PERBEDAAN KECEMASAN ANTARA AYAH DAN IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS Skripsi
PERBEDAAN KECEMASAN ANTARA AYAH DAN IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS Skripsi Diajukan sebagai salah satu syarat meraih gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Pskologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta disusun oleh:
Juniati Sembiring
999114077
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini kupersembahkan untuk :
Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu setia
mengasihiku.
Kedua orang tuaku; A. Sembiring & J. Singarimbun.
Adikku Maria Elsa Maya Sari Sembiring.
iv
Sebuah Pesan
Menjadi dewasa dalam dunia berbahaya ini sulit dan
menakutkan.
Bagaimana kau bisa hidup sesuai dengan janji-janji masa
depan?
Kau telah diberi contoh bahwa Tuhan sudah mempunyai
rencana.
Kami mendukungmu untuk menerima setiap tantangan
dengan kekuatan dan keyakinan, dengan kesabaran dan
keseimbangan.
Bersikaplah jujur, lembut dan selalu memaafkan.
Melalui bela rasa kau akan belajar cara hidup bersama
penuh pengertian.
Bertualanglah dengan mata terbuka lebar.
Untuk bekal perjalanan, seringlah menengok ke alam
sadar.
Carilah pantun, gairah, keindahan, dan seni.
Simpan sihir dan keajaiban dekat hati.
v
Rayakan kegagalan dengan satu lagi upaya.
Hargailah kekayaan yang tak dapat dibeli raga.
Bersyukurlah atas kekayaan, tapi ketahuilah apa
taruhannya.
Dan kembalikan ke bumi apa yang kau ambil, dengan
lebih banyak upaya.
Tanami kebun, beri makan merpati, berjalan pelan di atas
salju.
Dengan memelihara semua kehidupan, kau membantu
dirimu sendiri melaju.
Jadilah sepolos kanak-kanak, sering tertawa, dan
membagi setiap ceria.
Hormatilah sang wanita dewasa, ingat sang bocah remaja.
Menangislah karena film sedih dan ketika berduka.
Air mata adalah cara hati memberi pelipur lara.
Belajarlah dari penderitaanmu, untuk membantumu
bijaksana.
Yang terutama, ingatlah bahwa cinta tak pernah sirna.
vi
vii
Lalu, ketika menyusuri kilometer terakhir yang bisa kau
ukur,
Lihatlah kebelakang dengan senyum penuh syukur,
Ingatlah semua wajah yang membantu menerangi
perjalananmu.
Ucapkan terima kasih atas cinta mereka dan ingatlah hari
ini selalu.
---Tom Witte---
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.Yogyakarta, 31 Oktober 2007 Penulis (Juniati Sembiring)
viii
Abstrak
Perbedaan Kecemasan Antara Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak autis
Juniati Sembiring
Universitas Sanata Dharma
2007
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya perbedaan kecemasanantara ayah dan ibu yang memiliki anak autis. Hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini yaitu, ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki
anak autisPenelitian ini adalah penelitian komparatif. Subjek penelitian ini berjumlah 80
orang, yang terdiri dari 40 orang ayah dan 40 orang ibu. Metode pengambilan data
dilakukan dengan memberikan skala kecemasan kepada subjek. Skala kecemasan
tersebut diuji validitasnya melalui professional judgement yang dilakukan oleh dosen
pembimbing skripsi, seleksi item dan uji reliabilitas.Data penelitian dianalisis dengan independent sample t-test dari program
SPSS for windows versi 12,00. Hasil analisis uji-t menunjukkan harga t sebesar 3,471
dengan probabilitas (p) 0,001 (<0,05). Mean subjek ayah adalah 114,8250 dan mean
subjek ibu 133,7250. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis, dimana
kecemasan ibu lebih tinggi daripada kecemasan ayah.Kata kunci: Anak autis, Kecemasan, ayah dan ibu
ix
Abstract
A difference of Anxiety Between Father And Mother Whose Have A Child With
Autism
Juniati Sembiring
Sanata Dharma University of Yogyakarta
2007
This research aimed to see the difference of anxiety between father andmother owning autism child. This research hypothesis was there is a difference of
anxiety between father and mother whose have child with autism.This research was comparative research. The amount of subject in this
research were 80 people, consisted by 40 father and 40 mother. The method of data
collecting was conducted by giving anxiety scale to subject. The anxiety scale tested
its validity through professional judgement conducted by counsellor lecturer, item
selection and reliability tested.Research data analysed by independent sample t-test from SPSS for Windows
12.00 version program. T-test analyzing result showed the t value equal to 3,471 and
the probability (p) 0,001 (< 0,05). Mean of father was 114,8250 and mean of mother
was 133,7250. Pursuant to inferential analysis result that there was a difference of
anxiety between father and mother whose have a child with autism, and mother’s
anxiety was higher than father.Keyword : autism child, anxiety, father and mother
x
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas
kasih sayang dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini
memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis tetap terbuka terhadap kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca.Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, yang membantu penulis dalam menghadapi kesulitan-kesulitan
yang penulis temukan selama proses penyusunan skripsi ini. Dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada:1. Tuhan Yesus Kristus, atas banyak keajaiban-keajaiban kecil yang telah dianugerahkan kepada penulis selama pembuatan skripsi ini.
2. Bapak dan Ibuku tercinta, yang penuh kesabaran, selalu menyayangi, mendukung dan mempercayaiku.
3. Adikku Maya atas kasih sayang dan dukungannya selama proses penulisan skripsi ini.
4. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
xi
5. Ibu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si, selaku Kaprodi fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma yang selalu menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi. yang telah membimbingku selama proses
pengerjaan skripsi ini.
7. Bapak T.Priyo Widiyanto, M.Si dan Bapak Minta Istono, M.Si atas kritik dan
saran yang telah diberikan.
8. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah
mendidik dan membimbingku selama kuliah.
9. Seluruh staff seketariat dan laboratorium Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma atas bantuannya
10. Almarhum Bapak Tengah dan Mamak Tengah yang telah menerimaku di
rumah, selalu menolongku saat mengalami kesulitan dan memperlakukanku seperti anak sendiri.
11. Keluarga Pdt. Petrus Ginting, khususnya Ibu Ginting. “Makasih ya Kak atas
bantuannya nyari subjek penelitian di Sarjito”
12. Ruben adik sepupuku, atas pinjaman komputernya “Jangan manja terus dek,
kan udah STM, dengerin kata-kata dan nasehat Mama. Semua itu untuk kebaikan Ruben loh”
13. Bibiku Martha Sinuraya. “Bagaimanapun, Kalau ga ada bibi Uni ga akan
sampai di Yogya” xii
14. Samuel, kakak sepupuku, “Thanks ya bang untuk sms-sms Ayo cepat
lulusnya”
15. Sarah Sinuraya dan Susi Sinuraya, “Melalui kakak aku lebih mengenal dan
mengasihi Yesus”
16. Bang Makmur yang sering bertanya “Udah selesai belum skripsinya?”
sehingga memacu semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
17. Sahabatku Yussri yang memberi warna dalam hari-hariku “Ga nyangka ya
kita jadi deket, makasih atas buku statistiknya. Hidup naruto, hidup bleach, hidup anime.”
18. Sahabatku Kristianus Siahaan, “Walau 12 tahun kita ga ketemu, tapi berkat
Hp kita tetap berteman dan saling support. Makasih karena selalu menyemangatiku untuk cepat lulus”
19. Temen-temenku, Vincent, Yuyun, Tony, Andi, Abas yang telah berbagi
informasi ataupun mengajariku selama proses penyusunan skripsi ini.
20. Temen-temenku Agung dan Riyadi yang telah membantuku dalam mencari
subjek penelitian untuk skripsi ini.
21. Temen-temenku ex-CSP & NICCO Japan Platform; Mba Nita, Mba Octi,
Yussri, Janti, Dendi, Daniel, Mas Anto, Dimas, Lisa, Pak Hadi, Pak Kukuh, Pak Seno, Pak Sarjono, Sato, Kubo, Yumi, Eiko, “terimakasih atas xiiikesempatan dan atas pelajaran hidup yang aku terima saat kita masih bekerjasama”
22. Terakhir buat semua pihak yang telah terlibat dalam proses penulisan skripsi
ini baik secara moral maupun material yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, dengan sepenuh hati penulis ucapkan terimakasih. xivDAFTAR ISI Halaman Judul i
Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi ii
Halaman Persembahan iii Halaman Motto iv Pernyataan Keaslian Karya vi Abstrak vii Abstract viii Kata Pengantar ix Daftar Isi xii Daftar Tabel xvBAB I PENDAHULUAN
1 A. Latar Belakang
1 B. Perumusan Masalah
8 C. Tujuan Penelitian
8 D. Manfaat Penelitian
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
10 A. Kecemasan
10
1. Pengertian Kecemasan
10
2. Aspek-Aspek Kecemasan
13 xv
3. Sumber-Sumber Kecemasan
15 B. Ayah dan Ibu
18
1. Peran Ayah dan Ibu dalam Keluarga
18
2. Peran Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis
20 C. Anak Autis
22
1. Pengertian Autis
22
2. Gejala Autisme
25
3. Penyebab Autisme
29 D. Perbedaan Kecemasan Ayah dan Ibu yang
38 Memiliki Anak Autis
E. Hipotesis
41 BAB III METODE PENELITIAN
42 A. Jenis Penelitian
42 B. Identifikasi Variabel Penelitian
42 C. Defenisi Operasional Variabel Penelitian
42 D. Subjek Penelitian
44 E. Metode Pengumpulan Data
44 F. Validitas dan Reabilitas
46 G. Metode Analisis Data
48 BAB IV PELAKSANAAN PENELITIAN
50 xvi
DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
50 B. Analisis item dan Uji Reabilitas
51 C. Deskripsi Data Penelitian
53
1. Deskripsi Berdasarkan Mean Empirik dan
53 mean teoririk
2. Kategorisasi Jenjang
54 D. Analisis Data
55
1. Hasil Uji Asumsi
55
2. Uji Hipotesis
57 E. Pembahasan
58 BAB V PENUTUP
65 A. Kesimpulan
65 B. Saran
65 Daftar Pustaka
67 Lampiran
71 xvii
DAFTAR TABEL
54
9. Rangkuman Hasil Uji Hipotesis (Independent Sample t-test)
56
8. Hasil Uji Homogenitas Varians
56
7. Hasil Penghitungan Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov
55
6. Kategorisasi Kecemasan Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis
5. Norma Kategorisasi
1. Blue Print Skala Kecemasan Ayah dan Ibu yang Memiliki
53
4. Deskripsi Data Penelitian
52 yang Memiliki Anak Autis Setelah Uji Coba
3. Table Spesifikasi Skala Kecemasan antara Ayah dan Ibu
52 yang Memiliki Anak Autis
2. Tabel Spesifikasi Skala Kecemasan Antara Ayah Dan Ibu
45 Anak Autis
57 xviii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memiliki anak normal, sehat jasmani dan rohani merupakan dambaan
setiap orang tua dan keluarga. Semenjak anak dalam kandungan, orang tua terutama ibu selalu menjaga kondisi fisik dan psikisnya agar bayi yang dikandungnya lahir dengan sehat dan normal. Harapan dan cita-cita orang tua dan keluarga atas bayi yang dikandung begitu besar, namun kenyataan yang dialami belum tentu sama dengan harapan. Anak yang dilahirkan dapat mengalami kelainan tertentu salah satunya adalah gangguan autisme.
Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Autis adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormal yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan ciri fungsi yang abnormal dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Judarwanto, 2004). Mereka tidak mampu mengekspresikan perasaan maupun keinginannya, yang mengakibatkan perilaku dan hubungannya dengan orang tua terganggu. Pemakaian istilah autis kepada penyandang pertama kali diperkenalkan oleh Leo Karner, seorang psikiater dari Harvard pada tahun 1943. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan hasil pengamatannya terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh (Judarwanto, 2004).
Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat di berbagai
belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen
sejak 1980. Di
Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada
60.000 – 15.000 anak di bawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan
prevalens autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan
1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan
angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 di antara 10 anak
menderita autisma. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini
belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita namun diperkirakan
jumlah anak autis dapat mencapai 150 -–200 ribu orang. Perbandingan antara
laki dan perempuan adalah 2,6 – 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena
akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Judarwanto, 2004).Ciri khas anak autis adalah sejak dilahirkan mempunyai kontak sosial
yang sangat terbatas. Perhatiannya hampir tidak tertuju pada orang-orang lain,
melainkan hanya pada benda-benda mati. Dalam bidang kognitif anak autis
mempunyai ingatan yang baik tetapi tegar, fantasi yang kurang, pengamatan
yang baik dan perkembangan bahasa terlambat. Anak autis terganggu dalam
interaksi sosialnya, berkomunikasi, serta bertingkahlaku dan tertarik pada
sesuatu yang berulang, terbatas, dan khas (Monks dkk, 1991).Ginanjar (2007) mengemukakan bahwa ciri-ciri awal yang dapat
diketahui dari seorang anak autis adalah jika sampai umur 12 bulan tidak ada
babbling (kata-kata baba baba baba, dst), sampai umur 18 bulan belum keluar
satu kata pun atau bila sampai usia 24 bulan belum dapat membentuk satu
kalimat sederhana atau menyebut sesuatu tidak dalam konteks sebenarnya
seperti menyebut kata ”mama” pada semua perempuan. Ciri autis pada anak
usia besar, yaitu adanya gangguan berbahasa, verbal maupun nonverbal.
Selain itu, bisa juga berupa gangguan interaksi dengan anak seumurnya, tidak
mau bergaul, tidak mau bermain, perilakunya aneh, goyang-goyang terus
(body rocking), memutar badan (spin) tanpa efek apa-apa, atau kalau diberi
mainan, tidak digunakan untuk fungsi yang sesungguhnya.Elmira (2002) mengungkapkan ciri-ciri anak yang menderita autisme,
yaitu: 1) adanya gangguan komunikasi verbal dan non-verbal, seperti
terlambat bicara, mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti, membeo,
meniru kata tanpa mengerti makna dan bila ingin sesuatu benda, anak itu
menarik tangan orang lain untuk menjangkau benda tersebut, 2) mengalami
gangguan interaksi sosial berupa menolak atau menghindar untuk bertatap
mata, tidak menengok bila dipanggil namanya, menolak untuk dipeluk, asyik
main sendiri, tidak mau bergabung dengan orang lain dan bila didekati, malah
menjauh, 3) gangguan perilaku, misalnya menunjukkan perilaku berlebihan
dan sebaliknya kekurangan, dan 4) gangguan emosi atau perasaan, misalnya
tergugah perasaan bila menghadapi stimulasi emosi dari lingkungan, tertawa
sendiri atau marah tanpa sebab, mengamuk tak terkendali bahkan menjadi
agresif dan destruktif.Dampak kondisi autisme terhadap perilaku anak autis bisa berlebihan
dan kekurangan. Perilaku berlebihan misalnya hiperaktif, melompat-lompat,
lari ke sana-sini takterarah, berputar-putar atau mengulang-ulang gerakan
tertentu. Sedang perilaku kekurangan seperti bengong, tatapan matanya
kosong, bermain dengan monoton, kurang variatif dan biasanya dilakukan
secara berulang-ulang (Yusuf, 2003). Kusuma (2005) mengatakan bahwa anak
autis memiliki beberapa masalah diantaranya tidak mampu bergaul, berbicara
dan bertingkahlaku dengan baik, mereka tidak memahami apa yang orang lain
ucapkan, dan kurang bisa mengendalikan emosi.Safaria (2005) mengemukakan ada berbagai reaksi yang sering dialami
oleh para orang tua saat mengetahui bahwa anaknya menyandang autisme,
beberapa diantaranya yaitu: pertama, shock. Perasaan shock menimbulkan
dampak negatif secara fisik seperti tubuh yang lemas, dingin, dada yang sesak,
merasa mual hingga hampir pingsan; kedua, perasaan menolak keadaan.
Orang tua tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya menyandang
autisme, mereka berusaha mencari berbagai pengobatan, berganti-ganti dokter
termasuk pengobatan alternatif; ketiga, perasaan tidak berdaya. Setelah dapat
menerima keadaan anak, orang tua mulai mencari sebanyak mungkin
informasi tentang autis. Saat mereka memperoleh informasi-informasi
tersebut, timbul perasaan tidak berdaya karena banyaknya biaya yang harus
dikeluarkan atau besarnya tuntutan akan perhatian orang tua terhadap anak.
Pada tahap ini, jika ayah dan ibu tidak saling mendukung maka beban dalam
keluarga tersebut semakin bertambah; keempat, kecemasan, bisa berbentuk
kesedihan akan nasib anak di masa depan, apa yang akan terjadi, bagaimana
anak harus hidup kelak, bagaimana kalau di tengah jalan orang tua meninggal,
bagaimana pendapat orang di lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Jika
perasaan-perasaan negatif itu terus berlanjut, orang tua menjadi depresi atau
stress.Salah satu reaksi yang muncul saat orang tua mengetahui bahwa
anaknya menyandang autisme adalah kecemasan. Kecemasan merupakan
emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti
kekhawatiran, dan perasaan takut. Segala bentuk situasi yang mengancam
kesejahteraan organisme dapat menumbuhkan kecemasan. Adanya ancaman
fisik, ancaman terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan
sesuatu di luar kemampuan juga menumbuhkan kecemasan (Atkinson,1996).
Noor (2003) menjelaskan bahwa kecemasan yang dialami orang tua
penderita autisme dapat muncul dalam bentuk reaksi fisik, psikis maupun
perilaku. Berbagai keluhan seperti miggrain, sesak nafas, maag dan keluhan
lain berupa sulit tidur, nafsu makan menurun, konsentrasi menurun, mudah
tersinggung dan marah bahkan ada yang lebih berat lagi seperti depresi. Gejala
tersebut bersifat sangat individual dalam arti tidak semua orang tua yang
mempunyai anak autis mengalami keluhan-keluhan tersebut. Sementara itu,
reaksi masing-masing orang tua atas kondisi anak autis berbeda-beda. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan informasi, kesiapan mental untuk menerima
kenyataan, tingkat berat ringannya gangguan yang dialami dan dukungan yang
didapat dari keluarga dan masyarakat (Dewo, 2006).Kecemasan ini kadang-kadang begitu mengganggu sehingga membuat
orang tua tidak sempat lagi untuk berbagi perhatian pada anaknya yang lain
(Safaria, 2005). Adriana (2003) menambahkan bahwa kecemasan yang
dialami orang tua yang mempunyai anak autis yaitu terkait dengan kesulitan
anak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, kesulitan untuk menemukan
sekolah yang bersedia menerima kondisi anak, dan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan.Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sebagai orang
tua, tentu saja muncul kecemasan atas kondisi anaknya yang mengalami
gangguan autis. Pupusnya impian, harapan, kebingungan, kekhawatiran atas
masa depan anaknya, dan biaya finansial yang harus dikeluarkan merupakan
suatu kecemasan yang dialami orang tua. Namun demikian, kecemasan yang
dirasakan oleh orang tua (ayah dan ibu) yang mempunyai anak autis
cenderung berbeda. Berdasarkan hasil penelitian dalam kelompok kecil yang
pernah dilakukan oleh Adriana, pada tahun 1999, dikatakan bahwa orang tua
mengalami stress, kecemasan bahkan ada yang depresi setelah mengetahui
anaknya menderita autis. Biasanya pihak ibu berperan aktif mencoba berbagai
terapi dan pengobatan, sementara pihak ayah tidak (Adriana, 2003). Jika
dikaitkan dengan peran ibu dan ayah secara tradisional, dimana peran ayah
adalah seorang kepala keluarga, tokoh identifikasi keluarga, dan penghubung
dengan dunia luar, sedangkan peran ibu adalah seseorang yang membimbing
dan mendidik anak sejak dalam kandungan, merawat, membesarkan, dan
mendidik anak hingga tumbuh dewasa (Supriyadi, 2006), maka sudah
sewajarnya jika peran aktif ibu dalam perkembangan dan pertumbuhan anak
lebih besar dari pada ayah. Oleh karena ibu yang lebih intensif merawat dan
mendampingi anak, maka ibu lebih mengetahui keadaan anak daripada ayah.
Hal ini menyebabkan kecemasan yang dirasakan oleh ibu lebih besar dari pada
ayah. Selain itu, menurut Trismiati (2004) secara psikologis wanita lebih
mudah cemas daripada pria.Berdasarkan wawancara singkat peneliti di saat pra penelitian dengan
ayah dan ibu yang memiliki anak autis menunjukkan bawah ibu lebih cemas
daripada ayah. Ibu lebih teliti dalam memperhatikan dan mengikuti
perkembangan anak sehingga mengakibatkan ibu lebih sensitif terhadap
perkembangan anak dan ibu cenderung lebih mudah merasa bersalah, dengan
alasan subjektif bahwa dialah sumber penyebab gangguan yang diderita
anaknya karena tugas ibulah menjaga dan mendidik anak, sedangkan ayah
lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah baik untuk bekerja maupun
aktivitas yang lain sehingga pengetahuannya mengenai perkembangan anak
lebih sedikit daripada ibu. Selain itu para ayah tersebut mengatakan bahwa
mereka adalah laki-laki oleh sebab itu mereka tidak boleh lemah dan cengeng.
Menurut peneliti, pernyataan para ayah tersebut disebabkan adanya perbedaan
pola asuh dan tuntutan sosial terhadap laki-laki dan perempuan, dimana
seorang laki-laki di harapkan untuk maskulin dan perempuan feminin..Walaupun laki-laki dituntut dan diasuh untuk maskulin dan perempuan
harus feminin, tetapi maskulinitas maupun feminitas antara individu yang satu
dengan yang lainnya berbeda. Begitu pula dengan kecemasan, besar kecilnya
kecemasan antara individu berbeda. Dengan stimulus yang sama seorang laki-
laki bisa merasa lebih cemas daripada laki-laki lainnya, dan seorang
perempuan merasa lebih cemas daripada perempuan lainnya. Pernyataan ada
perbedaan kecemasan antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan cenderung lebih cemas daripada laki-laki sudah bukan rahasia lagi, tetapi tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari adakalanya seorang laki-laki lebih merasa cemas daripada perempuan saat berada dalam situasi tertentu. Bagaimana bila situasi atau keadaannya adalah laki-laki dan perempuan tersebut memiliki anak yang menderita autis? Dengan alasan tersebut ada
kemungkinan laki-laki akan lebih cemas daripada perempuan atau sebaliknya.
Berdasarkan teori-teori yang menyatakan bahwa ibu cenderung lebih cemas akan keadaan anak karena ibulah yang intensif merawat dan memelihara anak sejak dalam kandungan hingga dewasa dan kemungkinan- kemungkinan laki-laki lebih cemas daripada perempuan dalam situasi dan kondisi tertentu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan membuktikan apakah ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis? Siapakah yang paling cemas, ayah atau ibu?
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut: ”Apakah ada perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis”?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, antara lain sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis Memberikan informasi mengenai perbedaan kecemasan ayah dan ibu dari anak autis sehingga dapat menambah khasanah pengetahuan psikologi pada umumnya dan khususnya pada psikologi klinis.
2. Manfaat Praktis Bagi orang tua, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan refleksi dan evaluasi mengenai perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu. Dengan merefleksi dan mengevaluasi kehidupan keluarga selama ini, orang tua belajar untuk mengubah sikap dan perilakunya terhadap pasangan dan anak-anak sehingga bisa mengurangi kecemasan yang dirasakan oleh pasangannya.. Bila selama ini ayah menyerahkan seluruh tugas perawatan anak kepada ibu, dengan mengetahui bahwa hal tersebut dapat membuat ibu menjadi sangat cemas dan kecemasan tersebut bisa mempengaruhi kesehatan dan kinerja ibu sehari-hari maka ayah diharapkan mengambil bagian dalam tugas ibu dalam merawat dan memelihara anak, misalnya menemani ibu melakukan terapi pada anak, bergaul dengan anak di rumah, mendiskusikan segala sesuatu demi perkembangan anak dan lain sebagainya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan
1. Pengertian Kecemasan
Kecemasan (anxiety) adalah suatu kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan merupakan respon yang tepat terhadap ancaman atau terhadap perubahan lingkungan, tetapi bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proposi ancaman atau datang tanpa ada penyebabnya (Nevid dkk, 2003). Kecemasan atau dalam bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin “angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik (Trismiati, 2004).
Menurut Atkinson (1996) kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan gejala seperti kekhawatiran, dan perasaan takut. Segala bentuk situasi yang mengancam kesejahteraan organisme dapat menumbuhkan kecemasan. Adanya ancaman fisik, ancaman terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan juga menumbuhkan kecemasan. Johnston (dalam Trismiati, 2004) menyatakan kecemasan dapat terjadi karena kekecewaan, ketidakpuasan, perasaan tidak aman atau adanya permusuhan dengan orang lain.
Freud (Boeree, 1997) menjelaskan kecemasan merupakan tanda peringatan bagi individu bahwa ia dalam bahaya, memberi isyarat pada ego untuk melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Ego “keakuan” berdiri di tengah-tengah kekuatan-kekuatan dasyat yaitu: realitas masyarakat dan norma-
norma sosial atau peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar
sebagaimana yang direpresentasikan oleh superego; biologis, dorongan-
dorongan primitive sebagaimana yang direpresentasikan Id. Ketika terjadi
konflik di antara kekuatan-kekuatan ini untuk menguasai ego, maka ego akan
merasa terjepit dan terancam, serta merasa seolah-olah akan lenyap digilas
kekuatan-kekuatan tersebut. Perasaan terjepit dan terancam ini disebut
kecemasan.Handoyo (Farida, 2004) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu
keadaan emosional yang dialami oleh seseorang, dimana ia merasa tegang
tanpa sebab-sebab yang nyata dan keadaan ini memberikan pengaruh yang
tidak menyenangkan serta mengakibatkan perubahan-perubahan pada
tubuhnya baik secara somatis maupun psikologis. Perubahan-perubahan
somatis yang dimaksud yaitu mungkin timbulnya rasa mual, sering buang air
kecil, denyut jantung yang bertambah keras dan lain-lain. Sedangkan
perubahan-perubahan psikologis dapat ditemui seperti adanya perasaan ragu-
ragu, kurang percaya diri, kegelisahan, rasa rendah diri dan lain-lain.Menurut Sulivan (Feist & Feist, 2006) walaupun kecemasan bermula
dari rasa takut dan khawatir, namun masih bisa dibedakan dalam berbagai hal
yaitu; 1) Kecemasan biasanya berasal dari situasi-situasi interpersonal yang
kompleks dan hanya samar-samar disadari sedangkan ketakutan sumbernya
lebih jelas dan mudah diketahui. 2) Kecemasan tidak memiliki nilai-nilai
positif. 3) Kecemasan dapat menghalangi pemuasan dari kebutuhan-
kebutuhan, sedangkan ketakutan kadang-kadang membantu orang memuaskan
beberapa kebutuhan. Kekhawatiran, menurut Fabella (1993) berbeda pula
dengan kecemasan. Kekhawatiran berasal dari suatu situasi tertentu yang
diantisipasi oleh seseorang dan datang dari suatu masalah yang objektif (ujian,
masalah uang), sedangkan kecemasan merupakan suatu keadaan emosi yang
menyeluruh dan berasal dari masalah yang subjektif.Mulyadi (2003) menjelaskan kecemasan dapat berakibat buruk karena
mengganggu proses berpikir, konsentrasi dan dengan sendirinya juga
mengganggu proses belajar dan persepsi. Keadaan ini akan menimbulkan
hambatan-hambatan dalam tugas dan kehidupan sehari-hari. Selain itu, orang
yang dalam keadaan takut dan cemas cenderung untuk selektif dalam berpikir
dan menjadi tidak tajam pengamatannya terhadap hal-hal lain, kecuali akan
hal-hal yang menghantui pikiran dan kecemasannya. Akibatnya muncul sikap
apriori dan berprasangka. Kecemasan membahayakan manusia, merusak
kesehatannya, mengikis kemampuannya dan mengurangi penghargaan
terhadap dirinya.Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
kecemasan adalah suatu kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan segera
terjadi. Suatu keadaan kurang menyenangkan, yang menimbulkan rasa kurang
aman, tidak tentram dan perasaan terancam yang muncul karena adanya
rangsangan dari luar yang disertai dengan reaksi fisiologis dan reaksi
psikologis. Jika kecemasan berlangsung secara terus menerus, akan
menghambat individu dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan dapat
mempengaruhi kesehatan.2. Aspek-aspek Kecemasan
Langgulung (1986) mengemukakan bahwa aspek-aspek kecemasan terdiri dari:
a) Fisiologis, merupakan reaksi tubuh terutama oleh organ-organ yang
diasuh oleh saraf otonomi simpatik seperti jantung, peredaran darah, kelenjar, pupil mata dan siatem pembuangan. Dengan meningkatnya emosi atau perasaan cemas satu atau lebih organ-organ tersebut akan meningkat fungsinya sehingga dapat dijumpai meningkatnya jumlah asam lambung selama kecemasan atau meningkatnya detak jantung dalam memompa darah, sering buang air atau sekresi keringat yang berlebihan. Kadang-kadang individu mengalami rasa sakit yang berkaitan dengan organ yang meningkat fungsinya secara tidak wajar dalam situasi ini.
b) Psikologis, biasanya disertai dengan reaksi fisiologis misalnya adanya
perasaan tegang, bingung dan perasaan tidak menentu, terancam, tidak berdaya, rendah diri, kurang percaya diri, tidak dapat memusatkan perhatian dan adanya gerakan-gerakan yang tidak terarah atau tidak pasti. Selain itu reaksi psikologis dapat berupa peningkatan dorongan untuk berperilaku efektif.Menurut Trismiati (2004) simtom-simtom somatis yang dapat
menunjukkan ciri-ciri kecemasan adalah muntah-muntah, diare, denyut
jantung yang bertambah keras, seringkali buang air, nafas sesak disertai
tremor pada otot. Kecemasan ditandai dengan emosi yang tidak stabil,
sangat mudah tersinggung dan marah, sering dalam keadaan excited atau
gempar gelisah.Hawari (1996) menguraikan beberapa aspek kecemasan yang
sering dialami oleh individu yaitu memandang diri rendah, sulit untuk
merasa senang atau pemurung, mudah menangis, tidak ada kepercayaan
diri, mudah tegang dan gelisah, menghindari hal-hal yang tidak
menyenangkan, jantung sering berdebar-debar, mulut terasa kering,
berkeringat dan merasa takut mati.Penderita kecemasan sering mengalami gejala-gejala seperti
berkeringat berlebihan walaupun udara tidak panas dan bukan karena
berolahraga, jantung berdegup ekstra cepat atau terlalu keras, dingin pada
tangan atau kaki, mengalami gangguan pencernaan, merasa mulut kering,
merasa tenggorokan kering, tampak pucat, sering buang air kecil melebihi
batas kewajaran dan lain-lain. Mereka juga sering mengeluh pada
persendian, kaku otot, cepat merasa lelah, tidak mampu rileks, sering
terkejut, dan ada kalanya disertai gerakan-gerakan wajah atau anggota
tubuh dengan intensitas dan frekuensi berlebihan, misalnya pada saat
duduk terus menerus, menggoyang-goyangkan kaki, meregangkan leher,
mengernyitkan dahi dan lain-lain (Gunarsa dkk dalam farida, 2004).Mochtar (1998) menyatakan bahwa individu yang mengalami
kecemasan ditandai dengan nafas yang pendek-pendek, muncul diare,
kehilangan nafsu makan, lemas, pening, gemetar dan sering buang air
kecil. Selain ada perasaan tidak menentu, tidak berdaya, gugup dan sukar
untuk konsentrasi, kebanyakan dari individu yang mengalami kecemasan
menjadi kurang percaya diri, dan dianggap kurang menyenangkan bagi orang lain. Kecemasan berkaitan dengan ketidakpastian yang menimbulkan rasa was-was, apakah ada rasa aman dan terbebas dari penderitaan atau kemungkinan adanya ancaman.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecemasan dibedakan menjadi dua yaitu; aspek fisiologis, seperti sakit kepala, sulit tidur, buang air tidak seperti biasanya, jantung berdebar, sesak nafas, cepat lelah, nyeri otot, gangguan lambung ringan, dan ciri lainnya serta aspek psikologis, seperti perasaan khawatir, tegang, panik, perasaan tidak menentu, bingung, susah berkonsentari, gelisah, mudah tersinggung dan marah, tertekan serta tidak percaya diri sehingga perilakunya menjadi tidak efektif.
3. Sumber-sumber penyebab kecemasan
Accocella dkk (1996) memaparkan sumber-sumber penyebab munculnya kecemasan dari beberapa sudut pandang teori :