BULLET Gaya Hidup at BULLET Buku dan Fil (1)



Gaya Hidup
o Buku dan Film
o Fashion
o Griya
o Hobi
o Karir
o Keluarga
o Keuangan
o Makan & Minum
o Musik
o Olahraga
o Otomotif
o Taman & Kebun



Iptek
o Astronomi
o Biologi

o Elektronik
o Geografi
o Internet & Komputer
o Kimia
o SEO
o Teknologi



Kecantikan
o Kosmetik
o Perawatan Kulit
o Perawatan Rambut
o Perawatan Wajah



Kesehatan
o Bugar & Fit
o Kondisi & Penyakit

o Sehat Alternatif
o Terapi & Obat



Ragam
o Militer
o Pengembangan Diri
o Sejarah
o Tokoh
o Satwa



Sosbud
o Budaya
o Manusia
o Politik




Review

Amazine.co
Online Popular Knowledge



Home



Tentang Amazine

You are here: Home / Sosbud / Politik / Inilah 18 Kelebihan dan Kekurangan Demokrasi

Inilah 18 Kelebihan dan Kekurangan
Demokrasi
Amazine.co - Online Popular Knowledge


Baca juga


Apa itu Aristokrasi? Fakta, Sejarah & Informasi Lainnya



Apa itu Plebisit? Arti & Contoh Penerapannya



Apa itu Politik Populisme? Fakta, Sejarah & Informasi Lainnya

Demokrasi, menurut definisi, adalah sistem politik di mana kekuasaan tertinggi terletak pada
rakyat yang memiliki hak untuk memilih wakil mereka.
Terdapat dua jenis demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan.

Dalam demokrasi langsung, rakyat mengambil bagian aktif dalam pembuatan undang-undang
dan keputusan pemerintah lainnya.
Dalam demokrasi perwakilan, wakil yang dipilih oleh rakyat diberi mandat membuat undangundang dan keputusan lain.

Berikut akan dibahas berbagai hal yang menjadi kelebihan dan kekurangan demokrasi.
Kelebihan Demokrasi
1. Melindungi kepentingan rakyat
Demokrasi merupakan sistem yang melindungi kepentingan rakyat. Kekuasaan yang
sesungguhnya terletak di tangan orang-orang yang mewakili rakyat banyak.
Para wakil rakyat dipilih dan harus bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya. Dengan
cara ini, kepentingan sosial, ekonomi dan politik rakyat menjadi lebih terjamin di bawah
demokrasi.
2. Berdasarkan prinsip kesetaraan
Demokrasi didasarkan pada prinsip kesetaraan. Semua warga negara memiliki kedudukan sama
di mata hukum.
Semua rakyat memiliki hak sosial, politik dan ekonomi yang sama dan negara tidak boleh
membedakan warga negara atas dasar kasta, agama, jenis kelamin, atau kepemilikan.
3. Stabilitas dan tanggung jawab dalam pemerintahan
Demokrasi dikenal sebagai sistem yang stabilitas dan efisien. Pemerintahan berjalan stabil
karena didasarkan pada dukungan publik.
Dalam demokrasi perwakilan, wakil rakyat mendiskusikan masalah negara secara menyeluruh
dan mengambil keputusan berdasarkan aspirasi rakyat.
Di bawah sistem monarki, elit kerajaan mengambil keputusan sesuai keinginannya sendiri.
Sedangkan di bawah kediktatoran, diktator tidak melibatkan rakyat sama sekali dalam

pengambilan keputusan.
4. Pendidikan politik kepada rakyat
Demokrasi bisa berfungsi sebagai sekolah pendidikan politik bagi rakyat. Rakyat akan ikut
terdorong untuk mengambil bagian dalam urusan negara.
Pada saat pemilihan umum, partai politik mengusulkan kebijakan dan program untuk dinilai oleh
rakyat. Hal ini pada akhirnya menciptakan kesadaran politik di kalangan masyarakat.

5. Sedikit peluang revolusi
Karena demokrasi didasarkan pada kehendak publik, terdapat kemungkinan kecil terjadi
pemberontakan rakyat. Para wakil dipilih oleh rakyat untuk melakukan urusan negara dengan
dukungan rakyat.
Jika mereka tidak bekerja dengan baik atau tidak memenuhi harapan rakyat, para wakil bisa saja
tidak dipilih lagi dalam pemilu berikutnya. Dengan cara ini, rakyat tidak perlu melakukan
pemberontakan saat menginginkan perubahan.
6. Pemerintahan stabil
Demokrasi didasarkan pada kehendak rakyat sehingga penyelenggaraan negara berjalan
didasarkan atas dukungan rakyat.
Oleh karena itu, demokrasi dianggap lebih stabil daripada bentuk pemerintahan lain.
7. Membantu membentuk rakyat menjadi warga negara yang baik
Keberhasilan demokrasi terletak pada bertumbuhnya warga negara yang baik.

Demokrasi menciptakan lingkungan yang tepat untuk pengembangan kepribadian dan
menumbuhkan kebiasaan yang baik. Dalam demokrasi, rakyat dilatih untuk memahami hak dan
kewajiban mereka.
8. Berdasarkan opini publik
Pemerintahan demokrasi didasarkan pada keinginan publik dan tidak didasarkan pada ketakutan
pada penguasa.
Demokrasi berdiri di atas konsensus, bukan pada kekuasaan; dengan warga negara memiliki
kesempatan mengambil bagian aktif dalam pemerintahan.
Kekurangan Demokrasi
1. Lebih menekankan pada kuantitas daripada kualitas
Demokrasi tidak didasarkan pada kualitas tetapi pada kuantitas. Partai mayoritas memiliki
wewenang memegang pemerintahan.
Selain itu, orang yang tidak memiliki kecerdasan, visi dan korup bisa saja terpilih menjadi
penyelenggara negara.
2. Pemerintahan oleh orang tidak kompeten

Demokrasi bisa saja dijalankan oleh orang-orang yang tidak kompeten. Dalam demokrasi, setiap
warga negara diperbolehkan untuk mengambil bagian, sedangkan tidak semua orang cocok
dengan peran itu.
Segerombolan manipulator yang dapat mengumpulkan suara bisa mendapatkan kekuasaan dalam

demokrasi. Hasilnya, demokrasi dijalankan oleh orang bodoh dan tidak kompeten.
3. Berdasarkan kesetaraan yang tidak wajar
Konsep kesetaraan dalam demokrasi dianggap bertentangan dengan hukum alam. Alam memberi
setiap individu dengan kecerdasan dan kebijaksanaan yang berbeda.
Faktanya, kemampuan tiap orang berbeda. Sebagian orang berani, lainnya pengecut. Sebagian
sehat, yang lain tidak begitu sehat. Sebagian cerdas, yang lain tidak.
Kritik berpendapat bahwa akan bertentangan dengan hukum alam untuk memberikan status yang
sama kepada semua orang.
4. Pemilih tidak tertarik pada pemilu
Pemilih tidak selalu menunaikan hak pilihnya sebagaimana seharusnya. Umum ditemukan
tingkat partisipasi pemilih hanya berada pada kisaran angka 50 sampai 60 persen saja.
5. Menurunkan standar moral
Satu-satunya tujuan kandidat adalah memenangkan pemilihan. Mereka sering menggunakan
politik uang dan praktik bawah tangan lainnya agar terpilih.
Kekuatan otot dan uang bekerja bahu-membahu untuk memastikan kemenangan seorang
kandidat.
Dengan demikian, moralitas adalah korban pertama dalam pemilu. Apa yang bisa diharapkan
setelah moralitas dikorbankan?
6. Demokrasi adalah pemerintahan orang kaya
Demokrasi modern pada kenyataannya adalah kapitalistik. Pemilu dilakukan dengan uang. Para

calon kaya membeli suara. Pada akhirnya, rakyat mendapatkan pemerintahan plutokrasi yang
berbaju demokrasi.
Pada kondisi ini, orang kaya menguasai media untuk keuntungan mereka sendiri. Kepentingan
pemilik modal bisa saja mempengaruhi keputusan politik yang diambil pemerintah.
7. Penyalahgunaan waktu dan dana publik

Demokrasi bisa terjerumus pada pemborosan waktu dan sumber daya. Dibutuhkan banyak waktu
dalam perumusan undang-undang. Banyak uang yang dihabiskan selama pemilu.
8. Tidak terjadi pemerintahan yang stabil
Ketika tidak ada partai yang manjadi mayoritas mutlak, pemerintahan koalisi harus dibentuk.
Koalisi partai politik dengan pembagian kekuasaan hanya merupakan perkawinan semu.
Setiap kali terjadi benturan kepentingan, koalisi hancur dan pemerintahan runtuh. Dengan
demikian, pemerintah stabil di bawah demokrasi bisa sulit dicapai.
9. Kediktatoran mayoritas
Demokrasi dikritik karena menjadi legitimasi kediktatoran mayoritas. Mayoritas diharuskan
melindungi kepentingan minoritas tetapi dalam praktiknya tidak selalu demikian.
Mayoritas setelah mendapatkan kesuksesan saat pemilu terkadang melupakan minoritas dan
menjalankan pemerintahan sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
10. Pengaruh buruk dari partai politik
Partai politik merupakan dasar demokrasi. Partai politik bertujuan merebut kekuasaan dengan

cara yang sah.
Namun terkadang, anggota partai politik lebih mendahulukan kepentingan partai dibanding
kepentingan negara.[]

Terkait


Perbedaan Demokrasi Langsung dengan Demokrasi Perwakilan



Perbedaan antara Negara Diktator dengan Demokrasi



Daftar 40 Bentuk Pemerintahan Negara Dunia



9 Fungsi & Tugas Utama Pemerintah Negara Demokratis




Apa itu People Power? Fakta, Sejarah & Informasi Lainnya



Daftar Lengkap 14 Dalai Lama dari Tibet



10 Perbedaan Partai Republik & Demokrat di Amerika Serikat



Harus Tahu, Inilah Perbedaan Perang Saudara & Perang Dunia



7 Penyebab yang Memicu Terjadinya Perang Dingin



16 Fakta & Informasi Menarik tentang Perang Dingin

Sharing is caring:
Filed Under: Politik, Sosbud Tagged With: demokrasi, rakyat

Populer


Ketahui 17 Bagian Sel Tumbuhan & Hewan serta Fungsinya


19 Penyebab Nyeri Punggung Atas dan Bahu (Tulang Belikat)


6 Cara Membuat Bibir Berwarna Merah Muda Alami


Cara Basmi Semut: 14 Resep Alami untuk Mengusir Semut


Cara Mengatasi Bengkak & Gatal akibat Gigitan Semut Api


Kutu Kucing pada Manusia: Gigitan, Pengobatan & Pencegahannya
Terkini

Karakteristik, Sejarah & Sifat Penyembuhan Batu
Malachite
Malachite atau malasit, dalam Bahasa Indonesia disebut pula sebagai batu biduri … [Baca...]


Berapa Lama Seseorang dapat Bertahan Terjaga Tanpa Tidur?



14 Perbedaan antara Espresso dengan Kopi Biasa



13 Sebab Anda Mengalami Mimpi Buruk & Cara Mengatasinya



18 Fakta & Sejarah Mumi Hewan Mesir Kuno



10 Fakta dan Informasi Menarik tentang Bintang Laut

Tag
Afrika infeksi jantung antioksidan herbal insulin kolesterol madu kimia Hindu gula darah yunani
olahraga lemak susu protein Tips Herbal diabetes alkohol Jepang komputer hormon arteri
internet unsur Kehamilan kanker Alergi jerawat kulit mesir kuno sayuran Bakteri

www.Amazine.co - Copyright © 2018

Yayan Sakti Suryandaru, S.Sos.,MSi.

featured



Home



Profil



Login

Berpacu menjadi yang terbaik
Kritisi Media, Khalayak Kritis
10 January 2013 - dalam Ekpol Media Oleh yayan-s-fisip
Kritisi Media Lewat Khalayak Kritis[1]

Oleh:
Yayan Sakti Suryandaru[2]

Adagium pengaruh media massa pada masyarakat menyatakan, baik dalam skala mikro maupun
dalam skala makro, media massa mempunyai dampak yang tidak kecil bagi masyarakat. Dampak
yang sangat rentan atas pengaruh media massa bagi masyarakat adalah dampak kepada sistem
sosial yang dipunyai oleh sebuah sistem masyarakat (Baran, 2000). Hal ini menampakkan
adanya korelasi tak terbantah antara media massa yang menghasilkan sistem nilai tertentu
dengan proses pemaknaan hidup sosial masyarakat.

Dalam sejarah perkembangan media massa, nampak bahwa media massa memainkan peranan
penting membentuk pranata sosial baru ketika terjadi kemampatan tradisionalisasi masyarakat.
Pertama, revolusi mesin cetak memicu perkembangan kapitalisme baru yang dikembangkan
setelah revolusi industri. Produksi massal dan distribusi politik ekonomi yang cukup penting bagi
masyarakat pada waktu terdorong dengan adanya media cetak, yang kebanyakan pada waktu
diwujudkan dalam bentuk surat kabar, sebagai sarana informasi perkembangan dinamika sosial
masyarakat. Data memperlihatkan bahwa perkembangan surat kabar pada abad XIX dapat
dikatakan sebagai hal yang menonjol, terutama bagi sejarah pers. Meski tidak tertutup
kemungkinan dampak surat kabar kontemporer di kemudian hari selalu berkutat pada masalah
profesionalisme dan sensasionalisme budaya.

Kedua, penemuan radio dan “kotak bicara” yang pada akhirnya disebut dengan telepon
mendorong perluasan sistem nilai sosial yang tidak lagi dibatasi dengan ruang dan waktu. Ruang
publik dan privat yang tadinya sangat terbatas menjadi ditarik dalam batasan ruang yang lebih
longgar. Ini berarti dampak radio dan telepon tidak hanya berhenti pada soal relativisme ruang
saja tapi juga pada soal relativisme nilai masyarakat terhadap ruang dan waktu.

Ketiga, penemuan televisi yang didahului dengan penemuan telepon, telegraf, fotografi dan
rekaman suara telah membawa pada sensasi sosial yang tidak ditemukan pada teknologi
terdahulu. Sensasi sosial televisi ini pada waktu tertentu telah mendorong perubahan yang
dramatis pada sistem sosial masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan sosial politik yang
dipunyai oleh sebuah masyarakat. Setidaknya ada beberapa sensasi imaji sosial yang dibentuk
oleh televisi, yaitu proses pembedaan antara fakta dan imajinasi - isi televisi yang tidak lagi
dibatasi oleh waktu - dimensi waktu televisi yang semakin bisa mengakselerasi makna kekinian
sebuah peristiwa sosial - derajad objektivitas yang relatif tinggi - derajad intimitas televisi pada
para audiensnya dan kejelasan watak yang mau ditawarkan oleh televisi pada setiap tokoh yang
diekspos (Edward, 2005).

Dari sekedar perkembangan tiga fenomena dalam teknologi komunikasi, terlihat bahwa media
massa memainkan peranan yang sangat krusial dalam perkembangan sosial politik, ekonomi
masyarakat, terlebih pada soal demokratisasi sosial dan budaya. Setidaknya media massa
memainkan peranan kunci untuk mendesentralisasi kekuasaan politik dan sosial, opini atas
kekuasaan dan kekuatan, penyediaan sebuah wilayah di mana masyarakat tidak lagi didominasi
oleh paradigma kebenaran sosial yang bersifat manipulatif dan monopolistik, karena masyarakat
ditempatkan pada situasi untuk mudah memperoleh akses informasi yang cukup memadai untuk
mengadakan opini alternatif. Atau dengan kata lain dengan merujuk pendapat Jurgen Habermas
(1989), media massa telah membentuk wilayah yang bisa menjadi jembatan komunikasi antara
piranti kekuasaan dalam hal ini negara dengan para anggota warga.

Tentu saja memang ketika kita berbicara media massa dengan demokratisasi, kita harus juga
memperhatikan faktor ekonomi politik yang melingkupi keberadaan media massa dalam sebuah
masyarakat. Selain bahwa media massa mampu menjadi unsur keempat yang melengkapi Trias
Politica (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi hubungan
yang bersifat interplay antara media massa, masyarakat itu sendiri (diwakili oleh pasar) dan
negara sebagai penjamin (Giddens, 2000). Tapi fakta tersebut tidak mengurangi makna bahwa
media massa berperan positif dalam proses demokratisasi masyarakat.

Keragaman pendapat publik, alterasi kebijakan publik, pengembangan nilai akuntabilitas
keputusan sosial, penganekaragaman budaya massa, selera konsumen, gerak dinamis pasar, peran
cukup intervensi negara telah menciptakan proses demokrasi sosial yang lebih sehat dan rasional.

Teori Ekonomi-Politik Media
Teori ekonomi-politik media (political economy media theory) banyak berhutang pada kajian
yang dilakukan oleh Vincent Moscow dalam bukunya The Political Economy of Communication
(1998). Menurutnya pendekatan dengan teori ekonomi-politik media pada intinya berpijak pada
pengertian ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial, khususnya yang menyangkut
relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (resources). Dalam
ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset,
film, internet dan sebagainya (Moscow, 1998 : 25).

Dalam kajian media, perspektif ekonomi politik media merupakan bagian dari perspektif kritis
selain cultural studies, teori kritis, feminisme, teori resepsi pesan, dan semiotika (Mohammadi &
Mohammadi, 1990, hal. 15). Pendekatan ekonomi politik merupakan sebuah kajian yang
diidentifikasi sebagai kelompok pendekatan kritis (McQuail, 2000:82). Pendekatan ekonomi
politik memfokuskan pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik,
dinamika media, dan ideologi media itu sendiri.
Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan
operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem
ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik. Karakter utama pendekatan ekonomi
politik adalah produksi media yang ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media yang berbagai
macam di bawah kondisi tekanan ekspansi pasar dan juga ditentukan kepentingan ekonomipolitik pemilik modal dan pembuat kebijakan media (Garnham dalam Mcquail, 2000:82).
Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan,
sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal
maupun horisontal.
Menurut Mosco (1998), pengertian ekonomi politik bisa dibedakan dalam pengertian sempit dan
luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, yang
bersama-sama membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk sumber
daya komunikasi. Dalam pengertian luas kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan
sosial. Dewasa ini ini setidaknya terdapat tiga konsep penting yang ditawarkan Mosco untuk
mengaplikasian pendekatan ekonomi politik pada kajian komunikasi : komodifikasi
(commodification); spasialisasi (spatialization); dan strukturasi (structuration).
Komodifikasi berkaitan dengan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi
komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna

menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak media,
pasar, dan negara apabila masing-masing diantaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1998).
Spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai
transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa
spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan
besarnya badan usaha media (Mosco, 1998). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal
maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentukbentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi
antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk
memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.
Strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial
dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan
struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1998).
Secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15 – 32)
menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik komunikasi massa bisa dibedakan menjadi dua
macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam paradigma liberal; dan perspektif
ekonomi politik dalam paradigma kritis.
Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu
sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang
berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan
pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.
Mekanisme pasar itu, diatur oleh apa yang disebut Adam Smith sebagai “tangan tersembunyi”
(the invisible hand theory). Media massa menurut pandangan liberal ini benar-benar dilihat
sebagai sebuah produk kebudayaan yang harus diberikan kesempatan secara bebas dan luas
untuk dimiliki oleh siapapun juga dan untuk berkompetisi secara bebas dalam pasar tersebut.
Varian ekonomi politik liberal merupakan aliran pemikiran yang memberikan penekanan pada
peran media massa di dalam mempromosikan kebebasan untuk berbicara (freedom of speech).
Pemikiran ini memiliki beberapa kriteria. Kriteria yang pertama adalah masyarakat dipahami
sebagai kelompok-kelompok yang saling bersaing. Ini berarti kelompok yang berkuasa atau
kelompok yang dominan tidak terdapat. Kriteria kedua adalah media dilihat sebagai sistem
organisasi yang memiliki batas, mendapatkan otonomi dari negara, partai-partai politik serta
kelompok penekan. Kriteria ketiga adalah kontrol media dimiliki oleh elit manajerial yang
otonom, sehingga dapat menciptakan fleksibilitas terhadap profesional media. Kriteria keempat
adalah hubungan antara institusi media dan khalayak bersifat simetris.
Dalam perspektif ekonomi politik kritis, perspektif ekonomi politik mengikuti Marx untuk
memberikan perhatian pada pengorganisasian properti dan produksi pada industri budaya
ataupun industri lainnya, bukannya pada proses pertukaran sebagaimana dilakukan liberalisme.
Perspektif ini tidak mengabaikan pilihan-pilihan yang dibuat oleh produsen maupun konsumen

industri budaya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen itu dilihat dalam
struktur yang lebih luas lagi.
Golding dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media pada paradigma kritis.
Golding dan Murdock berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda dengan arus
utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan
intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah
keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public goods).
Sifat holistik dalam perspektif ini (terutama dalam konteks analisa ekonomi politik kritis)
merupakan satu dari beberapa pertimbangan yang dibuat dalam konteks perspektif ekonomi
politik kritis. Holistik di sini berarti menunjukan adanya keterkaitan saling mempengaruhi antara
organisasi ekonomi dan kehidupan politik, sosial, dan kultural. Analisisnya bersifat historis dan
secara moral menunjukkan keterkaitannya dengan persoalan public good. Aspek historis dalam
sifat holisme perspektif ekonomi politik kritis berpusat pada analisa pertumbuhan media,
perluasan jaringan dan jangkauan perusahaan media, komodifikasi dan peran negara.
Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan “dominasi” perusahaan media, baik
melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh
pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi
media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa
memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar. Proses komodifikasi justru menunjukkan
menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan menyaring
informasi.
Dalam konstatasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media di sini justru menjadi
alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi
kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibentuk oleh
kelompok kepentingan baik secara politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya
didasarkan pada antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan
merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi dimanfaatkan untuk
menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas kelas dibuktikan dengan
mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media dengan kepentingan kelas yang dominan.
Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik
sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil
karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi.
Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat,
pasar dan sistem yang ada.
Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga
kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang
mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelaskelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas
tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke
dalam norma-norma budaya dominan.

Apabila mainstream ilmu ekonomi melihat persoalan ekonomi sebagai satu hal dominan yang
terpisah dan khusus, maka perspektif ekonomi politik kritis melihat persoalan ekonomi itu
berada dalam hubungan dengan kehidupan politik, sosial, dan budaya. Liberalisme menekankan
pada kedaulatan dan kebebasan individual dalam kapitalisme, maka paradigma kritis
memberikan penekanan pada relasi sosial (social relations) dan kekuasaan (power).

Ideologi Media
Untuk mengkaji apa yang dikandung ideologi secara komprehensif, Althusser memperkenalkan
dua istilah kunci yaitu Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA).
Dalam terminologi marxian, aparat Negara yang represif (State Apparatus) terdiri dari
pemerintah, tentara, polisi, birokrasi, pengadilan, penjara dsb. Inilah yang oleh Althusser
kemudian dinamakan sebagai RSA. RSA menjalankan fungsinya melalui kekerasan (by
violence), baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun non fisik. Sedangkan ISA menjalankan
fungsinya secara ideologis (by ideology). Pada titik inilah terlihat secara jelas perbedaan antara
ISA dan RSA. Karena itu ISA tidak bisa disamarkan dengan RSA. Secara lebih jelas Althusser
memaparkan hal ini dengan beberapa alasan yaitu bahwa, pertama, hanya ada satu RSA, namun
pada sisi yang lain terdapat pluralitas ISA. Kedua, RSA bergerak terbatas pada wilayah publik,
sedangkan ISA dapat bergerak ke wilayah privat, seperti melalui lembaga agama, keluarga,
sekolah, media massa dan sebagainya.

Ada dua tesis dari Althusser untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, ideologi menghadirkan
imaginary relationship antara individu dengan eksistensi kondisi realitasnya, seperti yang
dikenal sebagai ideologi agama, ideologi etika, ideologi hukum, ideologi politik dan sebagainya
(McQuail, 2002 : 97). Tesis ini memperoleh satu pertanyaan yang sangat menarik yaitu mengapa
manusia memerlukan imaginary relationship. Menurut Ludwig Feurbach, dan kemudian
dikembangkan oleh Marx, manusia memerlukan imaginary relationship untuk mendapatkan
ketenangan dalam hidupnya, padahal sebenarnya mereka mengalami penindasan. Kondisi inilah
yang dinamakan sebagai alienasi (keterasingan) manusia dari realitasnya.

Tesis kedua, ideologi bisa dipastikan selalu mempunyai eksistensi material dalam segala
keberadaannya. Maksudnya, ideologi tidak dapat dibatasi sebagai ide semata, namun ia memiliki
aspek material yang berupa aparat yang menjalankan praktek ideologi bersangkutan dalam
realitas kehidupan. Dari kekompakan kerja antara RSA dan ISA inilah yang menjadikan
individu-individu seakan-akan takluk begitu saja di hadapan kekuasaan negara. Dari sinilah
kemudian Althusser mendefinisikan ideologi dalam dua tesis utama tersebut. (Burton, 2000:176).

Tipologi Khalayak

Perdebatan mengenai tipologi khalayak (audience) yang cukup dilematis dalam perkembangan
kajian komunikasi massa adalah polemik mengenai tipologi khalayak pasif berhadapan dengan
khalayak aktif. Pandangan khalayak pasif dipahami sebagai masyarakat yang dapat dengan
mudah dipengaruhi oleh arus langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak aktif
menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media.
Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat massa lebih memiliki
kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak pasif, meskipun tidak semua teori
khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori masyarakat massa. (Littlejohn, 1996:330).

Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca berdasar penelitian yang dilakukannya
sebagaimana termuat dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience :
The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998), menjelaskan beberapa
kategori khalayak. Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif
dalam proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Mereka tidak asal-asalan
dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu.

Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) dimana khalayak aktif dikatakan
mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan
tertentu yang mereka miliki. Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality),
yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang keempat
adalah keikutsertaan (involvement), atau usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir
mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media. Yang kelima, khalayak aktif dipercaya
sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau
tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).

Penonton tidak pernah menjadi pihak yang pasif dalam membaca sebuah fenomena kebudayaan.
Hal ini disebabkan karena makna yang dikeluarkan oleh sinetron misalnya, tidak pernah
langsung diterima begitu saja oleh penonton. Sebaliknya, penonton melakukan kontekstualisasi
makna-makna tersebut dengan kondisi nyata yang dialaminya, penonton juga melakukan
modifikasi sendiri sehingga makna tersebut sesuai dengan keinginannya. Maka, penonton adalah
pihak yang aktif, dan proses konsumsi fenomena kebudayaan pun menjadi sesuatu yang kreatif.

Televisi merupakan sesuatu yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, maka itu analisis televisi
- termasuk juga sinetron - tidak hanya harus dilekatkan dengan persoalan makna dan interpretasi
melainkan harus juga dihubungkan dengan ritme rutinitas kehidupan sehari-hari. Menonton
televisi biasanya dilakukan di ruang keluarga, atau di tempat tidur. Dari ruang-ruang pribadi ini,
menarik untuk mengamati bagaimana penonton melakukan ritual-ritual tertentu sebelum mulai
menonton sinetron kesayangannya, misalnya mereka akan menyiapkan makanan kecil sebagai

teman menonton, dan memanggil teman-teman atau saudara, mengingatkan bahwa sinetron
kesayangan mereka sebentar lagi akan diputar.

Dalam menerima pesan-pesan, penonton sering menempatkan diri dalam posisi yang berbedabeda sesuai dengan kode-kode pembacaan yang mereka jalankan. Stuart Hall (1981) mengajukan
tiga macam kode yang biasanya diikuti yaitu: dominant code, negotiated code, dan oppositional
code. Dalam kode dominan, penonton menerima makna-makna yang disodorkan oleh sinetron.
Dalam kode negosiasi, penonton tidak sepenuhnya menerima makna-makna yang disodorkan
tapi mereka melakukan negosiasi dan adaptasi sesuai nilai-nilai yang dianutnya, sementara dalam
kode oposisi, penonton tidak menerima makna yang diajukan dan menolaknya.

Ekopol Produksi Content Media
Analisis ekonomi-politik termasuk sisi produksi dan distribusi di dalamnya selama ini diabaikan.
Analisis budaya lebih memusatkan perhatiannya pada analisis tekstual. Menurut Kellner (1997),
analisis ekonomi-politik perlu lebih ditekankan mengingat kenyataan bahwa kebudayaan selalu
berada dalam satu bidang bersama-sama dengan sistem ekonomi, hukum, negara, institusiinstitusi sosial, media massa dan dimensi-dimensi lain dari realitas sosial. Kenyataan lain yang
harus dihadapi adalah bahwa kebudayaan selalu diproduksi dalam hubungan dominasi dan
subordinasi. Analisis yang meletakkan kebudayaan dalam sistem produksi dan distribusi dapat
membantu menguraikan dan menjelaskan hal-hal yang membatasi produksi suatu artefak
kebudayaan, wacana-wacana apa saja yang sedang dominan berlangsung dalam masyarakat saat
itu, juga pengaruh aspek politik pada saat artefak kebudayaan tersebut didistribusikan.
Sebenarnya, analisis ekonomi-politik juga harus mempertimbangkan perspektif-perspektif lain
dalam menganalisis sesuatu. Perspektif-perspektif lain tersebut bisa berupa perspektif gender,
ras, etnisitas, kelas, atau nasionalisme. Semakin kaya perspektif yang dipakai untuk menganalisa,
maka hasil analisa akan semakin bagus.

Penulis mengambil sinetron sebagai salah satu contoh produk media dalam makalah ini. Rumah
produksi (production house), sutradara, pemain, naskah, pembuat naskah, industri musik, iklan,
stasiun televisi, dan penonton adalah aspek-aspek yang terdapat dalam sinetron dan terentang
dari proses produksi sampai konsumsi. Pemilihan sinetron-sinetron yang ditayangkan oleh
stasiun-stasiun televisi juga penting untuk dicermati mengingat stasiun televisi mempunyai
kriteria dan standar-standar tertentu yang ditetapkan. Kriteria-kriteria tersebut meliputi ide cerita,
siapa yang membuat naskah, siapa sutradaranya, siapa saja artis-artis yang dilibatkan. Semua itu
adalah nilai-nilai utama dari sinetron yang menentukan apakah sebuah sinetron layak jual atau
tidak. Selain persoalan-persoalan diatas, hal lain yang harus diperhitungkan adalah kecocokan
antara cerita, jumlah slot tayang yang direncanakan, dengan harga yang ditetapkan.

Saat produksi sinetron berjalan, aspek-aspek yang mempengaruhinya juga semakin banyak.
Misalnya, jika rating sebuah sinetron naik, dan jumlah iklan yang masuk juga semakin tinggi,
sementara rangkaian episodenya sudah hampir habis, maka sutradara dan penulis naskah dipaksa
untuk melipatgandakan jumlah episode dan melakukan pengembangan cerita yang kadangkala
menyimpang dari ide cerita awal. Bahkan seringkali terjadi pengembangan cerita tersebut
dilakukan tanpa perencanaan khusus, dan dilakukan langsung di tempat pengambilan gambar
berlangsung. Hal seperti ini biasanya terjadi pada sinetron-sinetron yang jumlahnya sudah
mencapai ratusan episode. Sinetron yang banyak digemari seperti Cinta Fitri (RCTI) atau
Tersanjung (Indosiar) bahkan dapat semakin terdongkrak popularitasnya karena karakter
sejumlah tokohnya laris dipinjam untuk memerankan iklan-iklan produk dan iklan layanan
masyarakat.

Rating Pendongkrak Iklan
Bagi televisi, “kualitas” program diukur dari angka rating dan share yang pada akhirnya
memengaruhi perolehan iklan. Televisi cenderung berkiblat pada rating dan share yang
menentukan layak tidaknya suatu program acara. Rating menjadi faktor utama yang menentukan
definisi selera audiens, mutu acara, serta menentukan keputusan dan strategi televisi. Baik-buruk
atau nilai-nilai kepatutan menjadi nomor sekian dari hal-hal yang harus diperhatikan di luar
pertimbangan rating.

Di tengah pemujaan rating, sistem rating mendapat banyak kritik tajam karena kelemahankelemahan praktik metodologis maupun teknis penyelenggaraan survei yang dilakukan. Secara
mendasar, rating misalnya tidak mampu menggambarkan perilaku menonton secara mendalam,
seberapa fokus pemirsa menonton acara tersebut, representasi penonton Indonesia yang hanya
diukur dari sepuluh kota, teknik pengambilan sampel, dinamika pergantian responden (panel),
dan sebagainya.

Pembacaan rating oleh pihak televisi, production house (PH), biro iklan-media planner, bahkan
masyarakat pada umumnya juga mengalami distorsi makna. Kesalahpahaman ini berangkat dari
realitas media yang selalu menonjolkan sudut pandang capaian angka rating dan share untuk
menilai kesuksesan atau keberhasilan tayangan TV. Wacana yang keliru mengenai makna rating
awalnya bukan hanya berpangkal pada kesalahan media, melainkan adanya dominasi cara pikir
instan penyiaran yang diwakili programmer yang bertugas menyusun jadwal acara siaran seharihari serta praktisi sales-marketing yang menjual durasi acara kepada pengiklan. Pun dari sisi
kredibilitas penyelenggara rating, yakni Nielsen juga sempat dipertanyakan, sebagaimana rumor
yang sempat beredar di internet, terutama di milis-milis maupun weblog. Kontroversi yang
mengemuka antara lain menyangkut independensi, validitas, ketidakjelasan kompetensi petugas
survei-tenaga lapangan dari lembaga yang bersangkutan, sampai remeh temeh soal minimnya
imbalan yang diberikan kepada responden, dan sebagainya.

Sejak keterbukaan informasi dibuka lebar dan banyak stasiun televisi swasta berdiri, televisi
Indonesia terkena sindrom snobisme; terjebak dalam selera pasar dengan mendasarkan pada
rating acara. Rating menentukan nilai jual program kepada para pengiklan. Semakin tinggi rating
sebuah acara, semakin besar pula minat para pengiklan untuk mensponsori acara meskipun
dengan harga yang tinggi. Akibatnya, semua stasiun televisi berlomba-lomba membuat acara
semenarik mungkin dan bisa menyedot sebanyak mungkin pengiklan.

Opini publik tentang rating acara televisi selalu dominan diwarnai oleh dua pandangan hipotetis.
Pertama, bila acara memiliki rating tinggi, maka otomatis acara tersebut dinilai bagus. Kedua,
sebaliknya, suatu program acara divonis tidak bagus jika capaian angka rating tergolong rendah.
Akibat lebih jauh dari wacana media yang mengunggulkan rating membuat para sebagian
praktisi dan profesional penyiaran, khususnya yang berkecimpung pada produksi tipe program
bergenre nonrating, seperti informasi (news) dan acara keagamaan, menjadi turun pamor dan
jatuh “harga banderolnya” di mata manajemen TV.

Kondisi ini sejalan dengan pemaparan Mosco tentang kajian ekonomi politik media, yakni
praktik media massa saat ini selalu melakukan komodifikasi dengan melakukan serangkaian
proses produksi isi media berdasarkan kepentingan pasar (Mosco, 1998: 140-212). Seperti
halnya barang dagangan, pengelolaan media sarat akan nilai-nilai ekonomis yang berkiblat pada
angka rating, efisiensi dan efektivitas produksi, tiras media, serta pemfokusan target konsumen
potensial. Produk media diarahkan untuk menarik perhatian audiens dalam jumlah besar (Mosco,
1998: 140-212). Sejak lama Chesney (1998) mengkritik praktik ini dengan mengatakan bahwa
media sekarang menjadikan dirinya sebagai pelayan kepentingan dan kebutuhan pasar daripada
kepentingan publik. Penegasan ini tidaklah berlebihan mengingat orientasi produk media hampir
semuanya cenderung memenuhi keinginan konsumen dan pemasang iklan. Fakta ini juga
semakin mengokohkan posisi khalayak sebagai produk yang dijual kepada pemasang iklan
maupun sebagai buruh yang dieksploitasi kalangan industrialis televisi.

Dalam posisi demikian, sulit diharapkan media menjadi bagian dari pembentuk karakter bangsa
yang sehat karena institusi media lebih memilih semata-mata menjadi pemasok industri kultural.
Dalam industri kultural, produk yang diciptakan selalu berorientasi pada konsumsi massa. Proses
produksinya senantiasa mempertimbangkan kepentingan material (modal-uang) dan hiburan
(kesenangan). Wheeler (1997: 40) menyindir kondisi itu sebagai komersialisasi “sampah” yang
berbahaya karena berdampak serius pada kualitas hidup manusia.

Bayangkan saja penonton kita mengalami cultural brain wash dengan dicekoki kebutuhankebutuhan palsu dengan bentuk-bentuk tontonan yang gersang, tidak edukatif-inovatif, serta
lebih banyak menonjolkan melankolisme kehidupan. Contoh sederhana bisa dilihat dari salah
satu tayangan yang paling digemari masyarakat, yakni sinetron. Praktik-praktik industri sinetron
Indonesia, jika ditilik di luar konteks makro, yakni dari aspek internal produksi dan kebijakan
pengelola televisi sendiri, menunjukkan beberapa “penyakit” yang kontraproduktif bagi sebuah
karya seni. Ironisnya, praktk-praktik ini justru mewabah bergerak progresif dengan angka
capaian rating. Jika dirunut sederhana, penyakit itu antara lain tampak dari hal-hal sebagai
berikut: epigon (mengekor), jiplakan, episode yang dipanjang-panjangkan, sekuel yang
dipaksakan berlanjut, skenario monoton, adopsi mentah dari luar, menjual wajah tampan/cantik,
berkedok religius-meski sebenarnya mengarah pada kesyirikan, memaksakan lagu hits menjadi
tema/daya tarik sinetron, banyaknya hal-hal klise ditampilkan, jam tayang yang cenderung
seragam, menampilkan unsur SARA, Jakartasentris, bias gender, stereotipe yang berlebihan,
mengumbar makian dan umpatan, eksploitasi tubuh perempuan, kekerasan dan sadistis, mistik,
dan sebagainya.

Pada perkembangan selanjutnya, kalaupun ada tayangan kontroversial—ber-rating tinggi—
dihentikan oleh pengelola televisi, itu terjadi setelah ada keberatan dari masyarakat. Dalam
beberapa kasus yang menyangkut acara hiburan misalnya, pihak televisi atau production house
mau mendengarnya karena tidak ada pilihan lain. Pihak televisi seolah selalu punya argumen
bahwa apa yang mereka tawarkan adalah semata-mata hiburan. Konsep hiburan (entertainment)
bagi industri televisi sebagai bahan jualan utama memang sulit dibendung karena secara
mendasar, media hiburan memiliki formula yang ampuh untuk menarik dan mempertahankan
perhatian audiens (Potter, 2001: 113).

Lebih lanjut, dilihat dari sisi internal media, para pekerja televisi sering mengedepankan
pentingnya rating dan share untuk mendongkrak popularitas stasiun televisi. Kepentingan
divisional itu membuat pola pikir pragmatis dengan menjadikan angka rating sebagai informasi
tunggal untuk menetapkan pola acara dalam konteks persaingan dengan televisi lain. Sementara
itu, praktisi sales-marketing berfokus bagaimana secara cepat mampu mengejar dan memenuhi
target penjualan spot iklan. Karena tak mau sedikit membuka wawasan menerima kreasi baru
program acara, ketika meyakinkan pengiklan agar mau menaruh spot iklan ke acara yang
dimaksud, ia hanya mengandalkan semacam “benchmark” dari data yang sudah siap saji. Dalam
praktiknya, marketing bermodus kreativitas instan seperti ini cenderung mencari kemudahan
mendapatkan klien dengan menyebut nama acara yang sudah ada sebagai cara praktis
menggambarkan isi acara yang ditawarkannya kepada pengiklan.

Mengapa televisi sedemikian takluk pada rating? Tidak sama dengan media cetak atau media
interaktif (internet), televisi memiliki potensial viewer yang sangat besar. Di luar ketegori televisi
berlangganan atau televisi kabel, nyaris tidak ada biaya (uang) yang dikeluarkan seseorang untuk

menonton televisi. Maka masyarakat penonton televisi Indonesia yang notabene rata-rata
berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, cenderung memilih mengonsumsi media televisi,
dibanding media lainnya. Fakta ini didukung pula oleh kekuatan televisi sebagai media
penyampai iklan dengan berbagai kelebihan, terutama kemampuan menggabungkan citra verbal
dan nonverbal dalam format audio visual yang mudah diakses sulit ditandingi media manapun.
Tak heran bila belanja iklan di televisi jauh mengungguli media lainnya. Pengiklan sangat
berkepentingan dengan kemampuan menjangkau jumlah pemirsa sebanyak mungkin terhadap
materi iklannya yang disiarkan melalui acara TV, sehingga biaya promosi yang dikeluarkan itu
(cost) berpotensi balik dengan jumlah keuntungan (benefit) yang jauh lebih tinggi.

Hasrat beriklan ini mencapai puncaknya pada acara-acara yang berkategori tayang prime time.
Menurut Nielsen Media Research (NMR), prime time adalah waktu ketika semua orang sudah
pulang ke rumah dan menonton televisi. Terletak antara pukul 19.00 – 21.00 malam. Prime time
dipercaya akan menghasilkan rating yang lebih tinggi dibanding waktu lain. Pemahaman ini
membuat acara yang tayang pada waktu tersebut menjadi lebih mahal harganya (Panjaitan &
Iqbal, 2006: 42). Momen istimewa prime time digunakan televisi untuk menayangkan program
acara (sebutlah sinetron sebagaimana disinggung sebelumnya) yang isinya kurang lebih sama.
Keseragaman ini bergeser lebih awal pada momen-momen tertentu, misalnya bulan Ramadhan.
Akibatnya, publik yang ingin mencari alternatif tayangan tidak diberi kesempatan. Hak publik
untuk memperoleh keragaman materi produksi televisi (diversity of content) pada jam-jam
tersebut tampaknya diabaikan begitu saja oleh pengelola stasiun televisi.

Permasalahan yang selalu mengemuka mengenai metode rating Nielsen adalah soal akurasi. Ada
jutaan televisi yang dimiliki oleh jutaan keluarga di sebuah negara. Sementara, Nielsen hanya
mengambil 5000 di antaranya. Apakah sampel sesedikit itu bisa merepresentasikan perilaku
menonton masyarakat dengan akurat?

Jawaban dari pertanyaan ini adalah “iya, namun dengan keterbatasan”. Sebuah sampel penelitian
tidak perlu terlalu banyak untuk bisa merepresentasikan keseluruhan populasi, selama sampel
tersebut representatif. Dominick, dkk (2004: 280) memberi ilustrasi dengan analogi: seseorang
yang pergi ke dokter untuk tes darah. Sang dokter tentu tidak perlu mengambil 2 liter darah dari
tubuh orang tersebut. Yang diperlukan hanyalah beberapa milimeter saja. Namun dari jumlah
yang sedikit itu sang dokter sudah bisa memperkirakan jumlah sel darah merah, tingkat
kolesterol, kadar haemoglobin, dan lain-lain.

Sekalipun demikian, hasil rating Nielsen tetap saja tidak bisa tepat sepenuhnya, selalu ada
kemungkinan akan sampling error. Survei rating Nielsen memang memiliki validitas internal
yang baik karena menggunakan alat ukur canggih yang mampu mengurangi kesalahan masukan

data sekecil-kecilnya. Akan tetapi, validitas eksternalnya terlalu lemah untuk sampai bisa
megatakan bahwa hasil rating ini mewakili gambaran umum se-Indonesia. Hasil rating harus
dibaca lebih spesifik, hanya berlaku untuk kota besar di barat negeri yang tercakup pengukuran
ini. Lagipula, sampel tidak meliputi wilayah pedesaan yang justru didiami delapan puluh persen
masyarakat Indonesia. Selain itu, 55 persen sampel adalah khalayak Jakarta. Jadi, boleh dibilang
masyarakat Jakarta “sangat berkuasa” mempengaruhi jenis tayangan televisi, karena hasil rating
menjadi acuan siaran stasiun televisi Jakarta, yang daya pancarnya menjangkau hampir seluruh
Nusantara (Prakoso, http://www.semestanet.com/2010/06/10/beginilah-cara-rating-dilakukan/).

Di Amerika, Nielsen Media Research menggambarkan dua tipe berbeda dalam mengambil
sampel saat ingin mengukur aktivitas menonton TV di Amerika Serikat. Pertama, NTI yang
didesain untuk merepresentasikan populasi di sebuah daerah. Hasil datanya bertaraf nasional.
Sebagai sampel, Nielsen mula-mula memilih acak lebih dari 6000 area di suatu negara, biasanya
berpusat pada area urban, lalu mensensus seluruh rumah tangga yang ada di area itu. Setelah itu,
5000 rumah tangga dari seluruh populasi diambil lagi secara acak. Setiap keluarga dihubungi,
dan jika mereka bersedia untuk menjadi responden, Nielsen akan memasang People meter.

Prosedur yang hampir sama di Indonesia juga dilakukan oleh AGB Nielsen yang saat ini wilayah
surveinya mencakup 10 kota besar, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung,
Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin. Tingkat penyebaran panel (satu
set perangkat pencatatan rating pada televisi responden) didasarkan pada survei awal atau
Establishment Survey (ES) di 10 kota tersebut untuk menetapkan dan mengidentifikasi profil
demografi penonton TV. Dari ES, akan didapatkan jumlah rumah tangga (berusia 5 tahun ke
atas) yang memiliki TV yang berfungsi dengan baik atau disebut populasi TV. Penyebaran
sampel tidak sama di setiap kota, yaitu Jakarta 55 persen, Surabaya 20 persen, Bandung 5 persen,
Yogyakarta 5 persen, Medan 4 persen, Semarang 3 persen, Palembang 3 persen, Makassar 2
persen, Denpasar 2 persen, dan Banjarmasin 1 persen. Angka ini proporsional berdasarkan
populasi kepemilikan televisi di tiap-tiap kota itu. Kepemilikan televisi di Jakarta, misalnya, 55
persen terhadap total 10 kota, maka jumlah sampelnya 55 persen.

Penyebaran panel juga didasarkan target pemirsa, misalnya Status Ekonomi Sosial (SES),
pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Sama dengan penyebaran panel per area, pembagian
panel per SES juga didasarkan atas ES. Jika dari ES tergambar bahwa populasi TV Jakarta
sejumlah 19% berasal dari SES A, maka panel SES A yang direkrut pun sebanyak 19% dari total
panel Jakarta. Demikian pula, penyebaran panel secara keseluruhan pun didasarkan atas proporsi
di tingkat populasi yang persentasenya tentu tidak merata antara kelas atas (26%), menengah
(51%), dan bawah (23%).

Dari teknik ES ini banyak yang mempertanyakan mengapa pemerataan pada sebaran datanya,
tidak diambil jumlah responden yang seimbang misalnya untuk kelas ekonomi atas 33,3%, kelas
ekonomi menengah 33,3 %, untuk kelas ekonomi bawah 33,3%, sehingga total 100%? AGB
Nilesen yang saat ini sudah beroperasi di lebih dari 30 negara berargumen bahwa penyebaran
panel tidak bisa disamaratakan dengan proporsi masing-masing 33,3% karena yang akan terjadi
nantinya justru sampel tidak mewakili populasi.

Pada aspek lain secara teknis pergantian responden selam kurun waktu tertentu juga
memengaruhi kualitas dan akurasi survei. Idealnya sebuah keluarga atau sebuah rumah yang
menjadi responden televisi menjadi reponden selama 6 bulan saja atau maksimal selama 1 tahun.
Setelah itu AGB Nielsen harus mencari responden baru. Secara statistik hal itu perlu dilakukan
demi menjaga objektivitas data. Di sisi lain bertujuan agar secara psikologis, mood responden
tidak mempengaruhi data selanjutnya.

Perdebatan metodologis mengenai akurasi rating menjadi hal yang wajar mengingat secara
mendasar terdapat dua model dasar dalam mempelajari audiens dan media, yakni model efek dan
penggunaaan-gratifikasi. Kedua model ini memberikan penekanan yang berbeda. Model efek
merujuk pada penekanan kekuatan “pesan” yang disampaikan media kepada audiens sehingga
memposisikan audiens seolah-olah pasif, sementara model penggunaan dan gratifikasi memberi
penekanan pada apa yang dilakukan audiens terhadap media. Ini menunjukkan otoritas dan
kekuatan audiens dalam menggunakan media. Berdasarkan perbedaaan mendasar tersebut, dalam
mempelajari riset audiens tidak cukup hanya dengan sistem rating yang mendasarkan pada
metode penelitian kuantitatif, yang mengukur semua dimensi bedasarkan angka-angka. Untuk itu
perlu digagas alternatif lain selain rating yang hanya berbicara mengenai angka-angka statistik
yang kental beraroma positivistik.

Pengembangan Media Literacy
Keprihatinan terhadap dominasi media dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya bukan cuma
monopoli negara-negara berkembang yang tengah mengalami booming sektor media—baik
sebagai sektor publik maupun sektor bisnis-industri. Negara-negara maju yang memiliki
interaksi historis cukup panjang dan intens dengan media pun ternyata juga menghadapi
permasalahan serupa. Sama dengan permasalahan kita, kehadiran media massa dalam pasar
kapitalisme neoliberal menciptakan ancaman bagi nilai-nilai multikultural yang hendak
disosialisasikan, dan menjebak media hanya pada content yang itu-itu saja: memanjakan selera
(rendah) penonton, untuk menjaga pundi-pundi pemodal media.

Dalam visi ideal filosof Juergen Habermas, media dalam sistem yang demokratis semestinya
berfungsi sebagai arena ruang publik. Yang dimaksud dengan ruang publik adalah wilayah di
mana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi, bertukar pikiran, dan berdebat tentang
masalah-masalah publik, tanpa perlu merisaukan intervensi penguasa politik dan/atau e