BAB V Simpulan 5.1. Simpulan - Absolutisme Relatif dan Kemungkinan Dialog : sebuah eksplorasi tentang alternatif cara pandang Katolik terhadap pluralisme religius

BAB V Simpulan

5.1. Simpulan

  Dialog di tengah pluralisme religius adalah hal yang sangat penting. Di tengah-tengah dunia yang terpecah-belah, dialog interreligius berusaha untuk menemukan hal-hal yang komplementer dan menyatukan di antara umat beragama. Hans Küng pernah mengatakan bahwa perdamaian antarnegara tidak akan tercapai jika tidak ada perdamaian antaragama. Perdamaian antaragama tidak akan tercapai jika tidak ada dialog di antara umat beragama. Küng menekankan

  

pentingnya dialog agar dapat terus dilakukan sebagai upaya konkret. Menurut Küng, dialog perlu

dilanjutkan agar orang memiliki pemahaman yang lebih baik tentang situasi saat ini, dan

terutama agar umat Katolik memiliki pemahaman diri yang lebih baik, yang dilakukan melalui

  110

perbandingan dan perjumpaan dengan umat dari agama-agama lain. Gereja Katolik, sebagai

bagian dari komunitas kristiani, merupakan elemen yang integral komunitas dunia. Oleh karena

itu, Gereja Katolik perlu membangun ekumenisme baik yang bersifat ad intra, yang

berkonsentrasi pada pemulihan kesatuan di dalam Gereja-Gereja, maupun yang bersifat ad extra,

yang berorientasi pada segenap penghuni dunia. Saya telah mengeksplorasi berbagai alternatif

untuk membuka kemungkinan dialog dalam konteks pluralisme religius. Berikut ini adalah

pokok-pokok penting yang dapat merangkum keseluruhan tulisan ini, yakni mengenai alternatif-

alternatif cara pandang bagi umat Katolik terhadap pluralisme religius. 110                                                              Bdk. Küng, Christianity and World Religions, Paths to Dialogue, op. cit., 441.

  Pertama,

  agama dipahami sebagai kehidupan yang dihayati. Agama perlu dipahami sebagai relasi individual dan sosial dengan Allah yang direalisasikan melalui tradisi dan kehidupan sehari-hari. Dibandingkan dengan agama yang dipahami secara institusional, agama Agama sebagai kehidupan yang dihayati dapat membawa manusia lebih dekat satu sama lain, tanpa dibatasi oleh agama institusional yang dianut manusia. Pengalaman manusiawi dan keprihatinan bersama dapat menjadi titik tolak terjadinya dialog interreligius. Pengalaman religius dalam hal ini dapat menjadi kesaksian yang bersifat inspiratif dan yang dapat dibagikan kepada umat beragama lain. Saling berbagi pengalaman religius dapat menjadi salah satu metode dialog yang tidak berkutat dengan ajaran masing-masing agama, namun menyentuh langsung sisi eksperiensial manusia. Selain itu, pengalaman religius juga dapat menjadi sebuah tanggapan terhadap pengaruh sekularisme yang sangat kuat di dalam dunia. Gereja Katolik bersama dengan agama-agama lain mempromosikan sebentuk kesaksian religius, bahwa Tuhan ada di dunia. Ia dialami melalui pengalaman-pengalaman religius yang dapat dibagikan kepada dunia.

  Kedua,

  otokritik sebagai sarana pemurnian diri. Otokritik merupakan sebuah interpretasi lain terhadap absolutisme relatif Küng. Dengan melakukan otokritik, umat Katolik dapat

  

menemukan kebenaran yang lebih besar. Sebagaimana diyakini oleh Küng, kebenaran tidak

pernah bersifat siap-pakai (ready-made), melainkan ditemukan dalam relasi dengan agama-

agama lain. Otokritik juga mendorong Gereja Katolik untuk melihat Gereja-Gereja dan agama-

agama lain sebagai cermin. Dalam pengertian ini, otokritik yang dilakukan itu didasarkan pada

perbandingan yang sepadan antara Gereja Katolik dengan Gereja-Gereja dan agama-agama lain.

Kritik yang dipahami sebagai cermin juga berarti bahwa ia adalah tempat bagi Gereja Katolik

merefleksikan dirinya dan menemukan serpihan-serpihan kebenaran dari Gereja dan agama lain.

  

Otokritik juga mengandaikan adanya keterbukaan untuk menerima kritik dari orang lain. Kritik

membuat identitas Gereja Katolik semakin kuat dan dimurnikan. Otokritik memuat dimensi

absolut dan relatif dari konsep absolutisme relatif Küng. Otokritik tidak hanya dapat membuat

otentik.

  Ketiga,

  pemulihan kesatuan. Kristus menghendaki universalitas keselamatan ada di dalam diri-Nya. Gereja adalah sarana yang digunakan oleh Yesus untuk memperkenalkan dan memaklumkan keselamatan universal yang dikehendaki oleh-Nya. Dalam sejarahnya, Gereja mengalami perpecahan dan setiap denominasi mengakui diri sebagai para pengikut Kristus. Di tengah perpecahan yang dialami Gereja, muncul kesadaran dan kerinduan akan kesatuan dalam hati umat Kristen. Pemulihan kesatuan dapat diupayakan melalui tiga pemahaman. Pertama, usaha untuk memulihkan kesatuan bukan merupakan seruan pasif. Gereja memerlukan iman yang bekerja oleh kasih. Iman dan perbuatan kasih adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

  Iman kepada Kristus harus terwujud dalam perbuatan kasih kepada sesama. Akan tetapi, Gereja- Gereja lain tidak menganggap perbuatan baik sebagai hal yang dapat mempengaruhi keselamatan seseorang. Oleh karena itu, umat Katolik perlu menjelaskan mengenai urgensi perbuatan- perbuatan baik, yang sesuai dengan Injil dan Tradisi. Sementara itu, Gereja-Gereja lain dapat menjelaskan pemahaman mereka mengenai perbuatan baik. Selanjutnya, dialog dapat berkembang dengan mencari pemahaman bersama mengenai perbuatan-perbuatan baik dan usaha konkret meningkatkan perbuatan baik sebagai kesaksian yang menyatukan. Kedua, usaha memulihkan kesatuan bukan hanya merupakan konversi individual, melainkan terutama konversi komunal. Usaha memulihkan kesatuan tidak ditujukan untuk mengkonversi individu ke dalam suatu kelompok atau denominasi tertentu, melainkan mengupayakan konversi komunal kepada

  Yesus Kristus sebagai sang Gembala bagi setiap kawanan domba yang terpecah. Ketiga, usaha memulihkan kesatuan bukan hanya sebentuk reformasi moral. Umat Katolik perlu melihat keunggulan Gereja-Gereja lain dan berusaha untuk mencapainya. Dengan berusaha mencapai dari identitasnya. Ini dapat membawa umat Katolik dan umat Gereja lain lebih dekat menuju kepada kesatuan. Kesatuan yang dimaksud bukanlah kesatuan dalam arti keseragaman (‘unisitas’), melainkan semangat kesatuan dalam keberagaman (‘unitas’), di dalam Kristus yang satu, sambil menyadari bahwa dalam kenyataan Gereja Kristen telah terpecah-pecah. Pemulihan kesatuan merupakan usaha untuk mencari titik temu di tengah dunia yang semakin fragmentaris.

  Keempat,

  menemukan hal-hal yang bersifat komplementer. Di tengah keadaan yang serba kontradiktif dan eksklusif karena pengaruh pluralisme, umat Katolik perlu menemukan hal-hal yang sifatnya komplementer dan inklusif. Belajar dari agama-agama lain dapat menjadi sarana untuk menemukan hal-hal yang komplementer antara Gereja Katolik dengan agama-agama lain.

  Dengan mengenali hal-hal yang komplementer dan inklusif, kemungkinan-kemungkinan dialog interreligius pun bisa terbuka lebih lebar. Dengan bersikap inklusif, umat Katolik mengapresiasi hal-hal baik yang ada di dalam agama-agama lain. Dengan semakin mengenal agama lain dan mengembangkan keterbukaan, orang dapat menemukan hal-hal yang bersifat melengkapi satu sama lain. Kesamaan nilai-nilai, tradisi, budaya, dan sejarah kemanusiaan dapat menjadi titik tolak yang inspiratif untuk memulai dialog interreligius. Kesadaran akan persamaan sejarah

  kemanusiaan

  dapat menjadi peluang untuk membuka dan menemukan hal-hal komplementer di antara agama-agama. Keprihatinan bersama akan krisis atau perpecahan yang melanda kemanusiaan juga bisa menjadi titik tolak bagi berbagai pemeluk agama untuk bersatu demi memperjuankan kemanusiaan yang bermartabat.

  Kelima,

  kesaksian hidup. Praktik-praktik kehidupan sehari-hari dapat menjembatani kesenjangan yang terjadi karena perbedaan ajaran di antara agama-agama. Melalui praktik hidup yang benar, orang bisa memberikan pengertian bahwa walaupun dalam hal ajaran agama-agama dapat bersatu membangun sebuah kesaksian yang mencerminkan kehidupan yang sama di dunia.

  Kesaksian hidup pada dasarnya bersifat dialogis. Melalui kesaksian hidup mengenai hal-hal yang sehari-hari itu, umat Katolik dapat mengenalkan kebenaran kristiani dengan cara membagikan pengalamannya kepada orang lain. Konsep “Gereja diakonal” seperti yang pernah dimunculkan Walter Kasper dapat menjadi salah satu alternatif kesaksian kepada dunia dan agama-agama lain.

  Pandangan ini melengkapi penegasan Küng mengenai Gereja sebagai relasi individu dan sosial. Gereja diakonal merupakan Gereja yang tetap bersaksi tentang kebenaran dengan cara-cara yang membebaskan dan menyembuhkan, dan tidak dengan cara-cara yang memaksa atau melukai pihak lain.

5.2. Pandangan ke Depan Tentang Kemungkinan Dialog di Tengah Pluralisme

  Dalam tulisan ini, masih terdapat hal-hal yang belum sempat dibahas karena keterbatasan waktu dan pembahasan. Oleh karena itu, tulisan ini tetap membuka peluang bagi para penulis lain untuk melanjutkan dan mengembangkan tema dialog di tengah pluralisme. Pada bagian ini dibahas tiga topik yang dapat menjadi bahan eksplorasi bagi para penulis lain untuk melanjutkan dan mengembangkannya lebih lanjut.

  Pertama,

  ekumenisme reseptif dan pembelajaran katolik. Konsep “ekumenisme reseptif” dan “pembelajaran Katolik” dari Paul Murray dapat menjadi tema yang inspiratif untuk melanjutkan pembahasan mengenai dialog ekumenis. Ini juga merupakan interpretasi lain konsep “absolutisme relatif” yang dimunculkan oleh Küng. Ekumenisme reseptif dan pembelajaran

  

Katolik dapat melengkapi konsep absolutisme relatif Küng. Ekumenisme reseptif dapat

konsep absolutisme relatif. Ekumenisme reseptif tidak serta merta menerima secara pasif,

melainkan mencurahkan perhatian pada disposisi yang diperlukan bagi pembelajaran

  111

transformatif yang disyaratkan proses bilateral dalam sebuah dialog ekumenis. Dalam

ekumenisme reseptif, hal yang lebih diutamakan adalah kesediaan untuk saling belajar.

  

Pembelajaran yang transformatif menjadi penting dalam dialog. Melalui pembelajaran yang

transformatif umat Katolik tidak akan serta-merta menerima ajaran dari Gereja lain secara pasif,

melainkan secara aktif mencari hal-hal yang dapat mentransformasi dan memurnikan identitas

Katoliknya. Ekumenisme reseptif dapat dilihat juga sebagai proses masuk ke kedalaman untuk

  112

mewujudkan kemajuan-kemajuan efektif yang nyata. Untuk mencapai kemajuan yang efektif

dan nyata, orang membutuhkan pergeseran pola pikir dari yang egoistis menuju altruistis. Umat

Katolik perlu memberikan prioritas pada kebutuhan dari yang lain. Umat Katolik tidak dapat

mengubah orang lain, namun dapat mengubah diri sendiri dan mengubah cara berelasi dengan

  113

umat dari Gereja-Gereja lain. Ekumenisme reseptif mengandaikan adanya tanggung jawab

untuk mau belajar dari yang lain, sekaligus membantu orang lain untuk belajar dari Gereja

Katolik. Kata ‘belajar’ menjadi penting karena menandakan kesamaan posisi Gereja-Gereja di

dalam setiap dialog, sebab tidak ada Gereja yang lebih superior atau yang lebih inferior. 111                                                              112 Bdk. Murray, op. cit., 14. 113 Bdk. ibid., 15.

  Bdk. ibid.

  Kedua, Katolisisme terbuka. Istilah “katolisisme terbuka” dimunculkan oleh Karl Rahner.

  Istilah ini muncul dalam Bab III tulisan ini, namun belum dieksplorasi lebih jauh lagi. Hal ini dapat menjadi topik lain yang dapat dilanjutkan dan dikembangkan oleh penulis lain untuk

  114

  di satu sisi dianggap sekuler, namun di sisi lain perlu bagi Gereja Katolik. Gereja Katolik perlu membangun relasi dengan mereka dan mengerti keberadaan mereka tanpa begitu saja membenarkan mereka. Gereja Katolik perlu menanggung kehadiran mereka dengan segala pertentangan yang ada di antara mereka, dan berusaha mengatasinya serta membawanya kepada

  115

  suatu kesatuan yang lebih tinggi. Relasi Gereja Katolik dengan dunia tidak dimaksud untuk membenarkan dunia yang sekuler, namun untuk melampauinya dan menjadikan Gereja Katolik sebagai komunitas mundial yang dapat merangkul dunia.

  Ketiga,

  ekumenisme spiritual. Yesus Kristus tidak menghendaki kesatuan dalam ajaran atau perintah. Ia menghendaki agar pertama-tama semua orang Kristen bersatu dalam doa kepada Bapa. Kesatuan merupakan berkat dari Allah. Karena kesatuan itu merupakan anugerah Allah, berdoa bersama kepada Allah merupakan hal yang pantas dilakukan oleh orang Kristen. Menurut Walter Kasper, “ekumenisme spiritual” merupakan jiwa dari semua gerakan-gerakan

  116

  ekumenis. Menurutnya, ekumenisme pada awalnya merupakan fenomena spiritual. Ketika

  117

  dimungkinkan, konsensus ekumenis akan dialami sebagai rahmat spiritual. Konsensus di masa depan mengenai Gereja universal hanya mungkin dianugerahkan sebagai pengalaman pentakosta yang diperbarui. Ekumenisme memerlukan kemurahan hati dan harapan. Kasper percaya bahwa selama umat Kristen melakukan apa yang dapat dilakukan untuk kesatuan, Roh Allah akan 114                                                              115 Bdk. Rahner, op. cit., 81. 116 Bdk. ibid. 117 Bdk. Kasper, op. cit., 44.

  Bdk. ibid., 172.

  118

  memberikan Pentakosta baru pada saatnya. Konsep ekumenisme spiritual Kasper sangat menginspirasi dan dapat menjadi salah satu tema yang dapat dikembangkan untuk melanjutkan tulisan tentang kemungkinan dialog. Kasper mementingkan ekumenisme spiritual, yang mendorong kesatuan Gereja-Gereja dan membuka peluang untuk berdialog.

  Dialog menjadi sarana yang relevan di tengah pluralisme religius. Dalam proses berdialog, umat Katolik dapat belajar dari Gereja-Gereja dan agama-agama lain. Melalui dialog pula, umat Katolik dapat mengenalkan kebenaran Kristiani kepada orang lain. Kebenaran- kebenaran yang ditemukan dalam dialog tidak menjatuhkan kebenaran yang sudah ada dalam Gereja Katolik, melainkan membuatnya menjadi kebenaran yang lebih luas, karena kebenaran ditemukan di dalam dialog bersama dengan agama-agama lain. Dengan demikian, dialog tidak akan mengurangi atau menghilangkan identitas kekatolikan seseorang. Dialog justru akan meneguhkan identitas kekatolikan umat.

                      118                                                              Bdk. ibid.

  

Daftar Pustaka

  Baker-Ohler, Marie dan Annette M. Holba. The Communicative Relationship Between Dialogue and Care . New York: Cambria Press, 2009.

  Dupuis, Jaques. Toward Christian Theology of Religious Pluralism. New York: Orbis Books, 1997.

  Evans, Gillian R. Method in Ecumenical Theology, the Lesson so Far. New York: Cambridge University Press, 1996.

  

Giordan, Giuseppe (ed.) dan Enzo Pace. Religious Pluralism, Framing Religious Diversity in the

Contemporary World . New York: Springer International Publishing, 2014.

  Kasper, Walter. That They may All be One, the Call to Unity Today. New York: Burns and Oates, 2004.

  Konsili Vatikan II. Ad Gentes. Jakarta: Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1991.

_____. Gereja-Gereja Saudari. Jakarta: Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2001.

_____. Lumen Gentium. Jakarta: Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990. _____. Nostra Aetate. Jakarta: Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1990. _____. Unitatis Redintegratio. Jakarta: Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1992.

Küng, Hans . Christianity and World religions, Path to Dialogue. New York: Orbis Books, 1993.

_____. On Being Christian. Suffolk: Richard Clay The Chaucher Press Ltd, 1983.

  _____. The Council, Reform and Reunion. New York: Sheed and Ward, 1961.

  McKim, Robert. On Religious Diversity. New York: Oxford University Press, 2012. Murray, Paul D. (ed). Receptive Ecumenism and the Call to Catholic Learning, Exploring a Way for Contemporary Ecumenism . New York: Oxford University Press, 2008.

  Ut Unum Sint.

  Paus Yohanes Paulus II. Jakarta: Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1995.

  Rahner, Karl. Grace in Freedom. New York: Herder and Herder, 1969. Ratzinger, Joseph Cardinal. Many Religions – One Covenant, Israel, the Church, and the World.

  San Francisco: Ignatius Press, 1999.

  Sikka, Sonia, dkk. Living with Religious Diversity. New York: Routledge, 2006.

Suchocki, Marjorie Hewitt. Divinity and Diversity, a Christian Affirmation of Religious

  Pluralism . Nashville: Abingdon Press, 2003.

  Vigil, Jose M. Theology of Religious Pluralism. London: Transaction Publishers, 2008.