1. makalah Konsep Waktu doc

APLIKASI KONSEP WAKTU-SUHU PADA HEWAN POKILOTERM
DALAM PENGENDALIAN HAMA PERTANIAN
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Ekologi Lanjut yang dibina oleh
Bapak Dr. H. Ibrohim, M.Si, dan Bapak Dr.H. Istamar Syamsuri, M.Pd

Oleh:
Kelompok 6 / kelas A
1. Anisah Mahmudah
2. Miswandi Tendrita

130341816950
150341806071

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS PASCA SARJANA
JURUSAN BIOLOGI
November 2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suhu adalah parameter yang menggambarkan derajat panas suatu benda.
Suhu merupakan faktor lingkungan yang paling mudah untuk diukur dan
seringkali beroprasi sebagai faktor pembatas yang segera dapat direspon, sehingga
konsep

waktu

dan

mengenai aplikasinya

suhu
dalam

sangat

berpengaruh

pengendalian


hama

besar
pertanian

dalam

kajian

pada

hewan

poikilotermik, khususnya dari golongan serangga. Hewan berdarah dingin atau
disebut juga Poikilotermik adalah hewan yang suhu tubuhnya kira-kira sama
dengan suhu lingkungan sekitarnya. Poikiloterm suhu tubuhnya dipengaruhi oleh
lingkungan. Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu
tubuh luar.
Pertumbuhan hewan poikilotermik memerlukan kombinasi antara faktor

waktu dan faktor suhu lingkungan. Hewan poikilotermik tidak dapat tumbuh dan
berkembang bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun
diberikan waktu yang cukup lama. Untuk dapat tumbuh dan berkembang,
hewan poikilotermik memerlukan

suhu

lingkungan

di

atas

batas

suhu

minimumnya maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk tumbuh dan
berkembang. Begitu pula sebaliknya,adanya keterkaitan antara suhu lingkungan
dengan


waktu

tumbuh

dan

berkembangnya

hewan poikilotermik disebut

sebagai konsep waktu suhu.
Menurut sudut pandang ekologis suhu menjadi faktor pembatas bagi
makhluk hidup terutama pada hewan poikiloterm. Hal ini disebabkan karena suhu
tubuh menentukan kerja enzim-enzim yang diperlukan oleh tubuh makhluk hidup
yang berfungsi membantu proses metabolisme dalam tubuh. Dari sudut pandang
ekologi, suhu lingkungan sangat penting terutama bagi hewan poikiloterm untuk
aktivitas dan pengaruh terhadap laju perkembangannya. Dalam suatu kisaran suhu
tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan
linier. Jadi setiap lama waktu perkembangan selalu disertai dengan kisaran suhu

proses berlangsungnya perkembangan tersebut. Pada hewan poikiloterm, waktu
merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang sering
dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting. sebagai contoh, suhu

ambang terjadi perkembangan sejenis belalang adalah 16⁰C lama waktu yang
diperlukan untuk perkembangan telur hingga menetas 17,5 hari, maka jika pada
suhu 30⁰C maka lama waktu untuk menetas hanya 5 hari.
Adanya korelasi waktu-suhu lingkungan ini juga menyebabkan sebuah
fenomena menarik yaitu ledakan populasi ulat bulu di Probolinggo pada tahun
2010. Menurut Baliadi,dkk (2012), ledakan populasi ulat bulu terjadi akibat
perubahan ekosistem yang ekstrem pada agroekosistem mangga. Perubahan
tersebut dipicu oleh beberapa hal, yakni musim hujan yang panjang pada tahun
2010−2011 yang menyebabkan kenaikan kelembapan udara. Suhu yang
berfluktuasi berdampak terhadap iklim mikro yang mendukung perkembangan
ulat bulu. Abu vulkanik akibat letusan Gunung Bromo, penanaman hanya satu
varietas mangga, peralihan fungsi hutan menjadi hutan produksi, dan penggunaan
input kimia seperti pestisida dan pupuk ikut menjadi pemicu ledakan populasi ulat
bulu. Oleh sebab itu konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm tersebut sangat
erat kaitannya dengan pengendalian populasi beberapa hewan khususnya dalam
aplikasi pengendalian hama pertanian. Selain itu konsep waktu-suhu juga dapat

mengetahui faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam dunia peternakan dan
konservasi hewan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dijelaskan diatas,
maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apakah pengertian konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm?
2. Bagaimana konsep pengendalian hama pada pertanian?
3. Bagaimana aplikasi konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm dalam
pengendalian hama pertanian?
4. Apakah keuntungan dan kerugian aplikasi konsep waktu-suhu pada hewan
poikiloterm dalam pengendalian hama pertanian?
C. Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm
2. Untuk menjelaskan konsep pengendalian hama pertanian

3. Untuk mendeskripsikan aplikasi konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm
dalam pengendalian hama pertanian.
4. Untuk menjelaskan keuntungan dan kerugian aplikasi konsep waktu-suhu
pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanian.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Waktu-Suhu Pada Hewan Poikiloterm
Penggolongan hewan berdasarkan lingkungnnya ada 2 yaitu hewan yaitu
homeotermal dan kelompok hewan poikilotermal, jika pada suhu lingkungn yang
berubah, maka hewan yang homeotermal akan mempertahankan suhu tubuhnya,
sehingga akan menjadi kira-kira sama, sedangkan suhu tubuh hewan yang
poikiloterm mengikuti perubahan suhu itu.
Berdasarkan kemampuannya untuk mempertahankan suhu tubuh, hewan
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring
dengan

berubahnya suhu lingkungan. Pada hewan-hewan poikiloterm

ini panas tubuhnya sangat tergantung pada sumber panas dari
lingkungannya. Kemampuan mengatur suhu tubuh pada hewan ektoterm
atau poikiloterm sangat terbatas sehingga suhu tubuh bervariasi mengikuti
suhu lingkungannya atau disebut juga sebagai penyelaras (konformer).

2. Homeoterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan/tidak berubah
sekalipun suhu lingkungannya sangat berubah.
Konsep waktu –suhu merupakan hal penting untuk memahami hubungan
antara waktu dan suhu dengan dinamika populasi hewan poikiloterm. Dengan
mengetahui konsep waktu-suhu ini kita mampu mengetahui atau memprediksi
kapan akan terjadi peledakan populasi, mungkin saja tiap tahun peledakan
populasi akan terjadi dan dengan konsep waktu-suhu setidaknya ada tindakan
yang akan dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, seperti dengan memberantas,
karena hewan ini merupakan hama dalam pertanian. Dan untuk memberantas
hama tersebut harus cepat karena memberantas telur dan pupa berbeda dengan
memberantas hewan dewasanya atau dengan kata lain konsep waktu-suhu ini
sangat pengting dalam pengendalian hama bagi petani.
Suhu

lingkungan

mempengaruhi

suhu


tubuh

dari

hewan-hewan

poikiloterm. Bahkan suhu ini menjadi faktor pembatas bagi kebanyakan makhluk
hidup. Suhu tubuh menetukan kerja enzim-enzim yang membantu metabolisme di
dalam tubuh. Kepentingan suhu ini tidak hanya pada aktivitasnya melainkan pula
berkaitan dengan laju perkembangannya. Dalam kisaran yang tidak mematikan,

pengaruh paling penting oleh suhu terhadap hewan poikiloterm dari sudut
pandang ekologik adalah pengaruh suhu atas perkembangan dan pertumbuhan.
Dalam hal ini langsung tampak adanya hubungan linear antara laju perkembangan
jika dikaitkan dengan suhu tubuh. Dengan kata lain adanya hubungan yang linear
antara laju perkembangan dengan suhu.
Pengaruh berbagai suhu terhadap hewan ektoterm atau poikiloterm
mengikuti suatu pola yang tipikal, walaupun ada perbedaan dari spesies ke spesies
yang lain. Pada intinya ada tiga kisaran suhu yang menarik yaitu:
1. Suhu rendah berbahaya, pada suhu yang ekstrim rendah di bawah batas

ambang toleransinya maka hewan ektoterm atau poikiloterm akan mati. Hal
ini disebabkan enzim-enzim tidak aktif bekerja sehingga metabolismenya
berhenti. Pada suhu yang masih lebih rendah dari suhu optimum, laju
metabolismenya dan segala aktivitasnya rendah. Sebagai akibatnya gerakan
hewan tersebut menjadi sangat lambat sehingga memudahkan predator atau
pemangsa untuk menangkapnya.
2.

Suhu tinggi berbahaya, suhu tinggi akan mendenaturasikan protein yang juga
menyusun enzim, dengan adanya denaturasi protein ini menyebabkan
metabolism dalam tubuh akan terhambat dan menyebabkan aktivitas dari
hewan tersebut akan terhenti.

3. Suhu di antara keduanya, pada suhu antara ini laju metabolism dari hewan
ektoterm akan meningkat dengan makin naiknya suhu secara eksponensial.
Hal ini dinyatakan dengan fisiologi hewan sebagai “koefisien suhu”,
“koefisien suhu” pada tiap hewan ektoterm relatif sama walaupun ada yang
sedikit berbeda.
Tidak seperti pada manusia serta pada hewan endotermal pada umumnya,
maka hewan-hewan ektotermal tidak dapat dikatakan memerlukan waktu yang

lamanya tertentu. Hewan ektotermal perlu gabungan waktu dengan suhu.
Gabungan ini sering disebut sebagai waktu-fisiologik. Dapat dikatakan pula
bahwa waktu adalah fungsi suhu untuk hewan ektotermal dan waktu dapat
“berhenti” jika suhu turun di bawah harga ambang. Dalam artian bahwa untuk
hewan-hewan ektoterm lama waktu perkembangannya akan berbeda-beda pada
suhu lingkungan yang berbeda-beda.
Sebagai salah satu faktor lingkungan yang utama, suhu memberikan efek
yang berbeda-beda pada organisme di bumi ini. Variasi suhu lingkungan alami

mempunyai efek dan peranan potensial dalam menentukan terjadinya proses
kehidupan, penyebaran serta kelimpahan organisme tersebut. Variasi suhu
lingkungan dapat ditinjau dari berbagai segi, yaitu dari sifat sikliknya (harian,
musiman), dari kaitannya dengan letak tempatnya di garis lintang bumi (latidunal)
atau ketinggian diatas permukaan laut (altitudinal) dan kedalaman (perairan tawar,
lautan, tanah). Disamping itu juga dikenal variasi suhu alami dalam sifat kaitan
yang lebih akrab dengan organisme (mikroklimatik).
Dalam kisaran yang tidak mematikan, pengaruh paling penting oleh suhu
terhadap hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologi adalah pengaruh suhu
atas perkembangan dan pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak adanya
hubungan linear antara laju perkembangan jika diplotkan terhadap suhu tubuh.
Tampak pula bahwa penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut pada suhu
terendah dapat diabaikan, dan lagi makhluk yang bersangkutan secara tipikal
menghabiskan waktu dibawah suhu tinggi non linear.seringkali secara sederhana
dianggap bahwa laju perkembangan bertambah secara linear pada suhu di atas
ambang perkembangan. Hewan ektoterm atau poikiloterm tidak dapat dikatakan
memerlukan waktu yang lamanya tertentu. Yang mereka perlukan adalah
gabungan waktu dengan suhu. Gabungan ini sering disebut sebagai waktufisiologik. Pentingnya konsep waktu-suhu terletak di dalam kemampuan konsep
itu untuk memberikan pengertian tentang waktu terjadinya sesuatu, dan tentang
dinamika populasi hewan ektoterm atau hewan poikiloterm. (Soetjipta, 1993).
Menurut Soetjipta (1993), malahan sesungguhnya kebanyakkan spesies
dan kebanyakkan aktivitas hanya terbatas di kisaran suhu yang lebih sempit.
Beberapa makhluk hidup terutama yang sedang di dalam tingkat istirahat, mampu
ada dalam suhu sangat rendah dalam waktu yang singkat, sedangkan beberapa
mikroorganisme, terutama bakteri, alga, dapat hidup dan berreproduksi di dalam
air panas yang suhunya mendekati suhu air mendidih.
Apabila dalam suhu rendah, hewan poikiloterm mungkin berubah menjadi
tidak aktif, atau bersifat tidur, atau dalam keadaan sedang hibernasi. Umumnya
hewan poikiloterm menggunakan periode penangguhan di dalam keadaan
dormansi, yaitu keadaan secara nisbi tidak aktif untuk menghemat energi, dan
energi tersebut yang dapat dipergunakan dalam waktu penangguhan berikutnya.
Dari keadaan tersebut hewan poikiloterm dapat berfungsi kembali bilaman suhu

meningkat di atas harga ambang. Adapun harga ambang adalah kuantitas faktor
minimum yang menghasilkan pengaruh yang dapat dirasakan oleh hewan tersebut.
B. Hama Tanaman Pertanian dan pengendaliannya
1) Hama Tanaman Pertanian
Hama menjadi hal penting yang selalu saja dibicarakan dalam budidaya
Pertanian. Sebagian besar hama adalah jenis serangga (Channa et al., 2004).
Serangga adalah makhluk yang berdarah dingin (poikiloterm), bila suhu
lingkungan menurun, proses fisiologisnya menjadi lambat. Namun demikian
banyak serangga yang tahan hidup pada suhu yang rendah (dingin) pada periode
yang pendek, dan ada juga beberapa jenis diantaranya yang mampu bertahan
hidup pada suhu rendah atau sangat rendah dalam waktu yang panjang.
Selanjutnya Sumardi & Widyastuti (2000) menyatakan bahwa, serangga
merupakan kelompok hewan yang paling luas penyebarannya. Hewan ini dapat
hidup dimana-mana mulai dari daerah kering hingga daerah basah, mulai dari
daerah panas hingga daerah kutub. Serangga memiliki kisaran suhu tertentu
dimana dia dapat hidup. Diluar kisaran suhu tersebut serangga akan mati
kedinginan atau kepanasan. Pengaruh suhu ini jelas terlihat pada proses fisiologi
serangga. Pada waktu tertentu aktivitas serangga tinggi, akan tetapi pada suhu
yang lain akan berkurang (menurun). Pada umunya kisaran suhu yang efektif
adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Pada
suhu yang optimum kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan
kematian (mortalitas) sebelum batas umur akan sedikit.
Ketika serangga dewasa yang sedang memencar menemukan lokasi habitat
umum serangga inang. Pada langkah permulaan ini rangsangan yang menarik
bukan dari tanaman tetapi rangsangan fisik yang berupa cahaya, suhu, kebasahan,
angin, atau juga gravitasi. Langkah kedua, faktor penarik yang menolong adalah
warna, ukuran dan bentuk tanaman. Begitu serangga telah menemukan inangnya
rangsangan tanaman jarak pendek yang mendorong serangga menjadi menetap
pada tanaman tersebut. Langkah ketiga, serangga mencoba mencicipi (respon
kimiawi)

dan

meraba-raba

(respon

fisik)

tanaman

untuk

mengetahui

kesesuaiannya untuk mengetahui kesesuaiannya sebagai pakan. Apabila ternyata
tanaman tersebut sesuai, serangga akan merusak makannya karena rangsanagan

berbagai senyawa kimiawi tanaman yang sesuai. Langkah keempat, penerimaan
inang (Untung, 2006).
Serangga berkembang dari telur yang terbentuk di dalam ovarium
serangga betina. Kemampuan reproduksi serangga dalam keadaan normal pada
umumnya sangat besar. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa serangga cepat
berkembang biak. Masa perkembangan serangga di dalam telur dinamakan
perkembangan embrionik, dan setelah serangga keluar (manetas) dari telur
dinamakan perkembangan pasca embrionik. Pada serangga perkembangan
individunya mulai dari telur sampai menjadi individu dewasa menunjukkan
perbedaan bentuk. Keadaan ini disebut dengan metamorfosis. Dua macam
perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga yaitu metamorfosa sempurna
atau holometabola yang melalui tahapan-tahapan atau stadium: telur- larva –pupadewasa (Gambar 1.) dan metamorfosis bertahap atau hemimetabola yang melalui
stadium-stadium: telur-nimfa-dewasa (Gambar 2.)

Gambar 1. Metamorfosis sempurna pada Serangga
Sumber: (http://hortsciences.tamu.edu/galveston/beneficials_intros/beneficialsD_type_metamorphosis.htm)

Gambar 2. Metamorfosis Bertahap pada Serangga
Sumber: (http://hortsciences.tamu.edu/galveston/beneficials_intros/beneficialsD_type_metamorphosis.htm)
Berbagai jenis serangga hama tersebut mempunyai musuh alami (natural
enemy). Musuh alami serangga hama umumnya berupa Arthropoda dari jenis
serangga dan laba-laba, serta dapat digolongkan menjadi predator dan parasitoid.
Predator adalah binatang yang memangsa binatang lain, sedangkan parasitoid
adalah binatang yang pada fase pradewasanya hidup dengan menjadi parasit pada
binatang lain sedangkan pada fase dewasanya hidup bebas (Untung, 2006).
2) Pengendalian Hama Pertanian
Perkembangan dalam bidang dunia pertanian yang semakin pesat dalam
fungsi pemenuhan kebutuhan serta tuntutan masyarakat terhadap produk yang
berkualitas mengakibatkan semakin pesatnya perkembangan teknologi maupun
ilmu pengetahuan dalam bidang tersebut. Salah satu ilmu yang berkembang yakni
pengendalian hama penyakit tanaman.
Pengendalian hama penyakit tanaman merupakan sistem pengendalian
hama dalam hubungan antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama,
serta menggunakan berbagai teknik pengendalian yang kompatibel untuk menjaga
agar populasi hama selalu di bawah ambang. Tujuan penegndalian hama ini
berkaitan erat dengan upaya peningkatan produksi, pendapatan petani, daya saing
produksi, dan pelestarian lingkungan. Aplikasi pengendalian hama penyakit
pertanian ini ada berbagai macam meliputi pengendalian mekanis, kimiawi,
biologis, fisik dan lain sebagainya. Beberapa konsep pengendalian
hama yang berkembang dari tahun ke tahun:

A. Pengendalian

Secara Bercocok
Tanam
a) Pengendalian hama secara bercocok tanam
Pengendalian hama secara bercocok tanam atau pengendalian agronomic
bertujuan

untuk

mengelola

lingkungan

tanaman

sedemikian

rupa

sehingga lingkungan tersebut menjadi kurang cocok bagi kehidupan dan
pembiakan hama sehingga dapat mengurangi laju peningkatan populasi dan
peningkatan kerusakan tanaman.

Pengendalian secara bercocok tanam

merupakan usaha pengendalian yang bersifat preventif yang dilakukan sebelum
serangan hama terjadi dengan harapan agar populasi hama tidak meningkat
sampai

melebihi

ambang pengendaliannya. Oleh karena itu, penerapan teknik

ini perlu direncanakan jauh sebelumnya agar hasilnya memuaskan.
b) Pengendalian dengan tanaman tahan hama
Pengendalian hama dengan cara menanam tanaman yang tahan
terhadap serangan hama telah lama dilakukan dan merupakan cara pengendalian
yang efektif, murah dan tidak berbahaya bagi lingkungan. Contohnya
dengan penggunaan varietas padi tahan hama akan berhasil mengendalikan hama
wereng coklat padi. Wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.) merupakan
hama penting pada tanaman padi di Indonesia. Hama ini mampu membentuk
populasi cukup besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman pada semua fase
pertumbuhan. Kerusakan tanaman disebabkan oleh kegiatan makan dengan
menghisap cairan pelepah daun. Hama ini sulit diatasi dengan satu cara
pemberantasan. Hal ini disebabkan karena wereng batang coklat mempunyai daya
perkembangbiakan cepat dan segera dapat menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan. (Baehaki, 1989 dan Westen, 1990 dalam Marheni, 2004).
Di luar tanaman padi penggunaan varietas tahan hama di Indonesia
masih terbatas karena masih langkanya tersedia varietas atau tanaman
yang memiliki ketahanan pada hama dan penyakit. Meskipun keberhasilan telah

dicapai oleh teknik pengendalian tersebut, tetapi karena terjadinya keseragaman
genetic yang besar pada
varietas

ekosistem persawahan,

sifat ketahanan

suatu

padi seringkali tidak berjalan lama. Hama dalam hal ini wereng coklat

karena proses seleksi alami mampu mematahkan sifat ketahanan tersebut.
c) Pengendalian Secara Fisik dan Mekanik
Pengendalian fisik dan mekanik merupakan teknologi pengendalian hama
yang paling kuno dilakukan oleh manusia sejak manusia mengusahakan pertanian.
Pengendalian fisik dan mekanik merupakan tindakan yang diakukan dengan
tujuan

secara langsung dan tidak langsung mematikan hama, mengganggu

aktivitas fisiologi hama yang normal dengan cara lain di luar pestisida dan
mengubah lingkungan sedemikian rupa sehingga

lingkungan menjadi kurang

sesuai bagi kehidupan hama. Pengendalian fisik dan mekanik

adalah tindakan

mengubah lingkungan yang ditujukan khusus untuk mematikan atau menghambat
kehidupan hama.
Pengendalian fisik dan mekanik harus dilandasi oleh pengetahuan yang
menyeluruh tentang ekologi serangga hama dan adanya kenyataan bahwa setiap
jenis serangga memiliki batas toleransi terhadap faktor lingkungan fisik seperti
suhu, kebasahan, bunyi, sinar, spektrum elektromagnetik, dll. Dengan mengetahui
ekologi serangga hama sasaran kita dapat mengetahui kapan, dimana, bagaimana
tindakan fisik dan mekanik dilakukan agar memperoleh hasil yang efektif dan
efisien. Tanpa pengetahuan yang lengkap kemungkinan besar akan memboroskan
tenaga, waktu, dan biaya yang besar tetapi populasi hama yang terbunuh atau
dihambat kehidupannya hanya sedikit.
d) Pengendalian Hayati
Anonim

(2002),

menyatakan

bahwa

pengendalian

hayati

adalah

pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan
musuh-musuh alaminya (agen pengendali biologi), seperti predator, parasit dan
patogen. Pengendalian hayati adalah suatu teknik pengelolaan hama dengan
sengaja dengan memanfaatkan/memanipulasikan musuh alami untuk kepentingan
pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan dilakukan perbanyakan musuh
alami yang dilakukan dilaboratorium. Sedangkan Pengendalian alami merupakan

Proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa campur tangan manusia, tidak
ada proses perbanyakan musuh alami.
Menurut Jumar (2000). Pengendalian hayati memiliki keuntungan yaitu :
(1). Aman artinya tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan keracunan
pada manusia dan ternak, (2). tidak menyebabkan resistensi hama, (3). Musuh
alami bekerja secara selektif terhadap inangnya atau mangsanya, dan (4). Bersifat
permanen untuk jangka waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan
telah setabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dan musuh alaminya.
e) Pengendalian Kimiawi
Pengendalian

kimiawi

yang

dimaksudkan

di

sini

adalah

penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama agar hama tidak menimbulkan
kerusakan bagi tanaman yang diusahakan. Pada mulanya produksi pertanian juga
berhasil ditingkatkan karena pemakaian pestisida yang dapat menekan populasi
hama dan kerusakan tanaman akibat serangan hama. Karena keberhasilan tersebut
dunia pertanian pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari budidaya

segala

jenis

tanaman

baik

tanaman

pangan

maupun

perkebunan.
Meskipun

pestisida

menurunkan populasi

memiliki

banyak

keuntungan

seperti

cepat

hama, mudah penggunaannya dan secara ekonomik

menguntungkan namun dampak negatif penggunaannya semakin lama semakin
dirasakan oleh masyarakat. Dampak negatif pestisida yang merugikan kesehatan
masyarakat dan kelestarian
menonjol

dan

lingkungan

hidup

semakin

lama

semakin

perlu memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari masyarakat

dan pemerintah.
C. Aplikasi

Konsep

Waktu-Suhu

pada

Hewan

Poikiloterm

dalam

Pengendalian Hama Pertanian
Konsep waktu-suhu merupakan salah satu aplikasi pengendalian hama
yang masuk kedalam pengendalian secara fisik. Pengendalian ini dilakukan
dengan

cara

mengatur

faktor-faktor

fisik

yang

dapat

mempengaruhi

perkembangan hama, sehingga memberi kondisi tertentu yang menyebabkan hama
sukar untuk hidup atau tidak cocok bagi pertumbuhan hama. Teknik pengendalian
ini bertujuan mengurangi populasi hama dengan cara mengganggu fisiologi

serangga atau mengubah lingkungan menjadi kurang sesuai bagi hama. Contoh
mengumpulkan kemudian membinasakan kelompok telur dan ulat yang ada di
pertanaman. Selain itu, menggenangi lahan pertanaman, terutama pada stadia
vegetatif akhir dan pengisian polong untuk mematikan ulat grayak yang berdiam
diri di dalam tanah pada siang hari.
Tempat pengendalian secara mekanis dan fisik dapat dilakukan melalui
proses aktimalisasi (di alam) dan aklimasi di laboratorium. Aktimalisasi adalah
usaha yang dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi
faktor lingkungan di habitat buatan yang baru. Aklimasi adalah usaha yang
dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi satu faktor
lingkungan tertentu dalam laboratorium (Dharmawan, 2005).
Tahun 2011, Indonesia dikejutkan oleh wabah ulat bulu yang melanda
daerah Probolinggo, jenis ulat bulu tersebut termasuk jenis baru yang belum
dijumpai. Identifikasi spesis ulat bulu penting untuk dilakukan agar kesalahan
identifikasi dapat dihindari sebagai langkah vital sebagai dasar penyusunan
pengambilan keputusan strategi pengendaliannya. Ulat bulu bukan spesis yang
membahayakan manusia, tetapi ledakan populasi ulat bulu yang tidak terkendali
menyebabkan keresahan masyarakat, karena memakan daun-daun pohon yang ada
di sekitar rumah penduduk, bahkan sampai masuk ke dalam rumah-rumah
penduduk. Berikut adalah gambar ulat bulu yang mewabah di Probolinggo:

Gambar 3, Ulat bulu yang menyerang di Probolinggo

(Sumber: http://iwandahnial.wordpress.com)
Ulat bulu tersebut menyerang daun

mangga di Kecamatan Bantaran,

Kecamatan Leces, Kecamatan Sumberasih, dan

Kecamatan Tegalsiwalan.

Terdapat dua spesies ulat bulu yang menyerang daun mangga di Probolinggo
yaitu Arctornis sp. dan Lymantria atemeles Collenette. Pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa ulat bulu ini lebih memilih menyerang

daun mangga

manalagi dibandingkan dengan varietas mangga yang lain. Pemilihan inang ulat
bulu ini dilakukan oleh dewasanya saat meletakkan telur. Ulat bulu bukan
termasuk kupu-kupu tetapi bangsa ngengat. Diduga ngengat ulat bulu meletakkan
telur pada celah kulit batang pohon mangga dan atau di bawah daun. Ulat bulu
bersifat nocturnal yaitu aktif pada malam hari.
Larva ulat bulu arctornis memiliki perilaku yang unik yaitu ketika istirahat
ulat menempel pada batang pohon mangga dengan bagian toraksnya
ditekuk/dilipat sehingga berposisi lurus (Gambar 4a), pada posisi ini larva sangat
sulit dikenali karena tubuh ulat sangat mirip dengan kulit batang pohon mangga
(kamuflase). Pada saat berjalan atau jika diganggu maka ulat bulu arctornis akan
meluruskan toraksnya sehingga tampak warna hitam dan kuning pada toraks
bagian dorsal (Gambar 4b). Kepalanya berwarna kuning polos dengan beberapa
stemmata (Gambar 5). Dewasanya berupa ngengat berwarna putih bersih dan
terdapat bintik hitam pada bagian sayap (Gambar 6)
Deskripsi ulat bulu hama manga (L. atemeles) instar akhir adalah berwarna
coklat debu, kapsul kepala berwarna putih dengan pola tak beraturan berwarna
coklat kemerah-merahan, terdapat setae berwarna putih dan stemmata berwarna
hitam, pada setipa ruas tubuhnya terdapat verucca berwarna biru agak menyala
berbentuk elips pada bagian protoraks dan bulat pada bagian ruas tubuh yang lain,
verruca berwarna biru tersebut ditumbuhi setae berwarna hitam (Gambar 7). Pada
dua ruas bagian ventral toraks berwarna hitam dan pada ruas abdomen ke 4-5
terdapat pola berwarna putih berbentuk menyerupai bentuk berlian (Gambar 8).
Ngengat jantan ulat bulu atemeles tertarik feromon seks [(7R,8S)-cis-7,8-epoxy-2methyloctadec-17-ene] pada waktu akhir tengah malam (Suputa, 2011).

Gambar 4. Ulat bulu Arctornis sp. pada batang pohon mangga;
a. posisi istirahat, b. posisi aktif
Sumber:
(http://faperta.ugm.ac.id/fokus/Ulat_Bulu_Hama_Mangga_Probolinggo_J
ATIM.pdf)

Gambar 5, Kepala ulat bulu Arctornis sp. posisi aktif
Sumber:
(http://faperta.ugm.ac.id/fokus/Ulat_Bulu_Hama_Mangga_Probolinggo_J
ATIM.pdf)

Gambar 6, Arctornis sp. dewasa berupa ngengat yang aktif di malam hari
Sumber:
(http://faperta.ugm.ac.id/fokus/Ulat_Bulu_Hama_Mangga_Probolinggo_J
ATIM.pdf)

Gambar 7, Kepala ulat Lymantria atemeles Collenette; tampak verruca berwarna
biru tersebut ditumbuhi setae berwarna hitam
Sumber:
(http://faperta.ugm.ac.id/fokus/Ulat_Bulu_Hama_Mangga_Probolinggo_JATIM.p
df)

Gambar 8, Ulat bulu yang menyerang di Probolinggo
Ulat Lymantria atemeles Collenette; tampak bentuk berlian berwarna putih yang
merupakan salah satu ciri spesies ini Sumber:
(http://faperta.ugm.ac.id/fokus/Ulat_Bulu_Hama_Mangga_Probolinggo_JATIM.p
df)
Pemicu Ledakan Populasi Ulat Bulu
Suputa, dosen jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
UGM, memaparkan dugaan awal penyebab terjadinya peledakan populasi ulat
bulu dikarenakan silica yang dihasilkan aktivitas gunung api, vegetasi hutan yang

semakin langka, berkurangnya jumlah burung pemakan serangga, dan resistensi
serta resurgensi hama terhadap zat kimia.
Ulat bulu merupakan hewan poikiloterm yang suhu tubuhnya dipengaruhi
oleh suhu lingkungan luar. Selain itu, terjadi fluktuasi suhu di probolinggo yang
menyebabkan semakin cepatnya pertumbuhan ulat bulu. Fluktuasi suhu ini
disebabkan karena ketidakstabilan suhu udara di daerah probolinggo karena
musim hujan yang terlalu panjang sehingga membuat kelembaban udara menjadi
tinggi. Dan hal ini membuat pertumbuhan ulat bulu makin cepat karena suhunya
cocok untuk melakukan pertumbuhan dengan waktu yang cepat. Dan juga hanya
terdapat satu jenis varietas pohon manga yang banyak terdapat didaerah
probolinggo sehingga menurunkan stabilitas lingkungan dan memutus atau
menyederhanakan rantai makanan pada tingkat rantai energi secara menyeluruh
sehingga terjadi peledakan populasi ulat bulu.
Pengendalian Ulat Bulu
Petunjuk teknis pengendalian ulat bulu (Badan Litbang Pertanian 2011)
adalah sebagai berikut. Pengendalian ulat bulu dibedakan menjadi pengendalian
jangka pendek dan jangka panjang. Pengendalian jangka pendek, khususnya untuk
daerah endemis, dapat dilakukan dengan cara mekanis/fisik, yaitu mengumpulkan
dan memusnahkan ulat, dan cara hayati dengan menggunakan NPV, B. bassiana,
dan Metarhizium sp. Aplikasi patogen serangga sebaiknya dilakukan pada sore
hari (pukul 16.00–17.00). Pengendalian juga dapat dilakukan dengan memasang
pembatas (barrier) plastik yang diolesi lem perekat pada batang tanaman mangga.
Pengendalian dengan pestisida nabati ekstrak daun/biji mimba dan insektisida
kimia berlabel hijau dapat dilakukan dengan disemprotkan pada bagian batang
pohon mangga (0–2 m di atas permukaan tanah) pada pukul 10.00–11.00.
Pengendalian jangka panjang dilakukan melalui pemantauan populasi ulat bulu
dan musuh alami hama dengan memasang lampu perangkap pada malam hari
untuk menangkap ngengat generasi- 1. Cara ini secara tidak langsung dapat
mengendalikan populasi ngengat ulat bulu.
Cara lainnya yaitu dengan melepas secara berkala musuh alami, khususnya
predator generalis termasuk parasitoid, seperti Brachymeria sp., Xanthopimpla
sp., Trichogrammatoidea sp., Telenomus sp., dan lalat Tachinidae. Teknik

pelepasan cukup sederhana, hanya membutuhkan botol/gelas bekas air mineral
yang tertutup atau dipasang dengan posisi terbalik untuk menghindarkan
parasitoid dari air hujan. Pemasangan koloni buatan semut rangrang yang dibuat
dari bambu atau daun-daun kering juga dianjurkan. Apabila terjadi serangan ulat
bulu, pada batang pohon mangga dapat dipasang pembatas plastik yang diolesi
lem perekat, kain yang disemprot insektisida atau kain goni yang terlipat untuk
mencegah ulat bulu naik ke bagian atas tanaman. Pengelolaan habitat kebun
mangga dengan cara menambah keragaman varietas mangga yang ditanam,
tumpang sari dengan tanaman selain mangga, mempertahankan tanaman pagar,
dan mengganti tanaman mangga yang sudah tua karena rentan terhadap serangan
ulat bulu juga merupakan alternatif pengendalian jangka panjang, selain
pemupukan berimbang dan menyiapkan pestisida nabati/hayati juga.
Merujuk pada pokok pembahasan mengenai aplikasi konsep Waktu-suhu,
dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu
lingkungan terdapat hubungan linier. Jadi setiap lama waktu perkembangan selalu
disertai dengan kisaran suhu proses berlangsungnya perkembangan tersebut. Pada
Ulat bulu, waktu merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktusuhu yang sering dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting
pengendalian hama ulat bulu dengan menggunakan prinsip ini dengan jalan
melakukan manipulasi terhadap fase fisiologis pertumbuhan ulat bulu. Seperti
yang kita ketahui, agen perusak adalah pada fase instar dimana fase ini berkisar
antara 18-24 hari. Arti dari manipulasi yakni dengan jalan mengkondisikan agar
telur yang dihasilkan ngegat tidak sampai menetas menjadi instar dengan
mengontrol suhu agar tetap dibawah suhu minimum atau di atas suhu optimum
fase pertumbuhan. Pada umunya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum
150C, suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Akan tetapi aplikasi konsep
waktu-suhu sangat sulit dilakukan dalam prakteknya secara konvensional, hal ini
dikarenakan kondisi iklim tropis di negara Indonesia dengan intensitas curah
hujan dan panas yang tinggi serta sulit untuk diprediksi.
Penerapan konsep waktu-suhu dapat dilakukan melalui uji In Vitro di
laboraturium. Perlakuan seperti ini paling berhasil bila diterapkan dalam
pengendalian hama pada produk hasil pertanian dan diterapkan dalam teknik
kontrol pada saat pengendalian hama pasca panen . Faktor suhu dan kelembaban

dapat mempengaruhi penyebaran, fekunditas, kecepatan perkembangan, lama
hidup dan mortalitas hama.

D.

Keuntungan dan Kerugian Aplikasi Konsep Waktu-Suhu Dalam
Pengendalian Hama Pertanian
Keuntungan dari aplikasi konsep waktu-suhu sebagai pengendalian hama

pertanian yakni penggunaanya sangat aman karena tidak memerlukan perlakuan
menggunakan bahan berbahaya yang mengadung residu seperti yang ditemukan
pada pestisida. Tidak mengakibatkan resistensi hama akibat hama mendapat
tekanan terus-menerus oleh pestisida sehingga hama mampu membentuk strain
baru yang lebih tahan terhadap pestisida yang sering digunakan petani. Tidak
mengakibatkan resurjensi hama yaitu meningkatnya populasi hama setelah hama
tersebut memperoleh perlakuan/penyemprotan insektisida tertentu.
Kelemahan dari aplikasi ini yakni tidak dapat atau sangat sulit dilakukan
secara konvensional. Hal ini karena dipengaruhi oleh faktor iklim di indonesia
yang beriklim tropis dengan intensitas cahaya matahari yang panjang serta curah
hujan yang tinggi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep waktu-suhu merupakan faktor terpenting penentu pertumbuhan
serta

perkembangan

suatu

organisme.

Korelasi

keduanya

sangat

berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang suatu organisme,
organisme yang termasuk dalam konsep waktu suhu ini adalah hewan
poikiloterm dan hewan homoikiloterm.
2. Pengendalian hama penyakit tanaman merupakan sistem pengendalian
hama dalam hubungan antara dinamika populasi dan lingkungan suatu
jenis hama, serta menggunakan berbagai teknik pengendalian yang
kompatibel untuk menjaga agar populasi hama selalu di bawah ambang.
3. Konsep waktu-suhu merupakan salah satu aplikasi pengendalian hama
yang masuk kedalam pengendalian secara fisik. Pengendalian ini
dilakukan dengan cara mengatur faktor-faktor fisik yang dapat
mempengaruhi perkembangan hama, sehingga memberi kondisi tertentu
yang menyebabkan hama sukar untuk hidup atau tidak cocok bagi
pertumbuhan hama
4. Aplikasi konsep waktu-suhu sangat sulit dilakukan dalam prakteknya
secara konvensional, hal ini dikarenakan kondisi iklim tropis di negara
Indonesia dengan intensitas curah hujan dan panas yang tinggi serta sulit
untuk diprediksi.

5. Keuntungan dari aplikasi konsep waktu-suhu sebagai pengendalian hama
pertanian yakni penggunaanya sangat amat tidak mengakibatkan resistensi
hama dan tidak mengakibatkan resurjensi hama. Kelemahan dari aplikasi
ini yakni tidak dapat atau sangat sulit dilakukan secara konvensional. Hal
ini karena dipengaruhi oleh faktor iklim di indonesia yang beriklim tropis
dengan intensitas cahaya matahari yang panjang serta curah hujan yang
tinggi.

Daftar Rujukan

Dharmawan, Agus, dkk. 2005. Ekologi Hewan. Malang: Universitas Negeri
Malang (UM Press).
Inda, Nurariaty & Annie. 2011. Aplikasi Konsep Pengendalian Hama Terpadu
untuk Pengendalian Hama Bubuk Buah Kopi (Hypothenemus hampei).
Jurnal Fitomedika vol 7 nomor 3 April 2011 hal 162-166.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta.
Marheni. 2004. Kemampuan Beberapa Predator pada Pengendalian Wereng
Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Jurnal Natur Indonesia.
www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol6(2)/Mar.
Nuryatingsiah, 2011. Teknik-Teknik Pengendalian OPT dan Penerapan Konsep
PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Surabaya; Balai Besar Perbenihan dan
Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya.
Soetjipta. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Jakarta: Depertemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Suputa, 2011. Ulat Bulu Hama Mangga di Probolinggo. Website Jurusan Hama
dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian UGM. 6 halaman. (online),
(http://faperta.ugm.ac.id/fokus/Ulat_Bulu_Hama_Mangga_Probolinggo_J
ATIM.pdf) , diakses tanggal 6 November 2015.
Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Edisi ke dua. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.

Konsep waktu suhu 
Suhu menentukan fisiologis metabolisme
Jika suhu meningkat 10 derajat  maka fasa pertumbuhannya akan meningkat 2x
lipat
Aplikasi dalam pertanian  melalui prediksi terhadap hubungannya pada fase
fisiologis seranggannya.
Ex : mengetahui perkiraan metamorfosis hama yang menyerang melalui konsep
suhu dan wakru optimum. Pengendalian tetap melalui  pengendalian
terpadu
Aklimatisasi  lingkungan
Aklimasi  faktor-faktor
Preservasi  mengawetkan, gen, kromosom dll.
Konservasi  pelestariannya