PENDEKATAN RESOURCE BASED VIEW ANALISIS

DikLatPar 
Pendidikan dan Pelatihan Kepariwisataan

PENDEKATAN RESOURCE-BASED VIEW
ANALISIS UNTUK MEMPERTAHANKAN
KEBERLANJUTAN LEMBAGA PENDIDIKAN
TINGGI PARIWISATA
M aryam M ihardjo 1 dan Kusm ayadi 2
Abstrak

PENDAHULUAN 
Kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan tinggi telah mendorong pertumbuhan lembaga pendidikan tinggi terutama pendidikan tinggi swasta (PTS). Hal ini
disebabkan karena pendidikan tinggi mempunyai peranan dan tanggung jawab besar
di masa yang akan datang. Berdasarkan data terakhir, saat ini terdapat 1.660 PTS di
Indonesia, termasuk 257 PTS berada di lingkungan Kopertis Wilayah III DKI Jakarta.
Jumlah tersebut terdiri atas 42 Universitas, enam Institut, 117 Sekolah Tinggi , 89
Akademi dan tiga buah Politeknik, jumlah ini dipastikan akan terus bertambah di masa
yang akan datang.
Di sisi lain, pertumbuhan lembaga pendidikan tersebut tidak diikuti oleh peningkatan kualitas. Hal ini seperti ditemukan dari hasil survey Polititical and Economic
Risk Consultancy (PERC) tentang penilaian kualitas pendidikan di kawasan Asia,
menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-102 atau setingkat di bawah

Vietnam. Menurut survey tersebut, Indonesia memiliki sistem pendidikan terburuk di
kawasan Asia. Adapun Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik,
yang disusul oleh Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia.
Berdasarkan kenyataan empiris di atas, maka dipastikan Indonesia sangat pesimis
untuk mampu bersaing pada era persaingan tersebut. Penelitian lain (IMD, 2000 dalam Taufik, 2001) yang telah mensurvei 47 negara menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tingkat kompetisi Indonesia berada pada posisi ke-45, Singapura urutan ke-2,
Maryam Mihardjo dan Kusmayadi



J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Malaysia urutan ke-25, Thailand dan Philippina masing-masing pada urutan ke-33
dan 38. Penelitian tersebut juga menempatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan berada pada posisi ke-46 dari 47 negara yang disurvey, kapabilitas ilmu dan teknologi urutan ke-42, dan manajemen kapabilitas sumberdaya manusia
berada pada urutan ke-44.
Kondisi ini merupakan tantangan yang sangat berat yang harus dihadapi oleh setiap lembaga pendidikan tinggi termasuk lembaga pendidikan tinggi pariwisata,
bagaimana dapat bersaing dan memenangkan persaingan tersebut. Jawabannya hanya satu adalah kualitas. Kualitas itu sendiri tidak dengan sendirinya dapat diperoleh
melainkan harus diusahakan dengan berbagai pendekatan.
Paper ini bertujuan untuk mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan
bagaimana suatu lembaga pendidikan tinggi di Indonesia mencapai suatu keunggulan
kompetitif (competitive advantage) di lingkungan global. Penelitian-penelitian terakhir

menunjukkan bahwa resource-based view of the firm (RBV) telah muncul sebagai suatu
penjelasan yang populer terhadap heterogenitas kinerja perusahaan.

PENDIDIKAN  TINGGI DI MASA MENDATANG 
Di masa depan pengetahuan akan menjadi asset yang paling berharga yang
menentukan arah masa depan seseorang. Lembaga pendidikan sebagai institusi yang
membentuk kapabilitas manusia secara formal akan akan menghadapi tantangan yang
sangat besar di masa-masa yang akan datang.
Menurut Gordon (1995) kompetisi
ekternal pada tahun 2005 antara lain akan terjadi (1) pergeseran akademik di dalam
pendidikan menuju pendidikan yang tinggi, (2) adopsi secara luas oleh perusahaan dan
pekerja professional terhadap standar kompetensi nasional yang lebih tinggi, (3)
tumbuhnya penyedia program pendidikan maupun materi pendidikan.
Sementara itu menurut Mihardjo (1999) melihat kompetisi yang sangat ketat di
berbagai bidang kehidupan telah menimbulkan pergeseran poros dunia dari Barat ke
Timur atau dari Eropa ke Asia Timur. Pergeseran ini memberikan bentuk atau ciri
pengembangan ilmu dan teknologi (iptek) antara lain: (1) Sumber daya manusia yang
diperlukan adalah tenaga kerja tukang yang memiliki ketrampilan tinggi (highly-skilled
craft worker) (2) Manajemen sumber daya manusia yang ditekankan untuk mengendalikan proses produksi yang digerakkan dengan mengikuti aturan-aturan yang
berulang-ulang dan rutin, (3) Orientasi produksi yang bersifat massal, terpusat dan

miskin akan nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan bermasyarakat, (4) Kebutuhan
spesialisasi yang sangat dalam sehingga menimbulkan kekakuan atau kecanggungan
bila harus berganti bidang pekerjaan yang lain.
Untuk mengantisipasi hal itu, William and Fray (1994) merumuskan enam strategi
pengelolaan pendidikan tinggi sampai tahun 2004. Strategi tersebut adalah: (1) diversity
and differentiation; (2) graduate employment; (3) qualification and the organization of teaching quality;
ISSN 1411-1527

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 20013 

(4) opportunities offered by new technology; (5) increasing income from the private sector; dan (6) staff
recruitement.
Diversifikasi dan diferensiasi. Lembaga pendidikan tinggi yang hanya
menawarkan satu macam produk dipastikan akan segera mengalami stagnasi. Hal ini
terjadi karena cepat berkembangnya pengetahuan dan teknologi yang mengakibatkan
cepat usangnya ilmu dan teknologi. Di samping itu, produk pendidikan yang ditawarkan harus memberikan warna yang berbeda dengan pendidikan lain yang sejenis.
Ini dapat dicapai apabila institusi memiliki core competence, yaitu sumber daya dan kemampuan yang dimiliki institusi sebagai sumber keunggulan bersaing terhadap institusi
pesainnya. Apabila core competencies yang dimiliki institusi memiliki keunggulan superior

dari pada institusi competitor-nya maka disebut distinctive competence.
Pemberdayaan lulusan. Penyerapan lulusan oleh industri selalu tidak sebanding dengan jumlah banyaknya lulusan yang ditawarkan lembaga pendidikan tinggi.
Terdapat dua kemungkinan yang utama hal ini dapat terjadi. Pertama, kesempatan
kerja yang ditawarkan lebih sedikit dibandingkan dengan supply calon tenaga kerja
yang akan mengisi jabatan pekerjaan tersebut. Kedua, lulusan tidak memenuhi kriteria kompetensi yang dibutuhkan industri. Oleh karena itu, institusi harus membentuk
jaringan kerja secara luas guna menempatkan lulusannya.
Kualifikasi dan pengelolaan kualitas pembelajaran. Kualifikasi lulusan
dapat ditentukan berdasarkan tingkat kompetensi masing-masing, yang akan diperoleh
melalui kualitas pembelajaran yang memadai. Perluasan kualifikasi lulusan ini dapat
memberikan kesempatan mereka untuk memilih peluang kesempatan kerja yang lebih
luas. Dengan demikian apabila kemampuan mengelola kualitas pembelajaran dengan
baik, suatu institusi pendidikan akan dapat bersaing dengan institusi lainnya. Adanya
kurikulum lokal yang lebih besar pada saat ini akan mendorong institusi untuk
menentukan distinctive competence dalam pembelajaran.
Peluang pemanfaatan teknologi baru. Teknologi computer dan informatika ternyata telah merubah dunia secara revolusioner. Tatanan pendidikan dipastikan
berubah secara cepat. Learning without walls, tampaknya sudah tidak dibendung lagi.
Akankah pendidikan dalam kelas dapat berlangsung? Ini tergantung pada kemampuan mengelola institusi ini menawarkan produk unggul bagi para calon mahasiswanya.
Peningkatan pendapatan dari sector swasta. Dipastikan tidak akan mencapai kualitas baik apabila orientasi pendidikan hanya mengejar kuantitas mahasiswa
dan atau lulusan. Karena jumlah mahasiswa sebagai sumber pendapatan institusi.
Untuk itu, pendapatan di luara tuition fee harus diusakan. Membentuk unit-unit bisnis

strategis yang mendukung proses pembelajaran menjadi suatu keharusan. Atau
meningkatkan distinctive competence untuk menjadi research university. Salah satau ciri research university adalah memiliki pusat kreativitas yang dapat digunakan sector swasta
sebagai penyumbang dana. Menurut Van Ginkel (1994) “the university will remain the

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7

ISSN 1411-1527



J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

centre of creativity and innovation well into the middle if the next century, remain firmly fixed in the
middle of society [but the] university will look rather diffrenet from university… knowledge management
will occupy the centre stage”
Rekruitmen Staf. Dalam isntitusi pendidikan, staf dikelompokkan menjadi
stam pengajar dan non pengajar. Staf pengajar sebagai motor utama dalam proses
pembelajaran, sangat menentukan kualitas lulusan. Dedikasi yang tinggi, kapabilitas
yang memadai, profesionalime yang menjadi dasar perekrutan akan mendorong institusi pendidikan memiliki distinctive competence. Williams and Fry (1994) menyimpulkan:
“The university of 2004 will be evolving towards one with a small core of high quality full-time staff,

more formally specialised than at present in terms of teaching and research skills, under-taking core
teaching themselves, but also acting as creators and facilitators of high technology learning materials and
forming the nodes of networks of part-time staff”.
Belajar dari porses pendidikan tinggi di Amerika, Bruce Johnstone (1993): “American higher education in the last decade of the twentieth century faces escalating costs, uneven demographics, faltering revenues and a serious erosion of public confidence–not of its fundamental importance, but of its institutional integrity and stewardship. The failure to surmount these challenges
could well lead to losses that are serious and irrevocable”.

KUALITAS PENDIDIKAN TINGGI 
Kualitas pendidikan tinggi merupakan konsep yang multidimensional yang tidak
dapat dengan mudah untuk dinilai hanya dengan satu indikator. Berbagai literature
memberikan berbagai terminologi yang berbeda terhadap kualitas pendidikan tinggi
ini. Peters and Waterman (1982) mendefinisikan kualitas sebagai sesuatu yang excellent.
Pakar lain menyebutnya sebagai value (Feigenbaum, 1951), fitness to use (Juran and
Gryna, 1988), conformance to specifications (Gilmore, 1974). Dalam kaitan service, Parasuraman (1985) menyebutkan kualitas sebagai “meeting and/or exceeding customer expectation. Sedangkan Cheng (1995) mendefinisikan kualitas pendidikan tinggi sebagai “... is
the character of the set of elements in the input, and output of the education system that provides services
that completely satisfy both internal and external strategic constituencies by meeting their explicit and
implicit expectation”
Suhendro (1996) menekankan kualitas pendidikan pada tujuah aspek yaitu (1)
relevansi atau ketergayutan tujuan dan sasaran, dalam arti derajat kesesuaian antara
tujuan dan sasaran perguruan tinggi dengan aspirasi semua pihak yang berkepentingan
serta dengan keperluan nyata masyarakat, industri dan pemerintah. (2) efisiensi

(kesangkilan), dalam arti derajat kehematan dalam penggunaan sumberdaya untuk
mencapai tujuan dan sasaran (keterkaitan antara masukan proses). (3) Produktivitas,
dalam arti kuantitas keluaran (dalam hal ini hasil, karena dampak sukar dikuantifikasi)
diperhitungkan terhadap satuan sumber daya tertentu yang digunakan (seperti: lulusan
per satuan waktu; penelitian yang dipublikasi per staf akademik yang berkualifikasi
tertentu; konsultasi pada industri per satuan waktu dan lain-lain yang menunjukkan
ISSN 1411-1527

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 20015 

keterkaitan antara aproses dan keluaran). (4) Kemangkusan (efektivitas), dalam arti
derajat kesesuaian antara tujuan dan sasaran dengan keluaran (hasil dengan memperhitungkan dampak). (5) Akuntabilitas, dalam arti pertanggungjawaban perguruan
tinggi (pimpinan dan pribadi sivitas akademika) mengenai segala sesuatu yang dilakukan dalam rangka pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. (6)
Pengelolaan sistem dalam arti kemampuan perguruan tinggi menyesuaikan diri/mengadaptasi diri terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat (lingkungan kerja, sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain). (7) Suasana akademik atau kesehatan
organisasi, dalam arti derajat motivasi dan kepuasan kerja sivitas akademika dalam
pelaksanaan fungsi pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

MANAJEMAN PENDIDIKAN TINGGI PROFESIONAL 

Barnett (1992) menyebutkan ada empat konsep mengenai lembaga pendidikan
yaitu sebagai (1) provider kualitas personal, (2) pelatihan bagi karir penelitian, (3)
persyaratan menajemen pembelajaran dan (4) modal dalam memperluas kesempatan
berkarya. Pada awalnya pendidikan tinggi ditujukan untuk kelompok masyarakat elit
yang diharapkan akan menjadi pemimpin di masa yang akan datang. Selanjutnya
Newman (1910 in Gordon, 1995) sebuah universitas merupakan tempat tinggalnya
komunitas mahasiswa dan tenaga pengajar dalam mencurahkan wacana ilmiah.
Dengan demikian terjadi interaksi antara pengajar dan peserta ajar yang
mengakibatkan suatu perubahan yang terus menerus. Dalam konteks ini, suatu
lembaga pendidikan tinggi adalah suatu proses yang menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas.
Di dalam suatu proses, untuk menghasilkan output sudah barang tentu perlu
adanya input. Input suatu perguruan tinggi adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan dalam proses untuk mencapai suatu tujuan. Input dapat diinterpretasikan
sebagai tangible resources seperti mahasiswa, sumber daya manusia, dana, gedung, lahan,
perpustkaan, laboratorium dan sebagainya dan intangible resources seperti pengetahuan,
attitude, creativitas, ingenuity (kecerdasan) dan lain-lain (Anonim, 2001). Sedangkan
Whelen (1999) yang dimaksud dengan sumber daya di sini adalah segala sesuatu yang
dimiliki organisasi yang mencakup asset, kompetensi, proses, skilled atau knowledge
yang dikendalikan oleh proses.


Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7

ISSN 1411-1527

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001



TUJUAN




INPUT
Sumber daya Efisiensi
Hubungan dn
lingkungan

Effectivity


PROSES
Productivity
Menggunanakan
sumberdaya untuk
mencapai tujuan

OUTPUT
Hasil dan
dampak

Sumber: TPSDP Guidelines, 2000

Proses merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini distribusi,
alokasi dan interaksi antar bagian dalam proses sendiri. Ketiga hubungan tersebut
dapat ditunjukkan pada gambar berikut:

Input 
Cheng and Tam (1997) memandang bahwa secara alami qualitas lulusan akan
baik apabila input yang masuk ke lembaga pendidikan tinggi pun berkualitas. Kualitas

pendidikan, menurut pendekatan model input, akan dapat dicapai dengan cepat
apabila dimiliki sumber daya dan input yang berkualitas.
Indikator kualitas
pendidikan harus mencakup kualitas intake (masukan) yang tinggi, peralatan dan
fasilitas lebih berkualitas, rasio dosen mahasiswa lebih baik, suporting dana yang lebih
dan dukungan alumni serta orang tua mahasiswa. Menurut Cameron (1984) model ini
optimal apabila keterkaitan antara kualitas input dan output dirumuskan dengan jelas,
dan suberdaya difokuskan untuk mencapai tujuan. Untuk mendapatkan kualitas input
memang sangat sulit, karena selalu berbenturan antara kualitas dengan kuantitas
mahasiswa. Kualitas input mahasiswa sering tampak merupakan indikator yang paling
penting untuk mencapai sukses suatu institusi pendidikan tinggi.

Proses 
Proses pembelajaran di perguruan tinggi merupakan penggunaan (utilization)
segenap sumber daya yang terlibat di dalam menghasilkan lulusan. Dalam kaitan ini,
dosen, materi pembelajaran, sarana-prasarana akan sangat menentukan kompetensi
lulusan. Kurikulum yang telah dirancang akan dapat mencapai hasil guna yang
optimum mana kala proses yang dilakukan benar.
Proses pembelajaran untuk menuju kualitas menurut Sudibyo (2000) merupakan
kata kunci dalam mencapai keberhasilannya. Keterampilan profesionalisme hanya
akan diperoleh dari proses “mengalami/hands on activities”. Berdasarkan kenyataan ini,
maka proses pembelajaran harus diberikan ‘proses mengalami’ terhadap mahasiswanya,
ISSN 1411-1527

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 20017 

dengan strategi pembelajaran dengan metode learner centered, di mana mahasiswa sebagai subyek dalam proses pembelajaran. Metode ini mempersyaratkan partisipasi
seluruh mahasiswa, dan dosen harus memberikan yang sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan mahasiswanya. Suprojo (1995) menekankan bahwa hal ini dapat dilakukan dengan:
a)

Proses pembelajaran yang menekankan pada pendekatan cara mengajar untuk
belajar (method of learning),

b)

Proses belajar berkelompok lebih utama dari proses belajar secara individual
dengan penekanan pada keragaman perspektif dalam menyelesaikan persoalan
dari pada mencarikan satu jawaban yang benar dengan hampiran terbaik,

c)

Proses pembelajaran yang lebih menekankan di tempat dari masalah yang muncul
setempat dan sesaat sehingga mahasiswa semakin terbiasa dengan teknologi untuk
menyumbang globalisasi, dan dosen akan menjadi lebih terampil dalam mencarikan pengetahuan yang diperlukan oleh mahasiswa dalam memecahkan permasalahannya,

d)

Proses pembelajaran yang menjadikan keseluruhan pengalaman belajarnya di
perguruan tinggi sebagai pemahaman budaya asli (indigenous) dan permasalahan
yang dijumpai dalam proses belajar di industri,

Pelaksanaan proses pembelajaran seperti di atas akan sangat tergantung pada
bagaimana gaya dan teknik mengajarnya seorang dosen, karenanya perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a)

Seorang dosen harus memperhatikan tujuan yang ingin dicapai dalam proses
pembelajaran,

b)

Dosen harus memperhatikan kemampuan dan apa yang menjadi kebutuhan mahasiswanya,

c)

Mempertimbangkan sumber daya yang dan dapat digunakan secara optimal.

Dalam situasi pembelajaran demikian, maka keterlibatan setiap mahasiswa akan
menjadi pengalaman di dalam menerima dan menerapkan ilmu dan pengetahuan
yang diperolehnya. Peranan dosen lebih bersifat fasilitator bagi keberhasilan pendidikan mahasiswanya.

Output 
Terkadang sering terjadi kesenjangan output dengan demand dari industri. Hal
ini terjadi antara lain karena proses pembelajaran masih kurang memenuhi syarat,
kualitas input yang sangat rendah dan lain-lain.
Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7

ISSN 1411-1527



J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Menurut Gasvers (2001: 376), output yang dibutuhkan oleh industri adalah output
yang (1) memiliki kemampuan solusi masalah berdasarkan konsep ilmiahm(2) memiliki
keterampilan kelompok (teamwork), (3) mempelajari bagaimana belajar yang efektif; (4)
berorientasi pada peningakatan terus menerus dengan tidak dibatasi pada target
tertentu, setiap target yang tercapai akan terus ditingkatkan; (5) membutuhkan
pengetahuan tertegrasi antar disiplin ilmu untuk solusi masalah industri yang komplek;
(6) bekerja adalah suatu proses berinteraksi dengan orang lain dan memproses
informasi secara aktif; (7) penggunaan teknologi merupakan bagian dari proses belajar
untuk solusi masalah.
Selain itu, output pendidikan profesional menurut TP5D (2001) harus memiliki:
(1) pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mempraktekan profesinya; (2)
pengetahuan cukup luas pada masalah sosial untuk meletakkan praktek profesionalnya
dalam konteks kemasayarakatan dan untuk menyediakan frofesional leadership; (3)
karakteristik kepribadian untuk bekerja secara efektif; (4) semangat terus belajar untuk
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan profesionalnya; (5) kemampuan dalam
melaksanakan atau menginterpretasikan riset yang akan menambah pengetahuan
manusai.
Ada dua kategori output pendidikan profesional yaitu (1) kompetensi profesional
dan (2) komepetensi attitude. Kompetensi profesional terdiri atas kompetensi
konseptual, kompetensi teknikal, kompetensi integratif, kompetensi kontekstual,
kompetensi adaptif, komunikasi interpersonal. Adapun kompetensi attitude dapat
diukur melalui (1) Identitas profesional; (2) etika profesional; (3) career marketability dan
(4) motivasi untuk terus belajar.

INDIKATOR PENILAIAN KUALITAS PENDIDIKAN 
Seperti yang telah diuraikan di muka, kualitas pendidikan tinggi tidak dapat
dinilai hanya dengan satu indicator, melainkan harus ditinjau dari berbagai aspek;
input, proses, output dan impact. Paling tidak tujuh aspek kualitas yang diajukan
Suhendro (1996) merupakan acuan dasar dalam menilai kualitas. Penilaian kualitas
bukan tanggung jawab pihak lain, melainkan tanggung jawab manajemem institusi
pendidikan tinggi itu sendiri, yang seringk dikenak dengan istilah self evaluation (evaluasi
diri). Indicator-indikator tersebut diringkaskan sebagai RAISEL (Relevance, Academic atmosphere, Internan management and organization, Sustainability, Eficiency
and productivity, Leadership).

Relevance (Ketergayutan) 
Suhendro (1996) menyebutkan yang dimaksud dengan ketergayutan (relevansi)
lembaga pendidikan adalah tujuan dan sasaran, dalam arti derajat kesesuaian antara
tujuan dan sasaran perguruan tinggi dengan aspirasi semua pihak yang berkepentingan

ISSN 1411-1527

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 20019 

serta dengan keperluan nyata masyarakat, industri dan pemerintah. Adanya lulusan
yang sulit memeperoleh pekerjaan di dunia industri, antara lain menunjukkan adanya
ketidakgayutan antara pengetahuan dan keterampilan yang diberikan di bangku kuliah
dengan kualifikasi yang diinginkan oleh industri.

Academic Atmoshpere 
Secara sederhana yang dimaksud dengan suasana akademik adalah derajat kepuasan dan motivasi meliputi sivitas akademik dalam pelaksanaan tugas kewajibannya untuk nencapai tujuan kelembagaan. Banyak factor yang mempengaruhi suasana akademik. Di pihak sivitas akademika, faktor-faktor seperti tujuan, aspirasi dan tata nilai
pribadi sangat berperan, sedangkan di pihak manajemen, pola yang dilandasi
keterbukaan, kejelasan dan pengertian akan meningkatkan komitmen untuk peningkatan kinerja.
Suasana akademik yang dinyatakan dalam derajat motivasi dan kepuasan kerja
meliputi sivitas akademika dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan fungsi-fungsi pendidikan di jurusan. Suasana akademik biasanya diekspresikan dalam kultur organisasi,
pola mananajemen dan tata hubungan antar pribadi yang meliputi tata cara kebiasaan
kerja, penetapan kerja dan kesadaran tujuan, cara pengambilan keputusan, kepedulian
sejawat, keterbukaan.

Internal Management and Organization 
Untuk mencapai tujuan institusi, pengelolaan pembelajaran perlu dilakukan
secara sungguh-sungguh, mengikuti manajemen yang sesuai dengan kebutuhan. Pelibatan seluruh elemen institusi di dalam proses merupakan bentuk partisipasi dalam
Manajemen internal dibutuhkan akan lebih efisien dalam menggunakan sumber
daya pada saat kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan sumber daya sebagai
proses. Apabila hal ini diperhatikan maka akan diperoleh (1) biaya rendah dan waktu
yang pendek melalui penggunaan sumber daya secara tepat, (2) meningkatkan konsistensi dan perkiraan hasil (3) berfokus dan prioritas pada perbaikan dan memanfaatkan kesempatan.

Sustainability 
Kemampuan Inovasi adalah derajat kelenturan Jurusan terhadap perubahan yang
terjadi di masyarakat. Dalam merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan
fungsionalnya Jurusan Perhotelan selalu mengacu kepada segala sesuatu yang ada
dan/atau terjadi di masyarakat (hal-hal yang digunakan sebagai acuan dalam
perencanaan dan penyelenggaran kegiatan, hal ini dikenal sebagai situasi acuan bagi
jurusan).

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7

ISSN 1411-1527

10 

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Perubahan yang terjadi di masyarakat, pasti mempunyai dampak terhadap
perguruan tinggi dan khususnya jurusan, karena situasi acuannya berubah. Analisis
Kemampuan Inovasi sesungguhnya mempermsalahkan derajat kelenturan Jurusan
terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan internal dan eksternal. Kemampuan
Inovasi pada umumnya dapat disimpulkan dari peraturan dan peraturan yang ada
menunjukan ada atau tidak ada kemungkinan pengambilan keputusan yang antisipatif
dan proaktif. Kemampuan Inovasi diharapkan mencerminkan seberapa jauh program-program perguruan tinggi dirancang dengan mengacu pada perubahan dan
perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Efisiensi dan Produktivitas 
Efisiensi merupakan keterkaitan antara masukan/sumber daya dan proses. Dan
menunjukkan derajat kehematan dalam penggunaan sumber daya dalam proses. Dalam pengertian ini efisiensi mengungkapkan perbandingan antara sumberdaya yang
digunakan dalam pelaksanaan suatu proses terhadap sumberdaya yang ada atau yang
seharusnya dapat dikerahkan. Makin kecil angka perbandingan tersebut makin kecil
efisiensi kegiatan atau yang bersangkutan.
Perlu sekali disadari bahwa banyak kegiatan di Perguruan Tinggi yang sukar sekali bahkan tidak mungkin ditetapkannya efisiensinya, seperti bilamana dalam proses kegiatan yang bersangkutan tidak dapat ditetapkan proses yang dapat dianggap baku.
Mempermasalahkan keterkaitan antara tujuan dan hasil, dan menunjukan derajat
keseuaian antara tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang dicapai. Pengertian ini
tidak mempersoalkan dampak tetapi selalu memperhatikan dan menelaah dampak
yang mungkin terjadi dalam mencapai tujuan.
Produktivitas merupakan keterkaitan antara proses tertentu, dihitung berdasarkan
penggunaan sumberdaya tertentu. Perubahan dalam proses dapat pula mengakibatkan
perubahan produktivitas. Mempermasalahkan keterkaitan antara proses dan hasil, dan
menunjukan jumlah satuan hasil yang terjadi karena suatu proses tertentu. Dihitung
berdasarkan penggunaan (per satuan/unit) sumberdaya tertentu, umpanya jumlah lulusan per tahun.

Leadership 
Leader isntitusi pendidikan tinggi merupakan penanggungjawab bagaimana
membangun keseragaman (unity) setiap elemen instiusi dengan tujuan organsisasional.
Para leader harus membuat dan memelihata lingkungan internal di mana setiap prang
dapat terlibat secara penuh dalam mencapai tujuan institusi.
Manfaat kunci dari peningkatan leadership ini adalah (1) setiap orang akan memahami dan termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi (2) aktivitas dapat dieval-

ISSN 1411-1527

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

11 
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

uasi, disesuaikan dan diimplementasikan ke dalam satu gaya yang seragam, (3) miskomunikasi antar unit di dalam organisasi dapat diminimalisir.
Penerapan rinsip-prinsip leadership ini akan secara khusus membawa pada bentuk
(1) pertimbangan kebutuhan semua pihak yang terkait termasuk pelanggan, pemilik,
pegawai, penyedia dana, pengguna, penduduk local dan masyarakat secara keseluruhan, (2) menetapkan visi yang jelas terhadap masa depan isntitusi, (3) target dan
tujuan yang menantang, (4) menciptakan dan mempertahankan nilai bersama, keadilan, dan panutan pada semua level dalam organisasi, (5) menetapkan kepercayaan dan
menghilangkan ketakutan, (6) menyediakan lsumber daya, pelatihan dan kebebasan
bertindak dengan tanggung jawab dan akuntabilitas, (7) menginspirasi, mendorong dan
mengakui kontribusi seseorang.

RESOURCE‐BASED VIEW OF THE FIRM 
Globalisasi telah menjadi salah satu topik khusus dalam kajian akademis dan siklus
bisnis dekade terakhir ini. Pertumbuhan dan perkembangan bisnis global telah
bercermin pada peningkatan penelitian-penelitian akademik yang berkaitan dengan
manajemen perusahaan. Penelitian Nehrt, Truitt, and Wright (1970) melaporkan
bahwa hanya 16 proyek penelitian selama tahun 60-an yang berkenaan dengan konsep
bisnis internasional. Namun setelah itu, terjadi pertumbuhan yang sangat dramatis.
Bagaimanapun demikian, ini menunjukkan bahwa upaya perusahaan untuk
memperoleh competitif advantage dan perluasan performance perusahaan di dalam
lingkungan global masih belum banyak dipahami (Prahalad & Doz, 1987).
Collins and Chyntia (1995: 118-128) mengungkapkan RBV (resource based view of
the firm) atau bersaing berbasiskan kekuatan sumber daya yang dimiliki.
Bila dikaitkan dengan lembaga pendidikan, RBV mempersaratkan adanya evaluasi terhadap kekuatan sumber daya yang dimiliki sebagai dasar dari persaingan. Evaluasi terhadap sumber daya tersebut meliputi aspek: inimitability, durability, appropriability,
substitutability dan competitive superiority.

Aspek Inimitability 
Salah satu ciri pendidikan di Indonesia adalah memiliki kurikulum nasional, di
mana setiap lembaga harus mengikuti peraturan tersebut. Dengan demikian, produk
pendidikan akan memperoleh muatan yang kurang lebih memiliki kesamaan. Namun
aspek ini perlu dievaluasi agar lulusannya tidak dapat ditiru oleh lembaga manapun.
Kondisi ini akan dapat dicapai manakala kualitas lulusan institusi pendidikan tinggi
tidak dapat disamai oleh lulusan mana pun. Oleh karena itu, lembaga pendidikan
tinggi harus memunculkan performans yang khas sebagai phsycal uniqueness yang tidak
dapat ditiru oleh institusi lain. Physical uniqueness ini harus dimiliki agar kompetensi
institusi dapat menjadi satu karakter yang khas. Untuk memunculkan satu physical uniMaryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7

ISSN 1411-1527

12 

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

queness diperlukan suatu proses yang saling terkait (path dependency) sehingga harus mampu menciptakan kondisi di mana industri memiliki ketergantungan institusi pendidikan
tersebut. Hal ini akan dapat diperoleh melalui PROSES PEMBELAJARAN secara
terus menerus.

Aspek Durability 
Disadari atau tidak, bahwa untuk proses pendidikan memerlukan waktu tertentu,
namun bagaimana upaya lembaga pendidikan menciptakan kualitas dalam waktu yang
tidak terlalu lama. Lulusan tepat waktu adalah kata kunci untuk bersaing sebagai kekuatan kita. Indikator aspek ini dapat dievaluasi dari lamanya waktu belajar dalam
menempuh pendidikan.

Aspek Appropriability 
Kekuatan untuk untuk bersaing adalah kualitas. Lulusan yang berkualitas adalah
lulusan yang memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan industri. Kunci utama
dari kekuatan bersaing ini dalah suberdaya yang menghasilkan lulusan tepat dan siap
kerja.

Aspek Substitutability  
Kelemahan intitusi pendidikan tinggi saat ini antara lain adalah mono-talen, sehingga replacement pekerjaan tidak dapat di-endors secara optimal. Sumber daya manusia perlu mampu saling mengisi dengan meningkatkan talenta. Aspek ini dapat diterapkan dengan belajar lebih banyak, sehingga banyak job yang dapat dilakukan.

Aspek Competitive Superiority 
Melalui evaluasi aspek ini, diharapkan institusi pendidikan tinggi benar-benar
memiliki core competence yang merupakan bagian dari kekuatan bersaing. Aspek ini sangat penting untuk menjadi pesaing tangguh terhadap lembaga pendidikan lain.
Menurut Hamel dan Henee keunggulan persaingan harus terus diperbaharui, dan
pembaharuan hanya dapat dilakukan dengan belajar yang terus menerus (continous
learning) yang dapat diperoleh dengan:
1. memiliki pola pikir dan pola tindak yang teratur menyesuaikan dengan visi dan
misi institusi ;
2. adanya kemauan untuk melakukan inovasi-inovasi di dalam belajar dan bekerja;
3. adanya arus informasi yang mengalir bebas di antara elemen organisasi;
4. adanya struktur organisasi yang ramping dan non hierarchical agar dapat mengembangkan kreativitas dan inisiatif;

ISSN 1411-1527

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

13 
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

5. adanya penekanan untuk menggunakan pengetahuan, keahlian dan sikap yang
sudah maksimal;
6. memahami visi dan misi yang telah ditetapkan dan ada keingingan untuk
melaksanakannya;
7. menerima serta menggunakan proses transrasional sebagai dasar bagi kreativitas,
pembaruan serta penataan kembali sumber daya untuk bersaing.
Dengan menerapkan prisnsip-prinsip RBV, maka bersaing dengan kualitas dan
sumber daya yang dimiliki akan

PENUTUP 
Persaingan saat ini dan di masa yang akan datang akan semakin ketat di berbagai
level organsisasi. Untuk memenangkan persaingan tersebut hanya satu kata kunci adalah kualitas, yang didukung oleh penerapan strategi yang tepat dalam bersaing tersebut. Resource-based View of the firm adalah salah satu pendekatan untuk meningkatkan daya saing dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.

DAFTAR PUSTAKA 

Anonim, 2001.
Barnett, R. 1992. Improving Higher Education – Total Quality Care,
SRHE/Open University Press, London. **
Barnett, R. 1992. Improving Higher Education–Total
Care,SRHE/Open University Press, London.***

Quality

Barney, J. B. (1986). Strategic factor markets: Expectations, luck
and business strategy. Management Science, 32(10), 1231–
1241. ***
Barney, J. B. (1991). Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management, 17(1), 99–120. ***
Bartlett, C. A., & Ghoshal, S. (1989). Managing across borders: The
transnational solution. Cambridge, MA: Harvard Business
School Press.
Birkinshaw, J., Morrison, A., & Hulland, J. (1995). Structural and
competitive determinants of a global integration strategy. Strategic Management Journal, 16(8), 637–655.

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7

ISSN 1411-1527

14 

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Buckley, P. J., & Casson, M. (1976). The future of the multinational
enterprise. London: MacMillan Press. Capron, L., & Hulland, J.
(1999). Redeployment of brands, sales forces, and general marketing manage-ment expertise following horizontal acquisitions.
Journal of Marketing, 63(2), 41–54.
Cameron, K.S. 1984, “The effectiveness of ineffective-ness”,
Research in Organizational Behavior, Vol. 6, pp. 235-85. ***
Cheng, Y.C. (1995a), “School education quality: conceptu-alization,
monitoring, and enhancement”, in Siu, P.K. and Tam T.K. (Eds),
Quality in Education: Insights from Different Perspectives, Hong
Kong Education Research Association, Hong Kong, pp. 12347.***
Cheng, Y.C. and Tam, W.M. 1997. Multi models of quality in
education. Education Journal, Vol. 5 No. 1, pp. 22-31. ***
Collis, D. J. (1991). A resource-based analysis of global competition:
The case of the bearings industry. Strategic Management Journal, 12,49–68. ***
Collis, D. J. (1994). How valuable are organisational capabilities
[special issue]. Strategic Managemet Journal, 15, 143–152.
Collis, D. J., & Montgomery, C. A. (1995). Competing on resources:
Strategy in the 1990s. Harvard Business Review, 73(4), 118–
128.
Feigenbaum, A.V. 1951. Quality Control: Principles, Practice, and
Administration,McGraw-Hill, New York, NY. ***
Gasvers, V. 2001. Total Quality Manajamen.
Utama. ***

Gramedia Pustaka

Ghoshal, S. (1987). Global strategy: An organising framework. Strategic Management Journal, 8(5), 425–440.
Ghoshal, S., & Nohria, N. (1993). Horses for courses: Organisational
forms for multinational corporations. Sloan Management Review, 34(2), 23–35.
Gordon. 1995. Higher education 2005: pointers, possibilities, pitfalls, principles. Quality Assurance In Education, 3(4), 21-29.
***
Grant, R. M. (1991). The resource-based theory of competitive advantage: Implications for strategy formu-lation. California Management Review, 33(3), 114–135.

ISSN 1411-1527

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7

15 
J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Hall, R. (1989). The management of intellectual assets: A new corporate perspective. Journal of General Management, 15(1), 53–
68.
Johnstone, D.B. 1993. “Learning productivity: a new imperative for
American higher education”, Studies in Public Higher
Education,No. 3, State University of New York, New York, NY. p.
147. ***
Juran, J.M. and Gryna, F.M. Jr (Eds). 1988. Juran’s Quality Control
Handbook,4th ed., McGraw-Hill, New York, NY. ***
Mihardjo, M. 1999a. Strategi Pengelolaan Sumber Daya dalam
Mempertahankan Kelangsungan Organisasi Lembaga Pendidikan Tinggi di masa krisis. Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah.
Pusat Penelitian Akademi Pariwisata Trisakti. No. 7. Maret
1999. Hal. 1-8.
Mihardjo, M. 1999b. Effort in developing the quality and productivity of Indonesian tourism human resources in anticipation of the
2003 AFTA. J. Ilm. Pariwisata 4(2). ***
Morrison, A. J., & Roth, K. (1992). A taxonomy of business level
strategies in global industries. Strategic Management Journal,
13(6), 399–418.
Nehrt, L. C., Truitt, J. F., & Wright, R. W. (1970). International business research: Past, present and future. Bloomington, IA: Indiana University Bureau of Business Research. ***
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and Berry, L.L. (1985), “A
conceptual model of service quality and its implica-tions for
future research“, Journal of Marketing, Vol. 4 No. 4, pp. 41-50.
****
Peters, T.J. and Waterman, R.H. 1982.
Excellence,Harper & Row, New York, NY. ***

In

Search

of

Prahalad, C. K., & Doz, Y. L. (1987). The multinational misson: Balancing local demands and global vision. New York: Free Press.
Prahalad, C. K., and Doz, Y. L. 1987. The Multinational mission:
balanching local demand and global vision. New York, Free
Press. ***
Soehendro, B. 1996. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi
Jangka Panjang 1996-2005. Depdikbud. Jakarta. ***

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi : 1 - 7

ISSN 1411-1527

16 

J. Ilm. Pariwisata, Vol. 6, No. 2 November 2001

Sudibyo, J. 2000. Kebijakan dan Sasaran STP Trisakti dalam
Menghadapi Millenium Baru. Makalah Seminar Peningkatan
Kualitas Dosesn. Jakarta, September 2000. ***
Suprojo, P. 1995. Penjelasan cara penyusunan kurikulum pendidikan tinggi program sarjana bagi setiap program studi di Universitas Jember. Makalah pengantar diskusi. Desember. 1995.***
Taufik, Iman. 2001. Indonesian Recovery and Development. Makalah Seminar daya Saing Indonesia di Era Global. ***
TP5D. 2001.
Van Ginkel, H. (1994), “University 2050: the organization of creativity and innovation”, Universities in the 21st Century: A Lecture
Series, Paul Hamlyn Founda-tion, London, pp. 65-86. ***
1
2

Hj. Maryam Mihardjo, Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Mantan Ketua Umum Himpunan Pendidikan Tinggi
Pariwisata,
Kusmayadi, Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat STP Trisakti, Master of Tourism Marketing
serta pemerhati masalah pariwisata.

ISSN 1411-1527

Maryam Mihardjo dan Kusmayadi: 1 - 7