ANALISIS PENYIMPANGAN PENYIDIKAN OLEH PIHAK KEPOLISIAN DALAM PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan kepada setiap manusia akal budi dan nurani, dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat digunakan untuk membedakan antara yang baik dan buruk, membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalankan kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya dan untuk mempertangjawabkan atas semua tindakan yang telah dilakukan.

Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang melekat pada manusia secara hakiki dan kodrati sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa. Hak tersebut tidak dapat diingkari, pengingkaran terhadap hak tersebut berarti pengingkaran terhadap martabat manusia, oleh karena itu negara, pemerintah, organisasi maupun pengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi HAM pada setiap manusia tanpa terkecuali, sehingga HAM menjadi titik tolak dan tujuan dalam menyelenggaraan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

Penghormatan terhadap hak asasi merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan


(2)

agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. Itulah sebabnya hak asasi terkait erat dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana tercantum dalam Dasar Negara Pancasila. Hak asasi manusia tentunya melingkupi hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan berorganisasi, hak atas keyakinan agamanya, hak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, dan hak atas hidup yang sehat.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Negara Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebagai negara hukum, berarti segala tindakan harus berdasarkan norma hukum yang berlaku (bersumber pada hukum positif), sehingga dengan demikian dapat diperjelas bahwa segala tindakan penguasa terhadap rakyat maunpun tindakan rakyat dengan rakyat atau tindakan rakyat terhadap penguasa haruslah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai aparat penegak hukum, kepolisian sebagai pengayom dan pelindung masyarakat harus banyak melakukan tindakan-tindakan pencegahan (preventif) maupun tindakan represif dalam rangka mencegah dan menanggulangi kejahatan yang akan terjadi maupun yang sudah terjadi. Dalam melakukan kedua tindakan tersebut, kepolisian selaku penegak hukum (law enforcer official), diberi kekuasaan


(3)

3 untuk menggunakan kekuasaannya (power) berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan bila perlu menggunakan kekerasan (forced) dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pada kenyataannya, hingga saat ini masih terdapat tindakan kekerasan aau penyimpangan terhadap prosedur tetap yang dilakukan Polisi dalam upaya melakukan penegakan hukum dan penanggulangan kejahatan, tindakan tersebut dapat terjadi karena ulah oknum atau tindakan yang sudah melembaga sebagai suatu sistem, karena bagaimanapun oknum yang melakukan tindakan kekerasan adalah produk dari hukum itu sendiri. Namun tentunya penggunaan kekerasan tersebut tidak boleh sampai terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karena jika keadaan terjadi, maka tentu saja bertentangan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), yang mengatur tentang tugas polisi, antara lain yaitu sebagai badan penyidik dan menjaga ketertiban dalam masyarakat.

Banyak sekali contoh kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian sehubungan dengan pelaksanaan penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan penerapan hak asasi manusia, di mana mereka kurang mampu bertindak persuasif dan profesional sehingga melegitimasi kekerasan dengan berlindung di balik undang-undang yang ada.

Persuasif dalam pengertian bukan dalam mengungkap kebenaran saja, tetapi tercakup di dalamnya upaya melindungi dan mengayomi masyarakat serta sekaligus pula dalam menegakkan dan menghormati hak asasi manusia. Harus diakui bahwa dalam menjalankan tugasnya, Polri masih menghadapi kerancuan dan hambatan serta


(4)

seringkali melalaikan ketentuan-ketentuan mendasar dari aturan yang mengikat dirinya. Penyebabnya adalah, pertama karena aparat kepolisian belum mempunyai cukup kemampuan, atau tepatnya tidak diberdayakan untuk kemampuan menangani semua aspek keamanan dan penegakan hukum. Kedua, aparat kepolisian belum sepenuhnya mengerti adanya perkembangan dan penambahan berbagai aturan, karena sosialisasi di lingkungan Polri atas aturan yang ada tidak pernah bersifat intensif. Ketiga, karena tekanan tugas yang sangat besar, selalu terabaikan upaya-upaya meng-update pengetahuan dan keterampilan, khususnya masalah hukum dan etika, sehingga polisi yang melek hukum secara luas dan mendalam serta berbuat etis dalam bertugas menjadi semakin langka. Sedangkan yang keempat, unsur pimpinan yang seharusnya memprakarsai, bertanggung jawab dan mengendalikan kecerdasan Polri, rata-rata tidak melaksanakan tugas pembinaan dengan baik.

Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat kepolisian secara total tidak mungkin dilakukan, hal ini dikarenakan hukum sendiri membatasi secara ketat oleh hukum acara pidana, seperti adanya aturan-aturan tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. selain itu, mungkin terjadi hukum pidana substansif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan adanya aduan (klacht delicten) sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan. Permasalahan akan muncul apabila polisi yang dengan kewenangan diskresinya (power of discreation) justru malah tidak menegakkannya, memanfaatkan, mengesampingkan, menghentikan atau mengambil tindakan lain di luar ketentuan yang telah ditetapkan sehingga menimbulkan resiko yang lebih besar baik terhadap masyarakat, tersangka baik terhadap dirinya sendiri. Luasnya kewenangan itu, polisi


(5)

5 dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya sendiri, kelompok atau organisasi lain di mana pada dasarnya kewenangan diskresi yang diberikan oleh undang-undang. Sebenarnya diberikan apabila hukum yang disediakan untuk menghadapi suatu kasus malah menjadi macet, tidak efisien atau kurang ada manfaatnya. Kewenangan polisi dalam pelaksanaan tidakan keras yang dimiliki oleh Polri yang begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya juga akan menimbulkan permasalahan terutama bila dikaitkan dengan asas-asas rule of law dan atau hak-hak azasi manusia (human right).

Menurut sistem peradilan terpadu, peranan polisi dalam sistem peradilan merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Kepolisian merupakan garda depan dalam sistem peradilan khususnya peradilan pidana. Dalam sistem peradilan terdapat dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan depan sidang.

Ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Pasal 1 angka (5) KUHAP memberikan pengertian terhadap penyelidikan yaitu : “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna


(6)

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam hal penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering digunakan istilah reserse. Di mana tugas utamanya adalah menerima laporan dan mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi berarti penyelidikan ini tindakan mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berati mencari kebenaran. (Andi Hamzah, 2004 : 118)

Namun, penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum (M. Yahya Harahap, 2003 : 101).


(7)

7 Jadi sebelum melakukan penyidikan, dilakukan lebih dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.

Menurut R. Tresna, penyidikan merupakan pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum (Hari Sasangka, 2007 : 22).

Adapun menurut Pasal 1 butir (2) KUHAP bahwa pengertian penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Penyimpangan Penyidikan Oleh Pihak Kepolisian dalam Penangkapan Pelaku Tindak Pidana”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah penelitian di atas, maka permasalahan penelitian yang diangkat dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimanakah bentuk-bentuk penyimpangan penyidikan oleh pihak kepolisian dalam penangkapan pelaku tindak pidana ?


(8)

b. Bagaimanakah pertanggungjawaban pihak kepolisian yang melakukan penyimpangan penyidikan dalam penangkapan pelaku tindak pidana ?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diangkat, maka yang menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah :

a. Bentuk-bentuk penyimpangan penyidikan oleh pihak kepolisian dalam penangkapan pelaku tindak pidana.

b. Pertanggungjawaban pihak kepolisian yang melakukan penyimpangan penyidikan dalam penangkapan pelaku tindak pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis bentuk-bentuk penyimpangan penyidikan oleh pihak kepolisian dalam penangkapan pelaku tindak pidana. b. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis pertanggungjawaban pihak

kepolisian yang melakukan penyimpangan penyidikan dalam penangkapan pelaku tindak pidana.

2. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis dan praktis sebagai berikut :


(9)

9 a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengembangan Ilmu Hukum Pidana khususnya mengenai bentuk bentuk-bentuk penyimpangan penyidikan oleh pihak kepolisian dan pertanggungjawaban pihak kepolisian yang melakukan penyimpangan dalam penyidikan.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :

1) Sebagai dasar memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai bentuk-bentuk penyimpangan penyidikan oleh pihak kepolisian dan pertanggungjawaban pihak kepolisian yang melakukan penyimpangan dalam penyidikan.

2) Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Dalam rangka mewujudkan dan menciptakan kepolisian yang mandiri serta memberikan perlindungan hak asasi manusia dalam proses penyelidikan dan penyidikan, maka diperlukan perundang-undangan yang menjamin aktivitas kerja pihak kepolisian serta memberikan konsep yang jelas dalam kegiatan operasional kepolisian yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang mempengaruhi upaya pihak kepolisian dalam proses penegakan hukum. Lima faktor tersebut adalah :


(10)

1. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam tulisan ini dibatasi pada faktor undang-undang-undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. (Soerjono Soekanto, 1993 : 5). Kepolisian selaku aparat penegak hukum dan sebagai institusi negara bertugas melindungi masyarakat dari segala macam kepentingan yang bertentangan dengan hukum yang dapat menimbulkan ketidaktertiban. Namun ada kalanya dalam penegakan ketertiban masyarakat tersebut terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini disebabkan bahwa di satu sisi, ketertiban harus ditegakkan guna memberikan rasa aman kepada masyarakat. Namun di sisi lain, masyarakat (pelaku kejahatan) terus melakukan perbuatan melawan hukum dan mengadakan ketidaktertiban di tengah masyarakat, sedangkan pihak kepolisian guna terselenggaranya ketertiban apabila melakukan kekerasan sebagai bagian dari upaya penegakan hukum dianggap telah melanggar hak asasi manusia dan hal ini menimbulkan reaksi dan kecaman dari berbagai kalangan masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan


(11)

11 merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Sutherland dalam Kunarto mengemukakan bahwa kekerasan dan polisi tidak bisa (sulit) dipisahkan, karena kekerasan merupakan bagian fungsional dari polisi dalam memerangi kejahatan sehingga memang tidak mungkin dilakukan tanpa kekerasan. Berpedoman dari pendapat tersebut, maka dapat dipahami bahwa kekerasan seperti menjadi sebuah keharusan guna terselenggaranya perlindungan kepada masyarakat, namun untuk menghindari upaya perlindungan tersebut digunakan sebagai alat atau pembenaran pihak kepolisian kekerasan terhadap yang dilakukan, maka perlu adanya suatu batasan yang jelas. (Kunarto, 1997 : 129).

Dengan adanya batasan yang jelas tersebut, maka aparat kepolisian tidak perlu ragu dalam menjalankan tugasnya selaku aparat penegak hukum maupun sebagai penyelenggara keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini sejalan dengan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara penegak hukum, sebagai pengayom, melindungi masyarakat dan harta bendanya serta memberikan pelayanan kepada masyarakat, sebagai pembimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menjunjung tinggi terselenggaranya usaha baik sebagai alat negara penegak hukum maupun sebagai pembimbing masyarakat (F. Isnawan, 1995 : 32).

Memperhatikan tugas pihak kepolisian yang begitu berat dan sangat berhubungan erat dengan masyarakat dan perlindungan hak asasi manusia, maka bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia perlu pemahaman terhadap hak asasi manusia guna


(12)

tercapainya tujuan Kepolisian Negara RI sebagai tumpuan masyarakat di bidang penegakan hukum dan perlindungan bagi masyarakat.

Pihak kepolisian setelah mengetahui adanya suatu tindak pidana berusaha melakukan penyelidikan. Menurut Pasal 1 butir 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Dengan demikian fungsi penyelidikan yaitu untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan. Penyelidikan dilakukan oleh penyelidik. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 KUHAP).

Oleh karena itu secara konkret, dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang :

1. Tindak apa yang telah dilakukannya; 2. Kapan tindak pidana itu dilakukan; 3. Dimana tindak pidana itu dilakukan; 4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan;


(13)

13 5. Bagaimana tindak pidana;

6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan; dan

7. Siapa pembuatnya. (Syarifuddin Pettanase, 1998 : 82).

Di dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Di dalam tugas penyelidikan mereka mempunyai wewenang-wewenang seperti diatur dalam Pasal 5KUHAP sebagai berikut :

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

2. Mencari keterangan dan barang bukti;

3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dabn menanyakan serta memerika tanda pengenal diri;

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Adapun yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan dengan syarat :

1. Tidak bertentangan dengan suatu peraturan hukum;

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatannya;

3. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; 5. Menghormati hak asasi manusia.


(14)

Kemudian atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan :

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

4. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik;

5. Membuat dan menyampaikan laporan hasil penyelidikan pada penyidik. Menurut Muladi, patokan yang dapat dipakai sebagai ukuran (kriteria) untuk menilai bahwa kekuasaan dalam bentuk penyimpangan dalam pelaksanaan penyelidikan telah terjadi secara tidak pada tempatnya yaitu :

a. Apabila seorang polisi menyerang secara fisik dan kemudian gagal untuk melakukan penahanan, penggunaan kekuasaan yang wajar diikuti oleh penahanan.

b. Apabila seorang warga negara yang pada waktu ditahan tidak melakukan perlawanan, baik dengan perbuatan maupun kata-kata, kekerasan hanya dapat digunakan jika diperlukan untuk melakukan penahanan.

c. Apabila seorang polisi, sekalipun pada waktu itu ada perlawanan terhadap usaha penahanan, masih bisa dengan mudah diatasi melalui cara-cara lain. d. Apabila sejumlah polisi ada di situ dan bisa membantu dengan cara menggiring warga negara yang bersangkutan ke kantor, tempat penahanan atau kamar interogasi.

e. Apabila seseorang ditahan itu diborgol dan tidak berusaha untuk lari atau melakukan perlawanan dengan kekerasan.


(15)

15 f. Apabila warga negara melawan, tetapi penggunaan kekerasan masih saja berlangsung, sekalipun orang itu sudah ditundukkan. (Muladi, 2004 : 139). 2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan dan pedoman dalam penelitian atau penulisan. Sumber konsep adalah undang-undang, buku/karya tulis, laporan penelitian, ensiklopedia, kamus dan fakta/peristiwa. (Abdulkadir Muhammad, 2004 : 78).

Adapun kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penyimpangan merupakan proses, cara, perbuatan menyimpang atau menyimpangkan atau sikap tindak di luar ukuran (kaidah) yang berlaku (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007 : 1067).

2. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 5 KUHAP).

3. Kepolisian (dalam hal ini adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia) merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).


(16)

4. Tindak Pidana yaitu perbuatan pidana atau juga disebut tindak pidana (delik) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut (Janus Sidabalok, 2006 : 163).

E. Sistematika Penulisan

Dalam upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam V (lima) Bab secara berurutan dan saling berhubungan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang dari penulisan ini, yang berisi latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konsepsional serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan tinjauan pustaka mengenai pelaksanaan proses penyelidikan dan penyidikan pihak kepolisian dalam penangkapan pelaku tindak pidana terdiri dari Pengertian Proses Penyelidikan dan Penyidikan, pengertian tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana dan pengertian pertanggungjawaban pidana.

III. METODE PENELITIAN

Berisikan tata cara atau langkah-langkah atau yang digunakan dalam rangka melakukan penelitian yaitu melalui pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampling penelitian, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisa data.


(17)

17 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan yang dibahas mengenai bentuk-bentuk penyimpangan penyidikan oleh pihak kepolisian dan pertanggungjawaban pihak kepolisian yang melakukan penyimpangan dalam penyidikan.

V. PENUTUP

Bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan dari hasil penelitian dan saran-saran penulisan berkaitan dengan masalah yang dibahas demi perbaikan di masa yang akan datang.


(18)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

Isnawan, F., Manajemen Kepolisian di Indonesia, Sanyata Sumanasa Wira, Bandung, 1995.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Muladi, Hak Asasi Manusia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993.

Pettanase, Syarifuddin, Peranan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Sebagai Salah Satu Faktor yang Mempengaruhi Pencegahan Kejahatan, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 1998.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyidikan

Setiap polisi harus dapat mencerminkan kewibawaan negara dan menunjukkan disiplin yang tinggi dikarenakan polisi pada hakekatnya adalah sebagai pengatur di dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Kepolisian Negara RI. No. 2 tahun 2002 tanggal 8 Januari 2002, yang menentukan bahwa Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan dan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam sistem peradilan terpadu, peranan polisi merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin terpisahkan. Kepolisian merupakan garda depan dalam sistem peradilan khususnya peradilan pidana. Dalam sistem peradilan terdapat dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan depan sidang.

Dalam pemeriksaan pendahuluan terdapat dua proses yang cukup mendasar yaitu penyelidikan dan penyidikan dari pihak kepolisian. Sebelum membahas mengenai proses penyidikan dan penyelidikan, maka sebaiknya perlu dipahami pengertian dari makna penyidikan dan penyelidikan itu sendiri.

Ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga


(20)

secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Sedangkan menunjang pelaksanaan seperti yang diatur dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 mengenai tugas dan kewenangan dari Polri, maka Polri berwenang melakukan berbagai perbuatan seperti yang termuat dalam Pasal 15 dan 16 undang-undang tersebut, yaitu sebagai berikut:

a. menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti;

j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;


(21)

20 l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan

pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. mnerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

n. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

o. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; p. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

q. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

r. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

s. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

Berkaitan dengan uraian tersebut maka perlu kiranya untuk menguraikan pengertian dari penyelidikan dan penyidikan dari pihak kepolisian, yaitu sebagai berikut :

1. Penyelidikan

Pasal 1 angka 5 KUHAP, memberikan pengertian penyelidikan sebagai berikut: Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam


(22)

undang-undang ini. Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam hal penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering digunakan istilah reserse. Di mana tugas utamanya adalah menerima laporan dan mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi berarti penyelidikan ini tindakan mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berati mencari kebenaran (Andi Hamzah, Op Cit, 2004 : 118).

Namun, penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum (M. Yahya Harahap, 2003 : 101).

Jadi sebelum melakukan penyidikan, dilakukan lebih dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.

2. Penyidikan

Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat


(23)

22 (Malaysia), KUHAP sendiri memberikan pengertian dalam Pasal 1 angka 2, terhadap penyidikan sebagai berikut:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Adapun yang melakukan tugas penyidikan adalah penyidik yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP, yaitu:

Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan didasari atas Pasal 6 KUHAP, maka diketahui bahwa terdapat 2 (dua) macam badan yang dibebani wewenang penyidikan, yaitu sebagai berikut :

1) Pejabat polisi negara Republik Indonesia.

2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

3) Pekerjaan polisi sebagai penyidik dapat dikatakan berlaku di seantero dunia. Kekuasaan dan wewenang (power and authority) polisi sebagai penyidik luar biasa penting dan sangat sulit. Terutama di Indonesia, di mana polisi memonopoli penyidikan hukum pidana umum. Wewenang polisi untuk menyidik meliputi kebijaksanaan polisi (politie bleid; police discretion) sangat sulit. Membuat pertimbangan apa yang di ambil dalam


(24)

saat yang sangat singkat pada penangkapan pertama suatu delik. (Andi Hamzah, 2004 : 79).

Antara penyelidikan dan penyidikan terdapat perbedaan, yaitu sebagai berikut: a) Dari segi pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari semua anggta polri,

dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik;

b) Penyelidik wewenangnya sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat (1) huruf b (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya). (M. Yahya Harahap, 2003 : 109).

Di samping penyidik Polri, undang-undang pidana khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan.

Dalam hal pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang sebagai penyidik pada dasarnya mempunyai fungsi dan wewenang khusus yang bersumber pada unddang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Adapun wewenang yang dimiliki penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b sampai dengan huruf j KUHAP, yaitu :


(25)

24 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya suatu

tindak pidana;

2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;

3. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

9. Mengadakan penghentian penyidikan;

10.Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Penyidikan yang dilakukan tersebut didahului dengan pemberitahuan kepada penuntut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat adalah tidak ada ketegasan dari ketentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum. Tiap kali penyidik melakukan tugas dalam lingkup wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP tanpa mengurangi ketentuan dalam undang-undang, harus selalu dibuat berita acara tentang pelaksanaan tugas tersebut.


(26)

Apabila dalam penyidikan tersebut, tidak ditemukan bukti yang cukup atau peristiwa tersebut bukanlah peristiwa pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Dalam hal ini apabila surat perintah penghentian tersebut telah diterbitkan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Apabila korban atau keluarganya tidak dapat menerima penghentian penyidikan tersebut, maka korban atau keluarganya, sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, dapat mengajukan praperadilan kepada ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme keberatan tersebut diatur dalam Pasal 77 butir a KUHAP tentang praperadilan.

Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas tersebut, maka penyidikan dianggap selesai.

3. Penyidik berkewajiban memberitahukan kepada penuntut umum dalam hal penyidik telah mulai melakukan atau menghentikan penyidikan.

Pada kenyataannya masih sering terjadi penuntut umum menerima berkas perkara tanpa didahului dengan pemberitahuan telah dimulainya penyidikan. Ada kalanya surat pemberitahuan tersebut dikirim kepada penuntut umum bersama-sama


(27)

26 pengiriman berkas perkara. Selain itu, pemberitahuan penghentian penyidikan tidak disertai uraian yang jelas tentang alasan-alasan penghentian penyidikan, sehingga penuntut umum tidak dapat menarik kesimpulan apakah penghentian penyidikan tersebut sudah tetap (Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 2003 : 48).

B. Pengertian Tindak Pidana

Beberapa Sarjana Hukum menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menyebutkan kata “tindak pidana”. Ada beberapa Sarjana yang menyebutkan dengan tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik.

Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan disertai ancaman (sanksi) dan menurut wujudnya atau sifatnya perbuatan-perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.” (Moeljatno, 1993 : 56).

Perbuatan-perbuatan pidana yang diancam dengan sanksi pidana tersebut dapat dipaksakan untuk pelakunya oleh aparat penegak hukum dalam rangka menjaga ketertiban, keamanan serta norma-norma hukum pidana sendiri.

Menurut Pompe, perkataan tindak pidana atau “straftbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau pun tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah demi


(28)

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. (P.A.F. Lamintang, 1997 : 182).

Sedangkan Simmons merumuskan “straftbaar feit” sebagai “Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”. (P.A.F. Lamintang, 1997 : 185).

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pengertian pidana dan tindak pidana pada hakekatnya pidana merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan sedangkan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan seseorang sengaja maupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan yang dilakukannya. C. Jenis-jenis Tindak Pidana

Jenis-jenis tindak pidana dapat dibagi menjadi : 1. Kejahatan

Kejahatan adalah perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah dan tegasnya, perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. (Ninik Widiyanti, 1987 : 147).

Dalam kaitan ini, pelaku tindak pidana kejahatan dapat dikatakan telah mempunyai latar belakang yang ikut mendukung terjadinya kriminalitas tersebut, sebagai contoh


(29)

28 seorang yang hidup di lingkungan yang rawan akan tindak kriminal, maka secara sosiologis jiwanya akan terpengaruh oleh keadaan tempat tinggalnya.

Selanjutnya menurut Sue Titus Reid bagi suatu perumusan tentang kejahatan maka yang diperhatikan adalah :

1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja (omissi). Dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum karena pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat juga merupakan kejahatan. Jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu, di samping itu ada niat jahat (“criminal insert”, “mens rea”).

2. Merupakan pelanggaran hukum pidana.

3. Dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum.

4. Diberi sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran. (Soerjono Soekanto, 1984 : 44).

Berdasarkan definisi tersebut di atas, pada dasarnya kejahatan adalah suatu bentuk perbuatan dan tingkah laku yang melanggar hukum dan perundang-undangan lain serta melanggar norma sosial sehingga masyarakat menentangnya. KUHP tidak memberikan definisi secara tegas tentang pengertian kejahatan. Namun dalam kaitannya dengan kejahatan dapat disimpulkan bahwa semua perbuatan yang disebut dalam Buku ke-II Pasal 104 - 488 KUHP adalah kejahatan dan perbuatan lain secara tegas dinyatakan sebagai kejahatan dalam undang-undang tertentu di luar KUHP.


(30)

2. Pelanggaran

Dalam KUHP yang mengatur tentang pelanggaran adalah Pasal 489-569/BAB I-IX. Pelanggaran adalah “Wetsdelichten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. (Moeljatno, 1993 : 72).

Maka pembunuhan, pencurian, penganiayaan dan peristiwa-peristiwa semacam itu merupakan kejahatan (Rechtsdelicten) karena terpisah dari aturan pidana yang tegas, dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil. Sedangkan peristiwa seperti bersepeda diatas jalan yang dilarang, berkendara tanpa lampu atau kejurusan yang dilarang merupakan kejahatan undang-undang/pelanggaran (Wetsdelicten), Karena kesadaran hukum kita tidak menganggap bahwa hal-hal itu dengan sendirinya dapat dipidana, tetapi baru dirasakan sebagai demikian, karena oleh undang-undang diancam dengan pidana. (Mr. J.E. Jonkers, 1987 : 27).

Perbedaan kejahatan dan pelanggaran adalah sebagai berikut :

a. Kejahatan adalah criminal onrecht dan pelanggaran adalah politie onrecht. Criminal onrecht adalah perbuatan hukum sedangkan politie onrecht merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara. Adapula pendapat lain yang mengatakan arti criminal onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan atau membahayakan kepentingan hukum, sedangkan arti politie onrecht sebagai perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang oleh peraturan penguasa atau negara.


(31)

30 b. Kejahatan adalah memperkosa suatu kepentingan hukum seperti : pembunuhan, pencurian dan sebagainya atau juga membahayakan suatu kepentingan hukum dalam arti abstrak misalnya penghasutan dan sumpah palsu, namun kadang-kadang dapat pula dikatakan bahwa sumpah palsu juga termasuk sebagai suatu kejahatan.

c. Kejahatan dan pelanggaran itu dibedakan karena sifat dan hakekatnya berbeda, tetapi ada perbedaan kejahatan dan pelanggan didasarkan atas ukuran pelanggaran itu dipandang dari sudut kriminologi tidaklah berat apabila dibandingkan dengan kejahatan. (Bambang Poernomo, 1982 : 96 - 97).

Selain penggolongan jenis-jenis tindak pidana atau delik yang terdapat dalam KUHP, masih mengenal pembagian delik menurut rumusan pembentuk undang-undang, diantaranya :

1. Tindak Pidana Formil

Tindak pidana formil adalah kejahatan itu selesai kalau perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana itu dilakukan

2. Tindak Pidana Materiil

Tindak pidana materiil adalah yang dilarang oleh Undang-Undang ialah akibanya 3. Tindak Pidana Dolus

Tindak pidana dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja 4. Tindak Pidana Culpa

Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang dilakukan karena kesalahan orang yang menimbulkan matinya orang lain.


(32)

5. Tindak Pidana Berdiri Sendiri (selfstanding delict)

Tindak pidana berdiri sendiri adalah tindak pidana yang tidak tergabung-gabung (terdiri atas satu perbuatan tertentu)

6. Tindak Pidana Tersusun (samengesteld)

Tindak pidana tersusun adalah tindak pidana yang harus beberapa kali dilakukan untuk dapat dihukum.

7. Tindak Pidana Umum

Tindak pidana umum adalah kejahatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang. 8. Tindak Pidana Khusus

Tindak pidana khusus adalah kejahatan yang dapat dilakukan oleh orang tertentu. 9. Tindak Pidana Tunggal (enkelvoudig)

Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana dalam satu kali perbuatan sudah cukup.

Berdasarkan beberapa definisi dan uraian tersebut di atas, pada dasarnya kejahatan adalah suatu bentuk perbuatan dan tingkah laku yang melanggar hukum dan perundang-undangan lain serta melanggar norma sosial sehingga masyarakat menentangnya. KUHP tidak memberikan definisi secara tegas tentang pengertian kejahatan. Namun dalam kaitannya dengan kejahatan dapat disimpulkan bahwa semua perbuatan yang disebut dalam Buku ke-II Pasal 104 - 488 KUHP adalah kejahatan dan perbuatan lain secara tegas dinyatakan sebagai kejahatan dalam undang-undang tertentu di luar KUHP, sedangkan pelanggaran merupakan perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang oleh peraturan penguasa atau negara.


(33)

32 Menurut Simons, suatu tindak pidana terdapat berbagai unsur-unsur yang didalamnya melatarbelakangi terjadinya perbuatan pidana tersebut, yang antara lain :

1. Perbuatan manusia

2. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)

3. Perbuatan itu harus diancam dengan pidana (Strafbaar gesteld) oleh Undang-undang

4. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab (Toerekeningsvatbaar)

5. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (Schuld) si pembuat. (C.S.T. Kansil, 2004 : 37).

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam hukum pidana, bentuk kesalahan ada 2 (dua) macam, yaitu kesengajaan (opzet/dolus), sengaja dengan maksud (dolus directus) dan sengaja dengan kepastian serta kurang hati-hati/kealpaan (culpa).

D. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus diperhatikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana. Soalnya apakah pertanggungjawaban itu diminta atau tidak yang terpenting adalah pada kebijakan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah merasa perlu atau tidak menurut pertanggungjawaban tersebut.

Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya oleh si pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya,


(34)

tidaklah mudah untuk memastikan siapakah si pembuatnya karena untuk menentukan siapa yang bersalah harus sesuai dengan proses yang ada yaitu sistem peradilan pidana.

Dengan demikian tanggung jawab tersebut selalu ada, meskipun belum pernah dituntut oleh pihak yang berkepentingan, jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai tujuan atau persyaratan yang diinginkan. Demikian pula halnya dengan masalah terjadinya perbuatan pidana atau delik, suatu tindakan yang telah melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidaknya oleh undang-undang yang telah dinyatakan sebagai perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.

Suatu perbuatan yang melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman di samping kelakuan melawan hukum harus ada seorang pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Menurut asas legalitas hukum pidana Indonesia yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam Undang-undang Hukum Pidana.

Meskipun demikian orang tersebut belum tentu dapat dijatuhi pidana karena masih harus dibuktikan kesalahannya apakah perbuatan atau kesalahan tersebut dapat dipertangungjawabkan. Dengan demikian untuk dapatnya seseorang dijatuhi pidana harus memenuhi unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana.


(35)

34 Van Hamel menyatakan pertanggungjawaban yaitu suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk :

1. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.

2. Memahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat.

3. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban (teorekensvatbaarhee) mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan. (P.A.F. Lamintang, 1997 : 108).

Kemudian Moeljatno menyatakan bahwa :

“Pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe)”. (Moeljatno, 1993 : 73).

Menurut hukum pidana tidak semua orang yang telah melakukan tindak pidana dapat dipidana, hal ini terkait dengan alasan pemaaf dan alasan pembenar.

Alasan pemaaf yaitu suatu alasan tidak dapat dipidananya seseorang dikarenakan

keadaan orang tersebut secara hukum dimaafkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 44, 48 dan 49 ayat (2) KUHP.

Selain hal di atas, juga alasan pembenar yaitu tidak dapat dipidananya seseorang yang telah melakukan tindak pidana dikarenakan ada undang-undang yang mengatur bahwa perbuatan tersebut dibenarkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 48, 49 ayat (1), 50 dan 51 KUHP.


(36)

Pasal 44 KUHP :

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. (3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,

Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Pasal 48 KUHP :

Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Pasal 49 ayat (1) KUHP :

(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pasal 50 KUHP :

Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.


(37)

36 Pasal 51 KUHP :

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Menurut Van Hamel, pada delik-delik yang oleh undang-undang telah disyaratkan bahwa delik-delik itu harus dilakukan dengan sengaja, opzet itu hanya dapat ditujukan kepada :

a. Tindakan-tindakan, baik tindakan untuk melakukan sesuatu maupun tindakan untuk tidak melakukan sesuatu.

b. Tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang. c. Dipenuhi unsur-unsur selebihnya dari delik yang bersangkutan. (P.A.F.

Lamintang, 1997 : 284).

Tindakan kesengajaan sudah pasti harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku karena pelaku telah melakukan kesalahan yang menurut aturan dasar hukum pidana “tidak ada pidana tanpa kesalahan”.

Menurut jenisnya kesengajaan mempunyai 3 (tiga) jenis, yaitu : sengaja dengan maksud, sengaja dengan kepastian dan sengaja dengan tujuan.

a. Sengaja dengan maksud (dolus directus)

Sengaja dengan maksud adalah bentuk yang paling sederhana karena dalam pengertiannya memang pelaku menghendaki perbuatan tersebut, baik kelakuan maupun akibat/keadaan yang menyertainya.


(38)

Menurut VOS yang dinyatakan sengaja dengan maksud, apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pembuat mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi.. b. Sengaja dengan kepastian

Sengaja dengan kepastian atau sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewust theid van zekerheid of noodzakelijkheid) perkataan “zeker” atau “pasti”, sedangkan “bewust” atau “sadar” berarti sadar akan kepastian. Jadi dapat dijelaskan apa yang dilakukannya (tersangka) dilandasi dengan kesadaran akan timbulnya akibat lain dari pada akibat yang memang diinginkannya.

c. Sengaja dengan tujuan

Sengaja dengan tujuan atau sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met waarschijnlij kjeidsbeustzijn) dapat diberikan bahwa si pelaku mengetahui dampak dari perbuatan atau mengetahui dari perbuatannya. (Moeljatno, 1993 : 312).

Menurut Hazewinkel - Suringa, terjadi jika pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak diinginkannya terjadi. Jika walaupun akibat (yang sama sekali tidak diinginkannya), itu diinginkan daripada menghentikan perbuatannya, maka terjadi kesengajaan”. (Moeljatno, 1993 : 312).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa pelaku dapat dipertanggungjawabkan secara hukum jika memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Ada pelaku tindak pidana (baik orang maupun badan hukum). 2. Ada perbuatan (baik aktif maupun pasif ).


(39)

38 3. Ada kesalahan (baik sengaja maupun culpa).

4. Mampu bertanggung jawab (tidak ada alasan pemaaf dan tidak ada alasan pembenar).


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987. Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, Hukum

Pidana Untuk Tiap Orang, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2007. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Pettanase, Syarifuddin, Peranan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Sebagai Salah Satu Faktor yang Mempengaruhi Pencegahan Kejahatan, Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta, 1998.

Poernomo, Bambang, Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1982.

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 2003.

Soekanto, Soerjono, Penanggulangan Kejahatan, Rajawali Pers, Jakarta, 1984. Widiyanti, Ninik, 1987, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau Dari

Segi Kriminologi dan Sosial, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


(41)

III. METODE PENELITIAN

Dalam upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam melakukan penelitian dibutuhkan metode ilmiah yang merupakan suatu cara yang digunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian untuk mendapatkan data yang objektif dan akurat, dalam mengolah dan menyimpulkan serta memecahkan suatu masalah.

Dalam melakukan kegiatan penelitian, penulis melakukan kegiatan yang terdiri dari beberapa langkah, yaitu :

A. Pendekatan Masalah

Dalam membahas permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini, penulis melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris guna untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar dan objektif. a. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan, yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Pendekatan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, teori-teori dan literatur-literatur yang erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.


(42)

b. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris yaitu dengan meneliti dan mengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek penelitian dengan cara observasi dan wawancara dengan responden atau narasumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

B. Jenis dan Sumber Data

Dalam melakukan penelitian, penulis memerlukan data-data yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Adapun jenis data yang digunakan adalah :

1. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini melalui studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, mempelajari dan menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan yang ada.

Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu : a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum bersifat mengikat. Untuk penulisan skripsi ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(43)

41 5) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, Surat Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan pemerintah maupun majalah dan surat kabar/media cetak.

2. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara langsung pada objek penelitian yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara di Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri dari :

a. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan dimaksudkan unutuk memperoleh arah


(44)

pemikiran dan tujuan penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Data Primer 1) Observasi

Yaitu pengumpulan data secara langsung terhadap objek penelitian, untuk memperoleh data yang valid dengan menggunakan metode observasi yang dilaksanakan di Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung.

2) Wawancara (Interview)

Yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara (interview) secara langsung dengan alat bantu daftar pertanyaan yang bersifat terbuka. Di mana wawancara tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu responden/narasumber yang akan diwawancarai sesuai dengan objek penelitian yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Wawancara tersebut dilakukan dengan petugas kepolisian pada Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya adalah pengolahan data, yaitu kegiatan merapikan dan menganalisa data tersebut, kegiatan ini meliputi kegiatan seleksi data dengan cara memeriksa data yang diperoleh melalui kelengkapannya. Klasifikasi atau pengelompokan data secara sistematis. Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan sebagai berikut :


(45)

43 1. Editing data, yaitu memeriksa atau meneliti data yang keliru, menambah serta

melengkapi data yang kurang lengkap.

2. Klasifikasi data, yaitu penggolongan atau pengelompokan data menurut pokok bahasan yang telah ditentukan.

3. Sistematisasi data, yaitu penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis hingga memudahkan interpretasi data.

D. Analisa Data

Proses analisa data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari sustu penelitian pendahuluan. Dalam proses analisa data ini, rangkaian data yang telah tersusun secara sistematis menurut klasifikasinya kemudian diuraikan dan dianalisa secara analisis kualitatif, yakni dengan memberikan pengertian terhadap data yang dimaksud menurut kenyataan yang diperoleh di lapangan dan disusun serta diuraikan dalam bentuk kalimat per kalimat. Kemudian dari hasil analisa data tersebut diinterpretasikan ke dalam bentuk kesimpulan yang bersifat induktif yang berupa jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.


(46)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Untuk memperoleh kesahihan penelitian dan gambaran objektif dari responden maka perlu dikemukakan terlebih dahulu identitas responden.

1. Nama : M. Adrian Agama : Islam

Pekerjaan : Anggota Pembinaan dan Disiplin Bid Propam Polda Lampung Alamat : Tanjung Gading, Bandar Lampung

2. Nama : Doni Oktoriza Agama : Islam

Pekerjaan : Penyidik Bintara Penyidik pada Subbid Provost Bid Propam Polda Lampung

Alamat : Kedaton, Bandar Lampung 3. Nama : Rudi Hartono

Agama : Islam

Pekerjaan : Penyidik Bintara Penyidik pada Subbid Provost Bid Propam Polda Lampung


(47)

45 B. Bentuk-bentuk Penyimpangan Penyidikan Oleh Pihak Kepolisian Dalam

Penangkapan Pelaku Tindak Pidana

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden M. Adrian selaku Anggota

Pembinaan dan Disiplin Bid Propam Polda Lampung bahwa setelah menerima laporan adanya suatu tindak pidana, Polisi kemudian melakukan tindakan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat jelas tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam penyidikan, diperlukan kerja sama dari anggota masyarakat yang diminta sebagai saksi. Seringkali karena tidak terbiasa berhubungan dengan aparat penegak hukum, warga yang diminta menjadi saksi memerlukan pendampingan dari paralegal selama proses penyidikan berlangsung.

Adapun menurut Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 1 butir (1) Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Kemudian dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, sedangkan yang berhak menjadi penyidik menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP adalah :

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya

berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat


(48)

Ketentuan di atas dengan pengecualian, jika disuatu tempat tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud maka Komandan Sektor karena jabatannya adalah penyidik kepolisian berpangkat Bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi. Penyidik dari Polri yang berwenang melakukan penyidikan saat ini minimal harus seorang polisi dengan pangkat minimal Ajun Inspektur Polisi Dua (AIPDA), sedangkan untuk seorang polisi yang bertugas sebagai penyidik pembantu berasal dari Bintara polisi dengan pangkat minimal Brigadir Polisi Dua (BRIPDA), Brigadir Polisi Satu (BRIPTU), Brigadir atau Brigadir Kepala (BRIPKA).

Pada KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk meringankan beban penyidik juga telah diatur adanya penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan yang diberi wewenang tertentu dalam melaksanakan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.

Pejabat Penyidik Pembantu dalam KUHAP diatur dalam Pasal 10, selanjutnya Pasal 3 Peraturan Pemrintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP menentukan :

Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang berpangkat Sersan Dua Polisi dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda atau yang disamakan dengan itu. Penyidik Pembantu tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Wewenang


(49)

47

pengangkatan ini dapat pula dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara yang lain.

Wewenang Penyidik Pembantu ini hampir sama dengan penyidik pada umumnya, kecuali pada kewenangan penahanan. Dalam hal penahanan, penyidik pembantu harus menunggu terlebih dahulu pelimpahan wewenang dari penyidik. Dalam pembuatan berita acara dan berkas perkara yang tidak langsung diserahkan kepada penuntut umum, tetapi diserahkan kepada penyidik, kecuali dalam perkara dengan pemeriksaan singkat.

Dalam rangka sistem peradilan pidana tugas polisi terutama sebagai petugas penyidik tercantum dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai petugas penyidik, polisi bertugas untuk menanggulangi pelanggaran ketentuan peraturan pidana, baik yang tercantum di dalam maupun di luar ketentuan KUHP. Inilah antara lain tugas polisi sebagai alat negara penegak hukum.

Ketentuan tentang pengertian penyidikan tercantum di dalam Pasal 1 butir (2) KUHAP bahwa :

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”

Berdasarkan rumusan di atas maka tugas utama penyidik adalah :

a. Mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti-bukti tersebut membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi.


(50)

Penyidikan ini dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Apabila berdasarakan keyakinan tersebut penuntut umum berpendapat cukup adanya alasan untuk mengajukan tersangka kedepan sidang pengadilan untuk segera disidangkan. Di sini dapat terlihat bahwa penyidikan suatu pekerjaan yang dilakukan untuk membuat terang suatu perkara, yang selanjutnya dapat dipakai oleh penuntut umum sebagai dasar untuk mengajukan tersangka beserta bukti-bukti yang ada kedepan persidangan.

Bila diperhatikan pekerjaan ini mempunyai segi-segi yuridis, oleh karena keseluruhan pekerjaan ini ditujukan pada pekerjaan di sidang pengadilan. Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menentukan dapat tidaknya suatu tindakan atau perbuatan dilakukan penuntutan.

Adapun dalam melakukan penyidikan, penyidik kepolisian menggunakan asas-asas

antara lain : a. Asas Legalitas

Menurut asas ini, apa saja yang dilakukan oleh polisi harus ada aturan yang jelas, sedangkan yang tidak diatur dalam aturan perundang-undangan polisi tidak boleh melakukannya.

b. Asas Kewajiban

Asas ini menjelaskan bahwa polisi berhak melakukan tindakan-tindakan yang berdasar kekuasaan atau kewenangan umum untuk memelihara ketertiban, asalkan di dalam melakukan kewajiban tersebut tidak bertentangan dengan


(51)

49 peraturan perundang-undangan, mesikpun tindakan tersebut juga tidak berdasarkan undang-undang. Jadi berdasarkan asas kewajiban memungkinkan polisi untuk melakukan suatu yang tidak diatur oleh peraturan undangan tetapi juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (Hari Sasangka, 2003 : 34).

Menurut Doni Oktoriza, selaku Penyidik pada Bintara Penyidik pada Subbid Provost Bid Propam Polda Lampung bahwa dalam melaksanakan penyidikan beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain :

1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan.

3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. 4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa. 5. Menghormati hak asasi manusia.

Dalam hal untuk melindungi kepentingan umum maka Untuk pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Namun penerapan menurut penilaiannya sendiri tersebut hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Doni Oktoriza menjelaskan pula bahwa dalam pemeriksaan di muka penyidik apabila ditinjau dari segi hukum, cara-cara pemeriksaan tersebut antara lain :


(52)

a) Jawaban atau keterangan yang diberikan tersangka kepada penyidik, diberikan tanpa tekanan dari siapa pun juga dan dengan bentuk apa pun juga.

b) Penyidik mencatat dengan seteliti-telitinya keterangan tersangka. Semua yang diterangkan tersangka tentang apa yang sebenarnya telah dilakukan sehubungan dengan tindak pidana yang disangkakan kepadanya, dicatat oleh penyidik dengan seteliti-telitinya. Maka, pencatatan tersebut harus sesuai dengan rangkaian kata-kata yang dipergunakan tersangka. Keterangan tersangka tersebut haruslah dicatat dalam berita acara pemeriksaan oleh penyidik yang kemudian ditandatangani oleh tersangka.

c) Jika tersangka bertempat tinggal diluar wilayah wewenang penyidik, maka pemeriksaan dilakukan oleh penyidik sesuai dengan wilayah wewenangnya.

d) Tersangka yang tidak dapat hadir di hadapan penyidik. Menurut ketentuan Pasal 113 KUHAP yang menyebutkan bahwa jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.

Pengertian mulai melakukan penyidikan adalah jika dalam kegiatan penyidikan

tersebut sudah dilakukan upaya paksa dari penyidik, seperti pemanggilan pro yustisia,

penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan dan sebagainya.

Adapun persangkaan atau pengetahuan adanya tindak pidana dapat diperoleh dari empat kemungkinan, yaitu :

a. Kedapatan tertangkap tangan.


(53)

51

c. Karena adanya pengaduan.

d. Diketahui sendiri oleh penyidik.

Kemudian Responden Rudi Hartono selaku Penyidik Bintara Penyidik pada Subbid Provost Bid Propam Polda Lampung menjelaskan bahwa dalam penyidikan dilakukan setelah dilakukannya penyelidikan, sehingga penyidikan tersebut mempunyai landasan atau dasar untuk melakukannya. Dengan kata lain penyidikan dilakukan bukan atas praduga terhadap seseorang menurut penyidik bahwa ia bersalah.

Pernyataan tersebut didukung oleh oleh Gerson W. Bawengan yang mengemukakan bahwa penyidikan dilaksanakan bukan sekedar didasarkan pada dugaan-dugaan belaka, tetapi suatu asas dipergunakan adalah bahwa penyidikan bertujuan untuk membuat suatu perkara menjadi terang dengan menghimpun pembuktian-pembuktian mengenai terjadinya suatu perkara pidana. Dengan kata lain bahwa penyidikan dilakukan bila telah cukup petunjuk-petunjuk bahwa seorang atau para tersangka

telah melakukan suatu peristiwa yang dapat dihukum (Gerson W. Bawengan, 1977 :

30).

Dalam prakteknya, penyidikan memerlukan beberapa upaya agar pengungkapan perkara dapat diperoleh secara cepat dan tepat. Upaya-upaya penyidikan tersebut mulai dari surat panggilan, penggeledahan, hingga penangkapan dan penyitaan. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik membertahukan hal itu kepada Penuntut Umum (sehari-hari dikenal dengan SPDP atau Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) hal ini sesuai dengan KUHAP Pasal 109 ayat (1).


(54)

Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum (kejaksaan) atau ternyata bukan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum. Pemberhentian penyidikan ini dibertahukan kepada Penuntut Umum dan kepada tersangka atau keluarganya.

Atas pemberhentian penyidikan tersebut, jika Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan, dapat mengajukan praperadilan kepada Pengadilan Negeri yang akan memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Jika Pengadilan Negeri sependapat dengan penyidik maka penghentian penyidikan sah, tetapi jika Pengadilan Negeri tidak sependapat denga penyidikan maka penyidikan wajib dilanjutkan.

Setelah selesai penyidikan, maka berkas diserahkan kepada penuntut Umum (KUHAP Pasal 8 ayat (2)). Penyerahan ini dilakukan dua tahap yaitu:

a. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.

b. Dalam hal penyidik sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan

tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum.

Jika pada penyerahan tahap pertama, Penuntut Umum berpendapat bahwa berkas kurang lengkap maka ia dapat mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi disertai petunjuk dan yang kedua melengkapi sendiri.

Menurut sistem KUHAP, penyidikan selesai atau dianggap selesai dalam hal :

1. Dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara,

atau apabila sebelun berakhirnya batas waktu tersebut penuntut umum memberitahukan kepada penyidik bahwa hasil penyidikan sudah lengkap.


(55)

53

2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 110 ayat (4) KUHAP jo Pasal 8 ayat (3) huruf b,

dengan penyerahan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum.

3. Dalam hal penyidikan dihentikan sesuai dengan ketentuan Pasal 109 ayat (2),

yakni karena tidak terdapatnya cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum. Selesainya penyidikan dalam artian ini adalah bersifat sementara, karena bila disuatu saat ditemukan bukti-bukti baru, maka penyidikan yang telah dihentikan harus dibuka kembali. Pembukaan kembali penyidikan yang telah dihentikan itu, dapat pula terjadi dalam putusan praperadilan menyatakan bahwa penghentian penyidikan itu tidak sah dan memerintahkan penyidik untuk menyidik kembali peristiwa itu. Berdasarkan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, jika dalam waktu 14 hari Penuntut Umum tidak mengembalikan berkas (hasil penyidikan) maka penyidikan dianggap telah selesai.

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan para responden bahwa bentuk-bentuk penyimpangan pada saat proses penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian antara lain dapat berbentuk :

1. Intimidasi agar tersangka mau mengikuti kehendak Penyidik

Menurut Doni Oktoriza, banyak kasus yang dikembangkan dan/atau berkembang setelah Penyidik melakukan penyiksaan dan/atau intimidasi, seperti rekayasa bukti lainnya berdasarkan pengakuan terpaksa dari tersangka karena takut mengalami penyiksaan lagi oleh Penyidik. Adanya rekayasa tersebut di dalamnya rekayasa keterangan tersangka di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan tekanan-tekanan maupun intimidasi yang menyebabkan seseorang terpaksa mengakui BAP tersebut


(56)

meskipun itu sebenarnya bukan perbuatannya. Sementara bagi masyarakat umum sudah bukan rahasia lagi jika aparat kepolisian masih menggunakan cara-cara konvensial untuk membuat BAP seperti tekanan fisik dan intimidasi terhadap orang yang dijadikan tersangka

2. Diskriminasi

Responden M. Adrian mengatakan bahwa banyak contoh kasus yang diangkat di media massa mengenai perilaku diskriminatif dalam penegakan hukum. Misalnya pada saat penyidikan adanya dugaan tindak pidana, misalnya jika pelaku tindak pidana adalah seorang pejabat yang prosesnya bisa membutuhkan waktu yang cukup lama untuk diajukan ke pengadilan dengan berbagai pertimbangan yang sebenarnya kurang masuk akal, namun jika pelakunya adalah masyarakat kecil, tanpa proses yang berlarut-larut dapat saja kasusnya langsung dimejahijaukan, atau dapat pula di mana tiba-tiba proses penyidikan dapat dihentikan karena adanya desakan dari seorang petinggi atau pejabat negara atau pejabat daerah. Hal ini dapat diperbandingkan misalnya pada saat adanya penyidikan terhadap masyarakat kecil yang diduga melakukan pencurian ayam atau hasil kebun yang penyidikannya diproses dengan cepat bahkan menggunakan kekerasan.

3. Tindakan kekerasan/penyiksaan

Menurut Responden Rudi Hartono, terkadang terdapat kasus yang kemudian terungkap di media massa, bahwa pada saat pelaku pidana berada di tahanan kepolisian, mereka mengalami penyiksaan agar mau mengakui melakukan kejahatan yang dituduhkan. Hal ini biasanya dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap tersangka yang tidak mau mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya atau terhadap tersangka yang merupakan residivis yang telah berulang kali melakukan suatu tindak


(1)

demosi, pembebasan dari jabatan dan penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari, dan pertanggungjawaban bila memenuhi unsur dalam delik yaitu pertanggung-jawaban pidana dan pertanggung jawaban secara hirarki, di mana pada prinsipnya, harus ada pejabat yang bertanggungjawab apabila terjadi penyalahgunaan penyimpangan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian.


(2)

70

DAFTAR PUSTAKA

Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, CV Mandar Maju, Bandung, 2003.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


(3)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan yang penulis kemukakan pada Bab terdahulu maka dapat disimpulkan antara lain:

1. Bentuk-bentuk penyimpangan penyidikan oleh pihak kepolisian antara lain : a. Intimidasi agar tersangka mau mengikuti kehendak Penyidik

Banyak kasus yang dikembangkan dan/atau berkembang setelah Penyidik melakukan penyiksaan dan/atau intimidasi, seperti rekayasa bukti lainnya berdasarkan pengakuan terpaksa dari tersangka karena takut mengalami penyiksaan lagi oleh Penyidik. Kemudian adanya rekayasa, termasuk dalam keterangan tersangka di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan tekanan-tekanan maupun intimidasi yang menyebabkan seseorang terpaksa mengakui BAP tersebut meskipun itu sebenarnya bukan perbuatannya.

b. Diskriminasi

Pada saat penyidikan adanya dugaan tindak pidana, di mana tiba-tiba proses penyidikan dapat dihentikan karena adanya desakan dari seorang petinggi atau pejabat negara atau pejabat daerah.

c. Tindakan kekerasan/penyiksaan

Misalnya pada saat mereka berada di tahanan kepolisian, mereka mengalami penyiksaan agar mau mengakui melakukan kejahatan yang dituduhkan. Hal


(4)

71 ini biasanya dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap tersangka yang tidak mau mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya atau terhadap tersangka yang merupakan residivis yang telah berulang kali melakukan suatu tindak pidana.

d. Ketidakjelasan dari pihak kepolisian dalam masih berlanjut atau tidaknya proses penyidikan

Banyak kasus laporan atau pengaduan yang kemudian tidak jelas kelanjutannya, mengambang atau bahkan diambangkan. Maksudnya adalah perkara yang dilaporkan atau diadukan oleh pihak korban tetapi tidak sampai ke Jaksa Penuntuk Umum. Kasus-kasus tersebut tidak secara resmi dinyatakan dihentikan penyidikannya, misalnya dengan dikeluarkannya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh pihak kepolisian.

2. Pertanggungjawaban pihak kepolisian yang melakukan penyimpangan dalam penyidikan dapat dimintakan kepadanya tiga bentuk pertanggungjawaban, bentuk pertanggungjawaban tersebut antara lain pertanggungjawaban secara disiplin Polri berupa teguran tertulis, penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun, penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun, mutasi yang bersifat demosi, pembebasan dari jabatan dan penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari, dan pertanggungjawaban bila memenuhi unsur dalam delik yaitu pertanggung-jawaban pidana dan pertanggung pertanggung-jawaban secara hirarki, di mana pada prinsipnya, harus ada pejabat yang bertanggungjawab apabila terjadi penyalahgunaan penyimpangan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian.


(5)

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat dikemukakan sebagai alternatif penyelesaian permasalahan di masa yang akan datang adalah sebagai berikut :

1. Setiap anggota Polri wajib menghargai prinsip penting dalam asas praduga tak bersalah dengan pemahaman penilaian bersalah atau tidak bersalah, hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang berwenang, melalui proses pengadilan yang dilakukan secara benar dan tersangka telah mendapatkan seluruh jaminan pembelaannya. Sehingga pada saat dilakukan penyidikan tidak ada perlakuan mengintimidasi, menakuti atau mengancam dan melakukan tindakan kekerasan terhadap tersangka.

2. Penerapan sanksi terhadap Anggota Polri yang melakukan penyimpangan dalam penyidikan haruslah jelas jangan hanya sampai pada tindak disiplin saja, akan tetapi harus diproses sesuai dengan undang-undang yang berlaku oleh karena tindakan tersebut telah memenuhi rumusan atau unsur-unsur tindak pidana di dalam KUHP dan telah melanggar hak asasi manusia (HAM).


(6)

ANALISIS PENYIMPANGAN PENYIDIKAN OLEH PIHAK KEPOLISIAN DALAM PENANGKAPAN

PELAKU TINDAK PIDANA

(Studi di Wilayah Hukum Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung)

(Skripsi)

KADEK AGUS DWI HENDRAWAN NPM. 0442011293

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010