TUGAS HUKUM LAUT HUKUM LAUT

TUGAS HUKUM LAUT
Sejarah Hukum Laut Internasional
Oleh: Ryan Ihza Malape
04020120067
C16

Sebelum Imperium Roma dalam puncak kejayaannya menguasai
seluruh tepi Lautan Tengah kerajaan kerajaan
Yunani, Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan kekuasaan atas laut
dengan pemilikan kerajaan atas laut. Kecuali hukum laut
dari Rhodes yang mengatur hukum laut perdata (dagang) yang
berpengaruh atas perkembangan hukum laut perdata (dagang) yang
tumbuh di Eropa, pengaruh pemikiran tadi atas pertumbuhan hukum
publik tidak terlalu besar dan tenggelam dalam perkembangan hukum
laut yang didasarkan atas hukum Romawi dalam abad pertengahan.
1.

Zaman Romawi

Pada masa jayanya Imperium Roma, seluruh Lautan Tengah berada di
bawah kekuasaanya. Sebagai suatu Imperium yang menguasai seluruh

tepi Lautan Tengah, persoalan penguasaan laut tidak menimbulkan
persoalan hukum, karena tidak ada pihak lain yang menentang atau
menggugat kekuasaan mutlak Roma atas Lautan Tengah. Lautan
Tengah pada masa itu tidaklah lain dari pada suatu “danau” dalam
wilayah kekuasaan kekaisaran Roma. Keadaan ini berlainan sekiranya
pada waktu itu ada kerajaan-kerajaan lain di tepi Lautan Tengah yang
dapat mengimbangi kekuasaan Roma. Tujuan dari pada penguasaan
Romawi atas laut ini adalah untuk membebaskannya dari bahaya
ancaman bajak-bajak laut yang mengganggu keamanan pelayaran di
laut ini yang sangat penting bagi berkembangnya perdagangan dan
kesejahteraan hidup orang-orang yang hidup di daerah yang berada di
bawah kekuasaan Roma ini.
Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan
karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak, dengan
demikian menimbulkan suatu keadaan dimana Lautan Tengah menjadi
lautan yang bebas daripada gangguan bajak-bajak laut, sehingga
semua orang dapat mempergunakan Lautan Tengah dengan aman dan
sejahtera.

2.


Abad Pertengahan

Negara-negara yang mucul setelah runtuhnya Imperium Roma
disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut sebagian dari laut
yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan bermacammacam.
Venetia mengklaim sebagian besar dari Laut Adriatik, suatu tuntutan
yang diakui oleh Paus Alexander ke-III dalam tahun 1177.
Berdasarkan kekuasaannya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut
bea terhadap setiap kapal yang berlayar disana.
Genoa mengklaim kekuasaan atas laut Liguria dan sekitarnya dan
melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama
dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakantindakan penguasaan atas laut Thyrrhenia.
Tiga Negara kecil yang mucul setelah runtuhnya Imperium Romawi
di atas hanya merupakan sebagian saja dari contoh negara-negara di
tepi laut tengah yang berusaha melaksanakan kekuasaannya atas Laut
Tengah setelah kekuasaan tunggal Romawi lenyap dengan runtuhnya
Imperium Romawi. Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara
tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya dilakukan
dengan tujuan yang bermacam-macam yang dizaman sekarang

barangkali dapat disebut kepentingan: (1) karantina (perlindungan
kesehatan), terutama terhadap bahaya penyakit pes (black plague); (2)
bea cukai (pencegahan penyelundupan); (3) pertahanan dan netralitas.
Sering terjadinya peperangan antara negara-negara pada masa itu
menyebabkan perlunya negara yang tidak ingin terlibat dalam
pertikaian antara tentangga-tetangganya untuk menentukan suatu
daerah bebas dari tindakan permusuhan. Daerah netralitas ini biasanya
ditentukan besarnya tergantung dari kemampuan negara pantai untuk
menguasainya dengan senjata dari darat. Penguasaan laut dengan
meriam dari benteng-benteng di darat inilah yang merupakan asal
mula dari teori tembakan meriam yang akan dibahas kemudian.
Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar
negara darripada laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang

lazim disebut Post-Glossator atau Komentator mencari penyelesaian
hukumnya didasarkan atas asas-asas dan konsepsi-konsepsi hukum
Romawi. Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim
kedaulatan atas laut oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan
beberapa teori, diantaranya yang paling terkenal adalah teori yang
dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di

abad pertengahan. Bortolus meletakkan dasar bagi pembagian dua
daripada laut yakni bagian laut yang berada di bawah kekuasaan
kedaulatan negara pantai dan diluar itu berupa bagian laut yang bebas
dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori ini kelak akan
merupakan dasar bagi pembagian dua daripada laut yang klasik dalam
Laut Territorial dan Laut Lepas. Konsepsi Baldus agak berlainan dan
sebenarnya lebih maju. Ia membedakan tiga konsepsi bertalian
dengan penguasaan atas laut yakni: (1) pemilkan daripada
laut (2) pemakiaian daripada laut (3) yurisdiksi atas laut
dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingankepentingan di laut.
Suatu peristiwa penting di dalam sejarah hukum laut internasional
adalah pembagian seluruh laut dan samudera dunia ini di dalam dua
bagian yang dilakukan Paus Alexander XII di tahun 1493 dengan
piagam yang dinamakan Inter Caetera.
Pembagian seluruh lautan dan samudera di dunia antara Portugal dan
Spanyol yang pada hakekatnya merupakan pembagian dunia ke dalam
dua lingkungan kekuasaan yang masing-masing dinyatakan berada di
bawah kedaulatan raja-raja Portugal dan Spanyol ini merupakan usaha
untuk menyelesaikan persaingan dan sengketa antara dua kerajaan
Katholik ini yang mulai timbul sejak jatuhnya Constatinopel

(sekarang Istambul) ke tangan Turki di tahun 1453.
Hingga saat itu perdagangan antara Timur Jauh (Asia) dan Eropa
dilakukan melalui jalan darat dan laut. Barang-barang yang berasal
dari Tiongkok, Asia Timur dan Kepulauan Hindia seperti kain sutera,
batu permata, permadani dan rempah-rempah diangkut dengan
kalifah-kalifahdan kapal-kapal laut melalui India, Persia dan Timur
Tengah ke tepi Timur Laut Tengah dan dari sana ke Venetia, Genoa

dan lain-lain kota di Italia untuk kemudian disebarkan ke tempattempat lain di benua Eropa.
Karena itu dalam abad pertengahan daerah sekitar Laut Tengah
merupakan pusat perdagangan antara benuaAsia dan Eropa dan kotakota di Italia berkembang dengan pesat sebagai pusat perdagangan
yang sangat menguntungkan di Eropa.
Lalu lintas antara kota-kota kerajaan maupun Republik di Italian dan
kota-kota di pantai Timur Laut Tengah yang merupakan “terminal”
atau tempat tujuan akhir dari kafilah-kafilah yang dating dari Timur
Jauh merupakan urat nadi daripada kehidupan perniagaan pada masa
itu.
Selain yang disebutkan di atas sebab lain yang menyebabkan dapat
terus berlangusngnya perdagangan Timur Tengah ini di tengah-tengah
berlakunya perang-perang salib adalah bahwa peperangan diabad

pertengahan memang mengecualikan orang sipil termasuk pedagang
dari permusuhan apalagi warga dari republik atau kerajaan yang tidak
terlibat langsung dalam peperangan.
Bahkan dapat dikatakan bahwa perang-perang salib merupakan salah
satu sebab penting daripada peningkatan perdagangan dengan Timur
Jauh karena mereka yang kembali dari Timur Tengah inilah yang
justru membawa kembali dan memperkenalkan barang-barang mewah
dari Timur Jauh itu ke dalam lingkungan bangsawan dan masyarakat
Eropa.
Jatuhnya Istambul ke tangan Turki di tahun 1453 memperkuat hasrat
bangsa-bangsa di Eropa utnuk menemukan jalan bahkan dapat
dikatakan memaksa mereka melakukannya. Orang Portugis yang
berhasil sampai ke kepulauan Maluku melalui Samudera Atlantik,
Tanjung Harapan dan India menganggap samudera dan lautan yang
mereka lalui sebagai milik mereka.
Demikian pula orang Spanyol yang sampai juga ke kepulauan Maluku
melalui Samudera Pasifik setelah mengitari bagian selatan benua

Amerika menuntut samudera-samudera tersebut sebagai milik
mereka.

Dengan demikian maka Piagam yang kedua dari Paus Alexander VI
tahun 1493 yang membagi samudera-samudera dan lautan di dunia
antara Portugal dan Sapnyol dapat dianggap sebagai usaha untuk
mendamaikan klaim-klaim yang saling bertentangan di atas.menurut
piagam ini segala laut dan samudera disebelah Barat meridian (garis
bujur) yang letaknya kurang lebih 400 mil laut dari kepulauan Azores
dinyatakna sebagai milik Spanyol, sedangkan yang sebelah Timur
meridian tersebut dinyatakan milik Portugis.
Pembagian laut dan samudera yang dilakukan oleh Portugal dan
Spanyol yang terutama merupakan cara untuk melarang pihak lain
melakukan pelayaran di laut dan samudera yang bersangkutan
rupanya tidak pernah berlaku di daerah lautan Utara benua Eropa di
mana terdapat klaim “domino maris” daripada kerajaan Denmark,
yang selain pengaturan pelayaran juga, meliputi perikanan dan
pemberantasan bajak laut. Satu hal yang menarik klaim Denmark ini
adalah kemampuan kerajaan Denmark untuk memaksakannya
terhadap pihak-pihak lain dan kenyataan bahwa kerajaan-kerajaan lain
seperti misalnya Inggris, Belanda dan Perancis memang mengakui
kedaulatan Denmark atas laut antara pantai-pantai Norway di satu
pihak dan Denmark serta Greenland di pihak lain.

Kerajaan Inggris masa itu terutama di bawah raja-raja dari Skotlandia
juga menganggap lautan sekitar kepulauan Inggris sebagai “dominio
maris”. Dorongan utama bagi pendirian ini adalah hasrat untuk
melindungi perikanan di perairan Inggris terhadap nelayan-nelayan
asing. Untuk maksud lain raja Charles II pernah menyatakan laut
diantara kepulauan Inggris (England, Scotland, dan Ireland) sebagai
“King’s Chambers” dengan cara pengukuran batas yang
menggunakan garis-garis lurus yang ditarik dari ujung ke ujung
kepulauan Inggris.

3. Laut Tertutup (more clausum) lawan laut bebas (mare
liberium)
Asas kebebasan laut (freedom of the seas) pertama kali dikemukakan
oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberium yang terbit di
tahun 1609. buku ini yang mempunyai subjudul “on the right of the
Dutch to sail to the East Indies” (tentang hak orang Belanda untuk
berlayar ke Hindia Timur) ditulis oleh Grotius sebagai pembelaan hak
orang Belanda – atau orang lain selain orang Portugis dan Spanyol –
untuk mengarungi lautan.
Dalam tahun yang sama raja James I dari Inggris telah mengeluarkan

larangan bagi nelayan Belanda utnuk menangkap ikan di dekat pantai
Inggris. Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang sebenarnya
ditujukan pada orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup lautlaut tertentu bagi pelayaran oleh orang lain dan tidak terhadap
pembatasan perikanan yang dilakukan oleh Inggris, telah
menimbulkan rekasi yang hebat dari penulis-penulis Inggris seperti
Welwood dan kemudian Selden sehingga menimbulkan apa yang
dinamakan “battle of the books”
Para penulis Inggris, Potrugal dan Spanyol yang menentang pendapat
Grotius mengemukakan bahwa laut itu dapat dimiliki oleh setiap
negara. Sarjana-sarjana tersebut seperti misalnya John Shleden dari
Inggris dengan bukunya Mare Clausum (Laut Tertutup) yang
membela dan mempertahankan klaim Inggris atas Laut Utara.
Demikian pula dengan sarjana Inggris lain seperti William Wellwood
dalam bukunya Abridgement of All Sea Law (1613) menentang keras
pandangan Grotius.
Tentu saja antara kedua pendapat yang ekstrim itu agak sukar untuk
diterima semua pihak dan akhirnya memang jalan kompromi yang
mempertemukan kedua pandangan tersebut yakni pada tahun 1704
seorang sarjana hukum berkebangsaan Belanda Cornelis Von
Bynkershoek dalam bukunya De Dominia Maris Dissertatio (suatu

essay tentang kekuasaan atas laut) mengusulkan suatu rumusan dalil,
sebagai penjelmaan dari asas penguasaan laut dari darat, berupa suatu

kaidah tembakan meriam yang berbunyi: “terrae protestas finitur ubi
finitur armorum vis”(kedaulatan territorial berakhir dimana kekuatan
senjata berakhir). Menurut dalil ini jalur laut territorial menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari wilayah daratan dan perbedaan antara
pemilikan dan kedaulatan dengan demikian lenyap sama sekali.
Dengan demikian sempurnalah pembagian dua laut yang dipelopori
oleh Pontanus dan selesailah “battle of the books” antara doktrin
“mare liberium” dan “mare clausum”
4.

Teori Jarak Tembakan Meriam (Lebar Laut Territorial)

Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang
dipergunakan orang untuk menetapkan lebar laut territorial sebagai
jalur yang ebrada di bawah kedaulatan negara pantai. Diantaranya
yang terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam; (2) ukuran
pandangan mata; (3) ukuran “marine league”. Baru jauh kemudian

ukuran 3 mil laut yang untuk waktu yang cukup lama dianggap
ukuran lebar laut territorial yang berlaku umum. Diantara tiga ukuran
tersebut di atas yang paling banyak diperbincangkan adalah ukuran
tembakan meriam dan lama sekali orang mengira bahwa ukuran
tembakan meriam inilah yang merupakan asal mula kaedah laut
territorial tiga mil, yakni suatu jalur laut yang terbentang sepanjang
pantai dan lebarnya tiga mil terhitung dari garis pasang surut.
Pada tahun 1782 dua orang sarjana hukum berkebangsaan Itali
Galiani dan Azuni mengusulkan agar lebar laut territorial suatu negara
sejauh tiga mil diukur dari pantai. Jarak tiga mil yang diusulkan ini
berkaitan dengan persoalan netralitas yang menjadi persoalan hangat
pada waktu perang Kemerdekaan Amerika pada tahun 1776-1782.
Pada waktu itu berkembang pendapat bahwa perang di laut tidak
boleh dilakukan dalam jarak tiga mil dari pantai negara netral.
Tampaknya jarak tiga mil ini sama dengan jarak tembak meriam pada
waktu itu.
Kemudian jarak tiga mil ini mulai diterima oleh para ahli hukum dan
negara-negara. Banyak negara yang menetapkan lebar laut
territorialnya sejauh tiga mil dari pantai diukur pada waktu air laut

surut. Untuk sementara waktu sudah mulai ada kepastian tentang
lebar laut territorial ini. Namun lebar laut territorial ini tidak lama
bertahan. Pada awal abad XIX beberapa negara mulai mengklaim
lebar laut territorial yang melebihi tiga mil. Hal ini berlangsung
sampai pertengahan abad XX. Masa ini boleh dikatakan sebagai
puncak perlombaan negara-negara dalam mengklaim lebar laut
territorial. Usaha untuk menetapkan lebar laut territorial yang saragam
bagi semua negara terus dilakukan. Mulai dari pendapat-pendapat
para sarjana, kemudian disusul oleh organisasi-organisasi
internasional independent seperti ;Institute of International Law,
International Law Association, American Society of International
Law dan lain sebagainya dan akhirnya oleh organisasi internasional
yang anggotanya negara-negara seperti Liga Bangsa-Bangsa dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nemun semuanya ini tidak ada yang
berhasil menetukan lebar laut territorial.
5.

Konferensi Den Haag 1930

Pada tahun 1930 diadakanlah Konferensi Kodifikasi Hukum
Internasional di Den Haag atas prakarsa dari Liga Bangsa-Bangsa.
Salah satu materi hukum internasional yang hendak dikodifikasikan
adalah lebar laut territorial. Akan tetapi Konferensi Den Haag 1930
gagal mencapai kata sepakat lebar laut territorial. Akibatnya lebar laut
territorial negara-negara tetapi tidak seragam.
6.

Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958

Pada tahun 1958 diadakanlah Konferensi Hukum Laut di Jenewa atas
prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa yang salah satu materi hukum
laut yang dibahas adalah lebar laut territorial. Seperti halnya dengan
Konferensi Den Haag 1930, maka Konferensi Hukum Laut Jenewa
pun gagal mencapai kata sepakat untuk menetapkan lebar laut
territorial yang seragam bagi semua Negara.

7.

Konferensi Hukum Laut PBB ke III (1974-1982)

Barulah dalam Konferensi Hukum Laut Internasional 1974-1982 yang
juga diprakarsai oleh PBB berhasil mencapai kesepakatan mengenai
lebar laut territorial, yaitu maksimum 12 (dua belas) mil laut dari
pantai diukur dari garis pangkal. UNCLOS (United Nations
Convenstion on the Law of the Sea) adalah suatu perjanjian antara
Negara (Konvensi) yang diprakarsai oleh PBB dan mulai dibentuk
sejak tahun 1958 yang melahirkan empat buah perjanjian antarnegara
yang mengatur tentang kegiatan-kegiatan di laut yang meliputi; Laut
Territorial dan Zona Tambahan; Perikanan dan Konsevasi
Sumberdaya Hayati di Laut Lepas; Landas Kontinen dan Laut Lepas.
Adapun 4 Konvensi Jenewa 1958 yaitu:

1. Konvensi tentang Laut Territorial dan Zona Tambahan;
1. Konvensi tentang Perikanan dan Konsevasi Sumberdaya Hayati
di Laut Lepas;
1. Konvensi tentang Laut Lepas;
1. Konvensi tentang Landas Kontinen.
UNCLOS 1982 disepakati pada akhir tahun 1982 di mana ada 119
negara anggota PBB telah menyepakati suatu perjanjian baru yang
mengatur tentang pelbagai kegiatan di laut dalam bentuk suatu
perjanjian internasional yang konprehensif yang dikenal
sebagai United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS
1982). Selain memperkuat sebagian dari ketentuan-ketentuan
Konvensi Hukum Laut 1958, di mana konvensi ini juga memuat
ketentuan-ketentuan tentang hal-hal yang baru seperti konsep Zona
Ekonomi Eksklusif dan asas negara Kepulauan serta menetapkan
batas-batas bagi Laut Territorial dan Landas Kontinen.

Pada tanggal 31 Desember 1985 Indonesia telah meratifikasi
UNCLOS 1982 melalui pengundangan Undang-Undang No.17 tahun
1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of
the Sea 1982, sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ratifikasi ini, pada
tahun 1996, Pemerintah mencabut Undang-Undang No.4/Prp/1960
dan menggantinya dengan Undang-Undang No.6 tahun 1996 tentang
perairan Indonesia yang lebih disesuaikan dengna ketentuanketentuan UNCLOS 1982. Undang-Undang ini kemudian dilengkapi
dengan PP No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-Titik Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna yang
merubah garis pangkal untuk daerah tersebut sehingga menutup
hampir seluruh perairan di sekitar Kepulauan Riau.
Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS
1982) bahwa kedudukan Negara kepulauan (archipelagic
state) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 47 dapat menggunakan
carap penarikan garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic
base line). Dalam hukum internasional dikenal adanya garis pangkal
biasa (normal base line),garis pangkal lurus (straight base line), dan
garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic base line) (pasal
5,7, dan 47 UNCLOS 1982). Hal ini telah diperkuat oleh UndangUndang No.6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia di mana untuk
negara kepulauan Indonesia dapat digunakan kombinasi ketiga cara
penarikan garis di atas.
Garis pangkal lurus kepulauan adalah garis-garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau
dan karang terluar dari kepulauan Indonesia. Kedudukan negara
kepulauan secara yuridis diakui dalam UNCLOS 1982 (Pasal 46):
a. Negara kepulauan berarti suatu negara yang seluruhnya terdiri
dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain;
b. Kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau,
perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya
satu sama lainnya itu merupakan sautu kesatuan geografi, ekonomi
dan politik atau yang secara histories dianggap demikian.