ANALISIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA AUTENTIK TANPA DIHADIRI OLEH PARA PIHAK - UNS Institutional Repository

  

ANALISIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA AUTENTIK

TANPA DIHADIRI OLEH PARA PIHAK

TESIS

  Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Magister

  Kenotariatan

  

Oleh

EVIE HANAVIA

S351502016

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

  

2017

  

MOTTO

  “Anda bisa sukses sekalipun tak ada orang yang percaya anda bisa. Tapi anda

tak pernah akan sukses jika tidak percaya pada diri sendiri”.

  

(William JH Boetcheker)

“Bermimpilah yang sebesar-besarnya, tapi bersegeralah untuk mengerjakan

sekecil- kecilnya kebaikan yang terdekat.”

  

(Mario Teguh)

“Teruslah berusaha mencapai sukses yang kamu inginkan”

(Penulis)

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala limpahan ramhmat, taufiq dan hidayah-Nya sehinga penulis memperoleh kekuatan untuk menyelesaikan tesis yang berjudul "ANALISIS

  

TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA AUTENTIK TANPA DIHADIRI

OLEH PARA PIHAK dapat penulis selesaikan guna memenuhi sebagian

  persyaratan untuk mencapai derajat Magister Program Studi Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

  Penulisan Tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penyusunan tesis ini, penulis menyadari bahwa untuk terselesaikannya penulisan hukum ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan yang berupa bimbingan, nasihat, fasilitas, serta dukungan moril maupun materiil. Oleh karena itu dalam kesempatan yang baik ini dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut :

  1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kemudahan penulis dalam melaksanakan pendidikan Pascasarjana Program studi Magister Kenotariatan.

  2. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, sebagai Direktur Program Pascasarjana UNS.

  3. Bapak Prof. Dr. Supanto, S.H., M.H.selaku Dekan Fakultas Hukum UNS.

  4. Bapak Burhanudin Harahap. S.H., M.H., M.Si., Ph.D. selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan saran dan masukkan yang dituangkan dalam penulisan tesis ini.

  5. Bapak Dr. Widodo Tresno Novianto,S.H.M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan ilmu,bimbingan, arahan, panduan dan motivasi selama penulisan tesis sehingga tesis ini dapat selesai.

  6. Notaris Toto Susmono Hadi, S.H., M.H. selaku dosen pembanding yang telah memberikan koreksi dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini;

  7. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta atas segala ilmu yang telah diberikan yang sangat bermanfaat bagi masa depan penulis;

  8. Bapak dan Ibu tercinta, Bapak Dadi dan Ibu Martini yang tak henti-hentinya memberikan, semangat dan mendoakan penulis, hingga akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini;

  9. Ida Purnama Dewi S.E selaku kakak yang selalu meluangkan tenaga dan waktunya dalam membantu penyelesaian tesis ini;

  10. Istibsyaroh Wulandari dan Imam Prajuritno, selaku adik – adik tercinta yang tak henti

  • – hentinya dalam memberikan dorongan dan semangat kepada penulis.

  11. Kepada teman – teman yang tidak bisa disebutkan satu – persatu terima kasih atas segala bentuk bantuan, motivasi kepada penulis;

12. Seluruh staf Rektorat dan staf administrasi Program Magister Kenotariatan

  Universitas Sebelas Maret Surakarta, serta para pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu ; Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna perbaikan serta kesempurnaan tesis ini. Akhirnya Penulis berharap semoga hasil tesis ini dapat memberikan manfaat pada pihak-pihak yang berkepentingan.

  Surakarta,24 Juli 2017 Penulis

  

DAFTAR ISI

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN TESIS ............................................................. iii HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... iv MOTTO .......................................................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................... viii ABSTRAK ...................................................................................................... x

  

  

  

  

  

  BAB I PENDAHULUAN

  

ABSTRACT ...................................................................................................... xi

  

  

  

   B. Implikasi ................................................................................ 100

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  C. Saran ...................................................................................... 100 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

  

ABSTRAK

  Evie Hanavia.S351502016. Analisis Tindak Pidana Pemalsuan Akta Autentik Tanpa Dihadiri Oleh Para Pihak. 2017. Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

  Tujuan penulisan hukum ini adalah menganalisa dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak pidana pemalsuan akta autentik yang dalam pembuatnya tanpa dihadiri oleh para pihak, serta menganalisa pertimbangan hukum hakim ditinjau dari perspektif tugas dan jabatan notaris. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif (normatif legal

  

research) dengan menggunakan Pendekatan Peraturan Perundang- undangan

(statute approach) dan Pendekatan Konsep (conceptual approach).

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pemalsuan akta autentik yang dibuat oleh notaris tanpa dihadiri oleh para pihak, Notaris melanggar Pasal 264 ayat (1) Ke-1 KUHP Tentang Pemalsuan Surat, hakim menggunakan dasar pertimbangan dititiberatkan pada pemasalahan tindak pidana pemalsuan akta autentik yang dibuat oleh Notaris, dasar pertimbangan hukum hakim ditinjau dari perspektif tugas dan jabatan Notaris bahwa Notaris juga melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat 1 huruf m dan Pasal 44 ayat (1) tentang penandatanganan yang tercantum pada UUJN, akta autentik yang dibuat oleh notaris harus ditandatangani oleh para pihak yang namanya tercantum pada minuta akta, penandatangan akta dilakukan setelah Notaris membacakan isi akta dan penandatangan akta tersebut harus dihadapan Notaris yang berwenang membuat akta tersebut, maka akibat hukum yang terjadi terkait pelanggaran tersebut akta hanya memiliki kekuatan pembuktian dibawah tangan dan bukan lagi sebagai akta autentik. Kata Kunci : Notaris, Akta Autentik, Saksi, Tindak Pidana

  

ABSTRACT

  Evie Hanavia. S351502016. An Analysis of Authentic act of counterfeiting acts without the presence of the parties. 2017. Notary Master Program of Faculty of Law of Sebelas Maret University.

  The purpose of writing this law is the basis to analyze the legal reasoning of judges in deciding the case the crime of falsification of certificates, authentic in its maker without the presence of the parties, and to analyze the legal reasoning of judges evaluated from the perspective of the duties and office of a notary. This study is a normative legal research (normative legal research) using Rule Approach legislation (statute approach) and Approach concept (conceptual approach).

  The results showed that the consideration of judges in deciding cases of counterfeiting deed authentic made by a notary without the presence of the parties, a notary in violation of Article 264 paragraph (1) All 1 of the Criminal Code About Counterfeit Letter, judges use a basic consideration dititiberatkan on pemasalahan the crime of falsification of certificates of authentic notary, the basis of the legal reasoning of judges evaluated from the perspective of the duties and office of the notary that the notary also violate the provisions set forth in Article 16 paragraph 1 letter m and Article 44 paragraph (1) of the signing listed on UUJN, deed authentic made by a notary must be signed by the person whose name is listed in the minutes of the deed, the undersigned deed done after the Notary read out the contents of the deed and the signatories of the deed should Notary authorized to make such deed, the legal consequences that occur related to the violation deed only has the strength of evidence under the hand and bu right again as an authentic deed. Keywords : Notary, Deed Authentic, Witness, Crime

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam memenuhi kebutuhan hidup, tindak kriminal semakin marak

  terjadi. Hal tersebut tidak lepas dari berbagai aspek sosial, lingkungan, dan aspek lainnya khususnya pada aspek ekonomi sehingga tidak menutup kemungkinan modus pelaku tindak kriminal itu sendiri semakin berkembang, baik itu dari segi pemikiran maupun dari segi teknologi. Dalam hukum di Indonesia pemalsuan terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang- Undang

1 Hukum Pidana (KUHP) . Memang pemalsuan sendiri diatur dalam BAB

  XII (Pemalsuan Surat) Buku II KUHP (Kejahatan), buku tersebut mencantumkam bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa tulisan- tulisan saja, termasuk di dalamnya pemalsuan surat yang diatur dalam Pasal 263 KUHPidana s/d pasal 276 KUHPidana. Tindak pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHP (membuat surat palsu atau memalsukan surat), dan Pasal 264 KUHP (memalsukan akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke

  2 dalam suatu akta otentik) .

  Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsukan, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isi surat sehingga berbeda

  3 1 dengan surat semula .

  

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

2 2005, hal. 11. 3 Ibid, hal 22

  Pemalsuan merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur dalam Bab

  XII Buku II KUHPidana, dimana pada buku tersebut dicantumkan bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa tulisan-tulisan saja, termasuk didalamnya pemalsuan tanda tangan yang diatur dalam pasal 263 KUHPidana s/d Pasal 276 KUHPidana.

  Tindak Pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHPidana (membuat surat palsu atau memalsukan surat); dan Pasal 264 (memalsukan akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik).

  Adapun Pasal 263 KUHPidana, berbunyi sebagai berikut

  4

  : 1)

  Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun;

  2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Sedangkan Pasal 264 KUH-Pidana berbunyi sebagai berikut

  5

  : 1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:

  1. Akta-akta otentik;

  2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya atau pun dari suatu lembaga umum;

  3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari sesuatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; 4 Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 5

  4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; 5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. 2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

  Pasal 266 ayat (1) KUHP, berbunyi: “Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah- olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh

  6

  ta hun.” Memperhatikan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, adapun yang menjadi unsur-unsurnya yaitu: a. Barang siapa ; b Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ; c. dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran. Kemudian memperhatikan bunyi

  Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, menetapkan bahwa sebagai pelaku tindak pidana yaitu : a. mereka yang melakukan, b. mereka yang menyuruh melakukan, dan c. mereka yang turut serta dalam melakukan perbuatan, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hukumnya, yaitu:

  1. Barang siapa ;

  2. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ;

  3. Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangan sesuai dengan kebenaran ;

  4. Pelakunya:

  a. Mereka yang melakukan ; 6

  b. Mereka yang menyuruh melakukan ; c. Mereka yang turut melakukan.

  Ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang menjadi subyek (pelaku), yaitu “yang menyuruh memasukkan keterangan palsu”, dan kata “menyuruh” merupakan bagian yang sangat penting (bestanddeel) dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuat akte dalam hal ini Notaris, ia (Notaris) bukan sebagai subyek (pelaku) dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi Para Pihak pembuat akte otentik tersebutlah yang sebagai subyek (pelaku), karena merekalah yang sebagai menyuruh memasukkan keterangan palsu.

  Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam pembuatan akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang keperdataan. Notaris berwenang membuat akta otentik dan memiliki posisi yang strategis dalam memberikan kepastian hukum kepada masyarakat khususnya bidang perikatan yang terjadi karena perjanjian. Ruang lingkup pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran formil atas akta yang dibuatnya.

  Kepastian hukum dan semangat pembaharuan semakin tercermin sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Dalam penjelasan umum UUJN disebutkan bahwa landasan filosofis dibentuknya UUJN adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.Arti penting dari profesi notaris itu sendiri disebabkan karena notaris oleh undang-undang diberi kewenangan untuk menciptakan alat pembuktian yang mutlak, dalam pengertian bahwa apa yang disebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar. Melalui akta yang dibuatnya, notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa notaris. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris dapat menjadi bukti otentik dalam memberi perlindungan hukum kepada para pihak maupun yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau perbuatan hukum. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting pada setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus dapat diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya di pengadilan.

  Otentitas suatu akta tidaklah cukup apabila akta tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat (notaris) saja, namun cara membuat akta otentik tersebut haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila ditandatangani oleh pihak-pihak yang

  7 bersangkutan .

  Akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak karenanya. Akta otentik dapat dikalahkan oleh bukti lawannya. Terhadap pihak ketiga, akta otentik merupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian bebas, yaitu bahwa penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hakim. Hukum pembuktian mengenal adanya alat bukti yang berupa surat sebagai alat bukti tertulis. Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang

  

8

  dipergunakan sebagai pembuktian . Akta sendiri adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang mempunyai peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja

  9

  untuk pembuktian . Jadi untuk digolongkan dalam pengertian akta, surat harus ditandatangani. Keharusan ditandatanganinya surat untuk dapatdisebut akta berasal dari Pasal 1869 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 7 (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa:

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998. hlm.

8 146- 147

Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2009. hlm.

9 18.

  “Suatu akta yang, karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak.”

  Dengan peran notaris yang sangat penting tersebut, seharusnya notaris menjalankan tugas jabatannya selalu berpedoman pada peraturan perundang-undangan, kode etik, dan moral. Pelanggaran yang dilakukan notaris akan sangat merugikan kepentingan masyarakat, khususnya para pihak. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris baik sengaja maupun tidak sengaja dalam menjalankan tugas jabatannya akan berakibat notaris dijatuhi sanksi perdata, administrasi, dan kode etik, bahkan sanksi pidana. Sanksi terhadap notaris menunjukkan notaris bukan sebagai subjek yang kebal terhadap hukum. Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris, namun peraturan-peraturan itu tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap notaris yang melakukan tindak pidana atau perbuatan pidana.

  Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi

  10 yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut .

  Walaupun dalam UUJN tidak mengatur mengenai sanksi pidana terhadap notaris, namun dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan notaris sebenarnya dapat dijatuhkan sanksi pidana. Bahkan beberapa orang notaris telah dijadikan tersangka, yang berdasarkan penyidikan, akta yang dibuat di hadapan notaris bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur pidana, misalnya dalam kategori turut serta melakukan atau membantu melakukan pemalsuan surat atau akta.

  Beberapa kasus yang ditemukan antara lain adalah Notaris ARM, 10 yang divonis Pengadilan Negeri Medan dengan pidana dua tahun penjara

  11

  karena telah membuat akta palsu . Notaris Kunsri Hastuti, melalui putusan hakimPengadilan Negeri Magelang Nomor 49/Pid.B/2005/PN.Mgl menyatakan bahwa Notaris Kunsri Hastuti, terbukti telah memalsukan akta

  12 otentik dan penggelapan menjatuhkan pidana selama empat bulan penjara .

  Perbuatan melawan hukum dapat terjadi apabila notaris yang memiliki tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat atau orang-orang yang membutuhkan jasanya dalam pengesahan atau pembuatan suatu akta, kemudian di dalam akta tersebut terdapat suatu klausula yang bertentangan dengan hukum sehingga menimbulkan kerugian terhadap orang lain sedangkan para pihak penghadap sama sekali tidak mengetahuinya, sehingga dengan sikap pasif dan diam itu notaris yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan melalui perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat terjadi dikarenakan notaris memiliki pengetahuan yang kurang (onvoldoendekennis); pengalaman yang kurang (ondoldoende ervaring);

  13 dan/atau memiliki perngertian yang kurang (ondoldoende inzicht) .

  Meskipun demikian Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa mengingat notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh para penghadap dan tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran materiil isinya, maka tidaklah tepat jika hakim membatalkannya (atau menyalahkan notaris tersebut dan menuduhnya melakukan perbuatan melawan hukum).

  Notaris mungkin dapat berbuat salah mengenai isi akta karena informasi yang salah (sengaja atau tidak) dari para pihak. Kesalahan demikian ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada notaris karena isi

  14 akta itu telah dikonfirmasikan kepada para pihak oleh notaris .

  11 12 Harian Analisa Medan Tanggal 20 Februari 2009, hlm. 6

Juwairiah, Pengenaan Sanksi Pidana Pemalsuan Akta Notaris dalam Praktek Pembuatan Akta

(studi kasus perkara No. 49/Pid.B/2005/PN.Mgl di Pengadilan Negeri Magelang), 2010. Tesis, 13 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

S. Soetrisno dalam Nico, Tanggung jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta, Center

14 for Documentation and Studies of Business Law , 2003. hlm. 98

  Apabila terjadi dakwaan bahwa seorang notaris dianggap telah melakukan tindak pidana, maka hal-hal di bawah ini dapat terjadi:

  1. Notaris tersebut telah memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang (sifat melawan hukum formal).

  2. Dalam rangka menentukan ada atau tidak adanya tindak pidana kepada yang bersangkutan, maka proses peradilan akan menguji seberapa jauh syarat-syarat penentuan tindak pidana telah terpenuhi. Adapun pasal-pasal tindak pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas notaris yaitu Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 264 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat. Dalam Pasal 263 KUHP tersebut ada dua macam pemalsuan surat yaitu:

  1. Membuat surat palsu (valscheelijkop maakt) yaitu perbuatan membuat surat yang isinya bukan semestinya atau isinya tidak benar.

  2. Memalsukan surat (vervalscht) yaitu memalsukan surat-surat dengan cara merubah, menambah, mengurangi atau menghapus sebagian tulisan yang ada dalam suatu surat.

  Pasal 264 KUHP hanyalah merupakan pemberatan dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 263 KUHP. Hal yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat tersebut terletak pada faktor macamnya surat. Surat-surat tertentu yang menjadi objek tindak pidana adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya.

  Pejabat Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku (menyuruh melakukan) menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi ia hanyalah “orang yang disuruh melakukan”. Kemudian, berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP, tindakan subjek (pelaku) yaitu menyuruh memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik, sehingga kata “menyuruh” dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP ditafsirkan bahwa kehendak itu hanya ada pada si penyuruh (pelaku/subjek), sedangkan pada yang disuruh tidak terdapat kehendak untuk memasukkan keterangan palsu dan seterusnya

  Dalam dunia Notaris, dikenal adagium: “setiap orang yang datang menghadap Notaris telah benar berkata tidak berbanding lurus dengan berkata benar, yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan palsu, hal itu menjadi tanggung jawab yang bersangkutan (para pihak)”. Kemudian, akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga para pihak yang membaca akta tersebut harus melihat apa adanya dan Notaris tidak perlu membuktikan apa pun atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Karenanya, orang lain yang menilai atau menyatakan akta Notaris itu tidak benar, maka mereka yang menilai atau menyatakan tersebut, wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai prosedur hukum yang berlaku.

  Notaris, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) merupakan pejabat umum yang diantaranya mempunyai kewenangan untuk membuat akta

  15

  otentik . Selanjutya, Notaris dalam menjalankan tugasnya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum, sehingga dalam menjalankan tugasnya Notaris diatur dalam ketentuan UUJN, sehingga UUJN merupakan lex specialis dari KUHP, dan bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan Pasal 1869 KUHPerdata.

  Berdasarkan konstruksi Hukum Kenotariatan, salah satu tugas jabatan Notaris yaitu “memformulasikan keinginan/tindakan para penghadap dalam

  16 .

  bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku” Kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung No. 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973) menyatakan: “Notaris fungsinya hanya mencatat/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan 15 dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada

  Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 yaitu “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangann lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

  Dalam pasal 15 ayat (1) dikatakan “ Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai

semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang- undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dintyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semua itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau 16

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris tersebut”; Perbuatan Notaris dalam melaksanakan kewenangan membuat akta sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1)

  KUHP, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta, menunjukkan telah terjadi kesalah pahaman atau salah menafsirkan tentang kedudukan Notaris dan juga akta Notaris adalah sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata.

  Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak yang diutarakan dihadapan Notaris merupakan bahan dasar bagi Notaris untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap Notaris, tanpa ada keterangan atau pernyataan dan keinginan dari para pihak tidak mungkin Notaris untuk membuat akta. Kalaupun ada pernyataan atau keterangan yang diduga palsu dicantumkan dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut palsu, serta tidak berarti Notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta Notaris. Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan, dan tindakan hukum yang harus dilakukan adalah membatalkan akta yang bersangkutan melalui gugatan perdata.

  Akta Notaris lahir karena adanya keterlibatan langsung dari pihak yang menghadap Notaris, merekalah yang menjadi pemeran utama dalam pembuatan sebuah akta sehingga tercipta sebuah akta yang otentik. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Akta yang dibuat Notaris menguraikan secara otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-

  17 saksi .

  Beberapa tahun terakhir ini masalah pemalsuan surat-surat berharga 17 semakin meningkat. Akta Notaris misalnya, merupakan salah satu jenis akta

  

Wawan Tunggal Alam, Hukum Bicara Kasus-kasus dalam Kehidupan Sehari-hari, Jakarta: yang mempunyai kedudukan hukum yang penting. Namun disadari, bahwa akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris itu amat beraneka ragam. Akta tersebut misalnya akta Perjanjian Jual Beli, Akta Penetapan Warisan, Akta Pendirian Badan Usaha, dan lain sebagainya. Pemalsuan terhadap berbagai jenis akta seperti inilah yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pada Bab XII dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 276. Menurut S.R. Sianturi, bahwa berbicara mengenai pemalsuan, maka pemalsuan surat ini didahului dengan pemalsuan uang (Bab X), serta pemalsuan meterai dan merk (Bab XI). Sedangkan mengenai pemalsuan surat keterangan perahu/kapal diatur di Bab XXIX Buku II KUHP, Pasal 451 bis, 451 ter dan 452. Juga dalam pemalsuan surat ini sangat mengemukakan terancamnya kepentingan masyarakat (terutama yang sudah melek huruf) berupa kepercayaan terhadap surat-surat yang mempunyai

  18 akibat hukum .

  Notaris dengan kewenangan yang diberikan oleh perundang-undangan itu, memegang peranan yang penting dalam pembuatan akta-akta yang resmi (otentik). Peranan dan kedudukan Notaris yang demikian penting artinya ini karena akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris itu selain mempunyai kekuatan hukum, juga membawa akibat-akibat hukum tertentu kepada para pihak. KUHP menjaga kepentingan dan kepercayaan atas surat-surat dan akta-akta yang dibuat oleh yang berwenang, seperti halnya dengan Akta Notaris. Pada Pasal 263 dan 264 KUHP mengancam pidana terhadap barang siapa yang melakukan pemalsuan surat. Dalam

  Pasal 263 KUHP misalnya, terkandung maksud untuk memberikan perlindungan atau kepercayaan umum terhadap surat atau akta yang bersangkutan. Bahwa pekerjaan atau tugas-tugas seorang Notaris itu sangat penting artinya, oleh karena menyangkut dengan soal kepercayaan yang dilimpahkan oleh perundang-undangan kepadanya. Tetapi dalam kenyataan, 18 tugas-tugas atau karya dari Notaris itu pun tidak luput dari pemalsuan oleh

  

S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemalsuan terhadap Akta Notaris bukan hanya menyebabkan kerugian bagi pihak lain, tetapi juga merupakan

  19 suatu tindak pidana .

  Begitu pentingnya peranan Notaris yang diberikan oleh Negara, dimana Notaris sebagai pejabat umum dituntut bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Karena seorang Notaris haruslah tunduk kepada peraturan yang berlaku yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan taat kepada kode etik profesi hukum. Kode etik yang dimaksud disini adalah kode etik Notaris. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris dengan sengaja untuk menguntungkan salah satu pihak penghadap atau kesalahan Para Pihak yang tidak memberikan dokumen ataupun keterangan yang sebenarnya. Apabila akta yang dibuat/diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan Notaris baik karena kelalaian (culpa) maupun karena kesengajaan Notaris itu sendiri maka Notaris harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Hal ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan. Jika Notaris terbukti melakukan kesalahan-kesalahan, baik yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitas dalam suatu pembuatan akta yang mengandung unsur melawan hukum maka beberapa tahap prosedur yang dapat dikemukakan dilapangan adalah antara lain pemanggilan Notaris sebagai saksi, kemudian ditingkatkan sebagai tergugat di Pengadilan perdata menyangkut pertanggungjawaban akta yang dibuat untuk dijadikan alat bukti yang sebelumnya adanya toleransi dari Majelis Pengawas Notaris, selanjutnya ditindaklanjuti dengan pemidanaan yakni Notaris dapat dijadikan saksi dan tersangka dalam kasus pidana serta

  20 penyitaan bundel minuta yang disimpan oleh Notaris .

  Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh 19 subjek hukum yang melanggar ketentuan atau peraturan yang telah 20 Ibid, hal. 20-21

  ditetapkan. Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban sekaligus sebagai anggota dari Perkumpulan/organisasi Ikatan Notaris Indonesia memiliki kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya.

  Kewajiban dan larangan Notaris diatur dalam UUJN (Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17) serta Kode Etik Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) sebagai berikut: Pasal 16 : (1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:

  a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris; c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan minuta akta; d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undnag-undang menentukan lain; f. enjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

  g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; h. Membuat daftar yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf hak tanggungan atau daftar nihil yang berkenaan wasiat ke Daftar Pusat

  Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik

  Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris; m. Menerima magang Notaris.

  Pasal 17 : (2) Notaris dilarang:

  a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

  b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah; c. Merangkap sebagai pegawai negeri;

  d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; atau badan usaha swasta; g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris; h. Menjadi Notaris Pengganti; i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan jabatan Notaris. Notaris rawan terkena jeratan hukum bukan hanya karena faktor internal yang berasal dari dalam dirinya sendiri misalnya kecerobohan, tidak mematuhi prosedur, tidak menjalankan etika profesi dan sebagainya. Namun juga dikarenakan faktor eksternal seperti moral masyarakat dimana Notaris dihadapkan pada dokumen-dokumen palsu padahal dokumen tersebut

  21 mengandung konsekuensi hukum bagi pemiliknya .

  Pelanggaran yang menyebabkan penyimpangan dari hukum maka Notaris dapat dijatuhi sanksi yaitu berupa Sanksi Perdata, Administratif /Kode Etik Jabatan Notaris. Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa baik sebelumnya dan sekarang dalam Undang-Undang Jabatan Notaris terkait Kode Etik profesi Jabatan Notaris dimana tidak adanya keterangan sanksi pidana melainkan organisasi Majelis Pengawas Notaris yang berkewenangan memberikan hukuman kepada Notaris.

  Demikian disimpulkan bahwa walaupun didalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) tidak menyebutkan adanya penerapan sanksi pemidanaan tetapi suatu tindakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris tersebut mengandung unsur-unsur pemalsuan atas kesengajaan/kelalaian dalam pembuatan surat/akta otentik yang keterangan isinya palsu maka setelah dijatuhi sanksi administratif/kode etik profesi jabatan notaris dan sanksi keperdataan kemudian dapat ditarik dan dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris yang menerangkan adanya bukti keterlibatan secara sengaja melakukan

  22 kejahatan pemalsuan akta otentik .

  Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengutamakan tekanan dari kepentingan umum pada masyarakat. Menurut doktrin adanya suatu pertanggungjawaban pidana harus terpenuhinya syarat yaitu dengan melihat adanya perbuatan yang dapat dihukum dengan menyebutkan unsur-unsurnya secara tegas dan berdasarkan undang-undang yang mengatur bahwa perbuatan tersebut telah bertentangan dengan hukum yang menimbulkan kejahatan pidana, dimana harus mempertanggung

  23 21 jawabkan sebab-akibat dari pada perbuatan tersebut .

  

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang dan

22 Dimasa Datang, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 226

Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), CV. Mandar

23 Maju, Bandung, 2009, (Selanjutnya disebut Buku II), hal 15

  Dalam hal-hal yang berkaitan dengan Notaris mengingat telah diatur dalam undang-undang khusus yakni Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang berhubungan dengan Kode Etik profesinya serta terdapat Majelis Pengawas Notaris dimana berfungsi untuk mengawasi tugas dan kewenangan Notaris, maka penerapan sanksi pidana dikesampingkan menjadi terbatas kepada Notaris. Hal tersebut antara Penerapan Hukum Undang-Undang Jabatan Notaris dengan Penerapan Hukum Pidana yang diatur dalam (KUHP) menjadi tumpang tindih sehingga memberikan ketidakjelasan hukum bagi Notaris jika terjadi kesalahan dalam bertindak berdasarkan tugas dan kewenangannya. Sebenarnya sanksi pidana dapat diterapkan apabila adanya bukti suatu pelanggaran hukum yang menghubungkan dengan perbuatan pidana sebagai alternatif bagian dalam penyelesaian suatu perkara hukum. Karena Sanksi pidana merupakan Ultimum Remedium, yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan. Oleh karena itu penggunaannya

  24 harus dibatasi .

  Penulis dalam tesis ini menganalisis terkait tidak pidana pemalsuan akta atentik yang pembuatannya tanpa dihadiri oleh para pihak. Seperti contoh kasus yang dilakukan oleh salah satu notaris di Lhokseumawe (Aceh), Imran Zubir Daoed,S.H. sebagai terdakwa dalam kasus pemalsuan akta autentik yang dibuatnya, Putusan Pengadilan Negeri Lhokseumawe Nomor 40/Pid.B/2013/PN.Lsm. menyatakan notaris telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pemalsuan Akta Otentik, Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan, memerintahkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, dan menetapkan agar terdakwa tetap di tahan.

  Pada awal terdakwa yang berkedudukan sebagai notaris di Kota Lhokseumawe (aceh) diminta oleh saksi Ilmastin, S.Pd dan saksi Muslim 24 Gunawan untuk dibuatkan akta terhadap perubahan anggaran dasar Lembaga Serikat Pengembang Swadaya Masyarakat (SEPAKAT), saksi menyerahkan dokumen sebagai dasar perubahan Anggaran dasar kepada terdakwa berupa Daftar Absensi Rapat Anggota LSM Sepakat Lhokseumawe, Berita Acara Rapat Anggota LSM Sepakat Lhokseumawe dan foto suasana rapat Anggota lembaga Sepakat. Kemudian terdakwa membuat minuta akta (asli akta notaris),akta nomor : 01 yang dibuat pada tanggal 2 november 2012, bahwa notaris mencantumkan pada minuta akta angka ke III yaitu :

  TUAN EDI FADHIL, lahir di lamraya,pada tanggal 16 juni 1984 (seribu sembilan ratus delapanpuluh empat), wiraswasta, bertempat tinggal di Desa Cot Jambo, Kecamatan Montasik, Kabupaten Aceh Besar Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor :

  25 1354/04/AB/CJ/2003. Warga Negara Indonesia.

  Berdasarkan keterangan saksi Edi Fadhil sebagaimana tersebut dalam Akta autentik tersebut tidak pernah menghadap dihadapkan Notaris untuk pembuatan akta notaris Nomor: 01 yang dibuat pada tanggal 02 November 2012 tersebut. Akibat akta yang dibuat oleh notaris (terdakwa), karena mencantumkan namanya pada akta yang dibuat oleh terdakwa,dimana Edi Fadhil disamping telah dirugikan, juga selaku ketua Umum LSM Sepakat tidak dapat menarik sejumlah uang LSM Sepakat yang masih tersimpan sebesar Rp. 38.000.000 (tiga putuh delapan juta rupiah) di Bank Panin Kota Lhokseumawe, guna operasional LSM.

  Perbedaan mendasar dalam tesis ini dibandingkan dengan tesis yang relevan adalah pada penelitian tesis ini lebih mengkaji dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak pidana pemalsuan akta autentik yang dalam pembuatnya tanpa dihadiri oleh para pihak,serta penelitian ini mengkaji pertimbangan hukum hakim ditinjau dari perspektif tugas dan jabatan notaris.