Dapatkah Undang Undang yang Meratifika

A. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki 2 lembaga negara yang memiliki fungsi judicial review yakni
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam hal pengujian
undang-undang terhadap UUD NRI 1945. Sedangkan Mahkamah Agung berwenang untuk
menguji peraturan dibawah Undang–Undang terhadap Undang–Undang. Pengaturan tersebut
menimbulkan masalah ketika ada Undang-Undang atau produk hukum lain yang merupakan
hasil ratifikasi perjanjian internasional dalam sistem penegakkan konstitusi di Indonesia.
Indonesia terikat pada perjanjian internasional ketika parlemen dan Presiden telah
meratifikasi Perjanjian Internasional tersebut dalam bentuk “undang-undang”. Indonesia baru
mengakui hukum internasional setelah adanya adopsi khusus tehadap perjanjian
internasional. Adopsi khusus ini dibentuk dengan mekanisme membentuk peraturan hukum
setingkat undang-undang. Oleh karena berbentuk undang-undang, maka menjadi persoalan
tersendiri apakah undang-undang ratifikasi ini dapat dikategorikan ke dalam hierarkis
peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,
sehingga berimplikasi pada dilakukannya judicial review oleh Mahkamah Konstitusi.
Kedudukan Undang – Undang yang meratifikasi perjanjian internasional ini masih
dipertanyakan apakah memiliki kedudukan dalam Undang–Undang dalam sistem hierarki
peraturan perundang–undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang–Undang No. 11 Tahun
2012? Atau Undang–Undang ratifikasi ini berada di luar hiearaki perundang – undangan?
Ketidakjelasan kedudukan Undang–Undang yang meratifikasi perjanjian internasional

inipun menuai implikasi berupa kaburnya hak-hak masyarakat untuk menguji produk hukum
hasil ratifikasi yang merugikan beberapa pihak. Mengingat hukum internasional pun tidak
dapat diuji dalam pengadilan tunggal nasional. Dari sinilah timbul pertanyaan siapakah yang
memiliki wewenang untuk melakukan judicial review terhadap perjanjian internasional? Dan
seberapa jauhkah hak dan kewajiban Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan tugasnya?
Tidak hanya ada pembedaan dalam lembaga yang berhak menguji di Indonesia juga
ada pembedaan dalam hak pengujian formal dan hak pengujian material. Pengujian formal
terkait dengan masalah prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang
membuatnya. Sedangkan hak pengujian material (materiele toetsingsrecht) adalah suatu
wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan itu
sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu

kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.1
Dari pembedaan tersebut apakah Undang – Undang hasil ratifikasi bisa di judicial review
dalam pengujian material atau pengujian formil? Dalam judicial review ini apakah yang bisa
diuji? Undang – Undang ratifikasinya atau isi perjanjian yang diratifikasi?
Ketidakjelasan sistem dan pengaturan mengenai pengujian Undang – Undang yang
meratifikasi Perjanjian Internasional dan salah tafsir yang kerap dilakukan oleh beberapa
kalangan nampaknya perlu kita luruskan untuk melindungi hak hak masyarakat sendiri,
menghormati Hukum Nasional dan menghargai Hukum Internasional yang telah mengikat

melalui sistem ratifikasi.
B. RUMUSAN MASALAH
Masih rancunya pengaturan sistem hukum Internasional di Indonesia memicu berbagai
dilema diantaranya posisi Undang-Undang yang meratifikasi perjanjian internasional dan
organ negara mana yang memiliki kewenangan untuk menguji Undang-Undang tersebut.

1 Suripto, Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review) ; Jimly Asshiddiqie,
“Menelaah Putusan Mahkamah Agung Tentang ‘Judicial Review’ atas PP No.19/2000 yang bertentangan dengan
UU No 31 Tahun 1999” dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Tim, (Jakarta; Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), 96-97.

C. ANALISIS
1. Judicial Review
Pengujian undang undang atau Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
S.H. adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap
kebenaran suatu norma.2 Teori pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsing
dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya digunakan untuk membedakan
antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele
zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undangundang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang

adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian
formil.3
Menurut Pasal 51 ayat [1] UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
pihak yang berhak untuk mengajukan pengujian materiil maupun formil adalah pihak yang
hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pihak yang berhak mengajukan
judicial review adalah:
1. perorangan warga negara Indonesia;
2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
3. badan hukum publik atau privat; atau
4. lembaga negara.
Judicial review merupakan pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari
pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil
adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang
dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
2. Undang-Undang apa saja yang berhak untuk di uji?
Berdasarkan pada asas “lex superiori derogat legi inferiori”, yang mana berarti bahwa
peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah maka peraturan
yang lebih rendah dalam suatu hierarki tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih

tinggi, sehingga disinilah letak hierarki yang dimaksud. Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang2 Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 1-2)
3 Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 57-58)

undang No. 12 tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan disebutkan lebih lanjut
mengenai hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,yaitu UndangUndang Dasar NRI 1945 sebagai peraturan tertinggi dalam hierarki tersebut yang kemudian
diikuti oleh Tap MPR dalam urutan kedua dan kemudian Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-undang dalam urutan ke tiga. Sehingga dalam pengujian
Undang-Undang maka sudah pastilah peraturan di atasnya yang dijadikan batu ukur sah
tidaknya Undang-Undang tersebut yang dalam hal ini UUD NRI 1945.
Pengujian Undang-Undang itu sendiri merupakan seuatu wewenang untuk menilai
apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak
mengeluarkan suatu peraturan tertentu. (Sri Soemantri, 1986.) Namun kemudian dalam hal
pengujian Undang-Undang itu sendiri, Undang-Undang apa saja yang dapat diuji?
Maka kita perlu melihat di dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebelum dihapuskan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan jika Undang-Undang yang dapat di uji ialah
Undang-Undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, dan dinyatakan
bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sehingga seluruh Undang-Undang yang diundangkan
setelah perubahan UUD NRI 1945 dapat untuk dimohonkan pengujian kepada Mahkamah

Konstitusi. Namun, setelah adanya judicial review Pasal 50 Undang-Undang No, 24 Tahun
2003 tersebut yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 2011, Pasal 50
dalam Undang-Undang tersebutpun dihapuskan. Sehingga berdampak pada aturan mengenai
Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji, dimana apabila sebelummnya
permohonan pengujian berlaku hanya untuk Undang-Undang yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945 maka dengan adanya Judicial Review tersebut seluruh UndangUndang baik yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 ataupun sebelum perubahan
UUD 1945 dapat untuk diajukan permohonan pengujian.
3. Mekanisme Pengujian Undang-Undang
Dalam hal pengujian suatu Undang-Undang mekanisme pengujian adalah salah satu
hal yang paling penting. Ibarat sebuah produksi bahan makanan, mekanisme adalah alat yang
digunakan untuk melakukan produksi dimana mengubah bahan baku mentah menjadi bahan
makanan. Sama halnya dengan pengujian Undang-Undang, mekanisme pengujian Undang-

Undang ialah suatu tahap yang harus dilewati oleh si Pemohon pengujian agar UndangUndang yang ia mohonkan dapat diuji.
Mekanisme pengujian Undang-Undang itu sendiri diatur secara rinci dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian
Undang-Undang dimana mekanisme pengujian Undang-Undang meliputi sembilan tahap,
yaitu:
1. Pengajuan Permohonan.
Permohonan pengujian Undang-Undang meliputi pengujian formil dan/atau pengujian

materiil, dimana pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian UU yang
berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk
pengujian materiil.4 Pengajuan Permohonan tersebut diajukan secara tertulis dalam
Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap yang memuat
tentang:
a. Identitas Pemohon;
b. Uraian mengenai hal aygn menjadi dasar permohonan;
c. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus.
Disamping mengajukan dalam bentuk tertulis, permohonan juga diajukan dalam
format digital yang disimpan secara elektronik.5
2. Pemeriksaan kelengkapan Permohonan oleh panitera MK
Panitera Mahkamah Konstitusi akan melakukan pemeriksaan tentang kelengkapan
administrasi daripada Permohonan tersebut. Apabila Permohonan tersebut telah
dinilai lengkap, maka berkas permohonan dinyatakan diterima oleh Petugas
Kepaniteraan dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara kepada Pemohon.
Namun apabila berkas permohonan dinilai belum lengkap, maka Panitera Mahkamah
akan memberitahukan kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang harus
dipenuhi, dan Pemohon diberikan waktu 7 hari kerja sejak diterimanya Akta

Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas untuk melengkapi permohonannya. Dan
4 Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005
5 Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005

apabila telah lewatnya batas waktum namun Pemohon tidak melengkapi kekurangan
permohonannya maka Panitera akan menerbitkan Akta yang menyatakan bahwa
permohonan tersebut tidak diregitrasi dalam BRPK (Buku Registrasi Perkara
Konstitusi) dan diberitahukan kepada Pemohon sekaligus dengan pengembalian
berkas permohonan.6
3. Registrasi Perkara
Selanjutnya Panitera akan mencatat permohonan tersebut dalam BRPK dan diberi
nomor perkara, Panitera akan membuatkan akta. Mahkamah selanjutnya wajib
menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden melalui surat yang
ditandatangani Panitera untuk diketahui, paling lambat 7 hari setelah dicatatkan dalam
BRPK. Mahkamah wajib memberitahukan kepada Mahkamah Agung agar Mahkamah
Agung menghentikan pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang sedang diuji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU Nomor 24 Tahun 2003 yang kemudian
diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi
dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak dicatatkan dalam BRPK.
4. Pembentukan Panel Hakim

Penitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada ketua MK
untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian
Undang-Undang tersebut.
5. Penjadwalan Sidang dan Panggilan Sidang
Pada waktu 14 setelah permohonan dicatat dalam BRPK ketua Panel Hakim
menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan. Penetapan
ini diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan kepada masyarakat dengan
menempelkan

pada

papan

pengumuman

MK

dan

dalam


situs

www.mahkamahkonstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan
elektronik. Pemanggilan Sidang sudah harus diterima oleh Pemohon atau Kuasanya
paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
6. Pemeriksaan Pendahuluan
Hakim dalam pemeriksaan persiapan ini memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon, dan pokok permohonan. Dan dalam pemeriksaan persiapan ini
Hakim wajib memberi nasehat kepada Pemohon dan/atau Kuasanya untuk
6 Pasal 6 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005

melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari. Bila Hakim berpendapat jika permohonan Pemohon telah lengkap dan jelas,
Panitera dapat menyampaikan salinan permohonan yang dimaksud kepada Presiden,
DPR, dan Mahkamah Agung.
7. Pemeriksaan Persidangan dan bukti-bukti
Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum, Majelis Hakim yang terdiri dari
sembilan Hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa

bukti-bukti yang sudah diajukan.
Pemeriksaan persidangan berfungsi untuk:
a. pemeriksaan pokok permohonan;
b. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
c. mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
d. mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
e. mendengarkan keterangan saksi;
f. mendengarkan keterangan ahli;
g. mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
h. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa
yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk;
i. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu.
Dan atas permintaan Hakim, keterangan yang terkait dengan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam huruf c sampai dengan huruf g wajib disampaikan baik
berupa keterangan tertulis, risalah rapat, dan/atau rekaman secara elektronik, dalamm
jangka waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak diterimanya permintaan
dimaksud dan pemeriksaan persidangan dapat pula dilakukan dengan teleconference.
Setelah pemeriksaan persidangan dinyatakan selesai, para pihak baik Pemohon

maupun Termohon dapat menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau
tertulis selambat-lambatnya 7 hari sejak hari persidangan terakhir, kecuali ditentukan
lain dalam persidangan.
8. Rapat permusyawaratan Hakim
RPH bertujuan untuk mendengar, membahas, dan/atau mengambil keputusan
mengenai:
a. laporan panel tentang pemeriksaan pendahuluan;
b. laporan panel tentang pemeriksaan persidangan;
c. rekomendasi panel tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan permohonan;
d. pendapat hukum (legal opinion) para Hakim Konstitusi;
e. hasil pemeriksaan persidangan pleno dan pendapat hukum para Hakim
Konstitusi;
f. Hakim Konstitusi yang menyusun rancangan putusan;

g. rancangan putusan akhir;
h. penunjukan Hakim Konstitusi yang bertugas sebagai pembaca terakhir rancangan
putusan;
i. pembagian tugas pembacaan putusan dalam sidang pleno.
9. Putusan
Putusan diambil dalam RPH yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim
Konstitusi dan dibaca/diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang
dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi.
4. Pengertian Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang terpenting dewasa ini, karena
menjadi instrumen utama pelaksanaan hubungan internasional antara subyek hukum
internasional. Pengertian perjanjian hukum internasional adalah pejanjian yang diadakan
antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum
tertentu.7 Pasal 2 ayat (1a) Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasioanal
menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perjanjian internasional yang disepakati antara
negara-negara dalam bentuk tertulis, baik dalam instrument tunggal atau lebih dari suatu
instrument tunggal yang berhubungan dengan apa pun nama instrumen tersebut.
Proses pembentukan perjanjian internasional, menempuh berbagai tahapan dalam
pembentukan perjanjian internasional, yakni penjajakan, perundingan, perumusan naskah,
penerimaan (acceptance), penandatanganan. Penandatanganan merupakan tahap akhir dalam
perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasioanal yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatangan perjanjian
internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan perjanjian
internasional dapat dilakukan melalui pengesahan, (ratification /accession /acceptance/
approval).
5. Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia
Perjanjian Internasional yang merupakan kaidah hukum internasional tidak dapat
secara langsung diberlakukan dalam hukum nasional. Oleh karena itu, untuk memberlakukan
kedua sistem hukum ini diperlukan proses adopsi khusus (spesific adoption), yakni hukum
internasional yang diadopsi ke dalam hukum nasional. Harus ada transformasi khusus yang
tujuannya untuk mentransformasi hukum internasional ke dalam hukum nasional ini. Sistem
di Indonesia dalam meratifikasi perjanjian internasional juga memiliki adopsi khusu yakni
dengan membuat Undang – Undang yang meratifikasi perjanjian internasional tersebut.
7 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional Hal. 117

Perjanjian internasional yang mempersyaratkan ratifikasi tidak berlaku jika salah satu
pihak belum meratifikasi perjanjian tersebut. Pasal 26 Konvensi Wina 1969: perjanjian
mengikat para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 27:
negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalannya dalam
menjalankan kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional.
Pada pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan
internasional dimana suatu Negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan
untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu ratifikasi tidak berlaku surut,
melainkan baru mengikat sejak penandatanganan ratifikasi.
Dasar kewenangan presiden dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam
pasal 11 Undang-Undang Dasar NRI 1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai
berikut:
(1). Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
(2). Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/
atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
(3). Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-Undang.
Berdasarkan pasal 11 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut, telah diterbitkan surat
Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang berisi ketentuan
- ketentuan sebagai berikut:


Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah – masalah
yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia, Diratifikasi
dengan undang – undang.



Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur tentang masalah-masalah yang
bersifat

teknis

dan

segera,

diratifikasi

dengan

keputusan

Presiden.

Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga adanya
Undang-Undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang juga memuat
ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826.
Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan jenis peraturan perundang-Undangan
diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagai berikut:
a. UUD NRI 1945.

b. Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-Undang (Perpu).
c. Peraturan Pemerintah (PP).
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah Provinsi
f. Peraturan Daerah Kota/Kabupaten
Meskipun dalam Undang-Undang nomor: 10 tahun 2004 tentang Peraturan,
Perundang-undangan tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-undangan, namun
perjanjian Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat
sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 7
ayat 4 Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian Internasional.
Ratifikasi perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c.

kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d.

hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
6. Pengundangan Hasil Perjanjian Internasional
Salah satu hukum dari perjanjian internasional yang telah menjadi hukum nasional
(telah diratifikasi) yaitu UCLOS 1982 yang diundangkan menjadi Undang-Undang 17 Tahun
1985
Dalam suatu hal yang dimuat dalam ratifikasi perjanjian internasional tidak selalu
diatur oleh 1 jenis macam perundangan, misalkan perairan yang diatur Undang-Undang 17
Tahun 1985 Konvensi Hukum Laut (hasil ratifikasi UNCLOS) ternyata perairan juga diatur
dalam jenis peraturan perundangan yang lain yaitu Undang-Undang Perpu 4 tahun 1960.
Dalam hierarki peraturan perundangan Indonesia masing-masing jenis perundangan
memiliki muatan sendiri-sendiri yang harus dimuat dan tentu saja jika dicari lebih jauh dari
yang teratas sampai ke bawah akan mengerucut pada UUD NRI 1945 kemudian sampai ke
grundnorm norma dasar yaitu Pancasila. Hal inilah yang menjadi dasar hal-hal yang berkaitan
dengan perairan nasional hasil ratifikasi UNCLOS harus diundangkan dalam bentuk produk
Undang-Undang. Pada hasil perjanjian konvensi laut 1982 banyak mengatur tentang
kedaulatan, wilayah negara, dan pembagian daerah. Seperti yang telah disebutkan, meskipun

Undang-Undang 1985 ini merupakan perundangan yang diserap dari Perjanjian Internasional
namun ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak boleh bertentangan dengan norma dasar negara
kita, sehingga untuk itulah diadakan pengesahan dengan persetujuan antara presiden dan DPR
dalam meratifikasi suatu perjanjian Internasional.
Selain itu Indonesia juga meratifikasi Piagam Asean perjanjian internasional pada
tingkat regional Asean. Perjanjian ini merupakan landasan bagi pemberlakuan pasar tunggal,
dan produksi tunggal Asean.
Dengan landasan Piagam Asean, ditandatangani liberalisasi perdagangan dengan
China, Korea, Jepang (Asean+3), dan juga dengan India, Australia, Selandia Baru (Asean+6)
serta dengan kawasan lainnya di dunia. Pemerintah kemudian meratifikasi Piagam Asean
melalui Undang-Undang No. 38 Tahun 2008.
Namun di lain sisi, banyak yang tidak menyetujui adanya undang-undang yang
meratifikasi Asean Charter. Permohonan uji materi pun diajukan oleh sejumlah LSM yang
tergabung dalam Aliansi untuk Keadilan Global. Namun oleh MK menolak permohonan uji
materi Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 2 ayat (2) huruf n Undang – Undang No.38 Tahun 2008
tentang Pengesahan Piagam ASEAN.
Pasal 1 angka (5) mengatur prinsip pasar tunggal dengan basis produksi tunggal, yang
berarti pelaksanaan kesepakatan perdagangan ASEAN itu harus sama (homogen). Ketentuan
ini menjadi landasan bagi ASEAN untuk melakukan perdagangan bebas di tingkat ASEAN.
Seperti ACFTA, ASEAN-Korean Free Trade Aggreement, dan ASEAN-Ausralian Free Trade
Agreement.
Aliansi menilai pemberlakuan Piagam ASEAN yang menyangkut perdagangan bebas
itu merugikan industri dan perdagangan nasional. Sebab, Indonesia harus tunduk dengan
segala keputusan yang diambil di tingkat ASEAN. Karena itu, para pemohon meminta MK
membatalkan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n UU Pengesahan Piagam ASEAN
karena dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
7. Apakah Undang-Undang hasil ratifikasi dapat dijudicial review?
Suatu Perjanjian Internasional diratifikasi oleh UU dan seolah-olah Perjanjian
Internasional tersebut menjadi UU padahal Perjanjian Internasional bukanlah wet in formele
zijn (UU Formal), sehingga bukan undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian di
Mahkamah Konstitusi (MK).

Berdasarkan hukum positif di Indonesia prosedur internal sebagaimana diatur dalam
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi perjanjian internasional
tidak memerlukan pengujian ke MK. Mahkamah Konstitusi juga tidak memiliki kewenangan
untuk menguji Undang – Undang tersebut terlebih Undang-Undang Dasar NRI 1945 tidak
memberi wewenang atau menentukan MK sebagai sebuah forum yang memiliki wewenang
menguji perjanjian internasional. Sebab, UU yang menjadi wewenang MK sesuai Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 hanya untuk menguji undang – undang, hal ini tidak mutatis mutandis
(otomatis) sama dengan UU ratifikasi perjanjian internasional berdasarkan Pasal 11 UUD
1945. Tidak menjadi original intent dari Pasal 11 UUD 1945, jika perjanjian internasional
dan “persetujuan” DPR (ratifikasi) terhadap perjanjian internasional disamakan dengan
Undang - Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 5, 20, dan 22A UUD 1945. Persetujuan
DPR terhadap perjanjian internasional tidak harus disamakan dengan persetujuan bersama
DPR-Presiden terhadap RUU sesuai Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
Undang – Undang yang meratifikasi perjanjian internasional sebenarnya hanyalah
merupakan syarat konstitusional seperti yang diminta oleh Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945.
Muhammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa "tidak
diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga
persetujuan DPR itu sendiri berupa apa pun telah mencakupi syarat formil menurut Undang –
Undang Dasar NRI 1945.
Telah menjadi kesepakatan di kalangan pakar hukum tatanegara dan tidak pernah
dipersoalkan sampai saat ini bahwa sumber hukum tatanegara adalah UUD, UU, traktat,
dimana traktat berdiri sendiri dan terpisah dari UU.Itulah sebabnya salah satu hakim MK, Dr.
Harjono SH mengatakan "Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau traktat disebut
sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang".8

8. Langkah yang dapat ditempuh apabila tidak dapat melakukan Judicial Review
1. Langkah Preventif
Meratifkasi Sebagian
Suatu negara dapat terikat pada hanya sebagian dari suatu perjanjian internasional
bertujuan agar perjanjian internasional berfungsi efektif pada negara yang meratifikasi dan

8 Transformasi Demokrasi, 2010

untuk menghindari permasalahan-permasalahan ketika negara tunduk pada suatu perjanjian
internasional.
Undang-Undang no.24 Tahun 2000
Pasal 8
(1) Pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan pensyaratan dan/atau pernyataan,
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian internasional tersebut;
(2) Pensyaratan dan pernyataan yang dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian
internasional harus ditegaskan kembali pada saat pengesahan perjanjian tersebut;
(3) Pensyaratan dan pernyataan yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia dapat ditarik
kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis atau menurut tata cara yang dtetapkan dalam
perjanjian internasional.
Pengertian reservasi secara harfiah diatur di dalam Vienna Convention tentang Law of
Treaty. Indonesia memang tidak secara tegas meratifikasi Vienna Convention itu sendiri,
tetapi perlu diketahui, bahwa meskipun Indonesia tidak meratifikasi Vienna Convention,
tetapi norma-norma yang terdapat pada pasal 20 Vienna Convention diadopsi ke dalam salah
satu pasal di Undang-undang no.24 tahun 2000. Hal itu dapat dibuktikan dengan aturan yang
tertulis di dalam pasal 8 Undang-undang No.24 Tahun 2000 yang substansi pasalnya kurang
lebih sama dengan pasal 20 Vienna Convention on The Law of Treaty.
Pasal 19 sampai dengan pasal 21 Vienna Convention tentang the Law of Treaties 1969
memperbolehkan suatu negara untuk melakukan reservasi kecuali apabila reservasi tersebut
ditolak oleh negara atau bertolak belakang terhadap objektivitas dari suatu perjanjian itu
sendiri. Oleh sebab itu, perlu kajian lebih lanjut apakah perjanjian internasional itu sudah
sesuai dengan konstitusi atau bertentangan.
2. Membuat Perjanjian Internasional Yang Baru
Sebelum membuat perjanjian internasional yang baru, perjanjian internasional yang lama
harus diakhiri terlebih dahulu untuk menjamin kepastian hukum kecuali apabila para pihak
yang mengadakan perjanjian menyepakati sebaliknya. Untuk mengakhiri suatu perjanjian
internasional, harus terdapat faktor untuk memicu berakhirnya suatu perjanjian internasional.

Berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969. karena berbagai alasan, suatu perjanjian
internasional dapat batal antara lain disebabkan sebagai berikut.
1. Negara peserta atau wakil kuasa penuh melanggar ketentuan-ketentuan hukum
nasionalnya.
2. Adanya unsur kesalahan (error) pada saat perjanjian itu dibuat.
3. Adanya unsur penipuan dari negara peserta tertentu terhadap negara peserta lain
waktu pembentukan perjanjian
4. Terdapat penyalahgunaan atau kecurangan (corruption), baik melalui kelicikan atau
penyuapan.
5. Adanya unsur paksaan terhadap wakil suatu negara peserta. Paksaan tersebut baik
dengan ancaman maupun penggunaan kekuatan.
6. Bertentangan dengan suatu kaidah dasar hukum intemasional umum
Sedangkan menurut pendapat Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., suatu perjanjian
berakhir karena hal-hal berikut ini9
a) Telah tercapai tujuan dari perjanjian internasional itu
b) Masa berlaku perjanjian internasional itu sudah habis.
c) Salah satu pihak peserta perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian itu.
d) Adanya persetujuan dari peserta-peserta untuk mengakhiri perjanjian itu.
e) Adanya perjanjian baru antara para peserta yang kemudian meniadakan perjanjian
yang terdahulu.
f) Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu
sudah dipenuhi.
g) Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu
diterima oleh pihak lain.
Pasal 62 Konverensi Wina merupakan penerapan dari Asas rebus sic stantibus. Asas
rebus sic stantibus adalah alasan pembenar bagi suatu negara untuk tidak melaksanakan suatu
kewajiban dalam perjanjian atau mengesampingkan Pacta Sunt Servanda. Asas rebus sic
stantibus memberikan jalan keluar apabila ingin ditangguhkannya atau dibatalkannya suatu
perjanjian yang tentunya sesuai persyaratan yang berlaku. Sebagai contoh hubungan asas ini

9 Moechtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional

terdapat pada kasus kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) antar pemerintah Indonesia
dengan Belanda.
Berdasarkan asas pacta sunt servanda kedua belah pihak Indonesia dan Belanda
melaksanakan isi perjanjian, namun dengan seiring berjalannya waktu Indonesia
membatalkan perjanjian tersebut karena terjadi perubahan fundamental dalam tatanan
bernegara dan berbangsa, dimana Indonesia yang dalam isi perjanjian adalan negara serikat
atau Republik Indonesia Serikat (RIS) berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) karena melihat situasi dan kondisi bahwa negara kesatuanlah yang cocok bagi
Indonesia, sehingga Indonesia membatalkan isi perjanjian KMB dengan Belanda. Pemutusan
yang demikian mendapat persetujuan DPR tertanggal 22 Mei 1956 dan di muat dalam UU No
13 tahun 1956. Sehingga jika kita mengkaji contoh kasus tersebut dapat dikatakan asas rebus
sic stantibus dapat menjadi alasan untuk meniadakan asas pacta sunt servanda dalam
perjanjian internasional antar negara baik itu yang bersifat bilateral, multirateral, regional dan
lain sebagainya.
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia keberadaan asas rebus sic
stantibus terdapat dalam pasal 18 UU No 24 tahun 2000.
Pasal 18
Perjanjian internasional berakhir apabila :
a.

Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;

b.

tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;

c.

Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;

d.

Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;

e.

Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;

f.

Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;

g.

Objek perjanjian hilang;

h.

Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Kewenangan membuat perjanjian Internasional menurut UUD NRI 1945 berada di
tangan Presiden tetapi harus berdasarkan persetujuan dari DPR. Pembuatan perjanjian
baru juga harus disesuaikan dengan kondisi, keadaan, dan cita-cita atau tujuan yang ada
di dalam pembukaan UUD 1945 yang ada di Indonesia saat ini. Apabila tidak

menyesuaikan, konsekuensi logisnya adalah akan adanya peraturan yang bertentangan
satu sama lain, oleh sebab itu perlu kecermatan dan kehati-hatian oleh pemerintah dalam
membuat perjanjian internasional yang baru.
Pembuatan Perjanjian Internasional yang baru diatur di dalam Undang-Undang no.24
tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 4
(1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau
lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarka kesepakatan,
dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik;
(2) Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman
pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling
menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional
yang berlaku.

3. Apabila Terdapat Sengketa dalam perjanjian Bilateral, Mengajukan Review
Kepada ICJ
Pentingnya suatu penyelesaian untuk negara – negara yang dirugikan di dalam suatu
perjanjian, mendorong terbentuknya lembaga – lembaga penyelesaian sengketa antara negara,
yang pada intinya memberikan suatu proses penyelesaian bagi negara yang bersengketa.
Berdasarkan hal tersebut maka dibentuklah lembaga penyelesaian sengketa yang salah
satunya adalah ICJ. ICJ terbentuk berdasarkan Statuta yang merupakan lampiran dari Piagam
PBB. Statuta pembentukan ICJ merupakan bagian yang melekat dengan Piagam PBB,
sebagaimana diatur didalam Pasal 92 Piagam PBB.
Penyelesaian sengketa melalui ICJ hanya dapat dilakukan apabila kedua belah pihak
menyepakati penyelesaian dengan ICJ. Prinsip sukarela dari suatu negara dalam
menyerahkan suatu sengketa atau urusan, yang di anut dalam hukum internasional merupakan
prinsip dasar yang diterapkan dalam menentukan kewenangan dari ICJ itu sendiri. Keputusan
untuk menyerahkan suatu sengketa internasional kepada ICJ diserahkan kepada negara –

negara yang sedang bersengketa, dan harus didasarkan pada kesepakatan para pihak yang
bersengketa (non compulsory jurisdiction). Pasal 36 ICJ Statute, menyatakan kata sepakat
antara para pihak untuk menyerahkan sengketanya dapat dilakukan secara umum, atau
dinyatakan sebelum adanya sengketa dan dapat juga dilakukan dengan suatu perjanjian
khusus atau setelah terjadinya sengketa.
Subyek yang dapat menyerahkan sengketa internasional pada ICJ adalah negara
sebagaimana di atur didalam Pasal 34 (1) ICJ Statute. Disebutkan di dalam pasal tersebut
Negara yang bersengketa harus memiliki kesepakatan untuk menyerahkan sengketanya
kepada ICJ.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
Undang-Undang yang meratifikasi perjanjian internasional bukanlah wet in formele zijn,
Undang-undang ini merupakan implementasi dari Pasal 11 UUD NRI 1945. Undangundang ini tidak bisa diuji oleh MA maupun MK sebab konstitusi pun tidak mengatur hak
ini dalam kewenangan MA maupun MK. Langkah – langkah yang bisa ditempuh ketika
Undang-Undang tersebut tidak sesuai dengan UUDNRI 1945 adalah langkah preventif
dengan hanya meratifikasi sebagian, pembuatan perjanjian baru dan pengajuan ke ICJ
apabila kedua pihak berada dalam sengketa. Oleh karena itu mengingat badan hukum
nasional tidak dapat menguji Undang-Undang ratifikasi alangkah lebih baiknya jika kita
menerapkan langkah preventif yakni lebih teliti dalam melakukan ratifikasi perjanjian
internasional dengan jalan melakukan ratifikasi sebagian sehingga Indonesia tetap bisa
terlibat dalam perjanjian internasional tetapi tidak melanggar hukum nasional yang
berlaku di Indonesia.