RESUME DISERTASI HUBUNGAN TINGKAT RELIGI

Oleh : Fithrah Kamaliyah dan Adam Malik
Magister Ekonomi Syari’ah II, 2014

RESUME TINGKAT RELIGIUSITAS TERHADAP PERILAKU EKONOMI
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara keempat terbesar di dunia dengan mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam. Fakta ini menjadikan Indonesia sebagai negara muslim terbesar di
dunia. Namun hal ini tidak serta merta menjadikan Indonesia sebagai negara yang mayoritas
penduduknya mengaplikasikan perilaku ekonomi yang Islami. Terdapat beberapa factor yang
menjadi penyebab ketidaksesuaian normatif ini.
Secara historis dapat dikatakan bahwa eksistensi ekonomi Islam relative baru di Indonesia
yaitu sekitar empat dekade terakhir. Perkembangan ekonomi Islam cukup pesat sejak semakin
kuatnya dukungan politis untuk menerapkan sistem ekonomi ganda yaitu sistem ekonomi
syari’ah dan sistem ekonomi konvensional yang sudah lama berlaku. Semestinya hal ini dapat
mendorong dan memfasilitasi umat Islam untuk berperilaku Islami dalam berekonomi sehingga
partisipasi masyarakat muslim dalam kegiatan lembaga-lembaga ekonomi Islam dapat meningkat
baik secara aktif maupun pasif.
Untuk meningkatkan partisipasi masyarkat dalam kegiatan ekonomi Islam ini, masih
dibutuhkan sosialisasi dan pendidikan tentang ekonomi Islam itu sendiri secara luas dan intensif.
Dalam pendekatan pendidikan dapat dilakukan instansi materi tentang ekonomi Islam dalam
sistem pendidikan formal dan non formal. Cara lainnya adalah dengan pendekatan bisnis melalui

perkenalan akad-akad serta layanan produk syari’ah yang dibutuhkan masyarakat dan
pendekatan social dengan propaganda ide-ide prilakku ekonomi Islam dan manfaat
penerapannya.
Perlu digarisbawahi bahwa upaya tersebut haruslah sampai pada pembentukan karakter,
dengan demikian bukan sekedar peningkatan kesadaran dan pemahaman secara normatif saja,
sesungguhnya adalah perubahan sikap dan perilaku sehingga umat Islam di Indonesia mau dan
mampu untuk menjadikan ekonomi syari’ah sebagai cara hidup dalam berekonomi. Hal ini yang
menjadikan umat Islam di Indonesia menjadi muslim yang kaaffah.
Fakta bahwa asset perbankan syari’ah masih rendah dan target pertumbuhan perbankan
syari’ah belum tercapai juga merupakan salah satu indikasi bahwa mayoritas umat Islam di
Indonesia belum mengaplikasikan perilaku ekonomi yang Islami. Masih lambannya
pertumbuhan lembaga ekonomi syari’ah di Indonesia menunjukkan perlunya upaya yang lebih
signifikan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi Islam di
Indonesia. Agar upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam perkembangan ekonomi Islam
melalui perubahan perilaku tersebut lebih terarah, diperlukan pemahaman yang cukup mendalam
dan holistic tentang situasi, kondisi dan karakteristik dari umat Islam baik secara individual
maupun komunal.
B. Konsep Religiusitas dan Pengukurannya
Religiusitas adalah tingkatan keberagamaan seseorang secara empiris, religiusitas
dicerminkan bagaimana seseorang mengekspresikan keyakinan agamanya, baik ditampilkan

secara terbuka di depan publik maupun secara pribadi dan tertutup.
1 | Page

Oleh : Fithrah Kamaliyah dan Adam Malik
Magister Ekonomi Syari’ah II, 2014

Dalam kebanyakan studi psikologi religiiusitas bertumpu pada bagaimana seseorang
mengekspresikan keyakinan agamanya. Dalam psikologi agama ditetapkan asumsi dasar bahwa
semua orang dari berbagai tradisi agama mengekspresikan keimanan dengan tiga cara : 1)
perilaku, misalnya pelaksanaan ibadah ritual 2) keyakinan, misalnya percaya pada adanya sang
supernatural 3) pengalaman religius, misalnya perasaan atau anggapan terhadap sesuatu keadaan
atau kejadian yang gaib.
Allport dan Ross mengelompokkan religiusitas menjadi dua berdasarkan orientasi
keberagamaan individu yang bersangkutan, yaitu :
1) Interistic religiousity (Religiusitas hakiki) yang menggambarkan keyakinan personal,
yaitu kualitas penghayatan seseorang dalam melaksanakan ajaran agama karena
kesadaran dari dalam hubungannya dengan tuhan
2) Extrinsic religiousity yang menggambarkan penghayatan ajaran agama karena adanya
dorongan dari luar diri, misalnya tuntutan dan harapan social
Salah satu pendekatan multi-dimensi yang cukup popular dan lazim digunakan untuk

mengukur religiusitas adalah : pendekatan religiusitas 5 dimensi (5-D approach to religiousity).
Meskipun lahir dari kajian agama Kristen-Yahudi di Amerika, pendekatan ini relative lebih
bersifat universal dari pendekatan lainnya. Diantara dimensi tersebut yaitu :
1) Idiologi: mencakup keyakinan dan ketaatan diukur dengan rukun iman
2) Aktivitas ritual: Melakukan ibadah rutin diukur dengan rukun islam
3) Pengalaman religious: meliputi perasaan, persepsi, dan sensasi atas kejadian-kejadian
yang dianggap bukti keberadaan dan kekuasaan Tuhan, diukur dengan mengembalikan
seluruh perasaannya dan seluruh peristiwa kepada Allah
4) Intelektualitas: Pengetahuan dasar dan pemahaman ajaran-ajaran agamanya, diukur
dengan kewajiban menuntut ilmu
5) Konsekuensi: tindakan dalam berbagai kehidupan sehari-hari, amar ma’ruf nahi munkar
Shamsuddin menawarkan model pengukuran religiusitas yang bersumber dari Al-Qur’an
dan Hadits, yaitu “taqwa”. Menurutnya taqwa adalah sebuah konsep multidimensi dari variable
religiusitas Islam yang terdiri dari:
1)
2)
3)
4)
5)


Ilmu pengetahuan
Keyakinan
Tindakan
Konsekuensi
Realisasi kesempurnaan

Hamdani membuat ukuran tingkat religiusitas yang diturunkan dari konsep Al-Qur’an
tentang kategorisasi manusia berdasarkan keimanan dan sifat-sifat manusia dalam masingmasing kategori. Diantaranya yaitu:
1) Muslim yang sangat religious, kelompok yang termasuk adalah orang yang taqwa,
mukmin, shaleh, berbakti dan beruntung

2 | Page

Oleh : Fithrah Kamaliyah dan Adam Malik
Magister Ekonomi Syari’ah II, 2014

2) Muslim yang religiusnya moderat: yakni yang bertindak sesuai dengan ajaran Islam
mematuhinya namun juga tidak patuh pada sebagian prinsip-prinsip yang lainnya yang
tidak terlalu sensitive terhadap ketentuan sunah, mubah atau syubhat.
Model pengukuran religiusitas yang lain adalah MRPI (Muslim Religiousity-Personality

Measurement Inventory) yang disusun oleh Steven Eric Krauss alias Abdul-Lateef Abdullah.
MRPI adalah sebuah instrument yang disusun untuk membantu seseorang muslim menilai
tingkat religiusitas Islamnya secara mandiri (self-assesment). Bersasarkan definisi tersebut,
MRPI dikembangkan dari sebuah model religiusitas Islam yang terdiri dari dua dimensi konstrak
utama, yaitu: 1) Pemahaman atau pandangan keislaman, 2) personalitas atau kepribadian
religious.
C. Religiusitas dan Teori Permintaan Agama
Ekonomi teologis atau ekonomi keagamaan adalah bidang kajian ilmu yang berfokus pada
aplikasi prinsip-prinsip teologis-keagamaan terhadap perspektif ekonomi, atau sebaliknya
mengkaji prinsip-prinsip ekonomi berdasarkan perspektif agama. Ekonomi agama adalah bidang
kajian ekonomi yang berfokus pada aplikasi teori-teori, metode, instrument ekonomi untuk
menjelaskan atau mempelajari dua topic berikut:
1) Perilaku beragama, baik pada tingkat perorangan, kelompok, atau budaya tertentu
2) Dampak, aplikasi, atau konsekuensi social dari perilaku beragama tersebut
Inti pembahasan teori mikro ekonomi tentang agama adalah fungsi permintan agama yang
diturunkan dari analisis terhadap perilaku konsumen agama. Konsumen agama dalam hal ini
dirumuskan sebagai manusia beriman, yang dideskripsikan sebagai berikut:
1) Manusia sesungguhnya dan seutuhnya yang terdiri dari jiwa dan raga, yang menyadari
dan berusaha memenuhi semua kebutuhannya, termasuk kebutuhan spiritualitas yaitu
kebutuhan terhadap agama

2) Ia beriman kepada tuhan dan adanya kehidupan setelah mati
3) Yakin bahwa kesejahteraannya setelah mati kelak akan bergantung pada perilaku dalam
kehidupannya di dunia ini
Dalam perspektif ekonomi agama, pada dasarnya konsumen agam (homo religious)
mengalokaiskan seluruh sumber daya ekonomi (waktu, tenaga, dan uang) dalam dua keranjang
belanja yaitu 1) belanja untuk memenuhi kebutuhan kehidupan di dunia (D) fana dan 2) belanja
untuk kepentingan agamanya (A).
Tingkat maslahah (kepuasan) orang beriman dipengaruhi oleh: a. total pengeluaran belanja
untuk keagamaan, baik yang memberikan manfaat duniawi maupun akhirat, b) total pengeluaran
belanja konsumsi barang-jasa yang halal untuk kebutuhan duniawi secara lahiriah dan bathiniah,
dan c) maslahah dari orang-orang yang dicintai, disayangi, dipedulikan, dan dinafkahinya.
Perilaku keberagamaan, yaitu melaksanakan atau mengikuti aktivitas-aktivitas keagamaan
dipengaruhi langsung :

3 | Page

Oleh : Fithrah Kamaliyah dan Adam Malik
Magister Ekonomi Syari’ah II, 2014

Secara positif oleh : a) total pendapatan, b) dorongan insentif untuk melaksanakan suatu aktivitas

keagamaan tersebut.
Secara negatif oleh : a) harga relative agama, yaitu total pengorbanan uang, waktu, tenaga, serta
biaya opoetunitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas keagamaan, b) selera atau
kuatnya kecenderungan keinginan untuk memiliki barang-barang lain guna memenuhi kebutuhan
duniawinya.
D. Rasionalitas dan Kaidah Konsumsi Islami
Rasionalitas merupakan pertimbangan akal nalar secara logis yang memandu seorang
muslim dalam pengambilan keputusan pada setiap tindakan dan perilakunya –termasuk
keputusan ekonomi, baik sebagai konsumen, produsen maupun distributor barang dan jasa-.
Seorang muslim yang kaafah panduan dalam rasionalitas konsumsi tidak hanya pertimbangan
akal dan nafsu, tetapi juga hati nurani (qalb) yaitu kaidah-kaidah konsumsi yang sesuai dengan
ajaran Islam. Homo Islamicus yang menjadi pelaku sebagai konsumen Islam, dapat terlihat jelas
perbedaannya dengan homo economicus tradisional dengan melihat pada dua aspek, yaitu : 1)
Dari segi horizon waktu, tujuan yang ingin dicapai oleh homo islamicus dalam melakukan
konsumsi adalah untuk memenuhi tidak saja untuk kehidupan saat ini maupun yang akan datang
di dunia (kemanfaatan materialistik) akan tetapi juga kehidupannya kelak di akhirat
(kemanfaatan immaterial). 2) Dari segi orientasi kebutuhan dan kepuasan, orientasi dalam
melakukan konsumsi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kepuasan lahiriah, tetapi
juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik dan kepuasan batiniah. Kesejahteraan individu akan
dicapai bila memperoleh maslahah yang setinggi-tingginya berupa manfaat total atau kepuasan

lahir batin (fisik, psikologis, social, dan spiritual/religious) di dunia, dan ekspektasi manfaat
religious yang diyakini akan diperoleh di masa depan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Perilaku konsumen muslim harus mengikuti kaidah-kaidah konsumsi yang disyari’atkan
dalam ajaran Islam. Hal ini berimplikasi pada batasan-batasan dalam analisis teori permintaan
terhadap agama versi Islam. Dalam analisis ekonomi Islam tidak hanya dibatasi oleh garis
anggaran yang merefleksikan tingkat pendapatan dan tingkat harga barang-barang yang
dikonsumsi semata. Tetapi juga oleh garis pembatas lainnya yang diturunkan dari kaidah-kaidah
konsumsi Islami. Kaidah-kaidah tersebut adalah: 1) Barang dan jasa yang dikonsumsi harus halal
dan baik (thoyyib), 2) Bukan barang dan jasa yang haram secara ghair al-dhat, yaitu segala
sesuatu yang diharamkan bukan karena fisik zatnya yang haram, tetapi karena sifatnya yang
membahayakan (menimbulkan kemudharatan) dan cara perolehannya yang illegal. 3) Tidak
berlebih-lebihan (ishraf), tidak sia-sia (mubadzir), dan tidak kikir.
E. Teori Ekonomi Mikro Islami tentang Perilaku Konsumen
Dalam teori ekonomi agama, membahas mengenai perilaku manusia beriman (homo
religious) dalam mengalokasikan pendapatannya untuk kepentingan duniawinya dan kepentingan
agama atau akhiratnya. Aplikasi teori ini dalam ekonomi Islam, adalah adanya permis dasar
bahwa seorang muslim (homo islamicus) memiliki serangkaian kewajiban yang berimplikasi
pada perilakunya dalam memperoleh dan mengalokasikan pendapatannya. Secara khusus di

4 | Page


Oleh : Fithrah Kamaliyah dan Adam Malik
Magister Ekonomi Syari’ah II, 2014

dalam Al-Qur’an dan Hadits telah diperintahkan mengenai alokasi penghasilan seorang muslim,
yaitu seperti perintah dalam hal nafkah, sedekah, zakat dll.
Kewajiban-kewajiban tersebut membuat adanya rambu-rambu yang menjadi tambahan
pembatas atau kendala (huduud) dalam teori mikro ekonomi Islami tentang perilaku konsumsi
yang tidak ada dalam ekonomi konvensional. Jika teori tersebut diaplikasikan dalam teori mikroekonomi tentang konsumsi agama, maka dapat disusun suatu teori yang penulis sebut sebagai
teori huduud dalam ekonomi Islam. Penjabaran teori hudud tersebut dalam perilaku konsumen
dapat digambarkan area konsumsi Islami. Didefinisikan area kemungkinan konsumsi Islami
adalah: pemetaan konsumsi yang moderat sesuai ajaran Islam, yaitu tidak bermewah-mewahan,
tidak boros, dalam konsumsi kebutuhan duniawi dan tidak juga berlebih-lebihan dalam kegiatan
agama. Yaitu:
1) Sumbu X dan Y yang Islami: pembatasan jenis dan jumlah produk
Kaidah-kaidah konsumsi Islami yang pertama dan kedua, yaitu mengkonsumsi
barang-jasa yang halal dan baik, dan tidak barang yang haram dalam dzatnya,
maupun yang ghair lidzatihi. Sumbu X dan Y dalam hal ini merepresentasi barang
dan jasa yang dikonsumsi. Secara umum dapat dinyatakan jenis produk barang dan
jasa yang dikonsumsi konsumen muslim dan perbandingannya dengan non muslim,

yaitu:
XEI