HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI SLB AUTIS DI SURAKARTA SKRIPSI

DENGAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI SLB AUTIS DI SURAKARTA SKRIPSI

Dalam Rangka Penyusunan Skripsi sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

1. Dra. Machmuroch, M.S.

2. Arista Adi Nugroho, S.Psi., M.M.

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

"Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" QS. Al Baqarah:286

Berfikirlah apa yang kita bisa lakukan jangan berfikir tentang apa yang tidak bisa kita lakukan

Melly Budhiman

Karya ini kupersembahkan untuk:

1. Alm. Bapak dan Ibu tercinta

2. Kakak-kakakku tercinta, Mas Antok, Mbak Diana, Mbak Fithri, dan Elyda

3. Seluruh ibu yang memiliki anak autis yang berjuang untuk anaknya

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan karya ini. Satu hal yang penulis sadari, bahwa karya ini dapat terselesaikan juga karena bantuan dari berbagai pihak. Rasa terima kasih sudah sepantasnya penulis sampaikan dengan hati yang tulus kepada segenap pihak atas segala partisipasinya dalam pelaksanaan dan penyelesaian karya ini. Untuk itu dengan kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp. PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

2. Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

3. Dra. Machmuroch, M.S selaku pembimbing utama skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat selama penyelesaian skripsi

4. Bapak Arista Adi Nugroho, S.Psi., M.M. selaku pembimbing pendamping dan pembimbing akademik atas segala bimbingan, bantuan, nasihat, dan kesabaran dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama studi dan penyusunan karya ini

5. Ibu Dra. Suci Murti Karini, M.Si., dan Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku penguji I dan II, yang telah bersedia memberikan saran dan kritik kepada penulis demi sempurnanya penulisan skripsi.

Yatmi, S.Pd., selaku Kepala SLB Autis Alamanda, dan Ibu Etty Prasetyastuti, S.E., M.M., selaku Kepala SLB Autis Harmony, yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.

7. Ibu-ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis Surakarta yang telah bersedia

menjadi responden dan berbagi pengalaman yang sangat berharga

8. Ahmad Isnaini Hasan, S.Si., yang setia dan penuh kesabaran selalu membantu, mendukung, memotivasi agar cepat selesai. Kita akan mendapatkan yang terbaik apabila melakukan yang terbaik.

9. Sahabatku yang sudah lulus tetapi masih memonitor penulis dari kota lain, Widya, Nisong, Ayu, Jessica, Shesa, dan Rifa, serta sahabatku Aan dan Dewi yang masih berjuang bersama di kampus ini. Semoga persahabatan kita kekal selamanya.

10. Teman-teman angkatan 2007 yang telah memberikan masukan, dukungan, dan pertemanan yang indah.

11. Anis, Septi, Mayya, Sofi, Prily, Adhisty, Mbak Nisa, Mbak Arum, dan para volunteer Autism Care Indonesia yang telah memberikan semangat dan tetap tersenyum, serta para orang tua dan anak berkebutuhan khusus yang menjadi inspirasi.

Semoga Allah SWT berkenan memberikan pahala yang sepadan dan semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, Desember 2012

DENGAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI SLB AUTIS DI SURAKARTA

Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK

Autis adalah gangguan perkembangan yang sifatnya kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, komunikasi, dan aktivitas serta minat yang terbatas yang sulit untuk dipahami oleh ibu yang memiliki anak autis, sehingga dapat menyebabkan stres. Penerimaan diri dan dukungan sosial diharapkan dapat membantu ibu yang memiliki anak autis untuk menghindari stres. Ibu yang dapat menerima diri sebagaimana adanya akan dapat menghindari stres karena dapat menyesuaikan harapan dengan kenyataan. Ibu yang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan akan terhindar dari stres karena adanya perasaan positif dalam dirinya.

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Subjek penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta, yaitu SLB Autis AGCA Center, SLB Autis Alamanda, dan SLB Autis Harmony dengan jumlah 68 orang, 30 orang untuk try out dan 38 orang untuk penelitian. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria

sampel berusia 20-45 tahun dan bukan single parent. Alat ukur yang digunakan

adalah skala stres pada ibu yang memiliki anak autis, skala penerimaan diri, dan

skala dukungan sosial. Analisis data menggunakan analisis regresi dua prediktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F-test = 14,916, p < 0,05, dan nilai R = 0,678. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima, yaitu terdapat hubungan signifikan yang kuat antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Hasil penelitian juga menunjukkan nilai

rx 1 y = -0,338; p<0,05, artinya terdapat hubungan signifikan yang negatif antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Nilai rx 2 y = -

0,354; p<0,05, menunjukkan terdapat hubungan signifikan yang negatif antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis..

Nilai R 2 dalam penelitian ini sebesar 0,460 atau 46%, terdiri atas

sumbangan efektif penerimaan diri terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 22,27% dan sumbangan efektif dukungan sosial terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 23,73%. Ini berarti masih terdapat 54% faktor lain yang mempengaruhi stres pada ibu yang memiliki anak autis selain penerimaan diri dan dukungan sosial.

Kata kunci: stres pada ibu yang memiliki anak autis, penerimaan diri, dukungan sosial

SUPPORT TOWARD STRESS HAPPENED TO MOTHERS WITH AUTISM CHILDREN IN SLB AUTISM SURAKARTA

Sebelas Maret University of Surakarta ABSTRACT

Autism is complex developmental disorder, consisting of social interaction aspect, communication aspect, activity aspect, and limited apitude that hard to be understood by mother with autism children, so that it causes stress. Self acceptance and social support can help mothers with autism children to avoid stress. Mothers who can accept their self will avoid from stress because can adapt their wishes with the real situation. Mothers who get social support from their environment will avoid from stress because positif feeling on their self.

The purpose of this research is to find out the correlation between self acceptance and social support toward stress happened to mothers with autism childrens. The subjects of this research are 68 mothers with autism childrens in SLB Autism Surakarta comprising SLB Autism AGCA Center, SLB Autism Alamanda and SLB Autism Harmony, divided into 30 for try out and 38 for research. This research used purposive sampling as a technique with the sample criteria of 20 45 years old and not including a single parent. This research used the scale of stress happened to mothers with autism childrens, self acceptance scale, and social support scale as the instruments. Data analysis in this research is multiple predictors regression analysis.

The result shows the value of F-test = 14.916, p < 0.05, and the value of R = 0,678. Based on the result, it can be concluded that the hypothesis in this research is accepted, that is a significant correlation between self acceptance and social support toward stress happened to mothers with autism childrens in SLB

Autism Surakarta. The result also shows the value of rx 1 y = -0.338; p<0.05, it

indicates negative significant correlation between self acceptance and stress

happened to mothers with autism childrens. The value of rx 2 y = -0.354; p<0,05, it

indicates negative significant correlation between social support and stress happened to mothers with autism childrens.

The value of R 2 in this research equals 0.460 or 46%, consisting of

22.27% effective contribution of self acceptance toward stress happened to mothers with autism childrens and 23.73% effective contribution of social support toward stress happened to mothers with autism childrens still 54% of another factors that also influence stress happened to mothers with autism childrens beside self acceptance and social support.

Keywords: stress happened to mothers with autism childrens, self acceptance, social support

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Hubungan antara Penerimaan Diri

dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis .................................................................................... 55

Gambar 2. Uji Autokorelasi ............................................................................ 103

Tabel 1. Tabel Penilaian Aitem Skala ................................................................. 64 Tabel 2. Blue Print Skala Stres ......................................................................... 65 Tabel 3. Blue Print Skala Penerimaan Diri ........................................................ 66 Tabel 4. Blue Print Skala Dukungan Sosial ...................................................... 67 Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

Sebelum Uji Coba ................................................................................. 80 Tabel 6. Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Sebelum Uji Coba ............... 82 Tabel 7. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial Sebelum Uji Coba .............. 84 Tabel 8. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

yang Valid dan Gugur .......................................................................... 87 Tabel 9. Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri yang Valid dan Gugur ......... 89 Tabel 10. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial yang Valid dan Gugur ........ 91 Tabel 11. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

untuk Penelitian .................................................................................... 92 Tabel 12. Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri untuk Penelitian................... 93 Tabel 13. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial untuk Penelitian ................. 94 Tabel 14. Hasil Uji Normalitas ............................................................................ 97 Tabel 15. Hasil Uji Linearitas Penerimaan Diri dengan Stres ............................. 98 Tabel 16. Hasil Uji Linearitas Dukungan Sosial dengan Stres ............................ 98 Tabel 17. Hasil Uji Multikolinearitas................................................................... 100

Tabel 18. Hasil Uji Heteroskedastisitas Lnei 2 dengan LnX 1 ................................ 101

Tabel 21. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi Ganda (R) ........................... 104 Tabel 22. Hasil Uji F ............................................................................................ 105 Tabel 23. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda .............................................. 105 Tabel 24. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi (r) ....................................... 106 Tabel 25. Hasil Analisis Korelasi Parsial Penerimaan Diri dengan Stres pada

Ibu yang Memiliki Anak Autis ............................................................. 107 Tabel 26. Hasil Analisis Korelasi Parsial Dukungan Sosial dengan Stres

pada Ibu yang Memiliki Anak Autis .................................................... 108 Tabel 27. Analisis Deskripsi Data Penelitian ....................................................... 109 Tabel 28. Hasil Perhitungan ME, MH, Nilai Tengah Skor, Skor Tinggi, Skor

Rendah, Rentang Skor, dan SD Variabel Penelitian ............................ 109 Tabel 29. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Skala

Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis ........................................... 110 Tabel30. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor

Penerimaan Diri .................................................................................... 110 Tabel31. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor

Dukungan Sosial ................................................................................... 111 Tabel32. Crosstab antara Penerimaan Diri dengan Lama Individu

Mengetahui Diagnosis Autis ................................................................ 112

Lampiran A. Skala Uji Coba ................................................................................. 132 Lampiran B. Distribusi Skor Uji-Coba ................................................................. 147 Lampiran C. Uji Validitas Dan Reliabilitas .......................................................... 160 Lampiran D. Skala Penelitian ............................................................................... 168 Lampiran E. Distribusi Skor Skala Penelitian....................................................... 180 Lampiran F. Analisis Data Penelitian ................................................................... 195 Lampiran G. Kelengkapan Admintrasi ................................................................. 209 Lampiran H. Jadwal Kegiatan Penyusunan Skripsi .............................................. 216 Lampiran I. Dokumentasi ..................................................................................... 219

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang tua khususnya ibu menginginkan anaknya berkembang sempurna, namun sering terjadi harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dimana anak memperlihatkan masalah dalam perkembangan sejak usia dini. Salah satu gangguan perkembangan yang dapat terjadi pada anak adalah autis.

Autis secara harfiah berasal dari bahasa Yunani, auto, yang artinya sendiri. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa anak autis pada umumnya hidup dengan dunianya sendiri, menikmati kesendirian dan tidak respon dengan orang- orang sekitar (Geniofam, 2010). Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat di berbagai belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 150.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalensi autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1.000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autis (Huzaemah, 2010).

Yayasan Autisma Indonesia (YAI) menyebutkan, meskipun jumlah anak penderita autis terus meningkat, namun belum pernah ada survei khusus mengenai jumlah penderita autis di Indonesia. Ketua YAI, dr. Melly Budhiman mengatakan

hanya ada di kota-kota besar saja, tetapi sudah merambah di daerah-daerah. Sayangnya hingga kini belum ada survei yang menunjukkan seberapa banyak jumlah penderita autis (Judarwanto, 2009). Indikator peningkatan baru dapat diperoleh dari catatan praktek dokter, yang dari penanganan 3-5 pasien baru per tahun, kini menangani 3 pasien baru setiap hari dan itupun dibatasi, serta dari catatan penerimaan siswa di sekolah-sekolah. Sulit mendapatkan angka di Indonesia mengingat bahwa belum ada sensus resmi, belum meratanya diagnosis untuk anak-anak autis, dan keengganan orang tua untuk mengakui bahwa anaknya adalah individu autistik (Yayasan Autisma Indonesia, 2008). Indonesia dengan jumlah penduduk 200 juta orang, hingga saat ini belum diketahui jumlah pasti penyandang namun diperkirakan jumlah anak autis dapat mencapai 150.000- 200.000 orang. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Huzaemah, 2010).

Berdasarkan data di Sekolah Luar Biasa (SLB) Autis Surakarta, antara lain SLB Autis Alamanda, SLB Autis AGCA Center, dan SLB Autis Harmony, telah terjadi peningkatan jumlah anak autis. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak autis dari yang awalnya hanya menangani 3-5 anak per hari, sekarang menangani 10-20 anak per hari bahkan lebih. Selain itu, walaupun SLB tersebut juga menangani anak berkebutuhan khusus yang lain, jumlah anak autis lebih besar dibandingkan dengan jumlah anak berkebutuhan khusus lain. Jumlah total siswa di SLB Autis Alamanda adalah 32 siswa dengan rincian 23 siswa autis, 2 ADHD, 3 retardasi Berdasarkan data di Sekolah Luar Biasa (SLB) Autis Surakarta, antara lain SLB Autis Alamanda, SLB Autis AGCA Center, dan SLB Autis Harmony, telah terjadi peningkatan jumlah anak autis. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak autis dari yang awalnya hanya menangani 3-5 anak per hari, sekarang menangani 10-20 anak per hari bahkan lebih. Selain itu, walaupun SLB tersebut juga menangani anak berkebutuhan khusus yang lain, jumlah anak autis lebih besar dibandingkan dengan jumlah anak berkebutuhan khusus lain. Jumlah total siswa di SLB Autis Alamanda adalah 32 siswa dengan rincian 23 siswa autis, 2 ADHD, 3 retardasi

Orang tua memiliki peran penting dalam perkembangan anak autis. Marijani (2003) menyatakan bahwa peran serta orang tua dalam memberikan penanganan kepada anak autis secara tepat, terarah, dan sedini mungkin dapat memberikan kesempatan yang besar kepada anak agar dapat hidup mandiri. Menurut Cohen & Volkmar (dalam Sembiring, 2010), ibu merupakan sosok yang banyak terlibat sehari-hari dalam pengasuhan anak dibandingkan ayah, karena ayah berperan sebagai pencari nafkah utama sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari maka ibu dipandang sebagai sosok yang paling dekat dengan anak.

Berdasarkan wawancara dengan S, salah satu ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis AGCA Center, memiliki anak autis merupakan salah satu masalah terberat dalam hidupnya. S bercerita bahwa orang tua khususnya ibu yang memiliki anak autis memiliki kehidupan yang berbeda dengan ibu yang memiliki anak normal. Perilaku anak autis yang sulit dipahami dan seperti tidak memiliki rasa lelah membuat S harus menghabiskan banyak waktu di rumah. S yang dulunya bekerja bahkan memutuskan untuk berhenti bekerja. S bercerita bahwa terkadang dia sulit memahami perilaku anaknya yang sangat suka merobek kertas sehingga S harus menyembunyikan semua kertas yang ada di rumahnya. Anaknya Berdasarkan wawancara dengan S, salah satu ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis AGCA Center, memiliki anak autis merupakan salah satu masalah terberat dalam hidupnya. S bercerita bahwa orang tua khususnya ibu yang memiliki anak autis memiliki kehidupan yang berbeda dengan ibu yang memiliki anak normal. Perilaku anak autis yang sulit dipahami dan seperti tidak memiliki rasa lelah membuat S harus menghabiskan banyak waktu di rumah. S yang dulunya bekerja bahkan memutuskan untuk berhenti bekerja. S bercerita bahwa terkadang dia sulit memahami perilaku anaknya yang sangat suka merobek kertas sehingga S harus menyembunyikan semua kertas yang ada di rumahnya. Anaknya

Menurut Handoyo (2003), anak autis memiliki kecenderungan untuk berperilaku berlebihan ataupun berkekurangan, berbeda untuk masing-masing anak. Perilaku berlebihan antara lain perilaku melukai diri sendiri (self abuse), seperti memukul, menggigit, dan mencakar diri sendiri; agresif, seperti perilaku menendang, memukul, menggigit, dan mencubit; dan tantrum, seperti perilaku menjerit, menangis, dan melompat-lompat. Perilaku berkekurangan ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun. Perilaku ini menyebabkan ibu yang memiliki anak autis harus ekstra 24 jam mengawasi anaknya. Hambatan komunikasi yang dialami anak mengakibatkan ibu semakin frustasi karena tidak dapat memahami keinginan anak. Boyd, dkk., (dalam Burrows, 2010) menyebutkan bahwa ibu yang memiliki anak autis membutuhkan usaha untuk mengatasi permasalahan yang sering muncul ketika menghadapi perilaku anaknya jika ingin terhindar dari stres.

peristiwa atau kejadian baik berupa tuntutan-tuntutan lingkungan maupun tuntutan-tuntutan internal (fisiologis atau psikologis) yang menuntut, membebani, atau melebihi kapasitas sumber daya adaptif individu. Sarafino (1994) berpendapat bahwa stres adalah kondisi yang disebabkan ketika ada perbedaan antara seseorang atau situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis, psikologis, atau sistem sosial individu tersebut.

Boyd, dkk., (dalam Burrows, 2010) menyebutkan bahwa ibu yang memiliki anak autis memiliki resiko yang tinggi terhadap depresi, stres, dan kecemasan. Depresi, stres, dan kecemasan ini disebabkan karena adanya dua hal yang saling bertentangan antara kebutuhan untuk tetap berbicara dan kebutuhan untuk tetap diam mengenai pengalaman traumatis memiliki anak autis. Hal ini diilustrasikan dengan perasaan yang kuat dan tanda-tanda penderitaan seperti sering menangis, merasa cepat lelah karena merasa secara otomatis dan permanen tidak dapat rileks, dan tidak mendapatkan malam tidur secara bertahun-tahun. Bristol & Schopler, Holroyd & McArthur, dan Dumas, dkk., (dalam Davis, dkk., 2008; Plumb, 2011) mengemukakan bahwa tingkat resiko depresi, stres, dan kecemasan ibu yang memiliki anak autis lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan yang lainnya seperti down syndrome dan retardasi mental.

Menurut hasil penelitian Sabih dan Sajid (2006), dengan sampel 60 orang tua (30 ayah, 30 ibu), dari 30 anak-anak dengan diagnosis autis yang diperoleh dari rumah sakit dan lembaga keterbelakangan mental di Islamabad, Rawalpindi Menurut hasil penelitian Sabih dan Sajid (2006), dengan sampel 60 orang tua (30 ayah, 30 ibu), dari 30 anak-anak dengan diagnosis autis yang diperoleh dari rumah sakit dan lembaga keterbelakangan mental di Islamabad, Rawalpindi

Hjelle dan Ziegler (dalam Ellyya dan Rachmahana, 2008) menyatakan bahwa toleransi terhadap stres yang tinggi merupakan salah satu ciri dari individu yang mampu menerima dirinya. Penerimaan diri ini terbentuk karena individu yang bersangkutan dapat mengenal dirinya dengan baik. Hurlock (1974) mengatakan bahwa penerimaan diri inilah yang membuat perilaku individu menjadi well-adjusted yang pada akhirnya memiliki daya tahan yang tinggi terhadap stres.

Penerimaan diri merupakan kemampuan untuk mengesampingkan kekurangan dan kesalahan, rasa malu yang merusak dan kecemasan yang ekstrim atau luar biasa (Maslow, 1994). Individu yang dapat menerima dirinya sendiri, mampu menerima sifat manusiawi dengan segala kekurangan dan dengan segala yang tidak sesuai dengan cita-cita idealnya, serta puas akan keadaan dan sifatnya sebagaimana adanya, tanpa kesal atau keluhan, atau bahkan terlalu banyak memikirkannya. Schultz (1991) berpendapat bahwa orang yang menerima diri dapat menerima kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan dan terlampau banyak memikirkannya. Meskipun mereka memiliki kelemahan-kelemahan, mereka tidak merasa malu atau merasa bersalah dengan hal-hal tersebut dan menerima apa adanya.

yang tinggi bila mampu memahami kelebihan-kelebihan dirinya, memaksimalkan segala potensi yang ada, dan mengakui keterbatasan dirinya. Ibu yang memiliki anak autis tidak membandingkan kehidupannya dengan kehidupan ibu dengan anak normal lainnya. Individu dapat menyesuaikan harapannya sesuai dengan kenyataan yang ada dan memahami keadaan diri sebagaimana adanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1974), yang menyebutkan bahwa penerimaan diri yang baik hanya akan terjadi bila individu yang bersangkutan mau dan mampu memahami keadaan diri sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang diinginkan. Selain itu juga harus memiliki harapan yang realistis, sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian bila seorang individu memiliki konsep yang menyenangkan dan rasional mengenai diri maka dapat dikatakan orang tersebut dapat menyukai dan menerima diriya.

Selain penerimaan diri, dukungan sosial merupakan komponen penting dalam kehidupan orang tua yang memiliki anak autis untuk menghindari stres. Menurut Tarwanti dan Astuti (2008), faktor pendukung dalam penyesuaian orang tua yang memiliki anak autis sehingga menghindarkan dari bahaya stres diantaranya adalah kondisi lingkungan yang selalu kondusif; dukungan emosional dari berbagai pihak baik dari pasangan, keluarga, teman-teman, maupun lingkungan; dukungan material; serta unsur-unsur penentu psikologis yang merupakan cara orang tua untuk bisa belajar dari pengalaman agar dapat menangani anak secara tepat. Sedangkan faktor penghambat adalah kondisi anak sendiri, minimnya informasi, dan kesibukan orang tua.

penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok Sumber utama dukungan sosial adalah dukungan yang berasal dari anggota keluarga, teman dekat, rekan kerja, saudara dan tetangga (Cobb, dkk., dalam Sarafino, 1994). Sarason (dalam Rustiana, 2006) menyebutkan dukungan sosial dapat berupa pemberian informasi, bantuan tingkah laku atau materi yang terdapat dari hubungan sosial yang akrab, atau hanya disimpulkan dari keberadaan mereka, yang membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai.

Lieberman (dalam Lubis, 2006) mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut sehingga akan mengurangi potensi munculnya stres. Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan antara respon individu pada kejadian yang dapat menimbulkan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres dan efeknya.

Penelitian Dunn, dkk., (2001) yang berjudul Moderators of Stress in Parents of Children with Autism menyebutkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu mekanisme untuk mengurangi stres pada orang tua yang memiliki anak autis. Lebih lanjut, dalam penelitian yang sama Gill & Harris (1991) menjelaskan bahwa tingkatan stres pada orang tua anak autis dapat dibedakan dari dukungan sosial yang diperoleh. Orang tua yang memiliki anak autis yang mendapatkan

masalah somatik dan gejala depresi. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa ibu yang memiliki anak autis memiliki peran yang sangat penting dalam membantu upaya penanganan anak autis untuk menjadi mandiri dan mampu beradaptasi. Perilaku anak autis yang sulit untuk dipahami dimungkinkan dapat menyebabkan ibu yang memiliki anak autis mengalami stres. Penerimaan diri dan dukungan sosial dimungkinkan terkait dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Fenomena semakin meningkatnya jumlah anak autis di SLB Autis di Surakarta membuat peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta?

2. Apakah terdapat hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta?

3. Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta?

Sesuai dengan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.

2. Mengetahui hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.

3. Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.

D. Manfaat

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis:

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai penerimaan diri, dukungan sosial, dan stres dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis, psikologi sosial ataupun studi psikologi pada umumnya.

b. Dapat berguna bagi bidang pengetahuan serta pihak-pihak terkait yang membutuhkan informasi seperti guru inklusi atau sekolah luar biasa dan praktisi psikolog yang menangani anak berkebutuhan khusus, khususnya autis.

Dari hasil penelitian ini diharapkan:

a. Bagi ibu yang memiliki anak autis, dapat membantu individu untuk menghindari stres dengan memiliki penerimaan diri yang tinggi dan memanfaatkan dukungan sosial dengan baik.

b. Bagi praktisi anak (guru inklusi atau sekolah luar biasa, psikolog, dokter dan atau tenaga kesehatan), diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam membantu ibu untuk menghindari stres.

LANDASAN TEORI

A. Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

1. Pengertian Autisme pada Anak

Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non-verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. Autisme merupakan kelainan dengan ciri perkembangan yang terlambat atau yang abnormal dari hubungan sosial dan bahasa (Lumbantobing, 2001).

Menurut Kanner (dalam Wenar, 2006) autisme adalah salah satu gangguan pervasif yang dicirikan dengan tiga ciri utama, yaitu pengasingan yang ekstrim (extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis dan kesamaan. Kebutuhan ini berlaku untuk anak dan lingkungannya. Ketiga, yaitu mutism dan cara berbicara yang tidak komunikatif, termasuk di dalamnya echolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan untuk menerjemahkan kalimat secara harafiah dan kata gantinya sendiri, biasanya

Nevid (2005) berpendapat bahwa autisme adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup. Anak-anak yang menderita autisme tampak benar-benar sendiri di dunia. Rapin (dalam Nevid, 2005) mengatakan bahwa gangguan Nevid (2005) berpendapat bahwa autisme adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup. Anak-anak yang menderita autisme tampak benar-benar sendiri di dunia. Rapin (dalam Nevid, 2005) mengatakan bahwa gangguan

Pada dasarnya gangguan autisme tergolong dalam gangguan perkembangan pervasif, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif (Pervasive Developmental Disorder) menurut DSM IV (APA, 2000 dalam Wenar, 2006). Namun dalam kenyataannya hampir keseluruhan golongan gangguan perkembangan pervasif disebut oleh para orangtua atau masyarakat sebagai autisme. Padahal di dalam gangguan perkembangan pervasif meski sama-sama ditandai dengan gangguan dalam beberapa area perkembangan seperti kemampuan interaksi sosial, komunikasi serta munculnya perilaku stereotipe, namun terdapat beberapa perbedaan antar golongan gangguan autistik (Autistic Disorder) dengan gangguan Rett

gangguan disintegatif masa anak (Childhood Disintegrative Disorder ) dan gangguan Asperger

). Gangguan autistik berbeda dengan gangguan Rett dalam rasio jenis kelamin penderita dan pola berkembangnya hambatan. Gangguan Rett hanya dijumpai pada wanita sementara gangguan Autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 5 : 1. Selanjutnya pada sindroma Rett dijumpai pola perkembangan gangguan yang disebabkan perlambatan pertumbuhan kepala (head growth deceleration), hilangnya kemampuan ketrampilan tangan dan munculnya hambatan koordinasi gerak. Pada masa

mengalami kesulitan dalam interaksi sosialnya. Selain itu gangguan Autistik berbeda dari Gangguan Disintegratif masa anak, khususnya dalam hal pola kemunduran perkembangan. Pada Gangguan Disintegratif, kemunduran (regresi) terjadi setelah perkembangan yang normal selama minimal 2 tahun sementara pada gangguan autistik abnormalitas sudah muncul sejak tahun pertama kelahiran. Selanjutnya, gangguan autistik dapat dibedakan dengan gangguan Asperger karena pada penderita asperger tidak terjadi keterlambatan bicara. Penderita Asperger sering juga disebut dengan istilah High Function Autism , selain karena kemampuan komunikasi mereka yang cukup normal juga disertai dengan kemampuan kognisi yang memadai.

Kriteria Diagnostik Autisme DSM IV (APA, 2000) dalam (Wenar, 2006) yaitu :

a. Didapatkan jumlah total 6 (atau lebih) aitem dari (1), (2), dan (3), dengan sekurangnya 2 dari (1) dan masing-masing (1) dari (2) dan (3). (1) Gangguan kualitatif interaksi sosial, bermanifestasi pada sekurangnya

dua dari hal berikut : (a) Gangguan yang nyata dalam perilaku non verbal multiple, seperti

menatap mata, ekspresi wajah, sikap badan, dan gestur (isyarat) untuk berinteraksi sosial.

(b) Gagal mengembangkan hubungan antar sebaya sesuai dengan

tingkat perkembangannya.

atau perolehan (misalnya kurang menyatakan, membawakan atau menunjukkan objek yang menarik).

(d) Kurang hubungan timbal balik sosial dan emosional. (2) Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi sebagaimana terlihat pada

sekurangnya satu dari hal berikut : (a) Terlambat, atau sama sekali tidak ada, perkembangan bahasa lisan

(tidak disertai upaya untuk mengkompensasikannya dengan cara komunikasi alternatif, seperti isyarat atau mimik).

(b) Pada individu yang bicaranya memadai, terdapat gangguan yang nyata dalam kemampuan untuk memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.

(c) Penggunaan bahasa secara stereotip atau berulang-ulang (yang itu

itu saja) atau bahasa idiosinkratik. (d) Kurang ragam bermain yang menggandai atau bermain sosial

imitative sesuai dengan tingkat perkembangannya. (3) Pola yang terbatas, berulang, dan stereotip dari perilaku, interest, dan aktivitas sebagai yang bermanifestasi pada sekurangnya satu dari hal berikut : (a) Terpaku perhatiannya pada satu atau lebih pola interest yang

stereotip dan terbatas yang abnormal intensitas atau fokusnya. (b) Tampak menempel secara tidak fleksibel pada rutinitas atau ritual

yang spesifik, tidak ada fungsinya.

mengelepak atau memilin tangan atau jari, atau gerak seluruh badan yang kompleks).

(d) Perhatiannya secara persisten dipenuhi atau melekat pada bagian-

bagian suatu objek.

b. Terlambat atau fungsi yang abnormal dari sekurangnya satu dari bidang berikut yang bermula sebelum usia 3 tahun, yaitu : (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan pada komunikasi sosial, (3) permainan simbolik dan imajinatif.

c. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam atau Childhood Disintegrative Disorder . Jadi dapat dipahami bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang mencakup aspek interaksi sosial, komunikasi, dan aktifitas dan minat yang terbatas, yang gejalanya biasanya muncul usia 1-3 tahun.

2. Pengertian Stres

Stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respon fisiologis, perilaku dan subjektif terhadap stressor; konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres; semua sebagai suatu sistem (WHO, dalam Sriati, 2008).

berbeda, definisi pertama stres dikatakan sebagai stimulus yang berasal dari situasi atau lingkungan yang menyebabkan individu merasa tertekan pada situasi tersebut, dalam pengertian ini stres dianggap sebagai sesuatu yang eksternal. Definisi kedua, stres dianggap sebagai respons subjektif, dalam pengertian ini stres dianggap sebagai sesuatu yang internal yaitu keadaan psikologis individu atau ketegangan yang dirasakan oleh individu dan definisi yang ketiga, stres dianggap sebagai reaksi fisikal tubuh untuk menuntut dan merusak sehingga menyebabkan gangguan-gangguan pada individu.

Menurut Crider, dkk., (1983), stres dapat diartikan sebagai gangguan reaksi fisiologis dan psikologis yang muncul ketika kejadian lingkungan mengancam dan memaksa kemampuan individu untuk menghadapi masalah. Taylor (2009) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif, dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres.

Menurut McGrath (dalam Walker, dkk, 2009) stres mengarah pada ketidakseimbangan antara tuntutan yang diterima dengan kemampuan individu untuk meresponnya. Lebih lanjut, Sarafino (1994) berpendapat bahwa stres adalah kondisi yang disebabkan ketika ada perbedaan antara seseorang atau lingkungan yang berhubungan dengan individu, yaitu situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis, psikologis, atau sistem sosial individu tersebut.

respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga seseorang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Namun, tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stressor tersebut, sehingga muncul keluhan-keluhan antara lain stres.

Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Morgan & King, dalam Rice, 1999). Menurut Atkinson (2000) stres muncul disebabkan adanya permintaan yang berlebihan yang tidak dapat dipenuhi sehingga dapat mengancam kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini disebut respon stres.

Berdasarkan pengertian ahli-ahli di atas dapat diperoleh pengertian bahwa stres adalah keadaan yang disebabkan oleh adanya tuntutan, baik tuntutan internal maupun tuntutan eksternal yang dapat membahayakan individu sehingga individu bereaksi baik secara fisiologis maupun psikologis.

3. Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

Ibu yang memiliki anak autis sering mengalami stres. Memiliki anak dengan kelainan seperti autis bukan hal yang mudah untuk diterima. Banyak Ibu yang memiliki anak autis sering mengalami stres. Memiliki anak dengan kelainan seperti autis bukan hal yang mudah untuk diterima. Banyak

Pikiran negatif ibu yang memiliki juga disebabkan perilaku anak autis yang berbeda dengan anak yang lain. Anak autis dapat berperilaku berlebihan (excessive) , seperti perilaku menjerit, menangis, dan melompat-lompat. Hal ini menyebabkan ibu merasa khawatir anak akan kelelahan dan merasa bersalah karena dapat mengganggu dan membahayakan orang lain di sekitar. Perilaku berlebihan juga dapat berupa perilaku yang melukai diri sendiri (self abuse) seperti memukul, menggigit dan mencakar diri sendiri yang tentu saja dapat membahayakan nyawa anak. Ibu harus bekerja keras dalam mengawasi anak karena setiap saat anak dapat melakukan tindakan self abuse. Untuk menghentikan tindakannya orang tua juga karus sabar karena anak mengalami hambatan dalam berkomunikasi, sehingga bila cara yang dilakukan salah maka akan memperparah keadaan. Hal ini membuat ibu yang memiliki anak autis merasa mudah lelah, makan menjadi tidak teratur, dan mengalami gangguan tidur.

Selain perilaku yang berlebihan, anak autis juga dapat memiliki perilaku berkekurangan yang ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun. Tentu saja hal ini membuat ibu bingung Selain perilaku yang berlebihan, anak autis juga dapat memiliki perilaku berkekurangan yang ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun. Tentu saja hal ini membuat ibu bingung

Cohen & Volkmar (dalam Lubis, 2009) menjelaskan bahwa umumnya orang tua yang memiliki anak autis akan mengalami stres. Hal ini terjadi baik pada ayah maupun ibu. Ayah dan ibu juga mengalami penampakan yang berbeda dari stres yang mereka alami yang berhubungan dengan masalah- masalah anak autisnya. Ibu lebih rentan terhadap stres karena ibu berperan langsung dalam kehadiran anak. Biasanya ibu cenderung mengalami perasaan rasa bersalah dan depresi yang berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya. Ibu juga merasa stres karena perilaku yang ditampilkan anaknya, seperti tantrum, hyperaktif, kesulitan bicara. perilaku yang tidak lazim, dan ketidakmampuan bersosialisasi. Berbeda dengan ayah yang juga sebenarnya mengalami stres yang sama, tetapi dampak stresnya tidak seberat apa yang dialami oleh ibu. Hal ini disebabkan peran utama ayah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari.

Memiliki anak autis menyebabkan ibu mengalami konflik batin dalam menerima keberadaan anaknya yang autis. Konflik ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan antara keinginan dan harapan ibu yang tidak terpenuhi untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam keluarga. Konflik batin yang dialami oleh ibu akan mempengaruhi keadaan psikologisnya, yang kemudian akan berdampak pada sikap atau perilaku yang ditunjukkan oleh ibu kepada anaknya yang autis tersebut. Selain itu merawat anak autis sendiri

pengorbanan fisik tetapi juga psikis. Menurut Heiman (2002), stres ibu yang memiliki anak autis disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuan anak; ketidakmampuan dalam keterampilan pengasuhan; merasa syok, depresi, bersalah, bingung, marah, putus asa, dan menyangkal atas diagnosis anak; ketidakmampuan dalam mengatasi stres; dan merasa putus asa dengan masa depan anak. Faktor eksternal meliputi ketidakpercayaan terhadap pihak professional, stereotip, biaya medis, dan kurangnya informasi mengenai autis.

Berdasarkan uraian di atas, stres pada ibu yang memiliki anak autis dalam penelitian ini dimaknakan sebagai kondisi atau keadaan tidak menyenangkan yang dialami ibu yang disebabkan oleh adanya tuntutan, baik tuntutan internal maupun eksternal yang dapat membahayakan individu sehingga individu bereaksi secara fisiologis maupun psikologis.

4. Aspek-aspek Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

Crider, dkk., (1983) mengemukakan aspek stres menjadi 3, yaitu :

a. Gangguan emosional Gangguan emosional biasanya berwujud keluhan-keluhan seperti tegang, khawatir, marah, malu, tertekan dan perasaan bersalah. Secara umum, hal tersebut adalah sesuatu hal yang tidak menyenangkan atau emosi negatif yang berlawanan dengan emosi positif seperti senang, a. Gangguan emosional Gangguan emosional biasanya berwujud keluhan-keluhan seperti tegang, khawatir, marah, malu, tertekan dan perasaan bersalah. Secara umum, hal tersebut adalah sesuatu hal yang tidak menyenangkan atau emosi negatif yang berlawanan dengan emosi positif seperti senang,

b. Gangguan kognitif Gejalanya tampak pada fungsi berpikir, mental images, konsentrasi dan ingatan. Dalam keadaan stres, ciri berpikir dalam keadaan normal seperti rasional, logis dan fleksibel akan terganggu karena dipengaruhi oleh kekhawatiran tentang konsekuensi yang terjadi maupun evaluasi diri yang negatif. Mental images diartikan sebagai citra diri dalam bentuk kegagalan dan ketidakmampuan yang sering mendominasi kesabaran individu yang mengalami stres, seperti mimpi buruk, mimpi-mimpi yang menimbulkan imajinasi visual menakutkan dan emosi negatif. Konsentrasi diartikan sebagai kemampuan untuk memusatkan pada suatu stimulus yang spesifik dan tidak memperdulikan stimulus lain yang tidak berhubungan. Pada individu yang mengalami stres, kemampuan konsentrasi akan menurun, yang akhirnya akan menghambat performansi kerja dan kemampuan pemecahan masalah (problem-solving). Memori pada individu yang mengalami stres akan terganggu dalam bentuk sering lupa dan bingung. Hal ini disebabkan karena terhambatnya kemampuan memilahkan dan menggabungkan ingatan-ingatan jangka pendek dengan yang telah lama. Maka dari itu, orang tua yang memiliki anak autis akan mengalami gangguan fungsi berpikir, mental images, konsentrasi dan ingatan sehingga akan mengganggu dalam memecahkan masalah.

Gangguan fisiologis ditandai dengan terganggunya pola-pola normal dari aktivitas fisiologik yang ada. Gejala-gejalanya yang timbul biasanya adalah sakit kepala, konstipasi, nyeri pada otot, menurunnya nafsu seks, cepat lelah dan mual. Ibu yang memiliki anak autis akan mengalami gangguan fisiologis tersebut.

Taylor (2009) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:

a. Aspek fisiologis, dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.

b. Aspek kognitif, dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.

c. Aspek emosi, dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.

d. Aspek tingkah laku, dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

Menurut Rice (1999), secara umum aspek-aspek stres diidentifikasikan ke dalam 4 gejala, yaitu : Menurut Rice (1999), secara umum aspek-aspek stres diidentifikasikan ke dalam 4 gejala, yaitu :

b. Gejala emosi, sebagian besar gejala emosi pada stres adalah kecemasan, ketakutan, cepat marah dan depresi. Gejala lainnya yaitu frustrasi, perasaan yang tidak menentu dan kehilangan kontrol. Di dalam pekerjaan, stres ditunjukkan dengan kehilangan semangat dan penurunan kepuasan kerja.