BAB I Analisis Hubungan Rusia dan Suriah
Latar Belakang
Rusia merupakan salah satu negara yang kuat, baik dari segi power politik maupun
kekuatan militernya. Sehingga, Rusia menjadi salah satu aktor yang dominan dalam tatanan
politik di dunia internasional yang mampu merubah arah politik hubungan antar negara dan juga
tatanan internasional. Hal ini menyebabkan apapun kebijakan yang diambil Rusia akan sangat
menarik perhatian dunia internasional. Secara historis, Rusia merupakan negara yang dulunya
bernama Uni Soviet dan menjadi salah satu dari negara super power yang mampu menyeimbangi
kekuatan United States sebagai negara superpower lainnya. Kedua negara tersebut menjadi
representasi dari dua ideology yang saling bertolak belakang saat itu. Dimana keduanya
mempunyai negara negara pengikut yang berada dibawah pengaruh keduanya yang menciptakan
“Cold War” pada rezim saat itu.
Dalam menjalankan perannya sebagai negara superpower, Uni Soviet tidak mungkin
bekerja sendiri. Uni Soviet mempunyai aliansi-aliansi yang akan mendukungnya untuk mencapai
kepentingannya di dunia internasional, salah satunya dengan Suriah, sebagai pintu masuk yang
digunakan Uni Soviet untuk masuk ke Timur Tengah. Hubungan Uni Soviet dan Suriah
sebenarnya telah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Suriah menjadi sebuah negara yang
diakui oleh dunia internasional dan PBB pada 17 April 1946. Suriah menjadi salah satu partner
yang sangat kronis bagi Uni Soviet kala itu yang menjadi salah satu kunci kekuatan Uni Soviet
dalam menjaga dominasinya di dunia internasional.
Kehadiran Rusia sebenarnya telah ada di Suriah bahkan sebelum Perang Dunia II.
Menurut sumber sumber dan jurnal Arab pada abad pertengahan, Rusia meletakkan “Byzantyne
Army” di Suriah pada abad ke 10 dan 11, dan setelah perjanjian Carlovitz dengan Ottoman
Empire pada 1699 semakin banyak para pendatang Rusia yang mengunjungi Suriah dalam
perjalanan mereka ke Palestina dengan berbagai tujuan yang ada, termasuk didalamnya
masyarakat Kristen Orthodox1. Hal ini membuat Kekaisaran Orthodox memperluas pengaruhnya
hingga membuat sebuah pos konsuler yang beroperasi di Aleppo, Latkia, Beirut, dan Saida pada
1893. Pengaruhnya terus meluas sampai ke Suriah, dimana mereka juga membangun sebanyak
tujuh puluh empat sekolah untuk memajukan pendidikan di Suriah pada 1905. Hal ini menjadi
sebuah tirai yang membuka kedekatan antara Rusia dan Suriah yang nantinya akan semakin
mejadi lebih dekat.
Jatuhnya rezim Uni Soviet pada tahun 1991 menjadi sebuah momentum yang besar bagi
negara negara di dunia khususnya Amerika Serikat untuk melakukan ekspansi terhadap negaranegara bekas aliansi Uni Soviet. Rivalitas antara Pakta Warsawa dan North Atlantic Treaty
Organization (NATO) akhirnya berakhir setelah Pakta Warsawa dibubarkan. Hal ini
dimanfaatkan NATO untuk memberikan pengaruhnya terhadap negara-negara terdekat Uni
Soviet di Eropa Timur dan termasuk partner Uni Soviet yang berada di Timur Tengah.
Pecahnya Uni Soviet membuat banyak bagian bagian wilayah membentuk negara-negara
kecil baru, namun secara umum masih mempunyai kawasan yang dominan yaitu Rusia. Rusia
mulai membenahi kondisi yang ada didalam negerinya untuk bisa kembali aktif dan
mendominasi dalam politik internasional.
1
Andrej Kreutz, Russia in the Middle East: Friend or Foe ?
Berdasarkan pada kejatuhan yang dialami oleh Uni Soviet pada tahun 1991, Rusia
merumuskan kembali semua bentuk kebijakan luar negerinya. Keinginan Rusia tersebut untuk
kembali mencapai kejayaan masa lalunya dan hal itu tertuang di beberapa dokumen
keamanannya. Hal ini tercermin dari kebijakan yang dikeluarkan Presiden Vladimir Putin yang
ingin mengembalikan pengaruh Rusia dengan mengeluarkan National Security Concept pada
tahun 2000. Dokumen tersebut menjelaskan bahwa Rusia telah kembali ke arena politik
internasional dan berusaha untuk mengembalikan keayaan masa lalu yang dimilikinya2.
Rusia memandang Timur Tengah merupakan kawasan yang krusial baginya untuk
mencapai kepentingan nasional. Hal ini membuat Rusia untuk kembali merefleksikan
hubungannya yang sempat terputus pada masa pemerintahan sebelumnya. Di kawasan tersebut,
Rusia bisa memulai kembali ambisinya untuk menjadi negara yang berpengaruh mengingat
kawasan Timur Tengah merupakan kawasan shatterbelt. Shatterbelt merujuk terhadap kawasan
geografis dengan dua kondisi yaitu, didalamnya benyak terjadi konflik lokal dengan atau antara
negara-negara kawasan tersebut, dan terdapat keterlibatan beberapa aktor major power yang
berasal dari luar kawasan tersebut3. Timur Tengah juga merupakan kawasan yang sangat bernilai
bagi negara negara berpengaruh seperti Amerika Serikat dan Rusia. Hal ini diperburuk dengan
terjadinya fenomena Arab Spring yang menjadi salah satu isu yang menarik perhatian di dunia
internasional. Arab Spring merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan
bentuk-bentuk pemberontakan yang terjadi di negara negara Arab di Timur Tengah seperti
demonstrasi, protes, dan konflik bersenjata. Pemberontakan tersebut dikarenakan adanya ketidak
2
Ministry of Foreign Affairs Russian Federation, National Security Concept of The Russian Federation Approved by
Presidential Decree No. 24 of 10 january 2000, Ministry of Foreign Affairs Russian Federation Official Site
3
Paul R. Hensel&Paul F.Diehl, 1994, Testing Empirical Propositions Abput Shattebelts
puasan terhadap pemerintah lokal yang dinilai diktator, monarki-absolut, dan melakukan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kepada rakyatnya sendiri4.
Di sisi lain, saat ini Suriah sedang mengalami krisis yang dimotori gerakan oposisi
melawan pemerintah yang dinilai sebagai aristokrasi modern dimana rakyat tidak lagi terpenuhi
aspirasinya. Pemerintah Suriah dinilai sebagai bagian dari rezim diktator yang menindas rakyat
dan malah membuat rakyatnya menderita. Sehingga, hal ini menimbulkan tindakan protes untuk
menurunkan pemerintahan dalam bentuk demonstrasi turun ke jalan, litrasi media, dan cara- cara
militer, ditempuh oleh oposisi untuk mencapai keinginan mereka. Proses penurunan rezim
Bashar Al-Assad yang telah dimulai sejak awal 2000-an dinilai oleh rakyat Suriah telah
menghasilkan korban ratusan nyawa baik dari sipil maupun dari pemerintahan itu sendiri.
Apalagi timbulnya isu baru baru ini yang mengklaim penggunaan senjata kimia berbahaya yang
digunakan pihak pemerintah Suriah untuk melawan pihak oposisi yang mengakibatkan korban di
pihak sipil yang tidak bersalah dan memakan korban banyak orang. Konflik internal tersebut
telah memancing intervensi dari banyak pihak termasuk pihak Barat dan juga oposisinya. Pihak
Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, berdasarkan sejarah dan kebijakan luar negerinya di
Semenanjung Arab menginginkan Suriah yang demokratis dengan menggulingkan rezim Assad.
Namun, lain dengan pihak oposisinya yaitu Rusia dan Cina yang juga memainkan politik yang
sesuai dengan kepentingannya. Dimana jika rezim Assad mampu bertahan, maka hal tersebut
akan menjadi kerugian bagi pihak Barat. Dengan banyaknya campur tangan yang terjadi, maka
kompleksitas krisis di Suriah saat ini merupakan hasil dari konversi banyak kepentingan.
4
Alexander Cockburn, 2011, The Tweets And Revolutions, Counter Punch Diaries, edisi 18-20 Februari 2011
Rusia muncul dan secara nyata menawarkan bantuan untuk menghadapi desakan dan
campur tangan internasional dalam penyelesaian krisis domestik di Suriah. Sehingga, dengan
tegas Rusia menolak segala bentuk sanksi yang dapat memberatkan Suriah dalam hal ini,
termasuk sanksi ekonomi dan politik. Dewan Keamanan PBB menyepakati untuk
mengaplikasikan Chapter 7 Article 41 UN Charter maka jalan intervensi militer akan terbuka
bagi Suriah5. Namun, bersama dengan Rusia, China juga sepakat untuk membebaskan Suriah
dari jalan intervensi militer Dewan Keamanan. Sehingga, sebanyak tiga kali veto dijatuhkan
untuk Suriah.
Dengan ditolaknya Resolusi Dewan Keamanan PBB untuk Krisis Suriah, maka hal itu
berarti AS tidak dapat melakukan tindakan militer dan harus mengganti strateginya dengan cara
non-militer di Suriah. Maka, AS mulai memberikan bantuan dana terhadap oposisi sebagai
bentuk dukungannya untuk menjatuhkan rezim Assad.
Rusia menilai keterlibatannya di Suriah merupakan upaya untuk melindungi investasinya,
dikarenakan hubungan ekonomi dan militer antara Rusia dan Suriah telah berlangsung sejak
terjadinya Perang Dingin sampai dengan saat ini. Salah satu bukti nyatanya yaitu pendirian kamp
militer Rusia di Suriah di Pelabuhan tartus pada tahun1963 mencerminkan eratnya hubungan
kedua negara ini. Sedangkan dilihat dari kerjasama militer, pada tahun 2011, kontrak mliter
Rusia dan Suriah mencapai angka USD 4 mliyar dan diperkirakan angka ini akan bertambah
seiring dengan perkembangan krisis yang semakin meruncing6.
5
United Nations Security Council, 2011, Security Council Fails to Adopt Draft Resolution Condemning Syria’s Crackdown on
Anti-Government Protestors, Owing to Veto by Russian Federation, China, United Nations Official Site, 4 Oktober 2011, New
York
6
Jeffrey Mankoff, 2012, Russia’s Self-Defeating Games in Syria, Central for Strategic and International Studies (CSIS)
Sikap Rusia yang begitu tegas dalam mempertahanakan hubungannya dengan Suriah dan
membela Suriah dari intervensi Dewan Keamanan PBB dan AS semakin menunjukkan
kepentingan nasional Rusia yang semakin menguat di Suriah. Hal tersebut membuat penulis
untuk mengangkat judul “Hubungan Rusia dan Suriah dari rezim Uni Soviet sampai saat ini”.
Disini kami akan menjelaskan bagaimana hubungan dan peta kebijakan dan aliansi kedua negara
dari periode Uni Soviet sampai sekarang.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan yang telah dijelaskan dan dipaparkan oleh penulis diatas, maka timbul
pertanyaan terkait dengan isu yang diangkat oleh penulis.
1. Bagaimana kedudukan dan hubungan Rusia di Suriah pada periode soviet?
2. Bagaimana kedudukan dan hubungan Rusia di Suriah pasca perang dingin?
3. Bagaimana kedudukan dan hubungan Rusia di Suriah saat ini yaitu pada periode
kepemimpinan Vladimir Putin?
4. Apa kepentingan Rusia yang ada di Suriah sehingga membuat Rusia begitu ingin
beraliansi dengan Suriah?
5. Dibalik aliansi tersebut apakah sebenarnya kebijakan Luar Negeri Rusia terhadap
Suriah merupakan suatu intervensi? Apa saja bentuk intervensi Rusia di negara
tersebut?
Kerangka Konseptual
Hubungan internasional adalah hubungan antar negara dengan negara sebagai aktor
utama didalamnya. Negara menjadi subjek utama dalam setiap hubungan antar negara. Dengan
kata lain, negara memiliki power dalam menentukan setiap kebijakan. Dalam tulisan Thucydides,
The Peloponnesian War, power adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau mengendalikan
tindakan dari pihak lain. Selain itu Negara memiliki kepentingn besar atas powernya. Bagi
Negara, power merupakan kebutuhan penting untuk dapat bertahan diri.
Melihat itu, hubungan Suriah dan Rusia saat ini bisa dibilang sebagai upaya untuk
bertahan diri dengan usaha oposisi untuk menjatuhkan rezim pemerintah Assad. Dalam hal ini,
hubungan yang dilakukan Suriah adalah membentuk aliansi kuat untuk melawan oposisi dengan
digawangi oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Thucydides berpendapat dalam bukunya History
of Peloponnesian “makna keadilan itu tergantung dari perimbangan kekuatan yang ada,
terdapatan kenyataan bahwa pihak yang kuat melakukan apa yang hendak mereka lakukan dan
pihak yang lemah menerima apa yang seharusnya mereka terima”1.
Disisi lain, Machiavelli berpendapat bahwa Seorang penguasa harus melakukan tindakan
jahat jika dibutuhkan untu mempertahankan kekuasaan : Seorang pangeran dapat mengambil
tindakan ini jika dia berada dalam satu kebutuhan untuk mempertahankan negara, bertindak
bertentangan dengan iman, terhadap kemanusiaan, bahkan terhadap agama2.
Dalam hal ini, aliansi dibentuk jika suatu negara mendapatkan ancaman besar dari
lawannya, sehingga aliansi dibentuk dengan negara lain berdasarkan musuh bersama. Ketika
aliansi ini gagal, negara lemah akan mencari negara yang lebih kuat lagi untuk mengimbangi
kekuatannya. Seperti yang dikatakan oleh Machiavelli “Tidak ada yang perlu ditakutkan diantara
17Markus Fischer “Machiavelli`s of Foreign Politics”, dalam Benjamin Frankel, (1996), Roots of Realism (London :
8
Frank Cass,1996), hal 250
2Ibid, hal 250
anggota aliansi, apabila mereka memiliki musuh bersama yang kuat dan berbahaya sehingga
akan tetap mengikat para anggota aliansi untuk tetap bersama 3”. Dengan kata lain, aliansi
dibentuk karena adanya musuh bersama, seperti hubungan Rusia dan Suriah ini, dimana musuh
bersama mereka adalah AS dan sekutunya.
Kemudian Joseph Grico (1988) mengatakan keuntungan keuntungan relatif dan absolut,
dimana negara tertarik untuk meningkatkan kekuasaan dan pengaruhnya (keuntungan absolut)
sehingga mereka akan bekerja sama untuk meningkatkan kemampuannya. Sehingga jelas disini,
neo realisme menyatakan bahwa kerjasama itu mungkin bisa dibentuk dengan tujuan untuk
mengamankan kekuasaannya dalam menghadapi ancaman besar.
Metode Penelitian
39 Ibid, hal 257- 258
Metode yang digunakan bersifat kualitatif dengan mengolah beberapa data yang
dikumpulkan mengenai fenomena-fenomena yang terjadi terkait hubungan Suriah dengan Rezim
Rusia. Dalam melakukan penelitian, setiap fenomena sosial tersebut di jabarkan kedalam
beberapa komponen masalah, yakni variable dan indikator. Setiap variable yang ditentukan di
ukur dengan memberikan simbol - simbol yang berbeda sesuai dengan kategori informasi yang
berkaitan dengan variable tersebut. Dari simbol - simbol yang ditetapkan tersebut kemudian
dirumuskan menjadi sebuah kesimpulan dalam memaknai suatu fenomena mengenai hubungan
yang terjadi antara Suriah dengan Rusia. Hal inilah yang kemudian akan digunakan dalam
memahami perkembangan dan perubahan yang terjadi antara Suriah dan Rusia selama beberapa
periode yang diteliti.
Pengumpulan data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat (non-human resources), diantaranya
berasal dari dokumen, foto dan bahan statistik. Dokumen terdiri beberapa berita yang didapat
dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik.
Rusia merupakan salah satu negara yang kuat, baik dari segi power politik maupun
kekuatan militernya. Sehingga, Rusia menjadi salah satu aktor yang dominan dalam tatanan
politik di dunia internasional yang mampu merubah arah politik hubungan antar negara dan juga
tatanan internasional. Hal ini menyebabkan apapun kebijakan yang diambil Rusia akan sangat
menarik perhatian dunia internasional. Secara historis, Rusia merupakan negara yang dulunya
bernama Uni Soviet dan menjadi salah satu dari negara super power yang mampu menyeimbangi
kekuatan United States sebagai negara superpower lainnya. Kedua negara tersebut menjadi
representasi dari dua ideology yang saling bertolak belakang saat itu. Dimana keduanya
mempunyai negara negara pengikut yang berada dibawah pengaruh keduanya yang menciptakan
“Cold War” pada rezim saat itu.
Dalam menjalankan perannya sebagai negara superpower, Uni Soviet tidak mungkin
bekerja sendiri. Uni Soviet mempunyai aliansi-aliansi yang akan mendukungnya untuk mencapai
kepentingannya di dunia internasional, salah satunya dengan Suriah, sebagai pintu masuk yang
digunakan Uni Soviet untuk masuk ke Timur Tengah. Hubungan Uni Soviet dan Suriah
sebenarnya telah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Suriah menjadi sebuah negara yang
diakui oleh dunia internasional dan PBB pada 17 April 1946. Suriah menjadi salah satu partner
yang sangat kronis bagi Uni Soviet kala itu yang menjadi salah satu kunci kekuatan Uni Soviet
dalam menjaga dominasinya di dunia internasional.
Kehadiran Rusia sebenarnya telah ada di Suriah bahkan sebelum Perang Dunia II.
Menurut sumber sumber dan jurnal Arab pada abad pertengahan, Rusia meletakkan “Byzantyne
Army” di Suriah pada abad ke 10 dan 11, dan setelah perjanjian Carlovitz dengan Ottoman
Empire pada 1699 semakin banyak para pendatang Rusia yang mengunjungi Suriah dalam
perjalanan mereka ke Palestina dengan berbagai tujuan yang ada, termasuk didalamnya
masyarakat Kristen Orthodox1. Hal ini membuat Kekaisaran Orthodox memperluas pengaruhnya
hingga membuat sebuah pos konsuler yang beroperasi di Aleppo, Latkia, Beirut, dan Saida pada
1893. Pengaruhnya terus meluas sampai ke Suriah, dimana mereka juga membangun sebanyak
tujuh puluh empat sekolah untuk memajukan pendidikan di Suriah pada 1905. Hal ini menjadi
sebuah tirai yang membuka kedekatan antara Rusia dan Suriah yang nantinya akan semakin
mejadi lebih dekat.
Jatuhnya rezim Uni Soviet pada tahun 1991 menjadi sebuah momentum yang besar bagi
negara negara di dunia khususnya Amerika Serikat untuk melakukan ekspansi terhadap negaranegara bekas aliansi Uni Soviet. Rivalitas antara Pakta Warsawa dan North Atlantic Treaty
Organization (NATO) akhirnya berakhir setelah Pakta Warsawa dibubarkan. Hal ini
dimanfaatkan NATO untuk memberikan pengaruhnya terhadap negara-negara terdekat Uni
Soviet di Eropa Timur dan termasuk partner Uni Soviet yang berada di Timur Tengah.
Pecahnya Uni Soviet membuat banyak bagian bagian wilayah membentuk negara-negara
kecil baru, namun secara umum masih mempunyai kawasan yang dominan yaitu Rusia. Rusia
mulai membenahi kondisi yang ada didalam negerinya untuk bisa kembali aktif dan
mendominasi dalam politik internasional.
1
Andrej Kreutz, Russia in the Middle East: Friend or Foe ?
Berdasarkan pada kejatuhan yang dialami oleh Uni Soviet pada tahun 1991, Rusia
merumuskan kembali semua bentuk kebijakan luar negerinya. Keinginan Rusia tersebut untuk
kembali mencapai kejayaan masa lalunya dan hal itu tertuang di beberapa dokumen
keamanannya. Hal ini tercermin dari kebijakan yang dikeluarkan Presiden Vladimir Putin yang
ingin mengembalikan pengaruh Rusia dengan mengeluarkan National Security Concept pada
tahun 2000. Dokumen tersebut menjelaskan bahwa Rusia telah kembali ke arena politik
internasional dan berusaha untuk mengembalikan keayaan masa lalu yang dimilikinya2.
Rusia memandang Timur Tengah merupakan kawasan yang krusial baginya untuk
mencapai kepentingan nasional. Hal ini membuat Rusia untuk kembali merefleksikan
hubungannya yang sempat terputus pada masa pemerintahan sebelumnya. Di kawasan tersebut,
Rusia bisa memulai kembali ambisinya untuk menjadi negara yang berpengaruh mengingat
kawasan Timur Tengah merupakan kawasan shatterbelt. Shatterbelt merujuk terhadap kawasan
geografis dengan dua kondisi yaitu, didalamnya benyak terjadi konflik lokal dengan atau antara
negara-negara kawasan tersebut, dan terdapat keterlibatan beberapa aktor major power yang
berasal dari luar kawasan tersebut3. Timur Tengah juga merupakan kawasan yang sangat bernilai
bagi negara negara berpengaruh seperti Amerika Serikat dan Rusia. Hal ini diperburuk dengan
terjadinya fenomena Arab Spring yang menjadi salah satu isu yang menarik perhatian di dunia
internasional. Arab Spring merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan
bentuk-bentuk pemberontakan yang terjadi di negara negara Arab di Timur Tengah seperti
demonstrasi, protes, dan konflik bersenjata. Pemberontakan tersebut dikarenakan adanya ketidak
2
Ministry of Foreign Affairs Russian Federation, National Security Concept of The Russian Federation Approved by
Presidential Decree No. 24 of 10 january 2000, Ministry of Foreign Affairs Russian Federation Official Site
3
Paul R. Hensel&Paul F.Diehl, 1994, Testing Empirical Propositions Abput Shattebelts
puasan terhadap pemerintah lokal yang dinilai diktator, monarki-absolut, dan melakukan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kepada rakyatnya sendiri4.
Di sisi lain, saat ini Suriah sedang mengalami krisis yang dimotori gerakan oposisi
melawan pemerintah yang dinilai sebagai aristokrasi modern dimana rakyat tidak lagi terpenuhi
aspirasinya. Pemerintah Suriah dinilai sebagai bagian dari rezim diktator yang menindas rakyat
dan malah membuat rakyatnya menderita. Sehingga, hal ini menimbulkan tindakan protes untuk
menurunkan pemerintahan dalam bentuk demonstrasi turun ke jalan, litrasi media, dan cara- cara
militer, ditempuh oleh oposisi untuk mencapai keinginan mereka. Proses penurunan rezim
Bashar Al-Assad yang telah dimulai sejak awal 2000-an dinilai oleh rakyat Suriah telah
menghasilkan korban ratusan nyawa baik dari sipil maupun dari pemerintahan itu sendiri.
Apalagi timbulnya isu baru baru ini yang mengklaim penggunaan senjata kimia berbahaya yang
digunakan pihak pemerintah Suriah untuk melawan pihak oposisi yang mengakibatkan korban di
pihak sipil yang tidak bersalah dan memakan korban banyak orang. Konflik internal tersebut
telah memancing intervensi dari banyak pihak termasuk pihak Barat dan juga oposisinya. Pihak
Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, berdasarkan sejarah dan kebijakan luar negerinya di
Semenanjung Arab menginginkan Suriah yang demokratis dengan menggulingkan rezim Assad.
Namun, lain dengan pihak oposisinya yaitu Rusia dan Cina yang juga memainkan politik yang
sesuai dengan kepentingannya. Dimana jika rezim Assad mampu bertahan, maka hal tersebut
akan menjadi kerugian bagi pihak Barat. Dengan banyaknya campur tangan yang terjadi, maka
kompleksitas krisis di Suriah saat ini merupakan hasil dari konversi banyak kepentingan.
4
Alexander Cockburn, 2011, The Tweets And Revolutions, Counter Punch Diaries, edisi 18-20 Februari 2011
Rusia muncul dan secara nyata menawarkan bantuan untuk menghadapi desakan dan
campur tangan internasional dalam penyelesaian krisis domestik di Suriah. Sehingga, dengan
tegas Rusia menolak segala bentuk sanksi yang dapat memberatkan Suriah dalam hal ini,
termasuk sanksi ekonomi dan politik. Dewan Keamanan PBB menyepakati untuk
mengaplikasikan Chapter 7 Article 41 UN Charter maka jalan intervensi militer akan terbuka
bagi Suriah5. Namun, bersama dengan Rusia, China juga sepakat untuk membebaskan Suriah
dari jalan intervensi militer Dewan Keamanan. Sehingga, sebanyak tiga kali veto dijatuhkan
untuk Suriah.
Dengan ditolaknya Resolusi Dewan Keamanan PBB untuk Krisis Suriah, maka hal itu
berarti AS tidak dapat melakukan tindakan militer dan harus mengganti strateginya dengan cara
non-militer di Suriah. Maka, AS mulai memberikan bantuan dana terhadap oposisi sebagai
bentuk dukungannya untuk menjatuhkan rezim Assad.
Rusia menilai keterlibatannya di Suriah merupakan upaya untuk melindungi investasinya,
dikarenakan hubungan ekonomi dan militer antara Rusia dan Suriah telah berlangsung sejak
terjadinya Perang Dingin sampai dengan saat ini. Salah satu bukti nyatanya yaitu pendirian kamp
militer Rusia di Suriah di Pelabuhan tartus pada tahun1963 mencerminkan eratnya hubungan
kedua negara ini. Sedangkan dilihat dari kerjasama militer, pada tahun 2011, kontrak mliter
Rusia dan Suriah mencapai angka USD 4 mliyar dan diperkirakan angka ini akan bertambah
seiring dengan perkembangan krisis yang semakin meruncing6.
5
United Nations Security Council, 2011, Security Council Fails to Adopt Draft Resolution Condemning Syria’s Crackdown on
Anti-Government Protestors, Owing to Veto by Russian Federation, China, United Nations Official Site, 4 Oktober 2011, New
York
6
Jeffrey Mankoff, 2012, Russia’s Self-Defeating Games in Syria, Central for Strategic and International Studies (CSIS)
Sikap Rusia yang begitu tegas dalam mempertahanakan hubungannya dengan Suriah dan
membela Suriah dari intervensi Dewan Keamanan PBB dan AS semakin menunjukkan
kepentingan nasional Rusia yang semakin menguat di Suriah. Hal tersebut membuat penulis
untuk mengangkat judul “Hubungan Rusia dan Suriah dari rezim Uni Soviet sampai saat ini”.
Disini kami akan menjelaskan bagaimana hubungan dan peta kebijakan dan aliansi kedua negara
dari periode Uni Soviet sampai sekarang.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan yang telah dijelaskan dan dipaparkan oleh penulis diatas, maka timbul
pertanyaan terkait dengan isu yang diangkat oleh penulis.
1. Bagaimana kedudukan dan hubungan Rusia di Suriah pada periode soviet?
2. Bagaimana kedudukan dan hubungan Rusia di Suriah pasca perang dingin?
3. Bagaimana kedudukan dan hubungan Rusia di Suriah saat ini yaitu pada periode
kepemimpinan Vladimir Putin?
4. Apa kepentingan Rusia yang ada di Suriah sehingga membuat Rusia begitu ingin
beraliansi dengan Suriah?
5. Dibalik aliansi tersebut apakah sebenarnya kebijakan Luar Negeri Rusia terhadap
Suriah merupakan suatu intervensi? Apa saja bentuk intervensi Rusia di negara
tersebut?
Kerangka Konseptual
Hubungan internasional adalah hubungan antar negara dengan negara sebagai aktor
utama didalamnya. Negara menjadi subjek utama dalam setiap hubungan antar negara. Dengan
kata lain, negara memiliki power dalam menentukan setiap kebijakan. Dalam tulisan Thucydides,
The Peloponnesian War, power adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau mengendalikan
tindakan dari pihak lain. Selain itu Negara memiliki kepentingn besar atas powernya. Bagi
Negara, power merupakan kebutuhan penting untuk dapat bertahan diri.
Melihat itu, hubungan Suriah dan Rusia saat ini bisa dibilang sebagai upaya untuk
bertahan diri dengan usaha oposisi untuk menjatuhkan rezim pemerintah Assad. Dalam hal ini,
hubungan yang dilakukan Suriah adalah membentuk aliansi kuat untuk melawan oposisi dengan
digawangi oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Thucydides berpendapat dalam bukunya History
of Peloponnesian “makna keadilan itu tergantung dari perimbangan kekuatan yang ada,
terdapatan kenyataan bahwa pihak yang kuat melakukan apa yang hendak mereka lakukan dan
pihak yang lemah menerima apa yang seharusnya mereka terima”1.
Disisi lain, Machiavelli berpendapat bahwa Seorang penguasa harus melakukan tindakan
jahat jika dibutuhkan untu mempertahankan kekuasaan : Seorang pangeran dapat mengambil
tindakan ini jika dia berada dalam satu kebutuhan untuk mempertahankan negara, bertindak
bertentangan dengan iman, terhadap kemanusiaan, bahkan terhadap agama2.
Dalam hal ini, aliansi dibentuk jika suatu negara mendapatkan ancaman besar dari
lawannya, sehingga aliansi dibentuk dengan negara lain berdasarkan musuh bersama. Ketika
aliansi ini gagal, negara lemah akan mencari negara yang lebih kuat lagi untuk mengimbangi
kekuatannya. Seperti yang dikatakan oleh Machiavelli “Tidak ada yang perlu ditakutkan diantara
17Markus Fischer “Machiavelli`s of Foreign Politics”, dalam Benjamin Frankel, (1996), Roots of Realism (London :
8
Frank Cass,1996), hal 250
2Ibid, hal 250
anggota aliansi, apabila mereka memiliki musuh bersama yang kuat dan berbahaya sehingga
akan tetap mengikat para anggota aliansi untuk tetap bersama 3”. Dengan kata lain, aliansi
dibentuk karena adanya musuh bersama, seperti hubungan Rusia dan Suriah ini, dimana musuh
bersama mereka adalah AS dan sekutunya.
Kemudian Joseph Grico (1988) mengatakan keuntungan keuntungan relatif dan absolut,
dimana negara tertarik untuk meningkatkan kekuasaan dan pengaruhnya (keuntungan absolut)
sehingga mereka akan bekerja sama untuk meningkatkan kemampuannya. Sehingga jelas disini,
neo realisme menyatakan bahwa kerjasama itu mungkin bisa dibentuk dengan tujuan untuk
mengamankan kekuasaannya dalam menghadapi ancaman besar.
Metode Penelitian
39 Ibid, hal 257- 258
Metode yang digunakan bersifat kualitatif dengan mengolah beberapa data yang
dikumpulkan mengenai fenomena-fenomena yang terjadi terkait hubungan Suriah dengan Rezim
Rusia. Dalam melakukan penelitian, setiap fenomena sosial tersebut di jabarkan kedalam
beberapa komponen masalah, yakni variable dan indikator. Setiap variable yang ditentukan di
ukur dengan memberikan simbol - simbol yang berbeda sesuai dengan kategori informasi yang
berkaitan dengan variable tersebut. Dari simbol - simbol yang ditetapkan tersebut kemudian
dirumuskan menjadi sebuah kesimpulan dalam memaknai suatu fenomena mengenai hubungan
yang terjadi antara Suriah dengan Rusia. Hal inilah yang kemudian akan digunakan dalam
memahami perkembangan dan perubahan yang terjadi antara Suriah dan Rusia selama beberapa
periode yang diteliti.
Pengumpulan data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat (non-human resources), diantaranya
berasal dari dokumen, foto dan bahan statistik. Dokumen terdiri beberapa berita yang didapat
dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik.