Negara dan pluralisme agama (studi pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme agama di Indonesia pasca orde baru)

(1)

Di Indonesia Pasca Orde Baru)

Oleh

Anang Lukman Afandi

NIM : 103 033 227 810

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Pluralisme agama sepertinya menemui jaman keemasan kembali. Di saat masyarakat Indonesia sering terjadi konflik yang bernuansa agama, pembahasan tentang pluralisme akan kembali menjadi topik perbincangan para tokoh lintas agama di Indonesia. Dalam hal ini penulis akan mencoba untuk mengulas kembali makna pluralisme menurut salah satu tokoh moderat Islam yaitu Hasyim Muzadi, Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kajian tentang pluralisme agama Hasyim Muzadi dalam skripsi ini dilatar-belakangi bahwa penulis menganggap bahwa selama ini masih sedikit karya-karya yang berisi pemikiran Hasyim Muzadi. Tujuan penulis adalah ingin memperdalam pengetahuan pemikiran-pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme serta langkah-langkah yang beliau lakukan guna memperjuangkan pluralitas keagamaan di Indonesia.

Hasyim Muzadi sebagai salah satu tokoh moderat yang konsisten memperjuangkan Pluralisme, menawarkan sebuah solusi atas kebuntuan dialog antar agama maupun keyakinan. Pluralisme dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk mempertahankan pluralitas keagamaan di Indonesia dan menjaga kerukunan antar umat yang berbeda agama maupun keyakinan sehingga dapat memperkuat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesimpulan dari pembahasan tentang pemikiran-pemikiran Hasyim Muzadi diantaranya pemikiran tentang Pluralisme sebagai bagian dari Humanisme serta perbedaan pluralisme teologis dan pluralisme sosiologis. Menurut Hasyim Muzadi, umat beragama di Indonesia harus sadar bahwa masalah-masalah yang dihadapi selama ini adalah buntunya dialog antar golongan yang berbeda interpretasi ajaran-ajaran agama yang mereka anut. Jadi menurut penulis, pembahasan ini sangatlah penting untuk menyadarkan kembali pehaman tentang pluralisme agama dengan tujuan terciptanya kerukunan sesama agama maupun antar agama walaupun perbedaan keyakinan dan agama adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk ini.


(6)

ii

Alhamdulillah, sebagai rasa syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, memberikan akal dan pikiran kepada manusia sehingga dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari dengan baik. Sholawat dan salam semoga tercurahkan selamanya kepada Nabi Muhammad SAW, berserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya dan semoga menjadi tauladan bagi kita semua.

Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, membimbing, dan mendukung penulis secara fisik maupun moral dalam penyusunan skripsi ini yang tidak akan tercapai kesempurnaan lantaran bantuannya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menempuh studi di kampus peradaban ini. 2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Alimun Hanif, MA, selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

4. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, MA, selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk selalu memberikan saran dan kritik guna terselesaikannya skripsi ini.


(7)

iii Hidayatullah Jakarta.

6. Ayahanda tercinta Imam Nawawi (Boniran) dan Ibunda tersayang

Khomsatun, Kakek Boyamin dan Mbok Samijem, orang tua penulis yang tiada lelah memberikan do’a, semangat dan motivasi dengan kasih sayang yang tak terhingga. Serta keluarga besar Imam Nawawi, Kakakku Ali Murtadho, Yeni Siswanti serta saudara-saudaraku Shidiq dan kholil.

7. Almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan KH. Bahruddin

yang telah mengasuh dan memberikan ilmu yang tak terhingga saat penulis mondok di Pesantren Ciganjur dan Darul Hikam Ciputat.

8. Sahabat-sahabat selam kuliah di kampus tercinta UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, khususnya Usep Kholil, Dedi, Farid, Dian, Budi, Bayan, Hamid, Furqon, Janan, Bagus, Yamin, Iwan, Hamdi, Fuad, dan semuanya yang tidak penulis sebutkan satu per satu.

9. Sahabat dan teman kerja di Bio Team Ciputat, Andi, Shofyan, Zulfan, Enjum, Ujang, Roy, Rifki, serta teman pondok di Pesantren Darul Hikam Ciputat, Rahmat Kabir dan Shoghir, Harid, Fatoni, Tsani, Abu, Azis, Malik, Iwan, Syu’eib, Firman dan semuanya.

10.Terkhusus untuk calon istriku tercinta, Umi Charisah yang telah

memberikan motivasi dan semangat sehingga penulis dapat segera menyelesaikan skripsi ini.


(8)

(9)

v

ABSTRAK ………. i

KATA PENGANTAR ………. ii

DAFTAR ISI ……….... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II NEGARA DAN PLURALISME A. Pengertian Negara ………. 12

B. Pengertian Pluralisme ……… 14

C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme ……… 31

D. Pro-Kontra Tentang Pluralisme ………. 33

E. Wacana Pluralisme di Indonesia ……….. 37

BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL & POLITIK HASYIM MUZADI A. Kehidupan Sosio-Kultural Hasyim Muzadi ……….. 41

B. Latar Belakang Pemikiran Hasyim Muzadi ……….. 44


(10)

vi

BAB IV PEMIKIRAN HASYIM MUZADI TENTANG PLURALISME AGAMA DI INDONESIA

A. PEMIKIRAN PLURALISME HASYIM MUZADI ……… 49

1. Islam Rahmatan lil Alamin ………... 54

2. Pluralisme Teologis Dan Sosiologis ………. 55

3. Pendekatan Dialog Peradaban ……….. 56

4. Pluralisme Agama Sebagai Bagian dari Humanisme ….. 61

a. Dimensi Humanisme Dalam Agama ……… 61

b. Kerjasama Islam Dengan Agama Lain ……….... 64

B. PANDANGAN HASYIM MUZADI TERHADAP FATWA

MUI ……… 69

C. KOMITMEN MENJAGA PLURALITAS KEAGAMAAN.. 71

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 78 B. Saran-Saran ... 81


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam konteks masa depan Islam Indonesia khususnya serta Islam pada umumnya yang terjadi hari ini justru yang muncul adalah indikasi yang kuat untuk bersama-sama membangun paradigma baru tentang Islam terutama Islam Indonesia di mata dunia Internasional. Karena Islam, terutama pasca serangan 11

September 2001 yang menghancurkan Gedung WTC (World Trade Centre), telah

dimaknai oleh Barat sebagai agama kekerasan, dan pada saat itu hal-hal yang menyangkut agama menjadi kian sensitif. Padahal mayoritas masyarakat Islam di Dunia tidak pernah menganggap Barat sebagai musuh.

Kasus hancurnya gedung World Trade Center (WTC) di New York dan Pentagon di Washington DC, yang diduga dilakukan sekelompok ekstrimis Islam di bawah komando Osama bin Laden membuat penilaian negatif masyarakat Barat terhadap umat Islam semakin kencang dan hubungan keduanya mencapai titik nadir.1

Kondisi itu mengakibatkan kaum muslim di dunia dipandang buruk dan disebut sebagai pengikut ajaran agama yang dogmanya hanya menyebarkan teror dan kekerasan. Pandangan yang sangat buruk itu terjadi karena masyarakat barat melampiaskan kekecewaannya terhadap umat Islam yang diyakininya sebagai kaum yang tidak bisa hidup berdampingan dengan kaum lainnya. Padahal kebanyakan penduduk barat itu tidak tahu secara pasti ajaran Islam sesungguhnya

1

John L. Esposito, Saatnya Muslim Bicara, Ahmad Arif (terj.), (Bandung: Mizan, 2008), h. 9.


(12)

dan hanya didasari atas pemberitaan kasus terorisme dari media massa yang pemberitaan dan content-nya hanya menyudutkan umat Islam, yang distigmakan sebagai kaum yang lekat dengan dunia kekerasan dan tidak bisa berdamai dengan ajaran lainnya. Sehingga membuat umat lain menjadi berang kepada umat Islam.

Tantangan yang dihadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, tetapi tantangan pemikiran. Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ternyata bersumber dari pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling serius saat ini adalah di bidang pemikiran keagamaan. Tantangan yang sudah lama disadari adalah tantangan internal yang berupa fanatisme, taklid buta, bid'ah, kurafat, dan sebagainya. Sedangkan tantangan eksternal yang sedang dihadapi saat ini adalah masuknya paham liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran keagamaan bangsa Indonesia.2

Skripsi ini akan membahas salah satu tantangan eksternal dengan memfokuskan pada makna pluralisme agama beserta sejarah, faktor-faktor, penyebaran, dampak dan solusinya.

Pluralisme, selama ini bangsa Indonesia terlalu takut dan bahkan antipati dengan kata ini. Memang kata ini sangat sensitif untuk dibicarakan, namun hal ini bisa menjadi api dalam sekam kalau masyarakat dibiarkan dengan ketidaktahuan mereka dengan istilah ini. Penulis tertarik dengan editorial yang disajikan redaksi

Media Indonesia dengan judul ”Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”3

2

Adian Husaini, Plurlisme Agama Haram (Jakarta: Perspektif, 2005), h. 2. 3

Editorial Media Indonesia “Untung Masih ada NU dan Muhammadiyah”, Rabu, 15 September 2010. Diambil dari Website : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih-Ada-NU-dan-Muhammadiyah.


(13)

tulisan tersebut mencoba menggambarkan bagaimana keadaan bangsa Indonesia yang majemuk menghadapi persoalan lintas agama.

Indonesia bukan negara yang baru pertama kali ini terbentur masalah lintas agama. Sejak awal lahirnya persoalan lintas agama sudah menjadi diskusi menarik antar tokoh bangsa. Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia sudah sedari dulu mewanti-wanti akan adanya benturan keagamaan jika masyarakat Indonesia

tidak mengedepankan pluralisme dan kebebasan beragama.4 Walaupun beliau

lebih dikenal orang sebagai seorang “abangan” dari pada seorang santri,5 namun spirit itu tidaklah mati begitu saja. Dua organisasi yang sudah berdiri sejak sebelum kemerdekaan yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah masih setia mengedepankan tenggang-rasa dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Sikap ini adalah wajib adanya demi menjaga kesatuan NKRI karena memang Indonesia tidak hanya tersusun oleh satu agama saja. Indonesia mempunyai banyak budaya, ras, suku, dan adat istiadat. Gesekan sosial rasial atau teologi sangatlah berpotensi terjadi di tengah masyarakat. Dan bila pemerintah diam dan cenderung tidak peduli dengan hal ini maka itu sama saja dengan membiarkan perang saudara terjadi di mana-mana di pelosok negeri.

Tapi satu hal yang penulis soroti saat ini adalah adanya dua kutub yang senantiasa memancarkan pengaruhnya di bumi Indonesia. Satu kutub berusaha mengekstrimisasi umat beragama, dan satu kutub berusaha menjaga pluralitas beragama. Dua kutub ini mau tidak mau pasti saling berlawanan. Berebut pengaruh di masyarakat. Dan di sinilah letak keharusan masyarakat mengenal

4

Lihat http://www.republika.com/perjalanan-sejarah-indonesia-175.page.html 5

Abangan adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks. Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakan oleh Orientalis Clifford Geertz dengan Trikotomi-nya.


(14)

dengan baik apa itu pluralisme dan bagaimana seharusnya hidup di dalam bangsa yang multi-kultural. Mungkin lebih bijak jika kita mulai membicarakan dari sisi Islam karena Islam memang agama terbesar yang dianut di Indonesia. Islam sejak awal lahirnya telah menampakkan nilai-nilai humaniora yang kental di masyarakat. Dengan caranya yang santun para mubaligh Islam saat itu menginfiltrasi budaya dan agama yang saat itu ada dengan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin tanpa merusak budaya lokal. Dari situlah Islam dikenal bangsa Indonesia sebagai agama yang toleran. Tidak ada penghinaan terhadap agama lain namun tetap wibawa menjaga kehormatannya. Bentuk keseimbangan inilah yang kemudian menjadi dasar diterimanya Islam oleh masyarakat Indonesia.

Bagaimana pun NKRI adalah harga mati dan pluralisme adalah jaminannya. Tidak akan terwujud sebuah negara kesatuan dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha di dalamnya tanpa ada tenggang-rasa antar umat beragama. Tidak akan ada kedamaian dan ketenteraman dalam menjalankan ibadah ketika nilai-nilai ”lakum diinukum waliya din” sudah tidak lagi diamalkan bangsa Indonesia. Jika sudah tidak lagi ada kerukunan antar umat beragama mungkin bisa jadi bangsa Indonesia akan menjadi bangsa barbar yang beringas. Dan bukan mustahil satu agama dan agama yang lain akan saling menjatuhkan dan berperang di atas bumi Indonesia. Sungguh tidak ada satu agama pun yang menghendaki hal seperti ini.

Dalam kerangka itu, Hasyim Muzadi sebagai salah satu pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, gencar melakukan agenda yang terkait dengan pentingnya membangun semangat pluralitas. Hal ini ditunjukkan dengan


(15)

diselenggarakannya pertemuan Ulama’ Sunni-Syiah seluruh dunia yang diprakarsainya.6 Pertemuan-pertemuan semacam itu seakan menjadi titik terang usaha beliau dalam menata Islam Indonesia menuju Islam Global yang lebih baik sebagai aktualisasi rahmatan lil-alamiin.

Sedang pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, seperti bangsa Indonesia, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertian antar beraneka ragam unsur-unsur etnis, dan budaya daerah. Kalaupun tidak terjadi salah pengertian mendasar atas unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka, dengan kata lain, suasana optimal yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian, melainkan sekedar mengurangi kesalahpahaman.7

Atas dasar kenyataan seperti di atas dan juga banyaknya ide-ide dari pemikir dan pemimpin Islam di Indonesia tentang permasalahan Islam, maka Penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang pemikiran atau ide pluralisme keagamaan yang terkait erat dengan hubungan antar agama dan negara.

Untuk lebih fokusnya kajian ini, Penulis mengambil pemikiran dari salah seorang tokoh Islam yang pernah menjadi pemimpin salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama) yaitu Hasyim Muzadi. Kajian tentang pluralisme agama Hasyim Muzadi ini didasari oleh kenyataan bahwa menurut Penulis selama ini, belum ada karya-karya yang berisi pemikiran utuh dari Hasyim Muzadi terkait dengan pemikiran pluralismenya. Kalaupun ada, hal ini hanya berupa pernyataan-pernyataan Hasyim Muzadi yang tersebar di media

6

Pada tanggal 9 November 2004, Hasyim Muzadi beserta Din Syamsuddin mengundang ulama-ulama Sunni-Syiah seluruh dunia yang terdiri dari 84 negara untuk menyerukan sikap toleransi dan persatuan di dunia Islam di Bogor, Jawa Barat.

7

Surahman Hidayat, Islam Pluralisme Dan Perdamaian (Jakarta: Robbani Press, 2008), h. 53.


(16)

massa maupun media elektronik, dan juga dari beberapa buku dari para penulis yang mengungkap sebagian pemikiran atau sosok Hasyim Muzadi.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka perlu Penulis tegaskan bahwa batasan dan rumusan dari permasalahan ini yaitu :

1. Bagaimana pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme agama?

2. Bagaimana bentuk hubungan agama dan negara menurut Hasyim Muzadi?

Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.

C. Tujuan dan Manfaat

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu ada tujuan dan manfaat yang lain yaitu : 1. Tujuan :

a. Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tajam tentang karakteristik

pemikiran Hasyim Muzadi mengenai wacana pluralisme keagamaan, serta hubungan Islam dan negara.

b. Mengidentifikasi asal-usul gagasan beliau, baik itu berlatar belakang sosial, pendidikan ataupun politik.

c. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi gagasan tersebut


(17)

2. Manfaat :

a. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan

terhadap karakteristik pemikiran Hasyim Muzadi.

b. Bagi dunia ilmu pengetahuan, akan memberi tambahan khazanah baru

dalam pemikiran yang terkait dengan wacana diatas.

c. Bagi umat Islam pada umumnya, dan umat Islam Indonesia pada khususnya,

diharapkan akan memiliki persepsi yang benar mengenai Islam Indonesia sehingga tidak terjebak pada pemahaman tunggal yang menyebabkan fanatisme keagamaan yang berlebihan dan kontra-produktif.

D. Tinjauan Pustaka

Kajian tentang pluralisme serta hubungan agama dan negara dalam literatur Indonesia cukup banyak, dan memang di era sekarang kajian tersebut seperti menemukan zaman keemasannya karena didukung oleh kondisi sosio-kultural yang memang memungkinkan wacana tersebut berkembang, apalagi kondisi Indonesia yang memang plural, baik dalam hal suku bangsa, ras, maupun agama.

Sedangkan pembahasan tentang pluarlisme sendiri telah banyak dilakukan oleh para penulis baik dalam maupun luar negeri. Karya terakhir dalam rentang penulisan skripsi ini adalah tentang pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pluralisme dan humanisme yang ditulis oleh Saiful Ma’arif, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(18)

Menurut penulis, kajian tentang pemikiran Hasyim Muzadi sendiri belum ada yang tulis dalam bentuk skripsi, kecuali buku-buku yang telah banyak beredar walaupun tidak secara spesifik membahas tentang pluralisme Hasyim Muzadi. Buku-buku karya Hasyim kebanyakan membahas tentang bagaimana pandangan Islam mengenai globalisasi dan terorisme.

Disamping itu, dalam banyak studi dan penerbitan yang ada, pembahasan Hasyim Muzadi lebih sering ditujukan pada persoalan politik. Padahal sebagaimana yang diharapkan terdapat dalam skripsi ini, Hasyim Muzadi memiliki ide sentral pluralisme yang mewarnai banyak pemikiran-pemikirannya. Dengan latar belakang bahwa penulisan tentang ide pluralisme Hasyim Muzadi belum banyak dilakukan, skripsi ini mencoba mengangkat tema tersebut dan mengaitkannya dengan kehidupan beragama dan sosial budaya di Indonesia.

E. Metode Penelitian

Dalam bahasan terkait dengan penelitian ini, perlu penulis paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannya dan analisa data.

1. Jenis penelitian.

Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut.

Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.


(19)

2. Sifat Penelitian.

Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih kepada teknik deskriptif-analisis. Yang dimaksud dengan deskriptif dalam konteks ini adalah menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini ialah karakter dari Hasyim Muzadi dan fenomena yang mempengaruhi pemikirannya. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan beliau, dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada aliran pemikiran Islam kontemporer yakni

modernis dan neo-modernis yang penulis anggap sebagai representasi dari beliau.

3. Tehnik Pengumpulan Data.

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu : data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari beliau baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan beliau dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.

4. Pendekatan.

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siyasah.


(20)

Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya. Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran Hasyim Muzadi akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran beliau dalam masalah ini.

F. Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan ini penulis membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan yang terakhir sistematika pembahasan.

Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi pluralisme agama, relasi agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Yang dalam pembahasannya kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada tokoh yang dikaji.

Bab ketiga memaparkan biografi Hasyim Muzadi. Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik beliau dalam menggagas pluralism agama serta relasi Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi negara yang beliau perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim yang peduli terhadap bangsa.

Bab keempat menganalisa pemikiran beliau tentang relasi Pluralisme agama, hubungan Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi


(21)

pancasila. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan implikasi gagasan beliau terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi saat ini.

Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran Hasyim Muzadi tentang pluralisme agama serta hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penulis atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.


(22)

BAB II

NEGARA DAN PLURALISME

A.Pengertian Negara

Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain. 8

Istilah negara di terjemahkan dari kata-kata asing yaitu “steat” (bahasa Belanda dan Jerman). “state” (Bahasa Inggris. “Etat” (bahasa Perancis). Kata “Staat, State, etat itu diambil dari kata bahasa latin yaitu “status” atau statum” yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifata yang tegak dan tetap. Kata “status” atau “statum” lazim diartikan sebagai “standing” atau “station” (kedudukan) yang dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup manusia sebagaiman diartikan dalam istilah “Status Civitatis” atau “Status Republicae”. 9

Sejak kata “negara” diterima secara umum sebagai pengertian yang menunjukkan organisasi teritorial suatu bangsa yang memiliki kedaulatan. Negara pun mengalami berbagai pemahaman tentang hakikat dirinya. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan Politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan masyarakat dan menertibkan gejala-gejala

8

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia PustakaUtama, 2008), h. 51

9


(23)

kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu dan golongan atau asosiasi maupun oleh negara sendiri.10

Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para Ahli :

a. Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.

b. Georg Jellinek : Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.

c. Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama. Negara mempunya dua tugas yaitu :

1. Mengendalikan dan menatur gejala-gejalah kekuasaan yang asosial.

Yakni yang bertentangan satu-sama lain. Supaya tidak anatagonistik yang membahayakan.

2. Mengorganisasikan dan mengintergrasikan kegiatan manusia dan

golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya.11

10

Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, h. 82 11


(24)

B.Pengertian Pluralisme

Pluralisme terdiri dari dua suku kata yaitu Plural yang berarti jamak; lebih dari satu,12 dan isme sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme berarti keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).13 Dalam tulisan ini, penulis akan lebih mengkonsentrasikan pembahasan pada pluralisme agama.

Dalam wacana pemikiran Islam, pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam terutama sejak era reformasi gereja yang terjadi pada abad ke-15 yang berpengaruh besar terhadap perubahan dalam aspek sosial, budaya, dan terutama pemikiran. Di sisi lain, Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas pada saat ini di dalam maupun di luar Arab. Menurut Asghar Ali, pada dasarnya tujuan Pluralisme adalah

persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan

(equality), dan keadialan sosial (sosial justice).14

Dalam kaitannya dengan pluralisme, Islam sangat menekankan pada dua aspek dasar, yaitu :

1. Kesatuan manusia (unityofmankind).

2. Keadilan di semua aspek kehidupan.15

Keadilan ini tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada mereka

untuk menjadi pemimpin.16 Menurut pendapat Muhammad Quttub, Islam

12

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Jakarta, Balai Pustaka, 1994), h. 883.

13

Ibid., h. 884 14

Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 33.

` 15Ibid., h. 34. 16


(25)

memberikan hak-hak yang penting terhadap semua orang tanpa perbedaan apapun. Islam menyatukan semua jenis karena pada hakikatnya mereka sama-sama manusia dan juga menjamin kebebasan mutlak untuk memilih agama di

bawah penjagaan dan perlindungannya. 17

Pada dasarnya manusia diciptakan berbeda-beda. Allah menjelaskan

bahwa dengan perbedaan itu manusia dituntut untuk saling mengenal, lita

arofu.18 Namun ketika seseorang memahami sebagai kebenaran mutlak yang ia yakini, orang itu kerap kali terjebak dalam pandangan yang mengarah pada konflik, pertikaian antara seorang muslim dan non-muslim atau mungkin diantara sesama Muslim yang berbeda faham. Bagaimana menjembatani perbedaan-perbedaan ini sehingga memungkinkan terwujudnya perdamaian?

Hal itu menurut Khamami Zada, sangat terkait dengan bagaimana seseorang memahami agama lain sebagai sesuatu yang mempunyai jalan tersendiri. Allah telah menyebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 48, likullin ja’alna minkum siratan wa minhaja’, (untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang) dalam setiap agama itu ada syari’atnya sendiri, jalannya sendiri, yang memiliki kebenarannya masing-masing. Tanpa memahami kebenaran mutlak di masing-masing agama, kita akan sulit menemukan perdamaian diantara agama-agama itu sendiri. Disinilah kekurangan

umat Islam ketika memahami agama lain sebagai sesuatu yang lain, ‘ the others’.

Agama lain harus dipahami sebagai suatu realitas yang ada dimasyarakat.19

17

Muhammad Quttub, Islam Agama Pembebas, fungky kusnaedi timur (terj) (Yogyakarta Mittra Pustaka, 2001), h. 368.

18

Baca QS. Al-Hujurrat (49) : 13 19

Ahmad Baso, Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dll., Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realiatas (Jakarta: Air Langga, 2003), h. 73-74


(26)

Islam sebaiknya tidak sekedar didakwahkan dalam perspektif yang lahiriyah, persoalan-persoalan keakhiratan yang melupakan dimensi sosial. Kalau Islam didakwahkan secara inklusif, dan bisa memahami agama-agama lain sebagai suatu realitas kebenaran tersendiri, maka Islam akan benar-benar menjadi agama rahmatan lil ’alamain.20

Oleh karena itu, Budhi Munawar-Rahman, menjadi penting untuk disadari adalah memposisikan fungsi kritis terhadap agama yang harus dilakukan dengan menjauhi sikap-sikap yang bersifat totaliter.21 Disamping itu agamapun dituntut untuk mangadakan kritik terhadap dirinya sendiri, karena keberadaan agama telah mendasarkan diri pada iman kepada Tuhan “pencipta manusia” bukan Tuhan “ciptaan manusia”.22 Agama juga tidak bisa apolitis dalam pengertian hanya membatasi diri pada masalah ritualistik dan moralitas dalam kerangka ketaatan individu kepada Tuhannya, tetapi perlu terlibat kedalam proses transformasi sosial.23

Abdul Wahid Hamid mengatakan, suatu ciri khas ajaran Islam adalah keyakinan bahwa agama Islam itu suatu cara hidup yang lengkap dan menyeluruh. Agama yang mempunyai hubungan integral dan organik dengan politik dan masyarakat. Ideal Islam itu terbayang dalam perkembangan hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.24 Sebagai ajaran yang benar,

20

Ibid., h. 75. 21

Budhi Munawar-Rahman, Islam pluralisme (Jakarta:Paramadina,2001), hlm.363

22

Ibid., h. 363-364. 23

Ibid., h. 370 24

Jhon L Esposito (ed.), Identitas Islam, A. Rahman Zainuddin (terj.), (Jakarta: bulan bintang, 1986), h. 3.


(27)

Islam pada dasarnya bisa diterapkan disepanjang masa dan dimanapun (shalihun li kulli zaman wa makam).25

Dalam tiap langkahnya, seorang muslim akan selalu berhadapan dengan Tuhan yang terepresentasikan melalui syari’atnya. Disini tanggung jawab individu menjadi jelas, karena kehadiran Tuhan dalam perasaan manusia saja sudah cukup membuat setiap manusia benar-benar sadar akan kewajibannya, demikian menurut pendapat Khurshid Ahamad.26 Mengutif pernyataan Fazrul Rahman, kenyataan yang peling mendasar tentang Islam dalam abad sekarang ini adalah kemerdekaan dari kekuasaan asing yang dicapai oleh rakyat-rakyat Muslim diberbagai negri

mereka.27 Dengan mengacu pada kenyataan seperti itu, maka Islam telah

memainkan peran yang menentukan dan dominan.

Menurut Anis Malik Toha gagasan plurarisme agama dalam wancana pemikiran Islam baru muncul pada masa-masa Perang Dunia II, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya barat. Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wawancara pemikiran Islam, antara lain melalui karya-karya pemikiran mistik barat seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Zaeni) dan Frithjob Schuon (Isa Nurdin Ahmad). Karya-karya

mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of

Religion, sangat syarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama.28 Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh muslim syiah moderat, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan “Islam tradisional”. Keberhasilannya dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama tersebut mengantarkannya pada sebuah posisi ilmuan kaliber dunia yang sangat bergengsi selevel nama besar seperti Ninian Semart, John Hick, Annemarie Schimmel. Nasr mencoba menuangkan tesisnya pada

25

Abdul Wahid Hamid, Islam Cara Hidup Alamiah, Arif Rahmat (terj.), (Yogyakarta: Lazuardi, 2001), h. 301

26

Khurshid Ahmad, Pesan Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1983), h. 121.

27

Fazlur Rahman, Islam, Ahsin Muhammad (terj.), (Bandung: Pustaka, 1984), h. 365. 28

Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task= view&id=1406&Itemid=0


(28)

pluralisme agama dalam kemasan sophia perenis atau perenial wisdom

(al-hikmat al-khalidah, atau kebenaran abadi), yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal (metaphysical unity) yang tersembunyi dibalik ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah

dikenal manusia semenjak Adam ‘alaihis-salam. Menurut Nasr, memeluk

atau menyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sumgguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi. Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada simbol-simbol dan kulit luar. Inti dari agama yang satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya. Demikian penuturan Anis Malik Toha.29

Hamdi Fahmy mengatakan, pluralisme sebagai paham yang merambah dalam bidang agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama yaitu aliran kesatuan transenden agama-agama (transcenden unity of religion) dan teologi global. Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung grakan globalisasi. Pendekatan yang dipakai oleh aliran teologi global terhadap agama-agama lebih bersifat sosiologis, kultural dan idiologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Idiologis sebab ia telah mejadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi barat. Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan barat seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme.30

Menurut Amin Abdullah, dalam konteks keIndonesiaan terlepas dari sejarah besar pluralisme. Kerukunan antar umat beragama sangat penting dan sangat dibutuhkan bagi bangsa yang majemuk dalam hal agama seperti halnya di Indonesia. Keanekaragaman (pluralisme) agama yang hidup di Indonesia termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh intern umat beragama adalah merupakan kenyataan historis.31 Jika toleransi dalam beragama tidak ditegakkan, maka negara atau bangsa tersebut akan menghadapi berbagai konflik antar pemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan

29

Diakses dari tulisan Anis Malik Toha, http://www.hidayatulloh.comcontent&task =view&id =1406&Itemid=0

30

Ditulis oleh Hamdi Fahmy, diakses dari http://www.insistnet.com/content/view/25/34/, 31

Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999), h. 5.


(29)

disintegrasi. Untuk memberi perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar umat beragama, harus diupayakan untuk memahami masalah yang sebenarnya dan dapat menemukan cara untuk menciptakan kerukunan itu (jika belum ada), atau menumbuhkan serta mengembangkan (jika telah ada). Ada beberapa ayat yang secara tegas mengatur pluralisme agama yang menyebutkannya dengan jelas. Selain ayat dalam Qu’an surat al-Kafirun, ada satu ayat lagi yang tegas-tegas menyatakan bahwa agama tidak bisa dipaksakan kepada seseorang, yaitu al-Baqarah: 256 yang

artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).

Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.

Ayat di atas sebenarnya mengajarkan bahwa Allah telah menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih tegasnya mana agama yang benar dan mana agama yang tidak benar (yang dalam al-Qur’an disebut ajaran thagut). Sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam konteks dunia modern, ini berarti Islam harus membebaskan manusia dari kungkungan aliran pikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak

mempunyai kemerdekaan, demikian menurut Kuntowijoyo.32 Dengan visi teologis

semacam itu, islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat untuk mengisi

kehampaan spiritual yamg merupakan produk dunia modern.33

Dari kacamata Islam, kemajemukan adalah sunnatullah (hukum alam). Masyarakat yang majemuk ini tentu saja memiliki budaya dan aspirasi yang beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok sosial dengan lainnya. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Namun kadang-kadang perbedaan ini menimbulkan konflik di antara

32

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1993), h. 164.

33


(30)

mereka. Maka sebuah upaya untuk mengatasi permasalahan ini dimunculkan

konsep atau paham kemajemukan (pluralisme).34

Untuk mewujudkan dan mendukung pluralisme tersebut, diperlukan adanya toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat yang berbudaya kini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial, namun dalam kenyataannya, permasalahan toleransi ini masih sering muncul dalam suatu masyarakat. 35 salah satu wujud nyata dari sikap toleran adalah adanya dialog-dialog yang berfungsi menjembatani sekian kebuntuan yang ada. Dengan menilik kasus kartunisasi Nabi Muhammad oleh Jyllands Posten salah satu koran di Denmark beberapa waktu yang lalu, kasus Salman Rusdie di Inggris (1969), Ishioma Daniel di Nigeria (2002), dan Theo Van Gogh di Belanda (2004), meski dalam konteks yang berbeda, namun menyisakan persoalan serius dan kompleks dalam kaitannya dengan komunitas ditingkat regional maupun global. Di antara persoalan yang belum serius didialogkan menurut Muhammad Ali adalah ketegangan antara kebebasan ekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama atau ideologi tertentu, hubungan antara hukum dari sebuah negara dan kebebasan pers, hubungan antara berbagai etika dunia, maka kebebasan itu sendiri dalam hukum internasional,

antara hukum-hukum adat atau budaya kawasan dan peradaban, dan sebagainya.36

Dialog antar pemeluk agama dan dialog antar kawasan seperti disinggung

Ali harus didukung. Ini penting karena masih berkembangnya ignorance

(ketidaktahuan) dalam bentuk penghubung intrinsik antara islam dan terorisme, Islamophobia, xenophobia, dan semacamnya. Dipihak lain dikalangan umat Islam,

34

Nur Ahmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: kompas, 2001), h. 11-12.

35

Ibid, h. 21 36

Muhammad Ali, dari http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar-agama.html.


(31)

masih ada tindakan emosional anarkis mengusir atau membunuh orang asing yang tidak ada sangkut pautnya, ekstrimisme radikal dan kebencian terhadap bangsa dan budaya asing (xenophobia). Reaksi-reaksi emosional dan ekstrim menunjukkan kurangnya pemahaman akan sejarah peradaban bangsa lain. Salah satu ketidak tahuan disebagian media masa barat adalah memposisikan tokoh nabi seperti tokoh-tokoh politik lainnya. Seorang muslim mungkin tidak cukup religius dalam beribadah, tapi jika nabi mereka disinggung rasa panatisme keagamaannya, mereka sangat tinggi. Di Indonesia misalnya, tradisi pembacaan barzanji sangat populer yang memuat puji-pujian terhadap Nabi (bahkan di Cikoang Sulawesi Selatan acara maulud memperingati kelahiran) Nabi Muhammad menjadi paling meriah sepanjang tahun, meskipun mereka kurang memperhatikan ibadah. Di kalangan umat Islam kecintaan umat nabi ini ada yang berlebihan, ada yang moderat, ada yang tidak terlalu peduli, dan bentuknya juga bermacam-macam sesuai pemahaman keagamaan dan tradisi masing-masing. Hal-hal semacam ini kurang atau tidak dipahami sebagian masyarakat Barat yang menganggap biasa

membuat kartun.37

Dipihak lain menurut Muhammad Ali lagi, umat Islam juga perlu memahami konteks tradisi Barat yang sebetulnya sangat majemuk termasuk dalam memaknai kebebasan berekspresi. Misalnya, dimuseum-museum di Eropa, banyak sekali patung-patung dan lukisan-lukisan telanjang, karena mengandung nilai seni yang tinggi dan dihargai masyarakat. Masyarakat Barat juga menjunjung nilai-nilai etika kemanusian yang tidak selalu berseberangan dengan etika dikawasan lain. Karena itulah, dialog, antar budaya sungguh penting, untuk memahami

37


(32)

sejarah dan tradisi masing-masing dan untuk kemudian saling menghargainya hubungan antara seni, kebebasan, tradisi, dan keyakinan agama inilah salah satu persoalan yang harus didialogkan.38

Disamping itu juga dalam kenyataanya, sikap-sikap tidak toleran itu tidak semata-mata disebabkan oleh faktor internal masing-masing kelompok, tetapi sering juga disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya karena kebijakan politik pemerintah tertentu atau kekuasaan politik global dan kekuatan dunia tertentu.39 Dalam dunia ilmu pengetahuan istilah pluralisme sekarang ini dikembangkan secara luas oleh para ilmuan sosial. Pada level yang minimal istilah ini semata-mata mengacu kepada heterogenitas. Di kalangan para ilmuan politik, antropolog, sosiolog politik, misalnya, terjadi perselisihan apakah prulalisme itu menghambat atau melindungi pemerintah demokratik. Menurut Philip E. Hammond, para teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia menyediakan beragam saluran bagi pemegang kekuasaan atau menyediakan tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau kelompok dari pada faksi-faksi politik yang saling bersaing.40

Namun dialog yang disusul oleh toleransi tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antar umat beragama yang langgeng. Secara

38

Ibid., h. 6 39

Nur Ahmad, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, h. 13. 40

Robert N. Bellah dan Philip E. Hammon, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, imam khoeri, dkk (tej), (yogyakarta: ircisod: 2003), h. 212


(33)

garis besar pengertian konsep pluralisme meminjam definisi yang dikemukakan oleh Alwi Shihab dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai dimana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat orang bekerja. Tetapi seseorang dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna terciptanya kerukunan, dalam kebhinekaan.41

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan disuatu lokasi. Sebagi contoh adalah kota New York. Kota ini adalak kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar

penduduk ini, khususnya dibidang agama, sangat minimal, kalaupun ada.42

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya.

41

Alwi shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1999), h. 41. 42


(34)

Sebagai contoh, “kepercayaan/kebenaran” yang diyakini oleh bangsa Eropa bahwa “Colombus menemukan Amerika” adalah sama benarnya dengan “kepercayaan/kebenaran” penduduk asli benua tersebut yang menyatakan “Colombus mencaplok Amerika”.

Sebagai konsekwensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama, walaupu berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetapi harus diterima. Suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.43 Namun yang menjadi persoalan adalah manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, dan ketika dalam sosial praksis akan menimbulkan dampak pada perubahan sosial.

Teggart menegaskan perubahan sosial muncul dari perbenturan berbagai kelompok dari habitat yang berbeda-beda dan oleh karenanya memiliki sistem ide yang berbeda. Jika Teggart mengasumsikan bahwa sejarah manusia hanya merekam sejumlah kecil situasi pluralistik yang stabil (yakni, sebuah habitat dengan beragam sistem ide), maka dia sangat mungkin benar.44

Menurut Ignas Kleden, dikotomi yang dibuat oleh sementara psikologi agama, antara agama sebagi agama, dan agama sebagai yang dihayati dalam kesadaran para penganutnya, barangkali tidak akan diperhatikan dalam tulisan ini. Sebab bagaiman pun agama sebagai suatu entitas abstrak yang dilepaskan sama sekali dari kenyataan bagaiman dia dihayati adalah sangat sulit dibayangkan. Sedangkan, bila agama dilihat sebagai suatu realitas manusiawi yang muncul sebagai akibat pergulatan manusia dengan seluruh lingkungannya yang berarti

43

Ibid., h. 42. 44


(35)

bahwa agama adalah suatu hasil kebudayaan juga, maka pengandaian suatu agama sebagai entitas abstrak, adalah suatu pengandaian yang secara metodologis tidak berguna. Dengan itu mau dikatakan bahwa filsafat yang melihat agama secara ontologis tidak akan banyak membantu mencari kemungkinan dialog antar agama. Sebab, ontologi lebih berhubungan dengan substansi, unsur yang berdiri sendiri, yang berbeda dan tak tergantung kepada unsur lain, yang menyebabkan sesuatu itu ada dasar dirinya. Ontologi justru mengandaikan dan menekankan distansi dan esensi yang mutlak dan karena itu ontologi merupakan otonomi yang tertutup.45

Sebaliknya agamapun tidak diidentikkan dengan batas-batas psikologis yang sering justru hendak diterobos oleh tuntutan dan harapan keagamaan. Dua reserve disini untuk menghindari terjebaknya agama kedalam kemungkinan

Psychologisierung der Religion. Yang Pertama adalah unsur supranatural, merupakan elemen trensenden dalam tiap agama yang menyebabkan bahwa agama tidak mutlak membutuhkan suatu stratum psikologis sebagai conditio sin qua non untuk tumbuh dan berkembang dalam penghayatan para penganutnya. Misalnya beberapa eksperimen studi psikiatri terhadap kehidupan rohani beberapa orang kudus, sama sekali tidak menggoncangkan alasan untuk tetap mengakui kekudusan mereka. Demikian pula seandainya ada pertemuan-pertemuan empiris yang bisa menunjuk indikasi-indikasi kuat tentang adanya psikose tertentu yang mereka derita dan alami selama hidupnya. Yang kedua adalah, bahwa hukum-hukum psikologis tidak selalu merupakan batas-batas yang harus diterima oleh suatu agama. Agama dan tuntunannya sering malah berusaha keluar dari siklisme psikologis semacam itu. Demikian, maka tidak berarti bahwa agama selalu

45

Ignas Kleden, “ Dialog Antar Agama-Agama: Kemungkinan dan Batas-batasannya. Dalam Kumpulan Tulisan Agma dan Tantangan Jaman, (Jakata:LP3ES, 1985), h. 153.


(36)

bersifat menentang kecenderungan-kecenderungan manusiawi. Namun mungkin bahwa apa yang dicita-citakan suatu agama mengisyartatkan pula pengakuan akan terbatasnya kemampuan manusia dalam mengindentifikasikan dirinya sendiri, dan di depan suatu realitas dan aktifitas ilahi, manusia justru ditantang untuk mengatasi ikatan-ikatan dari dunianya, batas-batas psikologisnya dan persyaratan-persyaratan imanensinya.46

Harus dicatat bahwa meningkatnya kecerdasan manusia menyebabkan ia mencari sendiri kebenaran primer yang belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan. Di sisi lain, menyebar luaskan agama, propaganda (dalam arti netral), atau evanggeli merupakan persoalan manusia dalam hidupnya yang telah berjalan sekurang-kurangya 25 abad. Ada agama yang non-evanggelis, seperti Yahudi yang justru bersikap ekslusif dan tidak dengan aktif menyebar-luaskan agamanya.47

Amin Abdullah menyatakan, dapat dibayangkan bagaimana kulaitas tingkat kenyamanan, ketenangan, kedamaian suatu masyarakat beragama yang bersifat pluralistik, jika masing-masing secara sepihak dan tertutup mengklaim bahwa tradisi agamanya sendirilah yang paling sempurna dan benar. Dan jika klaim itu merambah ke wilayah historis-ekonomis-sosiologis, maka kedamaian yang diserukan dan didambakan oleh ajaran agama-agama akan terkikis dengan sendirinya dalam kenyataan hidup keseharian. Meskipun secara ontologis-metafisis, klaim seperti itu memang dapat dimengerti, namun belum tentu dapat dibenarkan, karena memang itulah salah satu inti keberagamaan yang sebenarnya.

Artinya, bahwa hard core dari pada pandangan hidup agama-agama yang

46

Ibid,. h. 154-155 47

Abdurrahman, dkk, (ed.), 70 tahun H. Mukti Ali Agama dan Masyarakat (Yogyakarta Sunan Kalijaga Press, 1993 ), h. 169.


(37)

beraneka ragam memang berbeda. Sedangkan hard core keberagamaan hanya dapat dinikmati secara historis, lewat sekat-sekat teologis yang ada.48

Perubahan sosial dalam Islam, hendaknya dilihat dari segi agama dan perubahan yang lebih luas. Manusia telah dikaruniai dengan kesadaran diri, intelek, dan imajinasi. Kecakapan-kecakapan inilah yang membedakannya dengan alam semesta lainnya, selain merupakan kenyataan bahwa dirinya juga merupakan bagian dari dirinya. Menurut John L. Eposito, agama adalah suatu sistem kepercayaan yang menempatkan dirinya (sebagi alat bantu bagi manusia) dalam upaya menghadapi kesulitan tersebut, serta kemudian menjadikan manusia agar betah di dalamnya.49 Quraish Shihab mengatakan, pada hakikatnya, khususnya

dalam kehidupan bermasyarakat dimana perbedaan-perbedaan sangat

dimungkinkan, Islam lebih mementingkan isi dan makna dibandingkan dengan bentuk-bentuk.50

Diakui bahwa, dalam sejarah agama-agama, telah terjadi pertikaian antara pemeluk agama yang sama atau antar pemeluk berbagai agama. Namun, pertikaian tersebut lebih banyak disebabkan oleh kepentingan-kepentingan non agama. Dapatkah umat masa kini menemukan pandangan dan jalan yang telah ditempuh oleh generasi terdahulu yang hidup berdampingan dan harmonis?. Kalau jalan tersebut tidak dapat ditemukan oleh pimpinan-pimpinan agama-agama sendiri, maka ketika itu mereka harus membenarkan pandangan yang menyatakan bahwa ada krisis agama. Karena dengan demikian, agama telah menjadi sumber

48

M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas. h. 14-15. 49

John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan, Bakri Siregar (terj.), (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 293.

50


(38)

keresahan pemeluknya dan tidak heran bila agama hanya akan tinggal sebagai kenangan buruk sejarah.51

Diskursus mengenai agama sangat sarat dengan muatan emosi, kecenderungan dan subyektifitas individu. Agama memiliki ajaran yang sangat ideal dan cita-citanya sangat tinggi, bagi pemeluk fanatiknya, ia merupakan “benda” yang suci, sakral, angker, dan keramat. Ia selalu menawarkan jampi-jampi keselamatan, kebahagiaan, dan keadilan. Namun kenyataan berbicara lain, agama tak jarang justru melahirkan permusuhan dan pertengkaran. Menurut Ahmad Najib Burhani, fenomena ini dilatari oleh: pertama, pendewaan agama. Manusia sering terjerumus untuk mendewakan agama, istilah-istilah agama dan pemuka agama. Tuhan beserta segala sifat yang menyelimuti-Nya berulang kali hilang dari ingatan. Prinsip-prinsip agama dan ajaran sucinya juga mengalmi nasib yang sama, mereka nyaris habis terpangkas dan tinggal jargon-jargon yang tidak mempunyai nyali. Di sini agama bukan lagi sebagai amalan, namun ia berubah fungsi menjadi semisal markas jaringan “mafia”, sehingga tidaklah heran bila kemudian muncul “manipulasi agama” dan “korupsi agama”.

Kedua, pengkelasan dalam berakhlak. Umat beragama sering terjebak untuk lebih dekat kepada saudara-saudara “seagama” (in group feeling) dan menomorduakan persahabatan dengan rekan dari agama lain. Hal ini membuahkan sikap yang kurang obyektif dalam memandang apa yang ada di luar diri sendiri. Misalnya sebagimana yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman

dalam Islam Transpormatif, kendati keadilan sosial merupakan sendi utama

51


(39)

agama, namun jika keadilan sosial tidak menimpa “kita” atau saudara “kita”, maka “kita” kurang menaruh perhatian.

Ketiga, monopoli kebenaran. Banyak agama atau bahkan seluruh agama yang mengajarkan kebenaran absolut bagi pemeluknya. Merupakan suatu kewajiban dan memang sepantasnya memberikan doktrin-doktrin keabsolutan kebenaran agama. Namun kewajaran itu akan berubah menjadi ketidakwajaran bila tanpa diiringi dengan anjuran penelitian dan pencarian argumen logis atas doktrin orang lain. Lebih-lebih bila pemberian doktrin tersebut dibarengi dengan penularan anggapan bahwa doktrin-doktrinnyalah yang benar, sementara yang lain salah total. Dan akan semakin tragis apabila fenomena itu diiringi dengan pelecehan agama lain.52

Dengan menggali ajaran-ajaran agama, meninggalkan fanatisme buta, serta berpijak pada kenyataan menurut Qurais Shihab, jalan akan dapat dirumuskan. Bukankah agama-agama monoteisme dengan sejarah ketuhanan Yang Maha Esa, pada hakikatnya menganut universalisme. Tuhan Yang Maha Esa itulah yang menciptakan seluruh manusia, seluruh manusia bersumber dari satu keturunan, betapapun berbeda agama, bangsa atau warna kulit. Demikian ditegaskannya pula.53

Menurut Ahmad Najib Burhani, teosentrisme atau wacana agama tentang Tuhan hanya akan bermanfaat apabila sekaligus menjunjung tinggi tinggi martabat manusia. Harmoni pada tingkat esoteris hanya akan menjadi perbincangan verbal saja apabila tidak ada keterlibatan dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat global. Mengiyakan Tuhan tidak

52

Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin

Yang Membantu, (Jakarta: Kompas, 2001), h. 3-4. 53


(40)

berarti menyangkal manusia dan sebaliknya. Meski respon iman dialamatkan pada Tuahan, tetapi komitmen dan respon ini tidak diperintahkan diaktualisasikan dalam hubungan sesama makhluk. Bahwa bertuhan justru dipihak segenap manusia, bukan hanya manusia anggota agamanya saja. Setelah menjawab sapaan Tuhan, manusia harus ketahapan praktis melayani manusia sebagai hamba Tuhan. Maka disarankan, keberagamaan perlu lebih humanistik-uneversal.54

Teologi harus lebih concern pada persoalan lingkungan hidup, tertib

sosial, dan masa depan kemanusiaan. Agama hanya cradible apabila dapat

menolak segala sikap yang bernapaskan kebencian, balas dendam, kepicikan, pembunuhan dan pemaksaan serta mengembangkan sikap kebaikan hati, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan suku, budaya, ras, gender, dan agama, keadilan, kebebasan, rasionalitas, kejujuran dan keterbukaan.55

Sebaliknya masyarakat yang hendak diatur oleh agama senantiasa mengalami perubahan dan oleh karena itu bersifat dinamis. Dalam ilmu semantika disebutkan bahwa bahasa suatu bangsa tiap seratus tahun mengalami perubahan

dan perubahan dalam bahasa menggambarkan perubahan dalam masyarakat.56

Pluralisme agama dan multikulturalisme tidak hanya dalam suatu negara, tetapi antar kawasan dan tingkat global, dalam arti menghormati perbedaan persepsi dan keyakinan agama dan tradisi. Sebuah kepekaan pluralis-multikulturalis, harus dikembangkan tidak hanya dikalangan umat Islam, tapi juga menyangkut umat-umat antar agama dan persoalan-persoalan non-agama.

54

Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin

Yang Membantu, h. 14-15. 55

Ibid., h. 16 56

Abdul nasir Solissa (ed.), Al qur’an dan Pembinaan Budaya, (Yogyakarta:LESFI, 1983), h. 15.


(41)

C.Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme

Menurut Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, para teoritisi juga berbeda dalam memahami bagaimana pluralisme bekerja, apakah ia menyediakan tempat perlabuhan kelompok bagi individu yang teralienasi. Di samping itu juga ada sebuah penegasan bahwa pluralisme memungkinkan bagi keanggotaan kelompok yang bermacam-macam bahkan saling berlawanan, sehingga menjadikan konflik politik lebih sering terjadi pada tataran individu atau kelompok.57 Di ungkapkan oleh Abdurrahman Wahid bahwa, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar.58

Dalam kaitannya dengan bergulirnya arus globalisasi yang merambah dalam seluruh sistem termasuk dalam agama Islam itu sendiri menurut Jhon L. Esposito, akan melahirkan lapangan pengetahuan baru. Akan tetapi, studi tentang modernisasi di dalam Islam sering memuat dikotomi yang tidak bertanggung jawab: tradisi lawan perubahan, fundamentalisme lawan modernisme, stagnasi lawan progres. Bagi kebanyakan analis pihak Barat maupun pihak skularis muslim, Islam itu merupakan rintangan besar bagi perubahan politik dan sosial yang berarti dalam dunia Islam. Bagi pihak aktivis Islam, dan para mukmin lainnya, Islam itu secara abadi tetap serasi dan berlaku.59 Sebagi suatu sistem nilai, Islam tentu saja tidak bisa merestui suatu masyarakat yang bersifat laissez-faire. Ditegaskan oleh Fazlurrahman, dipihak lain, Islam mengetahui dengan baik bahwa pemaksaan tidak akan membuahkan hasil, bahkan tidak akan bisa bekerja.60

57

Robbert N Bellah dan Phillip E. Hammond, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, h. 212.

58

Budhi Munawar Rachman, (ed.), Kontekstualisasi Diktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina), h. 546

59

Jhon L. Esposito, Islam Dan Politik, H.M Joesoef Sou’yb (terj), (Jakarta:Bulan Bintang, 1990), h. 298.

60

Fazlurrahman, Islam Dan Modernitas, Akhsim Muhammad (terj), (Bandung: Pustaka: 1985), h. 192


(42)

Indonesia sebagi bangsa yang majemuk, kaya akan khazanah sosial, kebudayaan menyimpan potensi lebih. Sebuah kesepakatan umat Islam untuk hidup dalam sebuah negara yang tidak akan pernah didasarkan pada pengakuan formal atas Islam sebagai yang ‘terbaik’ secara objektif atau pelayanan pemerintah yang terlalu berlebihan dari pada agama-agama lain.61

Bagi masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi pembangunan dalam segala bidang, mewujudkan toleransi itu mendesak dengan banyak memberikan penjelasan akan ajaran-ajaran agama yang menekankan toleransi. Dengan begitu jiwa toleransi beragama dapat dipupuk dikalangan pemeluk masing-masing agama.62 Terlebih masing-masing agama memiliki identitas sebagi simbol dan pesan agama tidaklah secara seimbang ditangkap dan ditafsirkan oleh berbagai lapisan sosial. Demikian dinyatakan Taufiq Abdullah.63

Jiwa toleransi beragama dapat dipupuk melalui usaha-usaha berikut:

1. Mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama lain.

2. Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama.

3. Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-agama.

4. Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan.

5. Mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada

toleransi beragama.

61

Greg Fealy, Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, Ahmad Suaedy, A. Made Tonny Supriatna, Amiruddin Ar-Rany, dkk. (terj), (Yogyakarta: LKIS, 1997), h.204

62

Syaiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 275

63


(43)

6. Menjauhi praktik serang-menyerang antar agama. Mungkin hal-hal ini dapat mengubah ketegangan hidup beragama yang dirasakan ada dalam masyarakat kita sekarang.64

Dengan upaya menjunjung tinggi nilai dan semangat pluralitas tersebut, maka diharapkan suatu bangsa dapat membangun peradaban yang besar. Oleh karena itu, penulis sepakat dengan pendapat Fazlur Rahman bahwa, setiap peradaban besar mengembangkan beberapa ciri khas yang tersembunyi dibalik ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khas yang tersembunyi dibalik ekspansinya yang luar biasa, atau bahkan tampaknya ciri khas itu menjadi kebajikan khusus karena mereka muncul untuk menyumbang terhadap ekspansinya, tetapi ketika peradaban itu mencapi puncaknya ciri-ciri itu kembali dipermasalahkan.65

D.Pro-kontra Tentang Pluralisme

Nur Khalik Ridwan berpendapat, bagi pegiat wacana pluralisme, mereka memandang pluralisme adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas dan kemajemukan itu sendiri.oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara.dalam pluralisme

64

Syaiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995), h. 275

65

Harun Nasution & Azumardi Azra (peny.) Perkembangan Modern Dalam Islam,


(44)

keberadaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan

dalam bentuk homogenitas, kesatuan, tunggal, mono dan ika.66

Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datang dari luar Islam.67

Disamping itu akhir abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan-perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut menurut Bachtiar Effendi, telah menghadapkan masyarakat agama kepada suatu kesadaran kolektif terhadap penyesuaian struktural dan kultural.68 Keanekaragaman agama akan menjadi kekuatan bangsa manakala agama-agama mampu hidup berdampingan secara

menyenangkan di sebuah negara.69

Namun bagi mereka yang begitu mencurigai akan bahaya pluralisme, mereka menilai bahwa pluralisme merupakan proyek Barat. Maka menjadi penting menelusuri lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama. Gagasan protestanistik yang kini digandrungi sebagai Muslim sangatlah begitu pelik. Proses liberalisme sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.

66

Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur,

(Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 77 67

Saifudin Zuhri Qudsy (peny.), Islam Liberal Dan Pundamental Sebuah Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: eLSAQ , 2003), h. 5.

68

Bachtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 3

69


(45)

Anas Malik Toha mensinyalir, sejak era reformasi gereja abad ke-15, wilayah yuridiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikkan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM (Hak Asasi Manusia). Oleh karenanya harus mendekontruksikan diri (atau didekontruksikan secara paksa) agar menuruti bahas kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman. Proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”. Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai pluralisme

agama. Demikian dikatakannya.70

Paham liberalisasi pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama. Juga lebih kental dengan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan produk dari leberalisme politik (politic liberalism). Jelas, leberalisme tidak lebih merupakan respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi semacam ini masih terbatas dalam masyarakat kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua

puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.71

Dalam konteks Indonesia, pikiran yang mengaggap semua agama itu sama sebenarnya telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan.

70

Diakses dari tulisan anis malik toha, http://www.Hidayatullah.com_content&task =view&id=1460&itemid=0, dengan judul: pluralisme agama.

71


(46)

Umat Islam seperti mendapatkan pekerjaan rumah yang baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal umat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Dalam Musyawarah Nasional VII Majlis Ulama’ Indonesia, MUI telah mengeluarkan 11 fatwa, dimana sejak berdirinya MUI belum pernah mengeluarkan fatwa sebanyak itu.

Menurut Frans Magnis, teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter (Protestan) dan Raimondo Panikkar (Katolik), adalah tokoh dengan paham yang menolak ekslusifisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya pertama-tama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar dari pada yang lain-lain.72

Disisi lain bagi mereka yang pro terhadap pluralisme memaknai dikatakan Nur Khalik, pluralisme adalah sebauah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragamaan, heterogenitas dan kemajmukan itu sendiri. Oleh karena itu, ketika disebut pluralisme maka penegasannya adalah diakuinya wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara, dalam pluralisme, perbedaan diakui adanya, dan karenanya bukan ingin dilebur dan disatukan dalam bentuk hemogenitas, kesatuaan, tunggal, mono dan ika.73

72

Ibid,. h. 94 73


(47)

E.Wacana Pluralisme di Indonesia

Sejak keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang keharaman pluralisme, bersama liberalisme, dan sekularisme pada tahun 2005, alih-alih masyarakat serentak menyetujui, tidak sedikit terutama dari kalangan intelektual muslim sendiri yang malah memberikan respons secara kritis sebagai ungkapan ketidaksetujuan terhadap fatwa tersebut. Artikel yang bernuansa menolak terhadap fatwa MUI meluncur deras di beberapa media massa.74 Sebut misalnya artikel

yang ditulis M. Dawam Rahardjo, Mengapa SemuaAgama Itu Benar?75 (Tempo,

1 Januari 2006). Dalam artikelnya itu, M. Dawam Rahardjo coba memaparkan beragam perspektif tentang pluralisme. Poin penting dari penelusuran M. Dawam Rahardjo adalah, ternyata pluralisme tidak bisa digiring hanya dalam suatu perspektif sebagaimana yang menjadi dasar pertimbangan MUI.

Dalam menghadapi keragaman, kata M. Dawam Rahardjo, kita

membutuhkan suatu paham pluralisme (pluralism is needed to deal with

plurality). Tentu akan menyulitkan jika di satu pihak pluralitas diterima sebagai suatu realitas sedangkan di pihak lain, pluralisme ditolak sebagai suatu paham.

74

Selain artikel, banyak juga publikasi yang berbentuk buku yang mengusung tema pluralisme. Lihat misalnya, Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Quran (Bekasi Timur:

Menara, 2006); Mohammed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan:

Pandangan al-Quran, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2006);

Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap

Keselamatan Non-Muslim (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2005); Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006); Jerald F. Dirk, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi (Jakarta: Serambi, 2006). Buku-buku ini berisi dukungan terhadap pluralisme. Jalaluddin Rakhmat, misalnya, berpandangan bahwa pluralisme bukan sesuatu yang paradoks dengan al-Quran. Dalam analaisis Rakhmat, dalam al-Quran banyak sekali ayat yang mendukung pluralisme.

75

Lihat juga artikel M. Dawam Rahardjo, “Liberalisme, Sekeluralisme dan Pluralisme”, http://www.icrp-online.org.


(48)

Respons kritis terhadap fatwa MUI, lebih-lebih yang berhubungan dengan pluralisme, tidak hanya ramai pada awal-awal keluarnya fatwa.76

Beberapa media massa rupanya menganggap perbincangan seputar pluralisme tetap memiliki aktualitas sehingga artikel yang memberikan sorotan kritis terhadap fatwa MUI dimunculkan. Di Indonesia, pluralitas dan pluralisme terutama yang terkait dengan agama seakan ditaqdirkan selalu berada dalam posisi problematis. Siapa pun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman di Indonesia. Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama. Menurut salah satu teori sejarah, Islam datang ke bumi Nusantara pada abad ke-7 M. Artinya, Islam telah menghiasi negeri ini melewati satu milenium. Tetapi Islam tidak memasuki ruang hampa. Jauh sebelum datangnya Islam, masyarakat Nusantara telah terpola ke dalam berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya Islam, agama-agama lainnya pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini ada enam agama yang diakui eksistensinya, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu,

Budha, dan Konghucu.77

Salah satu sisi problematis dari keragaman tersebut adalah adanya potensi konflik. Tentu ini terasa aneh, karena ajaran agama mana pun selalu menekankan pada kesamaan dan kesetaraan manusia. Ini merupakan visi perenial semua agama. Potensi konflik dalam keragaman agama dengan demikian berada di luar wilayah perenial agama, tetapi lebih banyak terjadi pada wilayah konstruksi sosial. Mengapa wilayah ini rentan konflik? Konstruksi merupakan modus yang dikembangkan oleh seseorang dalam memahami doktrin agama. Agama memang meniscayakan pada suatu modus pemahaman agar kehendak Tuhan yang

76

Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. h. 83. 77


(49)

terdapatdalam doktrin agama bisa dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Al-Qur’an, Injil, dan kitab-kitab lainnya, sebagai kodifikasi firman Tuhan, tentu akan banyak menghadapi kesulitan aktualisasi jika tidak dijembati dengan pemahaman

manusia. 78 Peristiwa terakhir, yaitu penyerangan warga Ahmadiyah oleh

sekelompok orang tidak dikenal di Desa Cikeusik kembali mencoreng kerukunan beragama yang berbeda keyakinan di Indonesia. Pemaksaan kehendak oleh salah satu pihak yang mengklaim sebagai mayoritas seolah-olah mendapatkan pembenaran oleh penegak hukum bahwa keyakinan yang diyakini oleh sebagian besar golongan adalah kebenaran mutlak, sedangkan keyakinan yang dipegang oleh minoritas seakan selalu salah dan dianggap sesat. Selain itu, insiden penusukan pendeta HKBP oleh sekelompok organisasi masyarakat yang beda agama di Bekasi seakan menegaskan bahwa pentingnya pluralitas keagamaan di Indonesia. Karena jika konflik-konflik seperti ini tidak segera diatasi dan diketahui solusinya, maka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan dipertaruhkan.

Dalam konteks kehidupan beragama, MUI memaknai pluralisme (agama) sebagai paham yang menganggap semua agama sama. Dari pemahaman ini lalu berkembang logika begini: pluralitas yes, pluralisme no!. Tidak sedikit di kalangan Islam yang sepaham dengan logika ini. Padahal, logika ini jelas

mengandung kerancuan (fallacy). Mana mungkin menyikapi pluralitas tanpa

memiliki sandaran pada salah satu perspektif pluralisme. Secara akademik pandangan MUI dapat dipersoalkan mengingat pemaknaan terhadap konsep pluralisme tidak tunggal.

78


(1)

dalam teologi Islam. Karena menjadi sangat berbahaya pada saat akal tidak memiliki pembimbing yang bermotif rohani yang bersih, di sisi lain pemikiran keagamaan fuqaha’ yang memerlukan agama lebih sebagai hokum dan pemikiran kaum modernis yang mengembangkannya menjadi semacam ideologi, ternyata sama-sama kurang memperhatikan dimensi bathin yang menjadi inti keberagamaan yang sebenarnya. Dan secara mendasar, agama yang membawa rahman bertumpu pada ajaran dan konsepsi taqwa secara tepat.

B. SARAN-SARAN

Berdasarkan beberapa kesimpulan diatas, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

1. Sebagai organisasi dengan jama’ah terbesar di Indonesia yang pernah dipimpin oleh Hasyim Muzadi sebagai tokoh pluralis, secara formal mengurusi masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaslahatan umat, hendaknya PBNU dapat memberikan dorongan dan dukungan serta perhatian yang sungguh-sungguh dalam menghadapi gerakan-gerkan yang berupaya merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia baik Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945 yang dinilai NU sudah menjadi harga mati.

2. Melihat kondisi Indonesia saat ini yang menghadapi persoalan yang amat kompleks, tawaran yang digagas Hasyim Muzadi merupakan salah satu solusi alternatif yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, alangkah baiknya dengan solusi yang ditawarkan Hasyim Muzadi


(2)

tersebut, pikiran masyarakat menjadi terbuka melihat kondisi riil bangsa Indonesia yang memang dilahirkan menjadi bangsa yang majemuk. Semangat pluralitas tersebut akan dapat membangun jati diri bangsa menuju bangsa yang berperadaban.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

SUMBER DARI BUKU :

Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999.

Abdullah, Taufiq. Islam Dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES, 1987.

Abdurrahman, dkk, (ed.), 70 tahun H. Mukti Ali, Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 1993.

Abdurrahman, Muslim. Dalam Pengantar Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Airlangga, 2003.

_______ Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Airlangga, 2003.

Ahmad, Khurshid. Pesan Islam, Ahsin Muhammad (terj.), Bandung: Pustaka, 1983.

Ahmad, Nur. (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: Kompas, 2001.

Al-Brebesy, Ma’mun Murod. Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin Rais Tentang Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 1999.

Ali Enginer, Asghar. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Ali Fauzi, Ihsan. Pemikiran Islam Indonesia dekade 1980-an. Bandung : Prisma, Edisi 1991.

Ali, Zaenal. 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Narasi, 2008. Anshori, Ibnu. KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance.

Sidoarjo: Citra Media bekerjasama dengan AMF Surabaya, 2004.

Baso, Ahmad. Badriyah Fayumi, Khamami Zada, dll., Islam Pribumi

Mendialogkan Agama Membaca Realiatas. Jakarta: Air Langga, 2003.

Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia PustakaUtama, 2008.

Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu. Jakarta: Kompas, 2001.


(4)

Darwin, Muhadjir. Agama Rakyat Agama Penguasa Kontruksi Tentang Realitas

Agma dan Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press, 2004.

Effendy, Bachtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Eko, Sutoro. Pelajaran Konsolidasi Demokrasi Untuk Indonesia. Dalam pangantar buku terjemah Lary Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press, 2003.

Esposito, John L. Saatnya Muslim Bicara, Ahmad Arif (terj.), Bandung: Mizan, 2008.

_______ (ed.), Identitas Islam, A. Rahman Zainuddin (terj.), Jakarta: bulan bintang, 1986.

_______ Dinamika Kebangunan Islam Watak, Proses Dan Tantangan, Bakri Siregar (terj.), (Jakarta: Rajawali Pers, 1987.

_______ Islam Dan Politik, H.M Joesoef Sou’yb (terj). Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

_______ Islam dan Modernitas, Ahsin Muhammad (terj.). Bandung: Pustaka, 1985.

Fealy, Greg. Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, Ahmad Suaedy, A. Made Tonny Supriatna, Amiruddin Ar-Rany, dkk. (terj). Yogyakarta: LKIS, 1997.

Husaini, Adian. Plurlisme Agama Haram. Jakarta: Perspektif, 2005.

Hidayat, Surahman. Islam Pluralisme Dan Perdamaian, Jakarta: Robbani Press, 2008.

Hamid, Abdul Wahid. Islam Cara Hidup Alamiah, Arif Rahmat (terj.), Yogyakarta: Lazuardi, 2001.

Hermawan, Eman. Politik Membela Yang Benar; Teori, Kritik dan Nalar. Yogyakarta: Klik R, 2001.

Iskandar, A. Muhaimin. Melampaui Demokrasi: Merawat Bangsa dengan Visi Ulama. Jakarta: Grafindo, 2001.


(5)

Kleden, Ignas. Dialog Antar Agama-Agama: Kemungkinan dan

Batas-batasannya. Dalam Kumpulan Tulisan Agama dan Tantangan Jaman.

Jakata: LP3ES, 1985.

Litle, David John Kelsay dan Abdul Aziz A. Sachedina, Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, Riyanto (terj.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Malik Thoha, Anis. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif, 2006.

Munawar-Rahman, Budhi. Islam pluralis. Jakarta: Paramadina, 2001.

_______ (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina.

Muzani, Syaiful (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung: Mizan, 1995.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IV, 1993.

Muzadi, Hasyim. Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa. Jakarta: Logos, 1999.

_______ Agenda Strategis Pemulihan Martabat Bangsa. Jakarta: Pustaka Azhari, 2004.

Nasution, Harun & Azumardi Azra (peny.) Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indosesia, 1985.

N. Bellah, Robert dan Philip E. Hammon, Beragama Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan sosial, Imam Khoeri, dkk (tej). Yogyakarta: Ircisod, 2003.

Qudsy, Saifudin Zuhri. (peny.), Islam Liberal Dan Pundamental Sebuah

Pertarungan Wacana. Yogyakarta: eLSAQ , 2003.

Quttub, Muhammad. Islam Agama Pembebas, Fungky Kusnaedi Timur (terj). Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001.

Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, Ahsin Muhammad (terj.), Bandung: Pustaka, 1984.

Rahmat, M. Imdadun. (peng), Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas (Jakarta: Erlangga, 2003.

Ridwan, Nur Kholik. Pluralisme Borjuis Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. Yogyakarta: Galang Press, 2002.


(6)

Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1999.

Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1993.

Shodiq, Mohammad. Dinamika Kepemimpinan NU, Refleksi perjalanan KH.

Hasyim Muzadi. Surabaya: LTN NU Jatim, 2004.

Solissa, Abdul Nasir (ed.), Al qur’an dan Pembinaan Budaya. Yogyakarta: LESFI, 1983.

Turmudzi, A.M. “Merumuskan Keberislaman Secara Baru”, Jakarta: Basis, Edisi Maret 1991.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

INTERNET :

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/168561 /70/13/ Untung- masih-ada-NU-dan-Muhammadiyah

http://soeparno.wordpress.com/114/pages1/56778.html

Menggagas Kebangkitan NU Kedua. Kompas, Selasa, 9 November 1999.

Kumpulan tulisan dari Koran detik.com, Suara Pembaharuan, Kompas: Kiprah

PBNU 2000-2001, Analisa dan Evaluasi Pemeritaan tentang

Kepemimpinan Hasyim Muzadi, diterbitkan oleh eLkapim Malang, tanpa tahun.

http://www.hidayatulloh.comcontent&task= view&id=1406&Itemid=0 http://www.insistnet.com/content/view/25/34/,

http://muhamadali.blogspot.com/kartun -nabi-dan-dialog-antar-agama.html. http://www.icrp-online.org.

http://id.wikipedia.org/wiki http://gp-ansor.org/?pageid+115

www.Eramuslim.com/berita/nas/742712304-hasyim-muzadi-konfliksuni-syiah. http://www.suarapembaharuan.com/News/1999/281199/Nasional/pr01.html. http://www.nu.or.id/show/pages/625.html