Mengubah Teks Ulasan Film dan Drama dala

Mengubah Teks Ulasan Film dan
Drama dalam Bentuk Resensi

[Type the document subtitle]

Nama : Nurul Fuada
Kelas : XI MIPA 2

SMA NEGERI 2 BUKITTINGGI
TP : 2014/2015

A. Contoh Teks Ulasan Film

Di Balik ‘98
Orientasi
Di Balik '98 adalah sebuah film produksi MNC Pictures yang
bercerita tentang peristiwa rusuh 1998. Rakyat Indonesia tentu tahu
mengenai peristiwa Mei 1998. Ya, waktu itu adalah waktu-waktu yang
genting bagi tahta kepresidenan Soeharto dan Orde Baru. Tetapi Di balik
98, dibalik panasnya situasi politik, ada cerita-cerita yang bisa dipetik nilai
kemanusiaannya.

Tafsiran
Dikisahkan, Diana (Chelsea Islan), seorang mahasiswi Trisakti
akhirnya memutuskan untuk menjadi demonstran. Masa kekuasaan
Soeharto, menurutnya harus segera diakhiri. Memilih untuk menjadi
demonstran merupakan aplikasi yang kurang tepat, mengingat Diana kini
tinggal dengan kakaknya, Salma (Ririn Ekawati), seorang pegawai Istana
Negara, dan suami Salma, Bagus (Donny Alamsyah), seorang Letnan Dua,
Angkatan Darat.
Sejak awal krisis moneter, Diana sudah menjadi bagian dari gerakan
gabungan seluruh mahasiswa Indonesia yang menuntut turunnya
presiden Soeharta. Ini adalah salah satu bentuk dari ketakutan
masyarakat, dan puncaknya terjadi saat 13-14 Mei, dimana 4 orang
mahasiswa tertembak mati oleh aparat.
Di tengah kondisi yang sangat kacau ini, presiden Soeharto (Amoro
Katamsi) memutuskan untuk pergi ke Kairo, menghadiri KTT G-15.
Sedangkan wakil presiden, B.J. Habibie dikejutkan oleh insiden
penembakan di Trisakti yang berbuntut kerusuhan besar.
Kemarahan bukan hanya milik Diana atau mahasiswa, tetapi juga
Bagus, kakak iparnya. Mengetahui istrinya sedang hamil tua, Bagus tetap
harus melaksanakan perintah atasan demi menjaga keamanan wilayah di

berbagai titik di Jakarta. Semakin runyam hati Bagus saat mengetahui
istrinya tak ada di Istana, karena pergi mencari Diana yang sudah
beberapa hari tidak ada kabar dan tidak pulang ke rumah.

Semuanya kian pelik saat Daniel (Boy William), pacar Diana,
seorang keturunan Tionghoa, harus juga merasakan pedihnya hari-hari
kala itu. Ayah dan adiknya menghilang dalam kerusuhan 14 Mei. Bahkan
Daniel juga nyaris terjebak sweeping warga dalam penyaringan orangorang Non Pribumi, yang saat itu menjadi puncak issue rasial di Indonesia.
Disisi lain, rakyat sekelas gembel dan pengemis pun harus turut
merasakan bagaimana imbas politik yang terjadi, dan dampak buruknya
bagi mereka.

Evaluasi
Film yang dirilis pada 15 Januari 2015 lalu ini bukanlah film politik,
tetapi film drama keluarga, percintaan, yang dibalut dengan latar
belakang kekisruhan Mei 1998. Dan karena ini adalah film, memiliki
paradigma yang berbeda dengan kejadian kerusuhan Mei '98 tersebut.
Dengan memasukkan bumbu-bumbu fiksi berupa kisah Diana, Daniel, dan
yang lainnya, akan melengkapi film Dibalik 98 menjadi lebih sempurna.
Kisah genting 1998 memang sampai saat ini masih terkenang

dengan baik, khususnya bagi mereka yang mengalami atau menyaksikan
langsung peristiwa tersebut. Namun Lukman Sardi, sang sutradara,
mencoba menggambarkan problematika lain yang terdapat Dibalik 98
untuk diketahui masyarakat. Kehadiran Chelsea Islan yang namanya
sedang naik daun, berbanding lurus dengan kualitas aktingnya yang
semakin mumpuni. Boy William pun tak kalah hebatnya memainkan
mahasiswa turunan Tionghoa yang ikut merasakan kepahitan 1998. Untuk
masalah pemain, Dibalik 98 memberikan yang terbaik. Verdi Solaiman,
Alya Rohali, Fauzi Baadilla, Teuku Rifnu Wikana, Bima Azriel, dan masih
banyak yang lainnya juga akan tampil di sini.
Rangkuman
Jika Anda belum mengetahui bagaimana kira-kira situasi pada Mei
1998, Dibalik 98 juga memberikan jawabannya. Karena meskipun
mengedepankan kisah drama, film ini tetap memiliki latar belakang politik
yang dapat dipercaya demi keutuhan cerita. Bagaimana para demonstran
akhirnya dijamu oleh MPR/DPR, bagaimana perbincangan empat mata
presiden dengan wakil presiden, juga bagaimana keresahan yang
sebenarnya dialami oleh warga kala itu. Yang tak diduga adalah, beberapa
adegan film Dibalik 98 memiliki unsur komedi saat Anda diperlihatkan
tokoh-tokoh politik yang diperankan oleh aktor-aktor yang tidak terduga.


Itu adalah nilai tambah lain untuk film dari MNC Pictures yang satu ini.
Jadi, keputusan menonton film ini ada di tangan Anda.

B. Contoh Teks Ulasan Drama
Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis
Orientasi
Tradisi film musikal yang awalnya dikembangkan Hollywood pernah
disebut sebagai ‘ode bagi perkawinan’. Ini mengacu pada kecenderungan
film-film musikal klasik tahun 1930-1960an yang berpaku pada narasi dua
karakter yang beroposisi dalam hal gender, ras, agama, latar belakang,
temperamen, dan sebagainya untuk kemudian ‘dipasangkan’. Tradisi
oposisi biner ini, meski tidak secara harfiah berhubungan dengan
perkawinan, juga digunakan oleh Rumah Tanpa Jendela.
Rumah Tanpa Jendela, sebuah film musikal kanak-kanak yang diadaptasi
dari cerpen karya Asma Nadia, mengambil model biner dari dongeng
moral Mark Twain: The Prince and The Pauper. Sang pangeran adalah
Aldo, seorang anak laki-laki dari keluarga kaya-raya dengan sindrom
mental tak terjelaskan yang membuatnya mengalami ‘penolakan’ dari
komunitasnya (anggota keluarga).

Aldo mewakili ide paradoks keluarga borjuis yang pemenuhan kebutuhan
fisiknya berlebihan, tapi jiwanya kering dan mengakibatkan dilema
personal. Sementara si miskin adalah Rara, gadis cilik yang sesekali
bekerja sebagai ojek payung di sanggar lukis tempat Aldo belajar. Rara
tinggal bersama neneknya (Simbok, diperankan Inggrid Widjanarko) dan
ayahnya (diperankan secara tidak meyakinkan oleh aktor yang terlalu
muda, Raffi Ahmad) di pemukiman kumuh dengan rumah-rumah yang
dibangun dari kombinasi seng-triplek-kayu bekas tanpa jendela. Mudah
ditebak, kondisi ini membuat Rara terobsesi untuk memiliki rumah dengan
jendela. Sebuah impian yang harus ia bayar mahal di kemudian hari.
Tafsiran Isi
Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu dan
bersahabat lewat peristiwaaccidentally on purpose (strategi naratif yang

banyak dikembangkan film-film Indonesia, yaitu rangkaian ‘kecelakaan’
atau ‘kebetulan’ yang sulit dipercaya demi mendorong alur cerita).
Namun, pertemuan Aldo dan Rara tentu tak hanya soal pertemuan antar
individu, tetapi juga pertemuan dua kutub latar belakang ekonomi yang
diwakili oleh keluarga Aldo dan teman-teman Rara: antara si miskin dan si
kaya. Pertemuan ini, bisa diduga, tak berjalan mulus. Ibu dan kakak

perempuan Aldo menganggap teman-teman baru Aldo yang meng-‘invasi’
rumah mereka sebagai perusak dekorasi rumah tangga dan status sosial.
Sementara kemewahan rumah Aldo dengan banyak jendela menularkan
obsesi memiliki rumah berjendela di kalangan teman-teman Rara sesama
penghuni pemukiman kumuh dan murid sekolah singgah (sekolah gratis
bagi anak-anak jalanan/pemulung/miskin yang dikelola guru muda cantik
berjilbab bernama Bu Alya).
Tidak banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan
ditarikan dalam film ini kecuali penekanan dramatis belaka. Satu-satunya
yang terwakili oleh scene-scene musikal dan gerak kamera serta editing
yang kadang hiperaktif itu adalah energi dan semangat kanak-kanak.
Namun, scene-scene musikal tersebut tak menambahkan lebih pada
bangunan makna film (bentuk dan gaya) kecuali hanya sebagai penanda
‘kesahihan’-nya sebagai film musikal. Adegan musikal kebanyakan
merupakan penampilan kolektif, jarang ada penampilan tunggal (solo).
Penekanan pada kolektivitas ini salah satu ‘karateristik’ film musikal klasik
Hollywood yang ingin menjual ide-ide soal komunitas dan stabilitas sosial,
baik relasi inter-komunitas (konflik keluarga Aldo) maupun antarkomunitas (konflik antara keluarga Aldo dan komunitas Rara).
Layaknya dongeng kanak-kanak majalah Bobo, film Rumah Tanpa
Jendela menyampaikan ajaran moral pada anak-anak untuk menghadapi

realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi dalam perbedaan,
baik secara struktur sosial-ekonomi maupun kondisi fisik/ mental. Fungsi
ideologis yang ditawarkan film musikal adalah resolusi dari ketakutan
akan perbedaan yang diwakili oposisi biner dalam naratif. Namun,
permasalahan dari film musikal anak-anak adalah bahwa ia menawarkan
resolusi yang dibayangkan oleh pembuat film agar bisa dipahami oleh
anak-anak. Hal ini hanya dimungkinkan dengan melakukan
penyederhanaan.
Penyederhanaan posisi biner si miskin dan si kaya terwakili oleh narasi
sosial-ekonomi Aldo dan Rara. Aldo, si kaya, memiliki
berbagai privilege (mobil mewah, rumah mewah, supir, pembantu,
sekolah khusus). Sementara Rara mewakili narasi kemiskinan dalam
segala keterbatasan materialnya: rumah tanpa jendela, sekolah seadanya,
kerja sampingan. Maka, perbedaan si miskin dan si kaya dalam film ini
adalah ia yang berpunya dan ia yang tak-berpunya.

Meskipun aspek kemiskinan tampil secara satu dimensi, film ini tidak
melakukan sterilisasi berlebihan layaknya film-film Indonesia kebanyakan
yang menggambarkan kemiskinan. Hal ini didukung oleh penggambaran
keluarga baik-baik dan protektif yang cukup meyakinkan sebagai alasan

pergaulan Rara yang steril dari eksploitasi (prostitusi, mengemis) maupun
perilaku destruktif (nge-lem, narkoba, rokok, mencuri/menodong) yang
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat miskin di belahan dunia
manapun. Lagipula, memakai perspektif realisme sosial dalam menilai film
musikal adalah sia-sia mengingat film musikal sendiri menawarkan utopia
dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri (self-reference).
Dalam hal ini, film musikal mengamini konsep ‘film yang menghibur’
sebagai utopia itu sendiri. Namun, pertanyaannya adalah utopia menurut
siapa?
Dalam operasi pengajaran moral, selalu ada kesimpulan/ resolusi yang
mengacu pada sikap moral yang disarankan. Dalam film Rumah Tanpa
Jendela, sikap itu adalah bersyukur (dalam konteks non-relijius, lebih
mengarah pada suatu kondisi penerimaan atau nrimo dalam bahasa
Jawa). Rara, si miskin menginginkan yang tak mungkin menjadi miliknya,
yaitu kemewahan berupa rumah berjendela. Aldo memungkinkan Rara
mengakses ini dan bahkan yang lebih lagi: kolam renang, mobil, buku dan
krayon. Namun, keinginan Rara itu dimaknai sebagai kerakusan ketika ia
‘dihukum’ lewat kompensasi yang harus ia bayar. Logika pemaknaan
tersebut bekerja ketika Rara yang larut dalam kesenangan borjuis (pesta
ulang tahun kakak Aldo) pulang untuk menemukan rumahnya habis

terbakar, Simbok tergeletak koma, dan ayahnya meninggal dunia.
Keinginan Rara untuk memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat
kepemilikan yang lumrah dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai
sesuatu yang menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai yang takberpunya.
Lebih parah lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai pelajaran
yang bisa dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka harus bersyukur atas
semua yang mereka punya (harta dan keluarga yang utuh) sementara ada
orang-orang yang tak-berpunya seperti Rara. Maka, untuk ‘membayar’
pelajaran yang mereka dapat ini, keluarga Aldo menolong Rara dan
simboknya dengan membayarkan biaya rumah sakit serta memberikan
penghidupan di villa milik mereka di luar Jakarta. Dengan begitu, mereka
melakukan kewajiban membalas budi tanpa perlu mengorbankan
kenyamanan dengan berbagi kepemilikan ataupun terlibat secara dekat.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa film Rumah Tanpa
Jendela memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas sosialekonomi lewat model film musikal klasik Hollywoodian. Film ini
menawarkan model utopia dalam merespon kondisi masyarakat Indonesia

yang terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial-ekonomi. Yaitu, utopia atau
kondisi hidup ideal yang dibayangkan oleh kelas menengah atas.
Dalam model utopia ini, anak-anak menjadi penanda dari kelahiran (birth)

atau takdir manusia. Permasalahan yang dimiliki anak-anak ini
diperlihatkan sebagai sesuatu yang taken-for-grantedatau bersifat takdir,
dengan lebih menekankan cara menghadapi permasalahan alih-alih
mempertanyakan penyebabnya. Hal ini paling tampak dalam posisi biner
permasalahan Aldo dan Rara. Disability Aldo yang mewakili aspek natural
takdir disandingkan dengan kemiskinan Rara, sehingga membuat
kemiskinan ter-naturalisasi lewat logika pemahaman yang sama. Alih-alih
hasil dari ketidakadilan distribusi kekayaan yang didukung negara, film ini
menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir manusia.
Jendela dalam film Rumah Tanpa Jendela kemudian menjadi sebuah
metafora yang mengena. Jendela memungkinkan seseorang meng-akses
dunia lain (dalam/ luar) tanpa meninggalkan tempatnya. Jendela
memungkinkan orang melihat, bukan terlibat (dibandingkan pintu yang
menyediakan akses untuk masuk/ keluar). ‘Jendela’ itu adalah rasa syukur
atau konsep penerimaan atas suatu kondisi. Dengan si miskin berlapangdada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur dari kemalangan
si miskin, maka masyarakat borjuis yang sempurna dan harmonis akan
tercipta.
Dongeng semacam inilah yang ditawarkan Rumah Tanpa Jendela pada
penonton yang mereka sasar, tak lain tentu anak-anak kelas menengah
atas yang mampu meng-akses bioskop sebagai bagian dari leisure

activity. Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi
borjuis, agar mereka nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis
dewasa yang diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat dimana
kemiskinan dan kekayaan ter-naturalisasi sebagai takdir dan karenanya
tak perlu dipertanyakan. Karena hanya dalam kondisi itulah si kaya
termungkinkan ada dan bisa melanjutkan upaya memperkaya diri mereka;
dengan membiarkan kemiskinan ada dan ‘tak tampak’ di depan mata.
Evaluasi
Sayang, sebagai sebuah film musikal, tidak banyak yang disumbangkan oleh
lagu-lagu yang dinyanyikan dan ditarikan dalam film ini,kecuali penekanan dramatis
belaka. Satu-satunya yang terwakilioleh scene-scene
musikal dan gerak kamera serta editing yang kadang hiperaktif adalah
energi dan semangat kanak-kanak. Adegan musikalkebanyakan merupakan
penampilan kolektif, jarang ada penampilantunggal (solo). Penekanan
pada kolektivitas ini merupakan salah satu“karateristik” film musikal klasik
Hollywood yang ingin menjual ide-ide soal komunitas dan stabilitas sosial, baik relasi

interkomunitas(konflik keluarga Aldo) maupun antarkomunitas (konflik
antarakeluarga Aldo dan komunitas Rara).
Rangkuman
Dari paparan tadi, dapat disimpulkan bahwa film “Rumah Tanpa Jendela”
memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas sosial ekonomi lewat model
film mesikal klasik ala Hollywood. Film ini menawarkan model utopia dalam
merespons kondisi masyawakat Indonesia yang teragmentasi dalam kelas sosial
ekonomi, yaitu utopia atau kondisi hidup ideal yang di bayangkan oleh kelas
menngah atas.

Resensi Film Di Balik ‘98
Kisah perjuangan keluarga dan pengorbanan cinta melewati tragedi Mei
1998.
Letnan Dua Bagus bimbang ketika harus berhadapan dengan situasi luar
biasa itu. Tanggung jawab sebagai petugas pengamanan harus
berbenturan dengan kewajiban untuk menjaga istrinya, Salma, pegawai
Istana negara, yang sedang hamil besar. Salma terjebak dalam kerusuhan
dan dinyatakan hilang. Tekanan dari atasan: Bagus harus mengutamakan
tugas dan sebagai laki-laki pantang untuk menjadi cengeng hanya karena
peristiwa kecil.

Kerusuhan memaksa Presiden Soeharto pulang dari Kairo lebih awal.
Pemerintah dihadapkan pada situasi yang sulit. Tokoh masyarakat dan
beberapa perwakilan Ormas secara langsung meminta Presiden Soeharto
mundur. Namun ia bergeming dan berencana membentuk komite dan
kabinet reformasi untuk menjawab tuntutan tersebut.
Sementara itu, nasib baik enggan untuk berpihak kepada Bagus. Diana,
adik iparnya, aktivis reformasi, harus berbenturan pendapat dengan
kakaknya ketika mengetahui Salma kakaknya hilang di tengah peristiwa
kerusuhan. Diana menuduh Bagus tidak bisa menjaga Salma. Keadaan
semakin pelik ketika Daniel, pacar Diana, keturunan Tionghoa yang juga
ikut berjuang menuntut perubahan, harus kehilangan ayah dan adiknya
dalam kerusuhan. Bahkan Daniel hampir terjebak sweeping warga yang
menyaring orang-orang Non Pribumi, yang saat itu menjadi puncak issue
rasial di Indonesia. Untungnya Daniel selamat dan menemukan
keluarganya lalu ikut exodus meninggalkan Indonesia.
Presiden Soeharto membentuk komite dan kabinet reformasi yang tidak
mendapat tanggapan positif. Bahkan ketua MPR Harmoko meminta
Presiden untuk mengundurkan diri. Selain itu ada 14 menteri menolak
tergabung dalam kabinet reformasi.
Salma terselamatkan dan dibawa ke sebuah rumah sakit. Di saat detik
kelahiran anak pertamanya, Bagus dan Diana menemukan Salma. Bayi
yang mereka nantikan dilahirkan.
17 Tahun berlalu. Daniel kembali ke Jakarta dengan membawa abu
kremasi ayahnya. Ayahnya ingin beristirahat untuk selama-lamanya di
tanah kelahirannya itu. Daniel menemukan Diana. Keduanya masih
memiliki semangat yang sama untuk melanjutkan semangat reformasi.
Data tidak lengkap atau salah?
Bantu kami melengkapi/membenarkan data di laman ini. Kami sangat
menghargai setiap data yang Anda bagi dengan kami. Silakan lihat
laman Kontribusi untuk keterangan lebih lanjut.

Resensi Dongeng Utopia Masyarakat Borjuis
Tradisi film musikal yang awalnya dikembangkan Hollywood pernah
disebut sebagai ‘ode bagi perkawinan’. Ini mengacu pada kecenderungan
film-film musikal klasik tahun 1930-1960an yang berpaku pada narasi dua
karakter yang beroposisi dalam hal gender, ras, agama, latar belakang,
temperamen, dan sebagainya untuk kemudian ‘dipasangkan’. Tradisi
oposisi biner ini, meski tidak secara harfiah berhubungan dengan
perkawinan, juga digunakan oleh Rumah Tanpa Jendela.
Rumah Tanpa Jendela, sebuah film musikal kanak-kanak yang diadaptasi
dari cerpen karya Asma Nadia, mengambil model biner dari dongeng
moral Mark Twain: The Prince and The Pauper. Sang pangeran adalah
Aldo, seorang anak laki-laki dari keluarga kaya-raya dengan sindrom
mental tak terjelaskan yang membuatnya mengalami ‘penolakan’ dari
komunitasnya (anggota keluarga).

Aldo mewakili ide paradoks keluarga borjuis yang pemenuhan kebutuhan
fisiknya berlebihan, tapi jiwanya kering dan mengakibatkan dilema
personal. Sementara si miskin adalah Rara, gadis cilik yang sesekali
bekerja sebagai ojek payung di sanggar lukis tempat Aldo belajar. Rara
tinggal bersama neneknya (Simbok, diperankan Inggrid Widjanarko) dan
ayahnya (diperankan secara tidak meyakinkan oleh aktor yang terlalu
muda, Raffi Ahmad) di pemukiman kumuh dengan rumah-rumah yang
dibangun dari kombinasi seng-triplek-kayu bekas tanpa jendela. Mudah
ditebak, kondisi ini membuat Rara terobsesi untuk memiliki rumah dengan
jendela. Sebuah impian yang harus ia bayar mahal di kemudian hari.
Mengikuti tradisi opposite attracks, Aldo dan Rara bertemu dan
bersahabat lewat peristiwaaccidentally on purpose (strategi naratif yang
banyak dikembangkan film-film Indonesia, yaitu rangkaian ‘kecelakaan’
atau ‘kebetulan’ yang sulit dipercaya demi mendorong alur cerita).
Namun, pertemuan Aldo dan Rara tentu tak hanya soal pertemuan antar
individu, tetapi juga pertemuan dua kutub latar belakang ekonomi yang
diwakili oleh keluarga Aldo dan teman-teman Rara: antara si miskin dan si
kaya. Pertemuan ini, bisa diduga, tak berjalan mulus. Ibu dan kakak
perempuan Aldo menganggap teman-teman baru Aldo yang meng-‘invasi’
rumah mereka sebagai perusak dekorasi rumah tangga dan status sosial.
Sementara kemewahan rumah Aldo dengan banyak jendela menularkan
obsesi memiliki rumah berjendela di kalangan teman-teman Rara sesama
penghuni pemukiman kumuh dan murid sekolah singgah (sekolah gratis
bagi anak-anak jalanan/pemulung/miskin yang dikelola guru muda cantik
berjilbab bernama Bu Alya).
Tidak banyak yang disumbangkan oleh lagu-lagu yang dinyanyikan dan
ditarikan dalam film ini kecuali penekanan dramatis belaka. Satu-satunya
yang terwakili oleh scene-scene musikal dan gerak kamera serta editing
yang kadang hiperaktif itu adalah energi dan semangat kanak-kanak.
Namun, scene-scene musikal tersebut tak menambahkan lebih pada
bangunan makna film (bentuk dan gaya) kecuali hanya sebagai penanda
‘kesahihan’-nya sebagai film musikal. Adegan musikal kebanyakan
merupakan penampilan kolektif, jarang ada penampilan tunggal (solo).
Penekanan pada kolektivitas ini salah satu ‘karateristik’ film musikal klasik
Hollywood yang ingin menjual ide-ide soal komunitas dan stabilitas sosial,
baik relasi inter-komunitas (konflik keluarga Aldo) maupun antarkomunitas (konflik antara keluarga Aldo dan komunitas Rara).
Layaknya dongeng kanak-kanak majalah Bobo, film Rumah Tanpa
Jendela menyampaikan ajaran moral pada anak-anak untuk menghadapi
realita sosial dalam masyarakat yang terfragmentasi dalam perbedaan,
baik secara struktur sosial-ekonomi maupun kondisi fisik/ mental. Fungsi
ideologis yang ditawarkan film musikal adalah resolusi dari ketakutan
akan perbedaan yang diwakili oposisi biner dalam naratif. Namun,
permasalahan dari film musikal anak-anak adalah bahwa ia menawarkan
resolusi yang dibayangkan oleh pembuat film agar bisa dipahami oleh
anak-anak. Hal ini hanya dimungkinkan dengan melakukan
penyederhanaan.

Penyederhanaan posisi biner si miskin dan si kaya terwakili oleh narasi
sosial-ekonomi Aldo dan Rara. Aldo, si kaya, memiliki
berbagai privilege (mobil mewah, rumah mewah, supir, pembantu,
sekolah khusus). Sementara Rara mewakili narasi kemiskinan dalam
segala keterbatasan materialnya: rumah tanpa jendela, sekolah seadanya,
kerja sampingan. Maka, perbedaan si miskin dan si kaya dalam film ini
adalah ia yang berpunya dan ia yang tak-berpunya.
Meskipun aspek kemiskinan tampil secara satu dimensi, film ini tidak
melakukan sterilisasi berlebihan layaknya film-film Indonesia kebanyakan
yang menggambarkan kemiskinan. Hal ini didukung oleh penggambaran
keluarga baik-baik dan protektif yang cukup meyakinkan sebagai alasan
pergaulan Rara yang steril dari eksploitasi (prostitusi, mengemis) maupun
perilaku destruktif (nge-lem, narkoba, rokok, mencuri/menodong) yang
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat miskin di belahan dunia
manapun. Lagipula, memakai perspektif realisme sosial dalam menilai film
musikal adalah sia-sia mengingat film musikal sendiri menawarkan utopia
dalam bentuk hiburan dengan mengacu pada diri sendiri (self-reference).
Dalam hal ini, film musikal mengamini konsep ‘film yang menghibur’
sebagai utopia itu sendiri. Namun, pertanyaannya adalah utopia menurut
siapa?
Dalam operasi pengajaran moral, selalu ada kesimpulan/ resolusi yang
mengacu pada sikap moral yang disarankan. Dalam film Rumah Tanpa
Jendela, sikap itu adalah bersyukur (dalam konteks non-relijius, lebih
mengarah pada suatu kondisi penerimaan atau nrimo dalam bahasa
Jawa). Rara, si miskin menginginkan yang tak mungkin menjadi miliknya,
yaitu kemewahan berupa rumah berjendela. Aldo memungkinkan Rara
mengakses ini dan bahkan yang lebih lagi: kolam renang, mobil, buku dan
krayon. Namun, keinginan Rara itu dimaknai sebagai kerakusan ketika ia
‘dihukum’ lewat kompensasi yang harus ia bayar. Logika pemaknaan
tersebut bekerja ketika Rara yang larut dalam kesenangan borjuis (pesta
ulang tahun kakak Aldo) pulang untuk menemukan rumahnya habis
terbakar, Simbok tergeletak koma, dan ayahnya meninggal dunia.
Keinginan Rara untuk memiliki sesuatu, alih-alih dimaknai sebagai hasrat
kepemilikan yang lumrah dimiliki semua orang, justru dianggap sebagai
sesuatu yang menyalahi/mengingkari takdirnya sebagai yang takberpunya.
Lebih parah lagi, kemalangan Rara tersebut digunakan sebagai pelajaran
yang bisa dipetik bagi keluarga Aldo, bahwa mereka harus bersyukur atas
semua yang mereka punya (harta dan keluarga yang utuh) sementara ada
orang-orang yang tak-berpunya seperti Rara. Maka, untuk ‘membayar’
pelajaran yang mereka dapat ini, keluarga Aldo menolong Rara dan
simboknya dengan membayarkan biaya rumah sakit serta memberikan
penghidupan di villa milik mereka di luar Jakarta. Dengan begitu, mereka
melakukan kewajiban membalas budi tanpa perlu mengorbankan
kenyamanan dengan berbagi kepemilikan ataupun terlibat secara dekat.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa film Rumah Tanpa
Jendela memungkinkan kita bicara mengenai posisi biner kelas sosial-

ekonomi lewat model film musikal klasik Hollywoodian. Film ini
menawarkan model utopia dalam merespon kondisi masyarakat Indonesia
yang terfragmentasi dalam kelas-kelas sosial-ekonomi. Yaitu, utopia atau
kondisi hidup ideal yang dibayangkan oleh kelas menengah atas.
Dalam model utopia ini, anak-anak menjadi penanda dari kelahiran (birth)
atau takdir manusia. Permasalahan yang dimiliki anak-anak ini
diperlihatkan sebagai sesuatu yang taken-for-grantedatau bersifat takdir,
dengan lebih menekankan cara menghadapi permasalahan alih-alih
mempertanyakan penyebabnya. Hal ini paling tampak dalam posisi biner
permasalahan Aldo dan Rara. Disability Aldo yang mewakili aspek natural
takdir disandingkan dengan kemiskinan Rara, sehingga membuat
kemiskinan ter-naturalisasi lewat logika pemahaman yang sama. Alih-alih
hasil dari ketidakadilan distribusi kekayaan yang didukung negara, film ini
menggambarkan kemiskinan sebagai bagian dari takdir manusia.
Jendela dalam film Rumah Tanpa Jendela kemudian menjadi sebuah
metafora yang mengena. Jendela memungkinkan seseorang meng-akses
dunia lain (dalam/ luar) tanpa meninggalkan tempatnya. Jendela
memungkinkan orang melihat, bukan terlibat (dibandingkan pintu yang
menyediakan akses untuk masuk/ keluar). ‘Jendela’ itu adalah rasa syukur
atau konsep penerimaan atas suatu kondisi. Dengan si miskin berlapangdada menerima kondisinya dan si kaya belajar bersyukur dari kemalangan
si miskin, maka masyarakat borjuis yang sempurna dan harmonis akan
tercipta.
Dongeng semacam inilah yang ditawarkan Rumah Tanpa Jendela pada
penonton yang mereka sasar, tak lain tentu anak-anak kelas menengah
atas yang mampu meng-akses bioskop sebagai bagian dari leisure
activity. Sebuah dongeng untuk membuai mereka dalam mimpi-mimpi
borjuis, agar mereka nanti terbangun sebagai manusia-manusia borjuis
dewasa yang diharapkan bisa meneruskan tatanan masyarakat dimana
kemiskinan dan kekayaan ter-naturalisasi sebagai takdir dan karenanya
tak perlu dipertanyakan. Karena hanya dalam kondisi itulah si kaya
termungkinkan ada dan bisa melanjutkan upaya memperkaya diri mereka;
dengan membiarkan kemiskinan ada dan ‘tak tampak’ di depan mata.

Membandingkan Teks Ulasan Film dan Teks Ulasan Drama
Perbedaan Film dan Drama
1. Pementasan drama secara langsung melalui media Durasi waktu
biasanya tidak lebih dari 1 jam. Sedangkan durasi waktu film
sekitar 1-2 jam.
2. Drama dapat dilakukan di tempat terbuka maupun tertutup. Film
dapat dilihat di tempat tertutup seperti bioskop
3. Drama biasanya menceritakan kehidupan sehari-hari atau cerita
dongeng yang terkenal.
4. Pada drama biasanya pemeran dapat berinteraksi langsung dengan
penonton. Sedangkan film tidak dapat berinteraksi langsung karena
berada dalam layar.
5. Drama jarang menggunakan sutradara dan jika ada biasanya hanya
memberikan arahan saja. Sutradara bertugas untuk mengatur
setiap adegan dalam film.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24