KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA OTENTIK DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

(1)

ABSTRACT

THE STUDY OF CRIMINAL LAW AGAINST CRIMINAL ACTS OF AUTHENTIC DOCUMENTS COUNTERFEITING IN

NATIONAL EDUCATION SYSTEM LAW

BY

ACHMAD DEFYUDI

The development in education is a very strategic aspect in national development, all parties involved must be guided and follow all regulations set by the govemmeni.

tu* problems

in education are lack of attentions especially for the problems of authentic documents

countert-eiting occured in TS school is educational crime which is disadvantageous for the socien and all parties. The writer studied about the process of handling the auihentic documents counterl-eiting in national education system law which hadhandicaps in completing the process of investigation caused by the limited witness who directly knew the act of authentic doiuments counterfeiting so that it becomes a problem in the process of investigation.

The approach method used in the research was normative juridical approach method, began with the anajl'sis

of provisions

related to the problems. This method was

*ed

because the main

problems investigated about the provision act of authentic documents counterfeiting was about the school founding license done by the principal of the school SW but the school of TS was still operaring without any acts from the govemment.

The crime of counterfeiting authentic acts occurred in education field had handicaps in accomplishing case files as a result of different understanding among the investigators and the

public prosecutor in applying the understanding of crime act of authentic acts namely the school founding license occurred in SMK TS, so that there was no legal certainty that the process

of

education was still operating although it was indicated that in the process there wal no legal license trom the government.

It needs to acquire similar understanding toward the case of authentic documents counterfeiting acts t'3 the investigator and the public prosecutor so that it can give legal certainty and, itdoes not

shou that the govemment let the illegal process in education field which causes loss in many

partiet specially for the sfudents, parents, and other parties as a result of that law events.


(2)

ABSTRAK

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA OTENTIK

DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Oleh

ACHMAD DEFYUDI

Pembangunan di bidang pendidikan merupakan bidang yang paling strategis dalam pembangunan nasional, para pihak yang terlibat wajib mempedomani dan mengikuti aturan-aturan yang telah ditentukan oleh Pemerintah. Permasalahan hukum di bidang pendidikan sangat dirasakan kurang mendapat perhatian khususnya tindak pidana pemalsuan akta otentik yang terjadi di sekolah TS merupakan kejahatan di bidang pendidikan yang merugikan masyarakat dan pihak tertentu. Penulis mengkaji tentang proses penanganan tindak pidana pemalsuan akta otentik dalam Undang-Undang sistem pendidikan Nasional yang mengalami kendala dalam penyelesaian proses penyidikan disebabkan terbatasnya saksi yang mengetahui secara langsung peristiwa pemalsuan tersebut sehingga menjadi kendala dalam penyelesaian proses penyidikan.

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, dimulai dengan menganalisis ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan permasalahan. Metode ini digunakan karena pokok permasalahan yang diteliti mengenai ketentuan yang mengatur tindak pidana pemalsuan akta otentik berupa izin pendirian sekolah yang dilakukan oleh oknum Kepala Sekolah SW namun sekolah TS masih terus beroperasional tanpa ada tindakan apapun dari pemerintah.

Tindak pidana pemalsuan akta otentik yang terjadi di bidang pendidikan mengalami kendala dalam penyelesaian berkas perkara akibat dari pemahaman yang berbeda antara penyidik dan penuntut umum dalam menerapkan pemahaman tentang tindak pidana akta otentik berupa izin pendirian sekolah yang terjadi di SMK TS, sehingga belum adanya kepastian hukum mengakibatkan proses penyelenggaraan pendidikan masih tetap berlangsung walaupun terindikasi dalam pelaksanaannya tidak memiliki perizinan yang syah dari pemerintah.

Perlu adanya pemahaman yang sama terhadap kasus tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh penyidik dan penuntut umum sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan tidak terkesan pemerintah membiarkan proses ilegal di dunia pendidikan yang dapat mengakibatkan kerugian banyak pihak khususnya peserta didik, wali murid dan pihak lain yang dirugikan akibat peristiwa hukum tersebut. Kata Kunci : Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otententik, Sisdiknas


(3)

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA OTENTIK

DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Oleh

ACHMAD DEFYUDI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

Judul Tesis

Nama

Mahasiswa

:

Nomor Pokok Mahasiswa : Program Kekhususan :

Program

Studi

:

Fakultas

:

: KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA OTENTIK DALAM

UNDANG.UNDANG

SISTEM

PENDII}IKAN

NASIONAL

Achmad Defyudi

1222011043

Hukum Pidana

Program Pascasarjana Magister Hukum Hukum

MENYETUJUI

Dosen Pembimbing

Pembimbing Pendamping,

/7

Pembimbing Utama,

Nwrt

Dr. Nikmah Rosidah, S.E., M.H.

NIP 19550106 198003 2

001

_

MENGETAHUI

Ketua Program Pascasarjana nlversl mpung

I)r.

Erna Dewi, S.H.o M.H.

NIP 19610715 198503 2 003

M.Hum. 001

r,

S.H., 198603 1

;:';*.',1iT-fuii;:{w

l.'n,.;,f;'lrros *-^+:deo:/S\*


(5)

1. Tim Penguji

Pembimbingl

Pembimbingtr

Penguji

Penguji

Penguji

MENGESAHKAN

: Dr. Nikmah Rosidah, S.H, M.H.

Dr. Erna Ilewi, S.H., M.H.

Dr.

Maroni,

S.H,, M.H.

Dr. Eddy

Rifai,

S.H., M.H"

Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H.

Nn,,,,r

ltas Hukum

., M.S.

I 003 Zgfyandi, S.

ttag Dstoz

ktur Program Pascasarjana

rwo, M.S.

198103 1 002


(6)

LEMBAR

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

Tesis dengan judul Kajian Hukum Terhadap

Tindak

Pidana Pemalsuan

Akta Otentik Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah

karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah

yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

Hak

intelektual

atas

karya ilmiah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

{tas

pernyataan

ini

apabila

di

kemudian

hari

ternyata

ditemukan adanya

i.etidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada

>a\ a. saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandarlampung,

12

Juni

2014

Pembuat Pernyataarl

Achmad

Deflndi

NPM 1222011043

1.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 01 Desember 1972 sebagai anak pertama dari 7 bersaudara 2 pasangan Drs. Hi. HANAFI ARIF, MSC dan Nyonya MARIANA HANAFI.

Jenjang Pendidikan Formal yang telah dilalui dimulai pada tahun 1980 di Sekolah Taman Kanak-Kanak Persit Kartika Chandra Kirana Bandar Lampung, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Persit Kartika Chandra Kirana Bandar Lampung, meneruskan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama di SMP Xaverius Tanjung Karang penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas SMA Muhammadiyah 1 Jogjakarta pada tahun 1990, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Jayabaya Jakarta Fakultas Ilmu Sosial Politik pada tahun 1993 dan Universitas Tulang Bawang Fakultas Hukum Jurusan Ilmu-ilmu Hukum pada tahun 2004. Kemudian penulis memasuki jenjang S2 di Program Pasca Sarjana Magister Hukum Unila pada tahun 2012 dengan Program Kekhususan Hukum Pidana.


(8)

MOTO

JANGAN MENUNGGU KEBAHAGIAN DATANG

BARU BERSYUKUR, TAPI BERSYUKURLAH

MAKA KAMU AKAN MERASAKAN

KEBAHAGIAAN


(9)

Kupersembahkan Tesis ini kepada :

Orangtuaku tercinta Bapak Drs. Hi. HANAFI ARIF, MSC dan Ibunda MARIYANA yang dengan penuh pengorbanan telah membesarkan, mendidik dengan penuh cinta dan kasih sayang senantiasa mendoakan dalam setiap sujud dan tahajud untuk keberhasilanku.

Istriku tersayang ADELINA MARIYA LIBERTI, S.E dan anak-anakku, SHINTIA, RAHMA, ANANDA, RAFFI dan ANDINI yang selalu memberi semangat dan inspirasi dalam mengisi hari-hariku menjadi lebih bermakna.

Adik-adikku HENI SEPTIANA, S.E, A. KURNIAWAN, A.Md, A. ISKANDAR, S.H, YOSEF ZIKRILLAH, S.T, YOSI RAHMATULLAH, A.Md dan LELI GUTIANI, S.Sas yang terus memberikan motivasi untuk lebih dapat mengisi waktu untuk menjadi lebih baik.

Sahabat-sahabatku yang terbaik selalu memberikan dorongan demi


(10)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Kerangka Teori dan Konseptual ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Tinjauan terhadap Sistem Pendidikan Nasional ... 15

B. Bentuk-Bentuk Tidak Pidana di Bidang Pendidikan Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ... 18

C. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik 20 D. Tindak Pidana di bidang Pendidikan ... 33

E. Tinjauan tentang Pembuktian ... 38

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

A. Pendekatan Masalah ... 41

B. Sumber dan Jenis data ... 42

C. Narasumber ... 43

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 43

E. Teknik Pengolahan Data ... 44

F. Analisis Data ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Kajian Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik Negara dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ... 45

B. Faktor-faktor yang Menghambat Penyidik dalam Melakukan Penyidikan terhadap Pemalsuan Akta Otentik Negara dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ... 64


(11)

ii BAB V PENUTUP ... 70 A. Simpulan ... 70 B. Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum dapat menjadi sarana menjamin terwujudnya masyarakat Indonesia yang tertib, teratur dan aman, karena produk hukum disusun dan dirumuskan untuk kepentingan warga negara secara umum, faktor yang harus dijadikan pedoman dalam negara hukum adanya jaminan akan hak-hak asasi manusia dan warga negara yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat ciri penting suatu pemerintahan dan kehidupan masyarakat yang berdasarkan hukum

(rule of law) terjaminnya perlindungan secara konstitusional atas jaminan hak-hak

individu termasuk hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak dalam arti luas.

Fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sekarang ini terkesan mengesampingkan hukum untuk pemenuhan keinginan perseorangan dan ambisi,

manusia cinderung menggunakan cara singkat dalam menyelesaikan

permasalahan hukum tanpa mempertimbangkan dampak yang akan timbul, seharusnya secara rasional manusia harus menggunakan akal dalam pemahaman hukum dan menyadari akibat hukum setiap perbuatannya.


(13)

2 Tindak pidana pemalsuan akta otentik yang dilakukan oleh oknum Kepala Sekolah SW berupa izin operasional pendirian sekolah TS yang dijadikan dasar penyelenggaraan pendidikan formal merupakan suatu kejahatan yang memiliki motivasi dan latar belakang sehingga oknum Kepala Sekolah SW tersebut melakukan tindak pidana penipuan yang dapat merugikan masyarakat luas. Pihak Penyidik telah melakukan upaya-upaya untuk pembuktian terhadap tindak pidana pemalsuan akta otentik yang diduga dilakukan oleh Oknum Kepala Sekolah SW mulai pada tahun 2011 hingga bulan Mei 2014 belum juga dapat menyelesaikan pemberkasan terkendala banyaknya pendapat penuntut umum yang menuntut penyidik untuk dapat membuktikan peristiwa tindak pidana pemalsuan tersebut mulai dari minimnya keterangan saksi yang melihat langsung, tidak terdapat alat yang digunakan untuk melakukan pemalsuan, perbedaan pendapat hukum antara penyidik dan penuntut umum tentang kadaluarsa suatu tindak pidana dan adanya upaya hukum perdata oleh orang yang berhak terhadap izin yang dipalsukan yang saat ini masih menunggu putusan Mahkamah Agung, sehingga hal-hal tersebut diatas pihak Jaksa Penuntut umum terus menuntut penyidik untuk lebih optimal dalam penyelesaian berkas perkara secara formal diberikan P19 yang berulang hingga lima kali, hal inilah yang menjadi kendala tidak terselesaiknya pemberkasan tindak pidana pemalsuan akta otentik yang dipergunakan sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan formal yang hingga saat ini masih tetap berlangsung bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional.

Pengertian tentang kejahatan merupakan termonologis dari apa yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan pidana dapat


(14)

3 dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan diatur dalam buku II tentang misdrijf dan pelanggaran diatur dalam buku III tentang overtredingen.

Karena negara kita adalah negara hukum, maka setiap perbuatan masyarakat dan aparat negara harus berdasarkan ketentuan dan hukum yang berlaku, bagi mereka yang melakukan perbuatan melanggar hukum wajib diproses dengan prosedur atau tata cara penyelesaian secara sah menurut hukum.1 Adanya tindak pidana pemalsuan akta otentik berupa surat izin pendirian sekolah secara nyata diancam dengan hukuman pidana, maka proses penanganan tindak pidana pemalsuan surat izin secara umum berlaku ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional yang mengatur pertanggungjawaban korporasi atau

corporate liability atau badan hukum secara pidana.

Tulisan ini, akan mengkaji secara hukum tentang tindak pidana pemalsuan akta otentik berupa izin pendirian sekolah. Adanya perubahan yang tidak sesuai dengan aslinya yang dilakukan oleh oknum Kepala Sekolah terhadap izin operasional pendirian sekolah dengan cara menghapus atau merubah tulisan yang berada dalam izin tersebut yang emula bertuliskan diberikan izin kepada Yayasan Pendidikan Pubian Ragom lampung dirubah menjadi diberikan kepada Yayasan Pubian Ragon Pusat Tingkat I Lampung menggunakan tipe-x. tindak pidana pemalsuan tersebut diatur pada BAB XII Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada Pasal 264.

1

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Pidana Indonesia 2, Pradya Paramitha, Jakarta, 1997, hlm 2.


(15)

4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional telah mengatur korporasi atau badan hukum dalam bentuk yayasan yang dapat menaungi juga sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam peyelenggaraan pendidikan formal dianggap sebagai subjek hukum, yang berarti lembaga penyelenggara atau yayasan yang menyelenggarakan pendidikan formal yang dalam peyelenggaraan pendidikan formal tersebut harus bertanggung jawab secara hukum terhadap segala bentuk kegiatan dalam peyelenggaran pendidikan sekaligus akibat yang muncul dari tindak pidana pemalsuan terhadap izin pendirian sekolah swasta yang dilakukan oleh Oknum Kepala Sekolah yang ditunjuk oleh badan hukum dapat pula dijatuhkan sanksi pidana (corporate

liability), kejahatan tersebut dapat dipandang sebagai kejahatan korporasi

(corporate crime) yang dalamnya terdapat suatu delik kesalahan (mens rea) serta

perbuatan (actus reus) yang nyata-nyata merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan peserta didik, masyarakat, pemerintah dan pihak lain yang berhak atas izin syah yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

Namun ironisnya keberadaan sekolah swasta tersebut tetap menyelenggarakan proses pendidikan tanpa dilengkapi dengan izin operasional yang syah dari pemerintah sehingga terkesan adanya pembiaran oleh pemerintah yang dapat mengakibatkan kerugian bagi peserta didik dan masyarakat luas akibat dari penyelenggaraan pendidikan yang tidak memiliki legalitas.

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka penulis akan melakukan penelitian dalam suatu tesis dengan judul Kajian Hukum Pidana terhadap Tindak


(16)

5 Pidana Pemalsuan Akta Otentik dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, maka dikemukakan rumusan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah kajian hukum tentang tindak pidana pemalsuan akta

otentik ?

b. Apakah faktor-faktor yang menghambat penyidik dalam melakukan

penyidikan terhadap pemalsuan akta otentik dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional?

2. Ruang Lingkup

Substansi penelitian ini berdasarkan materi adalah Hukum Pidana dan pembahasan lebih memfokuskan atau membatasi penelitian dan hasil penelitian tentang kajian hukum terhadap bentuk tidak pidana di bidang pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tempat atau lokasi penelitian dilakukan di Kota Bandar Lampung pada Subdit 2 Dit Krimum Polda Lampung serta lokasi-lokasi yang dapat mendukung dalam penelitian ini.


(17)

6 C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab masalah penelitian diatas, yakni :

1. Mengkaji secara hukum tentang Tindak Pidana pemalsuan akta otentik dalam

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2. Mengkaji faktor-faktor yang menghambat Polri dalam melakukan penyidikan

terhadap pemalsuan akta otentik dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Sementara hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk sebagai masukan (input) dan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pembangunan hukum di Indonesia, khususnya penegakan hukum guna mendukung pelaksanaan pembangunan di bidang pendidikan pada sistem pendidikan nasional yaitu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2. Kegunaan Praktis

Sementara hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi praktisi hukum atau bagi penegak hukum sebagai rekomendasi, motivasi bagi pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di bidang pendidikan sekaligus dapat dipergunakan dalam rangka tercapainya atau terselenggaranya pencegahan, penanganan dan penanggulangan tindak pidana di bidang pendidikan yang akan memilki dampak luas terhadap masyarakat, martabat bangsa, merongrong


(18)

7 kewibawaan pemerintah, aparaturnya, merusak sendi-sendi penegakan hukum dan merugikan masyarakat dengan memperhatikan pada nilai nilai keutuhan legalitas dalam sistem pendidikan nasional.

E. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Negara Indonesia merupakan suatu bangsa, kehidupan masyarakat dikendalikan oleh hukum dasar yang dikenal dengan nama undang-undang dasar atau konstitusi, yaitu hukum dasar tertulis yang menjadi pangkal gerak, dasar orientasi dari perjalanan kehidupan suatu masyarakat, secara tegas di dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indonesia berdasarkan atas hukum

(rechtstaat), Indonesia telah memilih negara hukum sebagai bentuk negara, yang

berarti bahwa setiap tindakan dan akibat yang dilakukan oleh setiap individu harus didasarkan atas hukum dan diselesaikan menurut aturan hukum yang dianut. Hukum merupakan sarana utama yang disepakati sebagai sarana untuk mengatur kehidupan berbangsa maupun bernegara, bahkan hukum diposisikan sebagai sarana perubahan sosial (Agen of change law as a tool of social enginering) sebagai sarana pembangunan dan sarana untuk mengatur kehidupan masyarakat, hak-hak individu sebagai agen perubahan dalam pembangunan. Kemampuan hukum untuk menyelenggarakan fungsinya ditentukan oleh kemampuan komponen-komponen sistemnya, baik secara otonom maupun dalam kerangka sistem sebagai suatu keseluruhan. Lemahnya salah satu komponen sistem akan membawa pengaruh besar terhadap gerak sistem itu, dan jika gerak sistem itu


(19)

8 berlangsung dalam keadaan tidak stabil maka hukum sebagai suatu sistem akan sangat sulit untuk mewujudkan tujuan-tujuannya.

Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Demikian pula dengan fungsi dari pendidikan nasioanal mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, terdapat nilai nilai substansi dari perkembangan peradaban budaya bangsa yang bermartabat.

Proses pembangunan di bidang pendidikan keikutsertaan masyarakat atau peran serta masyarakat dalam sistem pendidikan formal hanya dapat selenggarakan oleh badan hukum atau yayasan atau coprorate yang telah mendapatkan izin yang syah dari pemerintah pusat maupun daerah sehingga legalitas peyelenggaran, legitimasi setiap kompetensi, sertifikasi dan ijasah yang dihasilkan dapat benar-benar syah memiliki kekuatan hukum yang dikeluarkan oleh lembaga atau badan hukum berbentuk yayasan yang memilki hak dan tidak melawan hukum sesuai bunyi Pasal Pasal 71 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan

nasioanal yakni “Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin

Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana


(20)

9 Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 71 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasioanal bahwa Badan hukum sebagai salah satu subyek hukum, menurut Erman Rajagukguk dapat digolongkan dalam dua bagian besar yaitu :

a. Pertama : Badan hukum dianggap sebagai wujud yang nyata, memiliki panca

indra sendiri seperti manusia, akibatnya badan hukum itu disamakan dengan orang atau manusia.

b. Kedua : badan hukum dianggap tidak berwujud (abstrak) namun dibelakang badan hukum tersebut terdiri dari manusia-manusia maka kalau badan hukum yang membuat kesalahan maka kesalahan itu adalah meruapakan kesalahan manusia yang berdiri di belakang badan hukum itu secara bersama-sama.2

Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggung jawaban pidana namun korporasi mulai didisposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya Undang-Undang No 7/Drt/1955 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi, yang kemudian kejahatan koporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai korporasi, termasuk pengertian badan hukum, yayasan, perkumpulan, perserikatan yang diatur oleh Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional.

Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (amoral), merugikan masyarakat, sosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang Perumusan Pasal-Pasal Kitab

2

Erman Rajaguguk, Badan Hukum sebagai Subyek Hukum, Mitra Management Centre, Jakarta, hlm 2


(21)

10 Undang Hukum Pidana (KUHP) jelas tercantum bahwa kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan KUHP dan undang-undang di luar KUHP, seperti perundang–undangan sistem pendidikan nasioanl juga merumuskan macam macam perbuatan sebagai bentuk kejahatan, yang diancam hukuman pidana. Selanjutnya semua tingkah laku siapa yang melanggarnya dikenai sanksi pidana, maka larangan-larangan dan negara itu tercantum pada undang-undang dan peraturan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Menurut Muladi secara sosiologis kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, tingkah laku, yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang,

maupun yang belum tercantum di dalam undang-undang pidana.3

Tingkah laku manusia yang jahat, ammoral, dan anti sosial itu banyak menimbulkan reaksi kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat, dan jelas sangat merugikan masyarakat umum, oleh karena itu kejahatan tersebut tersebut harus diberantas, karena tidak sesuai dengan norma hukum yang harus ditegakkan dan tidak boleh dibiarkan berkembang, demi ketertiban, keamanan, kepastian hukum dan perlindungan hak-hak individu.

Surat merupakan suatu lembaran yang diatasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung atau berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik,

3

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm 56


(22)

11 printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apa pun. Membuat surat palsu (membuat palsu sebuah surat) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu dapat diartikan tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya, pemalsuan surat dapat berupa :

a. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual.

b. Membuat sebuah surat yang seolah- olah surat itu berasal dari orang lain selain pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materil. Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat. Isi dan asalnya surat yang tidak benar dari si pembuat surat palsu, dapat juga tanda tangannya yang tidak benar. Hal ini dapat terjadi dalam hal misalnya :

1) Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada orangnya,

seperti orang yang telah meninggal dunia atau secara fiktif (dikarang-karang).

2) Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan

persetujuannya ataupun tidak Tanda tangan yang dimaksud disini adalah termasuk juga tanda tangan dengan menggunakan cap/stempel tanda tangan. Hal ini terdapat dalam aresst HR (12-2-1920) yang menyatakan bahwa disamakan dengan menandatangani suatu surat ialah membubuhkan stempel tanda tangannya.

Perbuatan memalsu akta otentik adalah perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah akta yang berakibat


(23)

12 sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi akta semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar ataukah tidak atau bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu akta otentik telah terjadi, sedangkan orang yang tidak berhak itu adalah orang yang tidak memiliki hak secara hukum atau dengan cara melawan hukum.

Dewasa ini bentuk-bentuk kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban yang terjadi dimasyarakat, kejahatan bukanlah sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri atau dengan begitu saja jatuh dari langit, semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul kepermukaan, dengan kata lain kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap kehidupan masyarakat. Setiap orang atau individu yang melakukan kejahatan disebut pelaku harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang dilakukannya.

2. Konseptual

a. Pendidikan itu adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan fungsi Pendidikan nasional itu sendiri yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat


(24)

13

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

b. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum oleh subjek hukum dan atas perbuatan tersebut terdiri atas unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya, sedangkan yang dimaksud unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan dapat dilihat adanya kesengajaan atau ketidaksengajaan, maksud, dan terencana.

c. Tindak Pidana Pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya

mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas suatu (objek), yang sesuatu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.

d. Tindak Pidana Pendidikan merupakan suatu sikap yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja dalam bidang pendidikan berkaitan dengan kejahatan maupun pelanggaran dengan segala motif dan tujuannya yang dapat dilakukan siapa saja baik oleh pihak peyelenggara pendidikan, tenaga pengajar, peserta didik bahkan pemerintah selaku penanggungjawab pendidikan nasional.


(25)

14

e. Akta Otentik menurut hukum adalah suatu akta yang didalam bentuk

ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk ditempat dimana akta dibuat.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan terhadap Sistem Pendidikan Nasional

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman, melalui Sistem pendidikan nasional terdiri dari komponen-komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengatur peraan masyarakat atau pihak non pemerintah dalam peyelenggaraan pendidikan seperti yang tertuang dalam Pasal 67-71 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam tulisan ini akan menggambarkan pengertian dan penggolongan tindak pidana pendidikan.

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga


(27)

16 negara yang demokratis serta bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna., sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat dan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan dalam suatu sistem.

Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam peyelenggaraannya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban dan hak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga

negara tanpa diskriminasi, wajib menjamin tersedianya dana guna

terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun mengacu pada Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan


(28)

17 prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala demikian pila Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.

Pemeritah sebagai penanggung jawab peyelenggaraan pendidikan secara nasional terdapat peran masyarakat yang berperan sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,

kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi

kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan, masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan dan ketentuan mengenai peran serta masyarakat. Pendirian satuan pendidikan oleh masyarakat dalam setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan serta pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peran serta masyarakat di bidang Pendidikan pemerintah memiliki kewajiban melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan melalui tahapan evaluasi, akreditasi dan kompetensi yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pendidikan.


(29)

18 B. Bentuk-Bentuk Tidak Pidana di Bidang Pendidikan Menurut

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Eksistensi pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai positif (kebaikan) bukan berarti akan terlepas dari pengaruh nilai-nilai negatif (kejahatan/tercela). Dunia pendidikan bukanlah dunia tanpa atau bebas cela. Sama halnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya, bidang-bidang pendidikan memiliki kecenderungan yang sama besarnya untuk terjadinya berbagai bentuk perbuatan tercela/penyimpangan.

Sebagai salah satu bidang kehidupan yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas intelektual dan moral suatu bangsa, pendidikan dewasa ini telah mengalami kegagalan yang cukup signifikan. Kondisi pendidikan tidak lagi

menggambarkan pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang senantiasa

mengedepankan moralitas di dalam pelaksanaannya.

Tindak pidana di bidang pendidikan adalah tindak pidana yang terjadi pada bidang pendidikan. Eksistensi tindak pidana ini diibaratkan seperti fenomena gunung es

(iceberg phenomenon). Artinya, fenomena ini banyak terjadi di masyarakat,

namun seringkali terabaikan, tertutup oleh asumsi-asumsi publik bahwa pendidikan merupakan bidang yang tanpa cela dan bebas dari pengaruh berbagai tindakan negatif, sehingga setiap tindakan tersebut seringkali dibenarkan dengan alasan-alasan yang nampak rasional, seperti alasan kedisiplinan.

Asumsi publik yang keliru mengenai bidang pendidikan tersebut mengakibatkan penanganan berbagai penyimpangan di bidang pendidikan yang pada hakikatnya tindak pidana tersebut kurang mendapatkan perhatian yang serius. Selain sering


(30)

19 dinyatakan sebagai pelanggaran kode etik saja, penanganan tindak pidana tersebut jarang diselesaikan melalui jalur hukum atau tidak sampai diputus di pengadilan (litigasi), melainkan diselesaikan secara kelembagaan, misalnya penyelesaian kekeluargaan di sekolah ataupun di PGRI jika pelakunya adalah Guru yang berada dalam naungan PGRI.

Dewasa ini, trend jenis-jenis tindak pidana di bidang pendidikan yang terjadi di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Jenis-jenis tindak pidana tersebut, pada prinsipnya merupakan tindak pidana yang konvensional, yang menjadi kekhususan di sini adalah bidang yang disimpangi adalah pendidikan, dan pelakunya sebagian besar adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendidikan ataupun yang memanfaatkan jasa pendidikan.

Berbagai pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada lingkungan pendidikan tersebut diatas merupakan gambaran bahwa pendidikan sangat memerlukan perlindungan hukum untuk meminimalisasi pelanggaran tersebut. Salah satu perlindungan hukum yang sudah berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun dalam undang-undang ini secara implisit tidak menyebutkan perumusan delik, perumusan kualifikasi delik, dan unsur delik yang benar-benar merupakan perbuatan melanggar hukum di bidang pendidikan. Undang-undang ini hanya mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang diancam pidana, yakni pada BAB XX Ketentuan Pidana Pasal 67 sampai Pasal 71.


(31)

20 Ditinjau dari kualifikasi deliknya, terdapat 10 (sepuluh) kategori tindak pidana di bidang pendidikan yang dapat penulis identifikasi berdasarkan KUHP dan undang-undang di luar KUHP, yakni :

C. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat

1. Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Berbagai istilah untuk tindak pidana (mencakup kejahatan dan pelanggaran), antara lain delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, pelanggaran pidana Criminal act, dan sebagainya.

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.1 Tindak pidana adalah Perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.2 Tindak pidana adalah istilah yang dikenal dari hukum pidana belanda, yaitu “stafbaar feit”. hukum pidana belanda, yaitu “stafbaar feit”. Simons menerangkan bahwa stafbaar feit

adalah suatu perbuatan manusia dangan sengaja atau lalai, di mana perbuatan tersebut diancam dengan hukuman oleh undang-undang, dan dilakukan oleh manusia yang dapat dipertaggung jawabkan. Sedangkan Van Hamel merumuskan

stafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging), yang dirumuskan

1

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Cet. 2, Asy-Syaamil, Bandung, 2001, hlm 132

2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 2, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hlm 25


(32)

21 dalam waktu yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (stafwaardig)

dan dilakukan dengan kesalahan.3

Di dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, pemalsuan menurut bahasa berarti proses, perbuatan atau cara memalsukan.4 Sedangkan surat menurut bahasa selembaran kertas yang berisi huruf, angka atau tulisan Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat dengan istilah kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidak benaran atau palsu atas suatu (objek), yang sesuatu tampak dari luar seolah-olah banar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya Perbuatan-perbuatan itu dapat berupa penghapusan kalimat, kata, angka, tanda tangan, dapat berupa penambahan dengan satu kalimat, kata atau angka, dapat berupa penggantian kalimat, kata, angka, tanggal atau tanda tangan.

Dapat diambil garis besarnya bahwa yang dimaksud dengan kejahatan atau tindak pidana pemalsuan surat adalah suatu perbuatan kejahatan perbuatan ini dilakuakan, sudah ada sebuah surat di sebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan cap stempel kepolisian) dilakukan pemalsuan surat. Yang tersebut tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.

3

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cet.7, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 56

4


(33)

22 2. Dasar Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Sumber utama hukum pidana adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang terdiri dari tiga buku yang secara umum sistematikanya adalah sebagai berikut :

Buku I : Mengatur peraturan-peraturan umum (algemeene bepalingen)

Buku II : Mengatur tentang kejahatan (misdrivent)

Buku III : Mengatur tentang pelanggaran (overtredingen)5

Secara umum kejahatan mengenai pemalsuan dapat kita temukan dalam buku II KUHP yang dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :

a. Kejahatan sumpah palsu (Bab IX KUHP).

b. Kejahatan Pemalsuan uang (Bab X KUHP).

c. Kejahatan Pemalsuan materai dan merek (Bab XI KUHP).

d. Kejahatan Pemalsuan surat (Bab XII KUHP).6

Masalah tindak pidana pemalsuan surat termasuk ke dalam kejahatan pemalsuan surat yang diatur dalam bab XII buku ke-2 KUHP, yaitu dari Pasal 263 sampai dengan 276, yang dapat dibedakan menjadi tujuh macam kejahatan pemalsuan surat, yakni :

a. Pemalsuan surat pada umumnya bentuk pokok pemalsuan surat, (KUHP Pasal

263).

b. Pemalsuan surat yang diperberat, (KUHP Pasal 264).

c. Menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam akta otentik (KUHP Pasal

266).

d. Pemalsuan surat keterangan dokter (KUHP Pasal 267-268).

e. Pemalsuan surat-surat tertentu (KUHP Pasal 269,270 dan 271).

5

Prof. Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah dan Pendapat Para Ahli

Hukum Terkemuka Bagian 1, hlm 38

6

Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 3


(34)

23 f. Pemalsuan keterangan pejabat tantang hak milik (KUHP Pasal 275).

g. Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (KUHP Pasal 275).7

Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar) yang dimuat dalam Pasal 263 Ayat (1) dan (2) KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut:

Ayat (1)

Barang siapa yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti dari pada suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surrat tarsebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, di pidana jika psmakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama 6 (enam tahun)

Ayat (2)

Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat

menimbulkan beragam.8

Dimaksud surat di sini adalah segala surat yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin ketik, dan sebagainya. Membuat surat palsu yaitu membuat surat yang isinya tidak benar atau bukan semestinya, sehingga menunjukkan asal surat yang tidak benar. Sedangkan penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja adanya kerugian itu sudah cukup yang dimaksud dengan kerugian di sini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga dilapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehorrmatan dan sebagainya.

Pengertian surat sebagaimana diungkapkan Adami Chazawi9. dalam bukunya yang berjudul kejahatan mengenai pemalsuan adalah : “suatu lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka

7Ibid

, hlm. 97

8

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm 105

9 Adami Chazawi, 2002, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Cet. 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta.


(35)

24 yang mengandung berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin

cetakan dan dengan alat dan cara apapun” Membuat surat palsu (valsheid in

geserift) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu,

palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Isi dan aslinya surat yang tidak benar dari memuat surat palsu, dapat juga tanda tangannya yang tidak benar. Tanda tangan yang dimaksud di sini adalah termasuk juga tanda tangan dengan menggunakan cap atau stempel tanda tangan.

Perbuatan memalsu (vervalsen) surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun orang-orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi semua. Perbedaan prinsip antara membuat surat palsu dengan memalsu surat adalah dalam membuat surat palsu sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat yang dicontoh, kemudian surat yang dibuat itu sebagian atau seluruhnya bertentangan dengan kebenaran. Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh sipelaku sendiri. Sedangkan memalsu surat adalah membuat surat yang mencontohkan surat asli yang telah ada sebelumnya.

Tidak semua surat dapat menjadi obyek pemalsuan surat, melainkan terdapat pada empat macam surat yakni :10

a. Surat yang menimbulkan suatu hak.

b. Surat yang menimbulkan suatu perikatan.

c. Surat yang menimbulkan pembebasan hutang.


(36)

25 d. Surat yang diperuntukan bukti mengenai suatu hal.

Pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan secara langsung adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang dalam surat itu, tetapi dalam surat-surat itu yang disebut surat pormil yang langsung melahirkan suatu hak tertentu misalnya Sertifikat Hak Milik, Perizinan, Ijazah, Cek, wesel, dan lain sebagainya.

Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah berupa surat yang karena perjanjian itu melahirkan hak. Contohnya seperti pemalsuan pada surat tanda nomor kendaraan bermotor, dimana si pemilik kendaraan wajib membayar pajak ditiap tahunnya untuk memperpanjang ke aktifan nomor kendaraan. Ini merupakan, melahirkannya suatu perikatan, antara pemilik kendaraan dan Negara.

Mengenai unsur “surat yang diperuntukan sebagai bukti akan adanya suatu hal”,

di dalamnya ada dua hal yang perlu dibicarakan yakni, mengenai diperuntukan sebagai bukti, dan tentang suatu hal adalah berupa kejadian atau peristiwa tertentu baik yang karena diadakan (misalnya perkawinan) maupun karena peristiwa alam (misalnya kelahiran dan kematian). Peristiwa tersebut mempunyai suatu akibat hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan bukti adalah karena sifatnya, surat itu

mempunyai kekuatan pembuktian (bewijskracht). Unsur kesalahan dalam

pemalsuan surat pada Pasal 263 Ayat (1) KUHP yakni “dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat palsu ini seolah-olah isinya benar dan tidak palsu”. Maksud yang demikian sudah harus ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu.


(37)

26

Pada atau kalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak palsu” mengandung makna

bahwa adanya orang-orang yang terpadaya dengan digunakan surat-surat tersebut, dan surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang menganggap surat itu asli dan tidak palsu, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.

Dalam unsur “jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena

pemalsuan surat” mengandung pengertian bahwa : pemakaian surat belum dilakukan hal ini terlihat dari adanya perkataan “jika” dan karena penggunaan

pemakaian surat belum dilakukan, maka dengan sendirinya kerugian itu belum ada, hal ini dapat terlihat dari adanya perkataan “dapat”.

Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya berdasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu. Kerugian yang dimaksud tidak saja kerugian yang bernilai atau dapat dinilai dengan uang atau kerugian di bidang kekayaan, akan tetapi dapat juga berupa kerugian-kerugian lainnya mempersulit pengawasan oleh Pemerintah, menutup-nutupi penggelapan yang terjadi, pembohongan publik bahkan mengarah kepada penipuan.

Pada Ayat (2) terdapat pula unsur pemakaian surat palsu atau surat dipalsu itu dapat menimbulkan kerugian, walaupun perihal unsur ini baik pada Ayat (1) kemungkinan akan timbul kerugian itu adalah akibat dari pemakaian surat palsu atau surat dipalsu, akan tetapi pemakaian surat itu belum dilakukan, karena yang baru dilakukan adalah membuat surat palsu dan memalsu surat saja. Sedangkan


(38)

27 pada Ayat (2) pemakian surat itu sendiri sudah dilakukan, akan tetapi kerugian itu tidak perlu nyata-nyata timbul.

Pada Ayat (1) kehendak ditunjukkan pada perbuatan memakai, tetapi perbuatan memakainya bukan merupakan perbuatan yang dilarang, sedangkan Ayat (2) perbuatan yang dilarang adalah memakai. Unsur “perbuatan” pada Ayat (2) dirumuskan dalam bentuk abstrak yang dalam kejadian senyatanya memerlukan wujud tertentu, misalnya menyerahkan, menunjukan, mengirimkan, menjual, menukar, menawarkan dan lain sebagainya, yang wujud-wujud itu sudah harus terjadi untuk dapat dipidananya melakukan kejahatan.

Maksud dari unsur kesalahan pada Ayat (1) yakni “dengan sengaja”. Mengandung arti bahwa, pelaku menghendaki melakukan perbuatan memakai, ia sadar atau insyaf bahwa surat yang ia gunakan adalah surat palsu atau surat dipalsu, atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu adalah seolah-olah pemakaian surat asli dan tidak palsu, dan ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur kesengajaan yang demikian itu harus dibuktikan.

Selain Pasal 263 di atas di dalam KUHP juga terdapat aturan mengenai pemalsuan surat yang diperberat yakni yang dirumuskan dalam Pasal 264 Ayat (1) dan (2) serta dalam Pasal 266 Ayat (1) dan (2) sebagai berikut :

Pasal 264 Ayat (1) dan (2) Ayat (1)

Pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun, jika dilakuakn terhadap :

a. Akta-akta otentik

b. Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu Negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum


(39)

28 c. Surat sero atau surat hutang atau sertifikatsero atau hutang dari suatu

perkumpulan, yayasan, perseroan dan maskapai

d. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu

e. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan. Ayat (2)

Dipidana dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam Ayat pertama, yang isinya tidak asli atau dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 266 Ayat (1) dan (2) Ayat (1)

Barang siapa menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam suatu akta ontentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Ayat (2)

Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakian tersebut dapat menimbulkan kerugian

Pasal 267 Ayat (1), (2 dan (3)) Ayat (1)

Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun

Ayat (2)

Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam tahun

Ayat (3)

Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.


(40)

29 Pasal 268 Ayat (1) dan (2)

Ayat (1)

Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Ayat (2)

Diancam dengan dipidana yang sama, barang siapa maksud yang sama memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsu.

Psal 269 Ayat (1) dan (2) Ayat (1)

Barang siapa membuat surat palsu atau memalsu surat keterangan tanda kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, kecacatan, atau keadaan lain, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu supaya diterima dalam pekerjaan atau supaya menimbulkan kemurahan hati dan pertolongan, diancam dengan pidana penjara paling satu tahun empat bulan.

Ayat (2)

Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan yang palsu atau yang dipalsukan tersebut dalam Ayat pertama, seolah-olah surat itu sejati dan tidak dipalsukan.

Pasal 270 Ayat (1) dan (2) Ayat (1)

Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan pas jalan atau surat penggantinya, kartu keamanan, surat perintah jalan atau surat yang diberikan menurut ketentuan undang-undang tentang pemberian izin kepada orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia, ataupun barangsiapa menyuruh beri surat serupa itu atas nama palsu atau nama kecil yang palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan

Ayat (2)

Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang tidak benar atau yang dipalsu tersebut dalam Ayat pertama, seolah-olah benar dan tidak palsu atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran


(41)

30 Pasal 271 Ayat (1) dan (2)

Ayat (1)

Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat pengantar bagi kerbau atau sapi, atau menyuruh beri surat serupa itu atas nama palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Ayat (2)

Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang palsu atau yang dipalsukan tersebut dalam Ayat (1), seolah-olah isisnya sesuai dengan kebenaran Pasal 275 Ayat (1) dan (2).

Pasal 272 Ayat (1) dan (2) Ayat (1)

Barangsiapa menyimpan bahan atau benda yang diketahuinya bahwa diperuntukkan untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 264 No. 2-5, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Ayat (2)

Bahan-bahan dan benda-benda itu dirampas.11

Akta ontentik yaitu surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, oleh pegawai umum. Dalam hal ini dapat dicontohkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), izin pendirian sekolah, pemalsuan ijazah, sertifikasi dan kompetensi.

Menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat pada Pasal 264 tersebut terletak pada faktor macam surat. Surat-surat tertentu yang menjadi obyek kejahatan adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya. Pada surat-surat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih

11


(42)

31 tinggi dari pada surat-surat biasa atau surat lainnya. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa, rumusan Pasal 264 Ayat (2) adalah sama dengan rumusan Pasal 263 Ayat (2) perbedaannya hanya pada jenis surat yang dipakai. Dalam Pasal 263 Ayat (2) adalah surat pada umumnya, sedangkan Pasal 264 Ayat (2) adalah surat-surat tertentu yang mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi dan kepercayaan yang lebih besar dari pada surat pada umumnya. Dan berdasarkan Pasal-Pasal tersebut menunjukan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan dasar hukum larangan pemalsuan surat yang

merupakan hukum Lex Generalis.12

Maka hukum dibuat dan diberlakukan sebagai perlindungan kepada setiap orang agar dapat memberikan rasa aman dari semua perbuatan yang dapat mengganggu dan mengancamnya. Adanya sanksi dalam hukum, diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada setiap manusia dari berbagai gangguan tersebut. Tindak pidana pemalsuan surat merupakan salah satu perbuatan yang dirasa mengganggu dan merugikan, sehingga ketentuan sanksinya harus benar-benar ditegakkan.

3. Tinjauan tentang Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik

Hukum dibuat dan diberlakukan sebagai perlindungan kepada setiap orang agar dapat memberikan rasa aman dari semua perbuatan yang dapat mengganggu dan mengancamnya. Adanya sanksi dalam hukum, diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada setiap manusia dari berbagai gangguan tersebut. Tindak pidana pemalsuan akta otentik merupakan salah satu perbuatan yang dirasa mengganggu dan merugikan, sehingga ketentuan dan sanksinya harus benar-benar

12

C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita, Cet. 1, Jakarta, 2004, hlm. 134


(43)

32 ditegakkan. Begitu pula di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditemukan ketentuan sanksi pidana bagi siapa saja yang membuat akta otentik palsu atau memalsukan akta otentik yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pelunasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada suatu hal, atau melakukan pemalsuaan terhadap akta-akta otentik. Hal ini terdapat dalam KUHP Pasal 264 Ayat (1) dan (2).

Pasal 274 Ayat (1)

Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat keterangan seorang pejabat selaku penguasa yang sah, tantang hak milik atau hak lainnya atas sesuatu barang, dengan maksud untuk memudahkan penjualan atau penggadaiannya atau untuk menyesatkan pegawai negeri kehakiman atau kepolisian tentang aslinya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun.

Ayat (2)

Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud tersebut, memakai surat keterangan itu seolah-olah sejati dan tidak dipalsukan.

Berdasarkan adanya beberapa ketentuan hukum serta sanksi yang telah diatur dan ditetapkan dalam hukum positif. Hal ini terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yakni Pasal 263, 264, 266, dan 274 tentang pemalsuan surat, surat palsu atau memalsukan surat itu termasuk kedalam suatu kejahatan atau tindak pidana yakni kejahatan mengenai pemalsuan, sehingga terdapat pelakunya dapat diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan.


(44)

33 D. Tindak Pidana di Bidang Pendidikan

Tindak Pidana Pendidikan merupakan suatu sikap yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja dalam bidang pendidikan berkaitan dengan kejahatan maupun pelanggaran dengan segala motif dan tujuannya yang dapat dilakukan siapa saja baik oleh pihak peyelenggara pendidikan, tenaga pengajar, peserta didik bahkan pemerintah selaku penanggung jawab pendidikan nasional.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 telah mengatur secara khusus tentang peran masyarakat hal ini dapat menandakan bahwa suatu perbuatan itu adalah salah dan dilarang, namun berdasarkan berbagai nilai, asas, sendi-sendi dan norma-norma serta nilai kepatutan yang hidup dalarn masyarakat, bila perbuatan tersebut terjadi dalam pendidikan, maka dapatlah dikatakan sebagai suatu tindak pidana di bidang pendidikan.

Perbuatan atau tindakan tersebut dalam hakikat dan kenyataannya berakibat buruk atau mendatangkan pengaruh yang buruk namun secara langsung bagi dunia pendidikan, maka perbuatan itupun dalam hal ini sudah harusdapat dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana pendidikan.

Tindak pidana pendidikan memang merupakan satu kesatuan, tetapi di dalamnya terdapat lebih dari satu perbuatan yang kesemuanya bersatu dengan daya tarik menarik antara satu sama lain dalam membentuk dan mewujudkan satuan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, misalnya : penipuan melalui penyelenggaraan pendidikan formal, sejalan dengan pernyataan tersebut di atas, maka menurut pandangan determinisme normatif bahwa dalam bersikap dan


(45)

34 bertindak harus selalu terikat (deterministis) pada norma-norma yang hidup atau berlaku dalam masyarakat dan bidang kegiatan yang dilakukan, baik norma-norma tersebut adalah norma-norma hukum maupun norma-norma-norma-norma non hukum, misalkan norma keagamaan, norma sopan santun, norma kesusilaan, norma kepatutan dan kebajikan, norma kehalalan dan kelayakan dan sebagainya.

Tindak pidana pendidikan tidak begitu menjadi fokus perhatian dari alat negara penegak hukum bahkan tidak popular, karena disebabkan kurangnya perhatian

masyarakat (kalangan teoritis maupun praktis) terhadap gejala-gejala

penyimpangan dalam dunia pendidikan yang bersifat yuridis. Masalah pendidikan yang seringkali menjadi fokus perhatian hanyalah sekitar mahalnya biaya pendidikan, kurikulum, penyelewengan dana bos sedangkan tindak pidana yang difokuskan terhadap proses perizinan pendirian sekolah atau izin penyelenggaraan pendidikan formal, syah atau tidak syahnya ijasah, sertifikasi, kompetensi dan lain-lain kurang mendapatkan perhatian dari penyelenggara negara, yang dapat berdampak pada rusaknya sistem pendidikan nasional dan sendi-sendi kehidupan berbangsa.

Pengertian tindak pidana pendidikan tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana pada umumnya, yang membedakan hanyalah kekhususannya bidang pendidikan, mengingat banyaknya jenis tindak pidana penclidikan ini, maka dalam penelitian ini, penulis lebih terfokus pada pendidik dan peserta didik dan penanggulangan tindak pidana pendidikan melalui kebijakan kriminal.


(46)

35 Secara sederhana tindak pidana pendidikan adalah tindak pidana yang terjadi di

dunia pendidikan. Secara umum dan garis besarnya, “tindak pidana pendidikan”

dapat didefinisikan sebagai suatu sikap tindak yang :

1. Dilakukan dalam bidang pendidikan serta berbagai kaitan yang ada di dalamnya. Artinya, sikap tindak itu dilakukan dalam bidang pendidikan serta berbagai kaitan yang ada di dalamnya, dalam hal ini dimaksudkan bahwa bidang pendidikan menjadi sasaran atau menjadi korban dari dilakukannya

sikap tindak yang negatif. Sedangkan perkataan “berbagai kaitan yang ada di dalamnya” (di dalam bidang pendidikan) memberikan suatu kesan bahwa

sikap tindak negatif tersebut dapat membawa pengaruh buruk yang amat besar dan luas terhadap segenap faktor, sendi-sendi clan seluk beluk primer asasi dari pendidikan yang secara langsung ataupun tidak langsung akan dirasakan oleh para anak didik;

2. Berupa kejahatan ataupun pelanggaran dengan segala tujuannya. Maksudnya adalah bahwa sikap tindak tersebut jelas-jelas sudah merupakan suatu penyimpangan yang berwujud sebagai penyelewengan, maka akibatnya walau apa pun tujuan dan alasannya, suatu penyelewengan tetaplah penyelewengan sehingga tetap pula tidak dapat dibenarkan dan ditolerir, baik disengaja maupun tidak disengaja. Adanya kesengajaan atau tidak dimaksudkan agar dapat tercapainya kepastian hukum dalam penuntutan tanggungjawab terhadap para pelaku;

3. Pelakunya dapat siapa saja, baik ia itu seorang yang bertidak sebagai pengajar, pengurus yayasan dan aparatur pemerintah atau seseorang yang berada diluar lembaga pendidikan formal maupun pihak-pihak lain yang sikap tindakanya baik secara langsung ataupun tidak langsung mendatangkan pengaruh yang buruk terhadap kelangsungan suatu pendidikan, baik pendidikan tersebut bersifat formal maupun non-formal;

4. Berwujud sebagai suatu kesalahan baik yang sudah diatur maupun yang belum

diatur secara yuridis dalam peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, meskipun belum ada peraturan hukum yang menandaskan bahwa suatu perbuatan itu adalah salah dan dilarang, namun berdasarkan berbagai nilai, asas, sendi dan norma-norma kebaikan serta kepatutan yang hidup dalam masyarakat, bila perbuatan tersebut terjadi dalam bidang pendidikan, maka dapatlah dikatakan sebagai suatu tindak pidana pendidikan. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diartikan bahwa tindak pidana pendidikan mempunyai unsur-unsur delik dan sifat melawan hukum yang sama dengan tindak pidana pada umumnya. Tindak pidana pendidikan yang terjadi saat ini, bukan saja menimbulkan kerugian nyata pada proses pelaksanaan pendidikan,


(47)

36 namun pihak-pihak yang menjadi aktor dalam pendidikan yaitu: peserta didik dan didik dirugikan secara formal maupun material.

Adapun bentuk-bentuk tindak pidana dalam bidang pendidikan seperti yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dalam Pasal 67-71 adalah :

1. Pasal 67 Ayat (1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Pasal 68 Ayat (1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Pasal 69 Ayat (1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 Ayat (2) dan Ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

4. Pasal 70 : Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan

gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

5. Pasal 71 : Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Penggolongan Tindak Pidana Pendidikan Pengaturan tindak pidana pendidikan dengan sarana penal bagi pelaku dalam peraturan yang khusus (lex specaillis) adalah masih berorientasi pada sanksi pidana yang berlandaskan pada esensi,


(48)

37 eksistensi, legitimasi, pada prinsip-prinsip kegiatan pendidikan dan pengajaran yang harus diketahui oleh semua orang, terutama mereka yang secara langsung aktif dalam pendidikan, alasannya karena pada hakikatnya setiap bentuk-bentuk penyelewengan yang terjadi dalam pendidikan secara kualitatif dan kuantitatif sangat berpengaruh bagi masyarakat dan masa depan bangsa dan negara, dengan perkataan lain, setiap bentuk penyelewengan yang terjadi dalam pendidikan menimbulkan resiko yang besar bila dibandingkan dengan bidang kegiatan lainnya.

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka perlu adanya suatu pengaturan secara yuridis yang khusus (lex speciallis) untuk menjaga terjaminnya keutuhan dan keberlangsungan sistem pendidikan dari segala bentuk penyelewengan yang akan menjatuhkan, menghancurkan sistem pendidikan nasional, norma luhur pendidikan bahkan merusak martabat bangsa.

Secara formal, tindak pidana pendidikan secara garis besarnya dapat digolongkan beberapa hal, tindak pidana pendidikan yang dilakukan oleh seorang pendidik dalam arti seorang pengajar di lembaga-lembaga pendidikan formal yang pada prakliknya dapat berwujud berbagai bentuk perbuatan, yaitu :

1. Berbagai macam penipuan atau pengakuan palsu yang umumnya dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan atau pengurus yayasan lembaga pendidikan yang seolah-olah kegiatan penyelenggara pendidikan formal memiliki izin yang syah mengatasnamakan lembaga resmi namun kenyataannya lembaga tersebut tidak memilki atau didasari oleh izin pendirian sekolah yang syah.

2. Penekanan nilai dengan latar belakang yang bermacam-macam, misalnya sentimen pribadi, komersial, kelainan jiwa ataupun gabungan antara dua macam atau ketiga macam latar belakang tersebut;

3. Tindakan-tindakan yang bersifat memaksa disertai dengan intimidasi/ancaman secara halus agar siswa mengikuti kehendaknya, misalnya : mengikuti kursus dengan biaya yang relatif mahal, membeli buku pelajaran dengan harga mahal


(49)

38 dan mutu yang tidak layak, pemberian sesuatu kepada pendidik di luar kewajibannya yang layak dengan maksud untuk memperoleh balasan tertentu. Tindakan ini semacam bentuk penyuapan atau gratifikasi dalam pendidikan, atau gabungan antara dua macam atau ketiga macam tindakan di atas;

4. Berbagai perlakuan tidak wajar dan tidak beralasan yang dilakukan oleh seorang oknum pengajar terhadap muridnya baik secara jasmaniah maupun secara mental;

5. Pengajaran dengan metode dan materi yang buruk/kadar mutu yang rendah, yang sebenamya hampir tidak ada manfaatnya bagi murid, bahkan sebaliknya clapat mernbahayakan;

6. Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran yang menyimpang dari kebenaran umum tanpa dapat dipertanggung jawabkan oleh pendidik/pengajar yang bersangkutan serta berakibat buruk bagi murid;

7. Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran yang menyimpang dari nilai-nilai moral/keakhlakan, kesusilaan, hukum, agama/budi pekerti, tata karma/sopan santun dan ketertiban umum sewajarnya. Pencurian, pemalsuan atau pembajakan karya ilmiah orang lain dalam bentuk apapun (baik seluruhnya maupun sebagian), pengakuan palsu atau karya/penemuan ilmiah orang lain baik secara lisan ataupun tertulis;

8. Penipuan atau pengakuan palsu dari seorang oknum pengajar mengenai jabatan atau hasil karyanya yang sebenamya tidak ada, dengan maksud agar rnemperoleh kepercayaan ataupun memperoleh sesuatu yang bukan haknya; Berbagai bentuk tindak pidana pendidikan lainnya yang sedikit banyaknya hamper sepola dan setujuan dengan berbagai tindak pidana pendidikan tersebut di atas;

9. Berbagai tindak pidana pendidikan universal, yakni tindak pidana pendidikan yang pelakunya bisa siapa saja, baik ia pengajar, orang tua murid, karyawan sekolah dan sebagainya.

10.Tindak pidana pendidikan yang dilakukan oleh seorang pendidik dalam art seorang pengajar di lembaga-lembaga atau usaha-usaha pendidikan non formal/ekstrakurikuler, yang berwujud : Penyelenggaraan pendidikan formal oleh lembaga pendidikan yang tidak memilki izin yang syah dari pemerintah Pusat maupun daerah, segala pelaksanaan pendidikan tersebut;

E. Tinjauan tentang Pembuktian

Pembuktian adalah suatu proses membuktikan dan meyakinkan hakim tentang kebenaran peristiwa yang menjadi dasar gugatan dengan menggunakan bukti-bukti yang diatur oleh undang-undang.


(50)

39 1. Dalam Pasal 184, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan

bahwa :

a) Alat bukti yang sah ialah: (1) Keterangan saksi; (2) Keterangan ahli; (3) Surat;

(4) Petunjuk;

(5) Keterangan terdakwa.

b) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

2. Dalam Pasal 185, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa :

a) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

b) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. c) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak berlaku apabila

disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

d) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada .hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

e) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

f) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan

(1) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; (2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

(3) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi

keterangan yang tertentu;

(4) Cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

3. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.


(51)

40 4. Analisis yuridis adalah kajian atau pembahasan dari aspek hukum terhadap fenomena ataupun suatu lembaga hukum atau kegiatan hukum untuk dibahas dalam bagian bagian atau unsurnya agar dapat diketahui bagaimana kedudukan hukum, hubungan hukum, perbuatan hukum, akibat hukum, kekuatan hukum dari fenomena atau lembaga hukum atau kegiatan hukum atau kegiatan hukum tersebut.


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, dimulai dengan menganalisis ketentuan yang berhubungan dengan permasalahan. Metode ini digunakan oleh karena masalah-masalah yang akan diteliti berkisar mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana pemalsuan dalam sistem pendidikan nasional serta peranan penyidik dalam menerapkan proses penyidikan dalam kasus pemalsuan akta otentik berupa izin operasioanal pendirian Sekolah Menengah Kejuruan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan Prov. Lampung dilakukan oleh penyidik pada subdit II Direktorat Kriminal Umum Polda Lampung, sebagai penunjang digunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu di dalam pengkajian dan pengujian didasarkan pada data primer. Dalam menganalisis data juga dilakukan wawancara dengan responden yaitu penyidik pembantu dan penyidik yang menanggani kasus tindak pidana pemalsauan izin pendirian sekolah.


(53)

42 B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari studi pustaka dan studi lapangan. Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yaitu berdasarkan studi kasus pada laporan hasil kemajuan penyidikan dan hasil gelar perkara dala kasus pemalsuan izin operasioanl sekolah (X). Sedangkan data sekunder, berasal bahan-bahan hukum yang meliputi :

1. Bahan Hukum Primer antara lain :

a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No 73 Tahun

1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Republik Indonesia.

d) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

e) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan.

f) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

2. Bahan Hukum Sekunder antara lain :

a) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.


(1)

Salah satu perlindungan hukum dalam bidang pendidikan yang sudah berlaku di Indonesia adalah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun undang-undang ini secara implisit tidak menyebutkan perumusan delik, perumusan kualifikasi delik, dan unsur delik yang benar-benar merupakan perbuatan melanggar hukum di bidang pendidikan. undang-undang ini hanya mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang diancam pidana, yakni pada BAB XX Ketentuan Pidana Pasal 67 sampai Pasal 71.

2) Faktor penegakan hukum

Beragam latar belakang dan karakteristik pribadi yang dimiliki para penyidik dan penyidik pembantu, turut mempengaruhi tingkat kualitas kinerja masing-masing penyidik dan penyidik pembantu di bidang penyelidikan dan penyidikan.

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

Dalam penyidikan terhadap pemalsuan akta otentik khususnya di Provinsi Lampung yang menjadi faktor penyebab utama adalah tidak adanya Laboratorium Forensik Polri, sehingga barang bukti yang dipalsukan tersebut harus dikirim ke Laboratorium Forensik Polri Cabang Palembang. Di mana dengan waktu tempuh yang cukup lama, belum lagi di Laboratorium Forensik Cabang Palembang petugas harus menunggu giliran, sedangkan penyidik harus bergerak cepat mengumpulkan barang bukti lainnya. Di samping itu, belum tersedianya ruangan penyimpanan berkas perkara dan barang bukti yang representatif kemudian kendaraan dinas untuk fungsi Reskrim di tiap satuan kerja (Satker) sangat minim.


(2)

72 4) Faktor masyarakat

Minimnya pengetahuan masyarakat pada aspek hukum pidana/perdata menyebabkan tindak kejahatan ringan dan berat terus meningkat di berbagai wilayah. Kesadaran hukum itu, terkait erat dengan masalah budaya hukum yang berupa nilai-nilai, pendangan-pandangan dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Ketika seseorang melakukan tindakan kejahatan dan melaporkan kepada polisi atas segala perbuatannya, namun sayangnya perilaku ini tidak ada. Sehingga hal ini dapat diartikan tingkat kesadaran hukum masyarakat sangat rendah.

5) Faktor kebudayaan

Bagian terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Kesadaran hukum dalam masyarakat meliputi antara lain : adanya pengetahuan tentang hukum, adanya penghayatan fungsi hukum dan adanya ketaatan terhadap hukum.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat dikemukakan sebagai alternatif penyelesaian permasalahan di masa yang akan datang adalah sebagai berikut :

1. Perlu adanya pemahaman yang sama antara penyidik dan penuntut umum terkait proses penyidikan tindak pidana pemalsuan akta otentik berupa izin


(3)

pendirian sekolah sehingga peristiwa hukum ini dapat sesegera mungkin mendapat kepastian hukum, tindak pidana pemalsuan merupakan perbuatan yang dengan sengaja mengubah oleh orang tertentu yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruhnya menjadi lain atau berbeda dengan isi semula. Berkaitan dengan undang-undang sistem pendidikan nasional belum mengatur secara implisit tentang tindak pidana pendidikan khususnya tindak pidana pemalsuan yang berakibat pidana sehingga penyidik mengalami kesulitan dalam penerapan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana bidang pendidikan secara khusus. Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan Kejaksaan dan subsistem penegakan hukum lainnya yaitu Penyidik dalam hal melakukan penyidikan dan jaksa penuntut dalam melakukan penuntutan serta Pengadilan memutuskan sanksi pidana melalui hakim di peradilan diwajibkan adanya sinkronisasi untuk menciptakan kepastian hukum, rasa keadilan dengan proses cepat, sederhana dan biaya murah.

2. Kendala yang menjadi penghambat penyidik dalam melakukan penyidikan yakni disebabkan oleh undang-undang yang mengatur sistem pendidikan nasional tidak secara implisit tidak menyebutkan perumusan delik, perumusan kualifikasi delik dan unsur delik yang benar-benar merupakan perbuatan melanggar hukum di bidang pendidikan, perlu adanya pemahaman yang sama terhadap penyidik, penuntut umum dan hakim dalam mengungkap peristiwa hukum pemalsuan akta otentik dibidang pendidikan ditunjang dengan sarana


(4)

74 pembuktian berupa laboratorium forensik yang dapat mendukung pembuktian dalam suatu peristiwa pemalsuan akta otentik dibidang pendidikan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi Adami, 2002, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Cet. 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

______, 1995, Kejahatan terhadap Harta Benda, Penerbit IKIP Malang, Malang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Cet. 2, Balai Pustaka, Jakarta,.

Hamzah, Andi, 2001, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Harun, M. Husein, 1991, Penyidik dan Penuntut Dalam Proses Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Kansil, C.S.T., 2004, Pokok-pokok Hukum Pidana, Cet. 1, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Lasahido, Ilham, 2006, Modul Penanganan Surat, Diklat Keuangan Nasional, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1999, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT Citra Aditya Bhakti, Yogyakarta .

Moch. Anwar, H.A.K., 1982, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Cet. 1, PT Alumni, Bandung,

Moeljatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Cet.7, PT Rineka Cipta. Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,

Bandung.

Nawawi Arief, Barda, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, UNDIP, Semarang.

Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-dasar Pidana Indonesia 2, Pradya Paramita, Jakarta.


(6)

Soerodibroto, R. Soenarto, 2011, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Rajawali Pers, Jakarta. Rajagugu, Erman, Badan Hukum sebagai Subyek Hukum, Mitra Management

Centre, Jakarta.

Santoso, Topo, 2001, Menggagas Hukum Pidana Islam, Cet. 2, Asy-Syaamil, Bandung.

Soerjono, Soekanto, Hengki Liklikuwata dan Mulyana W. Kusumah, 1986, Krimonologi Suatu Pengantar, Ghlia Indonesia, Jakarta.

______, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, FH-UNDIP, Semarang.

Syahrin Harahap, 2005, Penegakan Moral Akademik di Dalam dan di Luar Kampus, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Teguh Prasetyo, 2005, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. W Kusumah, Mulyana, 1984, Krimonologi dan Masalah Kejahatan Suatu