Islam Sasak Wetu Telu Vs Waktu Lima

ISLAM SASAK: WETU TELU VERSUS WAKTU LIMA

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metodologi dan Pendekatan Studi Islam di Indonesia

Disusun Oleh:
A. ZAKY YUDHISTIRA
Dosen Pembimbing:
HAMDANI, Ph. D.

PROGRAM MAGISTER SEJARAH PERADABAN ISLAM
KONSENTRASI KAJIAN ISLAM NUSANTARA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
STAINU JAKARTA

2013
BAB I
MUKADDIMAH

A. Latar Belakang Masalah

Wetu Telu (bahasa Indonesia: Waktu Tiga) adalah praktik unik
sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok
dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini
terjadi karena para penyebar Islam di masa lampau, yang berusaha
mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara
bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran
Islam dengan lengkap.1
Islam Wetu Telu merupakan orang Sasak yang meskipun
mengaku

Muslim

masih

sangat

percaya

terhadap


ketuhanan

animistik leluhur (ancrestal animistic deities) maupun benda-benda
antropomorfis (anthropomorphized inanimate objects). Sebaliknya,
Waktu Lima adalah orang Muslim Sasak yang mengikuti ajaran
syari’ah secara lebih utuh sebagaimana diajarkan Al-Qur’an dan
Hadits. Mengikuti dikotomi Geertz (1960), agama Wetu Telu lebih
mirip dengan Islam abangan yang sinkretik, walaupun Waktu Lima
tidaklah juga seperti bentuk Islam santri.2
Berdasarkan kebiasaan keagamaan mereka, Sasak Waktu Lima
ditandai dengan ketaatan yang tinggi terhadap ajaran-ajaran Islam.
Komitmen mereka terhadap syari’ah lebih besar dibandingkan
dengan Wetu Telu. Sehari-harinya ibadah mereka terwujud dalam
ketaatan terhadap lima Rukun Islam. Sedangkan Wetu Telu adalah
orang Sasak yang meskipun mengaku Muslim namun terus memuja
roh para leluhur, berbagai dewa-dewa lainnya di dalam kepercayaan
lokalitas mereka. Dalam pelaksanaan ibadah kesehariannya mereka
1http://id.wikipedia.org/wiki/Wetu_Telu/ diakses pada 3 Nopember 2013 pukul 23.34
WIB.
2 Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima, (Yogyakarta: LKiS, 2000),

hal. 1.

[2]

cenderung mengabaikan praktek rutin Islam yang dianggap wajib
oleh kalangan Islam pada umumnya.
Adat memainkan peran yang sangat dominan di kalangan
penganut Wetu Telu, dan dalam beberapa hal praktek adat tersebut
bertentangan dengan Islam. Meskipun mereka menyadari, beberapa
aturan-aturan adat tertentu3 jelas bertentangan dengan hukum
Islam, namun kalangan Wetu Telu tetap memeliharanya sebagai
bagian dari tradisi keagamaan mereka. Dengan kata lain Wetu Telu
tidak menggariskan suatu batas yang jelas antara adat dan agama,
karenanya adat sangat bercampur aduk dengan agama lokal.4
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa perlu
membatasi ruang lingkup kajian dalam pembahasan makalah ini
agar lebih fokus dan tidak menjadi bias. Oleh karena itu, di sini
penulis telah merumuskan permasalahan yang ingin dikaji lebih
dalam terkait Islam Wetu Telu yang dianut oleh sebagian Suku Sasak

yang mendiami Pulau Lombok, yaitu:
1. Bagaimana sejarah terbentuknya Islam Wetu Telu?
2. Bagaimana ritual dan praktek keagamaan yang dilaksanakan oleh
penganut Islam Wetu Telu?
3. Bagaimana gerakan dakwah yang dilakukan terhadap penganut
Wetu Telu dan apa dampak kulturalnya?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah
Tujuan disusunnya tulisan ini adalah untuk mengetahui lebih
dalam tentang Islam Wetu Telu yang dianut oleh sebagian Suku
Sasak terutama yang tinggal di daerah Bayan Pulau Lombok.
Dengan pengetahuan tersebut maka diharapkan nantinya tidak akan
ada stigma yang buruk terhadap mereka orang Bayan dan juga kita
dapat merumuskan strategi dakwah yang tepat kepada mereka,
3 Aturan-aturan adat yang dimaksud adalah seperti memberi penghormatan dan
memuja roh-roh para leluhur mereka.
4 Erni Budiwanti, op. cit., hal. 7-8.

[3]

sehingga diharapkan mereka mau menjalankan ajaran Islam yang

sesuai dengan kebanyakan orang penganut Waktu Lima.

BAB II
ISLAM SASAK: WETU TELU VERSUS WAKTU LIMA

A. Sejarah Islam Wetu Telu
Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau
Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme
kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari
pulau Jawa yakni Sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah
runtuhnya kerajaan Majapahit. Sunan Prapen merupakan raja ke 4
dari dinasti Giri Kedaton. Ia merupakan anak dari Sunan Dalem
penerus Giri yg ke 2. Sunan Prapen lahir tahun 1432 saka atau 1510
Masehi. Pada umur 46 tahun menjadi raja Giri ke 4 bertepatan tahun
1556 M. Dan meninggal dunia tahun 2605 M. Umur Sunan Prapen 95
tahun. Dan memimpin kerajaan Giri Kedaton selama 49 tahun.5
Menurut Lalu Lukman dalam bukunya disampaikan juga
dugaan bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang
menyebarkan


Islam

pertama

kali

tersebut,

tidak

sempat

menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak
pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki
keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut
ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab
masih dapat ditemukannya penganut Wetu Telu di masa modern.
Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut
adalah bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para
wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama

5 Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah, cet. 4, 2007.

[4]

masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan
terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat,
karena

para

penyebar

tersebut

memanfaatkan

adat-istiadat

setempat untuk mempermudah penyam-paian dan penyebaran
Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam

bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu
dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu,
yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para kiai atau
pemangku adat saja (sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek
moyang).6
Erni Budiwati mengatakan sebelum kedatangan pengaruh
asing di Lombok, Boda merupakan kepercayaan asli orang Sasak
atau

dikenal

juga

dengan

Sasak-Boda.

Kendati

demikian


kepercayaan Boda ini tidaklah sama dengan Budhisme karena ia
tidak mengakui Sidharta Gautama atau Sang Budha sebagai figur
utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya.
Agama Boda dari orang Sasak asli terutama ditandai oleh animisme
dan panteisme7. Pemujaan dan penyembahan terhadap roh-roh
leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama
dari praktek keagamaan Sasak-Boda (Erni Budiwati, 2000).
Pasca kesuksesan Sunan Prapen mengislamkan masyarakat
suku Sasak saat itu, Sunan Prapen bergegas meninggalkan Lombok
untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah Sumbawa dan Bima.
Akan tetapi, sepeninggal Sunan Prapen timbul masalah baru di
kalangan masyarakat suku sasak Yakni kaum wanita suku Sasak
menolak memeluk agama Islam. Tak hanya itu, masyarakat Sasak
juga terpecah menjadi 3 golongan yaitu golongan yanga memilih
mempertahankan kepercayaan lamanya dan lari ke hutan (orang
6 Rasmianto, Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam Wetu
Telu di Lombok. Jurnal el-Harakah, Vol. 11, No. 2, (Malang: UIN Malang, 2009), hal.
138.
7 Secara harfiah artinya adalah "Tuhan adalah Semuanya" dan "Semua adalah Tuhan".

Ini merupakan sebuah pendapat bahwa segala barang merupakan Tuhan abstrak
imanen yang mencakup semuanya; atau bahwa alam semesta atau alam dan Tuhan
adalah sama.

[5]

Boda), golongan yang takluk dan memeluk Islam (Waktu Lima) dan
golongan yang hanya takluk pada kekuasaan Sunan Prapen (Wetu
Telu). Akibat dari adanya masalah ini Sunan Prapen akhirnya kembali
lagi ke Lombok untuk meluruskan dan memperbaiki penyebaran
Islam di Lombok.
Dari ketiga golongan tersebut, Islam Wetu Telu adalah
golongan yang keberadaannya masih bertahan sampai sekarang.
Hal ini disebabkan oleh proses Islamisasi yang belum tuntas sebagai
penyebab utama munculnya Islam Wetu Telu. Adapun penjelasannya
adalah sebagai berikut (1) kedatangan Islam pada saat kuatnya
kepercayaan tradisional seperti animisme, dinamisme, dan Boda, (2)
dominasi ajaran Hindu Majapahit yang telah berakar kuat di
masyarakat, (3) para muballigh dan ulama yang menyampaikan
ajaran agama Islam terburu-buru meninggalkan tempat tugasnya

untuk menyebarkan agama Islam ke tempat lain seperti Sumbawa,
Dompu, dan Bima, (4) para murid yang menjadi kepanjangan tangan
para

mubaligh

dan

ulama

belum

memiliki

kemampuan

menafsirkembangkan ajaran Islam secara rasional dan (5) metode
dakwah yang sangat toleran dengan komitmen tidak akan merusak
adat istiadat setempat.
B. Ritual dan Praktek Keagamaan Wetu Telu
Pada umumnya orang Bayan menghormati hari-hari besar
Islam, ritus peralihan (rites of passage)8 dan siklus tanam padi.
Akibatnya sekalipun pada mulanya berasal dari Islam, ritus-ritus
tersebut sangat diwarnai dengan ciri khas adat lokal. Orang Bayan
menggunakan kalender qomariyah dan memperingati peristiwaperistiwa penting berdasarkan penanggalan tersebut. Selain itu
orang Bayan juga memperhitungkan waktu berdasarkan siklus 8
tahunan, suatu tata cara yang tidak dikenal dalam Islam. Dalam
kehidupan beragama juga ditemukan sikap mensakralkan sesuatu,
8 Contoh kegiatan ritus peralihan adalah kelahiran, pernikahan, pindah rumah ataupun
kematian.

[6]

baik tempat, buku, orang, benda tertentu, dan lain sebagainya.
Kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut ia diperlakukan
secara khusus baik berupa upacara keagamaan ataupun ritual
lainnya.9
Islam Wetu Telu mempunyai pandangan hidup yang serba Telu
(tiga), seolah-olah angka itu merupakan angka sakral. Inilah salah
satu yang membedakan antara Islam Wetu Telu dengan Islam
ortodok. Al Syahrastani juga menganggap penting al-adat (angka).
Rukun Islam yang lima oleh penganut Islam Wetu Telu dipotong
menjadi

tiga

yaitu

syahadat,

shalat

dan

puasa

pada

bulan

Ramadhan. Sedangkan rukun ke empat dan lima yaitu haji dan zakat
mereka tinggalkan, itupun tidak dilaksanakan dengan sempurna.
Dalam hal puasa Ramadhan mereka puasa hanya tiga hari pertama,
tiga hari pertengahan dan tiga hari terakhir. Selain itu juga kegiatan
apapun yang berhubungan dengan daur hidup (kematian, kelahiran,
penyembelihan hewan, selamatan dsb) juga harus diketahui oleh
kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari
upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan
rumah.
Di Bayan ini terdapat mesjid kuno yang biasa dipakai untuk
melaksanakan ibadah shalat bagi penganut Wetu Telu. Untuk
memasuki mesjid ini tidak bisa sembarang memakai pakaian tapi
harus memakai sarung dan kemeja putih. Selain itu juga di wilayah
ini masyarakat melakukan berbagai upacara adat terutama dalam
rangka bertani seperti upacara adat bonga padi. Masyarakat di sini
juga sangat tabu melupakan leluhur karena bisa mengakibatkan
terjadi bencana. Ada juga sebuah tempat yang digunakan oleh umat
berbagai agama untuk berdoa. Namanya “Kemaliq” yang artinya
tabu, suci dan sakral. Terletak di Desa Lingsar Kabupaten Lombok
Barat yang setiap tahun mengadakan sebuah upacara adat yang

9 Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal: 80.

[7]

bernama “Upacara Pujawali dan Perang Topat” sebagai wujud rasa
syukur atas hujan yang diberikan Tuhan YME pada umat manusia.
Penyebutan Islam Wetu Telu ini disangkal oleh Raden Gedarip,
seorang pemangku adat Karangsalah. Menurutnya, Islam hanya
satu, tidak ada polarisasi antara waktu tiga (Wetu Telu) dan Waktu
Lima. “Sebenarnya Wetu Telu bukan agama, tetapi adat”, ucapnya.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa masyarakat adat Wetu Telu ini
mengakui dua kalimah syahadat, “Allah Tuhan kami yang kuasa dan
nabi Muhammad sebagai utusan Allah”. Dua kalimat syahadat pun
diucapkan oleh penganut Wetu Telu ini, Setelah diucapkan dalam
bahasa Arab, kata Gedarip, diteruskan dalam

bahasa Sasak,

misalnya:

Anging

“Asyhadu

Ingsun

sinuru

anak

sinu.

stoken

ngaraning pangeran. Anging Allah pangeran. Ka sebenere lan ingsun
anguruhi. Setukhune nabi Muhammad utusan demi Allah. Allahhuma
shali Allah sayidina Muhammad”. Artinya: “Kami berjanji (bersaksi)
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan kami percaya bahwa
nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Disebut “berjanji” karena
diakui sudah menerima agama Islam.10
Dalam kehidupan masyarakat penganut Islam Wetu Telu di
mana dalam agamanya pun tidak lepas dari kebudayaan yang
terakulturasi dalam agama yang mereka yakini sehingga terdapat
pula ritual-ritual seperti halnya dalam ritual-ritual kepercayaan yang
ada dalam menganut Islam waktu lima. Adapun bentuk-bentuk
dialektika antara Islam dan Budaya dalam Wetu Telu tersebut yaitu:11
1. Adat Hidup dan Mati: semenjak kelahiran hingga kematian dalam
kehidupan seseorang terdapat serentetan upacara-upacara adat
sebagai berikut:
a. Buang Au, upacara dilaksanakan menjelang seorang bayi
berumur 7 hari kemudian langsung diberi nama. Seperti halnya
dalam Waktu Lima yang disebut Aqiqah.
10 http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayan-lombok.html.
Diakses pada 4 Nopember 2013.
11 Rasmianto, op. cit., hal. 146.

[8]

b. Ngurisan dan Nyunatan, upacara dilaksanakan apabila anakanak mencapai umur tiga sampai enam tahun. Hal ini juga
dilakukan dalam Islam.
c. Potong Gigi dan Ngawinan, merupakan upacara yang menandai
peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Dalam upacara ini
pemangku atau kiai menghaluskan gigi bagian depan anak lakilaki dan gadis remaja yang berbaring di berugak.12
Begitu pula dalam peristiwa kematian banyak sekali macam
upacara bahkan terjadi pengorbanan yang luar biasa karena
dianggap

sebagai

penghor-matan

terakhir

pada

almarhum.

Kegiatan upacaranya meliputi: penyelenggaraan jenazah seperti
memandikan, mengafankan, menyalatkan dan menguburkan.
Setelah keempat upacara tersebut selesai kemudian menyusul
kegiatan lainnya, berupa upacara sebagai berikut:
a. Nelung, yaitu hari ketiga dari peristiwa kematian
b. Mituq, yaitu hari ke tujuh dari peristiwa kematian.
c. Nyanga, yaitu hari kesembilan dari peristiwa kematian. Pada
hari ini diserahkan sebagian harta benda almarhum kepada
pihak petugas atau acara ini lazim disebut istilah nyelawat.
d. Pelayaran, upacara ini dilaksanakan tiap-tiap minggu atau bulan
tepat pada hari kematian sesorang.
e. Matangpulu, Nyatus dan Nyiu; masing-masing diadakan pada
hari yang ke empat puluh, keseratus dan keseribu.
2. Adat Agama; warna Islam juga ditemukan dalam ritual-ritual yang
berkaitan dengan hari besar Islam, seperti:
a. Rowah Wulan dan Sampet Jum’at

Kedua upacara ini dimaksudkan untuk menyambut tibanya
bulan puasa (Ramadlan). Rowah Wulan diselenggarakan pada
hari pertama bulan Sya’ban, sedangkan

Sampet Jum’at

12 http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayan-lombok.html.
Diakses pada 4 Nopember 2013

[9]

dilaksanakan pada jum’at terakhir bulan Sya’ban. Tujuannya
adalah sebagai upacara pembersihan diri menyambut bulan
puasa, saat mereka diminta untuk menahan diri dari perbuatan
yang dilarang guna menjaga kesucian bulan puasa.
Upacara-upacara ini tergolong unik, karena masyarakat Wetu
Telu

sendiri

tidak

melakukan

puasa.

Yang

melaksanakan

hanyalah para kiai, itupun tidak sama dengan tata cara
berpuasa yang dilakukan oleh penganut Waktu Lima.
b. Maleman Qunut dan Maleman Likuran
Maleman

Qunut

merupakan

peringatan

yang

menandai

keberhasilan melewati separuh bulan puasa. Upacara ini
dilaksanakan pada malam keenam belas dari bulan puasa. Bila
dibandingkan dengan Waktu Lima, pada malam keenam belas
dalam pelaksanaan rakaat terakhir shalat witir setelah shalat
tarawih disisipkan qunut. Barangkali atas dasar ini kemudian
Wetu Telu menyelenggarakan Maleman Qunut.
Sedangkan

Maleman

Likuran

merupakan

upacara

yang

dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan
puasa.

Perayaan

tersebut

dinamakan

maleman

selikur,

maleman telu likur, maleman selae, maleman pitu likur, dan
maleman siwak likur. Pada malam ini masyarakat Wetu Telu
secara bergiliran menghidangkan makanan untuk para kyai
yang melaksanakan shalat tarawih di masjid kuno. Adapun pada
malam ke-22, 24, 26, dan 28 dirayakan dengan makan bersama
oleh para kyai. Perayaan ini disebut sedekah maleman likuran.
c. Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi
Maleman Pitrah identik dengan saat pembayaran zakat fitrah di
kalangan Waktu Lima. Hanya saja dalam tradisi Wetu Telu
terdapat sejumlah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya
dengan Waktu Lima. Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah
merupakan saat dimana masing-masing anggota masyarakat
mengumpulkan pitrah kepada para kyai yang melaksanakan

[10]

puasa dan hanya dibagikan di antara para kyai saja. Bentuk
pitrahnya pun berbeda. Dalam ajaran Waktu Lima, yang juga
mentradisi di kalangan Islam pada umumnya, zakat fitrah hanya
berupa bahan makanan dengan jumlah tertentu dan hanya
dikeluarkan untuk orang-orang yang hidup. Dalam tradisi Wetu
Telu, Pitrahnya berupa makanan, hasil pertanian, maupun uang,
termasuk uang kuno, dan berlaku baik untuk yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal. Untuk yang masih hidup Pitrah
itu disebut Pitrah Urip, sedangkan untuk yang sudah meninggal
disebut Pitrah Pati.
Sedangkan Lebaran Tinggi identik dengan pelaksanaan hari
raya Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima. Bedanya, dalam
upacara Lebaran Tinggi diadakan acara makan bersama antara
pemuka agama dan pemuka adat, serta masyarakat penganut
Wetu Telu.
d. Lebaran Topat
Lebaran Topat diadakan seminggu setelah upacara Lebaran
Tinggi. Dalam perayaan ini, seluruh Kyai dipimpin Penghulu
melakukan Sembahyang Qulhu Sataq atau shalat empat rakaat
yang menandai pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing
seratus kali. Lebaran Topat berakhir dengan makan bersama di
antara para kyai. Dalam perayaan ini, ketupat menjadi santapan
ritual utama.
e. Lebaran Pendek
Lebaran Pendek identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha
di kalangan Waktu Lima. Pelaksanaannya dilakukan dua bulan
setelah lebaran topat. Dimulai dengan shalat berjamaah di
antara para Kyai disusul acara makan bersama dan setelah itu
dilanjutkan dengan pemotongan kambing berwarna hitam.
f. Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang
Upacara selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang dilaksanakan
pada tanggal 10 Muharram dan 8 Safar menurut penanggalan

[11]

Wetu Telu. Upacara ini untuk memperingati munculnya umat
manusia dan beranak pinaknya melalui ikatan perkawinan.
Bubur puteq (bubur putih) dan bubur abang (bubur merah)
merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam
upacara

ini.

Bubur

merepresentasikan
melambangkan

putih

melambangkan

laki-laki,
darah

haid

sedangkan
yang

air

mani

bubur

yang
merah

merepresentasikan

perempuan.
g. Maulud
Dari penyebutannya, terkesan bahwa upacara ini terkait dengan
upacara

peringatan

kelahiran

Nabi

Muhammad

Saw,

sebagaimana dilaksanakan oleh Waktu Lima. Kendati waktu
pelaksanaannya sama, yakni pada bulan Rabi’ul Awal, Wetu Telu
merayakannya untuk memperingati perkawinan Adam dan
Hawa. Seperti upacara-upacara lainnya, berdo’a dan makan
bersama ditemukan dalam upacara ini.13
Menurut mereka persepsi masyarakat seringkali salah dalam
mengartikan kepercayaan Wetu Telu. Umumnya orang beranggapan
bahwa Wetu Telu adalah salah satu ajaran Islam yang bermakna
keseluruhan ibadah dalam Islam yang disimbolkan dengan Wetu
(waktu) dan Telu (tiga). Sebenarnya, Wetu Telu adalah sebuah
konsep kosmologi kepercayaan leluhur yang berarti kehidupan ini
tergantung 3 jenis reproduksi yakni beranak (manganak), bertelur
(menteluk) dan berbiji (mentiuk). Ini merujuk pada keseimbangan
alam yang harus senantiasa lestari sebagai cikal bakal kehidupan
yang baik.
Islam Wetu Telu merupakan cermin dari pergulatan agama
lokal atau tradisional berhadapan dengan agama dunia yang
universal. Islam Wetu Telu yang banyak dipeluk oleh penduduk
Sasak asli dipandang sebagai “tata cara keagamaan Islam yang
salah, bahkan cenderung syirik” oleh kalangan Islam Waktu Lima.
13 Ibid, diakses pada 10 Nopember 2013.

[12]

Tak pelak, Islam Waktu Lima sejak awal kehadirannya disengaja
untuk melakukan misi atau dakwah Islamiyah terhadap kalangan
Wetu Telu.14 Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat
berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah
tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam
usahanya meluruskan praktik tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya mereka merubah pola
keyakinannya untuk mengikuti konsep ajaran Islam Waktu Lima.
Sebagai bukti dari kesungguhan mereka untuk menjalankan Islam
Waktu Lima adalah bahwa banyak di antara mereka yang belajar
pada para kiai dan Tuan Guru untuk memperdalam ajaran Islam
Waktu Lima yang sebenarnya dan banyak pula anak-anak mereka
disekolahkan di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Akhirakhir ini para penganut Islam Wetu Telu sudah jarang ditemukan,
kalaupun ada itu hanya beberapa orang saja di antara mereka dan
umumnya bertempat tinggal di pelosok terpencil yang aksesnya jauh
dari kota kecamatan dan kabupaten.
C. Gerakan Dakwah dan Dampak Kulturalnya
Di dalam Islam misi untuk menyebarkan ajaran Al Qur’an dan
Hadits merupakan tugas tiada akhir. Kewajiban dakwah bukan hanya
tanggung jawab ulama melainkan setiap orang Islam. Setiap muslim
diwajibkan melaksanakan dakwah kapanpun dan di manapun ia
berada. Meskipun demikian Islam tidak mengaharapkan mereka
menjadi misionaris.
Sudah banyak sarjana
D. Kesimpulan
Islam Wetu Telu merupakan suatu kepercayaan masyarakat
lombok. Asal usul terbentuknya Islam Wetu Telu di Bayan sampai saat
ini

juga

masih

merupakan

misteri,

kapan

dan

siapa

yang

menamakannya pertama kali. Ada beberapa versi tentang latar
14 Erni Budiwanti, op. cit., hal. vi.

[13]

belakang munculnya Islam Wetu Telu. Sebuah versi menyebutkan bahwa
Islam Wetu Telu terbentuk bersamaan dengan penyebaran Islam di
Lombok. Sebelum tuntas mengajarkan Islam, penyebarnya (wali atau
muridnya) dengan sebab yang tidak diketahui meninggalkan Lombok,
akibatnya masyarakat yang masih menganut agama Hindu dan
Animisme tidak sepenunhnya mampu menyerap ajaran Islam. Maka
mereka

memadukan

Animisme,

Hindu

dan

Islam

menjadi

satu.

Perpaduan inilah yang kemudian disebut dengan Islam Wetu Telu.
Sesungguhnya penganut Islam Wetu Telu itu sebelah kakinya di Islam
dan sebelah lagi Hindu dan Animisme.
Penyebutan

istilah

Wetu

Telu

mempunyai

perspektif

yang

berbeda-beda. Komunitas Waktu Lima menyatakan bahwa Wetu Telu
sebagai waktu tiga dan mengaitkan makna ini dengan reduksi seluruh
ibadah Islam menjadi tiga. Orang Bayan sebagai penganut terbesar
Islam Wetu Telu ini, menyatakan bahwa wetu telu bermakna semua
makhluk hidup muncul melalui tiga macam sistem reproduksi, yaitu
melahirkan (menganak), bertelur (menteluk) dan berkembang biak dari
benih (mentiuk). Sumber lain menyebutkan bahwa ungkapan Wetu Telu
berasal dari bahasa Jawa yaitu Metu Saking Telu yakni keluar atau
bersumber dari tiga hal: Al-Qur’an, Hadis dan Ijma. Artinya, ajaranajaran komunitas penganut Islam Wetu Telu bersumber dari ketiga
sumber tersebut.
Islam Wetu Telu sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat
Sasak Lombok Utara khususnya, di antaranya beberapa ritual yang ada
seperti: Wet Agama, Wet Adat, Wet Pemerintahan. Sehingga Wet Telu
merupakan kearifan lokal yang berlangsung secara turun temurun pada
masyarakat Lombok Utara. Di era ini, Islam Wetu Telu masih tetap
bertahan di daerah Lombok bagian Utara khususnya daerah Bayan.
Meskipun sudah banyak sekali para da’i yang menyebarkan dakwah
Islam di sana dari turun temurun, akan tetapi ada tokoh-tokoh adat lain
seperti

pemangku

gubug,

perumbak,

toaq

local

yang

sangat

berpengaruh dalm pelesatrian budaya relijius wetu telu.

[14]

Dialektika Islam dan Budaya Sasak meliputi beberapa hal seperti:
Adat hidup dan mati terdapat upacara-upacara adat sebagai berikut:
Buang Au (Aqiqah dalam Islam Waktu Lima), Ngurisan dan Nyunatan,
Potong
jenazah

Gigi

dan

seperti

Ngawinan.

Peristiwa

memandikan,

kematian

mengafankan,

penyelenggaraan
menyalatkan

dan

menguburkan. Dilanjutkan dengan upacara Nelung, Mituq, Nyanga,
Pelayaran, Matangpulu, Nyatus dan Nyiu (diadakan pada hari yang ke
empat puluh, keseratus dan keseribu). Adat Agama (Rowah Wulan dan
Sampet Jum’at, Maleman Qunut dan Maleman Likuran, Maleman Pitrah
dan Lebaran Tinggi, Lebaran Topat, Lebaran Pendek, Selametan Bubur
Puteq dan Bubur Abang, Maulud). Wallahua’lam bi shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Bustanudin Agus. Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar
Antropologi Agama. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007).
Erni Budiwanti. Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima. (Yogyakarta:
LKiS, 2000).
Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah, cet. 4, 2007.
Rasmianto, Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi
Islam Wetu Telu di Lombok. Jurnal el-Harakah, Vol. 11, No. 2,
(Malang: UIN Malang, 2009).
http://id.wikipedia.org/wiki/Wetu_Telu/

[15]

http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayanlombok.html.
http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/958/islam-wetu-telu
http://zaenudinmansyur.wordpress.com/2010/09/21/hello-world/

[16]