Tinjauan Kritis Atas Penerapan Wajib Mil

PENERAPAN WAJIB MILITER DI INDONESIA

Oleh:
Patty Regina
Rafli Fadilah Achmad
Valeryan Natasha

Universitas Indonesia
Depok
April 2015

1

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Kami yang bertandatangan di bawah ini :
Nama :

Patty Regina

Nama :


Rafli Fadilah

NPM :

1106056075

NPM :

1206246313

Program Studi : Ilmu Hukum

Program Studi: Ilmu Hukum
Nama :

Valeryan Natasha

NPM :


1206251471

Program Studi: Ilmu Hukum
Menyatakan bahwa artikel imiah yang berjudul :
PENERAPAN WAJIB MILITER DI INDONESIA
Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip
maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar. Demikian pernyataan ini kami
buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Apabila di
kemudian hari terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, kami siap untuk
didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab kami.
Depok, 12 Mei 2015

(Patty Regina)

(Rafli Fadilah Achmad)

(Valeryan Natasha)

2


DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN...............................................................................................4
II.PEMBAHASAN.................................................................................................5
II.1. Argumen Pro Wajib Militer di Indonesia................................................5
II.1.1. Wajib Militer Merupakan Suatu Wujud Nyata Bela Negara yang
Merupakan Kewajiban Seluruh Warga Negara Indonesia...............................6
II.1.2. Wajib Militer Memperkuat Pertahanan Negara dan Kemampuan
Komponen Cadangan Sebagai Potensi Pertahanan..........................................7
II.1.3. Komponen Cadangan Adalah Komponen yang Tidak Kalah
Pentingnya dari Komponen Utama Dalam Sistem HANKAMRATA.............8
II.2. Argumentasi Kontra Wajib Militer di Indonesia....................................9
II.2.1. Pemaknaan Bela Negara Tidak Terbatas Hanya Melalui Wajib Militer9
II.2.2. Ketiadaan Urgensi Wajib Militer dan Pemborosan APBN..................10
II.2.3. Wajib Militer Tidak Disarankan dalam Dunia Internasional...............11
II.2.4. Wajib Militer Menistakan Distinction Principle dalam Hukum
Humaniter Internasional (HHI)......................................................................12
III.PENUTUP.........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 15

3


I. PENDAHULUAN
Pentingnya pertahanan negara pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah
dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945).1 Sistem
pertahanan negara yang diterapkan di Indonesia dikenal sebagai HANKAMRATA
(pertahanan dan keamanan rakyat semesta).2 Kata semesta dalam konteks ini
berarti sistem pertahanan yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan
sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan
diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala
ancaman.3
Sistem pertahanan negara Indonesia diatur secara spesifik di dalam UndangUndang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dimana, di dalam undangundang tersebut, diamanatkan bahwa pertahanan negara dalam menghadapi
ancaman militer akan dilaksanakan oleh 3 (tiga) komponen, yaitu: komponen
utama, komponen cadangan dan komponen pendukung. Komponen utama sendiri
telah jelas terdiri atas Tentara Nasional Indonesia (TNI), 4 sedangkan komponen
cadangan dan pendukung terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber
daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk
dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen

utama.5 Komponen utama telah diatur lebih lanjut di dalam Undang-Undang No.
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Namun demikian, komponen
cadangan maupun pendukung belum diatur di dalam peraturan perundangundangan tersendiri.
Salah satu isu nasional yang sempat menjadi isu hangat beberapa tahun
terakhir adalah wajib militer. Isu ini awalnya naik ke permukaan karena
disusunnya Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, yang kemudian akan menjadi dasar hukum wajib militer bagi
warga sipil di Indonesia.6 Wajib militer yang hendak dicanangkan ini merupakan
kewajiban warga negara untuk menyumbangkan tenaganya dalam angkatan
perang, yang akan diwajibkan bagi warga sipil di Indonesia. Dalam rangka
persiapan wajib militer, warga akan mengikuti serangkaian pelatihan militer

4

terlebih dahulu.7 Ada beberapa warga yang mendapatkan pengecualian dalam
wajib militer, yaitu warga yang memiliki kecacatan fisik atau penyakit mental.
Sejatinya, wajib militer telah menjadi landasan konsep bela negara sebagai
sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945
dalam menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. 8 Hanya saja,

hingga saat ini, subyek wajib militer hanya merupakan komponen utama
pertahanan negara saja, yaitu TNI. Pertanyaannya saat ini adalah, perlukah wajib
militer juga diberlakukan bagi warga sipil dalam rangka meralisasikan perannya
sebagai komponen cadangan pertahanan negara? Artikel ini akan membahas lebih
dalam mengenai pandangan pro maupun kontra terhadap pencanangan wajib
militer bagi warga sipil di Indonesia.
II.PEMBAHASAN
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang No. 3 Tahun 2002,
komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk
dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan
kemampuan komponen utama. Seperti yang sebelumnya telah dijabarkan, Pasal 8
Ayat (1) undang-undang yang sama juga menyatakan bahwa warga negara
merupakan salah satu bagian dari komponen cadangan. Warga negara sebagai
sumber daya manusia dalam komponen cadangan mencakup seluruh warga negara
yang secara psikis dan fisik dapat dibina dan disiapkan kemampuannya untuk
mendukung komponen kekuatan pertahanan negara.9
Calon anggota komponen cadangan wajib mengikuti pelatihan untuk
penyegaran dan penyesuaian dengan penugasan pada masing-masing matra secara
periodik, yang akan digolongkan berdasarkan pendidikan, pengalaman dan/atau
peranannya dalam susunan tingkatan atau kepangkatan yang setara dengan

kepangkatan prajurit TNI.10 Masa bakti komponen cadangan dalam wajib militer
adalah 5 (lima) tahun, yang dapat diperpanjang paling lama 5 (lima) tahun
berikutnya.
II.1. Argumen Pro Wajib Militer di Indonesia
II.1.1. Wajib Militer Merupakan Suatu Wujud Nyata Bela Negara yang
Merupakan Kewajiban Seluruh Warga Negara Indonesia

5

Menurut Anthony D. Smith, bahwa nasionalisme itu sendiri adalah suatu
ideologi yang meletakan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi
keberadaannya atau mempertinggi derajat bangsa. Definisi praktis nasionalisme
adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan identitas,
kesatuan dan otonomi bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad
untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial. 11 Oleh
sebab itulah, bela negara merupakan suatu konkritisasi nyata nasionalisme,
kecintaan warga negara pada negaranya. Di sisi lain, bela negara juga dapat
memperkuat nasionalisme yang telah ada, atau bahkan belum ada.
Bela negara juga merupakan suatu kewajiban bagi seluruh warga negara
Indonesia, yang diamanatkan dalam Pasal 27 UUD NRI 1945, yang berbunyi :

“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.” Hal serupa juga diamantkan dalam Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI 1945,
bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara. Hubungan antara ‘usaha pertahanan dan keamanan negara’
sebagai perwujudan ‘bela negara’ sendiri diperjelas oleh Pasal 9 Ayat (2) UndangUndang No. 3 Tahun 2002, yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak
dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam
penyelenggaraan pertahanan negara. Menurut Ayat (2) Pasal yang sama,
dijelaskan bahwa keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara,
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), diselenggarakan melalui:
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela
atau secara wajib; dan
d. pengabdian sesuai dengan profesi.
Dalam Pasal ini nampak jelas bahwa pelatihan dasar kemiliteran secara wajib
atau wajib militer sebagai bentuk upaya bela negara bukanlah hal yang baru, dan
telah diwajibkan oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada
dengan bermuara pada amanat konstitusi negara kita.
Terlebih lagi, perwujudan bela negara dalam bentuk wajib militer
merupakan bentuk yang paling konkrit dibandingkan dengan bentuk-bentuk

pengabdian lain. Mengapa demikian? Karena wajib militer merupakan kegiatan
yang paling spesifik tertuju untuk memperkuat pertahanan dan keamanan secara
langsung, sehingga kekentalan perwujudan nasionalisme dalam bentuk wajib
6

militer tentunya lebih mengena di hati warga negara dibandingkan hanya sekedar
pengabdian lain yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari maupun sekedar
teori pendidikan kewarganegaraannya saja tanpa praktik nyata.
II.1.2. Wajib Militer Memperkuat Pertahanan Negara dan Kemampuan
Komponen Cadangan Sebagai Potensi Pertahanan
Tujuan utama dari dibentuknya komponen cadangan adalah untuk
memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Tentara Nasional
Indonesia sebagai Komponen Utama dalam upaya penyelenggaraan pertahanan
negara.12 Dalam konteks ini, penguatan pertahanan negara tidak hanya penting di
saat menghadapi perang, tetapi juga di masa damai meskipun tanpa konflik. Oleh
sebab itu, sangat penting untuk mempersiapkan komponen cadangan, yaitu warga
negara Indonesia, melalui wajib militer.
Kesiapan di saat akan menghadapi ancaman negara atau ancaman perang
sudah jelas kepentingannya. Penjelasan Pasal 15 Ayat (9)(b)-(d) dari UndangUndang No. 34 Tahun 2005 tentang TNI juga telah menyatakan dengan jelas
bahwa komponen cadangan akan menjadi kekuatan pengganda dalam organisasi

kekuatan pertahanan negara dan kegunaannya dalam membantu keseluruhan
sistem pertahanan dalam menghadapi ancaman. Oleh sebab itu, direalisasikannya
wajib militer melalui RUU Komponen Cadangan merupakan kewajiban negara
sebagai bentuk tindak lanjut dari amanat dalam Undang-Undang TNI pula.
Di luar kebutuhan dalam menghadapi perang, ancaman bagi keamanan dan
pertahanan negara tidak sebatas itu saja, tetapi juga dalam bentuk kekacauan yang
mungkin terjadi di masyarakat.13 Oleh sebab itu, Pasal 5 di dalam RUU
Komponen Cadangan menyebutkan bahwa dalam keadaan damaipun komponen
cadangan akan dibina dan disiapkan sebagai ‘potensi’ pertahanan. Artinya, para
legislator juga sudah menyadari bahwa pentingnya menyiapkan pertahanan tidak
hanya di kala negara hendak berperang saja. Wajib militer akan membekali warga
sipil dengan kemampuan militer atau membela diri yang sewajarnya, sehingga
warga negara yang telah menjadi subyek militerpun juga dapat menggunakan
kemampuan ini di dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya dalam menghadapi
ancaman terhadap hidupnya dari penjahat atau kriminal, dan sebagainya.
II.1.3. Komponen Cadangan Adalah Komponen yang Tidak Kalah
Pentingnya dari Komponen Utama Dalam Sistem HANKAMRATA

7


Konsep

sistem

pertahanan

dan

keamanan

HANKAMRATA

(SISHANKAMRATA) pertama kali dituangkan dalam peraturan pada UndangUndang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara Republik Indonesia, dimana komponen SISHANKAMRATA
terdiri atas :
a. rakyat terlatih sebagai komponen dasar;
b. angkatan bersenjata beserta cadangan Tentara Nasional Indonesia
sebagai komponen utama;
c. perlindungan masyarakat sebagai komponen khusus;
Semakin jelas bahwa kebutuhan melatih rakyat sebagai salah satu
komponen SISHANKAMRATA telah muncul sejak bertahun-tahun yang lalu. 14
Pada intinya, warga negara sebagai komponen cadangan butuh disiapkan melalui
pendidikan militer yang diwajibkan. Mengapa penting bagi warga negara untuk
dipersiapkan? Karena pada SISHANKAMRATA, pada hakekatnya segala upaya
pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran
atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Makna kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada
kekuatan sendiri ini memerlukan 2 (dua) bentuk dorongan dari negara, yaitu
melalui persiapan secara kekuatan militer, serta memperkuat ‘kesadaran’ atas hak
dan kewajiban warga negara dan bagi mereka untuk memiliki keyakinan pada
kekuatan mereka sendiri.
Kesimpulannya, wajib

militer

memiliki

manfaat

secara

praktis

(peningkatan kekuatan militer itu sendiri) dan ideologis (memperkuat kesadaran
hak dan kewajiban warga negara serta membuat mereka memiliki keyakinan) dan
hal ini penting karena komponen cadangan yang siap dan mampu adalah tidak
kalah

penting

dibandingkan

komponen

utama

itu

sendiri

dalam

SISHANKAMRATA.15
II.2. Argumentasi Kontra Wajib Militer di Indonesia
II.2.1. Pemaknaan Bela Negara Tidak Terbatas Hanya Melalui Wajib Militer
Subyek pelatihan militer sebaiknya tetap terbatas pada komponen utama
sistem pertahanan dan keamanan negara, yaitu TNI. Hal ini dikarenakan
pemaknaan bela negara bagi warga negara tidaklah terbatas hanya dalam bentuk
wajib militer saja. Bela negara dalam Pasal 27 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang
kemudian penafsirannya dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-

8

Undang No. 3 Tahun 2002 tepatnya pada poin (d) menuliskan bahwa bela negara
juga dapat dilakukan oleh warga negara sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Kontribusi sesuai dengan bakat dan kemampuan artinya tiap-tiap warga
negara bebas memilih bentuk bela negara yang ingin ia lakukan. Di antaranya,
bisa melalui pekerjaan atau profesi yang ia tempuh dalam kehidupan sehariharinya. Misalnya saja pengabdian sebagai guru, dokter, pengusaha, pekerja
kantor, atau bahkan petugas kebersihan sekalipun. Penafsiran ini didasari pada
fakta bahwa bakat dan kemampuan setiap warga negara berbeda-beda, dan bahwa
hal yang perlu dibela dari negara bukan hanya dari segi militer saja, tetapi juga
aspek-aspek lain dalam bernegara.16 Contohnya saja, guru melakukan bela negara
dengan cara memajukan tingkat pendidikan di Indonesia, dokter memperbaiki
tingkat kesehatan warga negara di Indonesia, pengusaha memperkuat kekuatan
ekonomi negara Indonesia, dan petugas kebersihan menjaga kelayakan hidup di
Indonesia.
Pada

kenyataannya,

jika

kontribusi

seluruh

warga

negara

itu

disamaratakan melalui wajib militer, yang belum tentu sesuai bakat dan
kemampuan masing-masing, justru membuat praktik bela negara warga negara
Indonesia menjadi tidak efektif. Nyatanya, bahkan tanpa adanya wajib militerpun
tetap saja ada warga yang minat dan bakatnya memang di bidang militer dan tetap
mendaftar sebagai anggota TNI.17
Di sisi lain, justru wajib militer bagi seluruh warga negara berpotensi
menimbulkan pelanggaran hak bagi warga terkait sebagai subyek wajib militer.
Hak-hak yang dilanggar di antaranya adalah hak atas kebebasan pribadi
sebagaimana yang dijabarkan di dalam Bagian Kelima Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Setiap orang seharusnya
dapat bebas memilih jalan hidupnya, mendapatkan hak dan memilih cara
menjalankan kewajibannya sebagai seorang warga negara. Penerapan wajib
militer akan membatasi kebebasan ini dan menyempitkan arti pemenuhan
kewajiban seorang warga negara.
II.2.2. Ketiadaan Urgensi Wajib Militer dan Pemborosan APBN
Saat ini pelaksanaan wajib militer tidak ada urgensinya. Selama puluhan
tahun sudah, Indonesia sudah tidak lagi berperang, dan juga tidak berada dalam
kondisi yang terancam akan berperang. Oleh sebab itu, wajib militer yang

9

nantinya ditujukan menambah kekuatan pertahanan militer Indonesia sebetulnya
tidak diperlukan. Terlebih lagi, tanpa wajib militerpun kekuatan militer Indonesia
saat ini sudah lebih dari cukup. Contohnya saja, Komandan Pasukan Khusus
(KOPASSUS) yang berada di bawah TNI Angkatan Darat, telah mendunia
reputasinya sebagai salah satu dari sepuluh angkatan bersenjata terbaik di dunia. 18
Ini artinya, di luar kuantitas sendiri, kualitas komponen utama pertahanan negara
Indonesia sudah sangat kuat.
Wajib militer yang sebetulnya tidak diperlukan ini, bahkan jika dipaksakan
pelaksanaannya hanya akan menimbulkan pemborosan anggaran negara. Bisa kita
bayangkan, ada seberapa banyak warga negara Indonesia yang termasuk dalam
kriteria subyek wajib militer berdasarkan RUU Komponen Cadangan. Negara
kemudian harus mengeluarkan uang untuk membentuk fasilitas pelatihan bagi
jutaan warga ini, tidak hanya dalam bentuk fasilitas latihan militer saja, tetapi juga
tempat tinggal selama masa bakti dan uang saku bagi setiap orangnya. Seberapa
besar anggaran yang harus dialokasikan untuk kebutuhan yang tidak urgen ini,
padahal justru anggaran yang besar tersebut dapat dialokasikan untuk kegunaan
yang lebih baik, seperti sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial lainnya.
Kesulitan dari segi logistik yang membutuhkan dana yang besar ini
merupakan hal yang nyata, buktinya negara-negara yang sampai saat ini
menerapkan wajib militer merupakan negara yang ukurannya relatif kecil dan
jumlah warga negara yang sedikit,19 misalnya saja Korea Selatan, Singapura, dan
Swiss. Negara yang kecil dan warga negara yang sedikit mengakibatkan kekuatan
militerpun terbatas, sehingga dibutuhkan wajib militer untuk merekrut kekuatan
tambahan. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan situasi di Indonesia yang
jumlah penduduknya sangat banyak dan bentuk negara yang kepulauan, serta
kekuatan militer yang dari awalnya sudah lebih dari cukup.
Kekhawatiran serupa dikemukakan oleh Anies Baswedan, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan kita, yang menilai bahwa wajib militer tak mungkin
diberlakukan di negara sebesar Indonesia. Selain infrastrukturnya yang belum
siap, Indonesia terlalu luas dan jumlah penduduknya terlalu besar untuk
diwajibkan ikut pendidikan militer. Anies mengatakan bahwa jutaan anak
Indonesia tidak dapat ditampung sekaligus, ketika membuat sekolahan saja susah,
apalagi fasilitas logistik untuk wajib militer.20

10

II.2.3. Wajib Militer Tidak Disarankan dalam Dunia Internasional
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di dalam resolusi Komisi Hak Asasi
Manusia (HAM)-nya No. 83 Tahun 1995 menyatakan bahwa tidak ada suatu hal
serupa wajib militer, karena setiap orang memiliki hak untuk menolak partisipasi
di dalam suatu wajib militer. Hal ini diafirmasi kembali melalui Resolusi Komisi
HAM PBB No. 77 Tahun 1998, yang mendasari hak untuk menolak ini, yang
kemudian dikenal dengan istilah conscientious objection.21
Beberapa negara yang sebelumnya mencanangkan wajib militerpun
akhirnya telah meniadakan konsep ini akibat adanya hak conscientious objection,
salah satunya yang paling eksplisit adalah Jerman. Di Jerman, conscientious
objection bahkan sudah diakui sebagai suatu hak konstitusional setiap warga
negara. Conscientious objection secara harafiah dapat diartikan sebagai penolakan
yang bersungguh-sungguh sebenarnya merupakan penolakan seseorang terhadap
wajib militer berdasarkan kepercayaannya (belief).22 Negara-negara lain di Benua
Eropa juga sudah melakukan hal yang sama, misalnya Belgia, Finlandia, Italia,
dan berbagai negara lainnya.23 Penolakan ini dipandang sebagai bagian dari hak
asasi manusia berdasarkan Pasal 18 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik, mengenai kebebasan berpikir, hati nurani dan agama. 24 Meski terkesan
bahwa conscientious objection didasarkan oleh kepercayaan dan agama, namun
hak ini juga melindungi individu-individu non-believers dalam memiliki
kebebasan nuraninya.25
II.2.4. Wajib Militer Menistakan Distinction Principle dalam Hukum
Humaniter Internasional (HHI)
Salah satu dari tiga pilar utama dalam HHI adalah prinsip distinction, atau
prinsip pembedaan. Prinsip ini pada dasarnya mewajibkan para pihak yang terlibat
dalam suatu konflik bersenjata untuk membedakan antara combatant / kombatan
(pihak yang terlibat langsung dalam konflik bersenjata) sebagai pihak yang dapat
dijadikan target serangan dan civilians (warga sipil) yang tidak boleh dijadikan
target serangan.26 Hal tentang pembedaan perlakuan antara sipil dan militer juga
telah disadari oleh Indonesia dengan diratifikasinya Konvensi Jenewa melalui
Undang-Undang No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik
Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa 1949.

11

Status kombatan secara inheren melekat pada angkatan bersenjata
termasuk kelompok sipil bersenjata (militan) yang secara tegas telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Terhadap sipil bersenjata secara khusus hukum
humaniter mewajibkan negara untuk secara jelas mengumumkan mana saja
kelompok sipil bersenjata yang dikategorikan sebagai kombatan.27
Dengan dicanangkannya wajib militer, prinsip pembedaan dalam HHI
tidak akan lagi berlaku bagi para warga sipil yang menjadi subyek wajib militer.
Hal ini dikarenakan, para warga sipil yang mengikuti wajib militer akan kemudian
dalam konflik bersenjata statusnya akan berubah dari civilians menjadi kombatan
yang akan bersenjata dan kehilangan proteksi yang diberikan oleh HHI kepada
warga sipil. Hal ini tentunya sesuatu yang sangat tidak diinginkan oleh pihak
manapun, karena sebetulnya warga sipil memang tidak ditakdirkan untuk
berperang dan selayak dan sepantasnya tetap mendapatkan perlindungan HHI
selama masa perang.28
MEKANISME SOLUSI
1.
Untuk menjadi Anggota

Komponen

Cadangan

harus

memenuhi

persyaratan sebagai berikut :
a. persyaratan umum;
b. persyaratan kompetensi; dan
c. latihan dasar kemiliteran.
2.
Persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah :
a. warga negara Indonesia yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

3.

1945; dan
d. sehat jasmani dan rohani.
Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

4.

dilakukan berdasarkan faktor keahlian dan keterampilan sesuai kebutuhan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai latihan dasar kemiliteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dan persyaratan kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
III.PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa wacana penerapan wajib militer di Indonesia

muncul bersamaan dengan dirancangnya RUU Komponen Cadangan. Dimana,
RUU ini bertujuan untuk memenuhi amanat dari UU Pertahanan Negara dan juga
UUD NRI 1945 terkait SISHANKAMRATA.
12

Pandangan yang pro terhadap penerapan wajib militer di Indonesia
beranggapan bahwa wajib militer merupakan suatu wujud nyata bela negara yang
merupakan kewajiban seluruh warga negara Indonesia. Selain itu, wajib militer
juga dianggap mampu memperkuat SISHANKAMRATA, dimana komponen
cadangan kedudukannya dianggap tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan
komponen utama sendiri.
Sedangkan, pandangan yang kontra terhadap penerapan wajib militer di
Indonesia didasari oleh ketiadaan urgensi diberlakukannya wajib militer saat ini di
Indonesia karena tidak sedang dalam kondisi perang. Selain itu, pemaknaan wajib
militer berdasarkan UU Pertahanan Negara juga tidak terbatas dalam bentuk
kontribusi militer saja. Di sisi lain, bahkan wajib militer bisa menjadi pemborosan
APBN karena kebutuhan logistiknya. Wajib militer bagi warga sipil juga
berpotensi

untuk

bertolakbelakang

dengan

ketentuan

hukum

humaniter

internasional.

13

1

Indonesia, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara, UU No, 3 Tahun 2002, LN No. 3 Tahun 2002, TLN
No. 4169, Konsiderans Poin (a)
2
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 30 Ayat (2)
3
Indonesia, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara, UU No, 3 Tahun 2002, LN No. 3 Tahun 2002, TLN
No. 4169, Pasal 1 Ayat (2)
4
Indonesia, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara, UU No, 3 Tahun 2002, LN No. 3 Tahun 2002, TLN
No. 4169, Pasal 7 Ayat (2)
5
Indonesia, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara, UU No, 3 Tahun 2002, LN No. 3 Tahun 2002, TLN
No. 4169, Pasal 8
6
Indra Akuntono, DPR: RUU Komponen Cadangan Beda dengan Wajib Militer,
http://nasional.kompas.com/read/2013/05/31/15261992/DPR.RUU.Komponen.Cadangan.Beda.dengan.Wajib.Militer,
diakses pada 2 Juni 2015
7
Tegar
Arief
Fadly,
Bakal
Ada
Wajib
Militer
di
Indonesia,
http://news.okezone.com/read/2013/05/22/339/810970/bakal-ada-wajib-militer-di-indonesia, diakses pada 2 Juni 2015
8
Indonesia, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara, UU No, 3 Tahun 2002, LN No. 3 Tahun 2002, TLN
No. 4169, Pasal 9 Ayat (1)
9
Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara, per tanggal 20
Juni 2013, Pasal 1 Ayat (3)
10
Peter Rowe, The Impact of Human Riights Law on Armed Forces, Cambridge University Press, 2006, h. 9
11
A. Kardiyat Wiharyanto, Perkembangan Nasionalisme di Asia Tenggara, Penerbit Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta, 1996, h. 2
12
Kusnanto Anggoro, Pengelolaan Sumber Daya Pertahanan (dan Keamanan) Negara, Propatria Institute,
Jakarta, 2006, h. 12
13
Amos Perlmutter, Militer dan Politik. CV Rajawali, Jakarta, 1986, h. 94
14
Hari T. Prihatono, Mencari Format Komprehensif Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara, Propatria
Institute, Jakarta, 2006, h. 19
15
Komaruddin Hidayat, Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa, Mizan Republika,
Jakarta, 2008, h. 329
16
Alex Suseno, Strategi Pembudayaan Kesadaran Hak Bela Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, h.
35
17
Peter Rowe, loc.cit.
18
Survey, Top 10 Deadliest Forces of The World, http://thewondrous.com/top-10-deadliest-forces-of-theworld/, diakses pada 2 Juni 2015
19

Icha
Rastika,
Anies:
Wajib
Militer
Tak
Mungkin
di
Indonesia,
http://nasional.kompas.com/read/2013/06/02/21592276/Anies.Wajid.Militer.Tak.Mungkin.di.Indonesia, diakses pada 29
Mei 2015
20
Ibid
21
United Nations High Comission for Human Rights, Conscientious Objection to Military Service, Comission
on Human Rights Resolution 1998/77
22
Tim Imparsial, Reformasi di Persimpangan: Rancangan Komponen Cadangan Pertahanan Negara,
Imparsial, Jakarta, 2008, h. xiii
23
Ibid
24
Arlina Permanasari, et al., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, h. 10
25
Comission on Human Rights. Civil and Political Rights, Including the Question of Conscientious Objection
to Military Service, Report of the High Comissioner submitted pursuant to Comission Resolution 2000/34, E/CN.
4/2002/WP.2 of March 14, 2002, h. 3
26
Jean-Marie Henckaerts, Customary International Humanitarian Law, Volume I Rules, ICRC, Jenewa, 2005,
h. 3-24
27
KGPH Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005, h. 73
28
Ibid.

Daftar Pustaka

Akuntono,
Indra.
DPR:
RUU
Komponen
Cadangan
Beda
dengan
Wajib
Militer.
http://nasional.kompas.com/read/2013/05/31/15261992/DPR.RUU.Komponen.Cadangan.Beda.dengan.Wajib.
Militer diakses pada 2 Juni 2015.
Anggoro, Kusnanto. 2006. Pengelolaan Sumber Daya Pertahanan (dan Keamanan) Negara, Jakarta: Propatria
Institute.
Comission on Human Rights. Civil and Political Rights. Including the Question of Conscientious Objection to Military
Service. Report of the High Comissioner submitted pursuant to Comission Resolution 2000/34, E/CN.
4/2002/WP.2 of March 14, 2002.
Fadly, Tegar Arief. Bakal Ada Wajib Militer di Indonesia. http://news.okezone.com/read/2013/05/22/339/810970/bakalada-wajib-militer-di-indonesia diakses pada 2 Juni 2015
Haryomataram, KGPH. 2005. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Henckaerts, Jean-Marie. 2005. Customary International Humanitarian Law (Volume I Rules). Geneva: ICRC.
Hidayat, Komaruddin. 2008. Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Jakarta: Mizan
Republika.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. UUD NRI 1945.
________, Undang-Undang tentang Pertahanan Negara UU No, 3 Tahun 2002. LN No. 3 Tahun 2002. TLN No. 4169.
Parlemen.go.id.
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Komponen
Cadangan
Pertahanan
Negara.
http://parlemen.net/sites/default/files/dokumen/130609-090613-Naskah%20RUU%20Komcad%20Jun13.pdf
per tanggal 20 Juni 2013, diakses pada 2 Juni 2015.
Perlmutter, Amos. 1986. Militer dan Politik. Jakarta: CV Rajawali.
Permanasari, Arlina, et al. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: ICRC.
Prihatono, Hari T. 2006. Mencari Format Komprehensif Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara. Jakarta: Propatria
Institute.
Rastika,

Icha.
Anies:
Wajib
Militer
Tak
Mungkin
di
Indonesia.
http://nasional.kompas.com/read/2013/06/02/21592276/Anies.Wajid.Militer.Tak.Mungkin.di.Indonesia diakses
pada 29 Mei 2015.

Rowe, Peter. 2006. The Impact of Human Rights Law on Armed Forces. Cambridge: Cambridge University Press.
Survey. Top 10 Deadliest Forces of The World. http://thewondrous.com/top-10-deadliest-forces-of-the-world/ diakses
pada 2 Juni 2015.
Suseno, Alex. 2000. Strategi Pembudayaan Kesadaran Hak Bela Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tim Imparsial. 2008. Reformasi di Persimpangan: Rancangan Komponen Cadangan Pertahanan Negara. Jakarta:
Imparsial.
United Nations High Comission for Human Rights. Conscientious Objection to Military Service. Comission on Human
Rights Resolution 1998/77.
Wiharyanto, A. Kardiyat. 1996. Perkembangan Nasionalisme di Asia Tenggara, Penerbit Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma.