Nasionalisme dan Konflik Etnik samawa

1

1. Pendahuluan
Globalisasi sepertinya hadir dalam berbagai macam rupa dengan
menjanjikan sebuah harapan baru tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang
akan mendatang baik secara politik, ekonomi atau sosial budaya. Dalam dunia
globalisasi dengan berbagai rupa itu, di tengah integrasi dan meleburnya
masyarakat dunia dalam jaringan global, konflik serta pergolakan nasionalisme
juga mengalami perubahan dan pergeseran makna. Sentimen mengenai masalah
nasionalisme dan etnis sepertinya tidak bisa hilang begitu saja dengan meleburnya
sistem ekonomi global, bahkan sentimental tersebut justru semakin menguat.
Martin dan Schumann melihat bahwa permasalahan ini muncul dikarenakan
perbedaan ekonomi yang semakin lebar di masyarakat. Ketika jurang ekonomi
melebar di masyarakat, maka orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan diri
yang lebih dan akan mencari keselamatan politik dalam pemisahan dan
perbedaan1.
Dalam era globalisasi saat ini, konflik etnis menjadi sebuah kejadian besar
jika dibandingkan dengan konflik nasional yang terjadi antarnegara. Nasionalisme
dan konflik etnik bukanlah hal yang bisa terjadi dalam ruang lingkup nasional
namun juga terjadi dalam ruang lingkup yang lebih luas yaitu dunia internasional.
dalam mempelajari hubungan internasional sendiri yang menjadi aktor utama

dalam pelajaran atau ilmu ini adalah negara, sementara dalam sebuah negara
sangat erta kaitannya dengan isu mengenai nasionalisme dan etnik.
Untuk memahami tulisan mengenai nasionalisme dan konflik etnik ini, bisa
kita telaah lewat pemahaman dari konsep societal security. Societal security
berkaitan dengan hubungan sosial dan budaya di mana menyangkut identitas
kolektif dan berkelanjutan, dalam kondisi yang dapat diterima

pada pola

tradisional bahasa, budaya dan agama, serta identitas nasional dan adat istiadat
yang secara empiris bervariasi dalam berbagai waktu dan tempat 2. Pembahasan ini
akan melihat bagaimana pengaruh globalisasi membawa dampak positif dan
negatif dalam perubahan yang sangat signifikan. Bagaimana nasionalisme
1

Hans Peter Martin dan Harald Schumann, 2005. Jebakan Global: Serangan Terhadap
Demokrasi dan Kesejahteraan, Jakarta: Hastra Mitra-Institute for Global Justice, hal. 43
2 Barry Buzan, et al. 1998. Security: A Framework for Analysis, Colorado: Lynne Rienner
Publisher, hal. 199.


2

mempengaruhi stabilitas keamanan dalam susunan masyarakat dengan dampak
terjadinya berbagai konflik etnik yang terjadi baik secara nasional maupun global.
2. Nasionalisme
Pada hakikatnya, nasionalisme tidak serta merta muncul begitu saja tanpa
melalui tahapan proses evolusi pemaknaan lewat sebuah perkembangan keilmuan
dan media massa. Secara harfiah, nasionalisme berasal dari bahasa latin yaitu
natio, yang berakar pada kata nasci atau ‘saya lahir’3. Selama kekaisaran Romawi
Kuno, kata nasci digunakan untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari orang
yang dianggap kasar atau tidak tahu adat menurut standar dan patokan moralitas
Romawi4. Pada perkembangannya, kata latin ini banyak diadopsi dalam berbagai
bahasa, contohnya Inggris dan Perancis yang menyebut nasci sebagai nation, dan
Italia nasci dikenal dengan nascere.
Pada tataran selanjutnya, kata nation mengalami perubahan makna baru
yang justru lebih positif dan dipakai secara umum untuk menggambarkan
semangat kebangsaan, yakni pada revolusi Perancis pada abad ke-18. Parlemen
revolusi Perancis menyebut diri mereka dengan sebuah sebutan assembe
nationale, yang sekaligus menandai adanya tranformasi yag terjadi dalam institusi
politik. Tranformasi yang terjadi adalah sebuah perubahan dari eksklusif yang

hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter 5, dalam pengertian ini
memiliki makna bahwa semua kelas meraih hak yang sama dengan kaum elite
dalam berpolitik tanpa adanya pembatas atau pembeda seperti sebelumnya. Hal
itulah yang mendasari kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada
bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara 6.
Secara politis, bangsa dapat diartikan sebagai masyarakat dalam suatu daerah
yang sama dan tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan
yang tinggi.
Nasionalisme merupakan sebuah fenomena yang sangat kompleks, maka
dari itu tidak bisa dipahami dari satu definisi saja. Ada beberapa pemikir
mengenai definisi nasionalisme, misalnya Anthony D. Smith yang menurutnya
3 Budi Winarno, 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS, hal. 239.
4 Ibid.
5 Ibid.
6 Anthony D. Smith, 2003. Nasionalisme, Ideologi, Sejarah, Jakarta: Erlangga.

3

nasionalisme merupakan suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan
mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi yang

jumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau
sebuah bangsa yang potensial7. Selain itu menurut P. Anthonius Sitepu,
nasionalisme dan natie (bangsa) merupakan sebuah gejala sosial politik yang
dianggap terpenting terutama di masa kini, nasionalisme adalah sebuah gerakan
sosial (social force) yang penuh dengan dinamika yang bermuara pada negara
bangsa (nation-states)8. Menurut James G. Kellas, nasionalisme sebagai suatu
perjuangan demi membela bangsa untuk melawan bentuk pemaksaan dan
deskriminasi9. Yang terakhir, menurut pandangan L. Stoddard, nasionalisme
adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah besar
individu sehingga membentuk sebuah kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa
kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa10.
Dalam pengertian yang sederhana mengenai nasionalisme, merujuk pada
konsep bangsa sebagai suatu bentuk kesatuan komunis yang bertekad untuk
memperjuangkan kepentingan bangsa serta negaranya. Pada tahun 1930-an
sampai tahun 1940-an, sulit menemukan bangsa atau negara yang bebas dari
wabah gerakan nasionalisme. Periode yang sama menjadi saksi klimaks
nasionalisme di Eropa, yang memuncak pada Nazisme dan pembunuhan massal
terjadi dalam Perang Dunia Kedua, dan pada sisi lain, kemudian muncul
nasionalisme


di Asia dan Afrika dengan

mengambil bentuk gerakan

“kemerdekaan” anti kolonial11.
Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memiliki banyak varian, dan sampai
saat ini tidak ada definisi baku yang dapat menjelaskan secara utuh mengenai
nasionalisme, sehingga nasionalisme hanya bisa atau sering diidentifikasi
berdasarkan ciri-ciri yang melakat padanya. Ketika ditanya apa ciri dari suatu
bangsa, sebagian orang mengatakan bahwa bahasa yang sama, etnis yang sama,
atau agama yang sama sebagai dasar suatu bangsa, dan ada juga yang
7
8
9

Ibid., hal. 11.
P. Anthonius Sitepu, 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu, hal. 129.
James G. Kellas, 1998. The Politics of Nationaism and Etnicity, USA: St. Martin Press, hal.
44.
10 Badri Yati, 2001. Soekarno, Isam, dan Nasionalisme, Bandung: Nuansa.

11 Winarno, Op. Cit., hal. 240

4

mempercayai bahwa bangsa-bangsa terduru dari orang-orang yang memiliki
sejarah yang sama. Oleh karenanya, esensi suatu bangsa tidak bisa diraba,
esensinya

adalah

ikatan

psikologis

yang

menyatukan

orang


dan

membedakannya12. Konsep bangsa dan doktrin nasionalisme sendiri bisa kita lihat
secara runtut dari abad ke-18. Selanjutnya nasionalisme bisa dibagi dalam tiga
fase13.
Fase

pertama,

biasanya

sering

dikaitkan

dengan

pemikiran

the


enlightenment (rainessance) dan merupakan bagian dari prinsip penentuan diri
sendiri suatu masyarakat. Pemikiran ini dikembangkan oleh ilmuwan politik
Perancis, Jean Jacques Rousseau. Rousseau meletakkan basis untuk pemikiran
demokrasi modern dan legitimasi yang diperoleh dari mayoritas. Berdasarkan
pemikiran ini, John Stuart Mill kemudian menambahkan betapa pentingnya
representasi pemerintah sebagai institusi yang dibutuhkan dalam sistem politik.
Ketika wacana tentang representasi pemerintah telah diterima sebagai cara untuk
merealisasikan gagasan kolektif tentang prinsip penentuan nasib sendiri, dan itu
berarti bahwa sebuah langkah kecil sudah diambil untuk penentuan nasib sendiri
bagi suatu bangsa. Berdasarkan pemikiran Mills tersebut, maka nasionalisme
berasal dari individu terlebih dahulu, ketika individu-individu tersebut
menemukan representasinya dalam penentuan nasib sendiri, maka suatu bangsa
bisa terbentuk.
Fase kedua, dalam eevolusi gagasan nasionalisme muncul atas respons
terhadap revolusi Perancis tahun 1789. Dalam fase ini, konsep nation dihadirkan
sebagai

oposisi


dari

sistem

monarki.

Nasionalisme

sesungguhnya

mengekspresikan perasaan kebersamaan dan pemerataan status kewarganegaraan.
Fase ketiga, sebagai fase terakhir menjelaskan konsepsi demokrasi dan politik
dari kebangsaan yang lebih disempurnakan. Nation tidak hanya diartikan sebagai
masyarakat yang berlandaskan atas identitas politik, namun juga sejarah, tradisi
dan budaya.
Nasionalisme jika kita lihat jauh hingga akarnya, maka akan sangat
berkaitan dengan apa yang dinamakan konsep identitas. Hal ini berarti bahwa
12 Ibid.
13 Fred Halliday dalam John Baylis and Steve Smith, 2005. The Globalization of World Politics,
Third Edition, New York: Oxford, hal. 525.


5

nasionalisme bisa dilihat hingga tingkat personal. Sebuah identitas personal
tersebut kemudia terbawa ke dalam kelompok yang lebih luas maknanya. Mulai
dari keluarga, institusi (seperti sekolah atau universitas), daerah dan lain
sebagainya14. Menurut Richard Mansbach dan Kristen Raffery, identitas membuat
manusia menempatkan dirinya bersama ke dalam sebuah grup (in-group) dan
menganggap manusia di luar identitasnya sebagai “outsider” atau “alien” (outgroup)15. Identitas merupakan suatu ciri yang dimiliki seseorang untuk
mendefinisikan/merefleksikan dirinya di mana setiap individu mempunyai multiidentitas16. Sebagai contoh, seseorang bisa menjadi warga negara Indonesia
dengan keturunan Jawa dan sebagainya.
2.1 Dampak Nasionalisme
Nasionalisme dalam studi hubungan internasional memiliki dampak
positif dan negatif. Dikutip dari buku karya Fred Halliday dalam John
Baylis and Steve Smith (2005), sisi positif nasionalisme dapat kita lihat:
Pertama, nationalism does provide a principle of legitimacy that underpins
the modern system, yang berarti bahwa sebuah negara bisa dan harus
mewakili masyarakat serta memberikan pengakuan sebagai timbal balik atas
rasa nasionalisme yang diberikan masyarakat. Kedua, nasionalisme
merupakan realisasi dari asas demokrasi, di mana negara sebagai

representasi masyarakat harus mampu mewujudkannya dalam lingkungan
nasional maupun internasional. Ketiga, nasionalisme memiliki fungsi
psikologi yang cukup penting dengan maksud bahwa nasionalisme
mencakup rasa ingin memiliki, asal-usul, masa lalu hingga masa depan
suatu negara atau budayanya. Keempat, nasionalisme adalah sumber
kreativitas dan keragaman manusia yang rasa nasionalisme memunculkan
banyak aspirasi, sebagai contohnya dalam bidang karya seni, baik itu lagu,
lukisan, musik, bahasa, olah raga, dan lain sebagainya.

14 Winarno, Op. Cit., hal. 241
15 Richard Mansbach dan Kristen Raffery, 2008. Introduction to Global Politics, London:
Routledge, hal. 691
16 Winarno, Op. Cit.

6

Sisi negatif nasionalisme terdapat empat bagian yaitu 17: Pertama,
dengan adanya rasa nasionalisme beberapa kelompok rela memperebutkan
sesuatu atas nama tanah air, dan terkadang rasa nasionalisme juga
memunculkan rasa cinta secara berlebihan (Chauvinisme). Sebagai contoh
seorang Adolf Hitler mantan ketua partai Nazi, yang menganggap bahwa
hanya negara dan bangsanya yang paling unggul jika dibandingkan dengan
negara dan bangsa lainnya. Kedua, sekalipun nasionalisme tidak
menggunakan konfrontasi militer, namun nasionalisme bisa menjadi
hambatan bagi sebuah negara dalam menjalin kerjasama dengan negara lain.
Ketiga, rasa nasionalisme yang berlebihan juga akan merusak hubungan
antara politik dan ekonomi suatu negara. Oleh karenanya, nasionalisme bisa
mendorong

adanya

sebuah

kerusakan

negara

sehingga

mampu

menggoyahkan stabilitas hubungan aspek ekonomi dan politik yang
berkelanjutan. Keempat, jika nasionalisme tumbuh dalam sebuah negara
yang dipimpin oleh pemerintahan yang diktator, maka bisa mendorong
rakyatnya

melakukan

pemberontakan

atau

nationalism

movement.

Ketidaksamaan pendapat atau mungkin perbedaan ideologi ditambah
dengan besarnya rasa nasionalisme bisa menyebabkan suatu masyarakat
memilih untuk lepas dari kedauatan dan ikatan sebuah negara.
Rasa nasionalisme sangat penting untuk dimiliki oleh seluruh warga
negara di dunia. Dikarenakan dengan rasa nasionalisme mampu menjadi
sebuah kekuatan dan mampu menjadi faktor pendorong dalam hubungan
internasional. terlpepas dari itu semua, nasionalisme bisa membawa
pengaruh positif dan tidak menutup kemungkinan membawa faktor negatif.
Positif ketika nasionalisme mampu membawa warga negara dalam sebuah
integrasi atau persatuan, dan akan negatif jika nasionalisme membuat warga
negara menjadi idealis dan menganggap rendah warga negara lain yang akan
berakhir pada disintegrasi.
2.2 Nasionalisme di Era Globalisasi

17 Ibid., hal. 242.

7

Konflik yang terjadi di banyak belahan dunia salah satu penyebab
utamanya adalah diakibatkan oleh perasaan-perasaan etnisitas dan
nasionalisme yang sering kali diawali oleh marginalisasi, baik marginalisasi
secara politik atau ekonomi. Hal yang menarik dari etnisitas adalah
seringkali membawa serta atribut agama. Ada suatu etnik yang yang
mayoritas memeluk agama tertentu sehingga konflik etnis seolah-olah
menjadi konflik agama juga, sebagai contoh konflik etnis-etnis yang ada di
Indonesia merefleksikan hal ini di mana konflik etnis dibalut dengan isu
agama. Sebagai akibatnya, konflik tidak lagi melibatkan dua atau lebih
etnik, tetapi juga menyulut sentimen agama seperti halnya yang terjadi di
Ambon.
Anderson mengemukakan bahwa nasionalisme merupakan sebuah ide
atas komunitas yang dibayangkan18. “dibayangkan” karena setiap anggota
dari suatu bangsa bahkan bangsa yang terkecil pun, tidak mengenal seluruh
anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dalam bayangan
komunitas yang senantiasa selalu hadir di pikiran setiap anggota bangsa
yang menjadi referensi identitas sosial. Orang-orang (warga negara)
bersedia mengontruksikan dirinya sebagai bagian dari sebuah keluarga besar
sebuah bangsa.
Diera globalisasi saat ini, gagasan komunitas yang dibayangkan
(imagined communities) yang diprakarsai oleh Ben Anderson

secara

langsung memberikan peran yang besar bagi media. Ketika media mampu
membangun “ritualitas” jauh melampaui nasionalitas dan etnisitas, maka
pergeseran atas bentuk-bentuk nasionalisme akan terjadi. Merujuk pada
beberapa kasus, semangat nasionalisme tidak hanya berkobar pada medan
perang, namun bergeser di lapangan sepak bola dan bidang olah raga
lainnya. Konselir Jerman, Angela Merkel merefleksikan akan hal ini dengan
sebuah pernyataan bahwa sepak bola telah membawa persatuan terhadap
masyarakat Jerman. Menurut Angela Merkel, belum pernah rakyat Jerman
bersatu sejak penggabungan Jermat Barat dan Timur 19.

Nasionalisme

18 Benedict Anderson, 2002. Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang,
Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar.
19 Winarno, Op. Cit., hal. 245

8

direfleksikan dalam sebuah cara baru yaitu di bidang-bidang olah raga
seperti sepak bola. Peran media juag seperti televisi sangat berpengaruh
memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam menciptakan imajinasi
kebangsaan melalui sepak bola. Oleh karena itu, sangat lazim ketika terjadi
pertandingan sepak bola juga menjadi pertandingan gengsi antarnegara,
dengan pembuktian hadirnya pimpinan negara hanya sekedar untuk
menyaksikan pertandingan tersebut.
2.3 Potret Nasionalisme
Kebebasan individu yang ditawarkan oleh tren global tidak dipungiri
mempengaruhi semangat nasionalisme suatu negara yang identik dengan
persatuan dan kesatuan bangsa. Nasionalisme di era globalisasi saat ini
banyak yang beranggapan bagaikan “katak dalam tempurung”20 dan
dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman yang serba
modern. Tentunya ini bukan pendapat yang realistis bila dianggap semua
negara atau bangsa demikian, mungkin bagi negara yang sudah maju,
mapan dan mantap seperti negara-negara Barat pendapat ini benar.
Pada hakikatnya nasionalisme di era globalisasi sekarang ini
mengalami pergeseran makna seiring dengan perkembangan zaman.
Nasionalisme yang muncul saat ini lebih menekankan pada bagaimana
paham nasionalisme mampu menghadapi perubahan-perubahan global yang
terjadi akibat proses globalisasi berlangsung sangat cepat dan terjadi dalam
skala yang luas dan mendalam.
Faktor penyebab munculnya nasionalisme di era globalisasi bisa
dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni faktor internal dan faktor
eksternal21. Pertama, faktor internal meliputi: (a) munculnya rasa saling
memiliki sebagai bagian dari suatu bangsa; (b) kebanggaan terhadap sejarah
kejayaan di masa lampau; (c) adanya keberagaman yang memunculkan
semangat untuk membentuk identitas bersama. Kedua, faktor eksternal
meliputi: (a) adanya imperialisme ekonomi dari negara-negara maju,
khususnya negara Barat terhadap negara-negara dunia ketiga melalui
20 Ibid., hal. 246.
21 Ibid.

9

liberalisasi dan privatisasi; (b) adanya ancaman dari pihak luar, berupa
masalah terotorial seperti kasus Ambalat, permasalahan HAM, pelecehan
yang dilakukan negara lain (seperti pemaksaan ideologi, pelecehan
kedaulatan, klaim budaya dan bahasa); (c) munculnya keinginan untuk
melindungi kebudayaan lokal terhadap pengaruh modernisasi.
3. Etnik
Nasionalisme pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dari konsep etnik.
Nasionalisme yang mengusung tema nation atau bangsa pada kenyataannya
mengundang dan mengandung unsur etnik. Secara garis besar, etnik memiliki
sebuah definisi sebagai suatu komunitas manusia yang memiliki nama, tentunya
sangat erat kaitannya dengan satu tanah air, memiliki mitos leluhur bersama,
persamaan nasib, beberapa unsur budaya yang sama, dan tentunya memiliki
sebuah solidaritas bersama dalam ikatan komunitas tersebut. Sangat jarang bahkan
hampir tidak ada bangsa yang hanya memiliki satu kesatuan etnik saja. Bangsa
Jepang yang dikatakan sebagai bangsa yang homogen, pada kenyataannya juga
memiliki kesatuan etnik yang lain dari kesatuan yang merupakan mayoritas
bangsa Jepang, yaitu etnik Ainu22.
3.1 Konflik Etnik
Etnis atau etnisitas memang berbeda dengan semangat nasionalisme
yang berhembus kuat dan mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa bekas
jajahan pada tahun 1950-an sampai tahun 1960-an. Namun tidak dipungkiri
bahwa gelombang nasionalisme juga dipengaruhi oleh sentimen etnisitas
yang mulai menguat. Berakahirnya perang dingindan disambut dengan
bubarnya Uni Soviet, banyak pihak yang berharap bahwa masa-masa
perdamaian akan hadir, sebuah tatanan kehidupan global yang aman dan
makmur untuk mencegah perpecahan yang kerap terjadi telah menjadi
impian dan cita-cita pemimpin di masa lampau. Namun, nampaknya anganangan dan keinginan masyarakat dunia tentang perdamaian dan hal baik
lainnya nampaknya belum bisa terwujud dengan bukti bahwa pasca perang
dingin dunia diwarnai kembali dengan konflik etnik dengan beragamnya
kepentingan ekonomi dan politik.
22 Ibid., hal. 247.

10

Bubarnya negara Yugoslavia yang menganut sistem komunis ini
diikuti oleh genosida yang menjadi peristiwa terbesar di Eropa sejak Perang
Dunia Kedua. Menurut komisi federal untuk orang hilang, jumlah korban
yang dikonfirmasi berjumlah sebanyak 8.373 jiwa. Pembunahan dengan
latar belakang etnis yang kemudian dikenal dengan istilah pembantaian
Srebrnica dianggap secara luas sebagai pembunuhan massal terbesar di
Eropa semenjak Perang Dunia Kedua. Pembantaian Srebrnica ini dianggap
sebagai kejadian pertama yang ditetapkan sebagai genosida secara hukum
dan kejadian ini juga dianggap sebagai kejadian paling menakutkan dan
kontroversial dalam sejarah Eropa modern pasca Perang Dunia Kedua23.
Menurut Brown, konflik etnik adalah konflik yang erat kaitannya
dengan

permasalahan-permasalahan

yang

mendesak seperti

politik,

ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara dua komunitas etnik atau
bahkan lebih24. Konflik etnik identik dengan nuansa kekerasan, sebagai
contoh konflik etnik yang terjadi di Rwanda, Bosnia, dan Angola yang
memiliki dimensi kekerasan luar biasa.
3.2 Penyebab Konflik Etnik
Konflik etnik disebabkan oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut25:
Pertama, munculnya etnosentrisme. Konsep etnosentrisme seringkali
dipakai secara bersama-sama dengan rasisme. Definisi konsep ini mewakili
sebuah pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai
semangat kelompoknyalah yang paling superior jika dibandingkan dengan
kelompok lain, sehingga muncul sebuah sentimen anggapan etnik lain lebih
rendah ketimbang etniknya sendiri. Kedua, keabsahan teritorial. Khususnya
bagi kelompok etnik “pendatang” yang mendiami wilayah bangsa lain.
Kelompok etnik “asli” bisa melakukan tindakan pembersihan (ethnic
cleansing) bagi etnik “pendatang” karena ingin agar wilayah bangsa mereka
hanya ditempati oleh keturunan asli bangsa tersebut. Hal ini nyata terjadi
23 http://id.wikipedia.org/wiki/perang_bosnia.
24 Michael E. Brown, 1997. “Causes and Implications of Etnict Conflict”, dalam Duibernau and
Jogn Rex (eds.), The Ethnicity Reader, Nationalism, Multiculturalism, and Migration, Great
Britain: Polity Press., hal 82.
25 Winarno, Op. Cit., hal. 249.

11

seperti yang dialami oleh orang-orang Hungaria di Rumania, Tamil di Sri
Langka, dan juga apa yang terjadi dengan orang kulit putih di Afrika
Selatan. Ketiga, adanya streotipe negatif yang muncul terhadap salah satu
atau beberapa etnik tertentu yang diwariskan secara turun temurun sehingga
menciptakan citra atau image dari etnik tersebut selalu buruk. Sebagai
contoh, seperti apa yang terjadi dengan keturunan etnik China dan
keturunan asli di Tangerang. Etnik China mengganggap masyarakat
keturunan asli Tangerang sebagai orang yang pemalas, bodoh dan tidak bisa
menggunakan kesempatan baik yang datang, sementara itu keturunan etnik
China dianggap sebagai golongan yang mau untungnya sendiri tanpa
melihat halal atau haram. Keempat, adanya deskriminasi yang terjadi
terhadap kelompok etnik tertentu sehingga menimbulkan prasangka
ketidakadilan, sebagai contohnya seperti deskriminasi yang terjadi dalam
jajaran pemerintahan, organisasi, pendidikan dan lain sebagainya. Kelima,
adanya ancaman yang muncul dari etnik lain sehingga memicu terjadinya
konflik. Keenam, adanya kesenjangan sosial yang terjadi antaretnik, sangat
rentan terjadi pada negara dengan multi-etnik. Ketujuh, adanya provokasi
dari pihak lain, seperti adanya pihak yang diuntungkan sehingga sangat
mudah melakukan propaganda untuk mendapatkan keuntungan. Kedelapan,
banyaknya negara yang belum memiliki ketentuan hukum yang pasti dan
memadai dalam melindungi hak-hak kelompok etnik yang minoritas.
Bahkan negara-negara yang sudah memiliki ketentuan hukum tersebut, pada
tahapan pelaksanaannya (enforcement) juga masih mengalami berbagai
hambatan dan kendala sehingga konflik tetap terjadi.
3.3 Dampak Konflik Etnik
Menurut Winarno (2014: 250) dampak dari berbagai konflik etnik
yang terjadi adalah sebagai berikut:
a. Dampak dalam Bidang Politik
Pertama, terancamnya stabilitas keamanan negara dikarenakan
konflik etnik tentunya sangat berpotensi mengancam stabilitas
keamanan suatu negara. Kedua, terganggunya sistem politik suatu
negara diakibatkan oleh konflik etnik yang memiliki kapasitas untuk

12

mempengaruhi kadaulatan negara di mana dalam sebuah negara
terdapat banyaknya etnik-etnik yang berbeda, hal ini biasanya sering
terjadi ketidakadilan/kesetaraan dalam sistem politik suatu negara.
contohnya apa yang terjadi di negara kita sendiri yaitu Indonesia, di
mana adanya kelompok-kelompok yang ingin melepaskan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti Republik
Maluku Selatan (RMS), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dan gerakan separatis lainnya.
b. Dampak dalam Bidang Ekonomi
Pertama, dampak konflik etnik dalam bidang ekonomi sangatlah
besar, terutama dalam hal materi seperti pembiayaan. Dalam kasus ini,
biaya yang seharusnya dipakai untuk pembangunan dan kesejahteraan
rakyat justru dialihkan untuk menangani konflik yang terjadi. Kedua,
konflik etnik juga memberikan dampak pada menurunnya investasi
dikarenakan alasan keamanan yang merupakan faktor utama
pertimbangan bagi para investor. Akibatnya, aktivitas ekonomi dalam
suatu negara yang kerap terjadi konflik etnik akan melemah.
c. Dampak dalam Bidang Sosial
Pertama, meletusnya konflik etnik sekaligus menandai putusnya
hubungan kekerabatan yang terjalin di antara etnik yang bertikai.
Kedua, terganggunya kondisi psikologis beruapa depresi, trauma, dan
rasa tidak aman. Tidak dipungkiri bahwa, konflik yang identik dengan
kekerasan menimbulkan trauma serta gangguan psikologis yang
serius. Ketiga, munculnya dendam dari pihak yang menjadi korban
atau yang merasa dirugikan sehingga konflik rentan kembali terulang.
Keempat, munculnya rasa selalu curiga dan susah percaya sebagai
akibat dari sebuah pengalaman buruk yang telah terjadi sebelumnya.
4. Kesimpulan
Berakhirnya perang dingin, globalisasi menjelma menjadi sebuah isu yang
ramai dibicarakan dan mempengaruhi banyak tatanan kehidupan dalam berbangsa
dan bernegara. Sebagai akibat dari pertumbuhan cepat komunikasi global,
teknologi informasi menyebabkan dampak seketika secara langsung di bagian

13

dunia ini. Batas-batas negara sudah semakin kabur dengan hadirnya globalisasi,
hal inilah yang memfasilitasi meluasnya isu tentang munculnya nasionalisme dan
konflik etnik di era globalisasi saat ini. Nasionalisme dan konflik etnik bukan
hanya terjadi pada satu negara, melainkan juga terjadi pada beberapa negara
sehingga permasalahan ini dianggap masalah global karena juga dampaknya
mengglobal. Hal ini bisa dilihat dari semakin menajamnya konflik etnik pasca
perang dingin, yang bukan hanya terjadi pada negara perpecahan Uni Soviet,
namun juga terjadi di belahan dunia lainnya, seperti Eropa, Asia, dan Afrika
sehingga membuat isu mengenai nasionalisme dan konflik etnik menjadi isu
global.
Nasionalisme dan konflik etnik merupakan fenomena yang sering sekali
muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Istilah bangsa yang diusung
oleh nasionalisme telah banyak mempengaruhi tatanan kehidupan setiap individu
di mana perjuangan hanya untuk kepentingan bangsa. Selanjutnya, di tengah arus
globalisasi yang begitu kuat membawa pengaruh terhadap nasionalisme yang juga
ikut bergeser. Pada situasi seperti inilah dengan hadirnya rasa nasionalisme justru
membantu negara memperkuat perannya bagi pembangunan dan kesejahteraan
negaranya.
Nasionalisme dan konflik etnik sebenarnya merupakan sebuah fenomena
yang muncul dari proses interaksi sosial. Nasionalisme sebagai paham yang cinta
akan tanah air seharusnya tetap ada demi untuk mempertahankan identitas dan
nilai-nilai moral bangsa yang telah menjadi ciri khas semenjak ratusan tahun lalu.
Namun, rasa cinta yang berlebihan juga akan berdampak buruk bagi
keberlangsunan bangsa, karena akan cenderung menyepelekan bangsa lain yang
akhirnya akan sangat rentan terhadap konflik. Maka dari itu, rasa nasionalisme
harus hadir pada porsi yang seimbang dalam artian bahwa mencintai bangsa
sendiri dan tetap harus menghargai setiap perbedaan yang ada. Rasa nasionalisme
seharusnya

pada

era

globalisasi

saat

ini

semakin

digencarkan

demi

mempertahankan kesatuan bangsa. Sementara itu, konflik etnik tidak perlu terjadi
lagi, karena ketika antar kelompok bisa saling menumbuhkan rasa dan sikap
toleransi yang tinggi, maka perbedaan-perbedaan yang ada bisa saling melengkapi
sehingga bangsanya dapat semakin diperkaya oleh berbagai keberagaman.

14

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Anderson, Benedict. 2002. Imagined Communities: Komunitas-Komunitas
Terbayang. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar
Baylis, John and Steve Smith, 2005. The Globalization of World Politics. Third Edition.
New York: Oxford

Buzan, Barry, Ole Waever and Jaap de Wilde. 1998. Security: A Framework for
Analysis. Colorado: Lynne Rienner Publisher
Duibernau and Jogn Rex (eds.). The Ethnicity Reader,
Multiculturalism, and Migration. Great Britain: Polity Press

Nationalism,

Kellas, James G. 1998. The Politics of Nationaism and Etnicity. USA: St. Martin
Press
Mansbach, Richard and Kristen Raffery, 2008. Introduction to Global Politics.
London: Routledge
Martin, Hans Peter dan Harald Schumann. 2005. Jebakan Global: Serangan
Terhadap Demokrasi dan Kesejahteraan. Jakarta: Hastra Mitra-Institute for
Global Justice
Sitepu, P. Anthonius. 2011. Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Smith, Anthony D. 2003. Nasionalisme, Ideologi, Sejarah. Jakarta: Erlangga

15

Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Center
of Academic Publishing Service (CAPS)
Yati, Badri. 2001. Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa
Online
Dalam (http://id.wikipedia.org/wiki/perang_bosnia) diakses 15 Mei 2016.