Artis dan Realitas Televisi doc
Artis dan Realitas Televisi
Oleh:
Frida Kusumastuti
Dosen Ilmu Komunikasi,Universitas Muhammadiyah Malang
Luar biasa berita kasus sejumlah artis yang diduga pesta narkoba di rumah
Raffi Ahmad, artis muda yang lagi naik daun. Tidak hanya luar biasa simpang
siurnya. Masyarakat tidak lagi mencoba memahami fakta, namun menyimpulkan
fakta. Alhasil ada banyak sekali ‘kesimpulan’.
Hal tersebut merupakan cerminan
dengan apa yang disiarkan oleh media massa, sebagai satu-satunya sumber
informasi bagi masyarakat.
Dua hari sejak peristiwa ‘penangkapan’, misalnya
berita mewawancarai ibunda Raffi secara ekslusive.
TVOne dalam segmen
Sementara Trans7 melalui
acara Sho-Imah juga mengundang ayahanda Zaskia Sungkar dan ‘sahabat’ Raffi
dalam program Dahsyat, Jessica. Sudah bisa ditebak, mereka akan membela matimatian tentang anak-anak dan mereka yang ‘terlibat’. Tentu dengan versi orang tua
yang melihat anak-anak mereka sebagai pribadi yang manis, santun, dan tidak
‘neko-neko’. Belum lagi segmen berita-berita infotaiment. Pendapat dan opini para
sesama artis lebih mewarnai.
Pola seperti itu tidak hanya pada kasus ‘artis dan narkoba di rumah Raffi’.
Melainkan juga dalam setiap kasus artis. Bahkan andaipun tidak ada kasus.
Fenomena sumber dari kalangan artis menjadi bagian terbesar dalam porsi
tayangan di televisi. Baik yang dikemas serius dalam format berita, maupun yang
dalam format talkshow, dan hiburan. Lihat saja bintang tamu ‘Bukan Empat Mata’
dengan host Tukul Arwana, atau ‘Hitam Putih’, ‘Bincang Pagi’, Sho-Imah, acara-
acara kuis juga pesertanya masih seputar artis, bahkan tidak jarang isu-isu politik
dan sosialpun artis akan dimintai komentarnya. Artis menjadi nara sumber dan
sumber utama hampir semua program tayangan televisi nasional kita. Realitas
televisi adalah wajah acara artis: dari artis, oleh artis, tentang artis dan dunianya.
Bisa juga disimpulkan bahwa view para artislah yang mewarnai view audiens
terhadap dunia.
Masalahnya seringkali informasi tentang mereka (artis) yang disiarkan oleh
televisi hanya berdasarkan ‘pengakuan’ artis. Apakah televisi melakukan verifikasi
melalui sejumlah fakta diluar ‘pengakuan’? Alih-alih ‘menyempatkan waktu’
menelusuri fakta empiris, biasanya verifikasi hanya dilakukan melalui pernyataanpernyataan dari keluarga dan teman dekat si artis. Realitas televisi akhirnya tidak
selalu fakta empiris. Melainkan lebih banyak fakta psikologis yang dihadirkan oleh
nara sumber.
Apabila realitas semacam itu dikatagorikan sebagai karya ‘jurnalisme’, maka
jurnalisme seperti itu disebut sebagai jurnalisme pernyataan. Menurut Kovach dan
Rosentiel (2010) jurnalisme pernyataan
terbentuk
karena budaya berita yang
umumnya hidup dan dibangun di atas pengumpulan berita yang spontan dan
bergerak cepat. Ia mementingkan aspek pengumpulan dan pengiriman informasi
secepat mungkin. Narasumber bisa dengan mudah menyatakan apapun ‘seenak
udelnya’. Pemeriksaan dan penyaringan informasi
minim.
Dalam jurnalisme
pernyataan, apa yang semula menjadi bahan kasar jurnalisme – desas desus,
sindiran, dugaan, tuduhan, tuntutan, perkiraan, dan hipotesis – disampaikan secara
langsung kepada audiens. Bahan kasar ini menjadi produk. Pelan-pelan, setahap
demi setahap,dan sesegra mungkin, aspek daya tarik dan provokatif pun menjadi
poin utama (Kovanch & Rosenstiel). Oleh karena itu, ragam jurnalisme pernyataan
ini perlu ditelan secara kritis oleh audiens.
Tidak hanya soal ragam jurnalisme. Fenomena tayangan televisi dari artis,
oleh artis, dan tentang artis dan dunianya juga menampakkan bias sumber yang
akut! Dalam kasus ‘artis dan pesta narkoba’ menghadirkan Mark Sungkar, Jessica,
dan Ami ibunda Raffi untuk menjelaskan fakta peristiwa yang terjadi, nampak tidak
tepat. Mereka bukanlah saksi atas peristiwa yang terjadi. Bisa jadi ’pernyataan
mereka’ bukanlah ‘kesaksian
mereka’, namun ‘kesimpulan’ mereka setelah
mendapat keterangan dari anak-anak mereka (pelaku).
Selain saksi mata, sumber yang dianggap tepat dalam jurnalisme adalah
wartawan itu sendiri yang sebagai saksi. Hal ini tentu saja memerlukan upaya
investigasi mendalam. Jurnalisme yang hilang di era tehnologi canggih yang
mewartakan kasus-kasus ‘berat’. Nilai berita televisi seolah hanya bertumpu pada
kecepatan dan sesegera mungkin! Selain wartawan, sumber yang ikut langsung
dalam kejadian/peristiwa, tetapi bukan saksi juga penting. Misalnya adalah ‘sumber’
BNN yang ikut menginvestigasi orang-orang yang menjadi target BNN. Jangan juru
bicara BNN yang biasanya tidak selalu berada di lokasi ataupun yang tidak terlibat
dalam
investigasi, namun sudah dibekali untuk
terampil berdiplomasi ketika
diwawancarai wartawan.
Dua poin itu menjadi catatan penting bagi kita, pemirsa televisi, supaya tidak
mudah
menyimpulkan
informasi
berdasarkan
‘realitas
semu’:
Kenali
ragam
jurnalisme pernyataan dan siapa yang menjadi sumber informasinya? Jika kita
menyaksikan jurnalisme pernyataan dan sumber yang bias, maka sikap kita
haruslah skeptis (ragu-ragu) pada kebenaran realitas televisi.
Oleh:
Frida Kusumastuti
Dosen Ilmu Komunikasi,Universitas Muhammadiyah Malang
Luar biasa berita kasus sejumlah artis yang diduga pesta narkoba di rumah
Raffi Ahmad, artis muda yang lagi naik daun. Tidak hanya luar biasa simpang
siurnya. Masyarakat tidak lagi mencoba memahami fakta, namun menyimpulkan
fakta. Alhasil ada banyak sekali ‘kesimpulan’.
Hal tersebut merupakan cerminan
dengan apa yang disiarkan oleh media massa, sebagai satu-satunya sumber
informasi bagi masyarakat.
Dua hari sejak peristiwa ‘penangkapan’, misalnya
berita mewawancarai ibunda Raffi secara ekslusive.
TVOne dalam segmen
Sementara Trans7 melalui
acara Sho-Imah juga mengundang ayahanda Zaskia Sungkar dan ‘sahabat’ Raffi
dalam program Dahsyat, Jessica. Sudah bisa ditebak, mereka akan membela matimatian tentang anak-anak dan mereka yang ‘terlibat’. Tentu dengan versi orang tua
yang melihat anak-anak mereka sebagai pribadi yang manis, santun, dan tidak
‘neko-neko’. Belum lagi segmen berita-berita infotaiment. Pendapat dan opini para
sesama artis lebih mewarnai.
Pola seperti itu tidak hanya pada kasus ‘artis dan narkoba di rumah Raffi’.
Melainkan juga dalam setiap kasus artis. Bahkan andaipun tidak ada kasus.
Fenomena sumber dari kalangan artis menjadi bagian terbesar dalam porsi
tayangan di televisi. Baik yang dikemas serius dalam format berita, maupun yang
dalam format talkshow, dan hiburan. Lihat saja bintang tamu ‘Bukan Empat Mata’
dengan host Tukul Arwana, atau ‘Hitam Putih’, ‘Bincang Pagi’, Sho-Imah, acara-
acara kuis juga pesertanya masih seputar artis, bahkan tidak jarang isu-isu politik
dan sosialpun artis akan dimintai komentarnya. Artis menjadi nara sumber dan
sumber utama hampir semua program tayangan televisi nasional kita. Realitas
televisi adalah wajah acara artis: dari artis, oleh artis, tentang artis dan dunianya.
Bisa juga disimpulkan bahwa view para artislah yang mewarnai view audiens
terhadap dunia.
Masalahnya seringkali informasi tentang mereka (artis) yang disiarkan oleh
televisi hanya berdasarkan ‘pengakuan’ artis. Apakah televisi melakukan verifikasi
melalui sejumlah fakta diluar ‘pengakuan’? Alih-alih ‘menyempatkan waktu’
menelusuri fakta empiris, biasanya verifikasi hanya dilakukan melalui pernyataanpernyataan dari keluarga dan teman dekat si artis. Realitas televisi akhirnya tidak
selalu fakta empiris. Melainkan lebih banyak fakta psikologis yang dihadirkan oleh
nara sumber.
Apabila realitas semacam itu dikatagorikan sebagai karya ‘jurnalisme’, maka
jurnalisme seperti itu disebut sebagai jurnalisme pernyataan. Menurut Kovach dan
Rosentiel (2010) jurnalisme pernyataan
terbentuk
karena budaya berita yang
umumnya hidup dan dibangun di atas pengumpulan berita yang spontan dan
bergerak cepat. Ia mementingkan aspek pengumpulan dan pengiriman informasi
secepat mungkin. Narasumber bisa dengan mudah menyatakan apapun ‘seenak
udelnya’. Pemeriksaan dan penyaringan informasi
minim.
Dalam jurnalisme
pernyataan, apa yang semula menjadi bahan kasar jurnalisme – desas desus,
sindiran, dugaan, tuduhan, tuntutan, perkiraan, dan hipotesis – disampaikan secara
langsung kepada audiens. Bahan kasar ini menjadi produk. Pelan-pelan, setahap
demi setahap,dan sesegra mungkin, aspek daya tarik dan provokatif pun menjadi
poin utama (Kovanch & Rosenstiel). Oleh karena itu, ragam jurnalisme pernyataan
ini perlu ditelan secara kritis oleh audiens.
Tidak hanya soal ragam jurnalisme. Fenomena tayangan televisi dari artis,
oleh artis, dan tentang artis dan dunianya juga menampakkan bias sumber yang
akut! Dalam kasus ‘artis dan pesta narkoba’ menghadirkan Mark Sungkar, Jessica,
dan Ami ibunda Raffi untuk menjelaskan fakta peristiwa yang terjadi, nampak tidak
tepat. Mereka bukanlah saksi atas peristiwa yang terjadi. Bisa jadi ’pernyataan
mereka’ bukanlah ‘kesaksian
mereka’, namun ‘kesimpulan’ mereka setelah
mendapat keterangan dari anak-anak mereka (pelaku).
Selain saksi mata, sumber yang dianggap tepat dalam jurnalisme adalah
wartawan itu sendiri yang sebagai saksi. Hal ini tentu saja memerlukan upaya
investigasi mendalam. Jurnalisme yang hilang di era tehnologi canggih yang
mewartakan kasus-kasus ‘berat’. Nilai berita televisi seolah hanya bertumpu pada
kecepatan dan sesegera mungkin! Selain wartawan, sumber yang ikut langsung
dalam kejadian/peristiwa, tetapi bukan saksi juga penting. Misalnya adalah ‘sumber’
BNN yang ikut menginvestigasi orang-orang yang menjadi target BNN. Jangan juru
bicara BNN yang biasanya tidak selalu berada di lokasi ataupun yang tidak terlibat
dalam
investigasi, namun sudah dibekali untuk
terampil berdiplomasi ketika
diwawancarai wartawan.
Dua poin itu menjadi catatan penting bagi kita, pemirsa televisi, supaya tidak
mudah
menyimpulkan
informasi
berdasarkan
‘realitas
semu’:
Kenali
ragam
jurnalisme pernyataan dan siapa yang menjadi sumber informasinya? Jika kita
menyaksikan jurnalisme pernyataan dan sumber yang bias, maka sikap kita
haruslah skeptis (ragu-ragu) pada kebenaran realitas televisi.