TUGAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL SEJARA

TUGAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Oleh:
SULTON HABIBULLAH
110710101225

Fakultas HUKUM Universitas Jember
Tahun 2014/2015

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
A. Pendahuluan
Sebelum memperoleh gambaran sekilas mengenai sejarah perkembangan
HPI yang ditandai oleh lahirnya kelompok-kelompok pendekatan yang bertitik
tolak dari prinsip dasar yang berbeda-beda, maka secara umum perlu disinggung
dahulu beberapa penggolongan model pendekatan HPI antara lain:
1. Pendekatan berdasarkan tujuan HPI.
2. Pendekatan berdasarkan hasil yang dicapai dari proses HPI.
3. Pendekatan

berdasarkan


metodologi

penetapan

hukum

yang

harus

diberlakukan.
B. Masa Kekaisaran Romawi (Abad ke 2 – 6 Sesudah Masehi)
Pada zaman romawi kuno segala persoalan yang timbul sebagai akibat
hubungan antara orang romawi dan pedagang asing diselesaikan oleh hakim
pengadilan khusus yang disebut praetor peregrinis. Hukum yang digunakan oleh
hakim tersebut pada dasarnya adalah hukum yang berlaku bagi para cives
romawi, yaitu ius

civile yang


telah

disesuaikan

dengan

pergaulan

‘antar

bangsa’. Ius civile yang telah diadaptasi untuk hubungan antar bangsa itu
kemudian disebut Ius Gentium.
Sebagaimana halnya ius civile, Ius Gentium juga memuat kaidah-kaidah yang
dikatagorikan ke dalam ius privatum dan ius publicum. Ius Gentium yang menjadi
bagian ius privatum berkembang menjadi HPI. Sedangkan Ius Gentium yang
menjadi bagian ius publicum telah berkembang menjadi hukum internasional
publik atau teritorial, yang dewasa ini dianggap sebagai asas HPI yang penting,
misalnya :
a. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harus

diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dari tempat benda tersebut
berada.
b. Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap perjanjianperjanjian (yang bersifat HPI) berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat
pembutan perjanjian.

c. Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta
kewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman
tetap.
C. Masa Pertumbuhan Asas Personal HPI (Abad 6-10 M)
Pada akhir abad 6 M kekaisaran romawi ditaklukkan bangsa “barbar” dari
Eropa. Bekas wilayah kekaisaran romawi diduduki berbagai suku bangsa yang
satu

dengan

yang

lainnya

berbeda


secara

geneologis. Kedudukan ius

civile menjadi kurang penting, karena masing-masing suku bangsa tersebut tetap
memberlakukan hukum personal, hukum keluarga serta hukum agamanya
masing-masing di daerah yang didudukinya. Dengan demikian prinsip teritorial
telah berubah menjadi prinsip personal. Di dalam prinsip personal hukum yang
berlaku digantungkan pada pribadi yang bersangkutan. Beberapa asas HPI yang
tumbuh pada masa tersebut yang dewasa ini dapat dikategorikan sebagai asas
HPI yang dibuat atas dasar asas genealogis, misalnya :
a. Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu perkara
adalah hukum personal dari pihak tergugat.
b. Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum seseorang ditentukan oleh hukum personal orang tersebut. Kapasitas
para pihak dalam suatu perjanjian harus ditentukan oleh hukum personal dari
masing-masing pihak.
D. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad 11-12 M) di Italia
Di kawasan Eropa Utara terjadi peralihan struktur masyarakat geneologis ke

masyarakat territorial tampak dari tumbuhnya unit-unit masyarakat yang
feodalistis, khususnya di wilayah Inggris, Prancis, dan Jerman sekarang.
Di kawasan Eropa bagian selatan transformasi dari asa personal genealogis
ke asas teritorial berlangsung bersamaan dengan pertumbuhan pusat-pusat
perdagangan khususnya di Italia. Dasar ikatan antar manusia di sini bukanlah
genealogis atau feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama.

E. Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad 13-15 M)
Seiring makin berkembangnya perdagangan antara warga kota-kota di Italia,
penerapan asas teritorial tidak dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan
kembali.
Sistem

feodal

memandang

hanya

peraturan-peraturan


hukum

yang

dikeluarkan penguasa yang harus diberlakukan atas semua benda atau kontrak
yang dilangsungkan di wilayahnya. Selain itu hukum masing-masing kota di Italia
itu berlainan. Usaha yang dilakukan adalah dengan membuat tafsiran baru dan
menyempurnakan kaidah-kaidah yang tertulis dalam hukum romawi. Mereka
inilah yng termasuk golongan Post glossators.
Dalam mencari dasar hukum yang baru untuk mengatur hubungan-hubungan
diantara pihak-pihak yang tunduk pada sistem hukum yang berbeda, kelompok
ini mengacu kepada corpus iuris dai Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah
yang dimulai dengan kata cuntos popules ques clementiae nostrae regit
imperium (semua bangsa di bawah kekuasaan kami).
Di dalam teks codex tersebut ditemukan Glosse Accursius (1128) yang pada
pokoknya menyatakan :
“ apabila seseorang warga bologna digugat di Modena, maka ia janganlah
diadili menurut status dari Modena dari kota mana ia bukan merupakan warga
oleh karena dalam Undang-Undang Contos Popolos telah ditentukan … ques

nostrae clementiae regit imperium.”
Doktrin yang telah dikemukakan Accursius kemudian dikembangkan oleh
Bartolus De Sassoferrato (1314-1357). Bartolus menghubungkan statuta
personalia dengan lex originis dan statute realia dengan kekuasaan teritorial
hukum itu. Ia membedakan statuta ke dalam statua yang mengijinkan sesuatu
dan yang melarang sesuatu.


Statuta personalia, statuta yang mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara
personal. Bahwa statuta itu mengikuti orang (person) dimanapun dia berada.



Statuta realia, Statuta yang mempunyai lingkungan kuasa secara teritorial.
Hanya benda-benda yang terletak di dalam wilayah pembentuk undangundang tunduk di bawah statuta- statutanya.



Statuta mixta, yang berlaku bagi semua perjanjian yang diadakan di tempat
berlakunya Statuta itu denga segala akibat hukumnya. Sedangkan mengenai


wanprestasi dengan segala akibat hukumnya diatur menurut Statuta di tempat
perjanjian itu seharusnya dilaksanakan.
Berdasarkan doktrin Statuta tersebut kemudian dikembangkan metode berfikir
HPI sebagai berikut :
1. Apabila persoalan HPI yang dihadapi menyangkut persoalan status benda,
maka kedudukan hukum benda itu harus diatur berdasarkan statuta realia
dari tempat dimana benda itu berada. Dalam perkembanganya, cara
berfikir realia semacam ini hanya berlaku terhadap benda tetap saja sedang
terhadap benda bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam.
2. Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan status personal, maka
status personal orang tersebut harus diatur berdasarkan statute personlia dari
tempat dimana orang tersebut berkediaman tetap (lex domicilii).
3. Apabila persoalan HPI ysng dihadapi berkenaan dengan bentuk dan atu
akibat dari suatu perbuatan hukum, maka bentuk dan akibat perbuatan
hukum itu harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta dari tempat dimana
perbuatan itu dilakukan.
F. Teori Statuta di Perancis (Abad 16)
Pada abad ke-16 provinsi-provinsi di perancis memiliki hukum tersendiri yang
disebut coutume, yang pada hakekatnya sama dengan statuta. Karena ada

keanekaragaman coutume

tersebut dan makin meningkatnya perdagangan

antar provinsi, maka konflik hukum antar provinsi meningkat pula. Dalam
keadaan demikian beberapa ahli hukum perancis, seperti Charles Dumoulin dan
Bertrand D’Argentre berusaha mendalami teori statute dan menerapkannya di
perancis dengan beberapa modifikasi.
Charles

Dumoulin

memperluas

pengertian statuta

personalia hingga

mencakup pilihan hukum (hukum yang dikehendaki oleh para pihak) sebagai
hukum yang seharusnya berlaku dalam perjanjian. Jadi perjanjian yang dalam

teori statuta dari Bartolus masuk dalam statuta realita menurut Charles Dumoulin
harus masuk dalam ruang lingkup statuta personalia, karena pada hakekatnya
kebebasan untuk memilih hukum adalah semacam status perseorangan.
Menurut Bertrand D’Argentre yang harus diperluas itu adalah statuta realia,
sehingga yang diutamakan bukanlah otonomi para pihak melainkan otonomi

provinsi. Ia tetap mengakui ada statuta yang benar-benar merupakan statuta
personalia, misalnya kaidah yang menyangkut kemampuan seseorang untuk
melakukan tindakan hukum, akan tetapi :
1. Ada statuta yang dimaksudkan ntuk mengatur orang, tetapi berkaitan dengan
hak milik orang itu atas suatu benda (realia)
2. Ada pula statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum (statute mixta)
yang dilakukan di tempat tertentu . statuta semacam itu harus dianggap
sebagai statuta realia, karena isinya berkaitan dengan dengan teritori atau
wilayah penguasa yang memberlaukan statuta itu.
G. Teori Statuta di Belanda (Abad 17)
Teori Argentre ternyata diikuti para sarjana hukum Belanda setelah
pembebasan dari penjajahan Spanyol. Pada saat itu segi kedaulatan sangat
ditekankan. Hukum yang dibuat negara berlaku secara mutlak di dalam wilayah
negara tersebut. Prinsip dasar yang digunakan penganut teori statuta di negeri

belanda adalah kedaulatan eksklusif negara.
Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik Huber mengajukan tiga prinsip dasar
yang dapat digunakan untk menyelesaikan perkara-perkara HPI sebagai berikut :
1. Hukum dari suatu negara mempunyai daya berlaku yang mutlak hanya di
dalam batas-batas wilayah kedaulatannya saja.
2. Semua orang baik yang menetap maupun sementara yang berada di dalam
wilayah suatu negara berdaulat harus menjadi subyek hukum dari negara itu
3. Berdasarkan alasan sopan santun antar negara (asas komitas=comity) diakui
pula bahwa setiap pemeritah negara yang berdaulat mengakui bahwa hukum
yang sudah berlaku di negara asalnya akan tetap memiliki kekuatan berlaku
dimana-mana sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan subyek hukum
dari negara yang memberikan pengakuan itu
H. Teori HPI Universal (Abad 19)
Pada abad ke-19 pemikiran HPI mengalami kemajuan berkat adanya usaha
dari tiga orang pakar hukum yaitu Joseph Story, Friedrich Carl Von Savigny, dan
Pasquae Machini.
Titik tolak pandangan Von Savigny adalah bahwa suatu hubungan hukum
yang sama harus memberi penyelesaian yang sama pula, baik bila diputuskan

oleh hakim negara A maupun negara B. Maka, penyelesaian soal-soal yang
menyangkut unsur-unsur asingpun hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga
putusannya juga akan sama dimana-mana.
Titik tolak berfikir Von Savigny adalah bahwa HPI itu bersifat hukum supra
nasional, oleh karenanya bersifat universal maka ada yang menyebut pikiran Von
Savigny ini dengan istilah teori HPI universal.
Menurut Von Savigny pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata
berdasarkan comitas, akan tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau
kemanfaatan fungsi yang dipenuhinya bagi semua pihak (Negara atau manusia)
yang bersangkutan.
Machini berpendapat, bahwa hukum personil seseorang ditentukan oleh
nasionalitasnya.

Pendapat

Machini

menjadi

dasar

mazhab

Italia

yang

berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia ini ada dua macam kaidah dalam
setiap sistem hukum yaitu :
1. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perseorangan
2. Kaidah-kaidah hukum untuk melindungi dan menjaga ketertiban umum
Berdasarkan pembagian ini dikemukakan tiga asas HPI yaitu :
1. Kaidah-kaidah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warga
negara dimanapun dan kapanpun juga (prinsip personil)
2. Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat teritorial dan berlaku
bagi setiap orang yang ada dalam wilayah kekuasaan suatu negara (prinsip
teritorial)
3. Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh
memilih hukum manakah yang akan berlaku terhadap transakasi diantara
mereka (pilihan hukum)
Cita-cita Machini adalah mencapai unifikasi HPI melalui persetujuanpersetujuan internasional sedangkan Von Savigny ingin mencapainya dalam
wujud suatu HPI supra nasional.
Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diadakan asas HPI yang
berlaku umum. Setiap hubungan hukum selama ini harus diselesaikan menurut
caranya sendiri dan inipun bergantung pada kebiasaan, undang-undang putusanputusan pengadilan di dalam masing-masing masyarakat hukum. Walaupun

demikian dapat disaksikan makin bertambah banyaknya perjanjian internasional
yang berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI seperti perjanjian-perjanjian
HPI Den Haag.