Studi Sistem Informasi Geografis (SIG) Bagi Perencanaan Penghijauan Di Kota Tebing Tinggi

TINJAUAN PUSTAKA

  Ruang Terbuka Hijau

  Ruang Terbuka Hijau adalah ruang terbuka baik dalam bentuk area kawasan maupun dalam bentuk area memanjang atau jalur yang penggunaanya lebih bersifat terbuka tanpa bangunan. Ruang terbuka hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian tanaman dan tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan lain sebagainya (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008).

  Ruang terbuka hijau dengan fungsi ekologisnya bertujuan untuk menunjang keberlangsungan fisik suatu kawasan dimana ruang terbuka hijau tersebut merupakan suatu bentuk ruang terbuka hijau yang berlokasi, berukuran dan memiliki bentuk yang pasti di dalam suatu kawasan.

  Sedangkan ruang terbuka hijau untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan ruang terbuka hijau pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kawasan tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur (Syahriar, 2013).

  Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun seara tidak terbatas dalam kurun waktu yang tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya (Utomo, 2004).

  Kebutuhan masyarakat akan ruang terbuka hijau tidak dapat dipungkiri terlebih bagi masyarakat perkotaan dengan tingkat berbagai macam polusi dan tingkat kehidupan penduduk yang tinggi. Undang-undang No 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa luas ideal Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) minimal 30% dai luas kawasan kota.

  Lahan

  Lahan mempunyai pengertian yang berbeda dengan tanah (soil), dimana lahan terdiri dari semua kondisi lingkungan fisik yang mempengaruhi potensi penggunaanya, sedangkan tanah hanya merupakan satu aspek dari lahan. Konsep lahan meliputi iklim, tanah, hidrologi, bentuk lahan, vegetasi, dan fauna, termasuk di dalamnya akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas-aktivitas manusia baik masa lampau maupun masa yang akan datang (Young, 1981 dalam Hafidzh, 2013).

  Karakteristik lahan tidak dapat berperan secara sendiri-sendiri, akan tetapi lebih sering merupakan gabungan antara karakteristik secara berkaitan. Kombinasi berbagai karakteristik lahan menentukan atau mempengaruhi perilaku lahan (kualitas lahan), yakni bagaimana ketersediaan air, perkembangan akar, peredaran udara, kepekaan terhadap erosi, ketersediaan hara dan sebagainya (Arsyad, 1989)

  Penggunaan lahan (land use) merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan dan terkait dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan tertentu. Menurut pendapat Muyani (2010) mengenai penutupan lahan, yaitu perwujudan secara visual dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap objek tersebut.

  Menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan diartikan seagai bentuk invervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kehidupannya baik materil maupun spiritual. Penggunaan lahan dibagi kedalam dua kelompok utama yaitu penggunaan lahan pertanian dan non pertanian.

  Penggunaan lahan pertanian dibedakan dalam tegakan, sawah, kebun karet, hutan produksi dan sebagainya. Sedangkan pengguanaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya.

  Penggunaan lahan secara umum (major kinds of land use) adalah penggunaan lahan secara umum, seperti pemukiman, lahan pertanian, padang rumput, kehutanan, ataupun daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survey tinjau (reconaissance). Klasifikasi kesesuaian lahan atau kemampuan merupakan pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaian lahan atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu (Rayes, 2007)

  Penginderaan Jauh

  Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan data berupa informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi dibidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan dan bidang-bidang lainnya (Wolf, 1993).

  Tujuan penginderaan jauh ialah untuk mengumpulkan data sumber daya alam dan lingkungan.Informasi tentang objek disampaikan pengamat melalui energi elektromagnetik yang merupakan pembawa informasi dan sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu menganggap bahwa data penginderaan jauh pada dasaranya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi tersebut dapat dipahami secara penuh.

  Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan secara umum mengenai sifat-sifat radiasi elektromagnetik (Wolf, 1993).

  Pada berbagai hal, penginderaan jauh dapat diartikan sebagai suatu proses membaca. Dengan menggunakan berbagai sensor dapat mengumpulkan data dari jarak jauh yang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti. Pengumpulan data dari jarak jauh dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk variasi agihan daya, agihan gelombang bunyi atau agihan energi elektromagnetik (Howard,1996).

  Dalam penginderaan jauh, sensor merekam tenaga yang dipantulkan atau dipancarkan oleh permukaan bumi. Rekaman tenaga ini setelah diproses membuahkan data penginderaan jauh. Data penginderaan jauh tersebut dapat berupa data digital atau data numerik untuk dianalisis dengan menggunakan komputer, namun dapat berupa data visual yang pada umumnya dianalisis dengan menggunakan komputer, namun dapat berupa data visual yang pada umumnya dianalisis secara manual. Data visual ini dibedakan lagi menjadi data citra dan non citra.Data citra berupa gambaran yang mirip wujud aslinya atau paling tidak gambaran planimetrik. Sedangkan data non citra pada umumnya berupa garis atau grafik (Wibowo dkk, 1994)

  Sistem Informasi Geografis (SIG)

  Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan seperangkat sistem atau alat untuk membuat, mengumpulkan, menyimpan, memanipulasi, menvisualisasikan, men-query, mentransformasi, memanggil kembali, menampilkan dan menganalisis informasi dikaitkan dengan posisi pada permukaan bumi (georeferensi). Sistem Informasi Geografis (SIG) juga dapat dikatakan sebagai melibatkan integrasi data spasial dalam memecahkan masalah lingkungan. Sistem Informasi Geografis (SIG) juga mempunyai kemampuan untuk melakukan teknik analisis spasial misalnya buffering, overlaying, dan lain-lain (Howard, 1996).

  Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) terdapat berbagai peran dari berbagai unsur, baik manusia sebagai ahli dan sekaligus operator, perangkat alat (lunak/keras) maupun objek permasalahan. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sebuah rangkaian sistem yang memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan analisis spasial. Sistem ini memanfaatkan perangkat keras dan lunak komputer untuk melakukan pengolahan data seperti :

1. Perolehan dan verifikasi 2.

  Kompilasi 3. Penyimpanan 4. Pembaruan dan perubahan 5. Manajemen dan pertukaran 6. Manipulasi 7. Penyajian 8. Analisis

  (Wolf, 1993) Sistem Informasi Geografi membantu mengurangi kesalahan oleh manusia dan menghilangkan tugas-tugas pemetaan dan penggambaran, lebih cepat dan efisien dalam memberikan informasi spasial termasuk beberapa jenis peta. Selanjutnya dikatakan walaupun dalam pengoperasiannya lebih mudah, sistem ini memerlukan keperluan yang mendasar yang membuatnya mahal, dalam hal ini pembuatan data dasarnya karena biasanya data spasial yang siap dipakai tidak tersedia. Penggunaan setiap Sistem Informasi Geografi akan tergantung terutama pada jenis, ketelitian dan detail masukan data yang dimiliki (Howard, 1996)

  Penghijauan Kota

  Penghijauan kota dapat didefenisikan sebagai penghijauan yang dilaksanakan di daerah perkotaan yang menjadi usaha dari masyarakat sendiri yang bekerjasama dengan pihak pemerintah setempat. Penghijauan kota dapat juga diartikan sebagai suatu upaya untuk menanggulangi berbagai penurunan kualitas lingkungan (Nazaruddin, 1996).

  Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 Tahun 2002 tentang dana reboisasi, penghijauan dapat didefenisikan sebagai upaya pemulihan lahan kritis di luar kawasan hutan secara vegetatif dan sipil teknis untuk mengembalikan fungsi lahan. Menurut Setiawan (2000), penghijauan adalah suatu usaha yang meliputi kegiatan-kegiatan penanaman tanaman keras, rerumputan, serta pembuatan teras dan bangunan pencegah erosi lainnya diareal yang tidak termasuk areal hutan negara atau areal lain yang berdasarkan rencana tata guna lahan diperuntukkan sebagai hutan.

  Pelaksanaan penghijauan di perkotaan bukan asal jadi, tujuan pelaksanaannya harus jelas sehingga diperlukan suatu pemikiran dan kerja keras perencana penghijauan di perkotaan agar terwujud suatu kota yang berwawaskan lingkungan. Penghijauan kota bertujuan mewujudkan sutau kawasan hunian yang berwawasan lingkungan, suasana yang asri, serasi dan sejuk berusaha ditampilkan kembali. Gedung perkantoran, rumah hunian, sarana umum, daerah aliran sungai, jalan raya, dan tempat lain di kota ditanami dengan aneka pepohonan. Hal ini dapat terjadi bila ada keseimbangan antara ketersediaan ruang terbuka hijau dengan ketersediaan ruang terbangun (Nazaruddin, 1996).

  Manfaat Penghijauan Kota

  Menurut Kementrian Pekerjaan Umum (2008), manfaat ruang terbuka hijau adalah:

  1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan keserasian penyangga kehidupan.

  2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan kehidupan lingkungan.

  3. Sebagai sarana rekreasi.

  4. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik di darat, perairan maupun udara termasuk limbah cair yang dihasilkan manusia.

  5. Sebagai sarana pendidikan maupun penelitian serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan.

  6. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah.

  7. Sebagai sarana untuk mempengaruhi maupun memperbaiki iklim mikro.

  8. Sebagai pengatur tata air karena dapat menyimpan air tanah 900 m

  3

  / tahun/ hektar dan mampu mentransfer 4000 liter air / hari / hektar yang berarti dapat mengurangi suhu udara 5 C – 8 C.

  9. Memperbaiki struktur dan tekstur tanah yang rusak akibat pembangunan maupun bencana alam.

  10. Sebagai sumber oksigen sebesar 0.6 ton/hektar/hari yang cukup untuk konsumsi 1500 jiwa

  11. Sebagai peredam kebisingan sekitar 25 % - 80 %.

  20

  Gambaran Umum Lokasi Penelitian

  Penelitian dilakukan di Kota Tebing Tinggi, Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis Kota Tebing Tinggi berada posisi 3 19’ 00” - 3 21’ 00” Lintang Utara dan 9 8’ 11” - 9 8’ 21’’ Bujur Timur, dengan ketinggian 18-34 m dari permukaan laut dan berada jalur lalu lintas Sumatera. Luas Kota Tebing Tinggi adalah 38,438

  2

  km dengan batas sebagai berikut : Utara : PTPN III, Kabupaten Serdang Bedagai Timur : PT. Socfindo, Kebun Tanah Besi, Kabupaten Sedrdang Bedagai Selatan : PTPN IV, Kebun Pabatu, Kabupaten Serdang Bedagai Barat : PTPN III, Kebun Bandar Jambu, Kabupaten Serdang Bedagai

  Kota Tebing Tinggi adalah satu dari tujuh kota yang ada di Provinsi Suamtera Utara, yang berjarak 78 kilometer dari Kota Medan. Hingga Desember 2012 Kota Tebing Tinggi terbagi atas 35 Kelurahan dan 5 Wilayah Kecamatan, Yaitu Kecamatan Padang Hilir, Kecamatan Padang Hulu, Kecamatan Rambutan, Kecamatan Bajenis, Kecamatan Tebing Tinggi Kota. Kecamatan Padang Hilir

  2

  merupakan kecamatan terluas dengan luas 11,441 km atau 29,7 persen dari luas Kota Tebing Tinggi. Sebagian besar (45,55 persen) lahan di Kota Tebing Tinggi digunakan sebagai lahan pertanian (BPS, 2013).