TUGAS KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA
TUGAS KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA
Dosen: Prof. HARKRISTUTI HAKRISNOWO, SH., MH., PhD.
E-mail:[email protected]
MENGGAGAS STANDARISASI PEMIDANAAN DI
INDONESIA
Oleh
NPM
Absen
Kelas
:
:
:
:
MOHAMAD SHOLEH, SH.
1106041564
11
Praktek Peradilan (MA)
REVIEW:
Artikel V Saxena1 berjudul Positive and Negatives of Federal
Sentencing Guidelines pada pokoknya memperkenalkan lembaga
penghukuman yang ada di Negara Federasi AS bernama Komisi
Pedoman Penghukuman. Pada pokoknya untuk penentuan penjatuhan
pidana bagi pelaku kejahatan, tidak semata ditentukan oleh hakim,
melainkan juga oleh sebuah komisi yang terdiri dari 7 orang. Hakim
menentukan level tindak pidananya yang sudah ada ketentuan pidana
sesuai levelnya. Dari pidana level tersebut dapat diperberat atau
diperingan beberapa level bila terdapat hal-hal yang memberatkan
atau meringankan. Komisi pemidanaan berdasarkan suatu penelitian
terhadap kondisi kejiwaan dan sosial pelaku juga memberikan
penilaian. Hasil penilaian hakim dan komisi tersebut kemudian
dipanelkan untuk memperoleh jumlah bulan atau tahun lamanya
pidana yang harus diterima oleh terdakwa.2
1 Saxena, V. “Positive and Negatives of Federal Sentencing Guidelines” Published
August 27, 2008. Lihat juga: Jim Beck dan Elaine Wolf, “Revising Federal Sentencing
Policy: Some Consequences of Expanding Eligibility for Alternative Sanctions.”
2 Ibid. “One of the most important developments in the criminal justice system has
been the adoption of sentencing guidelines by the federal judicial system. As a
result, when a ….. Some gray areas remain in these guidelines. Some offenses,
especially petty misdemeanors, are not covered. Furthermore, some offenses can
overlap more than one category. It is also difficult to determine the exact……”
Untuk percobaan, pembantuan, pengulangan atau perbarengan
sudah memiliki jumlah sekornya tersendiri. Hanya saja untuk perbutan
berlanjut ketentuannya adalah tinggal mengalikan hasil pemidanaan
dengan jumlah pengulangannya, sehingga dapat terjadi jumlah bulan
atau tahun yang sangat lama. Akibatnya kemungkinan seorang
tinggal di penjara semakin panjang yang menyebabkan tingkat hunian
di
penjara
menjadi
meningkat,
yang
menimbulkan
anggaran
pembiayaannya juga semakin membesar.3
PENGATURAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
Apabila hakim menjatuhkan putusan penjatuhan pidana, 4 pidana
yang dijatuhkan dalam peristiwa konkret tidak harus persis sama
dengan ancaman pidana yang tercantum dalam rumusan tindak
pidana yang didakwakan. Atas dasar ancaman pidana yang tercantum
dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan itu, hakim dapat
menimbang-nimbang penerapan pidana yang dipandang paling tepat
dan adil bagi terpidana.
5
Dalam menjatuhkan pidana hakim tetap
3 Ibid.
4 Penjatuhan pidana (straftoemeting) merupakan perwujudan pidana dalam bentuk
konkret. Penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa
perkara pidana yang bersangkutan. Dalam pemeriksaan perkara pidana ada tiga
kemungkinan putusan hakim, kemungkinan yang pertama adalah putusan bebas
(vrijspraak), dijatuhkan apabila hasil pemeriksaan sidang pengadilan kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan. Kemungkinan kedua, putusan penglepasan dari segala tuntutan hukum
(onslag van recht vervolgleging); dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindakan pidana. Kemungkinan ketiga putusan penjatuhan pidana;
dijatuhkan dari hasil pemeriksaan sidang pengadilan, hakim berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan.
5 Kebebasan hakim untuk memilih berat ringannya pidana terbatas antara minimum
umum dan dan maksimum khusus. Maksimum khusus adalah pidana maksimum
yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Di damping itu,
menurut sistem dalam KUHP, hakim juga mempunyai kebebasan memilih salah satu
jenis pidana yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
KUHP menganut sistem alternatif, sebagai petunjuk antara ancaman pidana yang
satu dengan yang lain dihubungkan dengan kata penghubung “atau”. Misalnya
terikat pada jenis pidana yang tercantum dalam tindak pidana yang
terbukti dilakukan terpidana. Akan tetapi disamping keterikatan itu,
hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan berat ringannya
pidana yang dipandang paling adil dan tepat.6
Kebebasan
terbatas
antara
hakim
untuk
minimum
memilih
umum
dan
berat
ringannya
dan maksimum
pidana
khusus.
Maksimum khusus adalah pidana maksimum yang tercantum dalam
rumusan
tindak
pidana
yang
bersangkutan.
Setiap
putusan
pengadilan, baik putusan bebas, penglepasan dari segala tuntutan
hukum,
maupun
penjatuhan
pidana,
harus
disertai
bahan
pertimbangan yang menjadi dasar hukum dan alasan putusan itu.
Keharusan demikian ini tercantum dalam pasal 23 ayat (1) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai
berikut: “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasanalasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasalpasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau suber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”7
Dalam perkara pidana, putusan pengadilan yang berupa,
penjatuhan pidana harus disertai pula faktor-faktor yang digunakan
rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP sebagai berikut “Barangsiapa karena kealpaan
menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa, sehingga timbul penyakit atau
halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan
paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah”
6 Berdasarkan rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP ini hakim mempunyai kebebasan
memilih salah satu dari tiga pidana yang diancamkan, yaitu penjara atau kurungan
atau denda. Sedangkan ketentuan hukum pidana di luar KHUP ada yang menganut
sistem kumulatif yaitu emjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus, dan ada pula
yang yang menganut sistem alternatif kumulatif artnya hakim boleh memilih salah
satu pidana yang diancamkan atau boleh juga menjatuhkan dua jenis pidana pokok
sekaligus. Contoh ketentuan pidana yang menganut sistem komulatif adalah pasal 6
ayat 1a Undang-undang Tindak pidana Ekonomi.
7 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiamn, UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN Nomor 5076).
Undang-undang sebelumnya yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman adalah
UU Nomor 19 Tahun 1964, UU Nomor 14 Tahun 1970, UU Nomor 35 Tahun 1999 dan
UU Nomor 4 Tahun 2004.
untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP.8 Namun, faktor
yang
memberatkan
ketentuannya
dalam
mepertimbangkan
dan
meringankan
KUHAP.
Oleh
terdakwa,
karena
itu,
hal-hal yang memberatkan
tidak
pedoman
dan
ada
untuk
meringankan
pidana harus dicari dalam peraturan-peraturan lain, doktrin atau
dalam praktek peradilan. Memorie van Toelichting dari Strafwetboek
8 Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 8
Tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209). Pasal 197 KUHAP:
(1) Surat putusan pemidanaan memuat
a. Kepala putusan dituliskan berbunyi:
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa,
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan,
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
e. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan
terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana diserta dengan kualifikasinya dan pemidanaan
atau tindakan yang dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atu keterangan dimana letak
kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu.
k. Perintah supaya
dibebaskan.
terdakwa
ditahan
atau
tetap
dalam
tahanan
atau
l. Hari dan tanggal putusan, nama peneuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,j,k, dan l, pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undangundang.
tahun 1886, memberikan pedoman untuk mempertimbangkan berat
ringannya pidana sebagai berikut:
“Dalam menetukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap
kejahatan harus memperhatikan keadaan objektif dan subjektif
dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan
perbuatan dan pembuatnya. Hak-hak apa saja yang dilanggar
dengan danya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang
ditimbulkan? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya
itu langkah pertama ke arah jalan yang sesat ataukah
merupakan
suatu
perbuatan
yang
merupakan
suatu
pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah
tampak?”9
Pedoman-pedoman
ringannya
pidana
itu
untuk
tersebut, pada
mempertimbangkan
umumnya
berat
menghendaki agar
pertimbangan-pertimbangan yang meliputi keadaan-keadaan objektif
tindak pidana yang dilakukan dan keadaan subjektif petindak. 10
Pedoman untuk mepertimbangkan berat ringanya pidana itu amat
penting bagi hakim, sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana
secara lebih memadai dan sejauh mungkin dapat dihindari diskresi
9 Soedarto (1977:55) menyatakan bahwa antara minimum dan maksimum harus
ditetapkan seluas-luasnya, sehingga meskipun semua pertanyaan di atas itu dijawab
dengan merugikan terdakwa, maksimum pidana yang biasa itu sudah mamadai.
Pedoman
dari
M.v.T.
dapat
dipergunakan
sebagai
pedoman
untuk
mempertimbangkan berat ringannya pidana dalam praktik peradilan di Indonesia,
karena KUHAP kita pada prinsipnya merupakan salinan dari Strafwetboek tahun
1886.
10 Ruslan Saleh (1987:17) menyatakan, bahwa hakim memiliki kebebasan bergerak
untuk mendapatkan pidana yang tepat antara batas maksimum khusus dan
minimum umum, akan tetapi kebeasana bergerak itu bukan berarti membiarkan
hakim bertindak sewenang-wenang. Kebebasan itu dimaksudkan untuk meberi
kesempatan bagi hakim untuk memperhitungkan seluruh aspek yang berkaitan
dengan tindak pidana terjadi, mengenai berat ringanya tindak pidana, keadaan
pribadi petindak, usia petindak, tingkat kecerdasan petindak, keadaan serta suasana
waktu tindak pidana terjadi. Senada hal itu, Oemar Seno Adji (1980:8) menyatakan
pandangan bahwa kebebasan hakim itu bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas.
Kebebasan hakim harus dipergunakan oleh hakim untuk mempertimbangkan sifat
dan seriusnya tindak pidana, keadaan-keadaan yang meliputi tindak pidana itu,
kepribadian petindak, usianya, tingkat pendidikannya, lingkungannya dan lain
sebagainya.
penjatuhan pidana. Oleh karena itu, kiranya baik sekali apabila dalam
KUHAP dicantumkan rumusan tentang pedoman pemidanaan.11
DISPARITAS PEMIDANAAN DI INDONESIA
Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia, yang
termasuk keluarga hukum Eropa Continental, yang tidak mengenal
sistem presedent. Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi
masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing
disparity of sentencing mengundang perhatian lembaga legislatif
serta lembaga lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan
hukum pidana untuk memecahkannya. Lebih spesifik dari pengertian
itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi
dalam beberapa kategori yaitu:
a. Disparitas antara tindak tindak pidana yang sama;
b. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai
tingkat keseriusan yang sama;
c. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim;
d. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim
yang berbeda untuk tindak pidana yang sama;12
11 Dalam perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan yang merupakan
petunjuk ke arah pertimbangan berat ringannya pidana. Ketentuan demikian
tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: ”Dalam mempertimbangkan berat
ringanya pidana, hakim wajib memeperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat
dari tertuduh”. Penjelasan pasal ini berbunyi sebagai berikut: “Sifat-sifat yang jahat
maupun
yang
baik
dari
tertuduh
wajib
diperhatikan
hakim
dalam
mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi
seseorang perlu diperhitungkan untuk memberi pidana yang setimpal dan seadiladilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari
lingkungannya, rukun tetangga, dokter ahli jiwa dan sebagainya.” Sayangnya dalam
ketentuan ini tidak dapat disertai rincian mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat
dipergunakan sebagai bahan untuk mempertim-bangkan berat ringanya pidana.
12 Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan
terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah KHN
Newsletter, Edisi April 2003, (Jakarta: KHN, 2003) hal.28. Dalam salah satu
tulisannya menyatakan bahwa:
“Dengan adanya realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik
mempertanyakan apakah hakim/pengadilan telah benar-benar melaksanakan
tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi
disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal
justice). Sayangnya, secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap
Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat kita temukan
wadah dimana disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan
hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana
yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak
pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun
oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja
kenyataan
mengenai
ruang
lingkup
tumbuhnya
disparitas
ini
menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.
Disparitas pidana erat kaitannya dengan hakikat dari pidana itu
sendiri. Pendapat mengenai definisi pidana dari para sarjana yang
pernah dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi dalam bukunya
teori-teori dan kebijakan pidana sebagai berikut:
1. Prof. Sudarto: yang dimaksud dengna pidana ialah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Prof. Ruslan Saleh: Pidana adalah reaksi delik, dan ini berujud
suatu nestapa yang sengaja ditimpakan Negara pada
pembuat delik itu
3. Fitzgerald: Pidana adalah penderitaan yang dijatuhkan oleh
pemerintah terhadap suatu pelanggaran atau kesalahan.
4. H.L.A. Hart menyatakan bahwa pidana harus:
a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi
lain yang tidak menyenangkan;
b. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka
benar-benar melakukan tindak pidana;
c. Dikenakan berhubungan suatu tindakan yang melanggar
ketentuan hukum;
d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak
pidana
e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan
ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak
pidana.
telah melanggar hukum. Meskipun demikian, seringkali orang melupakan
bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang
diberikan oleh hakim.”
5. Alf Ross menyatakan bahwa pidana adalah reaksi sosial yang:
a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap
suatu aturan hukum;
b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang
berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;
c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensikonsekuensi lain yang tidak menyenangkan;
d. Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.13
Dari beberapa pengertian dan ruang lingkup pidana tersebut,
oleh Muladi disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat lain yang tidak
menyenangkan;
b. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan
yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. Pidana dikenakan pada seseorang yang telah melakukan
tindak pidana menurut undang-undang.14
Dari kesimpulan tersebut dapatlah kita menerima bahwa pada
hakikatnya pidana yang berupa derita memang sepatutnya dijatuhkan
pada sesorang yang melakukan tindak pidana yang diatur menurut
Undang-Undang. Penjatuhan pidana itu merupakan konsekuensi wajar
bagi pelaku tindak pidana, hanya saja masalah timbul jika terhadap
para pelaku tindak pidana sejenis dijatuhkan hukuman yang berbeda
sehingga menimbulkan anggapan bahwa pengadilan telah berlaku
tidak adil. Akan tetapi jika ditinjau secara ideologis sebenarnya
disparitas pidana tersebut dapat dibenarkan sebagai pencerminan
salah satu karakteristik aliran modern (positivisme school) yang
13 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1984), hal. 54.
14 Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, (Bandung: Alumni,
1985) hal. 52.
berkembang pada abad ke-19, yakni pidana harus disesuaikan dengan
penjahat.
Menurut muladi, disparitas pidana itu dimulai dari hukum
sendiri.
Didalam
hukum
positif
Indonesia,
hakim
mempunyai
kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (straafsoort)
yang dikehendaki sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif
didalam pengancaman pidana dalam Undang-Undang. Contoh system
alternatif dapat dilihat dari ketentuan pasal 188 KUHP, yang bunyinya
adalah sebagai berikut:
“Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan
kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum- bagi
barang, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa
orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang
mati.”15
PERLUNYA PEDOMAN PEMIDANAAN
Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas
pidana adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam
menjatuhkan pidana. Prof. Sudarto mengatakan bahwa pedoman
pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan
pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya. Pedoman pemberian pidana
15 Todung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2009), hal. 63. Menulis bahwa, “Dari bunyi pasal tersebut dapat kita lihat
adanya bebarapa pidana pokok yang diancamkan terhadap pelaku perbuatan pidana
yang sama secara alternatif. Diantara beberapa yang ada yang paling tepatlah yang
akan diterapkan. Disamping itu hakim juga bebas untuk memilih beratnya pidana
(strafmaat) yang akan dijatuhkan sebab yang ditentukan oleh undang undang
hanyalah maksimum dan minimumnya saja.” Sehubungan dengan kebebasan hakim
ini dikatakan oleh Sudarto bahwa, “Kebebasan hakim dalam menetapkan pidana
tidak boleh sedemikian rupa, sehingga memungkinkan terjadinya ketidaksamaan
yang menyolok, hal mana akan mendatangkan perasaan tidak sreg (onbehagelijk)
bagi masyarakat, maka pedoman pidana dalam KUHP sangat diperlukan, sebab ini
akan mengurangi ketidaksamaan tersebut meskipun tidak dapat menghapuskannya
sama sekali.
itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal hal yang
berkaitan
dengan
si
pelaku
tindak
pidana
sehingga
dengan
memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional
dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang
dijatuhkan oleh hakim. Pendapat Sudarto16 ini dibenarkan pula oleh
Muladi,17 karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara
mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional. Hal ini sesuai pula
dengan salah satu butir dari hasil simposium IKAHI 1975 yang
menyatakan:
“Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas
terhadap putusan hakim pidana yang pidananya berbeda sangat
menyolok untuk pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa
perlu
untuk
mengadakan
usaha-usaha
agar
terdapat
penghukuman yang tepat dan serasi. Akan tetapi uniformitas
mutlak bukanlah yang dimaksudkan, oleh karena bertentangan
dengan prinsip kebebasan hakim, yang perlu hanyalah
keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan
tidak
merugikan
pembangunan
bangsa
dengan
mempertimbangkan rasa keadilan si terhukum. Untuk
keserasian ini diperlukan suatu pedoman/ indikator dalam
bentuk yang dinamakan checking points yang disusun setelah
mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat
regional maupun nasional dengan mengikutsertakan ahli-ahli
yang disebut behavior scientist.”18
Hasil munas IKAHI tersebut sudah dimasukkan dalam Konsep
RUU KUHP. Dalam rangka usaha untuk mengurangi disparitas pidana,
maka didalam konsep rancangan KUHP yang baru Buku I tahun 1982,
pedoman pemberian pidana itu diperinci sebagai berikut:
“Dalam pemidanaan hakim mempertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat;
b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
16 Ibid, hal. 20
17 Muladi-Arief, Op.cit, hal. 68
18 Istilah uniformitas pemidanaan ini dirasa dapat menimbulkan pengertian yang
kurang sesuai dan oleh karenanya kata ketetapan dan keserasian pemidanaan lebih
dipergunakan.
c. Cara melakukan tindak pidana;
d. Sikap batin pembuat;
e. Riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pembuat;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak
pidana;
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
h. Pandangan
dilakukan.”
masyarakat
terhadap
tindak
pidana
yang
Selain pedoman pemidanaan tersebut, juga disebutkan hal-hal
yang dapat dijadikan sebagai alasan yang meringankan dan alasan
yang memberatkan. Namun dilihat dari isinya tidak saling menafikan,
sehingga ada kemungkinan dalam setiap kasus, ada alasan yang
meringankan dan ada pula alasan yang memberatkan. Dalam RUU
KUHP terakhir tahun 2008 pedoman pemidanaan tersebut menjadi 11
item. Pasal 55 ayat (1) sebagai berikut:
“Dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan:
a. kesalahan pembuat;
b. motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
c. cara melakukan tindak pidana;
d. sikap batin pembuat;
e. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
f. sikap dan tindak pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang
dilakukan;
i. pengaruh tindak pidana terhadap
j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang
dilakukan.”19
Rincian pedoman tersebut tidak bersifat limitatif. Hakim masih
dimungkinkan menambah pertimbangan-pertimbangan lain apabila
dipandang perlu. Namun apabila hakim telah memperhatikan rincian
19 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Penerbit Lubuk
Agung, 2011) hal. 45. “Dalam Rancangan KUHP yang ada, para perumus memilih
memberikan pedoman pemidanaan yang merupakan checking point bagi hakim
yang membantunya dalam mempertimbangkan pemidanaan.”
pedoman
tersebut,
berarti
semua
kepentingan
yang
terkait
mendapatkan perhatian yang wajar, sehingga penjatuhan pidana yang
dilakukan lebih proposional. Kepentingan yang terkait atas terjadinya
tindak pidana, sekurang-kurangnya kepentingan terpidana sendiri,
kepentingan korban dan kepentingan masyarakat.
Menurut Romli Atmasasmita, Pedoman Pemidanaan Dalam
Hukum
Positif
Indonesia
adalah
sebagai
berikut.
Dalam
KUHP
(Wetboek van Straftrecht yang kemudian diundangkan dengan UU No.
1 Tahun 1946) pedoman pemberian pidana diatur dengan jelas. Pasal
1 ayat (1) KUHP menekankan bahwa hukum pidana Indonesia
menganut asas legalitas (principle of legality), dimana mencerminkan
kepastian hukum.
“Dalam asas legalitas ada 4 hal pokok, yaitu:
(1)Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana,
kecuali telah ditentukan dalam undang-undang terlebih
dahulu,
(2)Ketentuan UU harus ditafsirkan secara harafiah dan
pengadilan
tidak
diperkenankan
memberikan
suatu
penafsiran analogis untuk menetapkan suatu perbuatan
sebagai tindak pidana,
(3)Ketentuan UU tidak berlaku surut,
(4)Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara
jelas dalam UU yang boleh dijatuhkan.
Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP jelas bahwa dasar dan
sumber pemberian pidana hanyalah hukum tertulis (peraturan
perundang-undangan tertulis).”
GAGASAN STANDARISASI PEMIDANAAN DI INDONESIA
Gagasan ini pernah diulas oleh Eddy Djunaedi dalam Buku
Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana. Standarisasi
dimaksudkan agar dicapai pemidanaan yang relatif sama pada kasuskasus yang identik. Beliau menyebutnya sebagai parate sentences in
the same circumtances. Salah satu pendekatannya adalah meniru
pada salah satu negara bagian di AS yang memberikan kategori
ancaman pidana dalam tiga kategori, yaitu: pidana ringan (mitigated
term),
pidana
menengah
(baseterm)
dan
pidana
berat
(aggravatedterm). Kategori tindak pidana tersebut dapat ditentukan
berdasarkan
kualitas
tindak
pidana,
yaitu
dikaji
berdasarkan
straaftoemeting sebagaimana ditetapkan dalam MUNAS IKAHI atau
Pasal 55 RUU KUHP tersebut.
Misalkan untuk ancaman pidana maksimal 12 tahun, maka
didapatkan pidana ringan (mitigated term) yaitu 3 tahun, pidana
menengah
(baseterm)
yaitu
6
tahun
dan
pidana
berat
(aggravatedterm) adalah 9 tahun. Pidana-pidana tersebut menjadi
semacam base penalty sebagaimana dalam The Federal Sentence
Guidelines tersebut diatas. Dari base-base penalty tersebut dapat
ditambah
dan
dikurangi
berdasarkan
jumlah
alasan
yang
memberatkan dan yang meringankan. Bobot nilai memberatkan dan
meringankan juga tergantung ancaman pidananya, misalkan untuk
ancaman pidana 12 tahun tersebut nilai penambah dan pengurangnya
adalah 4 bulan.
Metode lain untuk menetukan klasifikasi tindak pidana dalam
pidana ringan (mitigated term), pidana menengah (baseterm) dan
pidana berat (aggravatedterm) serta hal-hal yang memberatkan dan
meringankan juga dapat dilakukan dengan pendayagunaan lembaga
penelitian masyarakat (LITMAS) untuk semua terdakwa. Juga dapat
dikembangkan sistem ceck-list untuk mengetahui situasi psikologis
dan sosial terdakwa dengan melibatkan psikiater, tokoh masyarakat,
lembaga pemerintah terkait maupun lembaga perlindungan saksi dan
korban.
Berdasarkan pendekatan tersebut dan sesuai dengan Pasal 197
KUHAP maka dapat diadakan perbaikan dalam pertimbangan hakim
mengenai pidana yang dijatuhkan. Umumnya bunyi pertimbangan
hakim adalah:
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut di atas,
maka hukuman yang akan dijatuhkan sebagaimana tercantum
dalam diktum putusan di bawah ini dipandang sudah cukup adil
dan bijaksana sesuai dengan kesalahannya;”
Perbaikannya sebagai:
“Menimbang, bahwa ancaman pidana dari pasal yang dilanggar
terdakwa adalah 12 tahun, sedang perbuatan pidana dilakukan
oleh terdakwa dalam keadaan yang memberatkan sehingga
pidana dasarnya adalah 9 tahun;”
“Menimbang, bahwa hal-hal yang meringankan berjumlah 4
buah sedangkan hal yang memberatkan hanya 2, sedang
masing-masing mempunyai bobot menambah dan mengurangi
selama 4 bulan, sehingga pidana dasar tersebut harus dikurangi
sebanyak 8 bulan;”
“Menimbang, bahwa dengan demikian total pidana harus
dijatuhkan kepada terdakwa sesuai dengan kesalahan dan
perbuatannya tersebut adalah selama 8 tahun dan 4 bulan;”
Pedoman ini sebenarnya sudah dapat diterapkan oleh hakimhakim di Indonesia, sebab ketentuannya sudah ditetapkan dalam
forum MUNAS IKAHI VIII 1975. Meskipun MUNAS IKAHI bukan
merupakan salah satu peraturan perundang-undangan di Indonesia,
namun sekedar menjadi pedoman, atau setidak-tidaknya sebagai
sumber hukum ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Atau setidaknya
mempunyai kekuatan mengikat ke dalam profesi hakim, sebagaimana
mengikat dan berlakunya Pedoman Perilaku Hakim.
Metode ini pernah penulis simulasikan untuk menentukan
pidana percobaan, pidana penjara dan/atau denda, serta pada
ancaman pidana minimal dan maksiamal. Dengan menggunakan
pendekatan telemteri (penggunaan rumus-rumus matematika untuk
ilmu sosial) dapat diperoleh sekitar 300 variasi pidana untuk tiap-tiap
tindak pidana. Sehingga pada keadaan yang variable-variabelnya
sama maka pidananya juga sama. Dengan mengasumsikan pidana
seumur hidup adalah 30 tahun dan pidana mati adalah 40 tahun,
kedua jenis pemidanaan tersebut juga dapat ditentukan keriterianya
dengan tepat. Asumsi ini mungkin dapat mengatasi permasalahan
tingkat hunian LP dan pembiayaan pada sistem U. S. Federal
Sentencing Guidelines tersebut diatas.
Daftar Pustaka:
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
(Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1996).
Asshiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Studi
Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan
Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Nasional,
(Bandung: Angkasa, 1996).
Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,
(Bandung: Mandar Maju, 1995).
Harkrisnowo, Harkristuti. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu
Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di
Indonesia”, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003,
(Jakarta: KHN, 2003).
Jim Beck dan Elaine Wolf, “Revising Federal Sentencing Policy: Some
Consequences of Expanding Eligibility for Alternative Sanctions.”
Lubis, Todung Mulya. Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2009).
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
(Bandung: Alumni, 1984).
Muladi, Dampak Disparitas Pidana
(Bandung: Alumni, 1985).
dan
Usaha
Mengatasinya,
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiamn,
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor
157, TLN Nomor 5076). Undang-undang sebelumnya yang
mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman adalah UU Nomor 19
Tahun 1964, UU Nomor 14 Tahun 1970, UU Nomor 35 Tahun
1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004.
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU
Nomor 8 Tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209).
Saxena, V. “Positive and Negatives of Federal Sentencing Guidelines”
Published August 27, 2008.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung:
Sinar Baru, 1983).
---------. Masalah-masalah Hukum, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan,
(Semarang: BP Undip, 1987).
Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung:
Penerbit Lubuk Agung, 2011).
Dosen: Prof. HARKRISTUTI HAKRISNOWO, SH., MH., PhD.
E-mail:[email protected]
MENGGAGAS STANDARISASI PEMIDANAAN DI
INDONESIA
Oleh
NPM
Absen
Kelas
:
:
:
:
MOHAMAD SHOLEH, SH.
1106041564
11
Praktek Peradilan (MA)
REVIEW:
Artikel V Saxena1 berjudul Positive and Negatives of Federal
Sentencing Guidelines pada pokoknya memperkenalkan lembaga
penghukuman yang ada di Negara Federasi AS bernama Komisi
Pedoman Penghukuman. Pada pokoknya untuk penentuan penjatuhan
pidana bagi pelaku kejahatan, tidak semata ditentukan oleh hakim,
melainkan juga oleh sebuah komisi yang terdiri dari 7 orang. Hakim
menentukan level tindak pidananya yang sudah ada ketentuan pidana
sesuai levelnya. Dari pidana level tersebut dapat diperberat atau
diperingan beberapa level bila terdapat hal-hal yang memberatkan
atau meringankan. Komisi pemidanaan berdasarkan suatu penelitian
terhadap kondisi kejiwaan dan sosial pelaku juga memberikan
penilaian. Hasil penilaian hakim dan komisi tersebut kemudian
dipanelkan untuk memperoleh jumlah bulan atau tahun lamanya
pidana yang harus diterima oleh terdakwa.2
1 Saxena, V. “Positive and Negatives of Federal Sentencing Guidelines” Published
August 27, 2008. Lihat juga: Jim Beck dan Elaine Wolf, “Revising Federal Sentencing
Policy: Some Consequences of Expanding Eligibility for Alternative Sanctions.”
2 Ibid. “One of the most important developments in the criminal justice system has
been the adoption of sentencing guidelines by the federal judicial system. As a
result, when a ….. Some gray areas remain in these guidelines. Some offenses,
especially petty misdemeanors, are not covered. Furthermore, some offenses can
overlap more than one category. It is also difficult to determine the exact……”
Untuk percobaan, pembantuan, pengulangan atau perbarengan
sudah memiliki jumlah sekornya tersendiri. Hanya saja untuk perbutan
berlanjut ketentuannya adalah tinggal mengalikan hasil pemidanaan
dengan jumlah pengulangannya, sehingga dapat terjadi jumlah bulan
atau tahun yang sangat lama. Akibatnya kemungkinan seorang
tinggal di penjara semakin panjang yang menyebabkan tingkat hunian
di
penjara
menjadi
meningkat,
yang
menimbulkan
anggaran
pembiayaannya juga semakin membesar.3
PENGATURAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
Apabila hakim menjatuhkan putusan penjatuhan pidana, 4 pidana
yang dijatuhkan dalam peristiwa konkret tidak harus persis sama
dengan ancaman pidana yang tercantum dalam rumusan tindak
pidana yang didakwakan. Atas dasar ancaman pidana yang tercantum
dalam rumusan tindak pidana yang didakwakan itu, hakim dapat
menimbang-nimbang penerapan pidana yang dipandang paling tepat
dan adil bagi terpidana.
5
Dalam menjatuhkan pidana hakim tetap
3 Ibid.
4 Penjatuhan pidana (straftoemeting) merupakan perwujudan pidana dalam bentuk
konkret. Penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa
perkara pidana yang bersangkutan. Dalam pemeriksaan perkara pidana ada tiga
kemungkinan putusan hakim, kemungkinan yang pertama adalah putusan bebas
(vrijspraak), dijatuhkan apabila hasil pemeriksaan sidang pengadilan kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan. Kemungkinan kedua, putusan penglepasan dari segala tuntutan hukum
(onslag van recht vervolgleging); dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindakan pidana. Kemungkinan ketiga putusan penjatuhan pidana;
dijatuhkan dari hasil pemeriksaan sidang pengadilan, hakim berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan.
5 Kebebasan hakim untuk memilih berat ringannya pidana terbatas antara minimum
umum dan dan maksimum khusus. Maksimum khusus adalah pidana maksimum
yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Di damping itu,
menurut sistem dalam KUHP, hakim juga mempunyai kebebasan memilih salah satu
jenis pidana yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
KUHP menganut sistem alternatif, sebagai petunjuk antara ancaman pidana yang
satu dengan yang lain dihubungkan dengan kata penghubung “atau”. Misalnya
terikat pada jenis pidana yang tercantum dalam tindak pidana yang
terbukti dilakukan terpidana. Akan tetapi disamping keterikatan itu,
hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan berat ringannya
pidana yang dipandang paling adil dan tepat.6
Kebebasan
terbatas
antara
hakim
untuk
minimum
memilih
umum
dan
berat
ringannya
dan maksimum
pidana
khusus.
Maksimum khusus adalah pidana maksimum yang tercantum dalam
rumusan
tindak
pidana
yang
bersangkutan.
Setiap
putusan
pengadilan, baik putusan bebas, penglepasan dari segala tuntutan
hukum,
maupun
penjatuhan
pidana,
harus
disertai
bahan
pertimbangan yang menjadi dasar hukum dan alasan putusan itu.
Keharusan demikian ini tercantum dalam pasal 23 ayat (1) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai
berikut: “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasanalasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasalpasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau suber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”7
Dalam perkara pidana, putusan pengadilan yang berupa,
penjatuhan pidana harus disertai pula faktor-faktor yang digunakan
rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP sebagai berikut “Barangsiapa karena kealpaan
menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa, sehingga timbul penyakit atau
halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan
paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah”
6 Berdasarkan rumusan pasal 360 ayat 2 KUHP ini hakim mempunyai kebebasan
memilih salah satu dari tiga pidana yang diancamkan, yaitu penjara atau kurungan
atau denda. Sedangkan ketentuan hukum pidana di luar KHUP ada yang menganut
sistem kumulatif yaitu emjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus, dan ada pula
yang yang menganut sistem alternatif kumulatif artnya hakim boleh memilih salah
satu pidana yang diancamkan atau boleh juga menjatuhkan dua jenis pidana pokok
sekaligus. Contoh ketentuan pidana yang menganut sistem komulatif adalah pasal 6
ayat 1a Undang-undang Tindak pidana Ekonomi.
7 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiamn, UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 157, TLN Nomor 5076).
Undang-undang sebelumnya yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman adalah
UU Nomor 19 Tahun 1964, UU Nomor 14 Tahun 1970, UU Nomor 35 Tahun 1999 dan
UU Nomor 4 Tahun 2004.
untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP.8 Namun, faktor
yang
memberatkan
ketentuannya
dalam
mepertimbangkan
dan
meringankan
KUHAP.
Oleh
terdakwa,
karena
itu,
hal-hal yang memberatkan
tidak
pedoman
dan
ada
untuk
meringankan
pidana harus dicari dalam peraturan-peraturan lain, doktrin atau
dalam praktek peradilan. Memorie van Toelichting dari Strafwetboek
8 Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU Nomor 8
Tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209). Pasal 197 KUHAP:
(1) Surat putusan pemidanaan memuat
a. Kepala putusan dituliskan berbunyi:
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa,
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan,
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
e. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan
terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana diserta dengan kualifikasinya dan pemidanaan
atau tindakan yang dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atu keterangan dimana letak
kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu.
k. Perintah supaya
dibebaskan.
terdakwa
ditahan
atau
tetap
dalam
tahanan
atau
l. Hari dan tanggal putusan, nama peneuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,j,k, dan l, pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undangundang.
tahun 1886, memberikan pedoman untuk mempertimbangkan berat
ringannya pidana sebagai berikut:
“Dalam menetukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap
kejahatan harus memperhatikan keadaan objektif dan subjektif
dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan
perbuatan dan pembuatnya. Hak-hak apa saja yang dilanggar
dengan danya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang
ditimbulkan? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya
itu langkah pertama ke arah jalan yang sesat ataukah
merupakan
suatu
perbuatan
yang
merupakan
suatu
pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah
tampak?”9
Pedoman-pedoman
ringannya
pidana
itu
untuk
tersebut, pada
mempertimbangkan
umumnya
berat
menghendaki agar
pertimbangan-pertimbangan yang meliputi keadaan-keadaan objektif
tindak pidana yang dilakukan dan keadaan subjektif petindak. 10
Pedoman untuk mepertimbangkan berat ringanya pidana itu amat
penting bagi hakim, sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana
secara lebih memadai dan sejauh mungkin dapat dihindari diskresi
9 Soedarto (1977:55) menyatakan bahwa antara minimum dan maksimum harus
ditetapkan seluas-luasnya, sehingga meskipun semua pertanyaan di atas itu dijawab
dengan merugikan terdakwa, maksimum pidana yang biasa itu sudah mamadai.
Pedoman
dari
M.v.T.
dapat
dipergunakan
sebagai
pedoman
untuk
mempertimbangkan berat ringannya pidana dalam praktik peradilan di Indonesia,
karena KUHAP kita pada prinsipnya merupakan salinan dari Strafwetboek tahun
1886.
10 Ruslan Saleh (1987:17) menyatakan, bahwa hakim memiliki kebebasan bergerak
untuk mendapatkan pidana yang tepat antara batas maksimum khusus dan
minimum umum, akan tetapi kebeasana bergerak itu bukan berarti membiarkan
hakim bertindak sewenang-wenang. Kebebasan itu dimaksudkan untuk meberi
kesempatan bagi hakim untuk memperhitungkan seluruh aspek yang berkaitan
dengan tindak pidana terjadi, mengenai berat ringanya tindak pidana, keadaan
pribadi petindak, usia petindak, tingkat kecerdasan petindak, keadaan serta suasana
waktu tindak pidana terjadi. Senada hal itu, Oemar Seno Adji (1980:8) menyatakan
pandangan bahwa kebebasan hakim itu bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas.
Kebebasan hakim harus dipergunakan oleh hakim untuk mempertimbangkan sifat
dan seriusnya tindak pidana, keadaan-keadaan yang meliputi tindak pidana itu,
kepribadian petindak, usianya, tingkat pendidikannya, lingkungannya dan lain
sebagainya.
penjatuhan pidana. Oleh karena itu, kiranya baik sekali apabila dalam
KUHAP dicantumkan rumusan tentang pedoman pemidanaan.11
DISPARITAS PEMIDANAAN DI INDONESIA
Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia, yang
termasuk keluarga hukum Eropa Continental, yang tidak mengenal
sistem presedent. Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi
masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing
disparity of sentencing mengundang perhatian lembaga legislatif
serta lembaga lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan
hukum pidana untuk memecahkannya. Lebih spesifik dari pengertian
itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi
dalam beberapa kategori yaitu:
a. Disparitas antara tindak tindak pidana yang sama;
b. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai
tingkat keseriusan yang sama;
c. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim;
d. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim
yang berbeda untuk tindak pidana yang sama;12
11 Dalam perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan yang merupakan
petunjuk ke arah pertimbangan berat ringannya pidana. Ketentuan demikian
tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut: ”Dalam mempertimbangkan berat
ringanya pidana, hakim wajib memeperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat
dari tertuduh”. Penjelasan pasal ini berbunyi sebagai berikut: “Sifat-sifat yang jahat
maupun
yang
baik
dari
tertuduh
wajib
diperhatikan
hakim
dalam
mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi
seseorang perlu diperhitungkan untuk memberi pidana yang setimpal dan seadiladilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari
lingkungannya, rukun tetangga, dokter ahli jiwa dan sebagainya.” Sayangnya dalam
ketentuan ini tidak dapat disertai rincian mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat
dipergunakan sebagai bahan untuk mempertim-bangkan berat ringanya pidana.
12 Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan
terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah KHN
Newsletter, Edisi April 2003, (Jakarta: KHN, 2003) hal.28. Dalam salah satu
tulisannya menyatakan bahwa:
“Dengan adanya realita disparitas pidana tersebut, tidak heran jika publik
mempertanyakan apakah hakim/pengadilan telah benar-benar melaksanakan
tugasnya menegakkan hukum dan keadilan? Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi
disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal
justice). Sayangnya, secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap
Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat kita temukan
wadah dimana disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan
hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana
yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak
pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun
oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja
kenyataan
mengenai
ruang
lingkup
tumbuhnya
disparitas
ini
menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.
Disparitas pidana erat kaitannya dengan hakikat dari pidana itu
sendiri. Pendapat mengenai definisi pidana dari para sarjana yang
pernah dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi dalam bukunya
teori-teori dan kebijakan pidana sebagai berikut:
1. Prof. Sudarto: yang dimaksud dengna pidana ialah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Prof. Ruslan Saleh: Pidana adalah reaksi delik, dan ini berujud
suatu nestapa yang sengaja ditimpakan Negara pada
pembuat delik itu
3. Fitzgerald: Pidana adalah penderitaan yang dijatuhkan oleh
pemerintah terhadap suatu pelanggaran atau kesalahan.
4. H.L.A. Hart menyatakan bahwa pidana harus:
a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi
lain yang tidak menyenangkan;
b. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka
benar-benar melakukan tindak pidana;
c. Dikenakan berhubungan suatu tindakan yang melanggar
ketentuan hukum;
d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak
pidana
e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan
ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak
pidana.
telah melanggar hukum. Meskipun demikian, seringkali orang melupakan
bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang
diberikan oleh hakim.”
5. Alf Ross menyatakan bahwa pidana adalah reaksi sosial yang:
a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap
suatu aturan hukum;
b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang
berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;
c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensikonsekuensi lain yang tidak menyenangkan;
d. Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.13
Dari beberapa pengertian dan ruang lingkup pidana tersebut,
oleh Muladi disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat lain yang tidak
menyenangkan;
b. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan
yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. Pidana dikenakan pada seseorang yang telah melakukan
tindak pidana menurut undang-undang.14
Dari kesimpulan tersebut dapatlah kita menerima bahwa pada
hakikatnya pidana yang berupa derita memang sepatutnya dijatuhkan
pada sesorang yang melakukan tindak pidana yang diatur menurut
Undang-Undang. Penjatuhan pidana itu merupakan konsekuensi wajar
bagi pelaku tindak pidana, hanya saja masalah timbul jika terhadap
para pelaku tindak pidana sejenis dijatuhkan hukuman yang berbeda
sehingga menimbulkan anggapan bahwa pengadilan telah berlaku
tidak adil. Akan tetapi jika ditinjau secara ideologis sebenarnya
disparitas pidana tersebut dapat dibenarkan sebagai pencerminan
salah satu karakteristik aliran modern (positivisme school) yang
13 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1984), hal. 54.
14 Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, (Bandung: Alumni,
1985) hal. 52.
berkembang pada abad ke-19, yakni pidana harus disesuaikan dengan
penjahat.
Menurut muladi, disparitas pidana itu dimulai dari hukum
sendiri.
Didalam
hukum
positif
Indonesia,
hakim
mempunyai
kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (straafsoort)
yang dikehendaki sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif
didalam pengancaman pidana dalam Undang-Undang. Contoh system
alternatif dapat dilihat dari ketentuan pasal 188 KUHP, yang bunyinya
adalah sebagai berikut:
“Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan
kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum- bagi
barang, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa
orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang
mati.”15
PERLUNYA PEDOMAN PEMIDANAAN
Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas
pidana adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam
menjatuhkan pidana. Prof. Sudarto mengatakan bahwa pedoman
pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan
pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya. Pedoman pemberian pidana
15 Todung Mulya Lubis, Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2009), hal. 63. Menulis bahwa, “Dari bunyi pasal tersebut dapat kita lihat
adanya bebarapa pidana pokok yang diancamkan terhadap pelaku perbuatan pidana
yang sama secara alternatif. Diantara beberapa yang ada yang paling tepatlah yang
akan diterapkan. Disamping itu hakim juga bebas untuk memilih beratnya pidana
(strafmaat) yang akan dijatuhkan sebab yang ditentukan oleh undang undang
hanyalah maksimum dan minimumnya saja.” Sehubungan dengan kebebasan hakim
ini dikatakan oleh Sudarto bahwa, “Kebebasan hakim dalam menetapkan pidana
tidak boleh sedemikian rupa, sehingga memungkinkan terjadinya ketidaksamaan
yang menyolok, hal mana akan mendatangkan perasaan tidak sreg (onbehagelijk)
bagi masyarakat, maka pedoman pidana dalam KUHP sangat diperlukan, sebab ini
akan mengurangi ketidaksamaan tersebut meskipun tidak dapat menghapuskannya
sama sekali.
itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal hal yang
berkaitan
dengan
si
pelaku
tindak
pidana
sehingga
dengan
memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional
dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang
dijatuhkan oleh hakim. Pendapat Sudarto16 ini dibenarkan pula oleh
Muladi,17 karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara
mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional. Hal ini sesuai pula
dengan salah satu butir dari hasil simposium IKAHI 1975 yang
menyatakan:
“Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas
terhadap putusan hakim pidana yang pidananya berbeda sangat
menyolok untuk pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa
perlu
untuk
mengadakan
usaha-usaha
agar
terdapat
penghukuman yang tepat dan serasi. Akan tetapi uniformitas
mutlak bukanlah yang dimaksudkan, oleh karena bertentangan
dengan prinsip kebebasan hakim, yang perlu hanyalah
keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan
tidak
merugikan
pembangunan
bangsa
dengan
mempertimbangkan rasa keadilan si terhukum. Untuk
keserasian ini diperlukan suatu pedoman/ indikator dalam
bentuk yang dinamakan checking points yang disusun setelah
mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat
regional maupun nasional dengan mengikutsertakan ahli-ahli
yang disebut behavior scientist.”18
Hasil munas IKAHI tersebut sudah dimasukkan dalam Konsep
RUU KUHP. Dalam rangka usaha untuk mengurangi disparitas pidana,
maka didalam konsep rancangan KUHP yang baru Buku I tahun 1982,
pedoman pemberian pidana itu diperinci sebagai berikut:
“Dalam pemidanaan hakim mempertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat;
b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
16 Ibid, hal. 20
17 Muladi-Arief, Op.cit, hal. 68
18 Istilah uniformitas pemidanaan ini dirasa dapat menimbulkan pengertian yang
kurang sesuai dan oleh karenanya kata ketetapan dan keserasian pemidanaan lebih
dipergunakan.
c. Cara melakukan tindak pidana;
d. Sikap batin pembuat;
e. Riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pembuat;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak
pidana;
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
h. Pandangan
dilakukan.”
masyarakat
terhadap
tindak
pidana
yang
Selain pedoman pemidanaan tersebut, juga disebutkan hal-hal
yang dapat dijadikan sebagai alasan yang meringankan dan alasan
yang memberatkan. Namun dilihat dari isinya tidak saling menafikan,
sehingga ada kemungkinan dalam setiap kasus, ada alasan yang
meringankan dan ada pula alasan yang memberatkan. Dalam RUU
KUHP terakhir tahun 2008 pedoman pemidanaan tersebut menjadi 11
item. Pasal 55 ayat (1) sebagai berikut:
“Dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan:
a. kesalahan pembuat;
b. motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
c. cara melakukan tindak pidana;
d. sikap batin pembuat;
e. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
f. sikap dan tindak pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
h. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang
dilakukan;
i. pengaruh tindak pidana terhadap
j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang
dilakukan.”19
Rincian pedoman tersebut tidak bersifat limitatif. Hakim masih
dimungkinkan menambah pertimbangan-pertimbangan lain apabila
dipandang perlu. Namun apabila hakim telah memperhatikan rincian
19 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Penerbit Lubuk
Agung, 2011) hal. 45. “Dalam Rancangan KUHP yang ada, para perumus memilih
memberikan pedoman pemidanaan yang merupakan checking point bagi hakim
yang membantunya dalam mempertimbangkan pemidanaan.”
pedoman
tersebut,
berarti
semua
kepentingan
yang
terkait
mendapatkan perhatian yang wajar, sehingga penjatuhan pidana yang
dilakukan lebih proposional. Kepentingan yang terkait atas terjadinya
tindak pidana, sekurang-kurangnya kepentingan terpidana sendiri,
kepentingan korban dan kepentingan masyarakat.
Menurut Romli Atmasasmita, Pedoman Pemidanaan Dalam
Hukum
Positif
Indonesia
adalah
sebagai
berikut.
Dalam
KUHP
(Wetboek van Straftrecht yang kemudian diundangkan dengan UU No.
1 Tahun 1946) pedoman pemberian pidana diatur dengan jelas. Pasal
1 ayat (1) KUHP menekankan bahwa hukum pidana Indonesia
menganut asas legalitas (principle of legality), dimana mencerminkan
kepastian hukum.
“Dalam asas legalitas ada 4 hal pokok, yaitu:
(1)Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana,
kecuali telah ditentukan dalam undang-undang terlebih
dahulu,
(2)Ketentuan UU harus ditafsirkan secara harafiah dan
pengadilan
tidak
diperkenankan
memberikan
suatu
penafsiran analogis untuk menetapkan suatu perbuatan
sebagai tindak pidana,
(3)Ketentuan UU tidak berlaku surut,
(4)Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara
jelas dalam UU yang boleh dijatuhkan.
Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP jelas bahwa dasar dan
sumber pemberian pidana hanyalah hukum tertulis (peraturan
perundang-undangan tertulis).”
GAGASAN STANDARISASI PEMIDANAAN DI INDONESIA
Gagasan ini pernah diulas oleh Eddy Djunaedi dalam Buku
Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana. Standarisasi
dimaksudkan agar dicapai pemidanaan yang relatif sama pada kasuskasus yang identik. Beliau menyebutnya sebagai parate sentences in
the same circumtances. Salah satu pendekatannya adalah meniru
pada salah satu negara bagian di AS yang memberikan kategori
ancaman pidana dalam tiga kategori, yaitu: pidana ringan (mitigated
term),
pidana
menengah
(baseterm)
dan
pidana
berat
(aggravatedterm). Kategori tindak pidana tersebut dapat ditentukan
berdasarkan
kualitas
tindak
pidana,
yaitu
dikaji
berdasarkan
straaftoemeting sebagaimana ditetapkan dalam MUNAS IKAHI atau
Pasal 55 RUU KUHP tersebut.
Misalkan untuk ancaman pidana maksimal 12 tahun, maka
didapatkan pidana ringan (mitigated term) yaitu 3 tahun, pidana
menengah
(baseterm)
yaitu
6
tahun
dan
pidana
berat
(aggravatedterm) adalah 9 tahun. Pidana-pidana tersebut menjadi
semacam base penalty sebagaimana dalam The Federal Sentence
Guidelines tersebut diatas. Dari base-base penalty tersebut dapat
ditambah
dan
dikurangi
berdasarkan
jumlah
alasan
yang
memberatkan dan yang meringankan. Bobot nilai memberatkan dan
meringankan juga tergantung ancaman pidananya, misalkan untuk
ancaman pidana 12 tahun tersebut nilai penambah dan pengurangnya
adalah 4 bulan.
Metode lain untuk menetukan klasifikasi tindak pidana dalam
pidana ringan (mitigated term), pidana menengah (baseterm) dan
pidana berat (aggravatedterm) serta hal-hal yang memberatkan dan
meringankan juga dapat dilakukan dengan pendayagunaan lembaga
penelitian masyarakat (LITMAS) untuk semua terdakwa. Juga dapat
dikembangkan sistem ceck-list untuk mengetahui situasi psikologis
dan sosial terdakwa dengan melibatkan psikiater, tokoh masyarakat,
lembaga pemerintah terkait maupun lembaga perlindungan saksi dan
korban.
Berdasarkan pendekatan tersebut dan sesuai dengan Pasal 197
KUHAP maka dapat diadakan perbaikan dalam pertimbangan hakim
mengenai pidana yang dijatuhkan. Umumnya bunyi pertimbangan
hakim adalah:
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut di atas,
maka hukuman yang akan dijatuhkan sebagaimana tercantum
dalam diktum putusan di bawah ini dipandang sudah cukup adil
dan bijaksana sesuai dengan kesalahannya;”
Perbaikannya sebagai:
“Menimbang, bahwa ancaman pidana dari pasal yang dilanggar
terdakwa adalah 12 tahun, sedang perbuatan pidana dilakukan
oleh terdakwa dalam keadaan yang memberatkan sehingga
pidana dasarnya adalah 9 tahun;”
“Menimbang, bahwa hal-hal yang meringankan berjumlah 4
buah sedangkan hal yang memberatkan hanya 2, sedang
masing-masing mempunyai bobot menambah dan mengurangi
selama 4 bulan, sehingga pidana dasar tersebut harus dikurangi
sebanyak 8 bulan;”
“Menimbang, bahwa dengan demikian total pidana harus
dijatuhkan kepada terdakwa sesuai dengan kesalahan dan
perbuatannya tersebut adalah selama 8 tahun dan 4 bulan;”
Pedoman ini sebenarnya sudah dapat diterapkan oleh hakimhakim di Indonesia, sebab ketentuannya sudah ditetapkan dalam
forum MUNAS IKAHI VIII 1975. Meskipun MUNAS IKAHI bukan
merupakan salah satu peraturan perundang-undangan di Indonesia,
namun sekedar menjadi pedoman, atau setidak-tidaknya sebagai
sumber hukum ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Atau setidaknya
mempunyai kekuatan mengikat ke dalam profesi hakim, sebagaimana
mengikat dan berlakunya Pedoman Perilaku Hakim.
Metode ini pernah penulis simulasikan untuk menentukan
pidana percobaan, pidana penjara dan/atau denda, serta pada
ancaman pidana minimal dan maksiamal. Dengan menggunakan
pendekatan telemteri (penggunaan rumus-rumus matematika untuk
ilmu sosial) dapat diperoleh sekitar 300 variasi pidana untuk tiap-tiap
tindak pidana. Sehingga pada keadaan yang variable-variabelnya
sama maka pidananya juga sama. Dengan mengasumsikan pidana
seumur hidup adalah 30 tahun dan pidana mati adalah 40 tahun,
kedua jenis pemidanaan tersebut juga dapat ditentukan keriterianya
dengan tepat. Asumsi ini mungkin dapat mengatasi permasalahan
tingkat hunian LP dan pembiayaan pada sistem U. S. Federal
Sentencing Guidelines tersebut diatas.
Daftar Pustaka:
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
(Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1996).
Asshiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia Studi
Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Fiqh dan
Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Nasional,
(Bandung: Angkasa, 1996).
Atmasasmita, Romli, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,
(Bandung: Mandar Maju, 1995).
Harkrisnowo, Harkristuti. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu
Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di
Indonesia”, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003,
(Jakarta: KHN, 2003).
Jim Beck dan Elaine Wolf, “Revising Federal Sentencing Policy: Some
Consequences of Expanding Eligibility for Alternative Sanctions.”
Lubis, Todung Mulya. Kontroversi Hukuman Mati, (Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2009).
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
(Bandung: Alumni, 1984).
Muladi, Dampak Disparitas Pidana
(Bandung: Alumni, 1985).
dan
Usaha
Mengatasinya,
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiamn,
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor
157, TLN Nomor 5076). Undang-undang sebelumnya yang
mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman adalah UU Nomor 19
Tahun 1964, UU Nomor 14 Tahun 1970, UU Nomor 35 Tahun
1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004.
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU
Nomor 8 Tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209).
Saxena, V. “Positive and Negatives of Federal Sentencing Guidelines”
Published August 27, 2008.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung:
Sinar Baru, 1983).
---------. Masalah-masalah Hukum, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan,
(Semarang: BP Undip, 1987).
Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung:
Penerbit Lubuk Agung, 2011).