PENERIMAAN AYAH YANG MEMILIKI ANAK AUTIS.

(1)

PENERIMAAN AYAH YANG MEMILIKI ANAK AUTIS

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam

Bidang Psikologi

Oleh :

MAJIDAH B37209008

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2015


(2)

ST]RAT PERNYATAAhT KEASLIAI\I

Ymg bertanda tangan di bawah ini : l.Iama

NIM Fakultas .hdul

Majidah 837209008

Psikologi dan Kesehatan

Penerimaan Ayah yang Memiliki Anak Autis

Menyatakan bahwa skripsi tersebut adalah karya saya sendiri dan btrkan karya orang lain, baik sebagian maupun keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah tersebutkan surnbernya.

Stnabaya. 16 Januari 2015

M4iidah 837209008


(3)

HALAMAN PERSETUJUA.N

PEhTERIMAAN AYAH YANG

MEMILIKI

AITAKAUTIS

SKRIPSI

Dialukan Kepada Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Kesehatan t-Inir"ersitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya unfuk Memenuhi Salah Satu

ncrs:aratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (Sl ) Psikologi (S.Psi)

Maiidah 837209008

Surabaya, l 5 Januan 2015 Mengetahui


(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi oleh Widah, Nim 837209008, ini telah dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi

Surabayq 3 Februari 2015 Mengesahkan F

r007198603200r

Penguji

II

*d$gi

dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya

199002t001

NIP.l97605r U00912202

Rizma

il+hd s.Psi.

M.si


(5)

INTISARI

Majidah. B37209008. Skripsi Program Studi Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya. Penerimaan Ayah yang Memiliki Anak Autis.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerimaan ayah yang memiliki anak autis, faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis, serta aspek-aspek penerimaan ayah yang memiliki anak autis. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji khusus. Subyek penelitian ini terdapat dua orang ayah dari kalangan keluarga yang berbeda, namun sama-sama memiliki anak penyandang autis. Adapun prosedur analisis data yang digunakan adalah dari Creswell, terdiri dari enam tahapan yaitu: (1) Mengolah data dan mengintrepetasikan data, (2) Membaca keseluruhan data,(3) Menganalisis lebih detail dan mengkoding data,(4) Menerapkan proses koding, (5) Menunjukkan deskripsi dan bagaimana tema-tema ini akan disajikan kembali dalam narasi atau laporan kualitatif, (6) Mengintrepretasikan atau memaknai data. Hasil temuan dari penelitian ini adalah subjek pertama bersikap positif dalam menyikapi kondisi putranya yang autis, subjek pertama mengekspresikan perhatian dan kasih sayangnya secara maksimal dengan mencari dokter terbaik untuk putranya, mencari terapi yang tepat untuk putranya dengan membeli buku-buku berbahasa inggris di luar negeri, memanggil guru privat melukis dan mengaji untuk putranya, sehingga putranya pun sekarang ahli dalam melukis dan membaca surat-surat Al-qur’an, mendampingi putranya disegala kesempatan seperti menemani putranya bepergian kuliner, membaca majalah, hingga mengajarkan toilet training. Berbeda dengan subjek kedua, yang memberikan sikap negatif dengan tidak cepat mencari dokter ahli untuk mendiagnosa putranya di usia pertama putranya, sbujek kedua juga tidak pernah menemani putranya bermain, kegiatan sehari-hari putranya banyak diluangkan bersama ibunya. Subjek kedua juga mengakui malu mempunyai putra penyandang autis. Faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis Terdapat pula aspek-aspek penerimaan ayah yang memiliki anak autis seperti memberikan perhatian, simpati dan memberikan kasih sayang yang memiliki dampak terhadap perkembangan anak autis itu menjadi lebih cepat pulih seperti orang-orang yang normal, dan faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis seperti kemampuan keuangan, latar belakang agama, status perkawinan yang harmonis, pendidikan, dan sikap para ahli yang mendiagnosa. Semua hal tersebut memiliki dampak yang luar biasa terhadap perkembangan fisik dan psikis anak autis termasuk perkembangan emosional yang lebih baik dimasa depan seperti pada putra dari subjek pertama sudah mulai bisa hidup mandiri di usia remaja, mampu melakukan berbagai hal sendiri seperti makan, mandi, mengenakan pakaian, mampu sholat lima waktu dengan tepat waktu, hafal surat-surat pendek, dan memiliki banyak karya melukis. Berbeda dengan putra subjek kedua, yang di usia remaja masih membutuhkan banyak bantuan dari ibunya dalam melakukan berbagai hal sehari-hari.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... v

KATA PENGANTAR ... vi

INTI SARI ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 10

C. Keaslian Penelitian ...10

D. Tujuan Penelitian ... 14

E. Manfaat Penelitian ... 14

F. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 16

A. Autisme... 16

1. Pengertian Autisme ... 16

2. Simtom Autisme ... 19

3. Klasifikasi Autisme ... 20

4. Penyebab Autisme ... 21

B. Penerimaan Ayah ... 23

1. Pengertian Ayah ……….. 23

2. Pengertian Penerimaan ……….23

C.Penerimaan Ayah terhadap Anak Autis………...…………...24 1.Faktor-faktor Penerimaan ..………..26

2.Aspek-aspek Penerimaan .………27 D.KerangkaTeoritik ………. .29

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan dan Tipe Penelitian ... 32

B. Kehadiran Peneliti ... 35

C. Lokasi Penelitian ... 35

D. Sumber Data ... 36

E. Prosedur Pengumpulan Data ... 36

F. Analisis Data ... 38

G. Pengecekan Keabsahan Temuan ... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Setting Penelitian ... 43


(7)

1. Deskripsi Hasil Temuan Penelitian ... 49

2. Hasil Analisis Data ... 77

C. Pembahasan ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...99

A. Kesimpulan...99

B. Saran ...102

DAFTAR PUSTAKA ...103


(8)

DAFTAR TABEL


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehadiran anak merupakan saat yang ditunggu-tunggu dan sangat mengembirakan bagi pasangan suami istri. Kehadiran seorang anak bukan hanya sebagai generasi penerus keluarga saja, namun juga dapat mempererat tali cinta pasangan suami istri. Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang sempurna. Namun demikian sering terjadi keadaan di mana anak memperlihatkan ketidaksempurnaan atau masalah dalam perkembangan sejak usia dini. Salah satu contoh masalah yang dapat terjadi pada anak – anak adalah autisme (Rachmayanti & Zulkaida, 2007). Pada umumnya gangguan autisme yang terjadi pada anak-anak, memerlukan perhatian ekstra dari kedua orang tua ayah dan ibu. Hal tersebut sering sekali terabaikan oleh seorang ayah.

Di Lapangan, pada anak gangguan autis ini, cenderung ibu lebih dominan dalam merawat, mendidik, serta dalam memberikan kasih sayang kepada anaknya, berbeda dengan ayah. Terbukti dengan (hasil wawancara pada tanggal 27 Oktober 2013) bahwa seorang ibu dari anak autis mengakui bila anaknya lebih dekat dengan dirinya dikarenakan ayah dari anak autis tersebut sibuk dengan pekerjaannya. Setiap pagi untuk pergi ke sekolah juga ibu yang mengantar dan menjemput anak autis tersebut. Sehingga, anak autis tersebut akhirnya tidak mau apabila didekati oleh ayahnya dan terkadang anak autis tersebut suka


(10)

2

teriak sesaat ayahnya mendekat. Sang ayah juga menjadi pendiam selama mengetahui anaknya mengalami gangguan autis.

Harapan seorang ayah mengenai anak perempuannya sejak pertama lahir hingga tumbuh dewasa dalam proses pertumbuhan adalah sangat besar, seorang ayah berharap memiliki anak yang bisa dibanggakan, seorang ayah ingin memiliki anak yang sempurna meski di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna namun seorang ayah punya kaca mata sendiri bahwa anak perempuannya harus sempurna. Sempurna dalam arti paling tidak mampu mengerjakan apa yang ayah juga bisa kerjakan, singkat kata mirip ayahnyalah. Ketika ditanya apabila seorang ayah memiliki anak yang tidak sempurna secara fisik dan mental apa yang akan ayah rasakan dan apa yang akan dilakukan. Ayah menjelaskan tidak tahu dan jangan sampai mempunyai anak yang tidak sempurna dalam arti cacat fisik atau cacat mental. Apabila Tuhan menganugerahkan seorang anak yang tidak sempurna, perasaan seorang ayah tersebut sedih, dan kecewa (hasil wawancara pada tanggal 27 Mei 2013).

Melihat fenomena di atas rasa kecewa dan harapan dari seorang ayah atas keturunan yang dimiliki masih banyak orang tua termasuk ayah yang belum mengetahui apa itu autis dengan segala dampaknya. Istilah “Autis” sekarang ini bukan lagi merupakan hal asing di masyarakat. Beberapa tahun belakangan ini autis sangat ramai dibicarakan baik di media cetak maupun media elektronika, bahkan juga sering diadakan seminar dan pelatihan seputar gangguan autis. Tempat-tempat terapi autis juga sudah banyak tersebar di berbagai kota di Indonesia dan menawarkan jenis terapi yang beragam pula.


(11)

3

Berdasarkan data yang diperoleh Harnowo (2013) delapan dari 1000 orang di Indonesia adalah penyandang autis. Autis saat ini bukan menjadi permasalahan orang tua dan anak saja, namun juga menjadi permasalahan global. Gangguan ini merupakan gangguan yang paling cepat perkembangannya bahkan melebihi perkembangan penyakit AIDS, kanker, diabetes, dan penyakit berbahaya lainnya. Menurut data dari Unesco pada tahun 2011, terdapat 35 juta orang penyandang autisme di seluruh dunia. Rata-rata, enam dari 1000 orang di dunia telah mengidap autisme. Di Amerika Serikat, autisme dimiliki oleh 11 dari 1000 orang. Sedangkan di Indonesia, perbandingannya delapan dari setiap 1000 orang. Angka ini terhitung cukup tinggi mengingat pada tahun 1989, hanya dua orang yang diketahui mengidap autisme.

Menurut Mulyadi (2012) psikiater dari RS Omni Hospital Alam Sutera Jakarta dalam acara peluncuran jurnal Communicare mengenai anak berkebutuhan khusus di kampus STIKOM London School of Public Relation, untuk mencari sebuah penyebab pasti yang mengakibatkan seorang anak menyandang autis adalah tidak dapat dipastikan, menurut beliau penyebab autis terdapat banyak faktor. Dapat dikarenakan oleh kontaminasi makanan yang mengandung logam berat, lingkungan dari timbal kendaraan bermotor yang menyerang ibu hamil saat trisemester pertama. Bahkan diduga dapat juga karena faktor keturunan dan sampai detik ini penelitian masih saja dilakukan oleh para ahli untuk mencari penyebab atau faktor apa yang dapat memicu autisme.

Menurut Dwianto Dikutip dalam tabloid NOVA Selasa, 02 April 2013


(12)

4

ditemukan pravelensi anak dengan autisme 1 : 88. Kalau di Indonesia sendiri belum ada data secara khusus mengenai anak yang terkena autis. Sedangkan di Amerika penyandang autis kini di tahun 2013 1 : 50. Begitu cepat perkembangan gangguan autis di dunia tidak hanya di Indonesia. Menurut Pamoedji(Masyarakat Peduli Autis Indonesia) mengatakan gangguan autis meliputi keterlambatan berkomunikasi, kurangnya kemampuan dalam hal interaksi sosial, dan secara perilaku mereka cenderung sulit untuk mengerti bahasa tubuh. Beliau juga mengatakan penyandang autis memiliki kecenderungan untuk menunjukkan perilaku-perilaku berulang-berulang (repetitive), terbatas (restricted), dan khas (stereotype).

Gejala Autisme sendiri biasanya dapat diketahui ketika anak berusia kurang dari tiga tahun. Hal yang paling menonjol dari gejala ini diantaranya adalah tidak adanya kontak mata dengan orang lain Happe (1994 dalam Oktaviana, 2009). Gejala lainnya adalah ketidakpedulian pada lingkungan, seolah-olah anak itu hidup di dalam dunianya sendiri, sehingga sering sekali terjadi anak autis tidak menengok saat dipanggil, dan tidak merespon walau ditarik sekalipun, juga tidak ada kontak mata ketika di ajak berbicara. Beberapa anak autis tampak begitu menikmati ketika ia memutar-mutar bola atau kelereng, ada yang sealalu memilin-milin rok yang di pakainya, ada pula yang berlari-lari bolak-balik atau berteriak-teriak. Anak autis lebih sering memutar-mutar roda pada mobil-mobilan. Semua gerakan itu di ulang-ulang puluhan bahkan bisa ratusan kali. Gejala umum anak autis yang bisa di amati adalah komunikasi satu arah, gangguan pola tidur dan pencernaan, hiperaktif, sampai adanya self ebuse (Safaria, 2005).


(13)

5

Autisme berbeda dengan jenis gangguan yang lain, seperti mental retarded,

down’s syndrome, dan lain sebagainya. Anak autis pada umumnya tidak mampu mengenali emosi orang lain seperti marah, sedih, gembira, mereka juga tidak mampu memahami makna bahasa non verbal dan yang paling menyedihkan banyak anak autis yang tidak mampu membedakan orang tuanya dengan orang lain. Hal-hal seperti inilah yang menimbulkan beban stress yang berat bagi para orang tua mengenai bagaimana mendidiknya dan cara pengasuhannya. Karena untuk berkomunikasi saja merupakan hal yang sangat sulit dan membutuhkan kesabaran yang sangat luar biasa (Monika, 2000).

Kehadiran anak penyandang autis dalam suatu keluarga sudah tentu akan mempengaruhi kehidupan seluruh anggota keluarga lainnya. Orang tua dan saudara kandung seperti kakak dari anak autis akan mempunyai hubungan yang relatif lebih lama dan lebih intensif dengan anak penyandang autis, dari mulai masa kecil, remaja, sampai dewasa. Tidak seperti hubungan interpersonal lainnya, hubungan ini melibatkan ikatan fisik dan emosional pada tahap-tahap kritis sepanjang kehidupan mereka ( Octaviana, 2009).

Reaksi pertama orang tua dari anak yang menyandang autis inilah yang menjadi hal utama anak autis tersebut akan mendapatkan treatment yang maksimal atau tidak. Menurut Thurstone (1969 dalam Walgito, 1987) menyatakan bahwa individu dalam mengartikan suatu masalah akan bertindak positif bila masalah tersebut menimbulkan perasaan senang, sehingga individu bersikap menerima. Tetapi dapat bersikap negatif jika masalah tersebut menimbulkan masalah tidak enak, akibatnya individu bersikap menolak.


(14)

6

Menurut Mangunsong (1998 dalam Febri 2012) reaksi pertama orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak percaya (shock), mengalami goncangan batin, terkejut, dan tidak mempercayai kenyataan yang menimpa anak mereka. Tidak mudah bagi orang tua yang anaknya menyandang autisme untuk mengalami fase ini, sebelum pada akhirnya sampai pada tahap penerimaan.

Studi yang ada menunjukkan bahwa sangat sering orang tua memiliki sikap negatif terhadap anak mereka yang autis. Orang tua merasa pesimis, memusuhi dan malu dengan kehadiran anak mereka yang autis tersebut. Penyangkalan, menyalahkan, rasa bersalah, kesedihan, penarikan, penolakan, dan penerimaan, adalah reaksi-reaksi yang sering muncul pada orang tua. Beberapa orang tua juga mengalami ketidakberdayaan, perasaan tidak mampu, kemarahan, dan rasa bersalah sementara serta menyalahkan diri sendiri menurut Gupta (1997 dalam Febri, 2012).

Penerimaan ayah yang memiliki anak autis erat kaitannya dengan pola pengasuhan atau yang disebut parenting style dari berbagai literatur

mencakup beberapa hal yaitu yang pertama adalah rasa peduli orang tua terhadap seorang anak. Rasa peduli ini membentuk sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif di atas termasuk di dalamnya adalah acceptance atau penerimaan dan juga kehangatan. Sedangkan sikap negatif termasuk di dalamnya adalah rejection atau penolakan dan kritik. Kemudian yang kedua adalah kontrol terhadap seorang anak. Kontrol ini pun bersumber dari sikap positif dan juga sikap negatif. Sikap positif di dalamnya adalah parental control atau kontrol pengasuhan dan


(15)

7

promotion of autonomy atau promosi otonomi (Meestres & Brakel (2003 dalam

Xiayun, 2012).

Pada umumnya ketika orang tua memiliki atau dianugerahi oleh Tuhan seorang anak dalam kondisi apapun, orang tua akan memunculkan sikap

acceptance (menerima) atau rejection (menolak). Ini adalah bagian dari rasa

kepedulian orang tua terhadap anaknya. Begitu pula dengan orang tua yang memiliki anak autis. Rasa kepedulian orang tua kepada anaknya yang autis ditunjukkan dengan sikap menerima atau menolak anak autis tersebut. Kedua sikap inilah yang mempengaruhi interaksi orang tua dan anak autis dalam keseharian. Sehingga dua hal di atas menjadi catatan penting bagi orang tua ibu maupun ayah untuk bersikap wajar dan tetap peduli terhadap anaknya dalam kondisi apapun.

Penerimaan orang tua khususnya ayah dalam menerima kondisi anaknya yang mengalami autis itu penting dikarenakan beberapa fakta di lapangan anak autis rentan sekali beresiko mendapat kekerasan, hal ini disebabkan karena anak autis memiliki banyak hambatan pada sosial skil. (Zablotsky, Bradshaw, dkk 2012). Melihat kondisi tersebut peran ayah sangat dibutuhkan, agar anak autis terhindar dari ancaman serta tindak kekerasan. Fakta yang lain adalah pada umumnya anak autis sering sekali mengalami sulit untuk tidur. Satu dari banyak orang tua dari anak autis mengeluh bahwa anaknya sulit sekali untuk tidur. Padahal tidur adalah sebuah proses aktif yang berdampak pada fungsi keseharian individu serta kesehetan fisik dan mental (Hagar, 2005). Hambatan yang di alami oleh anak autis


(16)

8

tersebut, juga diperlukan penerimaan seorang ayah serta bagaimana ayah harus berperan.

Selanjutnya, fakta di Lapangan kehidupan nyata di dalam dunia artis dan sekaligus di dunia politik seperti contohnya Ruhut Sitompul yang juga berprofesi sebagai pengacara, telah dikaruniai seorang putra bernama Christian Sitompul, Christian Sitompul adalah anak Ruhut Sitompul dengan Anna Rudhiantiana Legawati yang di akui Ruhut Christian adalah anaknya namun di luar pernikahan. Christian Sitompul anak kandung Ruhut Sitompul tersebut penyandang tunagrahita. Meski Ruhut mengakui bahwa Christian adalah anak kandungnya namu Ruhut Sitompul tidak mencamtumkan nama Christian di dalam biografi anggota DPR. Sehingga membuat Anna ibu dari Christian geram (Rtya, 2011). Faktor Christian penyandang tunagrahita inilah yang perlu diteliti lebih lanjut, apakah Ruhut sebagai orang tua dan sebagai ayah kandung memiliki beban sosial tersendiri merasa malu dengan keadaan anaknya atau ada alasan lain. Dalam hal ini masih belum terungkap kenyataan dan kejelasannya. Dari fakta dan fenomena Ruhut Sitompul tersebut menjadi fakta paling kuat mengapa peneliti tertarik untuk meneliti penerimaan ayah yang memiliki anak autis.

Fakta berikutnya menurut Mazrieva (2013) kini di Amerika seorang ayah semakin terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, ini merupakan bagian dari identitas personal seorang ayah di Amerika. Banyak waktu yang diluangkan seorang ayah untuk anaknya setiap harinya. Ayah pun juga melakukan pekerjaan rumah tangga yang biasa ibu lakukan seperti mencuci pakain, mencuci piring, mengemas bekal makan siang, sampai bangun tengah malam untuk memberi susu


(17)

9

kepada bayi mereka. Hal ini disebabkan seorang ibu di Amerika merupakan pencari nafkah 40 persen keluarga Amerika. Ketika ibu bekerja secara otomatis ayahlah yang lebih banyak waktu bersama anak-anak di rumah. Ini sudah menjadi kesepakatan bersama ayah dan ibu di Amerika untuk saling membagi tugas dalam urusan rumah tangga.

Meski banyak penelitian berpendapat bahwa sikap pemeliharaan seorang ibu lebih memberi dampak positif bagi kesembuhan anak berkebutuhan khusus, namun beberapa ditemukan bahwa ayah juga memiliki dampak yang sama besarnya pada penyesuaian anak. Yang artinya meski selama ini kedekatan serta peran ibu dengan anak sangat member dampak positif terhadap perkembangan dan penyesuaian anak tersebut, namun ditemukan fakta dalam beberapa penelitian kedekatan dan peran seorang ayah juga memberikan dampak yang luar biasa pada perkembangan penyesuain anak. Sehingga kelekatan, kedekatan, serta peran ibu dan ayah dapat dikatakan sama besarnya dampaknya terhadap perkembangan penyesuaian anak. (Verbeek & de Graaf (2007 dalam Xiayun, 2012).

Berikut penjelasan arti penerimaan diri ayah terhadap anaknya. Pada umumnya penerimaan orang tua terhadap anaknya adalah bagian dari kedekatan orang tua dengan anak-anak mereka. Kedekatan tersebut terlihat secara fisik, verbal maupun perilaku dalam bentuk simbol. Ini adalah ekspresi dari perasaan orang tua terhadap anaknya. Kemudian penolakan orang tua terhadap anaknya terlihat dari perilaku orang tua yang yang menyakitkan secara fisik maupun


(18)

10

Melihat fakta-fakta yang ada di atas, pada penelitian ini peneliti akan meneliti mengenai penerimaan ayah yang memiliki anak autis. Peneliti ingin tahu bagaimana gambaran penerimaan seorang ayah yang memiliki anak autis, apa saja aspek-aspek penerimaan seorang ayah yang memiliki anak dengan gangguan autis serta apa sajakah faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis. Sehingga peneliti dan masyarakat dapat mengetahui apakah seorang ayah yang memiliki anak dengan gangguan autis akan menerima apa saja kondisi anaknya dan dapat berinteraksi dengan baik terhadap anaknya dengan kondisi ayah sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah, atau bahkan menolak sehingga interaksi ayah dengan anaknya yang mengalami gangguan autis menjadi tidak baik dan sebagainya. Peneliti juga ingin tahu seberapa jauh dampak seorang ayah dapat meningkatkan kesembuhan anaknya untuk menjadi lebih baik dalam mengembangkan potensi dalam dirinya.

B. Fokus Penelitian

Fokus dari penelitian yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran penerimaan ayah yang memiliki anak autis?

2. Apa faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis dan apa saja aspek-aspek penerimaan ayah yang memiliki anak autis?

C. Keaslian Penelitian

Beberapa hasil riset terdahulu yang mengungkap tentang penerimaan yang memiliki anak autis antara lain yang pertama adalah penelitian Febri (2012 mengenai “Penerimaan Ayah Terhadap Anak Autis di Tinjau Dari Harga Diri”


(19)

11

yaitu dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi harga diri yang dimiliki oleh seorang ayah maka penerimaan ayah terhadap anak autis semakin baik, sedangkan semakin rendah harga diri maka penerimaan ayah terhadap anak autis semakin tidak baik. Hasil penelitian di atas berdasarkan teori Klass dan Hodge (1979, hal 701) mengemukakan bahwa harga diri merupakan hasil penilaian yang dibuat dan dipertahankan oleh individu tentang dirinya. Proses penilaian tersebut berasal dari interaksi individu dengan lingkungan, serta hal menyangkut aspek-aspek seperti penerimaan, perilaku dan penghargaan orang lain terhadap dirinya.

Menurut Krcitner dan Kinicki (dalam Dewi, 2005, hal. 15) individu dengan harga diri rendah cenderung memandang dirinya negatif, merasa dirinya tidak baik, cenderung mempunyai masalah dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan dihalangi keraguan. Individu dengan harga diri tinggi cenderung memandang dirinya patut diperhatikan, merasa mampu dan diterima oleh lingkungan. Ayah

yang memiliki harga diri tinggi merasa bahwa dirinya berharga dan merasa sebagai bagian dari lingkungan, mereka merasa mampu melakukan sesuatu yang penting dan merasa diterima lingkungan, mereka dapat menerima dirinya dengan baik serta keadaan orang lain dengan baik pula.

Rasa penerimaan yang baik dari lingkungan membuat ayah merasa berharga bagi sekellingnya sehingga memandang dirinya dengan positif. Hal tersebut berakibat ayah dapat memandang sekelilingnya dengan positif juga dan dapat menerima kehadiran orang lain dengan baik termasuk kehadiran anaknya yang menderita autis. Ayah yang dapat menerima bearti dapat memberikan kasih sayang dan perhatian yang baik juga kepada anaknya tersebut. Ayah juga akan


(20)

12

memberikan pendidikan yang terbaik dan mengusahakan kesembuhan anak tersebut.

Penelitian Zulkaida & Rachmayanti mengenai (2007) “Penerimaan Diri Orang Tua Terhadap Anak Autisme dan Peranannya dalam Terapi Autisme” yaitu menyimpulkan bahwa ketiga subjek (orang tua dari anak yang menyandang autis) dalam penelitian ini dapat menerima sepenuhnya kondisi anak mereka yang didiagnosis menyandang autisme. Beberapa tahap yang dilalui oleh ketiga subjek dalam proses penerimaan terhadap anaknya yang didiagnosa menyandang autisme yaitu tahap denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Namun ketiga subjek melalui tahapan yang beda karena kondisi anak mereka berbeda-beda.

Ketiga subjek cukup berperan serta dalam penanganan anak mereka yang menyandang autisme, mulai dari memastikan diagnosis dokter, membina komunikasi dengan dokter, mencari dokter lain pabila dokter yang bersangkutan dianggap tidak kooperatif, berkata jujur saat melakukan konsultasi mengenai perkembangan anak, memperkaya pengetahuan dengan membeli buku-buku atau majalah yang di dalamnya terdapat pengetahuan mengenai autisme, dan mendampingi anak saat melakukan terapi. Namun ketiga subjek tidak memiliki banyak waktu untuk bergabung dalam parent support group dan kurangnya informasi tentang hal tersebut.

Penelitian Oktaviana (2009) mengenai “Penerimaan Kakak Remaja Awal Terhadap Adik Autis” yaitu menyimpulkan bahwa terdapat faktor yang


(21)

13

mempengaruhi munculnya penerimaan saudara kandung (kakak) terhadap adik autis yaitu persepsi terhadap individu yang menyandang autis, kesiapan individu dalam menghadapi anak autis, hubungan antar anggota keluarga, pola asuh orang tua, dan komunikasi yang digunakan antar anggota keluarga. Dari kelima faktor tersebut yang paling menonjol pada faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya penerimaan adalah faktor persepsi terhadap individu yang menyandang autis dan pola asuh orang tua mempunyai intensitas kuat. Faktor persepsi terhadap individu ini yang mempengaruhi semua faktor eksternal dari kelima faktor di atas. Dan kelima faktor tersebut muncul pada ketiga subjek dan dari faktor-faktor tersebut dapat menunjukkan perilaku penerimaan yaitu pemberian perhatian, simpati, kasih sayang, dan memberi bantuan terhadap adik autis.

Berdasarkan penelitian diatas, persamaan dari penelitian yang telah ada dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama akan meneliti tentang penerimaan diri terhadap anak autis. Sedangkan untuk perbedaannya penelitian yang telah ada dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Subjek

Penelitian yang telah ada menggunakan subjek orang tua yang meliputi ayah dan ibu dari anak autis, kemudian menggunakan subjek remaja awal yang mempunyai adik perempuan penyandang autis. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan saat ini adalah menggunakan subjek seorang ayah dari anak penyandang autis.


(22)

14

2. Metode Penelitian

Penelitian sebelumnya, sebagian menggunakan metode kuantitatif. Sedangkan Penelitian yang akan dilakukan kali ini menggunakan metode kualitatif deskriptif.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk yaitu untuk mengetahui gambaran penerimaan ayah yang memiliki anak autis.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis serta aspek-aspeknya.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini yaitu:

1. Secara teoritis memberikan sumbangan pada ilmu psikologi terutama psikologi klinis

2. Secara praktis penelitian ini berguna bagi orang tua yang memiliki anak autis khususnya para ayah agar dapat memiliki penerimaan diri yang baik dan positif apabila dikaruniai seorang anak dengan gangguan autisme.

F. Sistematika Pembahasan

Hasil pelaporan dari penelitian ini terbagi dalam beberapa bab, yaitu bab I sampai dengan bab V. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, fokus penelitian, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika pembahasan.

Bab II adalah kajian pustaka yang di dalamnya berisi teori-teori yang relevan dan sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan. Dengan kajian pustaka


(23)

15

ini pembaca dapat mengetahui pengertian autisme, simtom autisme, klasifikasi autisme, penyebab autisme, pengertian ayah, pengertian penerimaan, penerimaan ayah terhadap anak autis, faktor-faktor penerimaan ayah yang memiliki anak autis dan aspek-aspek penerimaan ayah yang memiliki anak autis.

Bab III adalah metode penelitian yang memuat uraian tentang metode dan langkah-langkah penelitian secara operasional yang menyangkut pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, analisis data, dan pengecekan keabsahan data.

Bab IV adalah hasil penelitian dan pembahasan yang memuat uraian tentang data dan temuan yang diperoleh dengan metode dan prosedur yang diuraikan dalam bab sebelumnya. Hal-hal yang dipaparkan dalam bab ini meliputi setting penelitian, hasil penelitian, serta pembahasan.

Bab V adalah penutup yang memuat temuan pokok atau kesimpulan, serta saran yang diajukan.


(24)

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A.Autisme

1. Penegrtian Autisme

Kata autis di ambil dari kata Yunani “Autos” yang artinya “Aku” dalam pengertian non-ilmiah yaitu bahwa semua anak yang bersikap sangat mengarah kepada dirinya sendiri karena sebab apapun, disebut autis. Istilah autisme ini diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, seorang psikiatris Amerika, ia menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu berinteraksi, dan berkomunikasi dengan individu lain dan sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup dalam dunianya sendiri (Aisyiyah. 2007).

Definisi Autisme menurut Maslim (2003) adalah merupakan sebuah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang yaitu dalam bidang interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang. Sedangkan menurut Mercer, Creighton, Holden, & Lewis (2006) ada kesamaan dengan Maslim dalam mengartikan anak autis adalah sebuah gangguan perkembangan saraf yang kompleks dengan banyak penyebab biologis, termasuk genetik, sindromik, dan lingkungan. Dan juga gangguan autisme merupakan gangguan perkembangan perfasif dengan karakteristik mengalami


(25)

17

hambatan dalam komunikasi dan juga interaksi sosial, maupun sikap pola yang repetitive (pengulangan) dan steorotyped (khas).

Autisme merupakan kelainan perkembangan sistem syaraf pada seseorang yang dialami sejak lahir ataupun saat masa balita. Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal maupun memahami emosi serta perasaan orang lain. Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme (Wikipedia. 2013).

Menurut DSM IV (Diacnostic Statistical Manual yang dikembangkan oleh para psikiater Amerika) mendefinisikan anak autis sebagai berikut :

1. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok a, b, dan c meliputi sekurang-kurangnya satu item dari kelompok a, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok b, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok c. a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh

paling sedikit dua diantara berikut :

1. Memiliki kesulitan dalam menggunakan berbagai perilaku non verbal seperti, kontak mata, ekspresi muka, sikap tubuh, bahasa tubuh lainnya yang mengatur interaksi sosial.


(26)

18

2. Memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan

teman sebaya atau teman yang sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya.

3. Ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat, atau

keberhasilan secara spontan dengan orang lain (seperti, kurang tampak adanya perilaku memperlihatkan, membawa atau menunjuk objek yang menjadi minatnya.

4. Ketidakmampuan dalam membina hubungan sosial atau emosi

yang timbal balik.

b. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit satu dari yang berikut :

1. Keterlambatan dalam perkembangan bicara, tidak berusaha

berkomunikasi non verbal.

2. Bagi individu yang mampu bicara, tapi tidak untuk komunikasi atau egoisentris.

3. Pemakaian bahasa yang berulang-berulang, aneh, atau yang disebut steorotip.

4. Cara bermain kurang variatif, imajinatif, kurang imitasi sosial. c. Pola minat perilaku yang terbatas, repetitive, dan steorotype seperti

yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut :

1. Keasikan dengan satu atau lebih pola-pola minat yang terbatas dan steorotipe yang baik dalam intensitas maupun dalam fokusnya.


(27)

19

2. Tampak tidak fleksibel atau kaku denga rutinitas atau ritual yang khusus, atau yang tidak memiliki manfaat.

3. Perilaku motorik yang steorotipe dan berulang-ulang seperti : memukul-mukulkan atau menggerakkan tangannya atau mengetuk-ngetukkan jarinya, atau menggerakkan seluruh tubuhnya.

4. Keasikan yang menetap dengan bagian-bagian dari benda (objek). 2. Perkembangan Abnormal atau terganggu sebelum usia tiga tahun seperti

yang ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal.

3. Sebaiknya tidak dikelompokkan ke dalam Rett Disorder , chillhood,

Integrative Disorder, atau Asperger syndrome.

Jadi autisme adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang kemudian memiliki hambatan dalam berinterkasi, berkomunikasi, berperilaku juga minat yang tidak biasa, dan gangguan ini sudah dapat terlihat pada anak sebelum usia tiga tahun.

2. Simtom Autisme

Autisme merupakan suatu gangguan yang sangat berat dengan tiga simtom utama, yaitu :

a. Simtom pertama, anak yang menderita autisme kurang responsif

terhadap orang lain dan sekitarnya. Terlihat hidup di dalam dunianya sendiri.


(28)

20

c. Simtom ketiga adalah aktivitas-aktivitas dan minat-minat yang terbatas

dan diulang-ulang. Anak autis juga lebih menyukai keteraturan berkenaan dengan stimulus-stimulus lingkungan. Sering kali ia secara kaku menempatkan barang-barang secara teratur dan akan merasa kebingungan bila kebiasaan itu diubah (Semiun. 2006).

3. Klasifikasi Autisme

Menurut Veskarisyanti (2008), ada beberapa klasifikasi autisme, diantaranya :

a. Aloof (Jauh)

Anak dengan autisme tipe ini senantiasa berusaha menarik diri dari kontak sosial dan cenderung untuk memojokkan diri pada sudut-sudut ruangan.

b. Passive (Pasif)

Anak dengan autisme tipe ini tidak berusaha untuk mengadakan kontak sosial, melainkan hanya menerima saja. Autistik jenis ini merupakan grup yang paling mudah ditangani

c. Active but Odd (Aktif tetapi aneh)

Anak dengan autisme tipe ini cenderung akan melakukan pendekatan, namun hanya bersifat satu sisi yang bersifat repetitive dan aneh. Kemampuan bicara pada autistik jenis ini seringkali lebih baik bila dibandingkan dengan kedua grup lainnya.


(29)

21

4. Penyebab Autisme

Penelitian tentang penyebab autisme pada mulanya masih dalam perdebatan. Tak ada penyebab khusus yang diyakini oleh para ahli seorang anak menyandang autisme. meski pernah di era 50-an sampai 60-an, dikatakan penyebabnya adalah akibat dari pengaruh perlakuan orang tua di masa kanak-kanak. Pada mulanya di tahun 40-an dr.Leo Kanner pernah melaporkan temuannya bahwa orang tua dari anak yang autisme, ternyata kurang merasa memiliki kehangatan dalam membesarkan anaknya. Namun sampai sekarang belum ada data yang bisa dipertanggung jawabkan untuk membuktikan kebenaran teori penyebab autisme adalah karena perilaku orang tua (Yatim. 2007).

Pendapat yang sudah menjadi konsensus bersama para ahli belakangan ini mengakui bahwa autisme diakibatkan terjadi kelainan fungsi luhur di daerah otak masih menurut Yatim (2007). Kelainan fungsi ini bisa disebabkan berbagai macam trauma seperti :

1. Sewaktu bayi dalam kandungan misalnya, karena keadaan keracunan

kehamilan, infeksi virus rubella, dan lain-lain.

2. Kejadian segera setelah lahir (perinatal) seperti kekurangan oksigen (anoksia).

3. Keadaan selama kehamilan seperti pembentukan otak yang kecil, misalnya

vermis otak kecil yang lebih kecil (mikrosepali) atau terjadi pengerutan


(30)

22

4. Mungkin karena kelainan metabolism seperti pada penyakit Addison (karena infeksi tuberkolosa, dimana terjadi bertambahnya pigment tubuh dan kemunduran mental).

5. Mungkin karena kelainan chromosom seperti pada syndrome chromosoma

X yang fragil seperti diberitakan belakangan ini tinggi insidennya di Gunung Kidul , Daerah Istimewa Yogyakarta dan sindroma chromosom XYY.

6. Mungkin ada faktor lain. Menurut Yatim (2007) pula Pemeriksaan CT scanning dan pneumo encephalogram pada anak autisme, yang tampak adalah Ventrikel lateral otak tidak normal, terutama daerah temporal dana juga terlihat pelebaran ventrikel lateral otak.

7. Pada pemeriksaan histopatologi yang terlihat sebagai berikut pembentukan sel-sel di daerah hippocampus terlihat tidak normal dan amygdale di kedua sisi otak.

8. Pada pemeriksaan EEG yang terlihat sebagai kelainan tidak khas.

9. Secara laboratorium yang terlihat adalah diduga ada kaitannya dengan banyaknya pembuangan zat phenil keton melalui air seni (phenil ketonuria). Jadi, kelihatannya autisme disebabkan oleh gabungan dari berbagai penyebab tersebut (Yatim. 2007).

Namun, menurut Wikipedia Indonesia Ensiklopedia Bebas 2013 hasil dari riset para ahli menghasilkan hipotesa yakni ada dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.


(31)

23

B. Penerimaan Ayah

1. Pengertian Ayah

Definisi ayah menurut Abdillah & Syarifuddin (1999) arti ayah adalah orang tua kandung laki-laki atau bapak. Orang tua laki-laki yang bukan orang tua adat atau hokum diakui sebagai ayah karena mengambil dan menganggap seseorang sebagai anaknya sendiri dengan segala hak dan kewajiban yang berhubungan dengan kedudukan itu.

Ayah merupakan gelar yang diberikan kepada seorang pria apabila ia telah memiliki anak, terlepas apakah itu anak kandung atau anak angkat. Kata ayah disebut juga dengan kata bapa, papah atau father dalam bahasa inggris yang mengandung banyak pengertian.. dalam hubungan kekeluargaan kata ayah memberikan pengertian sebagai kepala keluarga yang diharapkan membawa kesejahteraan bagi keluarganya (Tambunan. 1985)

2. Pengertian Penerimaan

Defenisi penerimaan menurut Abdillah & Syarifuddin (1999) adalah proses, cara, perbuatan menerima. Apabila penerimaan diri menurut Hurlock (1973) adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan.


(32)

24

Menurut Kolb (1984 dalam Febri, 2012) penerimaan merupakan pencerminan perasaan senang berhubungan dengan kenyataan yang ada pada dirinya. Sedangkan menurut Johnson dan Medinus (1976) penerimaan merupakan pemberian rasa cinta tanpa syarat yang tercermin melalui adanya perhatian yang kuat, cinta kasih serta sikap yang penuh kebahagian. Dan menurut Poerwadarminto (1991) Penerimaan adalah penyambutan dan perbuatan menerima.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan pengertian penerimaan adalah ungkapan rasa senang yang memunculkan sikap memberikan perhatian dan kepedulian yang begitu besar terhadap dirinya maupun kepada hal lain selain dirinya.

C. Penerimaan Ayah Terhadap Autis

Semua anak di dunia dengan perbedaan budaya, gender, usia, serta status ekonomi memiliki satu kesamaan yaitu butuh pengasuhan dari setiap orang tua dengan rasa cinta dan kehangatan demi kesehatan sosial dan perkembangan emosi mereka. Pada umumnya penerimaan orang tua terhadap anaknya adalah bagian dari kedekatan orang tua dengan anak-anak mereka. Kedekatan tersebut terlihat secara fisik, verbal maupun perilaku dalam bentuk simbol. Ini adalah ekspresi dari perasaan orang tua terhadap anaknya. Kemudian penolakan orang tua terhadap anaknya terlihat dari perilaku orang tua yang yang menyakitkan secara fisik maupun psikologis (Riaz & Qasmi, 2012).


(33)

25

Penerimaan ayah menurut Cinthia & Jorie (2008) terhadap anaknya adalah segala keterlibatan ayah di dalam aktivitas anak mereka. Penerimaan adalah bentuk keterlibatan, memberikan kehangatan serta selalu memantau aktivitas apa saja yang dilakukan oleh anak mereka. Ketika ayahnya sukses memantau segala suatu tindakan, aktivitas yang dilakukan anak, kedekatan antara ayah dan anak akan terjalin.

Sedangkan pengertian penerimaan orang tua yaitu suatu efek psikologis dan perilaku dari orang tua pada anaknya seperti rasa sayang, kelekatan, kepedulian, dukungan dan pengasuhan dimana orang tua tersebut bisa merasakan dan mengekspresikan rasa sayang kepada anaknya (Hurlock. 1973).

Hurlock (1966) juga menyatakan bahwa penerimaan ayah terhadap anak autis ditandai dengan perhatian yang besar dan kasih sayang pada anaknya tersebut. Ayah akan tetap memperhatikan perkembangan kemampuan anaknya dan memperhatikan minat anaknya meskipun anak tersebut menderita autisme.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerimaan ayah terhadap anak autis adalah sikap positif ayah terhadap anak yang menderita autisme yang ditunjukkan dengan segala ekspresi rasa cinta yang besar memperhatikan Sang anak memenuhi segala kebutuhan dan keinginan Sang anak serta terlibat langsung dalam segala aktivitas anak.


(34)

26

1. Faktor-faktor Penerimaan

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan ayah terhadap anak autis menurut Hurlock (1978) adalah sebagai berikut :

a. Konsep anak idaman, yang terbentuk sebelum kelahiran anak yang sangat

diwarnai romantisme dan didasarkan gambaran anak ideal dari orang tua.

b. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap

anaknya memperlakukan anaknya.

c. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter, demokratis maupun permisif, aku mempengaruhi sikap ayah dan cara memperlakukan anaknya.

d. Ayah yang menyukai peran, merasa bahagia dan mempunyai penyesuaian

yang baik terhadap perkawinan dan mencerminkan penyesuaian yang baik terhadap anak.

Menurut Sarasvati (2004) terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi penerimaan ayah terhadap anak autis, antara lain :

a. Dukungan keluarga besar, semakin kuatnya dukungan keluarga besar, orang tua akan terhindar dari merasa sendirian, sehingga menjadi lebih kuat dalam menghadapi cobaan, karena dapat bersandar pada keluarga besar mereka.

b. Kemampuan keuangan, dengan kemampuan finansial yang lebih baik,


(35)

27

memberikan beberapa terapi sekaligus, sehingga proses penyembuhan juga semakin cepat.

c. Latar belakang agama, kepercayaan yang kuat kepada Tuhan Yang Maha

Kuasa membuat orang tua yakin bahwa mereka diberikan cobaan sesuai dengan porsi yang mampu mereka hadapi. Dengan keyakinan tersebut, mereka mengupayakan yang terbaik untuk anak mereka, dan percaya bahwa suatu saat, anak tersebut akan mengalami kemajuan.

d. Sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya. Dokter ahli yang simpatik dan berempati, akan membuat orang tua merasa khusunya ayah merasa dimengerti dan dihargai. Dan orang tua menjadi merasa tidak sendirian serta merasa mendapat dukungan dalam menghadapi cobaan ini.

e. Tingkat pendidikan ayah dan ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan, relatif makin cepat pula orang tua menerima kenyataan dan segera mencari penyembuhan.

f. Status perkawinan, status perkawinan yang harmonis, memudahkan suami

istri untuk bekerja saling bahu membahu dalam menghadapi cobaan hidup yang mereka alami.

g. Sikap masyarakat umum. Di mana pada masyarakat yang sudah lebih menerima, mereka akan berusaha memberikan dukungan secara tidak berlebihan (pada saat berhadapan dengan anak-anak dengan kebutuhan khusus).


(36)

28

h. Usia, bahwa usia yang matang dan dewasa pada pasangan suami istri, memperbesar kemungkinanorang tua untuk menerima diagnosa dengan relatif tenang.

2. Aspek-Aspek Penerimaan

Coopersmith (Buss, 1995 dalam Febri, 2012). 2012, aspek-aspek penerimaan ayah terhadap anak autis :

a. Pemberian perhatian

Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan suatu hal secara tulus, tanpa syarat dan tidak mengharapkan balasan.

b. Simpati

Mempunyai rasa kasih dan menerima keadaan anak apa adanya.

c. Kasih sayang

Memberikan rasa sayang kepada anak melalui suatu tindakan-tindakan nyata maupun tidak nyata.

d. Mencoba membantu dalam situasi apapun

Memberikan bantuan dan turut andil dalam situasi dan kondisi yang dialami oleh anaknya yang menderita autis.

Menurut Kristi (1992 dalam Monika, 2000) aspek-aspek penerimaan ayah terhadap anak autis antara lain adalah :

a. Adanya perhatian dan kasih sayang

Merupakan sesuatu yang tulus, tanpa syarat apapun dan tidak mengharapkan balasan.


(37)

29

b. Adanya kepercayaan

Hal ini dapat ditunjukkan dengan memberikan kepercayaan kepada anak agar anak tersebut akan merasa bahwa dirinya dapat diterima oleh orang lain.

c. Adanya penghargaan dan penghormatan

Penghargaan dan penghormatan yang diberikan akan menjadi tolak ukur yang sangat penting bagi individu yang menerimanya untuk mengetahui tingkat penerimaan yang mereka peroleh.

d. Adanya bantuan dan kesedihan

Melalui bantuan dan kesedihan yang didapat dari orang lain, tersebut akan merasa dirinya dapat diterima.

D. Kerangka Teoritik

Kerangka teoritik dalam penelitian ini adalah menguraikan pandangan subjektif dan posisi peneliti. Peneliti sebagai orang yang meneliti suatu fenomena yang terjadi. Saat ini banyak anak dengan kondisi berkebutuhan khusus seperti anak autis yang mengalami hambatan dalam berinteraksi, dalam bersosialisasi, serta dalam komunikasi. Penerimaan serta peran orang tua sangat dibutuhkan dalam tumbuh kembang Si anak. Sudah banyak penelitian serta fakta yang ada penerimaan ibu yang memiliki anak autis lebih banyak diteliti serta bagi sebagian orang, menganggap mayoritas seorang ibu lebih menerima, lebih bisa memahami, serta menyangi anak dengan kondisi autis. Namun dalam penelitian kali ini, peneliti ingin meneliti dinamika penerimaan seorang ayah yang memiliki anak autis.


(38)

30

Dalam teori psikologi kepribadian, dari tokoh Alfred Adler, Adler mengatakan untuk membentuk individu yang memiliki kepribadian dan jiwa yang sehat, dalam fase perkembangan semenjak lahir hingga dewasa sangatlah penting peran ayah dan ibu. Pengaruh peran ayah dan ibu begitu besar dalam perkembangan jiwa seorang anak (Alwisol. 2009). Hal ini sesuai dengan pola pengasuhan orang tua. Dalam jurnal psychology yang berjudul Father’s Parenting

and Children Adjusment: The Mediating Role of Father-Child Conflict yang di

teliti oleh Xiayun dan Linyan (2012) mengatakan bahwa di dalam parenting style

atau yang disebut pola pengasuhan atau gaya mengasuh anak terdapat dua hal yang penting yaitu dalam mengasuh seorang anak harus dengan rasa cinta dan kehangatan.

Dari rasa cinta dan kehangatan tersebut akan muncul proses penerimaan dari orang tua khususnya ayah terhadap anaknya. Dan di dalam penerimaan terdapat aspek-aspek penerimaan orang tua atau ayah terhadap anaknya. Aspek-aspek penerimaan ini adalah dalam bentuk pemberian perhatian, pemberian kasih sayang, pemberian rasa simpati, serta mencoba membantu anak dalam situasi apapun atau terlibat langsung dalam segala aktivitas anak (Coopersmith (Buss, 1995 dalam Febri, 2012). Dalam aspek-aspek penerimaan ayah ini secara otomatis akan terjalin rasa peduli, kedekatan serta kelekatan diantara ayah dan anak. Dari hal di atas menunjukkan peran ayah dijalankan.

Kondisi-kondisi anak autis yang tidak hanya butuh kasih sayang, perhatian, simpati, serta bantuan dari seorang ibu, namun juga sangat membutuhkan perhatian, simpati, kasih sayang yang tulus, serta bantuan apapun dari ayahnya.


(39)

31

Sehingga diharapkan seorang ayah ketika mengetahui kenyataan bahwa memiliki anak autis dapat menerima serta memperlakukan anak autis tersebut seperti ketika ia memiliki anak tidak autis atau normal, karena kasih sayang, simpati, perhatian, dukungan, dari seorang ayah juga dibutuhkan oleh anak autis untuk membantu perkembangan psikologis serta mental yang lebih baik di kemudian hari.


(40)

32

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Bogdan dan taylor (1975, dalam Moleong, 2009) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dari individu tersebut secara holistik (utuh).

Menurut Denzin & Licoln (dalam Noor, 2012), kata kualitatif menyiratkan penekanan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau belum diukur dari kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekuensinya.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2010).

Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986, dalam Moleong, 2009) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu.


(41)

33

Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga, dan seterusnya. Di pihak lain kualitas menunjuk segi alamiah yang dipertentangkan dengan kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.

Moleong (2009) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif dapat dimanfaatkan untuk beberapa keperluan. salah satunya yaitu untuk memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang.

Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Husserl (1999, dalam Moleong, 2009) mengartikan fenomenologi sebagai: 1) pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang.

Menurut Bogdan dan Biklen (1982) peneliti dengan pendekatan fenomenologis berusaha memahami makna dari suatu peristiwa dan saling pengaruhnya dengan manusia dalam situasi tertentu (Alsa, 2004).

Pendekatan fenomenologi didasari atas pandangan dan asumsi bahwa pengalaman manusia diperoleh melalui hasil interpretasi. Objek, orang-orang, situasi, dan peristiwa-peristiwa tidak mempunyai arti dengan sendirinya melainkan melalui interpretasi mereka. Arti yang diberikan oleh seseorang terhadap pengalamannya dan proses interpretasi sangat penting, dan hal itu bisa memberikan arti khusus (Danim, 2002).

Istilah fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan umum untuk menunjukkan pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek yang


(42)

34

ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istilah ini mengacu pada penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang (Moleong, 2009).

Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia. Dalam hal ini, para fenomenologis ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain (Moleong, 2009).

Fenomenologi memiliki riwayat yang cukup panjang dalam penelitian sosial termasuk psikologi, sosiologi, dan pekerjaan sosial. Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia (Moleong, 2009).

Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji (Noor, 2012).

Dalam penelitian ini, jenis penelitian fenomenologi dipilih karena pengalaman-pengalaman yang dirasakan oleh seorang ayah yang memiliki anak autis, dapat dikatakan selalu berbeda. Hal yang membuat berbeda adalah antara seorang ayah yang satu ayah lainnya memiliki gambaran berbeda dalam menerima kenyataan mempunyai anak penyandang autis, dan aspek-aspek serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pun juga berbeda.


(43)

35

B. Kehadiran Peneliti

Melakukan penelitian fenomenologi pada hakekatnya adalah untuk memahami dan mendeskripsikan pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia. Di samping itu, peneliti merupakan instrumen utama. Oleh sebab itu kehadiran dan keterlibatan peneliti pada latar penelitian sangat diperlukan karena pengumpulan data harus dilakukan dalam situasi sesungguhnya.

Kehadiran peneliti sebatas sebagai pengamat penuh yang mengobservasi berbagai kegiatan yang dilakukan subyek penelitian. Namun, untuk memperjelas dan memahami apa yang dilakukan subyek maka dilaksanakan pula wawancara secara mendalam. Berkaitan dengan hal ini tentu saja kehadiran peneliti ini akan diketahui oleh subyek.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di daerah pinggiran kota Surabaya. Penelitian ini dilakukan di rumah masing-masing subjek untuk hal-hal yang bersifat rahasia dan membutuhkan suasana yang kondusif. Demikian juga dengan significantother.

Rumah kedua subjek penelitian terdapat di pinggir kota Surabaya, yang dekat dengan sekolah swasta islam ternama di Surabaya yaitu SD dan SMP Muhamadiyah 5 Pucang. Jarak rumah kedua subjek tidak jauh dari sekolah tersebut. Tidak ada alasan khusus atas pemilihan kota atau tempat yang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini. Secara umum lokasi penelitian ini juga tidak jauh dari Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya.


(44)

36

Secara geografis lokasi penelitian ini mudah dijangkau karena letaknya dekat dengan jalan raya utama menuju Surabaya Pusat yaitu Kota Madya. Melihat kondisi rumah-rumah penduduk maupun fasilitas umum seperti masjid, musholla, sekolah, yang ada di lokasi ini tampak ramai akan hilir mudik anak-anak yang hendak ke sekolah.

D. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian lapangan sebagai kerangka penulisan skripsi ini tentulah data kualitatif. Bungin (2001) menjelaskan bahwa data kualitatif diungkapkan dalam bentuk kalimat serta uraian-uraian, bahkan dapat berupa cerita pendek.

Sesuai dengan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi kali ini, maka sebagai sumber primer adalah data hasil observasi dan wawancara yang diperoleh dari seorang ayah yang memiliki anak autis. Subyek nantinya menjadi informan utama. Sedangkan sumber sekunder adalah hasil wawancara yang diperoleh dari seorang ibu yang menjadi significant other yang nantinya menjadi informan penguat.

E. Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara dan observasi. Penjelasannya adalah:

1. Wawancara

Menurut Hadi (2004) wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistemis dan berlandaskan tujuan penelitian.


(45)

37

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang menagjukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2009).

Wawancara merupakan sebuah percakapan antara antara dua orang atau lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subjek atau sekelompok subjek penelitian untuk dijawab (Danim, 2002).

Danim (2002) menambahkan bahwa pada penelitian kualitatif,

wawancara mendalam dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, wawancara

sebagai strategi utama dalam mengumpulkan data. Pada konteks ini, catatan data lapangan yang diperoleh berupa transkrip wawancara. Kedua, wawancara sebagai strategi penunjang teknik lain dalam mengumpulkan data, seperti observasi partisipan, analisis dokumen, dan fotografi.

Dalam penelitian ini wawancara digunakan untuk menggali informasi tentang penerimaan diri seorang ayah yang memiliki anak penyandang autis. Serta digunakan untuk mengklarifikasi informasi yang sudah didapat dengan keterangan dari significant others.

2. Observasi

Hadi (2004) mengemukakan bahwa observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistemis atas fenomena-fenomena yang diteliti. Observasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengamati lingkungan sosial subjek penelitian.


(46)

38

Teknik ini menuntut adanya pengamatan dari peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek penelitian. Instrumen yang dapat digunakan yaitu lembar pengamatan, panduan pengamatan. Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi antara lain: ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan (Noor, 2012).

F. Analisis Data

Penelitian kali ini adalah penelitian menggunakan pendekatan induktif. Moleong (2009) menjelaskan bahwa pendekatan induktif jelas pada beberapa jenis analisis data dalam penelitian kualitatif sebagai yang digambarkan oleh beberapa penulis penelitian kualitatif. Pendekatan induktif dimaksudkan untuk membantu pemahaman tentang pemaknaan dalam kata yang rumit melalui pengembangan tema-tema yang diikhtisarkan dari kata kasar. Pendekatan ini jelas dalam analisis data kualitatif. Ada yang menjelaskan secara gamblang secara induktif dan lainnya menggunakan pendekatan tanpa memberikan nama yang eksplisit.

Moleong (2009) menambahkan bahwa Proses koding induktif dimulai dari:

1. Pembacaan yang teliti tentang teks dan pertimbangan dari makna jamak

yang terdapat dalam teks.

2. Peneliti kemudian mengidentifikasikan segmen-segmen teks yang berisi satuan-satuan makna, dan menciptakan label untuk kategori baru ke dalam segmen teks yang diberikan.


(47)

39

3. Tambahan segmen teks ditambahkan pada kategori yang relevan. Pada tahap itu peneliti dapat mengembangkan deskripsi makna awal dari kategori dan dengan menuliskan catatan tentang kategori.

Menurut Creswell (2010) terdapat beberapa langkah dalam menganalisis data sebagai berikut :

a. Mengolah data dan mengintrepetasikan data untuk dianalisis langkah ini melibatkan transkrip wawancara, menscaning materi, mengerti data lapangam atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam jenis-jenis yang berbeda tergantung sumber informasi.

b. Membaca keseluruhan data. Dalam tahap ini, menulis catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan umum tentang data yang diperoleh.

c. Menganalisis lebih detail dengan mengkoding data. koding merupakan proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen sebelum memaknainya.

d. Menerapkan proses koding untuk mendiskripsikan setting, orang-orang, kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis.

e. Menunjukkan bagaimana diskripsi dan tema-tema ini akan disajikan kembali dalam narasi atau laporan kualitatif.

f. Menginterpretasi atau memaknai data .

Beberapa langkah dalam analisis data kualitatif di atas, akan diterapkan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini data yang didapat ditulis dalam transkrip wawancara, lalu dikoding, dipilah tema-tema sebagai hasil temuan, dan selanjutnya dilakukan interpretasi data.


(48)

40

Metode analisis data yang digunakan dalam studi ini juga berguna untuk meningkatkan pemahaman terhadap masalah, misalnya mengerti apa jenis pengalaman yang dipersepsikan oleh Subjek dan bagaimana mereka mengalaminya. Metode ini diharapkan akan membuat subjek mendeskripsikan pengalaman hidup mereka, sehingga karakteristik dan esensi dari fenomena dapat dideskripsikan dengan pemahaman yang lebih baik. Selain itu, analisis dengan metode ini merupakan prosedur pengolahan data dengan ketat (rigorious

procedure) untuk tetap menjaga netralitas empatik sehingga hasil olahan data

akan lebih kredibel.

G. Pengecekan Keabsahan Data

Untuk memperoleh temuan interpretasi data yang absah (trustworthiness)

maka perlu adanya upaya untuk melakukan pengecekan data atau pemeriksaan data yang didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.

Menurut Moleong (2009), ada empat kriteria yang digunakan dalam pengecekan keabsahan data. Yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan

(transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).

1. Kredibilitas data

Kriteria ini digunakan dengan maksud data dan informasi yang

dikumpulkan peneliti harus mengandung nilai kebenaran (valid).

Kredibilitas data bertujuan untuk membuktikan apakah yang teramati oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalm dunia kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia kenyataan tersebut memang sesuai dengan yang sebenarnya ada atau terjadi.


(49)

41

Untuk memperoleh keabsahan data, Moleong (2009) merumuskan beberapa cara, yaitu : 1) perpanjangan keikusertaan, 2) ketekunan pengamatan, 3) triangulasi, 4) pengecekan sejawat, 5) kecukupan referensial, 6) kajian kasus negatif, dan 7) pengecekan anggota. Dari ketujuh cara tersebut peneliti hanya menggunakan tiga cara yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, tiga cara tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, triangulasi. Yaitu merupakan teknik pemeriksaan

keabsahan data dengan melakukan pengecekan atau perbandingan terhadap data yang diperoleh dengan sumber atau kriteria yang lain diluar data itu, untuk meningkatkan keabsahan data. Denzin mengatakan empat uji triangulasi data yaitu: triangulasi sumber, metode, peneliti, dan teori. Pada penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah: a) triangulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan apa yang dikatakan oleh subjek dengan yang dikatakan informan dengan maksud agar data yang diperoleh dapat dipercaya karena tidak hanya diperoleh dari satu sumber saja yaitu subjek penelitian, tetapi juga data diperoleh dari beberapa sumber lain. b) triangulasi metode, yaitu dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dalam hal ini peneliti berusaha mengecek kembali data yang diperoleh melalui wawancara.

Kedua, menggunakan bahan referensi yaitu referensi yang utama


(50)

42

dimaksudkan agar data yang diperoleh memiliki dukungan dari teori-teori yang telah ada.

Ketiga, pengecekan anggota. Hal ini dimaksudkan selain untuk

mereview data juga untuk mengkonfirmasikan kembali informasi atau interpretasi peneliti dengan subjek penelitian maupun informan. Dalam pengecekan anggota ini semua subjek atau informan diusahakan dilibatkan kembali, tetapi untuk informan hanya kepada mereka yang oleh peneliti dianggap representatif (Moleong, 2009).

2. Ketegasan (confirmabilitas)

Kriteria ini digunakan untuk mencocokkan data observasi dan data wawancara atau data pendukung lainnya. Dalam proses ini temuan-temuan penelitian dicocokan kembali dengan data yang diperoleh lewat rekaman atau wawancara. Apabila diketahui data-data tersebut cukup koheren, maka temuan penelitian ini dipandang cukup tinggi tingkat konfirmabilitasnya. Untuk melihat konfirmabilitas data, peneliti meminta bantuan kepada para ahli terutama kepada para pembimbing. Pengecekan hasil dilakukan secara berulang-ulang serta dicocokkan dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini.


(51)

43

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Setting Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih empat minggu mulai dari tanggal 10 Januari sampai dengan 11 Februari 2014. Pengambilan data berupa wawancara dan observasi mulai dari awal hingga akhir dilakukan oleh peneliti di rumah masing-masing subyek begitu pula dengan significant others. Rumah masing-masing subyek berada dalam wilayah yang berbeda dengan peneliti, sehingga kemungkinan besar semua data yang diberikan para subyek adalah dari diri masing-masing.

Dalam proses pengambilan data berupa wawancara dan observasi, serta penulisan laporan penelitian secara keseluruhan peneliti banyak dibantu oleh dosen pembimbing juga teman sejawat. Pelaksanaan penelitian juga mengalami beberapa kendala. Diantaranya yaitu subjek sering berada di luar rumah, saat jadwal observasi dan wawancara sudah dijadwalkan. Berikut gambaran subjek pertama dan kedua.

1. Subjek Pertama

Subjek pertama ini disebut AC, seorang kepala rumah tangga dengan dua putra yang tinggal bersama dengan istri dan putra pertamanya, sedangkan putra keduanya tinggal di Jakarta sedang menuntut ilmu sarjana kedokteran di salah satu universitas swasta. AC dilihat dari fisik tidak termasuk pria dewasa yang memiliki postur tubuh tidak tinggi, rambut


(52)

44

sudah memutih mengelilingi kepalanya dan ditengahnya sedikit botak. AC memiliki warna kulit sawo matang berbadan sedang-sedang saja tidak terlalu gemuk tidak pula terlalu kurus. Terdapat ciri khusus di Jidat AC yaitu ada dua tanda melingkar berwarna hitam, yang tidak semua orang memilikinya. Tanda tersebut dipercayai sebagai ciri orang yang religious

atau orang yang dekat dengan Tuhan-Nya, masyarakat pada umumnya mengartikan sebagai tanda orang yang sering melakukan sholat sunnah.

AC dilihat dari sisi psikologis cenderung memiliki kecerdasan emosi yang matang serta termasuk orang yang religius, ini terlihat dari selama beberapa hari peneliti melakukan observasi dan wawancara AC terlihat tenang, dan cenderung sabar namun juga tegas dalam mendidik putranya yang autis serta mendidik anak-anak autis yang lainnya di Yayasan yang ia dirikan sendiri. AC juga cenderung tegas dalam memberikan contoh dalam hal beribadah seperti ketika adzan berkumandang AC langsung mengajak putranya dan istrinya untuk

berwudhu’ dan kemudian sholat.

Rumah AC tak terlalu besar bahkan jauh dari kata mewah, meski rumah AC terletak di kota Surabaya dekat dengan pusat kota. Rumah AC terletak di jalan yang strategis di mana hilir mudik anak sekolah dasar hingga menengah pertama, setiap hari lewat di depan rumah AC menuju SD dan SMP Muhammadiyah 5 Surabaya.

Terdapat banyak rumah di samping rumah AC, namun selalu tertutup rapat di setiap pintunya. Hanya rumah AC yang terlihat ramai


(53)

45

dengan kumpulan ibu-ibu sedang berbincang-bincang santai di teras rumah AC setiap jam setengah Sembilan pagi hingga adzan dzuhur, sambil menunggu anak-anak mereka selesai melakukan jadwal terapi.

Rumah AC memiliki teras yang asri dikelilingi denga tanaman, tersedia tempat duduk panjang atau kursi santai terbuat dari kayu jati untuk diduduki hingga muat tujuh orang. Disamping kanan teras rumah, terdapat sebuah pintu menuju ruang kerja Ibu dan AC . Di ruang kerja itulah AC dan istri bekerja, mengurus anak-anak autis, membuat program terapi untuk anak-anak autis, hingga menemui tamu pun AC dan istri dilakukan di ruang kerja tersebut. Di samping ruang kerja terdapat ruang kecil menuju dapur, ruang kecil inilah tempat jalannya anak-anak autis masuk ke kelas. Di ruang kecil ini pula terapis memencet bel ketika waktu jam istirahat tiba, atau ketika jam pulang sudah tiba. Beralih dari ruang kecil ini menuju ke dapur tempat istri AC memasak serta menyediakan makanan untuk terapis makan siang. Dari dapur menuju ruang terapi. Terdapat dua ruang terapi masing masing kira-kira berukuran 4 x 7 meter, setiap ruangan terdapat dua anak atau tiga anak yang sedang diterapi oleh terapis. Di depan ruang terapis terdapat ruang kosong yang sangat luas, sering digunakan oleh anak-anak yang mengikuti terapi, saat olah raga atau terapi fisik serta terapi bermain. Mengarah ke kanan dari ruang terapi bermain anak-anak terdapat ruang khusus keluarga AC, terdapat sofa beserta meja di sana, tidak jauh dari sofa untuk bersantai tersebut hanya dengan jarak 5 langkah terdapat meja makan untuk makan. Ruangan ini


(54)

46

dipenuhi dengan foto-foto kenangan dari keluarga AC serta lukisan-lukisan putra AC pertama penyandang autis, yang menempel di dinding. Di depan meja makan terdapat dua kamar berjajar dengan pintu jati.

Wawancara serta observasi dilakukan di dua tempat, di ruang kerja AC dan di ruang kelas putra AC menjalankan terapi.

2. Subjek Kedua

Subjek kedua ini disebut AB seorang kepala rumah tangga yang tinggal bersama putra dan istrinya. Putra beliau berusia 14 tahun. AB pria berusia 31 tahun memiliki warna kulit sawo matang, rambut lurus hitam, dan berbadan kurus, rambut AB lurus hitam, tinggi badan AB standart

seperti orang-orang pada umumnya. Dilihat dari sisi psikologis AB cenderung sering terlihat gelisah dilihat dari sorot matanya yang tidak pernah menatap ke arah peneliti ketika diajak berkomunikasi, AB juga terlihat jarang ada di rumah, terbukti setiap kali peneliti berkunjung untuk melakukan observasi wawancara AB sering tidak sedang di rumah meski sudah jam pulang kerja sore hari.

AB tinggal di rumah yang sederhana, di sebuah gang di pinggiran kota. Suasana rumah AB selalu ramai akan hadirnya anak-anak yang bermain petak umpet berlarian di sepanjang gang rumah AB. Setiap hari AB bekerja dari jam 8 pagi hingga menjelang adzan maghrib, sedangkan istri AB menjadi ibu rumah tangga full time merawat putra mereka.

Rumah AB terdapat satu kamar tidur, ruang tamu, ruang dapur, dan kamar mandi. Ruang dapur rumah AB jadi satu dengan ruang tamu. Di


(55)

47

ruang tamu terdapat TV 14 inc di ruangan inilah keluarga AB berkumpul serta di ruangan ini pula observasi dan wawancara dilakukan. Sebelum observasi dan wawancara dilakukan peneliti mengalami kesulitan untuk mengumpulkan data. Dikarenakan AB yang sibuk bekerja berangkat pagi pulang malam AB pun sempat menolak untuk pertama kali diminta untuk memberikan kesediaannya diwawancarai. Cukup lama peneliti berusaha meyakinkan AB dan istri AB untuk sedia diwawancarai. Sekitar satu minggu peneliti melakukan pendekatan dan akhirnya membuahkan hasil.

Minggu kedua wawancara pun dimulai, inipun berkat bantuan Sang istri. Istri AB mampu meyankinkan AB bahwa kerahasiaan data ini akan dijaga tidak akan disalahgunakan. Wawancara dilakukan di ruang tamu AB di depan sebuah kamar dan dapur. Sesekali wawancara juga dilakukan di depan rumah AB duduk di sebuah kursi kayu panjang di lorong gang rumah AB. Lingkungan rumah AB yang selalu ramai dengan suara anak-anak bermain sempat mengganggu berjalannya proses pengambilan data.


(56)

48

Berikut ini merupakan jadwal pelaksanaan wawancara dan observasi terhadap ketiga subyek penelitian dan significantother.

Tabel 1.1 Jadwal Pengambilan Data

NO. Tanggal Tempat Kegiatan

1. 10 Januari 2014 Rumah Subjek AC Wawancara dengan AB

2. 13 Januari 2014 Rumah Subjek AC Wawancara dengan AB

3. 14 Januari 2014 Rumah Subjek AC Wawancara dengan IC

(Significant Other)

4. 15 Januari 2014 Rumah Subjek AC Wawancara dengan GC

(Significant Other)

5. 16 Januari 2014 Rumah Subjek AC Observasi

6. 20 Januari 2014 Rumah Subjek AC Observasi

7. 22 Januari 2014 Rumah Subjek AC Observasi

8. 24 Jnuari 2104 Rumah Subjek AB Observasi dan

membangun raport

9. 25 Januari 2014 Rumah Subjek AB Observasi dan

membangun raport

10. 27 Januari 2014 Rumah Subjek AB Observasi

11. 28 Januari 2014 Rumah Subjek AB Observasi

12. 1 Februari 2014 Rumah Subjek AB Wawancara dengan

Subjek AB

13. 3 Februari 2014 Rumah Subjek AB Wawancara dengan

Subjek AB

14. 6 Februari 2014 Rumah Subjek AB Wawancara dengan

Subjek AB

15. 8 Februari 2014 Rumah Subjek AB Wawancara dengan

Subjek IB (Significant

Other)

16. 10 Februari 2014 Rumah Subjek AB Wawancara dengan

Subjek IB (Significant

Other)

17. 11 Januari 2014 Rumah Subjek AB Wawancara dengan

Subjek IB (Significant

Other)

Dari kegiatan wawancara dan observasi yang sudah dilakukan berdasarkan jadwal yang tersusun di atas didapatkan hasil penelitian yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.


(1)

100

dengan kecerdasan spiritual dan emosional yang kuat mampu membuat seorang ayah menjadi bersikap lebih tenang sehingga memasrahkan semua kenyataan yang ada kepada Tuhan Yang Maha Esa hal ini akan membuat seorang ayah akan lebih menerima kondisi putranya yang autis dengan sangat lapang dada dan ikhlas, sikap positif para ahli yang mendiagnosa yang baik juga menjadi dukungan atau support tersendiri yang akan terjalin hubungan

baik antara pasien dengan dokter dengan begitu anak autis akan juga lebih cepat membaik.

Tingkat pendidikan ayah dan ibu yang tinggi menjadikan ayah dan ibu memiliki pengetahuan yang luas tentang kehidupan dan juga tentang semua hal yang menyangkut dengan autis, sehingga akan lebih menerima apabila dikaruniai seorang anak yang memiliki gangguan autis, status perkawinan yang harmonis menjadikan suasana di rumah menjadi lebih tenang dan kondusif sehingga membuat anak autis nyaman yang otomatis juga membuat anak autis lebih cepat dalam proses penyembuhan menjadi anak-anak yang normal pada umumnya, sikap positif masyarakat umum atau dukungan sosial yang baik benar-benar sangat diharapkan yang juga sangat mendukung demi perkembangan fisik dan mental anak autis yang lebih baik.

Usia yang matang juga membuat seorang ayah lebih bijak dalam menyikapi sesuatu hal termasuk dalam menyikapi memiliki keturunan anak penyandang autis. Sehingga ayah menjadi orang tua yang lebih menerima kondisi apapun anaknya. Semua faktor dan aspek-aspek di atas saling


(2)

101

berkaitan, dan memberi dampak positif terhadap penerimaan seorang ayah yang memiliki anak autis.

Penerimaan ayah yang memiliki anak autis tersebut juga terdapat beberapa aspek, yaitu pemberian perhatian, simpati, kasih sayang dan juga mencoba membantu dalam situasi apapun. Seorang ayah yang menerima kondisi anaknya dalam keadaan apapun, maka akan dengan mudah memberikan perhatian, rasa simpatinya, kasih sayangnya, dan juga dengan suka rela membantu anaknya dalam situasi apapun dikehidupan sehari-hari. Dan sebaliknya seorang ayah yang menolak anaknya yang menyandang autis akan sulit memberikan perhatian, simpatinya, dan tidak mampu membantu ataupun mendampingi anaknya dalam situasi apapun dikehidupan sehari-hari.

Ketika aspek-aspek penerimaan ayah yang memiliki anak autis serta faktor-faktornya berjalan dengan baik dan seimbang sesuai dengan teori yang ada, maka perkembangan fisik dan psikis anak autis akan lebih cepat pulih sesuai dengan yang diingankan oleh orang tua dan banyak orang. Serta potensi minat dan bakat dari dalam diri anak autis akan bisa tergali. Seperti pada subjek AC, AC mampu menggali potensi putranya di luar akademis, yaitu potensi C dalam melukis, membaca huruf hijaiyah, menghitung dengan angka-angka arab, serta mampu menghafal bacaaan surat dalam sholat lima waktu.

Dalam penelitian ini Subjek pertama lebih menerima dengan kondisi yang dialami putranya. AC lebih memasrahkan semuanya kepada Tuhan, dan


(3)

102

mendukung sepenuhnya keadaan putranya serta selalu melakukan pendampingan terhadap putranya.

Berbeda dengan subjek kedua AB yang di awal diagnosa putranya dinyatakan penyandang autis, AB tidak menerima dan memberikan sikap negatif yaitu penolakan salah satu faktanya adalah AB sering berkata malu apabila ditanya bagaimana perasaannya memiliki anak autis serta AB juga mengatakan ia tidak pernah mengajak pergi atau sekedar jalan-jalan putranya keluar rumah dengan alasan yang sama yaitu malu.

B. Saran

Sebagai akhir dari penutup ini akan disampaikan saran atau rekomendasi yang ditunjukan kepada:

1. Orang Tua yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus atau autis Terutama seorang Ayah ssangat perlu sikap positif serta menerima dengan ikhlas apapun kondisi putra-putrinya yang lahir ke dunia. Memberikan perhatian dengan hangat serta rasa cinta yang penuh kepada putra-putrinya yang menyandang autis. Ini semua perlu demi kebaikan kelangsungan masa depan serta pengembangan potensi yanga ada dalam diri putra-putridari para orang tua itu sendiri.

2. Peneliti berikutnya

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terkait penerimaan seorang ayah yang memiliki anak autis dengan mengoptimalkan kajian dari berbagai disiplin ilmu sehingga dapat diperoleh pemahaman tentang penerimaan seorang ayah yang memiliki anak autis secara mendalam dan lebih objektif.


(4)

103

DAFTAR PUSTAKA

Abdilah, P & Syariffudin, A. (1999). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya : Arkola

Aisyiyah. (2007). Autis Bukanlah Suatu Penyakit. Suara Aisyiyah Volume: 84

Masalah 1-12. Yayasan Penerbit Pers Aisyiyah.

Alsa, A. (2004). Pendekatan Kuantitatif Kualitatif Serta Kombinasinya dalam

Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

American Psychiatric Association, Diagnostik and Statistical Manual of Mental

Disorders, Washington DC : American Psychiatric Association Publisher.

Creswell, J. W & Clark, V.P. (2010). Designing and Conducting Mixed Methods

Reserch 2 En Edition. Singapore : Sage Publication

Cynthia, B & Jorie, B. (2008). Role fo Parental Monitoring in Understanding the Benefits of Parental Acceptance on Adolescent Adherence and Metabolic Control of Type 1 Diabetes. Journal of Medical Sciences-Endocrinology. Volume : 31. No.04. Pg. 678-83

Danim, S. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

Dwianto.(2013). Keharmonisan Rumah Tangga Jihan Fahira dan Primus

Yustisio. Tabloid Harian Nova

http://www//.id.wikipedia.org/wiki/autisme. (2013). 19 : 27 pm di unduh pada tanggal 10 Januari 2014

Hadi, S. (2004).Metodologi Research. Untuk penulisan Laporan Skripsi, Thesis,

Dan Disertasi.Jilid 2.Yogjakarta : Andi.

Hagar, K. (2007). The Relationship of sleep Pattern Activity in children with autism. Journal of Psychological. Volume 76, No. 01. Hal.1-14.

Harnowo, P. A. (2013). Data Jumlah Anak Autis di Indonesia. Health.detik.com

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Alih Bahasa : Istiwidayanti, Soedjarwo.

Jakarta : Erlangga.

Kurniawan, V.F. (2012). Penerimaan Ayah terhadap Anak Autis ditinjau dari Harga Diri. Skripsi. Semarang : Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.


(5)

104

Maslim, R. (2003). Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta : Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Mazrieva, E. (2013). Ayah Muda di Amerika Semakin Terlibat dalam Pekerjaan RumahTangga.http://www.Portal.com/berita/luarnegeri/2676502_4213.ht ml

Mercer, S, S. Creighton, J.J.A.Holden, & Lewis, M.E.S. 2006. Parental Perspective on the Causes of an Autism Spectrum Disorder in their Children. Journal of Psychological. Volume 15, No.09Hal. 41-50

Moleong, J. L (2007).Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya

Monika. (2000). Studi Eksplorasi Mengenai Penerimaan Diri Ayah terhadap Anak Autis. Skripsi (Tidak diterbitkan). Seamarang. Universitas Soegijapranata.

Mulyadi. (2012). Data Jumlah Anak Autis di Indonesia. Health.detik.com. Diunduh pada tanggal 9 Januari 2014

Noor, J. (2012). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, & Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Octaviana, R. (2009). Penerimaan Kakak Remaja Awal terhadap Anak Autis.

Skripsi. Semarang : Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.

Rachmayanti, S & Zulkaida, A. (2007). Penerimaan Diri Orang Ttua terhadap Anak Autisme dan Peranannya dalam Terapi Anak Autisme. Jurnal

Psikologi Volume 1, No, 01.Hal.1-11

Ratya, Mega Putra. 2011. Anak Ruhut Sitompul Raih Medali Emas di Olimpiade

Tunagrahita. News.Detik.com

Riaz, M.N & Qasmi, F.N. (2012). Perceived Parental-Rejection Psychological Adjusmentand Self Concepts of Person with Disabilities. Journal of

Bahavioural and Science. Volume : 22, No.01, Pg.1-14

Safaria, T. (2005). Autisme Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna Bagi Orang

Tua. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sarasvati. (2004). Meniti Pelangi Perjalanan Seorang Ibu yang Tak Kenal Menyerah dalam membimbing putranya keluar dari belenggu ADHD dan

Autisme. Jakarta : PT. Elex media Komputindo

Semiun, Y. OFM. (2006). Kesehatan mental 2. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Sugiyono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.


(6)

105

Veskarisyanti, G. A. (2008). 12 Terapi Autis Paling Efektif dan Hemat. Yogyakarta: Galang Press.

Walgito, B. (1978). Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta : Andi Offset.

Xiayun, Yin; Zhihua, Li & Liyan, Su. (2012). Fathers Parenting and Children’s adjustment: The Mediating Role of Father – Child Conflict. Journal of

Sociology & Psychology. Volume: 40 Proquest. Pg. 1.401-1.408

Yatim, F. (2007). Autisme Suatu Gangguan Jiwa pada Anak-anak. Jakarta : Pustaka Populer Obor.

Zablotsky, Benjamin;Bradshaw, Catherine P;Andersom, Connie;Law, Paul. (2012). Behavioral Disorder; Involvement in Bulliying among Children with Autism Spectrum Disorders:Parents Persepective on the Influence of the School Factors. Journal of Psychological.Volume: 37; 3; Proquest. Pg.17-191