284127668 Abdulafaiqunair Analisis Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam

TESIS

ANALISIS TERHADAP KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM

BIROKRASI PEMERINTAHAN

(Studi Terhadap Kepemimpinan Perempuan di Kabupaten Tuban Jawa Timur)

Oleh: Abdullah Faiq

NIM: 090210503L

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2004

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2004 UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan baik. Dalam proses penulisan tesis ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepeda:

Prof. H. Kuntoro, dr., MPH, DrPH selaku pembimbing ketua dan Drs. Jusuf Irianto, M. Com yang dengan tulus dan ikhlas bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta perhatian yang tinggi telah memberikan dorongan, bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan proposal sampai dengan penyusunan tesis ini.

Prof. Dr. Med. Puruhito, dr. selaku Rektor Universitas Airlangga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan pendidikan program Magister di Universitas Airlangga.

Prof. Dr. H. Muhammad Amin, dr., spP (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister.

Prof. Dr. Haryono Suyono, MA., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Ilmu PSDM yang selalu memberikan dorongan penuh dengan wawasan dan ide yang cemerlang dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Dr. H. Haryadi Soeparto, dr., DOR., APU, selaku Keua Peminatan Pemerintahan Program Studi Ilmu PSDM yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan dorongan selama penulis mengikuti studi dan penulisan tesis.

Dr. Sunarjo, dr., MS., MSc., selaku Wakil Ketua Program Studi Ilmu PSDM yang dengan kesediaan penuh melayani pembimbingan, konsultasi serta Dr. Sunarjo, dr., MS., MSc., selaku Wakil Ketua Program Studi Ilmu PSDM yang dengan kesediaan penuh melayani pembimbingan, konsultasi serta

Seluruh Dosen Ilmu PSDM yang telah memberikan bekal bagi penulis melalui materi-materi kuliah yang serius dan sangat bermanfaaat serta bernilai guna tinggi dalam penyempurnaan penulisan tesis ini. Juga kepada seluruh Tenaga Administrasi yang dengan tulus ikhlas melayani keperluan penulis selama menjalani studi dan penulisan tesis ini.

Ketua Tim dan Anggota Tim Penguji tesis yang telah memberikan pemecahan, saran, dan masukan yang bermanfaat guna penyempurnaan tesis ini. Bupati Dra. Haeny Relawati Rini Widyastuti, M. Si kabuaten Tuban Jawa Timur yang telah menyediakan fasilitas untuk memudahkan penelitian dan penulisan tesis ini, dan kepada bapak Theo dan seluruh jajaran pegawai kabupaten, yang juga membantu kelancaran penulisannya.

Ayahanda Muhriy Syarkaniy (Alm.), Ibunda Hj. Noor Jannah yang telah memberikan do’a, bekal, panutan, petuah, nasehat tentang kesabaran, keuletan dan ketekunan yang tiada henti-hentinya. Juga kepada saudaraku Achmad Jayyid beserta Istri, H. Achmad Tahris beserta Istri, Achmad Chufaf beserta Istri, dan saudara-saudaraku yang tidak sempat penulis sebutkan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pendidiksn, dan tidak lupa kepada keponakanku Maimunah Syarifah yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Teristimewa untuk sahabat karibku Drs. Wahyu Dwi Prasetyodjati, dan Mukarramah, S. Hi yang selalu memberikan semangat dan dukungan penuh, teriring do`a yang dalam, dengan kesabaran menemani penelitian penulis di kabupaten Tuban, dan menanti kesabaran penulis selama mengikuti pendidikan ini.

Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu PSDM angkatan tahun 2002 yang selalu tulus dan saling membantu dalam menempuh pendidikan di Program Magister Universitas Airlangga ini.

Akhirnya dengan iringan do’a semoga Allah SWT. memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang berkepentingan.

Surabaya, 17 September 2004 Penulis

Abdullah Faiq

RINGKASAN

Kepemimpinan perempuan menjadi isu publik yang selalu diperbincangkan, dan telah memancing polemik dan debat antara yang pro dan kontra terhadap pemimpin perempuan dalam sebuah negara, kendatipun pengakuan atas hak dasar kemanusiaan tampak mengalami peningkatan yang signifikan diberbagai belahan dunia. Pengakuan ini juga berlaku atas hak perempuan sebagaimana yang sejajar dengan laki-laki.

Doktrin Agama seringkali dijadikan untuk membenarkan tindakan tidak adil dan bahkan tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan. Doktrin Agama dianggap sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa ditafsirkan, sehingga posisi marginal perempuan dalam Agama dianggap takdir yang tidak dapat diubah. Selain Agama, budaya juga mempengaruhi terbentuknya struktur dan sosial politik yang timpang di masyarakat, sehingga perempuan yang pada posisi lemah hanya bisa bertahan dalam budaya patriarkhi.

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas, maka dalam penelitian ini menggunakan penelitian observasional dengan pendekatan survai dan bertujuan untuk menganalisis kepemimpinan perempuan dalam birokrasi pemerintahan. Perspektif yang diambil untuk menganalisis kepemimpinan perempuan adalah perspektif sosial politik, Agama, dan budaya. Ketiga faktor tersebut, mempunyai pengaruh besar dalam penentuan kontruksi masyarakat yang meneguhkan idiologi jender yang bias.

Dari hasil pengujian statistik dengan menggunakan uji F menunjukkan ada pengaruh gaya kepemimpinan, faktor sosial, agama, budaya secara bersama – sama terhadap prestasi kerja Bupati di Kabupaten Tuban, namun hanya 29,1 %

perubahan variabel Y disebabkan oleh perubahan variabel X 1 sampai X 4 . Sedangkan sisanya yaitu 79,9 % disebabkan oleh variabel lain yang tidak masuk dalam model.

Maka hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara variabel gaya kepemimpinan (X 1 ) terhadap prestasi kerja bupati Kabupaten Tuban. Sedangkan untuk variabel faktor sosial (X 2 ), budaya (X 3 ) agama (X 4 ) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi kerja bupati Kabupaten Tuban. Dengan demikian faktor eksternal seperti sosial politik, budaya dan agama bukan merupakan faktor yang menghalangi prestasi dan kemampuan kerja dari Bupati Tuban

SUMMARY ANALYSIS ON WOMAN LEADERSHIP IN GOVERNMENTAL BUREAUCRACY

Abdullah Faiq

Woman leadership becomes an interesting public issue, resulting in polemics and debates between those who support and those who refuse the leadership of woman in a country, although the recognition of human fundamental rights has become increasingly significant worldwide. This recognition is also in effect for the rights of woman, which are equal to those of man. The recognition of human rights is manifested in the various efforts attempted by thousands of activists in humanity movements, particularly the feminists or those who strive for the rights of woman.

Unfortunately, religious doctrines are often used to justify injustice actions, even violence, against woman. Those doctrines are regarded as strict and uninterpretable, so that marginal position of woman in religion is seen as unchangeable fate. In addition to religion, culture also affects the formation of unfair social and political structure in the society, so that woman in her disadvantageous position can only survive within a depressing patriarchal culture.

Based on those considerations, this study was aimed to analyze woman leadership in governmental bureaucracy. Perspectives taken to analyze woman leadership were from social, political, religious, and cultural perspectives. These three factors have major influence in determining social construction in establishing biased gender ideology.

Results of statistical analysis using F test revealed simultaneous influence of leadership style, social factor, religious factor, and cultural factor on the achievement of Bupati at the District of Tuban. However, it was only 29.1% of the

change in variable Y affected by the change in variable X 1 to X 4 . The rest 79.9% were caused by other variables not included in the model. Additionally, there was significant influence of the variable of leadership style (X 1 ) on the achievement of the Bupati of the District of Tuban, while social (X 2 ), cultural (X 3 ), and religious (X 4 ) variables had no significant influence on the achievement of the Bupati of Tuban. Conclusively, external factors, such as social, political, cultural, and religious factors, are not obstacles for working capability and achievement of the Bupati of Tuban.

ABSTRACT ANALYSIS ON WOMAN LEADERSHIP IN GOVERNMENTAL BUREAUCRACY

Abdullah Faiq

This study was aimed to analyze woman leadership in governmental bureaucracy. Perspectives taken to analyze woman leadership were from social, political, religious, and cultural perspectives. These three factors have major influence in determining social construction in establishing biased gender ideology.

Results of statistical analysis using F test revealed simultaneous influence of leadership style, social factor, religious factor, and cultural factor on the achievement of Bupati at the District of Tuban. However, it was only 29.1% of the

change in variable Y affected by the change in variable X 1 to X 4 . The rest 79.9% were caused by other variables not included in the model. Additionally, there was significant influence of the variable of leadership style (X 1 ) on the achievement of the Bupati of the District of Tuban, while social (X 2 ), cultural (X 3 ), and religious (X 4 ) variables had no significant influence on the achievement of the Bupati of Tuban. Conclusively, external factors, such as social, political, cultural, and religious factors, are not obstacles for working capability and achievement of the Bupati of Tuban.

Keywords: Woman leadership, leadership style, working capability

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Realitas menunjukkan bahwa peristiwa sejarah banyak dipengaruhi oleh persoalan kepemimpinan. Keberhasilan manajemen pemerintahan akan ditentukan oleh efektivitas kepemimpinannya, sehingga kepemimpinan atau leadership dapat dikatakan inti dari manajemen pemerintahan. Kepemimpinan merupakan sebuah proses yang saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan individu, mengontrol daya manusia dalam mengejar tujuan bersama (Inu Kencana, 2003). Jadi kepemimpinan merupakan kehendak mengendalikan apa yang terjadi, pemahaman merencanakan tindakan, dan kekuasaan untuk meminta penyelesaian tugas, dengan menggunakan kepandaian dan kemampuan orang lain secara kooperatif (Donald, 1998).

Dinamika manusia yang kemudian menampakkan diri dalam dinamika organisasi dan dinamika masyarakat sebagai keseluruhan merupakan salah satu faktor pendorong bagi berbagai jenis kemajuan yang hendaknya dicapai oleh umat manusia. Dorongan untuk maju timbul karena hasrat dan keinginan manusia meningkatkan kemampuannya untuk memuaskan berbagai jenis kebutuhannya yang semakin lama semakin kompleks (Sondang,1999).

Semakin disadari bahwa terlepas dari meningkatnya pengetahuan dan keterampilan berkat pendidikan yang semakin tinggi, cara terbaik untuk memuaskan berbagai kebutuhan tersebut adalah dengan menggunakan berbagai jalur organisasi (pemerintahan). Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa semakin kompleks kebutuhan seseorang, semakin banyak organisasi yang diikutinya, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, agama, dan sosial.

Berbarengan dengan menikngkatnya kebutuhan untuk bergabung dalam berbagai organisasi, semakin berkembang pula persepsi yang berkisar pada pandangan bahwa dalam kehidupan organisasional perlu dijamin keseimbangan antara hak dan kewajiban seseorang. Dalam hubungan organisasi dengan para anggotanya, sering dirumuskan bahwa hak organisasi diperolehnya melalui penunaian kewajiban oleh para anggotanya dan sebaliknya hak para anggota organisasi merupakan kewajiban organisasi untuk memenuhinya. Pandangan demikian mengejawantah pada tuntuatan adanya kepemimpinan yang adil dan demokratis dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang, 1999).

Dalam kepemimpinan pemerintahan ada tiga hal yang boleh diputuskan, yaitu boleh mendirikan rumah tahanan bagi masyarakatnya (penjara), boleh menghukum masyarakatnya (sanksi), dan boleh memungut harta masyarakatnya (pajak). Akan tetapi pemerintah juga perlu melayani masyarakatnya dengan baik dari hasil pajak dan retribusi masyarakat (Inu Kencana, 2003).

Tidak dapat disangkal, bahwa keberhasilan suatu pemerintahan baik sebagai keseluruhan maupun berbagai kelompok dalam pemerintahan tertentu, sangat tergantung pada mutu kepemimpinan yang terdapat dalam pemerintahan Tidak dapat disangkal, bahwa keberhasilan suatu pemerintahan baik sebagai keseluruhan maupun berbagai kelompok dalam pemerintahan tertentu, sangat tergantung pada mutu kepemimpinan yang terdapat dalam pemerintahan

Pemerintahan mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara, ke dalam maupun ke luar. Oleh karenanya pertama harus mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan perang, kedua harus mempunyai kekuatan legislatif yang berfungsi membuat undang-undang, yang ketiga harus mempunyai kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan rakyatnya dalam rangka membiayai kebutuhan negara dalam rangka penyelenggaraan peraturan. Hal tersebut dalam rangka penyelenggaraan kepentingan negara.

Persoalan gender akhir-akhir ini sedang menjadi wacana publik yang hangat dibicarakan oleh banyak kalangan. Persoalan ini menyangkut tentang kemitraan dan keadilan peran sosial antara laki-laki dan perempuan, yang dalam sepanjang manusia telah dikonstruksi oleh agama, adat, dan budaya. Dalam hal peran ini sering terjadi kekaburan dalam kehidupan sehari-hari antara ketimpangan peran kehidupan. Ada yang lebih berpegang pada adat, budaya dari Persoalan gender akhir-akhir ini sedang menjadi wacana publik yang hangat dibicarakan oleh banyak kalangan. Persoalan ini menyangkut tentang kemitraan dan keadilan peran sosial antara laki-laki dan perempuan, yang dalam sepanjang manusia telah dikonstruksi oleh agama, adat, dan budaya. Dalam hal peran ini sering terjadi kekaburan dalam kehidupan sehari-hari antara ketimpangan peran kehidupan. Ada yang lebih berpegang pada adat, budaya dari

Di penghujung tahun 1998 yang lalu, di Indonesia wacana pemimipin perempuan telah mencuat ke permukaan. Dalam catatan kami diskursus wacana pemimipin perempuan telah memancing polemik dan debat antara yang pro maupun kontra terhadap pemimpin perempuan dalam sebuah negara. Apalagi dalam masyarakat yang secara umum bersifat patrilinial, yakni memuliakan kaum laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Sekali pun sejarah menunjukkan bahwa banyak sekali pemimpin perempuan yang sukses dalam memimpin sebuah bangsa. Ini merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa perempuan sekarang ini telah tampil menduduki berbagai jabatan penting dalam masyarakat (Awuy, 1999).

Dalam Tap MPR No. II/1973 dinyatakan, bahwa calon presiden dan wakil presiden ialah orang Indonesia asli dan memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia.

b. Telah berusia 40 tahun.

c. Bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan umum.

d. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

e. Setia kepada cita-cita proklamasi 17 Agustus 45, Pancasila, dan UUD 45.

f. Bersedia menjalankan haluan negara menurut garis besar yang telah ditetapkan.

g. Berwibawa.

h. Jujur.

i. Cakap. j. Adil. k. Dukungan dari rakyat yang tercermin dalam Majelis (AM. Fatwa,1997).

Dari dasar ketetapan MPR di atas, jelas tidak peduli apakah dia laki-laki atau perempuan asal memenuhi syarat-syarat di atas, jadilah ia seorang presiden atau wakil presiden (pemimpin publik).

Indonesia sebagai negara yang demokratis dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal tidak mengenal paham diskriminasi jender. Terlebih lagi, jika di tinjau dari segi hukum positif (UUD 45), yang berlaku di negara Indonesia tidak ada satu pun undang-undang yang melarang seorang perempuan menjadi pemimpin publik. Oleh karena itu rekomendasi yang menolak kehadiran pemimipin perempuan sangat bertolak belakang dengan iklim di tingkat internasional yang begitu gencar memperjuangkan harkat martabat kaum perempuan untuk meraih kesempatan yang sama dalam aspek kehidupan sosial berbangsa dan bernegara.

Ada pendapat sebagian Ulama atau Fuqaha` yang memahami secara tekstual ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadits Nabi saw. yang melarang adanya seorang Ada pendapat sebagian Ulama atau Fuqaha` yang memahami secara tekstual ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadits Nabi saw. yang melarang adanya seorang

Maka perlu dikaji kembali ayat 34 Surat al-Nisa` “ar-rijaalu qawwamuuna `ala al-nisa` ”, yakni Kaum laki-laki menjadi tanggung jawab kaum perempuan (QS. al-Nisa`) yang menjadikan pijakan utama pengharaman pemimpin perempuan. Secara historis, menurut Imam Abul Hasan ibnu Ahmad Al-Wahidi (w. 468 H) sebab-sebab turunnya ayat tersebut bermula dari cerita Sa`ad ibn Rabi`, seorang pembesar Anshar. Diceritakan bahwa istrinya (Habibah) telah berbuat durhaka, dan menentang keinginan Sa`ad untuk bersetubuh, lalu ia ditampar oleh Sa`ad. Peristiwa tersebut sampai pada pengaduan Nabi sw. Nabi saw kemudian memutuskan untuk menghukum Sa`ad, akan tetapi begitu Habibah beserta ayahnya mengayunkan beberapa langkah untuk melakukan hukuman, Nabi saw. memanggil keduanya lagi, seraya meberikan informasi ayat yang baru turun melalui Jibril (ayat al-Nisa` 34), sehingga hukuman tersebut dibatalkan. Dari sini dapat difahami bahwa pemakaian ayat tersebut untuk mengharamkan kepemimpinan perempuan di luar urusan “ranjang” jelas memiliki validitas argumentasi yang sangat lemah. Ayat tersebut juga bukan kalimat intruksi (Said Aqil, 1999).

Sedangkan hadits shahih yang diceritakan Imam Bukhari (seorang perawi hadits) “Lan yafliha qaumun wallau amrahum imra`atan”, yakni Tidak akan bahagia suatu kaum apabila urusannya diserahkan kapada seorang perempuan. Jika ditelusuri sebab-sebab munculnya, menurut Ahmad ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H), hadits tersebut bermula dari kisah Abdullah ibn Hudzafah, kurir Rasulullah saw. yang menyampaikan surat ajakan masuk Islam terhadap Kisra Anusyirwan, penguasa Persia yang beragama Majusi. Ternyata ajakan tersebut ditanggapi sinis dengan merobek-robek surat yang telah dikirimkan Nabi saw. Dari laporan tersebut Nabi saw memiliki firasat bahwa Imperium Persia kelak akan terpecah belah sebagaimana Anusyirwan merobek-robek surat tersebut. Tidak berapa lama, firasat itu terjadi, hingga akhirnya kerajaan tersebut dipimpin putri Kisra yang bernama Buran. Mendengar realita negeri Persia yang dipimpin wanita, Nabi saw berkomentar: “lan yufliha qaumun wallau amrahum imra`atan”. Komentar Nabi saw. ini sangat argumentatif, karena kapasitas Buran yang lemah di bidang kepemimpinan.

Obyek pembicaraan Nabi saw. hanya tertuju kepada ratu Buran, putri Anusyirwan yang kredibilitas kepemimpinannya sangat diragukan. Terlebih di tengah percaturan politik timur tengah saat itu yang rawan peperangan antar suku. Dari aspek substansi teks, bukan berupa kalimat larangan, tapi hanya kalimat informasi. Karena itu, hukum haram (larangan) pun tidak memiliki signifikan yang akurat. Dalam realitas di masyarakat, ternyata banyak pemimpin publik perempuan yang tidak kalah keberhasilannnya dibandingkan dengan pemimpin publik laki-laki (Said Aqil, 1999). Dapat dipamahami, bahwa kelemahan Obyek pembicaraan Nabi saw. hanya tertuju kepada ratu Buran, putri Anusyirwan yang kredibilitas kepemimpinannya sangat diragukan. Terlebih di tengah percaturan politik timur tengah saat itu yang rawan peperangan antar suku. Dari aspek substansi teks, bukan berupa kalimat larangan, tapi hanya kalimat informasi. Karena itu, hukum haram (larangan) pun tidak memiliki signifikan yang akurat. Dalam realitas di masyarakat, ternyata banyak pemimpin publik perempuan yang tidak kalah keberhasilannnya dibandingkan dengan pemimpin publik laki-laki (Said Aqil, 1999). Dapat dipamahami, bahwa kelemahan

Pada hakekatnya, esensi dari kepemimpinan nasional terletak pada moral, kualitas dan kapabilitasnya. Apalagi situasi dan kondisi politik Indonesia saat ini sangat rawan dengan terjadinya disintegrasi, dimana tingkat kemajemukan sangat tinggi. Karenanya, sangat diperlukan seorang negarawan yang menegakkan kepemimpinan lintas rasial, etnis agama, berwawasan kemanusiaan yang modern dan tidak mengeksploitasi perbedaan itu.

Perempuan mempunyai hak untuk menikmati hak-hak politik, memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menggapai hak untuk dipilih sebagai pemimpin publik dan hak untuk menduduki jabatan politik. Pemahaman yang melarang tampilnya kaum perempuan sebagai pemimpin publik, hanya didasarkan pada pemahaman nash secara tekstual interpretatif. Jika nash yang dianggap sebagai landasan larangan itu dipahami dengan memberikan interpretasi secara kontekstual, akan diperoleh hukum yang memperbolehkan seorang perempuan tampil sebagai pemimipin publik.

Dengan berdasarkan realitas di atas, maka tulisan ini berupaya mengungkapkan tentang kepemimpinan perempuan di birokrasi pemerintah dalam kasus khusus, yaitu kepemimpinan ibu Heny di pemerintah kabupaten Tuban

Jawa Timur yang dimungkinkan adanya aplikasi yang tidak pada tempatnya seperti penyusupan perempuan dalam politik itu selalu dikalim dengan negatif, pada hal semua itu tidak terlepas dari peran kaum lak-laki. Di sini Saya sebagai penulis hanya berusaha mencari kebenaran dan kebaikan bagi Bangsa dan Negara.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas fenomena yang mengedepankan pada latar belakang pemikiran di atas, maka dalam tulisan ini dapat dirumuskan permasalahnnya sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan, faktor sosial politik, budaya, dan agama terhadap prestasi kerja Bupati kabupaten Tuban dalam pemerintahannya ?

2. Apa yang paling berpengaruh terhadap prestasi kerja Bupati kabupaten Tuban dalam pemerintahannya ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Umum

1. Menganalisis kepemimpian perempuan di pemerintah kabupaten Tuban.

1.3.2. Khusus

1. Menganalisis gaya kepemimpinan, fakor sosal politik, budaya dan agama Bupati kabupaten Tuban dalam pemerintahannya.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut.

2. Sebagai bahan masukan yang dapat memberikan penjelasan tentang kepemimpinan perempuan dalam birokrasi pemerintah Indonesia, khususnya dalam kasus penolakannya partai-partai pilitik yang berasaskan Islam pada kepemimipinan perempuan.

3. Sebagai sarana untuk memberikan diskripsi kepada dunia akademik, kalangan pemerintah, dan publik pada umumnya dalam kaitannya dengan komunitas perempuan yang memiliki potensi politik yang cukup baik yang berhubungan dengan kepemimpinannya di dalam kehidupan politik kenegaraan.

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan hubungannya dengan teori kepemimpinan yang dijadikan rujukan atau referensi kaum perempuan, yaitu beberapa tulisan para ilmuan dan beberapa pemaknaan teks al-Qur`an maupun hadits Nabi SAW. dan fakta sejarah pada masa awal Islam berkembang. Disamping itu, akan diuraikan pula proses pemaknaan mereka terhadap kepemimpinan politik dan apa implikasi terhadap langkah mereka dalam pemimpin publik. Berkaitan dengan hal di atas, maka akan dijelaskan wujud-wujud tindakan riil yang mereka hasilkan, dalam rangka memimpin masyarakat.

2.1. Konsep Kepemimpinan

Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) berarti bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalam terdapat dua pihak yaitu yang dipimpin (rakyat) dan yang memimpin (imam). Setelah ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” (leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan kominikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dan setelah ditambah akhiran “an” menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai. Apabila dilrengkapi dengan Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) berarti bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalam terdapat dua pihak yaitu yang dipimpin (rakyat) dan yang memimpin (imam). Setelah ditambah awalan “pe” menjadi “pemimpin” (leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan kominikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dan setelah ditambah akhiran “an” menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai. Apabila dilrengkapi dengan

Jadi kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Miftah, 1997). Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan menggerakkan atau memotivasi sejumlah orang agar secara serentak melakukan kegiatan yang sama dan terarah pada pencapaian tujuannya (Nawawi dan M. Martin, 1995). Oleh sebab itu, hal yang penting dari kepemimpinan adalah adanya pengaruh dan efektifnya kekuasaan dari seorang pemimpin. Jika seseorang berkeinginan mempengaruhi perilaku orang lain, maka aktivitas kepemimpinan telah mulai tampak relevansinya.

Seiring dengan pengertian di atas, pemimpin adalah orang yang mempunyai wewenang dan hak untuk memepengaruhi orang lain, sehingga mereka berprilaku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut melalui kepemimpinannya.

Dengan demikian, secara sederhana kepemimpinan adalah setiap usaha untuk mempengaruhi. Sementara itu kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin tersebut. Ini merupakan suatu sumber yang memungkinkan seorang pemimpin mendapatkan hak untuk mengajak atau mempengaruhi orang lain (Miftah, 1997). Lebih lanjut, Miftah Toha juga Dengan demikian, secara sederhana kepemimpinan adalah setiap usaha untuk mempengaruhi. Sementara itu kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin tersebut. Ini merupakan suatu sumber yang memungkinkan seorang pemimpin mendapatkan hak untuk mengajak atau mempengaruhi orang lain (Miftah, 1997). Lebih lanjut, Miftah Toha juga

Dari uraian di atas, kepemimpinan perempuan adalah termasuk tipe kepemimpinan demokratik, karena jabatan yang disandangnya dari hasil pilian masyarakat, kendati pun banyak kalangan politikus dari partai-partai yang berasaskan Islam atau sebagian Ulama` menolaknya.

Pemimipin demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu totalitas, karena tipe pemimpin demokratik adalah tipe pemimipin yang paling ideal dan paling didambakan. Memang, harus diakui bahwa pemimpin yang demokratik tidak selalu merupakan pemimpin yang paling efektif dalam kehidupan organisasi sosial karena ada kalanya, dalam hal bertindak dan memgambil keputusan, bisa terjadi keterlambaatan sebagai konsekuensi keterlibatan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Sekalipun demikian, pemimpin yang demokratik tetap dipandang sebagai pemimpin terbaik karena kelemahannya mengalahakan kekurangannya (Sondang 1999).

Setiap masyarakat membutuhkan para pemimpin yang dapat mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan bersama dan aktivitas untuk kepentingan umum.

Dan dengan cara yang dapat diterima, para pemimpin dapat merumuskan masalah dan mengusahakan pemecahannya. Jadi, seseorang menjadi pemimpin karena memang ada kebutuhan masyarakat akan seorang yang dipilih, yang dianggap mampu mengadakan aktualisasi dan merealisasi dari kebutuhan yang dianggap sebagai keinginan masyarakat (Susanto, 1983).

Para pemimpin itu dalam struktur masyarakat disebut sebagai kelompok elit, sebagaimana dikemukakan oleh Schoorl, sebagai berikut: Dalam arti yang paling umum, elit itu menunjuk sekelompok orang, yang di dalam masyarakat menempati kedudukan yang lebih tinggi. Dalam arti yang lebih khusus, elit adalah sekelompok orang terkemuka di beberapa bidang tertentu, dan khususnya golongan kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dari mana pemegang kekuasaan itu diambil (Schoorl, 1991). Tampaknya, sudah menjadi anggapan umum bahwa kekuatan pengerak masyarakat terdapat pada pemimpin. Dalam setiap masyarakat secara wajar timbullah dua kelompok yang berbeda peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan kelompok yang dipimpin, yaitu kelompok mayoritas kebanyakan. Dan untuk menerangkan setiap perubahan dan perkembangan masyarakat perlu diperhitungkan faktor kepemimpinan dari komunitas elit tersebut.

Sementara itu, jika dianalisis dari sifat hubungan antara pemimipin dan masyarakat atau para pengikut, maka pada umumnya terdapat dua macam pendekatan, yaitu bahwa pemimpinlah yang membuat masyarakat atau yang disebut teori “The Great Man” (Miftah, 1997). Kedua adalah teori sosiologis, yang meyakini bahwa masyarakatlah yang membuat pemimpin atau disebut juga Sementara itu, jika dianalisis dari sifat hubungan antara pemimipin dan masyarakat atau para pengikut, maka pada umumnya terdapat dua macam pendekatan, yaitu bahwa pemimpinlah yang membuat masyarakat atau yang disebut teori “The Great Man” (Miftah, 1997). Kedua adalah teori sosiologis, yang meyakini bahwa masyarakatlah yang membuat pemimpin atau disebut juga

Dari cara seorang pemimpin dalam melakukan kepemimpinannya itu dapat digolongkan atas beberapa tipologi;

2.1.1. Tipe Otokratis

Kepemimpinan secara otokratis adalah kepemimpinan yang cara memimpinnya menganggap organisasi sebagai miliknya sendiri. Sehingga seorang pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap para anggota organisasinya dan menganggap mereka itu sebagai bawahannya dan merupakan alat atau mesin, tidak diperlakukan sebagaimana manusia. Bawahan hanya menurut dan menjalankan perintah atasannya serta tidak boleh membantah, karena pimpinan tidak mau menerima kritik, saran dan masukan.

Tipe kepemimpinan otokratis ini dapat kita jumpai dalam pemerintahan feodal oleh kerajaan-kerajaan pada zaman abad pertengahan. Kepemimpinan yang otokratis biasanya dikendalikan oleh seorang pemimpin yang mempunyai perasaan harga diri yang sangat tinggi. Bawahannya dianggap bodoh, tidak berpengalaman, dan selayaknya diperintah sesuka mereka.

Dengan egoisme yang sangat tinggi, seorang pemimpin yang otokratik melihat peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasional seperti kekuasaan yang tidak perlu dibagi dengan orang lain dalam organisasi, ketergantungan total para anggota organisasi mengenai nasib masing-masing dan sebagainya.

2.1.2. Tipe Paternalistik

Cara ini dapat dikatakan untuk seorang pemimpin yang bersifat kebapaan, ia menganggap bawahannya bagaikan anak yang belum dewasa. Tipe pemimpin yang paternalistik banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya di masyarakat agraris.Dengan demikian pemimpin semacam ini jarang sekali atau tidak pernah memberikan kepada bawahannya untuk bertindak sendiri, untuk mengambil inisiatif dan mengambil keputusan. Para bawahannya tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan daya kreasi dan inovasinya.

Konsekuensi dari perilaku demikian ialah bahwa para bawahannya tidak dimanfaatkan sebagai sumber informasi, ide, dan saran. Seorang pemimpin yang paternalistik ini dalam hal-hal yang tertentu sangat dibutuhkan, akan tetapi sebagai pemimpin pada umumnya kurang efektif.

2.1.3. Tipe Kharismatik

Rupanya sulit untuk menemukan sebab seorang pemimpin mempunyai harisma. Yang jelas adalah bahwa pemimpin tersebut mempunyai daya tarik sendiri. Pemimpin yang kharismatik mampu menguasai bawahannya karena mereka diliputi oleh kepercayaan yang luar biasa terhadapnya. Para pengikut Rupanya sulit untuk menemukan sebab seorang pemimpin mempunyai harisma. Yang jelas adalah bahwa pemimpin tersebut mempunyai daya tarik sendiri. Pemimpin yang kharismatik mampu menguasai bawahannya karena mereka diliputi oleh kepercayaan yang luar biasa terhadapnya. Para pengikut

Keputusan dan kesetiaan para bawahannya timbul dari kepercayaan yang penuh keoada pemimpin yang dicintai, dihormati, dan dikagumi, bukan karena benar tidaknya alasan-alasan dan tindakan seorang pemimpin. Kemampuan untuk menguasai bawahannya yang terdapat pada diri seorang pemimpin yang demikratis disebabkan kepercayaannya yang luar biasa kepada kemampuannya itu. Seorang pemimpin yang demokratis adala pemimpin yang dianggap mempunyai kekuatan ghaib atau kesaktian yang tidak dapat diindra secara ilmiah, sehingga dikagumi para bawahannya meskipun para bawahannya tidak selalu dapat menjelaskan secara konkrit mengapa orang tersebut dikagumi.

2.1.4. Tipe Laissez Faire

Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez faire tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pada pandangannya bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para bawahannya terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan seorang pemimpin tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional.

Seorang pemimpin yang laissez faire melihat peranannya bagaikan polisi lalu lintas. Dengan anggapan bahwa para bawahannya sudah mengetahui dan Seorang pemimpin yang laissez faire melihat peranannya bagaikan polisi lalu lintas. Dengan anggapan bahwa para bawahannya sudah mengetahui dan

Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin yang laissez faire dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannya biasanya bertolak dari falsafah hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada organisasi, taat kepada norma-norma dan peraturan yang telah disepakati bersama, mempunyai tangguing jawab yang besar terhadap tugas yang harus diembannya. Dengan sikap demikian, maka tidak ada alasan kuat untuk memperlakukan para bawahannya sebagai orang-orang yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab, tidak setia dan tidak loyal. Nilai yang didasarkan dalam kepemimpinan tersebut adalah nilai saling mempercayai yang besar.

2.2.5. Tipe Demokratik

Seorang pemimpin yang demokratik dihormati dan segani dan bukan ditakuti karena perilakunya dalam kehidupan oeganisasional. Perilakunya memberi motivasi para bawahannya menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Dalam pelaksanaan tugas kepemimpinannya mau menerima saran-saran dari bawahannya dan bahkan kritik dimintanya dari mereka demi kesuksesan kinerja bersama. Ia memberi kebebasan yang cukup Seorang pemimpin yang demokratik dihormati dan segani dan bukan ditakuti karena perilakunya dalam kehidupan oeganisasional. Perilakunya memberi motivasi para bawahannya menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Dalam pelaksanaan tugas kepemimpinannya mau menerima saran-saran dari bawahannya dan bahkan kritik dimintanya dari mereka demi kesuksesan kinerja bersama. Ia memberi kebebasan yang cukup

Untuk dapat mencapai hasil yang baik, seoarang pemimpin yang demokratik senantiasa berusaha memupuk kekeluargaan dan persatuan, membangun semangat bekerja pada bawahannya. Satu lagi karakteristik penting yang dimiliki seorang pemimpin demokratik yang sangat positif adalah dengan cepat ia menunjukkan penghargaan kepada para bawahannya yang berprestasi baik. Penghargaan itu dapat berbentuk kata pujian, tepukan pada bahunya, memberikan piagam penghargaan, kenaikan pangkat atau bahkan mempromosikan jika keadaan memungkinkan. Seorang pemimpin yang demokratis akan bangga apabila para bawahannya menunjukkan kemampuan kerja yang bahkan lebih tinggi dari kemampuan dirinya sendiri (Sondang, 1999).

Pada zaman sekarang pemimpin semacam inilah yang diharapkan dan dituntut masyarakat banyak, oleh karena kepemimpinan yang demokratik segala aktivitas dapat dikerjakan dengan baik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.

Seiring dengan konsep di atas, berikut akan dijelaskan rujukan para kaum perempuan tentang konsep kepemimpinan yang dijadikan landasan untuk bertindak. Yang pertama, dapat dipahami dari surat Fathir, ayat 39, yaitu “Dialah Yang menjadikan kamu semua pemimpin (khalifah) di muka bumi” , ayat ini merupakan penjelasan pernyataan Allah, bahwa Dia memposisikan manusia sebagai pemimpin (khalifah), tanpa memandang jenis kelaminnya baik perempuan maupun laki-laki. Dan dapat dipahami pula dari surat Ali-Imran ayat 195, Seiring dengan konsep di atas, berikut akan dijelaskan rujukan para kaum perempuan tentang konsep kepemimpinan yang dijadikan landasan untuk bertindak. Yang pertama, dapat dipahami dari surat Fathir, ayat 39, yaitu “Dialah Yang menjadikan kamu semua pemimpin (khalifah) di muka bumi” , ayat ini merupakan penjelasan pernyataan Allah, bahwa Dia memposisikan manusia sebagai pemimpin (khalifah), tanpa memandang jenis kelaminnya baik perempuan maupun laki-laki. Dan dapat dipahami pula dari surat Ali-Imran ayat 195,

Ayat di atas secara jelas berusaha untuk mengkikis habis berbedaan jenis kelamin (gender), khususnya dalam arti kemanusiaan. Secara umum kaum laki- laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan. Di sisi lain, pada masa Nabi Sulaiman, di negeri yang diabadikan sebagai salah satu nama surat dalam al-qur`an yang dikenal ”baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (negeri yang adil, makmur, aman, dan sentosa), yaitu negeri Saba`. Negeri ini ternyata dipimpin oleh penguasa perempuan, Ratu Bilqis. Sedangkan pada awal perkembangan Islam pun, Ummul Mu`minin siti `Aisyah juga pernah menjadi seorang panglima perang dalam perang jamal. Realita semacam ini akan menjadi tendensi dan semakin melunturkan larangan prempuan untuk tampil sebagai serang pemimipin publik (Said Aqil, 1999).

Disamping itu al-Qur`an secara tegas memberikan pandangan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dilihat dari ayat yang membicarakan Adaam dan Hawa, sampai mereka terlempar ke bumi, selalu menggunakan bentuk kata ganti mereka berdua (huma).

2.2. Politik Perempuan

2.2.1. Pengertian Jender dan Jenis Kelamin

Kata gender (dibaca jender) berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin baik perempuan maupun laki-laki (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983). Jender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encylopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalah hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: an introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men ). Misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa.

Menurut (Fakih, 2003) makna kata ini sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstuksi secara sosial dan kultural. Sifat ini bukan sifat bawaan akan tetapi sifat yang terbentuk karena pengaruh proses sosial dan kultural. Sebagai contoh anak atau orang yang lahir dan dibesarkan di desa yang jauh keramaian dan pergaulan akan cenderung kurang percaya diri, atau apabila ia dikurung ia pasti akan berbicara halus dan pelan, sanagat sopan, dan rendah hati. Karena sifat itu akan melekat hanya karena proses, bukan karena dikodratkan, sifat itu bisa dipertukarkan.

Sekelompok sifat di atas, karena telah menjadi ciri yang telah berlangsung lama, dianggap melekat pada diri laki-laki dan perempuan dan bersifat biologis. Di sisi lain, perempuan menganggap bahwa dirinya memang demikian dan di sisi lain, kaum laki-laki mengaganggap lebih unggul dari lawan jenisnya. Lanjut Fakih, perbedaan jender yang telah lama ada berlangsung terus menerus, turun menurun dari generasi ke generasi seolah telah menjadi sifat dan ketentuan Allah SWT. Karena perempuan cenderung menganggap bahwa perbedaan tersebut adalah hal yang kodrati, maka mereka sering merasa kalah dari laki-laki. Di dunia kepemimipinan, meskipun perempuan yang memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan laki-laki, akan tetapi mereka enggan tampil di depan, belum bisa menerima kelompoknya sendiri menjadi pemimipinnya, lebih suka rutinitas dan cenderung menghindari tantangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Di mata kaum laki-laki, mereka masih sering dipertanyakan dan diragukan kepemimpinannya (Susanto, 1998).

Lanjut Fakih untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut : laki- laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa Lanjut Fakih untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut : laki- laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa

Pada bagian lain yang hampir serupa Shadily dalam Ihromi (2000) membedakan antara antara gender dan jenis kelamin. Menurutnya istilah jender serimg diartikan sebagai jenis kelamin (seks). Kedua istilah memang mengacu pada perbedaan jenis kelamin, tetapi istilah seks terkait pada komponen biologis.artinya : masing-masing jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) secara biologis berbeda dan sebagai perempuan dan laki-laki mempunyai keterbatasan dan kelebihan tertentu berdasarkan fakta biologis masing-masing. Misalnya : seorang yang berjenis kelamin perempuan bisa mengandung, melahirkan dan mempunyai air susu ibu (ASI). Seorang yang secara biologis dilahirkan sebagai laki-laki mempunyai sperma. Perbedaan biologis masing-masing merupakan pemberian Tuhan, dan tidak mudah untuk diubah.

Sebaliknya, jender, adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seorang. Atau : jender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap dan perilaku seseorang yang ia pelajari. Yang dipelajari biasanya berbagai sifat dan perilaku yang dianggap pantas bagi dirinya karena ia berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Sifat-sifat seperti “feminitas” bagi perempuan dan “maskulinitas” bagi laki-laki ditentukan oleh lingkungan budayanya. Melalui apa yang diajarkan orang tuanya, guru-guru sekolahnya, guru agamanya, dan tokoh masyarakat dimana seorang tergabung. Artinya : jender seorang diperoleh melalui suatu proses yang panjang, sebagai hasil belajar seorang sejak ia masih usia dini.

2.2.2. Perempuan di Kancah Politik

Perempuan merupakan substansi yang selalu enak dan elok untuk diperbincangkan oleh semua kalangan, baik kalangan laki-laki maupun kalangan perempuan itu sendiri. Itu bisa dimaklumi, mengingat perempuan adalah sosok yang cukup penting dalam kehidupan. Perempuan merupakan penerus, pengabdi, dan pendidik bagi generasi yang akan datang, yaitu generasi yang akan menentukan perjalanan bangsa tercinta ini.

Kalau kita berbicara perempuan haruslah pertama-tama kita mulai dengan menempatkan mereka sebagai manusia. Dengan bertumpu pada titik pandang kemanusiaan, kita akan menilai bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, mereka mempunyai kecerdasan otak yang sama, sama mulia budi pekertinya, sama luhur cita-citanya, dan sama-sama memiliki impian dan harapan. Dan tentu mereka mempunyai potensi kepemimpinan yang sama, baik potensi kepemimpinan sebagai individu maupun makhluk sosial (Marwah Daud, 1996).

Kaum laki-laki telah melahirkan karya seni yang besar; kaum perempuan telah melahirkan kaum laki-laki; dan ibu yang besar akan melahirkan bangsa yang besar pula, sebagaimana yang dikutip oleh pemikir proklamator kita dalam Colin Brown, Soekarno on the of women. Kutipan tersebut mengisyaratkan gambaran kenyataan peran dan fungsi perempuan sangat penting dan menentukan dalam kehidupan, karena perempuan menjadi pusat atau sentralnya sebuah bangsa akan berkembang.

Kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan baik sekarang maupun masa akan datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam Kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan baik sekarang maupun masa akan datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam

Pada masa pra Islam dunia diwarnai oleh imperialisme dan kolonialisme antar sesama manusia maupun antar kelompok, suku, dan bangsa. Kaum perempuan diibaratkan tidak lebih dari barang yang bisa dijual belikan, menjadi bagian dari kaum laki-laki (subordinatif), makhluk yang tidak berharga, tidak memiliki independensi diri, hak-haknya boleh dirampas dan ditindas, keberadaannya sering menimbulkan masalah, dan diletakkan dalam posisi marginal. Setelah Islam datang membawa pesan moral kemanusiaan dan mengajak manusia untuk melepaskan diri dari tirani kemanusiaan, dan manusia dipandang setara di hadapan Allah SWT. Tidak ada yang lebih istimewa dan tidak ada yang lebih nesta. Hanya satu yang manjadi pembeda di hadapan Allah SWT. yaitu kadar ketaqwaannya (Syafiq, 2001).

Penghormatan Islam kepada kaum perempuan terjadi pada saat kehidupan masyarakat Islam berada pada masa Rasulullah SAW. Kaum perempuan pada masa tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak berbeda dengan kaum laki-laki. Apabila kaum laki-laki dapat berperan dalam dunia publik, perempuan juga tidak dilarang pada medan yang sama. Rasulullah SAW. telah memulai suatu tradisi baru yang dianggap tindakan revolusioner dalam memandang prempuan. Beliau melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang (world view) masyarakat Arab yang pada waktu itu masih didominasi oleh cara pandang masa Raja Fir`aun. Penghargaan terhap perempuan sudah tidak ada sama sekali, kelahiran anak perempuan langsung membuat muka mereka masam.