Ilmu Ekonomi antara Liberalisasi dan Isl

Ilmu Ekonomi, antara Liberalisasi dan Islamisasi1
Pendahuluan
Perkembangan kajian epistemologi ‘memaksa’ perkembangan berbagai disiplin
ilmu-ilmu sosial. Bermula dari ilmu-ilmu alam yang bersifat matematis, ilmu-ilmu sosial
pun akhirnya menemukan paradigmanya sendiri-sendiri. Namun tumbuh kembangnya
ilmu tersebut bukanlah tanpa metodologi atau asumsi dasar, bahkan juga didasari nilainilai historis, moral, hingga metafisis.
Pembicaraan mengenai ilmu ekonomi yang dahulu hanya memperhatikan urusan
rumah tangga semata, akhirnya berkembang menjadi skala global dan makro dalam
sebuah negara. Yang menarik, bahwa corak tumbuh-kembang ilmu tersebut ternyata
dipengaruhi oleh corak tumbuh-kembang dari peradaban itu sendiri. Artinya, tentu ada
perbedaan antara ilmu yang berkembang dalam tradisi keilmuan Islam, dan juga tradisi
keilmuan Barat.
Pengalaman liberalisasi agama di Eropa, tentu berbeda dengan majunya
peradaban manusia di bawah naungan Islam. Di zaman sekarang ini juga demikian, meski
ilmu-ilmu sekuler sengaja diajarkan kepada mahasiswa-mahasiswa di perguruan tinggi
Islam, namun tidak sedikit respon dari cendekiawan muslim yang mengerti agenda
tersebut. Di sinilah dapat terlihat seolah tarik ulur antara liberalisasi dan Islamisasi ilmu
sosial.
Jika ilmu ekonomi di Barat berbicara kepuasan sekedar mengkonsumsi komoditas
yang tinggi, tentunya tidak dengan Islam. Justru seorang muslim lebih dititik beratkan
pada konsumsi barang yang halal dan thoyyib. Jika di Barat membicarakan kekuatan

modal seseorang yang akan menentukan kesempatan suksesnya, namun seorang muslim
dipandu dengan al-Quran dan hadits bisa sukses dunia akhirat. Perbedaan tersebut
tentunya ada karena asumsi dasar dari masing-masing kubu tersebut. Makalah ini
mencoba sedikit membahas tentang ekonomi dalam ranah liberalisasi dan islamisasinya.
Makna Ekonomi
Lafadz ekonomi memiliki berbagai makna secara secara etimologis. Dalam kamus
bahasa Indonesia berarti 1. ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian
barang-barang serta kekayaan (seperti hal keuangan, perindustrian, dan perdagangan) 2; 2.
pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dan sebagainya yang berharga; 3. tata kehidupan
1

makalah ditulis oleh Muhammad Taqiyuddin untuk memenuhi tugas kuliah Pascasarjana “Aqidah dan
Sains Sosial” bersama al-ustadz Khoirul Umam, M.Ec
2

Tim Redaksi Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional: Jakarta, 2008), hlm. 144

perekonomian (suatu negara).3 Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Inggris
yaitu “economy”4 yang mana jika ditelusuri akarnya adalah bahasa Yunani, yaitu

manajemen rumah tangga.5 Dalam bahasa Arab ia dimaknai sebagai “iqtishad” yang
memiliki akar kata "qashada-yaqshudu" yang berarti "mengarah ke", selain itu juga
berarti "menjadi pertengahan antara boros dan kikir.6
Ilmu ekonomi seringkali disebut salah satu dari ilmu sosial. Hal ini dikarenakan ia
mempelajari tentang perilaku manusia yang terkait dengan kelangkaan dan alternatif
penyelesaian dari masalah kelangkaan tersebut.7 Artinya, bahwa secara umum ilmu
ekonomi digolongkan ke dalam disiplin ilmu sosial karena ia mempelajari berbagai
macam aspek dari perilaku manusia dalam dunia sosialnya. 8 Selain itu, bahwa tradisi
keilmuan di Barat yang melakukan penelitian secara realis-empiris, serta penggunaan
data berupa statistik dan lainnya. Para peneliti tersebut adalah para ilmuwan sosial yang
pertama kali ada yaitu para ekonom dan sosiolog.9

3

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa: Jakarta,
2008), hlm.377
4
terlihat bahwa kata ekonomi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu maknanya
kurang lebih sama dengan pada bahasa Indonesia: 1. the relationship between production, trade and the
supply of money in a particular country or region 2. a country, when you are thinking about its economic

system; 3. the use of the time, money, etc. that is available in a way that avoids waste. lihat Albert Sidney
Hornby, Oxford advanced Learner’s Dictionary of Current English, (England: Oxford University Press,
2005) sixth edition, hlm. 400
5
sebagaimana dikutip bahwa: The English words "economy" and "economics" can be traced
back to the Greek word οἰκονόμος (i.e. "household management"), a composite word derived from οἶκος
("house;household;home") and νέμω ("manage; distribute;to deal out;dispense") by way of οἰκονομία
("household management"). lihat The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth
Edition. Houghton Mifflin Company, 2004. October 24, 2009 lihat juga dalam
https://en.wikipedia.org/wiki/Economy
6
Louis Ma’luf, al-Munjid fi-al-Lughoh wa-al-A’lam, (Daar al-Masyriq: Beirut, 2002) cet. 39,
hlm. 347
7
sebagaimana dikutip : Lionel Robbins (1935) defined economics as “the science which studies
human behavior as a relationship between ends and scarce means which have alternative uses” lihat
McMillan Reference, Encyclopedia of Philosophy, (Thomson Gale : Fermingston Hill, 2006) vol. 7, hlm.
353 (5750)
8
Sage Publication, The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Methods (edited by Lisa M.

Given), (Sage Publication Inc: California, 2008) vol. 1-2, hlm. 826
9
The social sciences were conceived and pursued, from the very beginning, under the influence
of ideals (particularly of scientific objectivity and progress) deriving from the eighteenth-century
enlightenment (Hawthorn 1976). The first social scientists were economists and sociologists, as we would
call them today, and they were self-consciously concerned about producing something that would count,
not as philosophy, not as literature, not as common sense, but as science: as a project faithful to the image
forged by natural science. lihat McMillan Reference, Encyclopedia of Philosophy, (Thomson Gale :
Fermingston Hill, 2006) vol. 7, hlm. 533 (5930)

Sedangkan ilmu ekonomi adalah studi mengenai metode umum dimana orangorang bekerja sama untuk memenuhi bahan kebutuhan mereka (Sir William Beveridge);
Studi mengenai manusia dalam kehidupan berbisnis mereka (A. Marshall); ilmu yang
mempelajari perilaku manusia dalam sebuah hubungan antara tujuan (memenuhi
kebutuhan) dan mengatasi kelangkaan serta mendapatkan alternatifnya (L. Robbins);
Ekonomi menyelidiki tentang pengaturan antara satu agen dengan agen lainnya dalam hal
mencari keuntungan maksimum masing-masing (F.Y. Edgeworth). Istilah ini digunakan
tahun 1760an, dan membahas dan menghasilkan berbagai teori tentang pertumbuhan,
nilai, distribusi, buruh, dan perpajakan.10
Makna Liberalisasi dan Islamisasi dalam Ekonomi
Liberalisasi berasal dari kata liberal dan memiliki makna tertentu. Arti liberal

dalam KBBI adalah 1 sifat yg condong kpd kebebasan; 2 berpandangan bebas (luas dan
terbuka) dan liberalisme adalah aliran paham ketatanegaraan dan ekonomi, yang dulu
ketatanegaraan bercita-cita demokrasi dan dulu ekonomi menganjurkan kebebasan
berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh turut campur). 11 Kata tersebut merupakan
serapan dari bahasa Inggris yakni “liberal”. Secara populer, kata 'liberal' diartikan sebagai
lawan kata dari 'konservatif'. Orang liberal menekankan pembelaan terhadap pihak yang
kurang beruntung, minoritas, dan kelompok sosial. Meyakini penggunaan kekuatan
negara untuk mewujudkan keadilan sosial, khususnya kesejahteraan yang memungkinkan
dicapai dengan sistem egaliter dan sekuler.12
Liberalisasi dari kata liberalization atau liberalisation, yaitu berarti mengurangi
pembatasan dalam hal politik dan agama. Sehingga menjadi orang yang 'libertarian' yang
mana meyakini bahwa manusia bebas dalam berbuat dan berfikir sesuai yang mereka
sukai.13 Liberalisasi memiliki sejarah yang panjang dan bisa terlacak hingga abad
pertengahan di Eropa. Kata liberal untuk menyebut sebuah aliran filsafat, pertama kali
terdengar di Jerman pada tahun 1812, meski sebelumnya sudah ada di Inggris (disebut
perfect freedom), Amerika (disebut liberty), hingga Prancis (dalam revolusinya disebut
liberty). Para tokoh yang dikelompokkan sebagai pemikir liberalisme, diantaranya adalah
John Locke, Voltaire, hingga Kant.14 Artinya, liberalisme memang berasal dari Eropa
yang mana merupakan basis dari peradaban Barat.15
10


Donald Rutherford, Routledge Dictionary of Economics (London: Taylor & Francis Group,
2002) second edition, hlm. 185
11
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar,... hlm. 857
12
Roger Scruton, The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought ( New York:
Palgrave Macmillan press, 2007) third edition, hlm. 396
13
Albert Sidney Hornby, Oxford,...hlm. 739-740
14
Macmillan Reference USA, Encyclopedia of Philosophy (edited by: Donald M. Borchert),
(New York: Thomson-Gale, 2006) vol. 5, cet. 2, hlm. 319-322 (4286)
15
Al-Attas menjelaskan bahwa peradaban Barat telah menyerap unsur-unsur peradaban Yunani
kuno, Romawi, Yahudi, Kristen dan peradaban Islam. Dari Paradaban Yunani, peradaban Barat telah

Setidaknya, ditemukan tiga faktor yang melatarbelakangi sekularisme dan
liberalisme di Barat: pertama, trauma sejarah,16 khususnya yang berhubungan dengan
dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Kedua, problema teks Bible. Hebrew

Bible (Kristen menyebutnya Perjanjian Lama), yang hingga kini masih merupakan
misteri, termasuk soal siapa yang sebenarnya menulis. 17 demikian juga Perjanjian Baru
(The New Testament) juga menghadapi banyak problem otentisitas teks. 18 Dan ketiga,
problema teologis Kristen.19 Sangat nampak, bahwa ketiga faktor tersebut tidak
terpisahkan. Dampaknya, sebagaimana telah kita lihat, adanya semacam sentiment atau
menyerap, seperti unsur-unsur filosofis, epistemologis, dasar-dasar pendidikan, dan etika serta estetika; dari
peradaban Romawi, peradaban Barat telah menyerap unsur-unsur hukum dan ketatanegaraan serta
pemerintahan; dari ajaran Yahudi dan Kristen, peradaban Barat telah menyerap unsur-unsur keyakinan
beragama. Sedangkan dari orang-orang Latin, Germanik, Celtik, dan Nordik, peradaban Barat telah
menyerap unsur-unsur kemerdekaan, semangat kebangsaan, dan nilai-nilai tradisi. Adapun dari peradaban
Islam secara tidak disadari, juga banyak diserap oleh peradaban Barat, terutama dalam menanamkan
semangat rasional dan saintifik. Tetapi ilmu dan semangat rasional tersebut, telah disusun dan ditata
kembali untuk disesuaikan dengan acuan dan kebudayaan Barat sehingga melebur dan meyatu dengan
unsur-unsur lain yang membentuk watak dan kepribadian peradaban Barat. Peleburan dan penyatuan itu
kemudian berkembang dan menghasilkan suatu faham dualism yang khas dalam pandangan alam
(worldview) dan tata nilai kebudayaan dan peradaban Barat. lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam
and Secularism, (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought, 1993) hlm. 134
16
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang
mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah

agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi
dan sejarah persekusi para ilmuwan. Seorang psikolog Barat, Scott Peck, menyatakan: “Sekali kata
‘religion’ disebutkan di dunia Barat, ini akan membuat orang berpikir tentang: … inquisisi, tahyul, lemah
semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, pembakaran
dukun, larangan-larangan, ketakutan, taat aturan agama, pengakuan dosa, dan kegilaan. Lihat Adian
Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, (Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies,
2007) hlm. 18 lihat juga Scott Peck, The Road Less Travelled, (London: Arrow Books Ltd, 1990), hal. 237238. Pendapat Peck dikutip dari tulisan Dr. Fatimah Abdullah berjudul “Konsep Islam sebagai Din, Kajian
terhadap Pemikiran Prof. Dr. SMN al-Attas, di Majalah Islamia, edisi ke-3, tahun 2004).
17
Dalam hal problema teks Bible, Dr. Adian Husaini memberi penjelasan yang cukup otoritatif.
Dalam bukunya, Mengapa Barat menjadi Sekular-Liberal beliau menyebutkan: Hebrew Bible (Kristen
menyebutnya Perjanjian Lama), misalnya, hingga kini masih merupakan misteri. Richard Elliot Friedman,
dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini
masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the
book that has played a central role in our civilization). Ia mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five
Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separoh Mazmur
(Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu
memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one
of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses
adalah penulisnya. Sementara di dalam teks-nya dijumpai banyak kontradiksi. Adian Husaini, Mengapa

Barat…, hlm. 22 lihat juga Richard Elliot Friedman, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library,
1989), hal. 15-17
18
Dr. Adian Husaini juga memberi penjelasan sebagai berikut: Perjanjian Baru (The New
Testament) juga menghadapi banyak problem otentisitas teks. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar

trauma terhadap hal-hal yang berbau ‘agama’. Perkembangannya dalam dunia pemikiran,
akhirnya rasio manusia dijunjung tinggi, hingga menjadi standar bagi segala hal.
Akhirnya, upaya Liberalisasi mutlak untuk dilakukan, untuk menghindari kekacauan
sosial di zaman pertengahan Eropa. Dan ini berlaku di berbagai lini seperti politik,
ekonomi, serta sains dan teknologi. Selanjutnya, liberalisasi dan sekularisasi menjadi
urgensi atas segala pemikiran di Barat saat itu.
Para filosof menaruh perhatian yang besar kepada ilmu ekonomi karena ia akan
selalu terkait dengan pembahasan moral, etika, hingga politik. Selain itu, ia memberikan
studi kasus dan tantangan dalam sains sosial. 20 Menurut asumsi dasar peradaban Barat,
khususnya setelah teori Darwin, bahwa kegiatan ekonomi pertama kali dilakukan oleh
Homo Erectus, sebagai pendahulu dari manusia saat ini. Merekalah yang pertama kali
mampu menggunakan api untuk mengolah makanan sehari-hari guna bertahan dari zaman
es. Selain itu, kegiatan ekonomi mereka sebatas mencari makanan dengan cara
berpindah-pindah dan berburu. Mereka hidup dalam kelompok, dan mampu untuk

melakukan perburuan hewan yang besar bersama-sama. 21 Selanjutnya, perkembangan
zaman dan teknologi terus berlanjut, hingga manusia mampu menetap dan mengolah
sumber daya alam hingga sekarang. Saat ini sekalipun, manusia masih dijuluki homo
economicus.22
Saat ini kita akan fokus kepada ekonomi liberal yang mana ia adalah suatu sistem
ekonomi yg memberi kebebasan kepada warga untuk mengembangkan ekonominya
sehingga berlomba-lomba mencari keuntungan sendiri.23 Liberalisasi Ekonomi mencakup
proses termasuk kebijakan pemerintah yang mempromosikan perdagangan bebas,
deregulasi, penghapusan subsidi, sistem kontrol harga dengan penjatahan, dan
kadangkala privatisasi pelayanan publik. Ini telah dikembangkan secara intens di kancah
bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks
Perjanjian Baru. Satu bukunya berjudul “The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption,
and Restoration” (Oxford University Press, 1985). Dalam bukunya yang lain, yang berjudul “A Textual
Commentaary on the Greek New Testament”, (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun
1975), Metzger menulis di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh
penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada
pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya. Adian Husaini, Mengapa Barat…, hlm.
23 lihat juga Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (Stutgard: United
Bible Societies, 1975), hal. xiii-xxi. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the
Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972), hal. 40.

19
Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, (Ponorogo: Centre for Islamic and
Occidental Studies, 2007) hlm. 3
20
McMillan Reference, Encyclopedia of Philosophy…, vol. 7, hlm. 350 (5748)
21
H James Birx (ed. in chief), Encyclopedia of Time: Science, Philosophy, Theology, & Culture,
(California: Sage Publication, 2009) hlm. 374 (409)
22
McMillan Reference, Encyclopedia of Philosophy…, vol. 7, hlm. 354 (5752)
23
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar,... hlm. 377

internasional mulai 1970an, banyak negara menggunakan asas laisses-faire dalam
perdagangan, serta intervensi pemerintah di dalamnya merupakan ketidakefektifan.24
Setting sejarah pemikiran ekonomi yang demikian memunculkan beberapa aliran
ekonomi modern setelah revolusi industri. Yakni, secara khusus setelah renaissance di
Eropa abad 14 hingga 16/17. Transfer pengetahuan semakin bertambah dengan
ditemukan mesin cetak Guttenberg, bank-bank modern mulai muncul. Hingga
penjelajahan laut mulai digalakkan guna membentuk koloni baru, khususnya untuk
pemasaran barang dagangan, hingga pencarian sumber daya alam. Di zaman tersebut,
dimulailah juga imperialism dan kolonialisme bangsa Eropa atas lainnya. 25 Selanjutnya
kita akan coba meneliti beberapa aliran ekonomi Eropa yang berkembang setelah
renaissance. Kita akan coba menyoroti sedikit sisi historis-filosofis, yang tentunya
mencakup asumsi dasarnya.
Dalam studi ekonomi, yang seringkali dianggap sebagai ekonomi modern pertama
adalah Merkantilisme pada abad 16, ketika itu masih dianggap ekonomi politis. 26 Adam
Smith (1723-1790) adalah salah seorang pemikir ekonomi Eropa yang terkenal dengan
karyanya "the Wealth of Nation". Selanjutnya juga menulis tentang filsafat moral yang
terkait dengan ekonomi, seperti buruh dan kesejahteraannya. Teori yang dikemukakan
olehnya adalah tentang pekerja produktif dan tidak produktif. Bahwa pekerja yang
produktif mampu menyebabkan produksi barang-barang, selanjutnya secara akumulatif
dapat menghasilkan surplus untuk investasi masa depan. Teori Adam Smith diskritisi
karena asumsi dasarnya, bahwa manusia terbagi tiga, yaitu yang hidup dengan sewa,
upah, dan yang hidup dengan keuntungan. Tentu asumsi dasar seperti ini sangatlah
empiristik, hal ini dianggap wajar, karena Smith memang terpengaruh oleh pemikiran
David Hume.27 Belakangan, Adam Smith akhirnya didaulat sebagai bapak ekonomi
Kapitalis.
Selanjutnya adalah Thomas Robert Malthus (1766-1834) yang banyak
membicarakan tentang teori populasi dalam karyanya "an Essay on the Principle of
Population". Populasi menjadi pembahasan menarik karena terkait dengan masalah sosial
dan ekonomi. Diantara teorinya : "Makanan itu penting untuk kelangsungan hidup
manusia. Dan hasrat antara jenis kelamin juga akan penting dan akan tetap ada dalam
keadaan sekarang...".28 Selain itu juga terkait dengan teori buruh dan populasi: “Jumlah
24

United Nations: Department of Economic and Social Affairs, Rethinking Poverty: Report on
the World Social Situation 2010, (New York: United Nation Publication, 2009) hlm. 97
25
H James Birx (ed. in chief), Encyclopedia of Time:…., hlm. 377-378 (413)
26
N.S.B Gras, The Development of Metropolitan Economy in Europe and America (a paper read
at the St. Louis meeting of the American Historical Association 29 December 1921) in JSTOR Journal hlm.
695 at https://ia601902.us.archive.org/31/items/jstor-1837536/1837536.pdf
27
William J Barber, A History of Economic Thought, (New York: Penguin Books Ltd, 1967) hlm.
34-39 (19)
28
William J Barber, A History of Economic…, hlm. 59 (29)

buruh yang berada di atas proporsi pekerjaan di pasar, harga tenaga kerja harus cenderung
menurun, sementara harga ketentuan pada saat yang sama cenderung meningkat. Oleh
karena itu, buruh harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan penghasilan yang sama
seperti sebelumnya. Selama musim kesedihan ini, keputusasaan untuk menikah dan
sulitnya membesarkan keluarga begitu besar, populasi berada pada posisi tegak.” 29
Tentunya teori tersebut hanya menitik beratkan pada kesejahteraan jasmani manusia saja.
Kita tidak melihat teori tersebut terkait dengan konsep Tuhan atau konsep hari akhir dan
lainnya.
Tidak jauh dari itu, David Ricardo (1772-1823) dalam buku “Principles of
Political Economy and Taxation” juga memiliki teori bahwa: “di semua negara dan setiap
saat keuntungan bergantung pada jumlah kebutuhan tenaga kerja untuk menyediakan
kebutuhan bagi buruh di tanah itu atau dengan modal yang tidak menghasilkan uang
sewa.”30 Tentunya, asumsi dasarnya hampir serupa, yakni masih terkait dengan kepuasan,
dan tujuan duniawi dari ekonomi itu sendiri. John Stuart Mill (1806-1873) yang juga
seorang filosof pendidikan memiliki pemikiran ekonomi yang politis, seperti “bahwa
peningkatan kecerdasan, pendidikan, dan cinta kemerdekaan di antara kelas pekerja,
harus dihadirikan dengan pertumbuhan perbuatan yang baik yang mewujudkan dirinya
dalam kebiasaan baik yang berkaitan, dan bahwa populasi, oleh karena itu , Akan
menghasilkan rasio yang berkurang secara bertahap terhadap kebutuhan modal dan
distribusi pekerjaan.”31
Selanjutnya adalah Asumsi dasar filsafat ekonomi Karl Marx (1818-1883) adalah
materialisme historis. Hal ini telah ia dikembangkan bersama Engel dalam rangka
mendukung tesisnya, bahwa sistem produksi haruslah dilaksanakan dengan stuktur politik
yang legal atau ideologi super stuktur.32 Karena sistem kapitalis membuat kelas pekerja
dan pemilik modal (borjuis) menjadi jauh terpisah. Pemilik modal dengan kuasanya
mengeksploitasi kaum pekerja, selain itu kekayaan kaum borjuis juga semakin
meningkat. Hingga terjadi ketidakstabilan ekonomi atau ketimpangan. Inilah perlunya
ada revolusi dalam bidang ekonomi dan pemerintahan. 33 Solusinya adalah dengan
29

William J Barber, A History of Economic…, hlm. 59 (29)
William J Barber, A History of Economic…, hlm. 79 (39)
31
pemikiran ini mengkritisi sebelumnya, yang mana mengukur kesejahteraan hanya berdasarkan
produksi saja. Sebaliknya, bahwa peningkatan pendidikan dan kemanusiaan bahkan mampu meningkatkan
etos kerja dari para buruh itu, dan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap efisiensi pekerjaan
produksi di pabrik. Selain itu, pemerintah juga sangat diharuskan untuk ikut melakukan stabilisasi yang
terjadi akibat perubahan sosial yang terkadang bermasalah dengan kesejahteraan sosial. Pemikiran tentang
kesejahteraan ini nampaknya merupakan interaksi Mill dengan Marx. lihat William J Barber, A History of
Economic…, hlm. 101-104
32
Nicholas Bunnin dan Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, (Malden:
Blackwell Publishing, 2004) hlm. 198
33
William J Barber, A History of Economic…, hlm. 147-150
30

mencanangkan sosialisme dalam kepemilikan pribadi dan kekayaan negara.34 Ini
menunjukkan, bahwa komunis merupakan antithesis dari kapitalis. yang mana
selanjutnya terjadi banyak perebutan kekuasaan yang berdarah juga. Ini akibat dari
asumsi dasar akan konsep manusia, konsep alam, dan lainnya yang tidak terkait dengan
nilai ketuhanan.
Selain itu, motivasi untuk berkegiatan ekonominya juga beragam. Di antaranya
adalah teori krisis, yang juga terkait dengan teori produksi dan distribusi, belum lagi
akibat sosial seperti kepanikan masyarakat akan harga barang.35Asumsi dasar dan
motivasi tersebut, serta dilatar-belakangi dengan suasana keagamaan (Kristen) Eropa
yang saat itu dimarjinalkan karena banyak sebab, akhirnya membentuk corak dan aliran
ekonomi yang khas. Bahkan di Barat, konsep-konsep dalam agama seperti Tuhan,
manusia, moral, dan sebagainya bukan merupakan hal yang permanen. Para teolog dan
filosof memiliki pandangan masing-masing tentang semua konsep tersebut, bahkan ada
juga yang berujung kepada penolakan metafisika.
Kondisi tersebut juga telah dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah
Harvey Cox, seorang teolog Kristen. Ia mendifinisikan sekularisasi sebagai:
“pembebasan manusia dari pentunjuk/arahan agama dan metafisika, pengalihan
perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini”.36 Sekularisasi dianggap menjadi
pemahaman baru bagi manusia, yakni dari pandangan kosmologis berpindah kepada
pandangan antropologis, karena hal ini penting dalam perkembangan sains.37 Al-Attas
juga memberikan komentar atas sekularisas dan menyebut tiga komponen proses
sekularisasi dalam pemikiran manusia, yaitu: (1) disenchantment of nature (pengosongan
alam dari semua makna spiritual); (2) desacralization of politics (desakralisasi politik);
dan (3) deconsecration of values (pengosongan nilai-nilai agama dari kehidupan). 38
Kekhasan pandangan ini adalah desakralisasi terhadap alam dari nilai-nilai Tuhan.
Jauh sebelum itu, ada filosof Barat yang memang telah meramalkan fenomena
tersebut dengan membuat kategorisasi kehidupan manusia. August Comte (1798-1857)
membuat kategorisasi sebagai berikut: 1) Tahap Teologis: a) Fetisisme, b) Politeisme, dan
b) monoteisme 2) Tahap Metafisik dan 3) Tahap Positif. 39 Kategorisasi ini tentunya
34

William A. Darity (ed. in chief), International Encyclopedia of the Social Sciences, (New
York: Macmillan Reference, 2008) second edition, vol. 4, hlm. 638 (2657)
35
William A. Darity (ed. in chief), International Encyclopedi…, vol. 2, hlm. 483 (1239)
36
Donald Gates, Altruism ini the Context of Economic Rationalistic Ideologies and System of
Healthcari and Welfare Delivery: a Multidiciplinary Approach, (Morrisville: Lulu.com, 2006) hlm. 193
37
lihat juga Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation
(translated and edited by Sister Caridad Ida), (Maryknoll: Orbis Books, 1988)
38
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993) hlm.
15-19
39
McMillan Reference, International Encyclopedia of the Social Sciences, 2nd edition,
(Thomson Gale : Fermingston Hill, 2008) vol 2, hlm. 721 lihat juga Rudolf Steiner, Eternal and Transient

setelah dicetuskannya pemikirannya dalam bidang positivisme. Artinya, sekularisasi
dapat dikatakan merupakan hasil dari renaissance, yang mana manusia di Barat ‘seolah
terlahir kembali’ dengan bertambah yakin dan optimis akan kekuatan rasio manusia
daripada kekuatan hal-hal metafisis seperti Tuhan dan lainnya.
Jejak positivisme dalam sains ekonomi masih terlihat. Hal ini dapat kita lihat dari
asumsi dasar berbagai aliran ekonomi di atas. Diantara pilar-pilarnya adalah: (1) kesatuan
dari metodologi ilmiah, (2) mencari sebab-akibat dari manusia (3) percaya kepada
empirisisme (4) sains dan prosesnya adalah bebas nilai (5) pondasi sains adalah logika
dan matematika. Tentunya, hal tersebut mengesampingkan fakta-fakta non empiris yang
berada di balik sains tersebut, apalagi segi metafisik. 40
Perkara ilmu dan sains, terdapat perbedaan yang menyolok antara definisi ilmu
dalam Islam dan pandangan Barat. Istilah ilmu dalam epistemology Islam mempunyai
kemiripan dengan istilah science dalam epistemology Barat. Pengertian ilmu sebenarnya
tidak jauh beda dengan sains, hanya sementara sains dibatasi pada bidang-bidang fisik
atau inderawi, ilmu melampauinya pada bidang-bidang non-fisik seperti metafisika. 41
Namun ternyata definisi sains di Barat telah mengalami pergeseran makna. Sains pada
masa awal abad 19 difahami sebagai sebagai any organized knowledge yang termasuk
juga teologi. Lama kelamaan makna sains berubah menjadi yang intinya adalah sesuatu
yang bisa diverifikasi secara empiris (fisik) dan rasional.42
Elements in Human Life: the Cosmic Past of Humanity and the Mistery of Evil, (Malta: Gutenberg Press
Ltd., 1988) hlm. 13-17
40
sebagaimana disebutkan: The characteristic theses of positivism are that science is the only
valid knowledge and facts the only possible objects of knowledge; the basic affirmations of positivism are:
(1) that all knowledge regarding matters of fact is based on the “positive” data of experience, and (2) that
beyond the realm of fact is that of pure logic and pure mathematics. The Positivists became noted for their
repudiation of metaphysics; i.e., of speculation regarding the nature of reality that radically goes beyond
any possible evidence that could either support or refute such knowledge claims. Positivism is thus,
worldly, secular, anti-theological, and anti-metaphysical. lihat dalam McMillan Reference, Encyclopedia of
Philosophy, (Thomson Gale : Fermingston Hill, 2006) vol 7, hlm. 710
41
Budi Handrianto dalam buku Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda (Insist: Jakarta,
2016) hlm. 58-59
42
Hal ini telah diteliti oleh Mulyadhi Kertanegara: bahwa penyetaraan makna ilmu dan sains
telah dinyatakan oleh Clarence J. Karier dalam buku The Scientist of The Mind, bahwa dalam awal abad 19
sains difahami sebagai any organized knowledge atau sembarang pengetahuan yang terorganisasi termasuk
juga teologi. Pergeseran definisi sains bisa dilacak di kamus-kamus yang terbit di sana, bahwa sains yang
awalnya bermakna ilmu menjadi sains yang intinya bisa diverifikasi secara empiris dan rasional. Dalam
kamus Webster New World Dictionary, disebutkan bahwa sains berasal dari kata Latin scire, yang berarti
mengetahui atau keadaan atau fakta mengetahui. Namun kemudian berubah menjadi pengetahuan yang
sistematis yang berasal dari observasi, kajian dan percobaan-percobaan untuk menentukan sifat dasar
atau prinsip dari apa yang dikaji. Tren ini kemudian mengarah pada pembatasan lingkungan sains hanya
pada dunia fisik. lihat: Mulyadhi Kertanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam
(Bandung: Mizan, 2003) hlm. 2 lihat juga Budi Handrianto dalam buku Islamic Science…, hlm. 58-59

Karena adanya fenomena sekularisasi tersebut, muncullah tokoh-tokoh
cendekiawan muslim yang menanggapi tentang isu tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa
sekularisasi disebar luaskan ke berbagai negara dan agama-agama. Sehingga banyak
cendekiawan yang meresponnya. Islamisasi memiliki makna yang merujuk pada asal kata
‘Islam’. Islam secara bahasa dari kata 'salima-yaslamu' yang berarti selamat dan bebas,
yakni bebas dari aib dan celaka.43 Sedangkan ber'Islam', yakni adalah masuk Islam, yang
mana mengikhlaskan din (agama) karena Allah.44 Islamisasi sendiri, menurut al-Attas
bermakna “pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, tradisi nasionalkultural yang bertentangan dengan Islam dan dan sesudah itu dari pengendalian
sekularisasi terhadap nalar dan bahasanya”.45
Secara khusus, islamisasi ilmu menurut al-Attas dimaknai sebagai pembebasan
ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dari maknamakna serta ungkapan-ungkapan manusia-manusia sekuler, Pembuangan unsur-unsur
asing dari semua cabang ilmu mengacu terutama pada ilmu-ilmu kemanusiaan, meskipun
mesti juga diperhatikan bahwa dalam ilmu-ilmu alam juga terdapat istilah dan penafsiran
fakta yang bersifat sekuler.46
Metodenya adalah dengan mengisikan konsep-konsep Islam47 ke dalam disiplin
ilmu tersebut, setelah sebelumnya mengisolasi atau membuang konsep asing yang
bertentangan dengan Islam. Ilmu yang sudah diislamisasikan masih perlu diformulasikan
untuk dibuat tingkatan dan strukturnya untuk dapat diletakkan dalam sistem edukasi yang
sesuai dengan tempatnya (beradab). Karena ada sebagian dari ilmu tersebut yang
berposisi sebagai fardhu kifayah dan ada juga yang fardhu ain.48
Sedangkan menurut al-Faruqi, Islamisasi ilmu adalah:
43

Louis Ma’luf, al-Munjid…, hlm. 347
Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktabah as-Syurûq adDauliyyah, 1425 H 2004 M) hlm. 446
45
sebagaimana dikutip: “liberation of man first from magical, mythological, animistic
islamization is the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national—cultural
tradition opposed to Islam, and then from secular control over his reason and his language.” lihat Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam and…, hlm. 44 lihat juga Bernhard Platzdasch dan Johan Saravamuttu
(editor), Religious Diversity in Muslim-majority States in Southeast Asia: Areas of Toleration and Conflict,
(Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2014) hlm. 254
46
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam terjemahan Haidar Baqir,
(Mizan: Bandung, 1984) hlm. 90-91
47
Konsep Islam tersebut diantaranya adalah konsep agama (din), konsep manusia (insan),
konsep pengetahuan (ilm dan ma'rifah), konsep kebijaksanaan (hikmah), konsep keadilan ('adl) konsep
perbuatan baik (amal dan adab) konsep universalitas (kulliyah-jami'ah) sebagaimana diderivasi dari alQur'an dan hadits Rasulullah SAW. lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism…, hlm.
163
48
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism…, hlm. 162-164
44

“membentuk/mencetak ulang ilmu tersebut untuk menyesuaikan dengan Islam…
sebagian prosesnya berupa pendefinian ulang dan tinjauan ulang terhadap data ang
digunakan, memikirkan kembali argument-argumen yang sesuai untuk data tersebut.
Selanjutnya dilakukan evaluasi ulang untuk menyimpulkan kembali hal yang telah ada,
serta memberikan tujuan dan proyeksi yang baru. Cara ini meningkatkan visi sebuah
disiplin ilmu.”49

Tujuan dari rencana kerja Islamisasi al-Faruqi adalah sebagai berikut: 1)
Penguasaan disiplin. 2) Penguasan Khazanah Islam. 3) Penentuan relevansi Islam bagi
masing-masing bidang ilmu modern. 4) Pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam
dengan ilmu modern. 5) Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai
pemenuhan pola rencana Allah SWT.50
Menurut al-Faruqi, untuk merealisir tujuan tersebut, ada sejumlah langkah yang
harus dilakukan. Langkah-langkahnya adalah: 1) Penguasaan disiplin ilmu modern
(penguasaan kategoris). 2) Survey disiplin ilmu. 3) Penguasaan khazanah Islam, sebuah
antologi. 4) Penguasaan khazanah ilmiah tahap analisa. 5) Penentuan relevansi Islam
yang khas terhadap disiplin ilmu. 6) Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern:
tingkat perkembangannya di masa kini. 7) Penilaian kritis terhadap khazanah Islam pada
tingkat perkembangannya. 8) Survey permasalahan yang dihadapi umat Islam. 9) Survey
permasalahan yang dihadapi umat manusia. 10) Analisa kreatif dan sintesa. 11)
Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam 12) Penyebaran ilmuilmu yang diislamiskan.51
Karena dalam kasus Islam, dari konsep Tuhan timbul konsep-konsep lain seperti
konsep Wahyu (al-Qur’an), penciptaan, hakikat kejiwaan manusia, ilmu, agama,
kebebasan, nilai dan kebajikan, kebahagiaan dan lainnya. Konsep-konsep tersebut saling
berkaitan dan membentuk sistem metafisika dan worldview yang selanjutnya menjadi
penafsir bagi makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Struktur tersebut berperan
dalam menerima dan menolak pengetahuan yang diperolehnya secara selektif. Artinya
ketika akal seseorang menerima pengetahuan, terjadi proses seleksi yang alami, di mana
pengetahuan tertentu diterima dan yang lainnya ditolak. Penerimaan atau penolakan
tersebut didasari karena pandangan hidupnya tentang realitas dan kebenaran tersebut.
Seorang muslim bisa mengetahui liberalisasi atau sekulerisasi tanpa menjadi liberal dan
sekuler karena dasar berfikirnya yang sudah kokoh. Sebaliknya, jika dasar berfikirnya
(baca: worldview) tidak kokoh maka ia bisa saja beridentitas muslim tapi
pengetahuannya liberal dan sekuler.52
49

The International Institute of Islamic Thought, Islamization of Knowledge: General Principles
and Work Plan, (Herndon: The International Institute of Islamic Thought (IIIT), 1989) hlm. 18-20
50
Ismail Raji’ al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan
terjemahan Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2003) cet. III, hlm. 98
51
Ismail Raji’ al-Faruqi, Islamization of Knowledge…., hlm. 100-117

Membicarakan konsep ekonomi Islam zaman sekarang merupakan keharusan.
Meningkatnya kesadaran bahwa sistem riba bunga bank, penimbunan, dan berbagai
praktik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dari segi nilai-nilai keislaman. Untuk
menyebut beberapa nama seperti ulama dari zaman Abu Yusuf (w. 798), asy-Syaibani (w.
804), imam al-Ghazali (w. 1111) Ibnu Khaldun (w. 1406), al-Maqrizi (1441) hingga
kontemporer seperti Umer Chapra (1983-1989), Abdul Mannan, Monzer Kahf, Yusuf
Qardhawi, dan lainnya.
Masih banyak kalangan ilmuwan baik ilmuwan Barat maupun ilmuwan muslim
sendiri yang masih meragukan bahkan menafikan adanya sains Islam. Mereka
mengatakan bahwa sains itu netral, sehingga tidak ada sains Hindu, Buddha, dan lainnya.
Sebagaimana yang diyakini oleh Abdussalam, seorang saintis muslim penerima hadiah
Nobel di bidang Fisika tahun 1980-an.53 Pendapat ini juga dipegang oleh Fazlur Rahman
yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang
salah di dalam ilmu pengetahuan, masalahnya hanya dalam penyalahgunaan.
Menurutnya, ilmu pengetahuan ibarat “senjata bermata dua” yang mesti digunakan
dengan hati-hati dan bertanggungjawab sekaligus menggunakan dengan benar.54
Tidak untuk menyalahkan pendapat para ilmuwan tersebut, namun perkara
netralitas sains yang sudah menjadi perdebatan sejak dulu hendaknya segera diakhiri.
Perkembangan dalam kajian filsafat ilmu akhirnya menguak hal-hal tersebut, bahwa
setiap disiplin ilmu memiliki landasan filosofis. Landasan filosofis tersebut adalah
kerangka teori (theoretical framework), paradigma keilmuan, dan asumsi dasar. Ketiga
hal tersebut memang tidak serta merta bisa terlihat secara praktis, namun sangat jelas
menentukan “corak” ilmu yang dihasilkan. Suatu paradigma juga lahir dari asumsi dasar
tertentu, begitu pula dengan teori yang dihasilkan. 55 Artinya, ketika kita bandingkan fakta
urgensi sekularisasi di peradaban Barat, bukan berarti sekularisasi juga harus diterapkan
52

Hamid Fahmy Zarkasyi dalam buku Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda (Insist:
Jakarta, 2016) hlm. 16
53
sebagaimana dinyatakan: “There is only one universal science, its problems and modalities are
international and there is no such as Islamic science just as there is no Hindu science, no Jewish science,
no Confucian science, nor Christian science.” dalam Pervez Hoodboy, Islam & Sains: Pertarungan
Menegakkan Rasionalitas, (Bandung: Pustaka, 1997) hlm. vi
54
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad
Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998) hlm. 398
55
Menurut Dr. Mohammad Muslih: “bahwa setiap teori memiliki kerangka kerja yang lazim disebut
metodologi, dan berbeda teori akan berbeda metodologinya. Dalam kegiatan keilmuan, metodologi harus
dipahami sebagai ‘kacamata’ atau perspektif dalam membaca, memahami dan menafsirkan objek ilmu
pengetahuan, sehingga fakta dapat ditata dan dipetakan menjadi data yang sesuai dengan karakternya.”
lihat: Mohammad Muslih, Pengembangan Sains Islam dalam Perspektif Metodologi Program Riet
Lakatosian: Survey Kritis atas Karya Dosen UIN Malang dan UIN Yogya, (Yogyakarta: UIN SuKa Press, 2017)
hlm. 159-160

dalam studi Islam. Ini karena setting sejarah dan tradisi keilmuannya berbeda, selain itu
dalam kajian worldview, bahwa Islam dan Barat bukan peradaban yang sama.
Penutup
Setelah berbagai uraian di atas, kita dapat simpulkan bahwa ilmu ekonomi
termasuk dalam paradigma sains sosial. Secara historis, terdapat fakta bahwa
perkembangan ilmu ekonomi terbagi menjadi dua, yakni menurut tradisi peradaban Barat
dan Islam. Namun saat ini masih banyak yang belum menyadari perbedaan antara
keduanya.
Berdasarkan kajian di atas, kita dapat membedakan antara ilmu ekonomi di Barat
dan ekonomi Islam yang telah ada. Kita tentu sering mendengar bahwa konsep ekonomi
Islam melarang praktik yang tidak sesuai dengan hukum syariat Islam. Inilah perbedaan
secara praktis, meski hanya terlihat dalam beberapa sisi saja. Namun jika kita singkap
asumsi dasar dan paradigma filosofisnya, nampak terlihat bahwa perbedaan keduanya
adalah pada tataran landasan filosofis hingga metodologinya.
Kajian ini tentu menemukan hal yang penting, bahwa urgensi sekularisasi ilmu
sosial di Barat tidak harus diterapkan juga dalam tradisi keilmuan Islam. Bahkan dalam
Islam juga terdapat urgensi Islamisasi untuk ilmu kontemporer yang berasal dari Barat.
Inilah yang seharusnya terjadi. Karena setiap peradaban sebenarnya dapat berdialog dan
bertukar hal-hal yang bermanfaat bagi keduanya, namun tetap mempertahankan
identitasnya.
Bagi seorang muslim, tentu ia wajib menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan
yang sesuai untuk tradisi keilmuannya. Ia tidak harus mengambil semua konsep ilmu
yang ada di depannya, hingga pandangan hidup Barat itu sendiri. Justru pandangan hidup
Islamnya yang akan mampu membuat ia mengambangkan keilmuan itu untuk dapat
sesuai dengan tradisi dan pandangan peradaban Islam.

Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought, 1993)
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan dalam Islam terjemahan Haidar
Baqir, (Mizan: Bandung, 1984)

Al-Faruqi, Ismail Raji’, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan
terjemahan Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2003) cet. III
Barber,William J, A History of Economic Thought, (New York: Penguin Books Ltd, 1967)
Birx, H James, (ed. in chief), Encyclopedia of Time: Science, Philosophy, Theology, &
Culture, (California: Sage Publication, 2009)
Bunnin, Nicholas dan Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy,
(Malden: Blackwell Publishing, 2004)
Darity, William A. (ed. in chief), International Encyclopedia of the Social Sciences, (New
York: Macmillan Reference, 2008)
Friedman, Richard Elliot, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library, 1989)
Gates, Donald, Altruism ini the Context of Economic Rationalistic Ideologies and System
of Healthcari and Welfare Delivery: a Multidiciplinary Approach, (Morrisville:
Lulu.com, 2006)
Gras, N.S.B, The Development of Metropolitan Economy in Europe and America (a paper
read at the St. Louis meeting of the American Historical Association 29
December
1921)
in
JSTOR
Journal
hlm.
695
at
https://ia601902.us.archive.org/31/items/jstor-1837536/1837536.pdf
Gutierrez, Gustavo A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation (translated
and edited by Sister Caridad Ida), (Maryknoll: Orbis Books, 1988)
Handrianto, Budi dalam buku Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda (Insist:
Jakarta, 2016)
Hoodboy, Pervez, Islam & Sains: Pertarungan Menegakkan Rasionalitas, (Bandung:
Pustaka, 1997)
Hornby, Albert Sidney, Oxford advanced Learner’s Dictionary of Current English,
(England: Oxford University Press, 2005) sixth edition
Husaini, Adian, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, (Ponorogo: Centre for Islamic
and Occidental Studies, 2007)
Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktabah as-Syurûq
ad-Dauliyyah, 1425 H 2004 M)
Kertanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam
(Bandung: Mizan, 2003)

Ma’luf, Louis, al-Munjid fi-al-Lughoh wa-al-A’lam, (Daar al-Masyriq: Beirut, 2002) cet.
39
McMillan Reference, Encyclopedia of Philosophy, (Thomson Gale : Fermingston Hill,
2006) vol. 7
Mcmillan Reference USA, Encyclopedia of Philosophy (edited by: Donald M. Borchert),
(New York: Thomson-Gale, 2006) vol. 5
McMillan Reference, International Encyclopedia of the Social Sciences, 2nd edition,
(Thomson Gale : Fermingston Hill, 2008) vol 2
Metzger, Bruce M. A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (Stutgard:
United Bible Societies, 1975)
Peck, Scott, The Road Less Travelled, (London: Arrow Books Ltd, 1990)
Platzdasch, Bernhard dan Johan Saravamuttu (editor), Religious Diversity in Muslimmajority States in Southeast Asia: Areas of Toleration and Conflict, (Singapura:
Institute of Southeast Asian Studies, 2014)
Rutherford, Donald, Routledge Dictionary of Economics (London: Taylor & Francis
Group, 2002) second edition
Sage Publication, The Sage Encyclopedia of Qualitative Research Methods (edited by
Lisa M. Given), (Sage Publication Inc: California, 2008) vol. 1-2
Scruton, Roger, The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought ( New York:
Palgrave Macmillan press, 2007) third edition
Steiner,Rudolf, Eternal and Transient Elements in Human Life: the Cosmic Past of
Humanity and the Mistery of Evil, (Malta: Gutenberg Press Ltd., 1988)
The International Institute of Islamic Thought, Islamization of Knowledge: General
Principles and Work Plan, (Herndon: The International Institute of Islamic
Thought (IIIT), 1989)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa:
Jakarta, 2008)
Tim Redaksi Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional: Jakarta, 2008)
United Nations: Department of Economic and Social Affairs, Rethinking Poverty: Report
on the World Social Situation 2010, (New York: United Nation Publication,
2009)

Wan Daud, Wan Mohd, Nor The Educational Philosophy and Practice of Syed
Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998)
Zarkasyi, Hamid Fahmy, dalam buku Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda
(Insist: Jakarta, 2016)

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2