dikeluarkan.

  Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sebagai orang

tua, tentu saja muncul kecemasan atas kondisi anaknya yang mengalami

gangguan autis. Pupusnya impian, harapan, kebingungan, kekhawatiran atas

masa depan anaknya, dan biaya finansial yang harus dikeluarkan merupakan

suatu kecemasan yang dialami orang tua. Namun demikian, kecemasan yang

dirasakan oleh orang tua (ayah dan ibu) yang mempunyai anak autis

cenderung berbeda. Berdasarkan hasil penelitian dalam kelompok kecil yang

pernah dilakukan oleh Adriana, pada tahun 1999, dikatakan bahwa orang tua

mengalami stress, kecemasan bahkan ada yang depresi setelah mengetahui

anaknya menderita autis. Biasanya pihak ibu berperan aktif mencoba berbagai

terapi dan pengobatan, sementara pihak ayah tidak (Adriana, 2003). Jika

dikaitkan dengan peran ibu dan ayah secara tradisional, dimana peran ayah

adalah seorang kepala keluarga, tokoh identifikasi keluarga, dan penghubung

dengan dunia luar, sedangkan peran ibu adalah seseorang yang membimbing

dan mendidik anak sejak dalam kandungan, merawat, membesarkan, dan

mendidik anak hingga tumbuh dewasa (Supriyadi, 2006), maka sudah

sewajarnya jika peran aktif ibu dalam perkembangan dan pertumbuhan anak

lebih besar dari pada ayah. Oleh karena ibu yang lebih intensif merawat dan

mendampingi anak, maka ibu lebih mengetahui keadaan anak daripada ayah.

  

Hal ini menyebabkan kecemasan yang dirasakan oleh ibu lebih besar dari pada

ayah. Selain itu, menurut Trismiati (2004) secara psikologis wanita lebih

mudah cemas daripada pria.

  Berdasarkan wawancara singkat peneliti di saat pra penelitian dengan

ayah dan ibu yang memiliki anak autis menunjukkan bawah ibu lebih cemas

daripada ayah. Ibu lebih teliti dalam memperhatikan dan mengikuti

perkembangan anak sehingga mengakibatkan ibu lebih sensitif terhadap

perkembangan anak dan ibu cenderung lebih mudah merasa bersalah, dengan

alasan subjektif bahwa dialah sumber penyebab gangguan yang diderita

anaknya karena tugas ibulah menjaga dan mendidik anak, sedangkan ayah

lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah baik untuk bekerja maupun

aktivitas yang lain sehingga pengetahuannya mengenai perkembangan anak

lebih sedikit daripada ibu. Selain itu para ayah tersebut mengatakan bahwa

mereka adalah laki-laki oleh sebab itu mereka tidak boleh lemah dan cengeng.

Menurut peneliti, pernyataan para ayah tersebut disebabkan adanya perbedaan

pola asuh dan tuntutan sosial terhadap laki-laki dan perempuan, dimana

seorang laki-laki di harapkan untuk maskulin dan perempuan feminin..

  Walaupun laki-laki dituntut dan diasuh untuk maskulin dan perempuan

harus feminin, tetapi maskulinitas maupun feminitas antara individu yang satu

dengan yang lainnya berbeda. Begitu pula dengan kecemasan, besar kecilnya

kecemasan antara individu berbeda. Dengan stimulus yang sama seorang laki-

laki bisa merasa lebih cemas daripada laki-laki lainnya, dan seorang

perempuan merasa lebih cemas daripada perempuan lainnya. Pernyataan ada

perbedaan kecemasan antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan cenderung lebih cemas daripada laki-laki sudah bukan rahasia lagi, tetapi tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari adakalanya seorang laki-laki lebih merasa cemas daripada perempuan saat berada dalam situasi tertentu. Bagaimana bila situasi atau keadaannya adalah laki-laki dan perempuan tersebut memiliki anak yang menderita autis? Dengan alasan tersebut ada

kemungkinan laki-laki akan lebih cemas daripada perempuan atau sebaliknya.

  Berdasarkan teori-teori yang menyatakan bahwa ibu cenderung lebih cemas akan keadaan anak karena ibulah yang intensif merawat dan memelihara anak sejak dalam kandungan hingga dewasa dan kemungkinan- kemungkinan laki-laki lebih cemas daripada perempuan dalam situasi dan kondisi tertentu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan membuktikan apakah ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis? Siapakah yang paling cemas, ayah atau ibu?

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut: ”Apakah ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis”?

  C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis.

  D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, antara lain sebagai berikut:

  1. Manfaat Teoritis Memberikan informasi mengenai perbedaan kecemasan ayah dan ibu dari anak autis sehingga dapat menambah khasanah pengetahuan psikologi pada umumnya dan khususnya pada psikologi klinis.

  2. Manfaat Praktis Bagi orang tua, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan refleksi dan evaluasi mengenai perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu. Dengan merefleksi dan mengevaluasi kehidupan keluarga selama ini, orang tua belajar untuk mengubah sikap dan perilakunya terhadap pasangan dan anak-anak sehingga bisa mengurangi kecemasan yang dirasakan oleh pasangannya.. Bila selama ini ayah menyerahkan seluruh tugas perawatan anak kepada ibu, dengan mengetahui bahwa hal tersebut dapat membuat ibu menjadi sangat cemas dan kecemasan tersebut bisa mempengaruhi kesehatan dan kinerja ibu sehari-hari maka ayah diharapkan mengambil bagian dalam tugas ibu dalam merawat dan memelihara anak, misalnya menemani ibu melakukan terapi pada anak, bergaul dengan anak di rumah, mendiskusikan segala sesuatu demi perkembangan anak dan lain sebagainya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan

  Kecemasan (anxiety) adalah suatu kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan merupakan respon yang tepat terhadap ancaman atau terhadap perubahan lingkungan, tetapi bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proposi ancaman atau datang tanpa ada penyebabnya (Nevid dkk, 2003). Kecemasan atau dalam bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik (Trismiati, 2004).

  Menurut Atkinson (1996) kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti kekhawatiran, dan perasaan takut. Segala bentuk situasi yang mengancam kesejahteraan organisme dapat menumbuhkan kecemasan. Adanya ancaman fisik, ancaman terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan juga menumbuhkan kecemasan. Johnston (dalam Trismiati, 2004) menyatakan kecemasan dapat terjadi karena kekecewaan, ketidakpuasan, perasaan tidak aman atau adanya permusuhan dengan orang lain.

  Freud (Boeree, 1997) menjelaskan kecemasan merupakan tanda peringatan bagi individu bahwa ia dalam bahaya, memberi isyarat pada ego untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Ego “keakuan” berdiri di tengah-tengah kekuatan-kekuatan dasyat yaitu: realitas masyarakat dan norma-

  

norma sosial atau peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar

sebagaimana yang direpresentasikan oleh superego; biologis, dorongan-

dorongan primitive sebagaimana yang direpresentasikan Id. Ketika terjadi

konflik di antara kekuatan-kekuatan ini untuk menguasai ego, maka ego akan

merasa terjepit dan terancam, serta merasa seolah-olah akan lenyap digilas

kekuatan-kekuatan tersebut. Perasaan terjepit dan terancam ini disebut

kecemasan.

  Handoyo (Farida, 2004) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu

keadaan emosional yang dialami oleh seseorang, dimana ia merasa tegang

tanpa sebab-sebab yang nyata dan keadaan ini memberikan pengaruh yang

tidak menyenangkan serta mengakibatkan perubahan-perubahan pada

tubuhnya baik secara somatis maupun psikologis. Perubahan-perubahan

somatis yang dimaksud yaitu mungkin timbulnya rasa mual, sering buang air

kecil, denyut jantung yang bertambah keras dan lain-lain. Sedangkan

perubahan-perubahan psikologis dapat ditemui seperti adanya perasaan ragu-

ragu, kurang percaya diri, kegelisahan, rasa rendah diri dan lain-lain.

  Menurut Sulivan (Feist & Feist, 2006) walaupun kecemasan bermula

dari rasa takut dan khawatir, namun masih bisa dibedakan dalam berbagai hal

yaitu; 1) Kecemasan biasanya berasal dari situasi-situasi interpersonal yang

kompleks dan hanya samar-samar disadari sedangkan ketakutan sumbernya

lebih jelas dan mudah diketahui. 2) Kecemasan tidak memiliki nilai-nilai

positif. 3) Kecemasan dapat menghalangi pemuasan dari kebutuhan-

kebutuhan, sedangkan ketakutan kadang-kadang membantu orang memuaskan

  

beberapa kebutuhan. Kekhawatiran, menurut Fabella (1993) berbeda pula

dengan kecemasan. Kekhawatiran berasal dari suatu situasi tertentu yang

diantisipasi oleh seseorang dan datang dari suatu masalah yang objektif (ujian,

masalah uang), sedangkan kecemasan merupakan suatu keadaan emosi yang

menyeluruh dan berasal dari masalah yang subjektif.

  Mulyadi (2003) menjelaskan kecemasan dapat berakibat buruk karena

mengganggu proses berpikir, konsentrasi dan dengan sendirinya juga

mengganggu proses belajar dan persepsi. Keadaan ini akan menimbulkan

hambatan-hambatan dalam tugas dan kehidupan sehari-hari. Selain itu, orang

yang dalam keadaan takut dan cemas cenderung untuk selektif dalam berpikir

dan menjadi tidak tajam pengamatannya terhadap hal-hal lain, kecuali akan

hal-hal yang menghantui pikiran dan kecemasannya. Akibatnya muncul sikap

apriori dan berprasangka. Kecemasan membahayakan manusia, merusak

kesehatannya, mengikis kemampuannya dan mengurangi penghargaan

terhadap dirinya.

  Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

kecemasan adalah suatu kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan segera

terjadi. Suatu keadaan kurang menyenangkan, yang menimbulkan rasa kurang

aman, tidak tentram dan perasaan terancam yang muncul karena adanya

rangsangan dari luar yang disertai dengan reaksi fisiologis dan reaksi

psikologis. Jika kecemasan berlangsung secara terus menerus, akan

menghambat individu dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan dapat

mempengaruhi kesehatan.

2. Aspek-aspek Kecemasan

  Langgulung (1986) mengemukakan bahwa aspek-aspek kecemasan terdiri dari:

a) Fisiologis, merupakan reaksi tubuh terutama oleh organ-organ yang

diasuh oleh saraf otonomi simpatik seperti jantung, peredaran darah, kelenjar, pupil mata dan siatem pembuangan. Dengan meningkatnya emosi atau perasaan cemas satu atau lebih organ-organ tersebut akan meningkat fungsinya sehingga dapat dijumpai meningkatnya jumlah asam lambung selama kecemasan atau meningkatnya detak jantung dalam memompa darah, sering buang air atau sekresi keringat yang berlebihan. Kadang-kadang individu mengalami rasa sakit yang berkaitan dengan organ yang meningkat fungsinya secara tidak wajar dalam situasi ini.

  

b) Psikologis, biasanya disertai dengan reaksi fisiologis misalnya adanya

perasaan tegang, bingung dan perasaan tidak menentu, terancam, tidak berdaya, rendah diri, kurang percaya diri, tidak dapat memusatkan perhatian dan adanya gerakan-gerakan yang tidak terarah atau tidak pasti. Selain itu reaksi psikologis dapat berupa peningkatan dorongan untuk berperilaku efektif.

  Menurut Trismiati (2004) simtom-simtom somatis yang dapat

menunjukkan ciri-ciri kecemasan adalah muntah-muntah, diare, denyut

jantung yang bertambah keras, seringkali buang air, nafas sesak disertai

tremor pada otot. Kecemasan ditandai dengan emosi yang tidak stabil,

sangat mudah tersinggung dan marah, sering dalam keadaan excited atau

gempar gelisah.

  Hawari (1996) menguraikan beberapa aspek kecemasan yang

sering dialami oleh individu yaitu memandang diri rendah, sulit untuk

merasa senang atau pemurung, mudah menangis, tidak ada kepercayaan

diri, mudah tegang dan gelisah, menghindari hal-hal yang tidak

menyenangkan, jantung sering berdebar-debar, mulut terasa kering,

berkeringat dan merasa takut mati.

  Penderita kecemasan sering mengalami gejala-gejala seperti

berkeringat berlebihan walaupun udara tidak panas dan bukan karena

berolahraga, jantung berdegup ekstra cepat atau terlalu keras, dingin pada

tangan atau kaki, mengalami gangguan pencernaan, merasa mulut kering,

merasa tenggorokan kering, tampak pucat, sering buang air kecil melebihi

batas kewajaran dan lain-lain. Mereka juga sering mengeluh pada

persendian, kaku otot, cepat merasa lelah, tidak mampu rileks, sering

terkejut, dan ada kalanya disertai gerakan-gerakan wajah atau anggota

tubuh dengan intensitas dan frekuensi berlebihan, misalnya pada saat

duduk terus menerus, menggoyang-goyangkan kaki, meregangkan leher,

mengernyitkan dahi dan lain-lain (Gunarsa dkk dalam farida, 2004).

  Mochtar (1998) menyatakan bahwa individu yang mengalami

kecemasan ditandai dengan nafas yang pendek-pendek, muncul diare,

kehilangan nafsu makan, lemas, pening, gemetar dan sering buang air

kecil. Selain ada perasaan tidak menentu, tidak berdaya, gugup dan sukar

untuk konsentrasi, kebanyakan dari individu yang mengalami kecemasan

menjadi kurang percaya diri, dan dianggap kurang menyenangkan bagi orang lain. Kecemasan berkaitan dengan ketidakpastian yang menimbulkan rasa was-was, apakah ada rasa aman dan terbebas dari penderitaan atau kemungkinan adanya ancaman.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecemasan dibedakan menjadi dua yaitu; aspek fisiologis, seperti sakit kepala, sulit tidur, buang air tidak seperti biasanya, jantung berdebar, sesak nafas, cepat lelah, nyeri otot, gangguan lambung ringan, dan ciri lainnya serta aspek psikologis, seperti perasaan khawatir, tegang, panik, perasaan tidak menentu, bingung, susah berkonsentari, gelisah, mudah tersinggung dan marah, tertekan serta tidak percaya diri sehingga perilakunya menjadi tidak efektif.

3. Sumber-sumber penyebab kecemasan

  Accocella dkk (1996) memaparkan sumber-sumber penyebab munculnya kecemasan dari beberapa sudut pandang teori :