ANALISIS PRAKTIK PENGAKUAN NEGARA STATE (1)
“ANALISIS PRAKTIK PENGAKUAN NEGARA ( STATE RECOGNITION )
INDONESIA DALAM PRAKTIK HUKUM INTERNASIONAL
( STUDI KASUS PENGAKUAN DAN PENOLAKAN ISRAEL OLEH INDONESIA
)”
Untuk memenuhi Tugas Hukum Internasional yang diampu oleh Ridwan Arifin,
S.H., Ll.m
DI SUSUN OLEH
ROMBEL
: 05
1. VIRDATUL ANIF
8111416316
2. GALUH MUSTIKA DEWI
8111416342
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
FAKULTAS HUKUM
2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmatnya sehingga Tugas Library research yang berjudul “Analisis Praktik
Pengakuan Negara
( State Recognition ) Indonesia Dalam Praktik Hukum
Internasional ( Studi Kasus Pengakuan Dan Penolakan Israel Oleh Indonesia )”
dapat diselesaikan. Penulis mengalami hambatan atau kesulitan dalam
penyusunan Library Research ini. Namun, banyak pihak yang membantu
sehingga tugas ini dapat selesai tepat pada waktunya. Maka dari itu, penulis
mngucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu antara lain.
1. Ridwan
Arifin,
meluangkan
S.H.,
waktu
L.lm
untuk
selaku
pembimbing
membimbing
yang
penyusunan
telah
Library
Research.
2. Drs. Herry Subondo, M.Hum selaku pembimbing yang telah
meluangkan
waktu
untuk
membimbing
penyusunan
Library
Research.
3. Bapak dan Ibu yang telah memberikan motivasi baik material
maupun spiritual.
4. Semua pihak yang terkait dalam pembuatan tugas ini.
Penulis berharap Library Research
ini bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang membangun,
penulis terima untuk lebih menyempurnakan Library Research ini.
Semarang , 15 oktober 2017
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................1
KATA PENGANTAR..........................................................2
DAFTAR ISI......................................................................3
DAFTAR TABEL...............................................................4
DAFTAR GAMBAR.................................................4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................5
B. Rumusan Masalah..........................................7
C. Metode Penelitian..........................................8
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengakuan Palestina oleh Indonesia..............8
B. Sikap Indonesia Terhadap Israel....................13
C. Peran DK PBB ................................................16
BAB III KESIMPULAN...............................................18
DAFTAR PUSTAKA
3
GAMBAR
Gambar
1.1
Pusat
Israel
Sebelah
Tepi
barat
Dan
Jalur
Gaza
2007…………………………..7
DAFTAR KASUS / PUTUSAN
Tabel
1.1
Konflik
yang
…………………………………………
melanda
16
4
Israel
dan
Palestina
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Konvensi Montevideo tahun 1933 yang mengatur tentang
hak dan kewajiban negara telah berhasil menetapkan kesepakatan
tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi negara sebagai subyek
hukum internasional. Syarat yarat nya ialah adanya penduduk yang
tetap,
wilayah
yang
pasti,
pemerintah
emngadakan hubungan internasional.
1
dan
kemampuan
untuk
Pengakuan negara adalah
pengakuan bahwa suatu kesatuan yang lahir, diakui telah memenuhi
persyaratn
yang
ditentukan
hukum
internasional
sebagai
negara
sehingga diakui pula sebagai pribadi dalam hukum dan masyarakat
internasional.
Dalam literatur–literatur hukum internasio-nal terdapat
dua teori yang terkenal tentang pe-ngakuan, yaitu : Teori Konstitutif ,
Dalam
teori
konstitutif
ini
dikemukakan
bahwa
di
mata
hukum
internasional, suatu negara lahir jika negara tersebut telah diakui oleh
negara lainnya. Hal ini mengartikan bahwa hanya dengan penga-kuanlah
suatu negara baru itu dapat diterima se-bagai anggota masyarakat
internasional dan dapat memperoleh status sebagai subjek hukum internasional. Teori Deklaratif , Dalam teori ini pengakuan tidak menciptakan
suatu negara karena lahirnya suatu negara, karena suatu negara lahir
atau ada berdasarkan situasi – situasi/fakta murni.
1 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Jogyakarta, 1994, hlm. 29.
5
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa muncul atau lahirnya
suatu negara adalah suatu pe-ristiwa yang tidak langsung mempunyai
ikatan de-ngan hukum internasional. Pengakuan yang diberi-kan kepada
negara yang baru lahir tersebut hanya bersifat politik, atau seperti
pengukuhan terhadap statusnya di lingkungan anggota masyarakat
interna-sional dengan segala hak dan kewajiban yang dimiliki sesuai
dengan hukum internasional. Bentuk – bentuk pengakuan : Pengakuan
secara Kolektif, Pengakuan suatu negara dalam kategori ini dapat berupa
dua bentuk. Bentuk yang pertama adalah deklarasi bersama oleh
sekelompok negara, Pengakuan secara Terang – terangan dan Indivi-dual
Pengakuan seperti ini berasal dari pemerintah atau badan yang
berwenang di bidang hubungan luar negeri, Pengakuan secara Diam –
Diam Pengakuan ini terjadi jika suatu negara menga-dakan hubungan
dengan pemerintah atau negara baru dengan mengirimkan seorang wakil
diplo-matik, mengadakan pembicaraan dengan pejabat resmi atau
kepala negara setempat. Namun dalam keadaan ini harus ada indikasi
atau tindakan nya-ta untuk mengakui pemerintah atau negara yang baru.
Pengakuan “de jure” ialah pengakuan yang diberikan berdasarkan
pertimbangan
bahwa
menurut
negara
yang
mengakui
organisasi
kekuasaan yang diakui dianggap telah memenuhi persyaratan hukum
untuk ikut serta melakukan hubungan internasional. pengakuan “de
facto” ialah pengakuan yang diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa
menurut negara yang mengakui organisasi kekuasaan yang diakui, untuk
sementara
dan
dengan
reservasi
di
kemudian
hari,
menurut
kenyataannya dianggap telah memenuhi persyaratan hukum untuk ikut
serta melakukan hubungan internasional. Pengakuan de facto, Ada
beberapa Negara yang sudah sejak awal berdirinya memberikan
pengakuan secara de facto kepada Israel, secara bersyarat. Seperti yang
dilakukan oleh Indonesia yaitu akan mengakui Israel apabila Israel mau
mematuhi resolusi kebijakan dari DK PBB. Akan tetapi Negara yang
semula memberi pengakuan bersyarat maupun yang menolak akhirnya
memberikan pengakuan secara de facto terhadap keberadaan Isarel.
Hanya saja pengakuan de facto tersebut dilakukan secara diam-diam.
Perubahan tersebut muncul besamaan dengan pengakuan terhadap
6
berdirinya Negara Palestina kedua belah pihak berkonflik maupun dalam
forum internasional. Pengakuan secara de facto yang kemudian diikuti
dengan pengakuan de jure, semula hanya dilakukan oleh Inggris,
Amerika
dan
Rusia,
tidak
lama
setelah
Israel
memproklamirkan
negaranya. Akan tetapi sejak perjanjian Camp David, yang dibuat antara
Israel, Mesir dan Amerika Serikat, tepatnya tanggal 26 Maret 1979, Mesir
dapat dimasukkan dalam kelompok Negara-negara yang mengakui Israel
secara de facto bahkan de jure. Semula pengakuan tersebut dilakukan
secara diam-diam yang diwujudkan dengan kunjungan pertama, presiden
Mesir ke Israel, pada tahun 1978 Disusul perjanjian perdamaian Camp
David yang kemudian dilanjutkan dengan saling mengirim duta besar.
Konflik antara Palestina dan Israel terjadi setelah Deklarasi Balfour,
dimana bangsa Yahudi pun berupaya untuk mendirikan suatu negara
dengan melakukan diplomasi pada 2 November 1917 melalui Deklarasi
Balfour.2
1.1 Pusat Israel sebelah tepi barat dan jalur Gaza, 2007
Konflik yang terjadi antara Israel-Palestina mempunyai sejarah
panjang. Konflik tersebut telah berlangsung sejak puluhan tahun,
terutama sejak berdirinya Negara zionis Israel tahun 1948. konflik antara
Israel-Palestina pada dasarnya menyangkut dua isu pokok, yaitu masalah
hak rakyat Palestina untuk mendirikan Negara di atas tanah airnya
sendiri dan hak bangsa Yahudi untuk memilih negaranya sendiri (Israel)
dan hidup tentram dan damai dengan tetangga Arabnya.3
2 Deklarasi Balfour adalah surat yang ditulis oleh Menlu Inggris, Arthur James Balfour, kepada
pemimpin komunitas yahudi Inggris, Lord Rothschild, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis
pada 2 November 1917.
3 Lihat H.A Chalid Mawardi “Dimensi Internal Timur Tengah Pasca Perang Teluk: Peran Suriah”, dalam
BantartoBandoro, Timur Tengah Pasca Perang Teluk: Dimensi Internal dan Eksternal, CSIS, Jakarta, 1991,
7
Setelah perang besar Arab-Israel tahun 1948, perang Enam Hari
(Six Days War) tahun 1967, dan perang Yom Kippur tahun 1973, seluruh
wilayah Palestina sudah direbut oleh Israel dan mengklaim sebagai
wilayah Israel. Wilayah tersebut meliputi Tepi Barat dan daerah Gaza
yang direncanakan akan menjadi wilayah Negara Palestina oleh para
pemimpin Arab. Konflik terus berkembang karena kedua pihak tetap
bersikeras untuk saling mempertahankan wilayah masing-masing. Konflik
tersebut diikuti dengan perang-perang kecil yang berbuntut pada konflik
antar bangsa, tidak hanya antara bangsa Yahudi dengan bangsa
Palestina tetapi secara keseluruhan terjadi perang Arab-Israel. Pada
tahun 1948 PBB merumuskan sebuah proposal perdamaian untuk Arab
dan Yahudi di Palestina,dengan membuat pembagian wilayah Palestina
yang bertujuan untuk memisahkan negara Arab dan Yahudi. Berbagai
upaya proses perundingan damai telah dilakukan, yaitu Camp David I
(1979), Perjanjian Oslo I (13 September 1993), Perjanjian Kairo (1994),
Perjanjian Oslo II (28 September 1995), Kesepakatan Hebron (1997), Wye
River Agreement (1998), Sharm el-Sheikh di Mesir (1999), Camp David II
(2000), hingga Konsep Peta Jalan Damai (Road Map).
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa Indonesia mengakui Negara Palestina sebagai Negara yang
merdeka ?
2. Bagaimana Indonesia menyikapi atas penolakan Negara Israel
terhadap Negara Palestina ?
3. Peran apa saja Dewan Keamanan PBB dalam menghadapi Konflik
yang berkepanjangan ?
C. Metode Penulisan
Metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip – prinsip
dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam
melakukan penelitian.4 Jenis penelitian yang akan dipakai dalam makalah
ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian dengan cara
mengumpulkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder baik
hlm. 17
4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Pers, Jakarta, 1994,
hlm. 13.
8
berupa Peraturan Perundang-undangan maupun buku-buku atau literatur
yang relevan untuk diolah dan dianalisis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGAKUAN INDONESIA TERHADAP PALESTINA SEBAGAI NEGARA
Pengakuan Internasional terhadap Negara Palestina merupakan tujuan
organisasi pembebasan palestina ( PLO ) sejak Deklarasi kemerdekaan
Palestina memproklamirkan berdirinya negara palestina pada tanggal 15
November 1988 di Aljir, Aljazair dalam sebuah sidang luar biasa Dewan
Nasional Palestina dalam pengasingan. Deklarasi itu segera diakui oleh
Negara,5 dan pada akhir tahun tersebut negara ini diakui oleh lebih dari 80
Negara. Pada bulan febuari, 1989, di Dewan Keamanan PBB, Perwakilan PLO
mengklaim pengakuan oleh 94 negara. Sebagai bagian dari upaya untuk
menyelesaikan konflik Israel-palestina sedang berlangsung , kesepakatan
oslo ditandatangani antara Israel dan PLO pada bulan September 1993
membentuk otoritas nasional palestian (PNA) sebagai sebuah pemerintahan
sementara yang mandiri di wilayah palestina. Israel tidak mengakui
palestina sebagai sebuah negara dan mempertahankan penguasaan militer
de facto di seluruh wilayah.
Mengenai pengakuan Palestina sebagai Negara, terdapat empat sikap
yang berbeda yaitu:
1) Secara tegas menolak: penolakan ini dilakukan oleh 3 negara, Amerika
Serikat, Israel, dan Iran. Masing-masing memiliki alasan yang berbeda.
Amerika menolak memberikan pengakuan dengan alasan proklamasi
pembentukan Negara Palestina tidak sah, dikarenakan sidang Nasional
Palestina
ke-19
sebagai
pembentuk
Negara
palestina
tersebut
dianggap sebagai tindakan sepihak. Pihak Israel menolak dengan
alasan tidak bersedia meninggalakan jalur Gaza, Tepi Barat, serta
Jerusslaem, yang tidak termasuk dalam ketentuan resolusi PBB No 181,
yang digunakan oleh Palestina secagai acuan. Adapun Iran menolak,
bukan karena tidak menyetujui berdirinya Negara Palestina akan tetapi
ia tidak menyetujui resolusi mengenai pembagian wilayah dengan
5 Tessler mark, A history of the Israel – Palestina conflict ( 2nd, illustrated ed), Indiana University
Press, 1994, hlm. 722.
9
Isarel dijadikan acuhan Iran semata
mata menginginkan Israel
meninggalkan Palestina secara total.
2) Negara yang mengakui dan mendukung terdiri dari Negara-negara
sosialis, Timur Tengah, serta Negara lain yang semula simpati dengan
Palestina, seperti Indonesia
3) Negara-negara blok barat, menyambut baik atas penerimaan Palestina
terhadap resolusi tersebut, akan tetapi menolak mengakui Negara
Palestina, karena dianggap tidak memenuhi unsur hukum internasional
sebagai Negara
4) Menerima putusan sidang Palestina tetapi menunda memberikan
pengakuan terhadap Negara Palestina. Negara yang bersikap seperti
ini adalah Jepang, Yunani dan Jerman Timur.
Dengan konflik yang terjadi antara kedua Negara tersebut berdampak
pada terganggunya perdamaian dan ketertiban internasional, maka dapat
dikatakan bahwa Israel dan Palestina telah melanggar ketentuan hukum
internasional. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah apakah
ketentuan hukum internasional dapat dipaksakan untuk diberlakukan
terhadap suatu negara dengan adanya prinsip dalam hukum internasional
Par in Paren Non Habet in Imperium6 yang berarti bahwa suatu negara
berdaulat dapat menjalankan hukum nasional negaranya dalam rangka
mencapai tujuan negara tersebut tadi yang berarti hukum internasional
yang tidak dapat dipaksakan pemberlakuannya di suatu negara tadi.
Palestina merubah strategi perjuangan kemerdekaannya dengan beralih
kejalur diplomasi. Tahun 1993 Palestina secara tidak langsung mengakui
keberadaan Israel dengan menerima rancangan solusi dua negara sesuai
resolusi PBB No: 181 tahun 1947, yaitu wilayah Palestina dibagi menjadi dua
negara untuk Israel dan Palestina sesuai dengan batas-batas dalam resolusi
tersebut. Israel kemudian mengakui keberadaan PLO dan menerima upaya
perundingan damai, kedua negara saling mengakui eksistensi masingmasing dan menghasilkan Kesepakatan Oslo pada September 1993.
Perundingan damai terus dilakukan Palestina dan Israel dengan dibantu
pihak ketiga seperti Amerika Serikat. Upaya ini menghasilkan berbagai
perjanjian seperti Kesepakatan oslo II tahun 1995, Way River tahun 1998,
6 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional I – Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
hlm. 192.
10
Camp David II tahun 2000, Arab Initiative Peace dan Road Map. Namun
posisi
Amerika
cenderung
Serikat
memihak
dalam
pada
penyelesaian
Israel. 7
Berbagai
konflik
hasil
Palestina-Israel
perundingan
dan
kesepakatan yang ada tidak kunjung memberikan kedaulatan penuh bagi
Palestina. Pada faktanya Israel masih tetap mengontrol wilayah Palestina,
membangun pemukiman Yahudi ilegal di tanah Palestina dan bahkan
melakukan agresi militer ke wilayah Palestina dengan dalih memerangi
tetoris namun banyak memakan korban sipil.
Palestina kemudian melakukan upaya untuk meningkatkan pengakuan
internasional
atas
kedaulatannya
dengan
harapan
Palestina
dapat
menguatkan posisi tawarnya dalam perundingan dengan Israel sekaligus
pengakuan de jure atas Palestina sebagai negara yang merdeka sesuai
batas territorial tahun 1967, Tahun 2011 Palestina di bawah kepemimpinan
Mahmoud Abbas memasukkan proposal untuk menjadi anggota penuh PBB.
Namun pada 11 November 2011 Palestina gagal mendapatkan rekomendasi
Dewan Keamanan PBB. Tahun 2012 Palestina melanjutkan upayanya dengan
mengajukan resolusi yang akan menjadikan Palestina sebagai negara
peninjau (non-member observer state) di PBB melalui Majelis Umum PBB.
Draf resolusi dibahas pada 29 November 2012.
Asas
hukum
yang
digunakan
Indonesia
untuk
memperjuangkan
kemerdekaan Palestina adalah resolusi DK 242 (1967) dan 338 (1973) yang
menyebutkan pengembalian tanpa syarat seluruh wilayah Arab yang
diduduki Israel dan pengakuan atas hak-hak sah rakyat Palestina untuk
menentukannasibnya sendiri, mendirikan negara di atas tanah airnya sendiri
dengan al-Quds al-Syarif (Jerussalem Timur) sebagai ibukotanya serta
prinsip land for peace .
Peranan nyata Pemerintah RI dalam mengupayakan perdamaian antara
Palestina dan Israel dengan berpartisipasi dalam Konferensi Internasional
mengenai Proses Perdamaian di Timur Tengah (The International Conference
on the Middle East Process) yang diselenggarakan di Annapolis, Maryland
tanggal 26-27 November 2007, Indonesia bersama Malaysia dan Turki yang
dalam hal ini bukan negara Arab diundang oleh OKI. Delegasi Indonesia
terdiri dari Menteri Luar Negeri dan Direktur Timur Tengah Departemen Luar
7 Vera Ellen Paat, Posisi Amerika Serikat dalam Penyelesaian Konflik Israel dan Palestina, Fisip
Unsrat, Manado, hlm .8.
11
Negeri .8 Keikutsertaan Indonesia dalam konferensi - konferensi yang
membahas penyelesaian konflik Timur Tengah juga termasuk dalam upaya
pencapaian tujuan nasional Indonesia yang lebih “subjektif” artinya sejalan
dengan kondisi dan situasi politik internasional yang dari waktu ke waktu
selalu berubah.
1. Motivasi Dukungan Indonesia
1. Anti kolonoalisme.
2. Islam.
3. Kemanusiaan.
4. Perdamaian Dunia.
5. Stabilitas Politik dalam Negeri.
6. Agenda Utama Politik Luar Negeri.
2. Bentuk Dukungan Indonesia
1. Konferensi Asia Afrika .
2. Asian Games 1962. Tahun 1962 Indonesia menjadi penyelengara
Asian
Games,
Indonesia
menunjukkan
solidaritasnya
dalam
mendukung Palestina dengan menolak memberikan visa bagi atlet
Israel untuk ikut berpartisipasi.
3. Gerakan Non-Blok (GNB). GNB Pada Maret 2011 Indonesia menjadi
penyelenggara Pertemuan Tingkat Menteri Ke-16 GNB di Bali.
Indonesia mengusulkan penggalangan suara bagi penerimaan
Palestina menjadi anggota penuh PBB. GNB kemudian melakukan
penggalangan
suara
terhadap
pengakuan
Palestina
sebagai
anggota PBB dan Palestina memperoleh dukungan dari 112 negara.
4. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Isu Palestina merupakan agenda
utama OKI. Pada September 2011 Sidang Majelis Umum PBB ke-66
digelar di New York, yang membahas penyelesaian isu Palestina
dan
Israel.
Disela-sela
proses
sidang,
pertemuan
OKI
diselenggarakan dan Indonesia mengajak negara-negara OKI dan
masyarakat
internasional
untuk
mendukung
Palestina
masuk
sebagai anggota PBB ke-194. Pada 28 September 2012 pertemuan
yang sama kembali di gelar di Markas PBB, New York, dan
8 Dirjen Multilateral Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 2008, hlm. 11.
12
Indonesia
kembali
mengajak
anggota
OKI
untuk
serius
memperjuangkan peningkatan status Palestina di PBB.
5. DK PBB Tahun 2007-2008. Tahun 2007-2008 Indonesia menjabat
sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Indonesia
selalu mendorong agar DK PBB mengeluarkan keputusan terkait
masalah Palestina, termasuk dalam bentuk presidential statement
(PRST) maupun resolusi.9
6. NAASP. Indonesia tergabung dalam kerja sama regional New Asian
African Strategic Partnership (NAASP). Indonesia telah menggagas
NAASP Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine, di
Jakarta,
tanggal
14-15
Juli
2008.
Indonesia
menyampaikan
komitmen untuk mendukung berdirinya negara Palestina yang
merdeka dan berdaulat, bukan saja secara politis melainkan juga
melalui kerja sama teknis berupa pembangunan kapasitas bagi
1000 warga Palestina.10
7. Bantuan Finansial dan Pembangunan Rumah Sakit di Gaza.
8. Kunjungan DPR RI ke Palestina.
Berikut berbagai bentuk dukungan yang dilakukan masyarakat
Indonesia untuk Palestina.
a. Terbentuknya
berbagai
organisasi
masyarakat
untuk
dukung
Palestina. Beberapa organisasi ini diantaranya;
1) Komini Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP). KNRP adalah salah
satu lembaga kemanusiaan yang peduli terhadap permasalahan
masjid Al Aqsha dan isu kemanusiaan di Palestina. dan seni untuk
menggalang dana dan opini untuk Palestina.
2) Komite Nasional untuk Solidaritas Palestina (KISPA). Didirikan pada
14 Mei 2002, dalam visi nya tertulis organisasi ini bertujuan untuk
membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk peduli terhadap
perjuangan bangsa Palestina meraih kemerdekaan, khususnya
dalam menjaga kesucian Masjid Al-Aqsha.
b. Yayasan Sahabat Al Aqsa. Aksi solidaritas dukung Palestina
9 http://kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=15&l=id
10 Kemenlu. Ringkasan Eksekutif Diplomasi 2011. Hlm: 200
13
c. Kampanye Boikot Produk Yahudi
11
3. Peran Indonesia dalam Mendukung Palestina Menjadi Negara
Peninjau di PBB Tahun 2012
a. Partisipasi Aktif Indonesia Dalam Sidang Majelis Umum PBB Ke-67
Sidang Majelis Umum PBB Ke-67 dilaksanakan pada 29 November
2012 di markas besar PBB, New York. Dari 193 yang seharusnya hadir,
hanya 188 negara yang hadir dan 5 negara tidak hadir, yakni Equatorial
Guinea,
Kiribati,
Liberia,
Madagaskar
dan
Ukraina.
Madagaskar
merupakan salah satu negara yang menjadi co sponsor dalam resolusi
peningkatan status Palestina untuk menjadi negara peninjau, namun
tidak hadir dalam agenda sidang ini. Indonesia hadir dalam agenda
sidang ini dengan diwakili langsung oleh Menlu Marty Natalegawa. Dari
188 negara yang mengirimkan delegasinya, hanya tiga negara yang
mengirimkan Menlu sebagai perwakilan, yakni Indonesia, Turki dan
Kanada.
b. Pernyataan Indonesia di Hadapan Peserta Sidang Majelis Umum
PBB.
Selama Sidang Majelis Umum, berlangsung sesi perdebatan
dimana
beberapa
delegasi
negara
diberikan
kesempatan
untuk
menyampaikan pidatonya terkait dengan isu yang sedang dibahas, yakni
peningkatan status Palestina menjadi negara Peninjau. Negara yang
mendukung resolusi ini dan negara-negara yang tidak mendukung
memberikan pandangannya sebagai pembuka sebelum pemungutan
suara
dilakukan.
Perwakilan
Sudan,
Daff-Alla
Elhag
Ali
Osman
mempersentasikan rancangan resolusi “status of Palestine in the United
Nations” yang bertujuan untuk pemberian status negara peninjau bagi
Palestina. Kemudian pidato dilanjutkan oleh Presiden Otoritas Palestina,
Muhammad
Abbas.
Perwakilan
Israel
memberikan
pandangannya,
menurutnya tidak satupun dari isi rancangan resolusi tersebut yang
mengakomodasi kepentingan vital Israel, sehingga Israel tidak bisa
menerimanya.
c. Dukungan Indonesia Terhadap Status Palestina Sebagai Negara
Peninjau PBB dalam Pemungutan Suara.
11 Shofwan Al Banna, Palestine, Emang gue Pikirin? , Pro You , Jogyakarta, 2006, hlm. 292-293.
14
Setelah penyampaian draf resolusi dan pandangan dari beberapa
negara
terhadap
resolusi
tersebut,
Presiden
Majelis
Umum
PBB
mengakhiri sesi perdebatan dan kemudian pemungutan suara dilakukan.
Pada pemungutan suara ini Indonesia memberikan suara setuju pada
resolusi tersebut. Hasil dari pemungutan suara ini secara keseluruhan
adalah, 138 negara mendukung, 9 negara menentang, 41 negara abstein
dan 5 negara absen.
4. Dukungan Rakyat Indonesia
a. Jalur pemerintah, diplomasi melalui jalan perdamaian.
b. Jalur non pemerintah/profesional, atau perdamaian melalui resolusi
konflik.
c. Jalur
bisnis,
atau
diplomasi
perdamaian
melalui
perdagangan
(Commerce). Jalur warga negara privat, diplomasi perdamaian melalui
peran individu.
d. Jalur penelitian, pelatihan, dan pendidikan, diplomasi perdamaian
melalui pembelajaran.
e. Jalur aktivisme, atau diplomasi perdamaian melalui advokasi.
f. Jalur agama, atau diplomasi perdamaian melalui kepercayaan.
g. Jalur Pendanaan, atau diplomasi perdamaian melalui pemberdayaan
sumber daya.
h. Jalur Komunikasi dan media, atau diplomasi perdamaian melalui
informasi.
B. SIKAP INDONESIA ATAS PENOLAKAN PENGAKUAN ISRAEL
Pada 14 mei 1948 David Ben mengumumkan secara resmi berdirinya
negara Israel dengan berpijak pada resolusi PBB No. 181 ( UN Partitation
Plan ) sebagai legitimasinya. Negara Israel sampai sekarang masih tetap
tidak diakui oleh negara arab, kecuali dua negara yang telah membuat
perjanjian perdamaian dengan negara tersebut yaitu mesir dan yordania.
Pada tanggal 11 mei 1949 israel diterima sebagai anggota PBB.
Penolakan Israel terhadap permintaan Palestina di PBB itu tidak terlepas
dari masalah daerah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Wilayah
tersebut bersama wilayah Jalur Gaza telah dicaplok oleh Israel sejak tahun
1967. Kemudian Jalur Gaza sudah dikembalikan kepada Palestina pada
2005. Secara bertahap sebagian wilayah Tepi Barat juga dikembalikan ke
15
Palestina.
Permasalahannya
adalah
wilayah
Tepi
Barat
yang
belum
dikembalikan sebagian sudah dibangun pemukiman Yahudi. Memang, Israel
membutuhkan wilayah baru untuk menampung masyarakat Yahudi yang
selalu bertambah, akibat imigrasi atau yang lain. Tepi Barat dan Yerusalem
Timur yang menurut resolusi PBB di atas milik Palestina, menjadi wilayah
tempat penampungan kaum Yahudi tersebut. Pembangunan pemukiman
terus dilakukan oleh Israel, padahal mendapatkan protes dari berbagai
pihak. Hal itu juga yang menjadi hambatan perundingan perdamaian antara
Palestina dan Israel.
Secara nomatif Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya
selalu
berlandaskan pada
Undang-Undang Dasar 1945 yang mejadi
landasan konstitusinya. Terkait dengan ketiadaan hubungan diplomatik
dengan Israel, Indonesia berdasarkan pada isi Pembukaan UUD 1945 pada
alinea pertama Berdasarkan pada penggalan konstitusi yang menjadi dasar
segala perundang-undangan di Indonesia tersebut, maka telah cukup jelas
sebagai landasan mengapa Indonesia tetap bertahan untuk tidak membuka
hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini terkait dengan pendudukan yang
dilakukan Israel atas tanah Palestina yang mana hal tersebut dinilai
Indonesia termasuk pada suatu bentuk “penjajahan”. Sehingga kalau
Indonesia membuka hubungan dengan Israel, dianggap sama saja dengan
menjustifikasi
dan
melegitimasi
penjajahan
Israel
terhadap
bangsa
Palestina, maka secara otomatis merupakan suatu pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip konstitusional.12
Hubungan diplomatik antara Israel dan Indonesia, terkait isu palestina
dan konflik Palestian dan Israel dewasa ini, Indonesia sangat memberikan
perhatian terhadap upaya untuk mendukung kemerdekaan rakyat palestina.
Penolakan Israel mengizinkan delegasi RI memasuki Ramallah yang
memperlihatkan
terus
berlanjutnya
arogansi
negara
Zionis,
juga
mencerminkan kekhawatirannya pada peningkatan diplomasi RI untuk terus
mendukung kemerdekaan berdaulat penuh negara Palestina. Membuat
Israel semakin jauh kian menjauh dari Indonesia. Bukan rahasia lagi, Israel
sejak waktu lama menginginkan dan berusaha keras agar RI dapat
membuka hubungan diplomatik di antara kedua negara. Israel memandang,
12 Mawardin. 2011. Prospek Hubungan Bilateral Indonesia-Israel Dalam Perspektif Ekonomi
Politik, 2011, hlm. 51-52 http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/1401
16
hubungan diplomatik dengan Indonesia—sebagai negara Muslim terbesar—
dapat
membuka
pengakuan
lebih
luas
terhadap
Israel
di
tingkat
internasional.
Tetapi Indonesia secara konsisten menolak walau dalam kasus-kasus
tertentu terjadi kontak dan hubungan diam-diam melalui orang perorang.
Adalah Presiden Soekarno yang memulai penolakan berhubungan dengan
Israel. Bung Karno mengeluarkan Israel (dan Taiwan) dari daftar negara yang
ikut dalam Asia Games 1962 di Jakarta. Tetapi pada 1993 Presiden Soeharto
menerima PM Israel Yitzhak Rabin di kediamannya di Jalan Cendana Jakarta.
Pak Harto berhujjah, ia menerima Rabin dalam kaitan dengan Indonesia
sebagai Ketua Gerakan Non-Blok dan juga guna menjajaki tindak lanjut
Persetujuan Oslo. Inilah satu-satunya pertemuan tingkat tinggi di antara
kedua negara.
Selanjutnya
pada
1999
Presiden
Abdurrahman
‘Gus
Dur’
Wahid
menyatakan keinginannya membuka hubungan dagang langsung dengan
Israel. Mendapatkan tantangan dari kebanyakan umat Islam Indonesia,
Presiden
Gus
Dur
‘terpaksa’
mengurungkan
niatnya
tersebut.
Pada
perspektif terhadap Israel, Presiden Wahid tidak dapat memungkiri bahwa
Israel merupakan bangsa yang benar-benar hebat. Oleh karenanya dapat
dikatakan sebagai satu kerugian bagi Indonesia apabila Indonesia tetap
menolak berhubungan dengan Israel. Bahwa Indonesia seharusnya tidak
hanya mengkritik kejahatan dan kebiadaban kaum zionis Israel terhadap
Palestina saja, tetapi juga mencontoh nilai-nilai positif yang dimiliki Israel,
khususnya dalam aspek pendidikan.
13
Presiden SBY membuka sedikit celah bagi Israel dengan menyatakan,
hubungan diplomatik antara kedua negara mungkin dapat dibuka setelah
Israel memberikan kemerdekaan dan kedaulatan sepenuhnya bagi negara
Palestina. Peningkatan aksi brutal Israel bersamaan dengan perampasan
tanah Palestina untuk pemukiman ilegal Yahudi, meningkatkan kecaman
pemerintah
dan
masyarakat
Indonesia
terhadap
Israel,
sehingga
kemerdekaan Palestina kian jauh.
Pada pemerintahan Presiden Jokowi, RI membuka Konsultan RI di
Ramallah (KJRI), Israel menolak pembukaan KJRI. Karena itulah pemerintah
13 Muhammad Ibrahim Hamdani. Peran KH Abdurrahman Wahid dalam Misi Perdamaian IsraelPalestina (Bagian I), 2012.
17
RI memutuskan mengangkat Konsul Kehormatan, yang lazimnya adalah dari
kalangan tokoh masyarakat lokal. Meski Konsul Kehormatan memiliki
wewenang terbatas, dalam konteks Palestina memiliki simbolisme penting.
Israel nampaknya melihat Konsul Kehormatan RI itu bagaimanapun mewakili
kehadiran Indonesia di bumi Palestina yang masih dikuasai Israel. Melihat
sikap Israel seperti itu, bisa dipastikan usaha Indonesia memainkan peran
mediasi
lebih
aktif
dalam
menciptakan
perdamaian
dan
sekaligus
kemerdekaan negara Palestina sangat tidak mudah. Boleh jadi Indonesia
akhirnya harus berhadapan langsung dengan Israel.
Memang, pernah ada moratorium pembangunan pemukiman Yahudi pada
pertengahan 2009 sampai pertengahan 2010, untuk memberikan peluang
adanya negosiasi perdamaian Palestina dan Israel. Tetapi, sejak setahun
lalu, pembangunan pemukiman dilanjutkan kembali dan Palestina menarik
diri dari perundingan. Pemerintahan Israel tidak dapat lagi menghentikan
pembangunan pemukiman, karena mereka adalah pemerintah koalisi yang
antara lain didukung oleh kelompok pendukung pembangunan pemukiman.
Avigdor Lieberman adalah tokoh keras pro pembangunan pemukiman yang
saat ini menjadi Menteri Luar Negeri Israel.
C. PERAN DEWAN KEAMANAN PBB
PBB yang merupakan organisasi internasional yang beranggotakan
negara-negara di kawasan dunia yang salah satu tujuannya memelihara
keamanan dan perdamaian dunia. Konflik antara Palestina-Israel menuntut
keterlibatan PBB dalam proses perdamaian kedua negara tersebut. Sejak
pertama kali berdiri pada 24 Oktober 1945, PBB
14
menjadi tumpuan harapan
bagi seluruh masyarakat dunia. Kehadiran PBB diharapkan dapat menjadi
aktor yang mampu memayungi kepentingan negara anggotanya (a reliable
International agent). Meski bukan world government (Pemerintah Dunia),
PBB diharapkan mampu membawa dunia dari konfrontasi ke arah kooperasi.
Hal itulah yang membuat semua negara di dunia turut serta dan secara
sukarela menjadi anggota PBB.
Tabel 1.1 Konflik yang melanda Israel dan Palestina
NO TAHUN
1)1948 - 1967
KASUS
Perang Arab Israel ( 1948 )
14 Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010,
hlm. 548
18
Persetujuan Genjatan Senjata ( 1949 )
Perang Suez ( 1959)
Perang Enam Hari ( 1967)
Pendudukan Jalur Gaza oleh Mesir
2.
1967 - 1993
Pendudukan Tepi barat dan Yerusallem oleh Yordan
War or Attrition ( 1970 )
Peang Yom Kippur ( 1973 )
Perang Lebanon ( 1982 )
3
1996 - 2008
Perang Teluk ( 1990 )
Kerusuhan Terowongan Al Aqsa ( 2006 )
Israel menyerang Gaza ( 2008 )
1) Implementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB no 242
Dikeluarkannya Resolusi 242 oleh Dewan Kemanan PBB pada 22
November 1967, merupakan suatu prestasi diplomatik dalam konflik ArabIsrael. Resolusi itu menekankan "tidak dapat diterimanya perebutan wilayah
melalui perang" dan memuat rumusan yang sejak itu mendasari semua
inisiatif perdamaian tanah bagi perdamaian. Sebagai ganti ditariknya
pasukan dari wilayah Mesir, Yordania, dan Syria yang direbut dalam perang
1967, Israel diberi janji perdamaian oleh negara-negara Arab. Resolusi itu
menjadi landasan bagi penyelenggaraan pembicaraan-pembicaraan damai
antara Israel dan negara-negara Arab yang dimulai di Madrid, Spanyol, pada
1991.
2) Implementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB No 338
a) Menghimbau pihak-pihak yang terlibat untuk memulai (penghentian
tembak-menembak) segera setelah dilaksanakannya resolusi Dewan
Keamanan no 242 (1967) tentang gencatan senjata dan semua
bagiannya.
b) Memutuskan bahwa segera dan bersamaan dengan gencatan senjata
negoisasi-negoisasi akan segera di mulai antara pihak-pihak yang terkait
dengan perlindungan yang tepat untuk menegakkan perdamaian yang
adil dan abadi di Timur Tengah.
3) Implementasi Perjanjian Camp David 1978
Implementasi dari Perjanjian Camp David mengenai perdamaian yang
terpisah antara Mesir dan Israel tidak ambigu atau sangat jelas. Perjanjian
tersebut dilihat sebagai sinyal bahaya bahwa kebijakan luar negeri AS
19
diarahkan dengan gaya NATO yang sangat kuat atau dengan menaruh
kekuatan militer di Timur Tengah. Sementara dari pemerintahan Arab Saudi
sendiri menganggap bahwa perjanjian tersebut mengkhianati umat muslim
Palestina, yang berarti mengakui keberadaan Israel di Palestina, karena
seharusnya Israel menarik diri dari Palestina seluruhnya. Sementara raja
Husein dari Yordania menanggapi perjanjian tersebut dengan merasa
terkhianati oleh AS yang sepertinya telah menyalahi atau menyakiti hati
orang Arab.15
Dalam upaya perdamaian konflik Israel-Palestina, PBB menjadi mediator
yang berusaha untuk memediasi kepentingan antara Palestina dan Israel.
Selain itu, terdapat banyak resolusi yang dikeluarkan oleh PBB yang
mempengaruhi konflik antara Israel-Palestina. Mediasi yang dilakukan oleh
PBB adalah usaha diplomatik yang ditujukan untuk penyelesaian konflik
Israel-Palestina. Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB 242 dan
338, PBB telah terlibat dalam setiap upaya negosiasi Israel-Palestina, secara
tidak langsung. Keterlibatan PBB tersebut telah dimulai sejak tahun 1947,
yaitu pemisahan Palestina menjadi Negara Yahudi dan Negara Arab melalui
Resolusi 181. Resolusi tersebut ditolak secara tegas oleh negara-negara
Arab yang mendukung Palestina.
Pasca pecahnya perang awal antara Israel-Arab, kemudian pada 15 juli
1948 melalui Resolusi DK PBB 54 terdapat perintah gencatan senjata untuk
semua pihak guna mengakhiri perang, tetapi pada ahkirnya tidak ada yang
melakukannya. Israel sendiri menjadi anggota tetap dalam PBB pada
tanggal 11 Mei 1949. Palestina sendiri pada saat itu bukan anggota PBB,
menganggap bahwa arah resolusi yang dikeluarkan PBB serta negosiasi
yang dilakukan lebih menguntungkan Israel.
PBB juga mengambil peranan dalam Six Day War 1967, dimana sebuah
proposal mediasi dikeluarkan melalui Resolusi DK PBB 242, tepatnya pada
tanggal 22 Oktober 1967. Teks resolusi ini mengacu pada penarikan
pasukan militer kedua belah pihak dari wilayah konflik, penghentian semua
klaim dan kemerdekaan semua negara yang terlibat. Israel menerima
resolusi ini, namun Israel tetap bersikeras bersikap bahwa penarikan
pasukan
dari
Negara
yang
didudukinya
dilakukan
melalui
negosiasi
15 World Reaction: Camp David Could Lead to World War III. Executive Intelligence Review,
Volume 6, number 13, April 3st 1979. Hlm 26-27
20
langsung yang mengesampingkan PBB. Negosiasi langsung ini dibuat Israel
demi
melindungi
kepentingan
dan
haknya
sebagai
pihak
yang
memenangkan Six Day War, Israel beranggapan bahwa jika dilakukan
negosiasi dalam PBB maka kepentingan dan haknya akan dibatasi serta
akan ada faktor eksternal yang akan mempengaruhi proses negosiasi. Pada
proses negosiasi langsung inilah Israel menyerukan permintaanya Land for
Peace kepada Palestinian Liberation Organization (PLO).
Dari awal konflik hingga sampai saat ini, PBB sering dikesampingkan
dalam usaha perdamaian antara Israel-Palestina. DK PBB yang memiliki
tanggung jawab utama untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional sesuai dengan Piagam PBB, belum mampu untuk mengatasi
konflik
Israel-Palestina.
Beberapa
Negara
bahkan
menggunakan
pengaruhnya untuk menjauhkan isu ini dari agenda PBB. Upaya perdamaian
konflik Israel-Palestina menjadi lebih sering dilakukan oleh Majelis Umum
PBB.
BAB III KESIMPULAN
Motivasi
Dukungan
Indonesia
atas
pengakuan
Palestina
antara
lain
dipengaruhi beberapa faktor yaitu Anti kolonoalisme, Islam , Kemanusiaan,
Perdamaian Dunia, Stabilitas Politik dalam Negeri, Agenda Utama dan
Politik Luar Negeri. Bentuk dukungan Indonesia terhadap Paestina yaitu
dalam KAA, Asian Games, oki, DK PBB , NAASP, Bantuan financial Rumah
sakit dan Kunjungan DPR RI kepalestina. Penolakan Palestina ini dilakukan
oleh 3 negara yaitu Amerika Serikat, Israel, dan Iran, Tetapi Indonesia
dengan semangatnya membela Palestina agar menjadi negara yang baru.
Hubungan Diplomatik antara Indonesia dengan Israel semakin buruk,
terlebih setelah penolakan Israel terhadap Palestina. Penolakan Israel
mengizinkan delegasi RI memasuki Ramallah yang memperlihatkan terus
berlanjutnya arogansi negara Zionis, juga mencerminkan kekhawatirannya
pada peningkatan diplomasi RI untuk terus mendukung kemerdekaan
berdaulat penuh negara Palestina. Membuat Israel semakin jauh kian
menjauh dari Indonesia. Peran DKK PBB untuk menyelesaikan konflik
berkepanjangan antara lain : DK sebagai pihak yang bertanggung jawab
atau mediator penyelesaian konfilk tersebut tidak berhasil , Peran DK PBB
dalam meneyelesaikan konflik tersebut lamban dan tanggung jawab atas
21
keamanan dan perdamaian internasional yang menjadi tujuan didirikannya
PBB tidak dapat dicapai DK PBB
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala. 1993. Aspek – aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Rajawali
Pers. Jakarta.
Al Banna, Shofwan . 2006. Palestine, Emang gue Pikirin? . Pro You .Jogyakarta.
Effendi, Mahsyur A. 2011. Prinsip Pengakuan dalam Pembentukan Negara
ditinjau dari Hukum Internasional. Lex Jurnalica :
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Vol. 8
No. 3 Agustus 2011.
Ibrahim, Muhammad Hamdani. 2012. Peran KH Abdurrahman Wahid dalam Misi
Perdamaian Israel-Palestina (Bagian I.
Islamiyah, Nur. 2016. Aspek Historis Peranan PBB dalam Penyelesaian Konflik
Israel Palestina 1967-1995. AVATARA : e-Journal Pendidikan
Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri
Surabay. Vol. 4, No.3 oktober.
Istanto,
Sugeng.
1994.
Hukum
Internasional.
Universitas
Atma
Jaya.
Jogyakarta.
Kusuma, Mochtar Atmadja. 1989. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta.
Bandung.
Mauna, Boer. 2003. Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi
Dalam Era Dinamika Global. PT Alumni. Bandung.
Mawardin. 2011. Prospek Hubungan Bilateral Indonesia-Israel Dalam Perspektif
Ekonomi Politik. Unhas Pers.
Morgenthau, Hans J. 2010. Politik Antar Bangsa.
Yayasan Pustaka Obor
Indonesia. Jakarta.
Shaw, Malcolm N. 1986. ”International law”. Butterworths. London.
Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.
Tasrif, S. 1996. Pengakuan dalam Teori dan Praktik. Media Raya. Jakarta.
Widyawati , Anis. 2008. Kajian Hukum Imternasional terhadap HAM. Pandecta :
Universitas Negeri Semarang. Vol. 2 No. 2.
World Reaction: Camp David Could Lead to World War III. Executive Intelligence
Review.Vol. 6 No. 13, April 3st 1979.
22
INDONESIA DALAM PRAKTIK HUKUM INTERNASIONAL
( STUDI KASUS PENGAKUAN DAN PENOLAKAN ISRAEL OLEH INDONESIA
)”
Untuk memenuhi Tugas Hukum Internasional yang diampu oleh Ridwan Arifin,
S.H., Ll.m
DI SUSUN OLEH
ROMBEL
: 05
1. VIRDATUL ANIF
8111416316
2. GALUH MUSTIKA DEWI
8111416342
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
FAKULTAS HUKUM
2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmatnya sehingga Tugas Library research yang berjudul “Analisis Praktik
Pengakuan Negara
( State Recognition ) Indonesia Dalam Praktik Hukum
Internasional ( Studi Kasus Pengakuan Dan Penolakan Israel Oleh Indonesia )”
dapat diselesaikan. Penulis mengalami hambatan atau kesulitan dalam
penyusunan Library Research ini. Namun, banyak pihak yang membantu
sehingga tugas ini dapat selesai tepat pada waktunya. Maka dari itu, penulis
mngucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu antara lain.
1. Ridwan
Arifin,
meluangkan
S.H.,
waktu
L.lm
untuk
selaku
pembimbing
membimbing
yang
penyusunan
telah
Library
Research.
2. Drs. Herry Subondo, M.Hum selaku pembimbing yang telah
meluangkan
waktu
untuk
membimbing
penyusunan
Library
Research.
3. Bapak dan Ibu yang telah memberikan motivasi baik material
maupun spiritual.
4. Semua pihak yang terkait dalam pembuatan tugas ini.
Penulis berharap Library Research
ini bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang membangun,
penulis terima untuk lebih menyempurnakan Library Research ini.
Semarang , 15 oktober 2017
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................1
KATA PENGANTAR..........................................................2
DAFTAR ISI......................................................................3
DAFTAR TABEL...............................................................4
DAFTAR GAMBAR.................................................4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................5
B. Rumusan Masalah..........................................7
C. Metode Penelitian..........................................8
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengakuan Palestina oleh Indonesia..............8
B. Sikap Indonesia Terhadap Israel....................13
C. Peran DK PBB ................................................16
BAB III KESIMPULAN...............................................18
DAFTAR PUSTAKA
3
GAMBAR
Gambar
1.1
Pusat
Israel
Sebelah
Tepi
barat
Dan
Jalur
Gaza
2007…………………………..7
DAFTAR KASUS / PUTUSAN
Tabel
1.1
Konflik
yang
…………………………………………
melanda
16
4
Israel
dan
Palestina
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Konvensi Montevideo tahun 1933 yang mengatur tentang
hak dan kewajiban negara telah berhasil menetapkan kesepakatan
tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi negara sebagai subyek
hukum internasional. Syarat yarat nya ialah adanya penduduk yang
tetap,
wilayah
yang
pasti,
pemerintah
emngadakan hubungan internasional.
1
dan
kemampuan
untuk
Pengakuan negara adalah
pengakuan bahwa suatu kesatuan yang lahir, diakui telah memenuhi
persyaratn
yang
ditentukan
hukum
internasional
sebagai
negara
sehingga diakui pula sebagai pribadi dalam hukum dan masyarakat
internasional.
Dalam literatur–literatur hukum internasio-nal terdapat
dua teori yang terkenal tentang pe-ngakuan, yaitu : Teori Konstitutif ,
Dalam
teori
konstitutif
ini
dikemukakan
bahwa
di
mata
hukum
internasional, suatu negara lahir jika negara tersebut telah diakui oleh
negara lainnya. Hal ini mengartikan bahwa hanya dengan penga-kuanlah
suatu negara baru itu dapat diterima se-bagai anggota masyarakat
internasional dan dapat memperoleh status sebagai subjek hukum internasional. Teori Deklaratif , Dalam teori ini pengakuan tidak menciptakan
suatu negara karena lahirnya suatu negara, karena suatu negara lahir
atau ada berdasarkan situasi – situasi/fakta murni.
1 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Jogyakarta, 1994, hlm. 29.
5
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa muncul atau lahirnya
suatu negara adalah suatu pe-ristiwa yang tidak langsung mempunyai
ikatan de-ngan hukum internasional. Pengakuan yang diberi-kan kepada
negara yang baru lahir tersebut hanya bersifat politik, atau seperti
pengukuhan terhadap statusnya di lingkungan anggota masyarakat
interna-sional dengan segala hak dan kewajiban yang dimiliki sesuai
dengan hukum internasional. Bentuk – bentuk pengakuan : Pengakuan
secara Kolektif, Pengakuan suatu negara dalam kategori ini dapat berupa
dua bentuk. Bentuk yang pertama adalah deklarasi bersama oleh
sekelompok negara, Pengakuan secara Terang – terangan dan Indivi-dual
Pengakuan seperti ini berasal dari pemerintah atau badan yang
berwenang di bidang hubungan luar negeri, Pengakuan secara Diam –
Diam Pengakuan ini terjadi jika suatu negara menga-dakan hubungan
dengan pemerintah atau negara baru dengan mengirimkan seorang wakil
diplo-matik, mengadakan pembicaraan dengan pejabat resmi atau
kepala negara setempat. Namun dalam keadaan ini harus ada indikasi
atau tindakan nya-ta untuk mengakui pemerintah atau negara yang baru.
Pengakuan “de jure” ialah pengakuan yang diberikan berdasarkan
pertimbangan
bahwa
menurut
negara
yang
mengakui
organisasi
kekuasaan yang diakui dianggap telah memenuhi persyaratan hukum
untuk ikut serta melakukan hubungan internasional. pengakuan “de
facto” ialah pengakuan yang diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa
menurut negara yang mengakui organisasi kekuasaan yang diakui, untuk
sementara
dan
dengan
reservasi
di
kemudian
hari,
menurut
kenyataannya dianggap telah memenuhi persyaratan hukum untuk ikut
serta melakukan hubungan internasional. Pengakuan de facto, Ada
beberapa Negara yang sudah sejak awal berdirinya memberikan
pengakuan secara de facto kepada Israel, secara bersyarat. Seperti yang
dilakukan oleh Indonesia yaitu akan mengakui Israel apabila Israel mau
mematuhi resolusi kebijakan dari DK PBB. Akan tetapi Negara yang
semula memberi pengakuan bersyarat maupun yang menolak akhirnya
memberikan pengakuan secara de facto terhadap keberadaan Isarel.
Hanya saja pengakuan de facto tersebut dilakukan secara diam-diam.
Perubahan tersebut muncul besamaan dengan pengakuan terhadap
6
berdirinya Negara Palestina kedua belah pihak berkonflik maupun dalam
forum internasional. Pengakuan secara de facto yang kemudian diikuti
dengan pengakuan de jure, semula hanya dilakukan oleh Inggris,
Amerika
dan
Rusia,
tidak
lama
setelah
Israel
memproklamirkan
negaranya. Akan tetapi sejak perjanjian Camp David, yang dibuat antara
Israel, Mesir dan Amerika Serikat, tepatnya tanggal 26 Maret 1979, Mesir
dapat dimasukkan dalam kelompok Negara-negara yang mengakui Israel
secara de facto bahkan de jure. Semula pengakuan tersebut dilakukan
secara diam-diam yang diwujudkan dengan kunjungan pertama, presiden
Mesir ke Israel, pada tahun 1978 Disusul perjanjian perdamaian Camp
David yang kemudian dilanjutkan dengan saling mengirim duta besar.
Konflik antara Palestina dan Israel terjadi setelah Deklarasi Balfour,
dimana bangsa Yahudi pun berupaya untuk mendirikan suatu negara
dengan melakukan diplomasi pada 2 November 1917 melalui Deklarasi
Balfour.2
1.1 Pusat Israel sebelah tepi barat dan jalur Gaza, 2007
Konflik yang terjadi antara Israel-Palestina mempunyai sejarah
panjang. Konflik tersebut telah berlangsung sejak puluhan tahun,
terutama sejak berdirinya Negara zionis Israel tahun 1948. konflik antara
Israel-Palestina pada dasarnya menyangkut dua isu pokok, yaitu masalah
hak rakyat Palestina untuk mendirikan Negara di atas tanah airnya
sendiri dan hak bangsa Yahudi untuk memilih negaranya sendiri (Israel)
dan hidup tentram dan damai dengan tetangga Arabnya.3
2 Deklarasi Balfour adalah surat yang ditulis oleh Menlu Inggris, Arthur James Balfour, kepada
pemimpin komunitas yahudi Inggris, Lord Rothschild, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis
pada 2 November 1917.
3 Lihat H.A Chalid Mawardi “Dimensi Internal Timur Tengah Pasca Perang Teluk: Peran Suriah”, dalam
BantartoBandoro, Timur Tengah Pasca Perang Teluk: Dimensi Internal dan Eksternal, CSIS, Jakarta, 1991,
7
Setelah perang besar Arab-Israel tahun 1948, perang Enam Hari
(Six Days War) tahun 1967, dan perang Yom Kippur tahun 1973, seluruh
wilayah Palestina sudah direbut oleh Israel dan mengklaim sebagai
wilayah Israel. Wilayah tersebut meliputi Tepi Barat dan daerah Gaza
yang direncanakan akan menjadi wilayah Negara Palestina oleh para
pemimpin Arab. Konflik terus berkembang karena kedua pihak tetap
bersikeras untuk saling mempertahankan wilayah masing-masing. Konflik
tersebut diikuti dengan perang-perang kecil yang berbuntut pada konflik
antar bangsa, tidak hanya antara bangsa Yahudi dengan bangsa
Palestina tetapi secara keseluruhan terjadi perang Arab-Israel. Pada
tahun 1948 PBB merumuskan sebuah proposal perdamaian untuk Arab
dan Yahudi di Palestina,dengan membuat pembagian wilayah Palestina
yang bertujuan untuk memisahkan negara Arab dan Yahudi. Berbagai
upaya proses perundingan damai telah dilakukan, yaitu Camp David I
(1979), Perjanjian Oslo I (13 September 1993), Perjanjian Kairo (1994),
Perjanjian Oslo II (28 September 1995), Kesepakatan Hebron (1997), Wye
River Agreement (1998), Sharm el-Sheikh di Mesir (1999), Camp David II
(2000), hingga Konsep Peta Jalan Damai (Road Map).
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa Indonesia mengakui Negara Palestina sebagai Negara yang
merdeka ?
2. Bagaimana Indonesia menyikapi atas penolakan Negara Israel
terhadap Negara Palestina ?
3. Peran apa saja Dewan Keamanan PBB dalam menghadapi Konflik
yang berkepanjangan ?
C. Metode Penulisan
Metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip – prinsip
dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam
melakukan penelitian.4 Jenis penelitian yang akan dipakai dalam makalah
ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian dengan cara
mengumpulkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder baik
hlm. 17
4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Pers, Jakarta, 1994,
hlm. 13.
8
berupa Peraturan Perundang-undangan maupun buku-buku atau literatur
yang relevan untuk diolah dan dianalisis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGAKUAN INDONESIA TERHADAP PALESTINA SEBAGAI NEGARA
Pengakuan Internasional terhadap Negara Palestina merupakan tujuan
organisasi pembebasan palestina ( PLO ) sejak Deklarasi kemerdekaan
Palestina memproklamirkan berdirinya negara palestina pada tanggal 15
November 1988 di Aljir, Aljazair dalam sebuah sidang luar biasa Dewan
Nasional Palestina dalam pengasingan. Deklarasi itu segera diakui oleh
Negara,5 dan pada akhir tahun tersebut negara ini diakui oleh lebih dari 80
Negara. Pada bulan febuari, 1989, di Dewan Keamanan PBB, Perwakilan PLO
mengklaim pengakuan oleh 94 negara. Sebagai bagian dari upaya untuk
menyelesaikan konflik Israel-palestina sedang berlangsung , kesepakatan
oslo ditandatangani antara Israel dan PLO pada bulan September 1993
membentuk otoritas nasional palestian (PNA) sebagai sebuah pemerintahan
sementara yang mandiri di wilayah palestina. Israel tidak mengakui
palestina sebagai sebuah negara dan mempertahankan penguasaan militer
de facto di seluruh wilayah.
Mengenai pengakuan Palestina sebagai Negara, terdapat empat sikap
yang berbeda yaitu:
1) Secara tegas menolak: penolakan ini dilakukan oleh 3 negara, Amerika
Serikat, Israel, dan Iran. Masing-masing memiliki alasan yang berbeda.
Amerika menolak memberikan pengakuan dengan alasan proklamasi
pembentukan Negara Palestina tidak sah, dikarenakan sidang Nasional
Palestina
ke-19
sebagai
pembentuk
Negara
palestina
tersebut
dianggap sebagai tindakan sepihak. Pihak Israel menolak dengan
alasan tidak bersedia meninggalakan jalur Gaza, Tepi Barat, serta
Jerusslaem, yang tidak termasuk dalam ketentuan resolusi PBB No 181,
yang digunakan oleh Palestina secagai acuan. Adapun Iran menolak,
bukan karena tidak menyetujui berdirinya Negara Palestina akan tetapi
ia tidak menyetujui resolusi mengenai pembagian wilayah dengan
5 Tessler mark, A history of the Israel – Palestina conflict ( 2nd, illustrated ed), Indiana University
Press, 1994, hlm. 722.
9
Isarel dijadikan acuhan Iran semata
mata menginginkan Israel
meninggalkan Palestina secara total.
2) Negara yang mengakui dan mendukung terdiri dari Negara-negara
sosialis, Timur Tengah, serta Negara lain yang semula simpati dengan
Palestina, seperti Indonesia
3) Negara-negara blok barat, menyambut baik atas penerimaan Palestina
terhadap resolusi tersebut, akan tetapi menolak mengakui Negara
Palestina, karena dianggap tidak memenuhi unsur hukum internasional
sebagai Negara
4) Menerima putusan sidang Palestina tetapi menunda memberikan
pengakuan terhadap Negara Palestina. Negara yang bersikap seperti
ini adalah Jepang, Yunani dan Jerman Timur.
Dengan konflik yang terjadi antara kedua Negara tersebut berdampak
pada terganggunya perdamaian dan ketertiban internasional, maka dapat
dikatakan bahwa Israel dan Palestina telah melanggar ketentuan hukum
internasional. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah apakah
ketentuan hukum internasional dapat dipaksakan untuk diberlakukan
terhadap suatu negara dengan adanya prinsip dalam hukum internasional
Par in Paren Non Habet in Imperium6 yang berarti bahwa suatu negara
berdaulat dapat menjalankan hukum nasional negaranya dalam rangka
mencapai tujuan negara tersebut tadi yang berarti hukum internasional
yang tidak dapat dipaksakan pemberlakuannya di suatu negara tadi.
Palestina merubah strategi perjuangan kemerdekaannya dengan beralih
kejalur diplomasi. Tahun 1993 Palestina secara tidak langsung mengakui
keberadaan Israel dengan menerima rancangan solusi dua negara sesuai
resolusi PBB No: 181 tahun 1947, yaitu wilayah Palestina dibagi menjadi dua
negara untuk Israel dan Palestina sesuai dengan batas-batas dalam resolusi
tersebut. Israel kemudian mengakui keberadaan PLO dan menerima upaya
perundingan damai, kedua negara saling mengakui eksistensi masingmasing dan menghasilkan Kesepakatan Oslo pada September 1993.
Perundingan damai terus dilakukan Palestina dan Israel dengan dibantu
pihak ketiga seperti Amerika Serikat. Upaya ini menghasilkan berbagai
perjanjian seperti Kesepakatan oslo II tahun 1995, Way River tahun 1998,
6 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional I – Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
hlm. 192.
10
Camp David II tahun 2000, Arab Initiative Peace dan Road Map. Namun
posisi
Amerika
cenderung
Serikat
memihak
dalam
pada
penyelesaian
Israel. 7
Berbagai
konflik
hasil
Palestina-Israel
perundingan
dan
kesepakatan yang ada tidak kunjung memberikan kedaulatan penuh bagi
Palestina. Pada faktanya Israel masih tetap mengontrol wilayah Palestina,
membangun pemukiman Yahudi ilegal di tanah Palestina dan bahkan
melakukan agresi militer ke wilayah Palestina dengan dalih memerangi
tetoris namun banyak memakan korban sipil.
Palestina kemudian melakukan upaya untuk meningkatkan pengakuan
internasional
atas
kedaulatannya
dengan
harapan
Palestina
dapat
menguatkan posisi tawarnya dalam perundingan dengan Israel sekaligus
pengakuan de jure atas Palestina sebagai negara yang merdeka sesuai
batas territorial tahun 1967, Tahun 2011 Palestina di bawah kepemimpinan
Mahmoud Abbas memasukkan proposal untuk menjadi anggota penuh PBB.
Namun pada 11 November 2011 Palestina gagal mendapatkan rekomendasi
Dewan Keamanan PBB. Tahun 2012 Palestina melanjutkan upayanya dengan
mengajukan resolusi yang akan menjadikan Palestina sebagai negara
peninjau (non-member observer state) di PBB melalui Majelis Umum PBB.
Draf resolusi dibahas pada 29 November 2012.
Asas
hukum
yang
digunakan
Indonesia
untuk
memperjuangkan
kemerdekaan Palestina adalah resolusi DK 242 (1967) dan 338 (1973) yang
menyebutkan pengembalian tanpa syarat seluruh wilayah Arab yang
diduduki Israel dan pengakuan atas hak-hak sah rakyat Palestina untuk
menentukannasibnya sendiri, mendirikan negara di atas tanah airnya sendiri
dengan al-Quds al-Syarif (Jerussalem Timur) sebagai ibukotanya serta
prinsip land for peace .
Peranan nyata Pemerintah RI dalam mengupayakan perdamaian antara
Palestina dan Israel dengan berpartisipasi dalam Konferensi Internasional
mengenai Proses Perdamaian di Timur Tengah (The International Conference
on the Middle East Process) yang diselenggarakan di Annapolis, Maryland
tanggal 26-27 November 2007, Indonesia bersama Malaysia dan Turki yang
dalam hal ini bukan negara Arab diundang oleh OKI. Delegasi Indonesia
terdiri dari Menteri Luar Negeri dan Direktur Timur Tengah Departemen Luar
7 Vera Ellen Paat, Posisi Amerika Serikat dalam Penyelesaian Konflik Israel dan Palestina, Fisip
Unsrat, Manado, hlm .8.
11
Negeri .8 Keikutsertaan Indonesia dalam konferensi - konferensi yang
membahas penyelesaian konflik Timur Tengah juga termasuk dalam upaya
pencapaian tujuan nasional Indonesia yang lebih “subjektif” artinya sejalan
dengan kondisi dan situasi politik internasional yang dari waktu ke waktu
selalu berubah.
1. Motivasi Dukungan Indonesia
1. Anti kolonoalisme.
2. Islam.
3. Kemanusiaan.
4. Perdamaian Dunia.
5. Stabilitas Politik dalam Negeri.
6. Agenda Utama Politik Luar Negeri.
2. Bentuk Dukungan Indonesia
1. Konferensi Asia Afrika .
2. Asian Games 1962. Tahun 1962 Indonesia menjadi penyelengara
Asian
Games,
Indonesia
menunjukkan
solidaritasnya
dalam
mendukung Palestina dengan menolak memberikan visa bagi atlet
Israel untuk ikut berpartisipasi.
3. Gerakan Non-Blok (GNB). GNB Pada Maret 2011 Indonesia menjadi
penyelenggara Pertemuan Tingkat Menteri Ke-16 GNB di Bali.
Indonesia mengusulkan penggalangan suara bagi penerimaan
Palestina menjadi anggota penuh PBB. GNB kemudian melakukan
penggalangan
suara
terhadap
pengakuan
Palestina
sebagai
anggota PBB dan Palestina memperoleh dukungan dari 112 negara.
4. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Isu Palestina merupakan agenda
utama OKI. Pada September 2011 Sidang Majelis Umum PBB ke-66
digelar di New York, yang membahas penyelesaian isu Palestina
dan
Israel.
Disela-sela
proses
sidang,
pertemuan
OKI
diselenggarakan dan Indonesia mengajak negara-negara OKI dan
masyarakat
internasional
untuk
mendukung
Palestina
masuk
sebagai anggota PBB ke-194. Pada 28 September 2012 pertemuan
yang sama kembali di gelar di Markas PBB, New York, dan
8 Dirjen Multilateral Departemen Luar Negeri RI, Jakarta, 2008, hlm. 11.
12
Indonesia
kembali
mengajak
anggota
OKI
untuk
serius
memperjuangkan peningkatan status Palestina di PBB.
5. DK PBB Tahun 2007-2008. Tahun 2007-2008 Indonesia menjabat
sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Indonesia
selalu mendorong agar DK PBB mengeluarkan keputusan terkait
masalah Palestina, termasuk dalam bentuk presidential statement
(PRST) maupun resolusi.9
6. NAASP. Indonesia tergabung dalam kerja sama regional New Asian
African Strategic Partnership (NAASP). Indonesia telah menggagas
NAASP Ministerial Conference on Capacity Building for Palestine, di
Jakarta,
tanggal
14-15
Juli
2008.
Indonesia
menyampaikan
komitmen untuk mendukung berdirinya negara Palestina yang
merdeka dan berdaulat, bukan saja secara politis melainkan juga
melalui kerja sama teknis berupa pembangunan kapasitas bagi
1000 warga Palestina.10
7. Bantuan Finansial dan Pembangunan Rumah Sakit di Gaza.
8. Kunjungan DPR RI ke Palestina.
Berikut berbagai bentuk dukungan yang dilakukan masyarakat
Indonesia untuk Palestina.
a. Terbentuknya
berbagai
organisasi
masyarakat
untuk
dukung
Palestina. Beberapa organisasi ini diantaranya;
1) Komini Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP). KNRP adalah salah
satu lembaga kemanusiaan yang peduli terhadap permasalahan
masjid Al Aqsha dan isu kemanusiaan di Palestina. dan seni untuk
menggalang dana dan opini untuk Palestina.
2) Komite Nasional untuk Solidaritas Palestina (KISPA). Didirikan pada
14 Mei 2002, dalam visi nya tertulis organisasi ini bertujuan untuk
membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk peduli terhadap
perjuangan bangsa Palestina meraih kemerdekaan, khususnya
dalam menjaga kesucian Masjid Al-Aqsha.
b. Yayasan Sahabat Al Aqsa. Aksi solidaritas dukung Palestina
9 http://kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=15&l=id
10 Kemenlu. Ringkasan Eksekutif Diplomasi 2011. Hlm: 200
13
c. Kampanye Boikot Produk Yahudi
11
3. Peran Indonesia dalam Mendukung Palestina Menjadi Negara
Peninjau di PBB Tahun 2012
a. Partisipasi Aktif Indonesia Dalam Sidang Majelis Umum PBB Ke-67
Sidang Majelis Umum PBB Ke-67 dilaksanakan pada 29 November
2012 di markas besar PBB, New York. Dari 193 yang seharusnya hadir,
hanya 188 negara yang hadir dan 5 negara tidak hadir, yakni Equatorial
Guinea,
Kiribati,
Liberia,
Madagaskar
dan
Ukraina.
Madagaskar
merupakan salah satu negara yang menjadi co sponsor dalam resolusi
peningkatan status Palestina untuk menjadi negara peninjau, namun
tidak hadir dalam agenda sidang ini. Indonesia hadir dalam agenda
sidang ini dengan diwakili langsung oleh Menlu Marty Natalegawa. Dari
188 negara yang mengirimkan delegasinya, hanya tiga negara yang
mengirimkan Menlu sebagai perwakilan, yakni Indonesia, Turki dan
Kanada.
b. Pernyataan Indonesia di Hadapan Peserta Sidang Majelis Umum
PBB.
Selama Sidang Majelis Umum, berlangsung sesi perdebatan
dimana
beberapa
delegasi
negara
diberikan
kesempatan
untuk
menyampaikan pidatonya terkait dengan isu yang sedang dibahas, yakni
peningkatan status Palestina menjadi negara Peninjau. Negara yang
mendukung resolusi ini dan negara-negara yang tidak mendukung
memberikan pandangannya sebagai pembuka sebelum pemungutan
suara
dilakukan.
Perwakilan
Sudan,
Daff-Alla
Elhag
Ali
Osman
mempersentasikan rancangan resolusi “status of Palestine in the United
Nations” yang bertujuan untuk pemberian status negara peninjau bagi
Palestina. Kemudian pidato dilanjutkan oleh Presiden Otoritas Palestina,
Muhammad
Abbas.
Perwakilan
Israel
memberikan
pandangannya,
menurutnya tidak satupun dari isi rancangan resolusi tersebut yang
mengakomodasi kepentingan vital Israel, sehingga Israel tidak bisa
menerimanya.
c. Dukungan Indonesia Terhadap Status Palestina Sebagai Negara
Peninjau PBB dalam Pemungutan Suara.
11 Shofwan Al Banna, Palestine, Emang gue Pikirin? , Pro You , Jogyakarta, 2006, hlm. 292-293.
14
Setelah penyampaian draf resolusi dan pandangan dari beberapa
negara
terhadap
resolusi
tersebut,
Presiden
Majelis
Umum
PBB
mengakhiri sesi perdebatan dan kemudian pemungutan suara dilakukan.
Pada pemungutan suara ini Indonesia memberikan suara setuju pada
resolusi tersebut. Hasil dari pemungutan suara ini secara keseluruhan
adalah, 138 negara mendukung, 9 negara menentang, 41 negara abstein
dan 5 negara absen.
4. Dukungan Rakyat Indonesia
a. Jalur pemerintah, diplomasi melalui jalan perdamaian.
b. Jalur non pemerintah/profesional, atau perdamaian melalui resolusi
konflik.
c. Jalur
bisnis,
atau
diplomasi
perdamaian
melalui
perdagangan
(Commerce). Jalur warga negara privat, diplomasi perdamaian melalui
peran individu.
d. Jalur penelitian, pelatihan, dan pendidikan, diplomasi perdamaian
melalui pembelajaran.
e. Jalur aktivisme, atau diplomasi perdamaian melalui advokasi.
f. Jalur agama, atau diplomasi perdamaian melalui kepercayaan.
g. Jalur Pendanaan, atau diplomasi perdamaian melalui pemberdayaan
sumber daya.
h. Jalur Komunikasi dan media, atau diplomasi perdamaian melalui
informasi.
B. SIKAP INDONESIA ATAS PENOLAKAN PENGAKUAN ISRAEL
Pada 14 mei 1948 David Ben mengumumkan secara resmi berdirinya
negara Israel dengan berpijak pada resolusi PBB No. 181 ( UN Partitation
Plan ) sebagai legitimasinya. Negara Israel sampai sekarang masih tetap
tidak diakui oleh negara arab, kecuali dua negara yang telah membuat
perjanjian perdamaian dengan negara tersebut yaitu mesir dan yordania.
Pada tanggal 11 mei 1949 israel diterima sebagai anggota PBB.
Penolakan Israel terhadap permintaan Palestina di PBB itu tidak terlepas
dari masalah daerah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Wilayah
tersebut bersama wilayah Jalur Gaza telah dicaplok oleh Israel sejak tahun
1967. Kemudian Jalur Gaza sudah dikembalikan kepada Palestina pada
2005. Secara bertahap sebagian wilayah Tepi Barat juga dikembalikan ke
15
Palestina.
Permasalahannya
adalah
wilayah
Tepi
Barat
yang
belum
dikembalikan sebagian sudah dibangun pemukiman Yahudi. Memang, Israel
membutuhkan wilayah baru untuk menampung masyarakat Yahudi yang
selalu bertambah, akibat imigrasi atau yang lain. Tepi Barat dan Yerusalem
Timur yang menurut resolusi PBB di atas milik Palestina, menjadi wilayah
tempat penampungan kaum Yahudi tersebut. Pembangunan pemukiman
terus dilakukan oleh Israel, padahal mendapatkan protes dari berbagai
pihak. Hal itu juga yang menjadi hambatan perundingan perdamaian antara
Palestina dan Israel.
Secara nomatif Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya
selalu
berlandaskan pada
Undang-Undang Dasar 1945 yang mejadi
landasan konstitusinya. Terkait dengan ketiadaan hubungan diplomatik
dengan Israel, Indonesia berdasarkan pada isi Pembukaan UUD 1945 pada
alinea pertama Berdasarkan pada penggalan konstitusi yang menjadi dasar
segala perundang-undangan di Indonesia tersebut, maka telah cukup jelas
sebagai landasan mengapa Indonesia tetap bertahan untuk tidak membuka
hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini terkait dengan pendudukan yang
dilakukan Israel atas tanah Palestina yang mana hal tersebut dinilai
Indonesia termasuk pada suatu bentuk “penjajahan”. Sehingga kalau
Indonesia membuka hubungan dengan Israel, dianggap sama saja dengan
menjustifikasi
dan
melegitimasi
penjajahan
Israel
terhadap
bangsa
Palestina, maka secara otomatis merupakan suatu pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip konstitusional.12
Hubungan diplomatik antara Israel dan Indonesia, terkait isu palestina
dan konflik Palestian dan Israel dewasa ini, Indonesia sangat memberikan
perhatian terhadap upaya untuk mendukung kemerdekaan rakyat palestina.
Penolakan Israel mengizinkan delegasi RI memasuki Ramallah yang
memperlihatkan
terus
berlanjutnya
arogansi
negara
Zionis,
juga
mencerminkan kekhawatirannya pada peningkatan diplomasi RI untuk terus
mendukung kemerdekaan berdaulat penuh negara Palestina. Membuat
Israel semakin jauh kian menjauh dari Indonesia. Bukan rahasia lagi, Israel
sejak waktu lama menginginkan dan berusaha keras agar RI dapat
membuka hubungan diplomatik di antara kedua negara. Israel memandang,
12 Mawardin. 2011. Prospek Hubungan Bilateral Indonesia-Israel Dalam Perspektif Ekonomi
Politik, 2011, hlm. 51-52 http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/1401
16
hubungan diplomatik dengan Indonesia—sebagai negara Muslim terbesar—
dapat
membuka
pengakuan
lebih
luas
terhadap
Israel
di
tingkat
internasional.
Tetapi Indonesia secara konsisten menolak walau dalam kasus-kasus
tertentu terjadi kontak dan hubungan diam-diam melalui orang perorang.
Adalah Presiden Soekarno yang memulai penolakan berhubungan dengan
Israel. Bung Karno mengeluarkan Israel (dan Taiwan) dari daftar negara yang
ikut dalam Asia Games 1962 di Jakarta. Tetapi pada 1993 Presiden Soeharto
menerima PM Israel Yitzhak Rabin di kediamannya di Jalan Cendana Jakarta.
Pak Harto berhujjah, ia menerima Rabin dalam kaitan dengan Indonesia
sebagai Ketua Gerakan Non-Blok dan juga guna menjajaki tindak lanjut
Persetujuan Oslo. Inilah satu-satunya pertemuan tingkat tinggi di antara
kedua negara.
Selanjutnya
pada
1999
Presiden
Abdurrahman
‘Gus
Dur’
Wahid
menyatakan keinginannya membuka hubungan dagang langsung dengan
Israel. Mendapatkan tantangan dari kebanyakan umat Islam Indonesia,
Presiden
Gus
Dur
‘terpaksa’
mengurungkan
niatnya
tersebut.
Pada
perspektif terhadap Israel, Presiden Wahid tidak dapat memungkiri bahwa
Israel merupakan bangsa yang benar-benar hebat. Oleh karenanya dapat
dikatakan sebagai satu kerugian bagi Indonesia apabila Indonesia tetap
menolak berhubungan dengan Israel. Bahwa Indonesia seharusnya tidak
hanya mengkritik kejahatan dan kebiadaban kaum zionis Israel terhadap
Palestina saja, tetapi juga mencontoh nilai-nilai positif yang dimiliki Israel,
khususnya dalam aspek pendidikan.
13
Presiden SBY membuka sedikit celah bagi Israel dengan menyatakan,
hubungan diplomatik antara kedua negara mungkin dapat dibuka setelah
Israel memberikan kemerdekaan dan kedaulatan sepenuhnya bagi negara
Palestina. Peningkatan aksi brutal Israel bersamaan dengan perampasan
tanah Palestina untuk pemukiman ilegal Yahudi, meningkatkan kecaman
pemerintah
dan
masyarakat
Indonesia
terhadap
Israel,
sehingga
kemerdekaan Palestina kian jauh.
Pada pemerintahan Presiden Jokowi, RI membuka Konsultan RI di
Ramallah (KJRI), Israel menolak pembukaan KJRI. Karena itulah pemerintah
13 Muhammad Ibrahim Hamdani. Peran KH Abdurrahman Wahid dalam Misi Perdamaian IsraelPalestina (Bagian I), 2012.
17
RI memutuskan mengangkat Konsul Kehormatan, yang lazimnya adalah dari
kalangan tokoh masyarakat lokal. Meski Konsul Kehormatan memiliki
wewenang terbatas, dalam konteks Palestina memiliki simbolisme penting.
Israel nampaknya melihat Konsul Kehormatan RI itu bagaimanapun mewakili
kehadiran Indonesia di bumi Palestina yang masih dikuasai Israel. Melihat
sikap Israel seperti itu, bisa dipastikan usaha Indonesia memainkan peran
mediasi
lebih
aktif
dalam
menciptakan
perdamaian
dan
sekaligus
kemerdekaan negara Palestina sangat tidak mudah. Boleh jadi Indonesia
akhirnya harus berhadapan langsung dengan Israel.
Memang, pernah ada moratorium pembangunan pemukiman Yahudi pada
pertengahan 2009 sampai pertengahan 2010, untuk memberikan peluang
adanya negosiasi perdamaian Palestina dan Israel. Tetapi, sejak setahun
lalu, pembangunan pemukiman dilanjutkan kembali dan Palestina menarik
diri dari perundingan. Pemerintahan Israel tidak dapat lagi menghentikan
pembangunan pemukiman, karena mereka adalah pemerintah koalisi yang
antara lain didukung oleh kelompok pendukung pembangunan pemukiman.
Avigdor Lieberman adalah tokoh keras pro pembangunan pemukiman yang
saat ini menjadi Menteri Luar Negeri Israel.
C. PERAN DEWAN KEAMANAN PBB
PBB yang merupakan organisasi internasional yang beranggotakan
negara-negara di kawasan dunia yang salah satu tujuannya memelihara
keamanan dan perdamaian dunia. Konflik antara Palestina-Israel menuntut
keterlibatan PBB dalam proses perdamaian kedua negara tersebut. Sejak
pertama kali berdiri pada 24 Oktober 1945, PBB
14
menjadi tumpuan harapan
bagi seluruh masyarakat dunia. Kehadiran PBB diharapkan dapat menjadi
aktor yang mampu memayungi kepentingan negara anggotanya (a reliable
International agent). Meski bukan world government (Pemerintah Dunia),
PBB diharapkan mampu membawa dunia dari konfrontasi ke arah kooperasi.
Hal itulah yang membuat semua negara di dunia turut serta dan secara
sukarela menjadi anggota PBB.
Tabel 1.1 Konflik yang melanda Israel dan Palestina
NO TAHUN
1)1948 - 1967
KASUS
Perang Arab Israel ( 1948 )
14 Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010,
hlm. 548
18
Persetujuan Genjatan Senjata ( 1949 )
Perang Suez ( 1959)
Perang Enam Hari ( 1967)
Pendudukan Jalur Gaza oleh Mesir
2.
1967 - 1993
Pendudukan Tepi barat dan Yerusallem oleh Yordan
War or Attrition ( 1970 )
Peang Yom Kippur ( 1973 )
Perang Lebanon ( 1982 )
3
1996 - 2008
Perang Teluk ( 1990 )
Kerusuhan Terowongan Al Aqsa ( 2006 )
Israel menyerang Gaza ( 2008 )
1) Implementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB no 242
Dikeluarkannya Resolusi 242 oleh Dewan Kemanan PBB pada 22
November 1967, merupakan suatu prestasi diplomatik dalam konflik ArabIsrael. Resolusi itu menekankan "tidak dapat diterimanya perebutan wilayah
melalui perang" dan memuat rumusan yang sejak itu mendasari semua
inisiatif perdamaian tanah bagi perdamaian. Sebagai ganti ditariknya
pasukan dari wilayah Mesir, Yordania, dan Syria yang direbut dalam perang
1967, Israel diberi janji perdamaian oleh negara-negara Arab. Resolusi itu
menjadi landasan bagi penyelenggaraan pembicaraan-pembicaraan damai
antara Israel dan negara-negara Arab yang dimulai di Madrid, Spanyol, pada
1991.
2) Implementasi Resolusi Dewan Keamanan PBB No 338
a) Menghimbau pihak-pihak yang terlibat untuk memulai (penghentian
tembak-menembak) segera setelah dilaksanakannya resolusi Dewan
Keamanan no 242 (1967) tentang gencatan senjata dan semua
bagiannya.
b) Memutuskan bahwa segera dan bersamaan dengan gencatan senjata
negoisasi-negoisasi akan segera di mulai antara pihak-pihak yang terkait
dengan perlindungan yang tepat untuk menegakkan perdamaian yang
adil dan abadi di Timur Tengah.
3) Implementasi Perjanjian Camp David 1978
Implementasi dari Perjanjian Camp David mengenai perdamaian yang
terpisah antara Mesir dan Israel tidak ambigu atau sangat jelas. Perjanjian
tersebut dilihat sebagai sinyal bahaya bahwa kebijakan luar negeri AS
19
diarahkan dengan gaya NATO yang sangat kuat atau dengan menaruh
kekuatan militer di Timur Tengah. Sementara dari pemerintahan Arab Saudi
sendiri menganggap bahwa perjanjian tersebut mengkhianati umat muslim
Palestina, yang berarti mengakui keberadaan Israel di Palestina, karena
seharusnya Israel menarik diri dari Palestina seluruhnya. Sementara raja
Husein dari Yordania menanggapi perjanjian tersebut dengan merasa
terkhianati oleh AS yang sepertinya telah menyalahi atau menyakiti hati
orang Arab.15
Dalam upaya perdamaian konflik Israel-Palestina, PBB menjadi mediator
yang berusaha untuk memediasi kepentingan antara Palestina dan Israel.
Selain itu, terdapat banyak resolusi yang dikeluarkan oleh PBB yang
mempengaruhi konflik antara Israel-Palestina. Mediasi yang dilakukan oleh
PBB adalah usaha diplomatik yang ditujukan untuk penyelesaian konflik
Israel-Palestina. Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB 242 dan
338, PBB telah terlibat dalam setiap upaya negosiasi Israel-Palestina, secara
tidak langsung. Keterlibatan PBB tersebut telah dimulai sejak tahun 1947,
yaitu pemisahan Palestina menjadi Negara Yahudi dan Negara Arab melalui
Resolusi 181. Resolusi tersebut ditolak secara tegas oleh negara-negara
Arab yang mendukung Palestina.
Pasca pecahnya perang awal antara Israel-Arab, kemudian pada 15 juli
1948 melalui Resolusi DK PBB 54 terdapat perintah gencatan senjata untuk
semua pihak guna mengakhiri perang, tetapi pada ahkirnya tidak ada yang
melakukannya. Israel sendiri menjadi anggota tetap dalam PBB pada
tanggal 11 Mei 1949. Palestina sendiri pada saat itu bukan anggota PBB,
menganggap bahwa arah resolusi yang dikeluarkan PBB serta negosiasi
yang dilakukan lebih menguntungkan Israel.
PBB juga mengambil peranan dalam Six Day War 1967, dimana sebuah
proposal mediasi dikeluarkan melalui Resolusi DK PBB 242, tepatnya pada
tanggal 22 Oktober 1967. Teks resolusi ini mengacu pada penarikan
pasukan militer kedua belah pihak dari wilayah konflik, penghentian semua
klaim dan kemerdekaan semua negara yang terlibat. Israel menerima
resolusi ini, namun Israel tetap bersikeras bersikap bahwa penarikan
pasukan
dari
Negara
yang
didudukinya
dilakukan
melalui
negosiasi
15 World Reaction: Camp David Could Lead to World War III. Executive Intelligence Review,
Volume 6, number 13, April 3st 1979. Hlm 26-27
20
langsung yang mengesampingkan PBB. Negosiasi langsung ini dibuat Israel
demi
melindungi
kepentingan
dan
haknya
sebagai
pihak
yang
memenangkan Six Day War, Israel beranggapan bahwa jika dilakukan
negosiasi dalam PBB maka kepentingan dan haknya akan dibatasi serta
akan ada faktor eksternal yang akan mempengaruhi proses negosiasi. Pada
proses negosiasi langsung inilah Israel menyerukan permintaanya Land for
Peace kepada Palestinian Liberation Organization (PLO).
Dari awal konflik hingga sampai saat ini, PBB sering dikesampingkan
dalam usaha perdamaian antara Israel-Palestina. DK PBB yang memiliki
tanggung jawab utama untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional sesuai dengan Piagam PBB, belum mampu untuk mengatasi
konflik
Israel-Palestina.
Beberapa
Negara
bahkan
menggunakan
pengaruhnya untuk menjauhkan isu ini dari agenda PBB. Upaya perdamaian
konflik Israel-Palestina menjadi lebih sering dilakukan oleh Majelis Umum
PBB.
BAB III KESIMPULAN
Motivasi
Dukungan
Indonesia
atas
pengakuan
Palestina
antara
lain
dipengaruhi beberapa faktor yaitu Anti kolonoalisme, Islam , Kemanusiaan,
Perdamaian Dunia, Stabilitas Politik dalam Negeri, Agenda Utama dan
Politik Luar Negeri. Bentuk dukungan Indonesia terhadap Paestina yaitu
dalam KAA, Asian Games, oki, DK PBB , NAASP, Bantuan financial Rumah
sakit dan Kunjungan DPR RI kepalestina. Penolakan Palestina ini dilakukan
oleh 3 negara yaitu Amerika Serikat, Israel, dan Iran, Tetapi Indonesia
dengan semangatnya membela Palestina agar menjadi negara yang baru.
Hubungan Diplomatik antara Indonesia dengan Israel semakin buruk,
terlebih setelah penolakan Israel terhadap Palestina. Penolakan Israel
mengizinkan delegasi RI memasuki Ramallah yang memperlihatkan terus
berlanjutnya arogansi negara Zionis, juga mencerminkan kekhawatirannya
pada peningkatan diplomasi RI untuk terus mendukung kemerdekaan
berdaulat penuh negara Palestina. Membuat Israel semakin jauh kian
menjauh dari Indonesia. Peran DKK PBB untuk menyelesaikan konflik
berkepanjangan antara lain : DK sebagai pihak yang bertanggung jawab
atau mediator penyelesaian konfilk tersebut tidak berhasil , Peran DK PBB
dalam meneyelesaikan konflik tersebut lamban dan tanggung jawab atas
21
keamanan dan perdamaian internasional yang menjadi tujuan didirikannya
PBB tidak dapat dicapai DK PBB
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala. 1993. Aspek – aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Rajawali
Pers. Jakarta.
Al Banna, Shofwan . 2006. Palestine, Emang gue Pikirin? . Pro You .Jogyakarta.
Effendi, Mahsyur A. 2011. Prinsip Pengakuan dalam Pembentukan Negara
ditinjau dari Hukum Internasional. Lex Jurnalica :
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Vol. 8
No. 3 Agustus 2011.
Ibrahim, Muhammad Hamdani. 2012. Peran KH Abdurrahman Wahid dalam Misi
Perdamaian Israel-Palestina (Bagian I.
Islamiyah, Nur. 2016. Aspek Historis Peranan PBB dalam Penyelesaian Konflik
Israel Palestina 1967-1995. AVATARA : e-Journal Pendidikan
Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri
Surabay. Vol. 4, No.3 oktober.
Istanto,
Sugeng.
1994.
Hukum
Internasional.
Universitas
Atma
Jaya.
Jogyakarta.
Kusuma, Mochtar Atmadja. 1989. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta.
Bandung.
Mauna, Boer. 2003. Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi
Dalam Era Dinamika Global. PT Alumni. Bandung.
Mawardin. 2011. Prospek Hubungan Bilateral Indonesia-Israel Dalam Perspektif
Ekonomi Politik. Unhas Pers.
Morgenthau, Hans J. 2010. Politik Antar Bangsa.
Yayasan Pustaka Obor
Indonesia. Jakarta.
Shaw, Malcolm N. 1986. ”International law”. Butterworths. London.
Soekanto, Soerjono. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.
Tasrif, S. 1996. Pengakuan dalam Teori dan Praktik. Media Raya. Jakarta.
Widyawati , Anis. 2008. Kajian Hukum Imternasional terhadap HAM. Pandecta :
Universitas Negeri Semarang. Vol. 2 No. 2.
World Reaction: Camp David Could Lead to World War III. Executive Intelligence
Review.Vol. 6 No. 13, April 3st 1979.
22