Makalah tentang Convention on Biodiversi
MATA KULIAH HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
UNITED NATIONS CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY
Alif Nurfakhri Muhammad
1306412312
Fadilla R. Putri
1306380595
Dwaskoro Syahbanu
1206265180
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM SARJANA
DEPOK
2016
1
DAFTAR ISI
BAB 1 : PENDAHULUAN…………………………………………...……….. 1-3
BAB 2 : ISI .…………………………………………….................................. 4-26
BAB 3 : PENUTUP…………………………………………………………….. 27
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………..........................28-29
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Biodiversity, atau keanekaragaman hayati, merupakan bagian integral dari
lingkungan hidup dan manusia. Oleh karenanya, hal ini penting untuk dijaga
kelestariannya.
Pada akhir abad ke 20 terjadi peningkatan eksploitasi keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi, seperti penangkapan ikan yang berlebihan dan
pemburuan binatang-binatang langka. Untuk itu, perlu dibuatnya aturan
internasional,
yang
setidaknya
mengatur
prinsip-prinsip
mengenai
keanekaragaman hayati ini, khususnya pada bidang konservasinya.
UNCBD, yang sudah dibahas oleh UNEP Biodiversity Expert Group sejak
akhir tahun 80-an ini hadir untuk menjawab hal-hal tersebut. Pada makalah
ini akan dijelaskan mengenai UNCBD itu, khususnya prinsip-prinsip
lingkungan apa yang terkandung didalamnya.
Rumusan Masalah
Dari pembahasan singkat latar belakang maka saya membatasi materi dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan CBD?
2. Bagaimana terbentuknya CBD?
3. Misi dan Tujuan dari CBD?
4. Apa Saja Protokol yang dimiliki CBD?
5. Bagaimana mekanisme pelaksanaan CBD?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
A. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mencari dan menganalisa mengenai
UN CBD.
1
B. Tujuan Khusus
Tujuan lebih spesifik dari penelitian ini adalah:
1. Guna mencari tahu tentang pengaturan dan penerapan UN CBD di berbagai
belahan dunia.
2. Mencari tahu cara kerja dan atura yang ada dalam CBD dan protokolnya
3. Memenuhi komponen nilai Tugas Makalah.
Manfaat
Manfaat dari penelitian dan penulisan makalah ini lebih mengarah kepada
manfaat teoritis. Beberapa manfaatnya antara lain:
1. Memperluas wawasan mengenai CBD.
2. Memperoleh pengetahuan terkait pengaturan konservasi keanekaragaman
hayati.
3. Mendapatkan ilmu mengenai penerapan dan pelaksanaan Convention on
Biological Diversity
4. Memperoleh nilai tugas makalah Hukum Lingkungan Internasional.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan penyusun makalah menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif1, yang dilakukan dengan mengkaji, menguji
dan menerapkan asas-asas hukum pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku ke dalam gejala yang terjadi2. Hal yang dikaji merupakan peraturanperaturan dan Penerapan terkait UN Convention on Biodiversity serta
protocol-protokolnya.
1
Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1994), 13.
2
Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-10.
2
Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian dan penyusunan makalah
berasal dari kepustakaan dan peraturan perundang-undangan. Maka tentunya
Jenis data utama yang digunakan dalam penelitian merupakan data
sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini mencakup bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain adalah:
1. Bahan hukum primer yang mencakup ketentuan perundangan yang berlaku
dan mempunyai kekuatan mengikat.3 Dalam penelitian ini, bahan hukum
primer yang dipakai antara lain Teks Konvensi dan Protokol.
2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan, informasi atau hal-hal
yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya, 4 seperti
literatur, laporan hasil penelitian, artikel ilmiah, makalah, skripsi, tesis,
disertasi dan sumber-sumber terpercaya di Internet.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk
maupun menjelaskan bahan hukum primer maupun sekunder.
3
Soekanto, Op.Cit., hlm. 12.
4
Ibid., hlm. 12
3
Bab 2
Isi
2.1 History of the Convention on Biological Diversity
Adalah sebuah Konvensi yang diadakan pada tahun 1992 di Rio yang
disebut United Nations Conference on Environment and Development (the
Rio "Earth Summit").
Diadakannya konvensi ini yang dibuka untuk penandatanganan pada tanggal
5 Juni dipicu oleh adanya keperluan menggali lebih dalam mengenai
kebutuhan akan sebuah konvensi internasional terkait keanekaragaman
hayati.
Masyarakat dunia sudah mulai menyadari adanya keperluan membagi hak
dan tanggungjawab antara negara maju dan berkembang mengenai
kelangsungan keanekaragaman hayati. Prinsip sustainable development
sudah mulai marak digunakan.
Dibawah naungan UNEP (United Nations Environmental Programme),
berikut adalah rentetan pemicu diadakannya CBD convention 1992;
First session of Ad Hoc Working Group of Experts on biological diversity
November 1988: dimana diputuskan untuk adanya Rasiolanisasi dari
konvensi internasional tentang konservasi. Kelompok kerja ini juga
memandang perlunya Konservasi Keanekaragaman Hayati pada tingkat
global.5
Second Session of the Ad Hoc Working Group of Experts on Biological
Diversity February 1990: masih dalam rangka persiapan, Kelompok kerja
yang terdiri dari ahli-ahli memandang perlunya protocol-protocol terpisah
dan diberitahukannya Komite Persiapan untuk Conference on Environment
and Development tahun 1992 mengenai perlunya instrument perlindungan
untuk Keanekaragaman Hayati ini.6
Third Session of the Ad Hoc Working Group of Experts on Biological
Diversity July 1990: terdapat 10 dokumen dalam pertemuan ini diantaranya
5
6
https://www.cbd.int/doc/meetings/iccbd/bdewg-01/official/bdewg-01-03-en.pdf
https://www.cbd.int/doc/meetings/iccbd/bdewg-02/official/bdewg-02-03-en.pdf
4
tentang kebutuhan dan biaya, kekayaan intelektual, hingga daftar peserta
pertemuan tersebut
First Session of the Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts
on Biological Diversity 19-23 November 1990.
Second session Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts on
Biological Diversity February-March 1991, Nairobi
Third session Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts on
Biological Diversity June-July 1991
Third Negotiating Session / First Meeting of the Intergovernmental
Negotiating Committee for a Convention on Biological Diversity June-July
1991
Fourth Negotiating Session / Second Meeting of the Intergovernmental
Negotiating Committee for a Convention on Biological Diversity September
1991
Fifth Negotiating Session / Third Meeting of the Intergovernmental
Negotiating Committee for a Convention on Biological Diversity November
1991
Sixth Negotiating Session / Fourth Meeting of the Intergovernmental
Negotiating Committee for a Convention on Biological Diversity February
1992
Seventh Negotiating Session / Fifth Meeting of the Intergovernmental
Negotiating Committee for a Convention on Biological Diversity 11-19
May 1992
Conference for the Adoption of the Convention on Biological Diversity 2021 May 19917
Intergovernmental Negotiating Committee tersebut yang merupakan
Kelompok kerja Ad Hoc yang dibentuk pada Februari 1991 tadi setelah
menempuh 7 sesi negosiasi berhasil memasukkan Text dari Konvensi CBD
untuk diadopsi dalam konferensi di Nairobi. Setelah dibuka untuk
penandatanganan hingga 4 Juni 1993, dimana Konvensi tersebut menerima
7
https://www.cbd.int/history/default.shtml
5
sejumlah 168 Negara yang menandatanganinya, Konvensi diberlakukan
pada 29 December 1993.
Setelah Dilaksanakannya dan diberlakukannya konvensi, dilaksanakan COP
(conference of parties) dalam rangka menjalankan amanat dari konvensi
tersebut.
COP yang dilaksanakan yakni sebagai berikut:
COP 1 di Nassau, Bahama pada tanggal 28 November hingga 9 Desember.
Pada COP ini diputuskan tentang Prosedur untuk COP selanjutnya,
Sumberdaya finansial dan mekanisme, negara yang digolongkan maju dan
berkembang, kerjasama teknis dan ilmiah antar para pihak, Subsidiary Body
on Scientific, Technical and Technological Advice, lokasi secretariat
program jangka menengah CBD, hingga persiapan partisipasi Konvensi
pada sesi ketiga Commision on Sustainable Development.8
COP 2 di Jakarta, Indonesia pada November 1995 dimana para pihak
menetapkan lebih detail mengenai Clearing-house mechanism9, publikasi
dan distribusi informasi ilmiah, hutan, konservasi lingkungan laut, akses
terhadap sumberdaya genetic, dan sebagainya. Terdapat setidaknya 23
keputusan dalam COP 2.
COP 3 dilaksanakan pada 4 hingga 15 November 1996 di Buenos Aires,
Argentina. COP 3 memutuskan hal-hal mengnenai isu yang perlu
diselesaikan di COP 4, Rapat yang telah dilaksanakan oleh Subsidiary Body
on Scientific, Technical and Technological Advances, penggunaan Bahasa
dalam rapat-rapat badan subsider tersebut, pelaksanaan clearing house
mechanism, dan kebanyakan terkait biodiversitas kehidupan di daratan.
Selain itu dibahas mengenai guideline mekanisme finansial, hubungan
konvensi dengan komisi pembangunan berkelanjutan, serta medium-term
programme tahun 1996-1997.10
8
https://www.cbd.int/decisions/cop/?m=cop-01
sebuah mekanisme dalam rangka memfasilitasi kerjasama ilmiah dan teknis dalam CBD ( Article
18.3)
10
https://www.cbd.int/decision/cop/default.shtml?id=7118
9
6
COP 4 yang diadakan pada 4-15 May 1998 di Bratislava, Slovakia,
membahas isu-isu seperti implementasi lebih dalam CBD, agrikultur,
biosafety, biodiversitas lingkungan hutan, implementasi pasal 8(j), serta
salah satu poin penting dalam COP ini yakni pembahasan lebih lanjut terkait
hubungan CBD dengan Commission on Sustainable Development and
biodiversity related conventions, perjanjian internasional lain.
Pada 22 Februari 1999 diadakan suatu Extraodinary COP pertama dalam
rangka membahas, melakukan ExCOP lanjutan pada 29 Januari 2000, serta
mengadopsi suatu protocol baru dalam CBD yakni Protokol Cartagena
terkait Biosafety yang dibahas dalam COP sebelumnya. Protokol ini
bertujuan untuk mengatur mengenai perkembangan LMO (living modified
organism) agar tercipta tingkat perlindungan yang memadai terkait
pemindahan LMO, penggunaan dan penanganannya.11 Protocol ini Mulai
diberlakukan per 11 September Tahun 2003.
COP 5 diadakan 15-26 May Tahun 2000 di Nairobi, Kenya, menghasilkan
sebanyak 29 keputusan diantaranya mengenai rencana kerja dari komite
protocol Cartagena, Implementasi dari keputusan COP 4/5 tentang
keanekaragaman hayati laut dan pesisir, dan sebagainya.
COP 6 diadakan pada tanggal 7-19 April 2002 di Den Haag, Belanda. Pada
Conference ini, diantara 32 Decision, beberapa keputusan penting yang
dibuat antara lain Ekosistem hutan, Spesies asing, Bagi hasil, dan Strategic
Plan 2002-2010.
COP 7 yang bertemakan Ekosistem pegunungan, daerah terlindungi, dan
Transfer of Technology and Technology Cooperation, diadakan diKuala
Lumpur, Malaysia pada tanggal 9-20 Februari 2004. Sebanyak 36
Keputusan
dihasilkan
diantaranya
Millenium
Development
Goals,
pembahasan Article 13 tentang Public awareness, dan Forest Biological
Diversity.
COP 8 dilaksanakan di Curitiba, Brasil dari 20-31 Maret 2006. Conference
ini menghasilakn sebanyak 34 Keputusan dan membahas mengenai
11
United Nations, The Cartagena Protocol on biosafety, Article 1
7
Keanekaragaman Hayati Kepulauan, Global Taxonomy Initiative, pasal 15
CBD tentang akses dan bagi hasil dan manfaat ( benefit-sharing)
COP 9 mengedepankan mengenai isu seperti Strategi Global Koservasi
tumbuhan, Keanekaragaman Agrikultur dan Hutan, langkah-langkah
insentif, dan progress dalam implementasi Progress in the implementation
of the Strategic Plan and progress towards the 2010 target dan Millennium
Development Goals yang relevan. Conference diadakan pada tanggal 19-30
May tahun 2008 di Bonn, Jerman.
Pada COP 10 di Nagoya, Jepang 18-29 Oktober 2010, dibuat sebanyak 47
keputusan dimana beberapa yang penting yakni diadopsinya Protokol
Nagoya, diberlakukan per Oktober 2014 setelah diratifikasi 50 negara, yang
membahas mengenai pembagian yang adil dan merata dari keuntungan yang
dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik sehingga berkontribusi
untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati.12
COP 11 Hyderabad, India 8 - 19 October 2012 mengeluarkan keputusan
sebanyak 33 dan memiliki agenda rencana strategis Biodiversity 2011-2020
dan target dari Nagoya terkait penilaian progress dan perbaikan
implementasi.
Agenda
lain
dalam
pertemuan
ini
yakni
tentang
keanekaragaman hayati laut dan pesisir, Biofuel,
COP 12 Pyeongchang, Republic of Korea 6 - 17 October 2014 diadakan
dengan agenda melakukan penilaian terhadap pelaksanaan protocol Nagoya,
dan agenda yang serupa dengan COP 11.
Kemudian terakhir sebagaimana diperjanjian pada COP 12 akan diadakan
COP 13 yang bertempat di Cancun Mexico.
2.2 Parties Participating in the Convention
12
United Nations, The Nagoya Protocol, Article 1
8
Dalam Convention on Biological Diversity ini dan protocol yang ikut serta
didalamnya
terdapat
setidaknya
168
negara
yang
melakukan
penandatanganan atas Konvensi tersebut. Hingga sekarang Pihak yang
berpartisipasi dalam konvensi sudah sejumlah 196 pihak dari yang sudah
melakukan
ratifikasi,
Penerimaan
(acceptance),
sekedar
approval,
Succession, Accession, hingga yang sejauh ini sekedar menandatangani.
Namun disini kita melihat Amerika Serikat yang telah ikut dalam
penyusunan adanya CBD sejak tahun 1988 hanya sekedar menandatangani
pada tahun 1993 namun sama sekali tidak melakukan upaya apapun dalam
implementasi CBD di negaranya. Oleh sebab itu Amerika Serikat bukanlah
salah satu dari 196 pihak dalam daftar anggota CBD.
2.3 Prinsip Lingkungan dalam Konvensi
The Convention on Biological Diversity 1992 sangat mengedepankan
prinsip payung yakni Sustainable Development. Dalam teks CBD yang
terdiri atas 42 Pasal serta 2 buah Annex, dapat dilihat prinsip-prinsip yang
menjadi dasar dalam konvensi.
Contoh pertama terdapat pada Article 1 dari Convention yang berbunyi:
The objectives of this Convention, to be pursued in accordance with its
relevant provisions, are the conservation of biological diversity, the
sustainable use of its components and the fair and equitable sharing of the
benefits arising out of the utilization of genetic resources, including by
appropriate access to genetic resources and by appropriate transfer of
relevant technologies, taking into account all rights over those resources
and to technologies, and by appropriate funding.
Pasal ini menunjukkan penggunaan prinsip Sustainable Development
sebagai dasar dan objektif dari seluruh isi konvensi. Prinsip Sustainable Use
dan transfer of technologies terkandung dalam pasal ini.
9
Kemudian bisa dilihat pada article 3 terdapat prinsip State Responsibility
serta Precautionary Principle. Article tersebut menyatakan bahwa negara
memang memiliki kebebasar dalam melakukan eksploitasi terhadap SDA
yang mereka milik sesuai ketentuan dan pengaturan lingkungan masingmasing Negara. Namun disini tentu setiap negara memiliki tanggung jawab
untuk memastikan bahwasanya aktivitas mereka tidak menyebabkan
kerusakan lingkungan terhadap wilayah Negara lain dan wilayah diluar
batas kedaulatannya. Disini negara harus berhati-hati agar tidak terjadi
kerusakan dan pencemaran dalam melakukan eksploitasi SDA, serta Negara
harus bertanggung jawab atas kerusakan apabila terjadi akibat aktivitasnya.
Prinsip Sustainable Development ini tentu dilaksanakn dengan harapan
dapat dipenuhinya asas Intergenerational dan Intragenerational equity.
Article 10 CBD menyatakan dalam 5 poin bahwa harus meminimalisir
dampak penggunaan SD biologis terhadap keanekaragaman hayati, dan
mendukung konservasi serta melakukan remedi atas degradasi lingkungan
dan keanekaragaman hayati. Pasal ini apabila diimplementasikan maka
memenuhi prinsip keadilan dalam generasi serta antar generasi. Generasi
masa kini baik semua kalangan dapat memeperoleh manfaat dan generasi
yang akan dating tidak akan kehilangan apa yang generasi ini telah nikmati.
2.4 Dasar Pembentukan Convention on Biological Diversity
1. Landmark Cases
Secara garis besar, tidak ada kasus yang secara khusus membahas
biodiversitas dan menjadi dasar pembentukan dari CBD. Namun, dalam
perkembangan-perkembangan putusan pada International Court of Justice,
ada beberapa putusan yang berkaitan dengan konservasi biodiversitas,
seperti yang diamanatkan dalam Convention on Biological Diversity, yaitu:
a. Icelandic Fisheries Case (United Kingdom v Iceland)13
Pada kasus ini, Inggris menggugat Eslandia karena pada tahun 1948,
Eslandia membuat suatu peraturan yang disahkan oleh parlemennya
(Althing) yang mengatur Scientific Conservation of the Continental Shelf
International Court of Justice, Fisheries Jurisdiction Case
(United Kingdom v Iceland) (Merits) Judgement of 25 July 1974.
13
10
Fisheries. Untuk melaksanakan peraturan tersebut, pada tahun 1958,
Eslandia membuat peraturan yang mengatur bahwa Eslandia memiliki
Jurisdiksi untuk mengatur penangkapan ikan hingga 12 mil laut dari garis
pantainya. Pada tahun 1961 sudah ada persetujuan antara Eslandia dengan
Inggris yang menyatakan bahwa Inggris setuju dengan zona penangkapan
ikan di 12 mil laut ini. Namun, pada tahun 1971, Eslandia mengeluarkan
peraturan yang menyatakan bahwa perjanjian dengan Inggris akan
diselesaikan dan batas jurisdiksi zona penangkapan ikan Eslandia digeser ke
50 mil laut, yang menyebabkan pada 1972, seluruh kegiatan perikanan
dengan kapal asing dalam zona tersebut dilarang. Maksud dari Eslandia
tersebut adalah untuk membatasi jumlah ikan yang ditangkap di zona
tersebut. Inggris yang telah dibatalkan perjanjiannya tidak menemukan
solusi melalui jalur negosiasi sehingga membawa kasus ini ke ICJ.
2.5 Alasan Pembentukan CBD
Convention on Biological Diversity atau Konvensi Biodiversitas merupakan
suatu konvensi yang dibentuk sebagai bentuk perlindungan hukum untuk
biodiversitas (kekayaan hayati dan hewani). Konvensi ini merupakan salah
satu dari sekian banyak konvensi yang tergabung dalam UNEP (United
Nations Environmental Program). Tujuan dari dibentuknya konvensi ini
adalah
konservasi
biodiversitas,
penggunaan
berkelanjutannya,
dan
pembagian yang adil dari manfaat-manfaat yang dapat diperoleh dari
biodiversitas, serta akses untuk proses-proses genetiknya. 14 Sebelum
dibentuknya Convention on Biological Diversity, telah ada beberapa
konvensi yang terfokus untuk melakukan konservasi seperti CITES
(Convention on International Trade of Endangered Species), namun
konvensi ini hanya terfokus kepada perdagangan spesies-spesies yang
terancam punah.
Tujuan dari CBD lebih luas daripada apa yang diatur dalam CITES. Pada
pasal 6-20 dari CBD ini dijabarkan lebih lanjut mengenai tujuan-tujuan
Patricia Birnie, Alan Boyle, Catherine Redgewell, International
Law and the Environment, (), Hal. 616, lihat juga Convention on
Biological Diversity, Article 1.
14
11
yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu ukuran konservasi yang dilakukan,
penggunaan berkelanjutan dari suatu spesies, baik in situ maupun ex situ,
insentif konservasi, dan pembangunan berkelanjutan tersebut, riset dan
pelatihan, Penyadaran dan edukasi publik, Konvensi yang mulai dibicarakan
sejak tahun 1988 ini memiliki hal-hal yang membuatnya menjadi suatu
konvensi yang terbilang efektif, yaitu:15
1) Lingkupnya komprehensif, karena mencakup seluruh elemen biodiversitas,
serta harmonisasi konservasi dan penggunaan spesies secara berkelanjutan.
2) Harmonisasi kedaulatan nasional dengan konservasi dan penggunaan
berkelanjutan dari spesies
3) Membangun apa yang disebut “anticipatory approach”
4) Keseimbangan antara konservasi in situ dan ex situ
5) Kewajiban dan komitmen yang mengikat bagi negara pihak.
6) Membuat peraturan-peraturan yang mendetail yang dapat diberlakukan
dengan hukum internasional
7) Keseimbangan antara kepentingan negara maju dan negara berkembang.
2.6 Perbandingan dengan Konvensi – Konvensi Lingkungan Terkait
Bila dibandingkan dengan konvensi-konvensi lingkungan terkait, maka
dapat dilihat secara jelas bahwa Convention on Biological Diversity ini
dibuat dengan tujuan konservasi biodiversitas, penggunaan berkelanjutan
komponen-komponennya, dan pembagian yag adil dan proporsional
manfaat-manfaat yang didapatkan dari sumber daya genetik. 16 Konvensi ini
juga memuat hal-hal yang bersifat prinsip dalam konservasi biodiversitas,
seperti Sustainable use of components of biological diversity17, Public
education and awareness18, Fair and Equitable share of benefits 19, dan
Responsibility for Transboundary Harm20. Hal -hal yang bersifat prinsip dan
Simone Bilderbeek, et. Al., Biodiversity and International Law:
The efectiveness of International Environmental Law,
(Amsterdam: IOS Press, 1992), hal. 7.
16
Pasal 1 Convention on Biological Diversity.
17
Pasal 10 Convention on Biological Diversity.
18
Pasal 13 Convention on Biological Diversity.
19
Pasal 19 Convention on Biological Diversity.
20
Pasal 3 Convention on Biological Diversity.
15
12
umum inilah yang merupakan pembeda Convention on Biological Diversity
dari konvensi-konvensi hukum lingkungan internasional dengan topik
konservasi lainnnya seperti CITES (Convention on International Trade of
Endangered Species) yang terfokus kepada penghapusan perdagangan
spesies-spesies
terancam
punah,
maupun
CCMS
(Convention
on
Conservation of Migratory Species) yang mengatur perlindungan dan
konservasi terhadap spesies yang bermigrasi.
2.7 Tindakan Kriminal terkait Biological Diversity
Lothar Guendig dan Pat Birnie mengemukakan bahwa hukum dasar yang
bersifat substansial yang membahas kejahatan lingkungan internasional
masih lemah, karena “kejahatan” saat ini masih dianggap sebagai
pelanggaran berat hukum internasional.21 Hingga saat ini perjanjian
internasional belum memasukkan apa yang dianggap kejahatan secara jelas
dalam hukum lingkungan internasional.22 Namun, beberapa ahli dalam
hukum lingkungan menyetujui beberapa kejahatan yang dianggap kejahatan
terhadap lingkungan, yaitu:23
1) Penghancuran ekosistem yang disebabkan karena perang. Contohnya seperti
yang terjadi dalam Perang Teluk Persia.
2) Genosida lingkungan
3) Hubungan dan praktik perdagangan yang menyebabkan hilangnya
biodiversitas suatu daerah seperti di daerah perairan dan hutan, termasuk
pembayaran secara paksa oleh negara pemberi hutang yang menyebabkan
suatu negara tidak bisa melakukan konservasi biodiversitas.
4) Penghancuran biodiversitas secara massal
5) Perdagangan spesies yang terancam punah.
2.8 Ratifikasi dan penarikan diri dari perjanjian Convention on Biological
Diversity
21
22
23
Bilderbeek, Op. Cit., hal. 93
Ibid.
Ibid.
13
Pada hakikatnya berdasarkan pasal 33 – 38 konvensi24 mengenai
keanekaragaman hayati dijelaskan bagaimana suatu negara dapat menjadi
pihak dari konvensi ini. pertama diatur dalam pasal 33 yaitu bagaimana
sebuah negara menandatangani sebuah perjanjian internasional, yaitu
konvensi ini dapat ditandatangani oleh seluruh negara dan organisasi
regional dari tanggal 5 Juni 1992 sampai 14 Juni 1992 dan di pusat
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Juni 1992 sampai 4 Juni 1993.
Selanjutnya diatur dalam pasal 34 mengenai ratifikasi, atau penerimaan atau
persetujuan, yaitu ketika konvensi dan protokol merupakan subjek dari
ratifikasi, penerimaan atau persetujuan. Setelah itu dalam pasal 35 diatur
mengenai Konvensi Keanekaragaman Hayati dapat dilakukan aksesi oleh
negara atau organisasi internasional. Dalam pasal 36 mengatur mengenai
bagaimana konvensi ini diterapkan ke dalam suatu negara 90 hari setelah
diterimanya surat penerimaan dari negara sebagai national measure. Dalam
pasal 37 menyatakan bahwa tidak boleh sama sekali dibuat suatu reservasi
dari perjanjian ini. Dalam pasal 38 menyatakan bahwa negara boleh menarik
diri setelah menjadi pihak minimal dua tahun dari perjanjian ini.
2.9 Ratifikasi dari Convention on Biological Diversity di Indonesia
Indonesia telah meratifikasi dari Convention on Biological Diversity
(konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragamaan Hayati)
yang diatur dalam Undang-Undang no. 5 Tahun 1994. Alasan mengapa
Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional ini karena beberapa hal
yaitu25:
a. Keanekaragamaan hayati di dunia, khususnya di Indonesia, sangat berperan
penting
untuk
berlanjutnya
proses
evolusi
serta
terpeliharanya
keseimbangan ekosistem dan sistem kehidupan biosfer;
b. Keanekaragaman hayati yang dimaksud meliputi ekosistem, jenis dan
genetik yang mencakup hewan, tumbuhan dan jasad renik (micro organism)
24
Convention on Biological Diversity. (Rio de Janeiro: United Nations, 1992)
Undang-Undang no. 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi
Keanekaragaman Hayati, Ps. 33-38.
25
14
perlu adanya suatu jaminan agar dijamin keberadannya dan keberlanjutan
bagi kehidupan;
c. Adanya suatu keanekaragaman hayati sedang mengalami pengurangan dan
kehilangan yang nyata karena kegiatan tertentu manusia yang dapat
menimbulkan terganggunya keeimbangan sistem kehidupan di bumi, yang
pada gilirannya akan menggangu berlangsungnya kehidupan manusia;
d. Adanya kesanggupan negara-negara maju untuk menyediakan sumber dana
tambahan dan dana baru serta kemudahan akses untuk memperoleh alih
teknologi bagi kebutuhan negara berkembang dan mempehatikan kondisi
khusus negara terbelakang serta negara kepulauan kecil sebagaimana diatur
dalam UN Convention on Biological Diversity yang merupakan suatu
peluang yang harus ditanggapi positif oleh Pemerintah Indonesia;
e. Demi melestarikan keanekaragaman hayati, wajib memanfaatkan setiap
unsurnya secara berkelanjutan dan meningkatkan kerja sama internasional di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan generasi sekarang
dan mendatang26.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan lingkungan hidup yang
merupakan bagian penting dari ekosistem dan berfungsi sebagai penyangga
kehidupan seluruh makhluk hidup di muka bumi diarahkan pada
terwujudnya kelestarian fungsi lingkungna hidup dalam keseimbangan dan
keserasian yang dinamis dengan perkembangan kependudukan, agar
menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pembangunan
lingkungan hidup pun bertujuan untuk meningkatkan mutu, memanfaatkan
sumber
daya
alam
secara
berkelanjutan,
merehabilitasi
kerusakan
lingkungan, mengendalikan pencemaran dan meningkatkan kualitas
lingkungan hidup.
Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peranan lingkungan hidup
dalam kehidupan manusia terus ditumbuhkembagkan melalui penerangan
dan pendidikan dalam dan luar sekolah, pemberian rangsangan, penegakan
26
Convention on Biological Diversity National Report- Indonesia.Government of
Indonesia.The First National Report: Implementation of Article 6, General
measures for Conservation and Sustainable Use. (Jakarta: United Nations, 2001).
hlm. 3
15
hukum dan disertai dengan dorongan peran aktif masyarkat untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup dalam setiap kegiatan ekonomi sosial.
Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta
keunikan alam terus ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman plasma
nutfah, jenis spesia dan ekosistem. Penelitian dan pengembangan potensi
manfaat hutan bagi kepentingan kesejahteraan bangsa, terutama bagi
pengembangan pertanian, industri dan kesehatan terus ditingkatkan.
Inventarisasi, pemantauan dan penghitungan nilai sumber daya alam dan
lingkungan hidup terus dikembangkan untuk menjaga keberlanjutan
pemanfaatannya.
Sehingga sangat penting kerja sama untuk dibangun baik secara regional
maupun secara internasional terkait dengan pemeiliharaan dan perlindungan
lingkungan hidup dan peran serta dalam pengembangan kebijaksanaan
internasional serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang
lingkungan perlu terus ditingkatkan bagi kepentingan pembangunan
berkelanjutan. Peranan Indonesia di dunia internaional dalam membina dan
mempererat persahabatana dan kerjasama yang saling menguntungkan
antara bangsa-bangsa terus diperluas dan ditingkatkan. Perjuangan bangsa
Indonesia di dunia internasional yang menyangkut kepentingan nasional
seperti upaya lebih memantapkan dasar pemikiran kenusantaraan,
memperluas ekspor dan penanaman modal dari luar negeri serta kerja sama
ilmu pengetahuan dan teknologi terus ditingkatkan. Adanya berbagai
langkah antar negara berkembang untuk mempercepat terwujudnya
perjanjian perdagangan internasional dan meniadakan hambatan serta
pembatasan yang dilakukan oleh negara industri terhadap ekspor negara
berkembang dan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi dan kerjasama
teknik antar negara berkembang, kemudian dilanjutkan dalam rangka
mewujudkan tata ekonomi serta tata informasi dan komunikasi dengan
dunia baru.
2.10 Badan/Organisasi Konservasi Keanekaragaman Hayati
16
Pihak-pihak yang terlibat dari segi publik dan privat masih dianggap
sedikit. Ini disebabkan rendahnya kesadaran, pemahaman dan dukungan
dalam menjelaskan bahwa pentingnya keaneakaragaman hayati untuk
kesejahteraan masyarakat dan kemanan dari negara. Oleh sebab itu, aktor
utama dan pemain inti dari ini adalah organisasi pemerintah dan beberapa
organisasi non pemerintah. Pihak-pihak ini yang merupakan pemain inti
yang telah di identifikasi telah berpartisipasi mengenai pengaturan
keanekaragaman hayati yaitu27:
a. Kementerian Kehutanan (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, Direktorat Jenderal Penggunaan Hutan dan Badan Riset
dan Pengembangan di Kehutanan)
b. Kementerian Pertanian
c. Kementerian Lingkungan Hidup
d. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
e. Universitas
Memang ini merupakan pemain utama dalam melaksanakan fungsi
untuk melindungi lingkungan hidup khususnya keanekaragaman hayati.
Namun tidak menutup kemungkinan juga bagi para organisasi non
pemerintah yang memiliki perhatian khusus terhadap lingkungan seperti
WALHI, WWF, International Tropical Timber Council, Asosiasi Panel
Kayu Indonesia, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Centre for
International Forestry Research dan lain-lain.
2.11 Implementation of the Convention in Switzerland
Switzerland menjadi salah satu pihak yang melaksanakan CBD dengan baik
yang dibuktikan melalui laporan periodis yang di susun Negara tersebut.
Negara Switzerland mengikuti 4 dari 7 program yang dikeluarkan CBD
27
Ibid.hlm. 17.
17
yakni perlindungan terhadap ekosistem hutan, pegununga, water and
wetlands, serta ekosistem agrikultur. Pada Laporan Switzerland yang keempat, dari 11 goals yang di keluarkan CBD pada tahun 2002 untuk tahun
2010, 5 diantaranya terlaksana secara sebagian dan sisanya tidak terlaksana.
Adapun goal tersebut yakni:
1. Promote the conservation of the biological diversity ecosystems, habitats
and biomes
2. Promote the conservation of species diversity
3. Promote the conservation of genetic diversity
4. Promote sustainable use and consumption
5. Reduce pressures fromhabitat loss, land-use change, degradation and
unsustainable water use
6. Control threats from invasive alien species
7. Address challenges to biodiversity from climate change and pollution
8. Maintain capacity of ecosystems to deliver goods and services and support
livelihoods
9. Maintain socio-cultural diversity of indigenous and local communities
10. Ensure the fair and equitable sharing of benefts arising out of the use of
genetic resources
11. Improve fnancial, human, scientifc, technical and technological capacity
to implement the Convention
Diantara goal tersebut yang terpenuhi secara sebagian adalah nomor
3,7,9,10 dan 11. Alasan dapat tercapai secara sebagian diantaranya karena
Switzerland
telah
melakukan
inventarisasi
keanekaragaman
hayati,
melaksanakan program konservasi hingga melakukan proses formulasi suatu
adaptasi terhadap perubahan iklim. Switzerland pun telah melakukan upaya
18
agar proses pembangunan memperhatikan prinsip sustainability serta
mendukung masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan konvensi
ini. Dalam Hal benefit-sharing, Swiss juga sudah mengimplementasikan
treaty multilateral tentang Tumbuhan dan sumberdaya genetik untuk pangan
dan agrikultur terkait hal ini. Hukum Swiss pun mengharuskan adanya
pengungkapan informasi atas sumber dari SDA genetic dan pengetahuan
tradisional.28
Namun memang sangat disayangkan 6 target menjadi target yang tidak
terpenuhi diantaranya karena daerahnya terlalu kecil dan terisolir untuk
dilakukannya tindakan perlindungan keanekaragaman hayati, adanya
populasi hewan yang terancam, dan pembangunan serta pertumbuhan yang
mengakibatkan meningkatnya konsumsi dan perluasan peradaban manusia.
2.12 Kasus di Indonesia terkait dengan pengimplementasian Konvensi
Keanekaragamaan Hayati
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan sumber daya
alamnya yang sangat beragam. Indonesia memiliki salah satu kawasan hutan
yang paling besar dan paling beragam di dunia29. Indonesia memiliki aset
hayati yang sangat kaya, yang berjumlah 15% dari seluruh spesies di dunia
yang terdiri atas darat dan laut dan lingkungan agrikultur.Setidaknya terdiri
dari 10% hutan berada di wilayah Indonesia yang mencerminkan betapa
kayanya Indonesia akan sumber daya alam30. Selain itu juga dengan adanya
2/3 dari wilayah Indonesia merupakan perairan, tidak sedikit karang laut
maupun spesies-spesies binatang laut yang memilih perairan Indonesia
untuk menetap di wilayah tersebut. Dengan semua lokasi strategis tersebut,
Indonesia seharusnya menjadi negara yang makmur dan sangat menjaga
Switzerland, Implementing the Biodiversity Convention, page
6-7
28
29
Mia Siscawati dan Ulfa Hidayati. Status of Impelemntation of Forest-Related
Clauses in the CBD- Indonesia. (Glocestershire: Indonesian Institute for Forest
and Environment, 2002) hlm. 4.
30
http://www.theguardian.com/environment/gallery/2013/may/22/indonesia-internationalbiodiversity-day-in-pictures diakses pada tanggal 22 April 2016.
19
keberlanjutan dari sumber daya alam ini. Fungsi dari hutan-hutan tersebut
juga beragam untuk masyarakat Indonesia yaitu pertama terkait dengan
persediaan makanan dimana pada umumnya semua bahan makanan diambil
dari sumber daya alam hayati yang berdasarkan dari keanekaragaman
hayati. Bahan-bahan makanan ini telah dijadikan bagian dari pertanian,
namun ada beberapa bahan makanan yang langsung diambil dari hutan.
Selanjutnya tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menggunakan bambu,
kayu dan dedaunan sebagai bahan untuk membangun rumahnya. Dengan
berbagai macam sumber daya alam yang ada, semakin banyak juga opsi
untuk seseorang membuat rumahnya dari bahan-bahan alami tersebut.
Ketiga adalah terkait dengan kesehatan dimana orang Indonesia agar tetap
menjaga kesehatan atau menyembuhkan suatu penyakit menggunakan obatobatan herbal yang ditemukan di daerah sekitar ia menetap. Sehingga
dengan alasan-alasan ini sangat penting untuk negara dapat menjaga
keanekaragaman hayati. Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
keanekaragaman hayati sangat penting bagi masyarakat Indonesia karena
tidak bisa lepas dari bahan-bahan tersebut untuk melanjutkan hidupnya dan
pendapatan ekonomi berdasarkan keanekaragaman hayati yang dimiliki31 .
Aset-aset yang dimiliki oleh Indonesia tidak digunakan potensi
tersebut secara maksimal karena adanya keterbatasan kapasitas sumber daya
manusia dan teknologi untuk dapat menggunakan aset tersebut. Level dari
sumber daya manusia dapat dianggap rendah, oleh sebab itu secara teknis
dan kapabilitas teknologi sangat terbatas dalam melakukan eksplorasi,
pemberdayagunaan sumber daya alam hayati. Pemerintah memang secara
nyata sangat beruasaha untuk meningkatkan kesadaran bahwa negara
Indonesia sangat kaya dan berusaha untuk mengedukasi rakyatnya dan
kesadaran dan secara pelan-pelan berusaha untuk membangun institusi yang
dapat mengontrol keanekaragaman hayati dan pentingnya pengaturan yang
baik demi keberlangsungan suatu bangsa. Saat ini dengan kondisi ekonomi,
Indonesia menghadapi kesulitan dengan membiayai program-program dan
aktivitas untuk perkembangan. Meskipun adanya kekurangan sumber daya,
31
Government of Indonesia, Op.Cit. hlm. 6.
20
program untuk mengatur keanekaragaman hayati ini telah berlangsung.
Secara sektor, program ini berjalan dengan provisi dari Konvensi
Keanekaragaman Hayati. Ini dapat dilakukan karena Garis-garis Besar
Haluan Negara telah menyesuakan dengan pasal dalam konvensi ini.
Namun sangat disayangkan bahwa keberlanjutan dari sumber daya
alam ini sama sekali tidak diperhatikan baik dari pemerintah Indonesia
maupun dari rakyatnya sendiri. Mengapa dapat dikatakan demikian? Karena
tidak sedikit masalah-masalah lingkungan yang terus mengandrungi negara
ini, dimana akan dijelaskan lebih lanjut kasus-kasus yang dialami di
Indonesia terkait dengan lingkungan dan keanekaragaman hayati.
Pertama adalah kasus karang laut yang mengalami pemutihan di
perairan laut Jawa, Ambon dan Maluku32. Ini disebabkan karena sering kali
nelayan dalam menjaring ikan menggunakan bom air agar ikan dengan
mudah diambil oleh nelayan tanpa harus bersusah payah menunggu.
Sehingga karang laut maupun spesies-spesies ikan cepat mati karena
menggunakan cara yang tidak baik untuk menangkap ikan. Selain itu juga
dengan adanya pengambilan ikan-ikan eksotik yang dijual dengan mahal
tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemerintah. Ini jelas sangat
merugikan keanekaragaman hayati di laut karena kemungkinan suatu
spesies akan punah sangatlah besar karena tidak diberi kesempatan untuk
berkembang biak.
Kedua masih terkait dengan laut dan keanekaragaman hayati di laut
adalah dengan matinya karang laut dan ikan-ikan karena tingginya pollutan
di laut33. Disebabkan karena pembuangan limbah padat maupun limbah cair
ke laut. Sehingga jelas dengan adanya benda-benda asing maupun cairan
asing yang masuk ke dalam laut akan sangat merugikan keberlangsungan
hidup dari ikan-ikan maupun karang laut yang berada di wilayah periaran
Indonesia.
32
Evan N. Edinger, Jamaluddin Jompa, et. al. Reef Degradation and Coral
Biodiversity in Indonesia: Effeects of Land-based Pollution, Destructive Fishing
Practices and Changes Over Time. (Inggris :Marine Pollution Bulletin vol. 36 no.
8, 1998).hlm. 2.
33
Graham Baines dan Mariyanti Hendro.Biodiversity Planning in Asia. hlm. 131.
21
Ketiga adalah terkait dengan penebangan hutan secara liar dan tidak
bersifat berkelanjutan34. Pembabakan liar yang menyebabkan hilangnya
hutan secara keseluruhan sehingga hutan lebih cenderung untuk mudah
terbakar dibandingkan dengan tidak mudah terbakar.Penebangan hutan
tersebut bertujuan agar perkembangan ekonomi dapat mengakselerasi
dengan cepat dan mengeluarkan Indonesia dari kemisikinan 35. Namun pada
kenyataannya, tetap hanya segelintir masyarakat yang mampu yang dapat
merasakan kemewahan hidup hasl dari penebangan hutan tersebut. Sehingga
penebangan hutan secara liar sangat merugikan Indonesia, baik dari segi
keanekaragaman
hayati
karena
tidak
mencerminkan
pembangunan
keberlanjutan dan juga tidak sedikit warga negara Indonesia yang sangat
berketergantungan hidup dengan lingkungannya.
Ini dapat dijelaskan dengan kasus bahwa deforestasi telah
berlangsung selama tahun 1985-199836 sebessar 1.7 juta hektar per tahun,
bahkan mungkin bisa lebih dari itu. Selanjutnya adanya estimasi bahwa per
tahun penebangan hutan terjadi sebesar 1.3 juta hektar antara 1990-2000.
Dengan menumpuknya bukti yang menyarankan bahwa area hutan telah
berkurang tidak hanya secara kuantitas namun juga kualitas yang
disebabkan oleh berbagai alasan yaitu illegal dan penebangan berlebihan,
pembakaran hutan, mengubah fungsi hutan menjadi agrikultur dan
penebangan hutan bukan untuk tujuan kehutanan. Masalahnya adalah bukan
hanya karena deforestasi namun karena kekurangan kontrol dalam
penggunaan lahan dan tidak sesuainya penggunaan lahan tersebut sesuai
dengan kapabilitas dan konsep dari lingkungan, sosial dan ekonomi. Selain
dengan kurangnya kontrol, lemah pula penegakkan hukum lingkungan dan
kehutanan dan tidak serius dalam mengatur produksi kayu sehingga
mendorong untuk adanya pemotongan pohon secara illegal dan lain-lainnya
yang bersifat melawan hukum37.
34
http://www.fauna-flora.org/explore/indonesia/ diakses pada tanggal 22 April 2016
35
Siscawati.Op. Cit. hlm. 4.
BAPPENAS. Annex I: Causes,Extent, Impact and Costs of 1997/1998 Fires
and Drought. Final Report.( Jakarta: Asian Development Bank, 1999)hlm. 18.
37
Hasim Danuri, Hiras P. Sidabutar et.al. Achieving Sustainable Forest
Management in Indonesia. (Jakarta: International Tropical Timber
36
22
Sejak awal tahun 1980, kebakaran hutan menjadi suatu masalah
yang sangat dikhawatirkan dimana api tersebut telah melahap hutan
Indonesia dalam kuantitas yang besar. Dalam kasus tahun 1997-1998, telah
dilakukan estimasi bahwa 9.7 hektar hutan telah habis di makan api. Akar
dari masalah yang sedang dihadapi adalah adanya sektor kehutanan yang
tidak diatur dalam kebijakan dengan baik, rencana dan strategi implementasi
termasuk mekanisme insentif, monitor dan evaluasi dan penegakan hukum
dan peraturan.
Kerangka hukum untuk konservasi keanekaragaman hayati yang
terdiri atas kebijakan dan hukum. Indonesia memiliki sejarah panjang yang
luar biasa terkait dengan pernyataan ofisial mengenai kebijakan konservasi
keanekaragaman
hayati
sesuai
dengan
standar
nasional
maupun
internasional. Dua faktor yang menyulitkan implementasi efektif dalam
kebijakan ini adalah38: a) kebijakan yang tidak konsisten dengan konservasi
keanekaragaman hayati atau membuat suatu aktivitas yang mengurangi
kebermanfaatan daerah yang dilindungi dan keanekaragaman hayati tidak
dijaga dengan baik karena eksploitasi hutan masih terus terjadi dan b) agen
yang seharusnya bertanggungjawab dalam mengimplementasikan kebijakan
konservasi tidak didukung dengan dana yang cukup dan diberikan suatu
ekspektasi untuk mencari dana dari donor agar dapat mendukung pekerjaan
mereka.
Sebelum adanya ratifikasi dari Konvensi Keanekaragaman Hayati,
Kementerian Lingkungan telah bekerja sama dengan institusi-institusi
lainnya
seperti
Kementerian
Kehutanan,
Kementerian
Pertanian,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan institusi-institusi riset lainnya
terkait dengan studi kasus mengenai keanekaragaman hayati. Setelah di
ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati menjadi Undang-Undang no. 5
Tahun 1994, Indonesia membentuk suatu strategi nasional yang disebut
dengan “Strategi Nasional Pengelolaan Keanekaragaman Hayati” dan
BAPPENAS telah mengeluarkan rencana yang disebut dengan Rencana
Council,2001).hlm. 21.
38
Baines, Op. Cit.hlm. 136.
23
Kegiatan Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia39. Sehingga Kementerian
Lingkungan telah secara aktif bekerja dalam mengatur lindkungan dan
dalam kasus tertentu untuk mengimplementasikan provisi-provisi dari
Konvensi Keanekaragaman Hayati, khususnya pasal 6 yang mengenai
koordinasi studi kasus sebuah negara, menghasilkan suatu draf terkait
strategi nasional dan integrasi program sektoral dan kebijakan lingkungan.
Oleh sebab itu, kementerian telah berusaha untuk mempersiapkan laporan
hasil rencana kegiatan.
Sejak dahulu apabila terkait dengan hukum dan konservasi
keanekaragaman hayati akan banyak berhubungan dengan hukum adat yang
merupakan hukum kebiasaan dari kepemilikan tanah dan sumber daya.
Namun dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa negara
memiliki seluruh negara berdasarkan pasal 33 ayat (3), meskipun ini dapat
membantu mengatur kepemilikan demi komunitas, ini sebenarnya lebih
membantu kepada orang-orang yang memiliki uang untuk mendapatkan
kepemilikan tanah. Pemerintah Indonesia pun telah mengeluarkan berbagai
peraturan
perundang-undangan
terkait
dengan
perlindungan
keanekaragaman hayati yaitu Undang-Undang no. 5 Tahun 1967 mengenai
Pengaturan Kehutanan, Undang- Undang no. 9 Tahun 1985 mengenai
Perikanan, Undang-Undang no. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi
Pengaturan Lingkungan Hidup dan Ekosistem, Undang- Undang no. 12
Tahun 1992 mengenai Tanaman. Apabila keanekaragaman hayati terancam
punah, ini akan sangat mempengaruhi cadangan makanan dan pertumbuhan
berkelanjutan ekonomi Indonesia. Oleh sebab itu, cara dan mekanisme
dalam melindungi dan berkelanjutan untuk keanekaragaman hayati nasional
sangat penting untuk diperhatikan oleh pemerintah40.
Pengaturan mengenai keanekaragaman hayati harus diarahkan untuk
mengontrol penggunaan keanekaragaman hayati demi generasi saat ini dan
generasi
yang
keanekaragaman
akan
hayati
datang;
wajib
konservasi
dilakukan
mengenai
setiap
saat
potensi
dan
dari
adanya
perkembangan sains untuk penggunaan berkelanjutan. Sehingga agar kasus39
Government of Indonesia.Op. Cit.hlm. 9.
Ibid. hlm. 11.
40
24
kasus mengenai pengeksploitasian sumber daya alam tidak berlangsung
secara terus menerus, harus berdasarkan sains dan teknologi yang
menyatakan suatu keanekaragaman hayati dapat di eksploitasi, konservasi
dan digunakan secara berkelanjutan.
Tujuan
dari
perlindungan
lingkungan
adalah
agar
dapat
dilaksanakannya dinikmati oleh seluruh generasi yang saat ini dan generasi
mendatang. Sehingga untuk mengimplementasikan hal tersebut, hutan-hutan
yang merupakan area utama dimana keanekaragaman hayati banyak
ditemukan. Adanya kerjasama dengan komunitas dalam mengontrol
keanekaragaman hayati harus dilakukan beberapa hal yaitu41: lebih
efektifnya pengaturan area yang dilindungi, perlakuan yang sama untuk
keanekaragaman hayati yang dapat ditemui di dalam dan di luar kawasan
lindung. Mempromosikan konservasi ex-situ. Meningkatkan pemahaman
dan promosi mengenai
konservasi
dan
pengetahuan
penggunaan
tradisional
berkelanjutan
dalam
melakukan
keanekaragaman
hayati.
Membentuk mekanisme yang berguna dengan adanya penggunaan
keanekaragaman hayati dan membentuk perhitungan insentif untuk seluruh
kegiatan konservasi keanekaragaman hayati.
2.13 Pelaksanaan dan Mekanisme Sanksi atas Pelanggaran CBD
Sebagaimana dilaksanakannya suatu International Convention, maka
negara-negara yang berpartisipasi didalamnya diharuskan meratifikasi CBD
ini
kedalam
peraturan
perundang-undangan
mereka
agar
dapat
terimplementasi dengan baik.
Dalam Convention ini sendiri terdapar 2 Protokol yang memiliki pengaturan
mengenai Compliance yakni Protokol Nagoya dan Protokol Cartaghena.
Prosedur seperti ini berguna dalam rangka memfasilitasi pihak-pihak yang
berpartisipasi dalam mengimplementasikan kewajiban mereka.42Dalam
protocol Nagoya, mekanisme mengenai compliance diatur dalam article 30
dari protocol tersebut dimana yang menentukan bentuk dari prosedur
41
42
Ibid. hlm. 14.
https://www.cbd.int/abs/compliance.shtml
25
kerjasama, mekanisme institsusional dalam rangka memastikan kepatuhan
terhadap protocol ini adalah COP. Protokol Cartaghena pun memiliki
ketentuan yang sama dalam article 34, dimana sama seperti article 30
protokol
Nagoya,
ketentuan
itu
mengharuskan
adanya
prosedur
penyelesaian sengketa sebagaimana tertera dalam Article 27 CBD.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan dan Saran
Indonesia harus melakukan implementasi lebih terhadap CBD mengingat
Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat luas,
dari lautan
hingga hutan. Masih banyak terjadi
kebobolan dan
penyelewengan akibat minimnya peraturan dan apparat penegak.
Secara Global UN CBD merupakan Konvensi yang sangat esensial dalam
menjaga keanekaragaman hayati untuk dinikmati generasi mendatang kelak.
Keadilan antar generasi merupaka salah satu hal yang ditekankan dalam
konvensi ini. Menurut kami perlu ditegaskannya aturan dan perlu adanya
26
kesukarelaan dari Semua pihak yang berpartisipasi demi memenuhi tujuan
mulia CBD.
27
Daftar Pustaka
A. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati,
UU no. 5 Tahun 1994.
Indonesia.Undang- Undang Dasar 1945.
United Nations. Convention on Biological Diversity 1992.
United Nations, Carthagena Protocol
United Nations, Nagoya Protocol
B. Internet
http://www.theguardian.com/environment/gallery/2013/may/22/indonesiainternational-biodiversity-day-in-pictures diakses pada tanggal 22 April
2016
http://www.fauna-flora.org/explore/indonesia/
diakses pada tanggal 22
April 2016
C. Jurnal
Indonesia, Government. The First National Report: Implementation of
Article 6, General measures for Conservation and Sustainable Use, Jakarta:
United Nations, 2001.
Siscawati, Mia dan Hidayati, Ulfa. Status of Impelmentation of ForestRelated Clauses in the CBD- Indonesia. Glocestershire: Indonesian Institute
for Forest and Environment, 2002.
Edinger, Evan N., Jompa, Jamaluddin, et. al. Reef Degradation and Coral
Biodiversity in Indonesia: Effeects of Land-based Pollution, Destructive
Fishing Practices and Changes Over Time. Inggris :Marine Pollution
Bulletin vol. 36 no. 8, 1998.
Baines, Graham dan Hendro, Mariyanti.Biodiversity Planning in Asia
BAPPENAS. Annex I: Causes,Extent, Impact and Costs of 1997/1998 Fires
and Drought. Final Report.Jakarta: Asian Development Bank, 1999.
28
Danuri, Hasim, Sidabutar, Hiras P., et.al. Achieving Sustainable Forest
Management in Indonesia.
Jakarta: International
Tropical Timber
Council,2001.
Switzerland, Implementing the Biodiversity Convention: Switzerland’s 4 th
National Report, Switzerland: Federal Office of Environment, 2010
D. BUKU
Bilderbeek, Simone, et. Al. Biodiversity and International Law: The
effectiveness of International Environmental Law. Amsterdam: IOS Press,
1992.
Birnie, Patricia, Alan Boyle, Catherine Redgewell. International Law and
the Environment. Cet. 3. Oxford: Oxford University Press, 2009.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif,
Jakarta: CV Rajawali, 2004.
Mamudji, Sri. et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok:
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005)
29
UNITED NATIONS CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY
Alif Nurfakhri Muhammad
1306412312
Fadilla R. Putri
1306380595
Dwaskoro Syahbanu
1206265180
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM SARJANA
DEPOK
2016
1
DAFTAR ISI
BAB 1 : PENDAHULUAN…………………………………………...……….. 1-3
BAB 2 : ISI .…………………………………………….................................. 4-26
BAB 3 : PENUTUP…………………………………………………………….. 27
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………..........................28-29
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Biodiversity, atau keanekaragaman hayati, merupakan bagian integral dari
lingkungan hidup dan manusia. Oleh karenanya, hal ini penting untuk dijaga
kelestariannya.
Pada akhir abad ke 20 terjadi peningkatan eksploitasi keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi, seperti penangkapan ikan yang berlebihan dan
pemburuan binatang-binatang langka. Untuk itu, perlu dibuatnya aturan
internasional,
yang
setidaknya
mengatur
prinsip-prinsip
mengenai
keanekaragaman hayati ini, khususnya pada bidang konservasinya.
UNCBD, yang sudah dibahas oleh UNEP Biodiversity Expert Group sejak
akhir tahun 80-an ini hadir untuk menjawab hal-hal tersebut. Pada makalah
ini akan dijelaskan mengenai UNCBD itu, khususnya prinsip-prinsip
lingkungan apa yang terkandung didalamnya.
Rumusan Masalah
Dari pembahasan singkat latar belakang maka saya membatasi materi dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan CBD?
2. Bagaimana terbentuknya CBD?
3. Misi dan Tujuan dari CBD?
4. Apa Saja Protokol yang dimiliki CBD?
5. Bagaimana mekanisme pelaksanaan CBD?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
A. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mencari dan menganalisa mengenai
UN CBD.
1
B. Tujuan Khusus
Tujuan lebih spesifik dari penelitian ini adalah:
1. Guna mencari tahu tentang pengaturan dan penerapan UN CBD di berbagai
belahan dunia.
2. Mencari tahu cara kerja dan atura yang ada dalam CBD dan protokolnya
3. Memenuhi komponen nilai Tugas Makalah.
Manfaat
Manfaat dari penelitian dan penulisan makalah ini lebih mengarah kepada
manfaat teoritis. Beberapa manfaatnya antara lain:
1. Memperluas wawasan mengenai CBD.
2. Memperoleh pengetahuan terkait pengaturan konservasi keanekaragaman
hayati.
3. Mendapatkan ilmu mengenai penerapan dan pelaksanaan Convention on
Biological Diversity
4. Memperoleh nilai tugas makalah Hukum Lingkungan Internasional.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan penyusun makalah menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif1, yang dilakukan dengan mengkaji, menguji
dan menerapkan asas-asas hukum pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku ke dalam gejala yang terjadi2. Hal yang dikaji merupakan peraturanperaturan dan Penerapan terkait UN Convention on Biodiversity serta
protocol-protokolnya.
1
Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1994), 13.
2
Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-10.
2
Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian dan penyusunan makalah
berasal dari kepustakaan dan peraturan perundang-undangan. Maka tentunya
Jenis data utama yang digunakan dalam penelitian merupakan data
sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini mencakup bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain adalah:
1. Bahan hukum primer yang mencakup ketentuan perundangan yang berlaku
dan mempunyai kekuatan mengikat.3 Dalam penelitian ini, bahan hukum
primer yang dipakai antara lain Teks Konvensi dan Protokol.
2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan, informasi atau hal-hal
yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya, 4 seperti
literatur, laporan hasil penelitian, artikel ilmiah, makalah, skripsi, tesis,
disertasi dan sumber-sumber terpercaya di Internet.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk
maupun menjelaskan bahan hukum primer maupun sekunder.
3
Soekanto, Op.Cit., hlm. 12.
4
Ibid., hlm. 12
3
Bab 2
Isi
2.1 History of the Convention on Biological Diversity
Adalah sebuah Konvensi yang diadakan pada tahun 1992 di Rio yang
disebut United Nations Conference on Environment and Development (the
Rio "Earth Summit").
Diadakannya konvensi ini yang dibuka untuk penandatanganan pada tanggal
5 Juni dipicu oleh adanya keperluan menggali lebih dalam mengenai
kebutuhan akan sebuah konvensi internasional terkait keanekaragaman
hayati.
Masyarakat dunia sudah mulai menyadari adanya keperluan membagi hak
dan tanggungjawab antara negara maju dan berkembang mengenai
kelangsungan keanekaragaman hayati. Prinsip sustainable development
sudah mulai marak digunakan.
Dibawah naungan UNEP (United Nations Environmental Programme),
berikut adalah rentetan pemicu diadakannya CBD convention 1992;
First session of Ad Hoc Working Group of Experts on biological diversity
November 1988: dimana diputuskan untuk adanya Rasiolanisasi dari
konvensi internasional tentang konservasi. Kelompok kerja ini juga
memandang perlunya Konservasi Keanekaragaman Hayati pada tingkat
global.5
Second Session of the Ad Hoc Working Group of Experts on Biological
Diversity February 1990: masih dalam rangka persiapan, Kelompok kerja
yang terdiri dari ahli-ahli memandang perlunya protocol-protocol terpisah
dan diberitahukannya Komite Persiapan untuk Conference on Environment
and Development tahun 1992 mengenai perlunya instrument perlindungan
untuk Keanekaragaman Hayati ini.6
Third Session of the Ad Hoc Working Group of Experts on Biological
Diversity July 1990: terdapat 10 dokumen dalam pertemuan ini diantaranya
5
6
https://www.cbd.int/doc/meetings/iccbd/bdewg-01/official/bdewg-01-03-en.pdf
https://www.cbd.int/doc/meetings/iccbd/bdewg-02/official/bdewg-02-03-en.pdf
4
tentang kebutuhan dan biaya, kekayaan intelektual, hingga daftar peserta
pertemuan tersebut
First Session of the Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts
on Biological Diversity 19-23 November 1990.
Second session Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts on
Biological Diversity February-March 1991, Nairobi
Third session Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts on
Biological Diversity June-July 1991
Third Negotiating Session / First Meeting of the Intergovernmental
Negotiating Committee for a Convention on Biological Diversity June-July
1991
Fourth Negotiating Session / Second Meeting of the Intergovernmental
Negotiating Committee for a Convention on Biological Diversity September
1991
Fifth Negotiating Session / Third Meeting of the Intergovernmental
Negotiating Committee for a Convention on Biological Diversity November
1991
Sixth Negotiating Session / Fourth Meeting of the Intergovernmental
Negotiating Committee for a Convention on Biological Diversity February
1992
Seventh Negotiating Session / Fifth Meeting of the Intergovernmental
Negotiating Committee for a Convention on Biological Diversity 11-19
May 1992
Conference for the Adoption of the Convention on Biological Diversity 2021 May 19917
Intergovernmental Negotiating Committee tersebut yang merupakan
Kelompok kerja Ad Hoc yang dibentuk pada Februari 1991 tadi setelah
menempuh 7 sesi negosiasi berhasil memasukkan Text dari Konvensi CBD
untuk diadopsi dalam konferensi di Nairobi. Setelah dibuka untuk
penandatanganan hingga 4 Juni 1993, dimana Konvensi tersebut menerima
7
https://www.cbd.int/history/default.shtml
5
sejumlah 168 Negara yang menandatanganinya, Konvensi diberlakukan
pada 29 December 1993.
Setelah Dilaksanakannya dan diberlakukannya konvensi, dilaksanakan COP
(conference of parties) dalam rangka menjalankan amanat dari konvensi
tersebut.
COP yang dilaksanakan yakni sebagai berikut:
COP 1 di Nassau, Bahama pada tanggal 28 November hingga 9 Desember.
Pada COP ini diputuskan tentang Prosedur untuk COP selanjutnya,
Sumberdaya finansial dan mekanisme, negara yang digolongkan maju dan
berkembang, kerjasama teknis dan ilmiah antar para pihak, Subsidiary Body
on Scientific, Technical and Technological Advice, lokasi secretariat
program jangka menengah CBD, hingga persiapan partisipasi Konvensi
pada sesi ketiga Commision on Sustainable Development.8
COP 2 di Jakarta, Indonesia pada November 1995 dimana para pihak
menetapkan lebih detail mengenai Clearing-house mechanism9, publikasi
dan distribusi informasi ilmiah, hutan, konservasi lingkungan laut, akses
terhadap sumberdaya genetic, dan sebagainya. Terdapat setidaknya 23
keputusan dalam COP 2.
COP 3 dilaksanakan pada 4 hingga 15 November 1996 di Buenos Aires,
Argentina. COP 3 memutuskan hal-hal mengnenai isu yang perlu
diselesaikan di COP 4, Rapat yang telah dilaksanakan oleh Subsidiary Body
on Scientific, Technical and Technological Advances, penggunaan Bahasa
dalam rapat-rapat badan subsider tersebut, pelaksanaan clearing house
mechanism, dan kebanyakan terkait biodiversitas kehidupan di daratan.
Selain itu dibahas mengenai guideline mekanisme finansial, hubungan
konvensi dengan komisi pembangunan berkelanjutan, serta medium-term
programme tahun 1996-1997.10
8
https://www.cbd.int/decisions/cop/?m=cop-01
sebuah mekanisme dalam rangka memfasilitasi kerjasama ilmiah dan teknis dalam CBD ( Article
18.3)
10
https://www.cbd.int/decision/cop/default.shtml?id=7118
9
6
COP 4 yang diadakan pada 4-15 May 1998 di Bratislava, Slovakia,
membahas isu-isu seperti implementasi lebih dalam CBD, agrikultur,
biosafety, biodiversitas lingkungan hutan, implementasi pasal 8(j), serta
salah satu poin penting dalam COP ini yakni pembahasan lebih lanjut terkait
hubungan CBD dengan Commission on Sustainable Development and
biodiversity related conventions, perjanjian internasional lain.
Pada 22 Februari 1999 diadakan suatu Extraodinary COP pertama dalam
rangka membahas, melakukan ExCOP lanjutan pada 29 Januari 2000, serta
mengadopsi suatu protocol baru dalam CBD yakni Protokol Cartagena
terkait Biosafety yang dibahas dalam COP sebelumnya. Protokol ini
bertujuan untuk mengatur mengenai perkembangan LMO (living modified
organism) agar tercipta tingkat perlindungan yang memadai terkait
pemindahan LMO, penggunaan dan penanganannya.11 Protocol ini Mulai
diberlakukan per 11 September Tahun 2003.
COP 5 diadakan 15-26 May Tahun 2000 di Nairobi, Kenya, menghasilkan
sebanyak 29 keputusan diantaranya mengenai rencana kerja dari komite
protocol Cartagena, Implementasi dari keputusan COP 4/5 tentang
keanekaragaman hayati laut dan pesisir, dan sebagainya.
COP 6 diadakan pada tanggal 7-19 April 2002 di Den Haag, Belanda. Pada
Conference ini, diantara 32 Decision, beberapa keputusan penting yang
dibuat antara lain Ekosistem hutan, Spesies asing, Bagi hasil, dan Strategic
Plan 2002-2010.
COP 7 yang bertemakan Ekosistem pegunungan, daerah terlindungi, dan
Transfer of Technology and Technology Cooperation, diadakan diKuala
Lumpur, Malaysia pada tanggal 9-20 Februari 2004. Sebanyak 36
Keputusan
dihasilkan
diantaranya
Millenium
Development
Goals,
pembahasan Article 13 tentang Public awareness, dan Forest Biological
Diversity.
COP 8 dilaksanakan di Curitiba, Brasil dari 20-31 Maret 2006. Conference
ini menghasilakn sebanyak 34 Keputusan dan membahas mengenai
11
United Nations, The Cartagena Protocol on biosafety, Article 1
7
Keanekaragaman Hayati Kepulauan, Global Taxonomy Initiative, pasal 15
CBD tentang akses dan bagi hasil dan manfaat ( benefit-sharing)
COP 9 mengedepankan mengenai isu seperti Strategi Global Koservasi
tumbuhan, Keanekaragaman Agrikultur dan Hutan, langkah-langkah
insentif, dan progress dalam implementasi Progress in the implementation
of the Strategic Plan and progress towards the 2010 target dan Millennium
Development Goals yang relevan. Conference diadakan pada tanggal 19-30
May tahun 2008 di Bonn, Jerman.
Pada COP 10 di Nagoya, Jepang 18-29 Oktober 2010, dibuat sebanyak 47
keputusan dimana beberapa yang penting yakni diadopsinya Protokol
Nagoya, diberlakukan per Oktober 2014 setelah diratifikasi 50 negara, yang
membahas mengenai pembagian yang adil dan merata dari keuntungan yang
dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik sehingga berkontribusi
untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati.12
COP 11 Hyderabad, India 8 - 19 October 2012 mengeluarkan keputusan
sebanyak 33 dan memiliki agenda rencana strategis Biodiversity 2011-2020
dan target dari Nagoya terkait penilaian progress dan perbaikan
implementasi.
Agenda
lain
dalam
pertemuan
ini
yakni
tentang
keanekaragaman hayati laut dan pesisir, Biofuel,
COP 12 Pyeongchang, Republic of Korea 6 - 17 October 2014 diadakan
dengan agenda melakukan penilaian terhadap pelaksanaan protocol Nagoya,
dan agenda yang serupa dengan COP 11.
Kemudian terakhir sebagaimana diperjanjian pada COP 12 akan diadakan
COP 13 yang bertempat di Cancun Mexico.
2.2 Parties Participating in the Convention
12
United Nations, The Nagoya Protocol, Article 1
8
Dalam Convention on Biological Diversity ini dan protocol yang ikut serta
didalamnya
terdapat
setidaknya
168
negara
yang
melakukan
penandatanganan atas Konvensi tersebut. Hingga sekarang Pihak yang
berpartisipasi dalam konvensi sudah sejumlah 196 pihak dari yang sudah
melakukan
ratifikasi,
Penerimaan
(acceptance),
sekedar
approval,
Succession, Accession, hingga yang sejauh ini sekedar menandatangani.
Namun disini kita melihat Amerika Serikat yang telah ikut dalam
penyusunan adanya CBD sejak tahun 1988 hanya sekedar menandatangani
pada tahun 1993 namun sama sekali tidak melakukan upaya apapun dalam
implementasi CBD di negaranya. Oleh sebab itu Amerika Serikat bukanlah
salah satu dari 196 pihak dalam daftar anggota CBD.
2.3 Prinsip Lingkungan dalam Konvensi
The Convention on Biological Diversity 1992 sangat mengedepankan
prinsip payung yakni Sustainable Development. Dalam teks CBD yang
terdiri atas 42 Pasal serta 2 buah Annex, dapat dilihat prinsip-prinsip yang
menjadi dasar dalam konvensi.
Contoh pertama terdapat pada Article 1 dari Convention yang berbunyi:
The objectives of this Convention, to be pursued in accordance with its
relevant provisions, are the conservation of biological diversity, the
sustainable use of its components and the fair and equitable sharing of the
benefits arising out of the utilization of genetic resources, including by
appropriate access to genetic resources and by appropriate transfer of
relevant technologies, taking into account all rights over those resources
and to technologies, and by appropriate funding.
Pasal ini menunjukkan penggunaan prinsip Sustainable Development
sebagai dasar dan objektif dari seluruh isi konvensi. Prinsip Sustainable Use
dan transfer of technologies terkandung dalam pasal ini.
9
Kemudian bisa dilihat pada article 3 terdapat prinsip State Responsibility
serta Precautionary Principle. Article tersebut menyatakan bahwa negara
memang memiliki kebebasar dalam melakukan eksploitasi terhadap SDA
yang mereka milik sesuai ketentuan dan pengaturan lingkungan masingmasing Negara. Namun disini tentu setiap negara memiliki tanggung jawab
untuk memastikan bahwasanya aktivitas mereka tidak menyebabkan
kerusakan lingkungan terhadap wilayah Negara lain dan wilayah diluar
batas kedaulatannya. Disini negara harus berhati-hati agar tidak terjadi
kerusakan dan pencemaran dalam melakukan eksploitasi SDA, serta Negara
harus bertanggung jawab atas kerusakan apabila terjadi akibat aktivitasnya.
Prinsip Sustainable Development ini tentu dilaksanakn dengan harapan
dapat dipenuhinya asas Intergenerational dan Intragenerational equity.
Article 10 CBD menyatakan dalam 5 poin bahwa harus meminimalisir
dampak penggunaan SD biologis terhadap keanekaragaman hayati, dan
mendukung konservasi serta melakukan remedi atas degradasi lingkungan
dan keanekaragaman hayati. Pasal ini apabila diimplementasikan maka
memenuhi prinsip keadilan dalam generasi serta antar generasi. Generasi
masa kini baik semua kalangan dapat memeperoleh manfaat dan generasi
yang akan dating tidak akan kehilangan apa yang generasi ini telah nikmati.
2.4 Dasar Pembentukan Convention on Biological Diversity
1. Landmark Cases
Secara garis besar, tidak ada kasus yang secara khusus membahas
biodiversitas dan menjadi dasar pembentukan dari CBD. Namun, dalam
perkembangan-perkembangan putusan pada International Court of Justice,
ada beberapa putusan yang berkaitan dengan konservasi biodiversitas,
seperti yang diamanatkan dalam Convention on Biological Diversity, yaitu:
a. Icelandic Fisheries Case (United Kingdom v Iceland)13
Pada kasus ini, Inggris menggugat Eslandia karena pada tahun 1948,
Eslandia membuat suatu peraturan yang disahkan oleh parlemennya
(Althing) yang mengatur Scientific Conservation of the Continental Shelf
International Court of Justice, Fisheries Jurisdiction Case
(United Kingdom v Iceland) (Merits) Judgement of 25 July 1974.
13
10
Fisheries. Untuk melaksanakan peraturan tersebut, pada tahun 1958,
Eslandia membuat peraturan yang mengatur bahwa Eslandia memiliki
Jurisdiksi untuk mengatur penangkapan ikan hingga 12 mil laut dari garis
pantainya. Pada tahun 1961 sudah ada persetujuan antara Eslandia dengan
Inggris yang menyatakan bahwa Inggris setuju dengan zona penangkapan
ikan di 12 mil laut ini. Namun, pada tahun 1971, Eslandia mengeluarkan
peraturan yang menyatakan bahwa perjanjian dengan Inggris akan
diselesaikan dan batas jurisdiksi zona penangkapan ikan Eslandia digeser ke
50 mil laut, yang menyebabkan pada 1972, seluruh kegiatan perikanan
dengan kapal asing dalam zona tersebut dilarang. Maksud dari Eslandia
tersebut adalah untuk membatasi jumlah ikan yang ditangkap di zona
tersebut. Inggris yang telah dibatalkan perjanjiannya tidak menemukan
solusi melalui jalur negosiasi sehingga membawa kasus ini ke ICJ.
2.5 Alasan Pembentukan CBD
Convention on Biological Diversity atau Konvensi Biodiversitas merupakan
suatu konvensi yang dibentuk sebagai bentuk perlindungan hukum untuk
biodiversitas (kekayaan hayati dan hewani). Konvensi ini merupakan salah
satu dari sekian banyak konvensi yang tergabung dalam UNEP (United
Nations Environmental Program). Tujuan dari dibentuknya konvensi ini
adalah
konservasi
biodiversitas,
penggunaan
berkelanjutannya,
dan
pembagian yang adil dari manfaat-manfaat yang dapat diperoleh dari
biodiversitas, serta akses untuk proses-proses genetiknya. 14 Sebelum
dibentuknya Convention on Biological Diversity, telah ada beberapa
konvensi yang terfokus untuk melakukan konservasi seperti CITES
(Convention on International Trade of Endangered Species), namun
konvensi ini hanya terfokus kepada perdagangan spesies-spesies yang
terancam punah.
Tujuan dari CBD lebih luas daripada apa yang diatur dalam CITES. Pada
pasal 6-20 dari CBD ini dijabarkan lebih lanjut mengenai tujuan-tujuan
Patricia Birnie, Alan Boyle, Catherine Redgewell, International
Law and the Environment, (), Hal. 616, lihat juga Convention on
Biological Diversity, Article 1.
14
11
yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu ukuran konservasi yang dilakukan,
penggunaan berkelanjutan dari suatu spesies, baik in situ maupun ex situ,
insentif konservasi, dan pembangunan berkelanjutan tersebut, riset dan
pelatihan, Penyadaran dan edukasi publik, Konvensi yang mulai dibicarakan
sejak tahun 1988 ini memiliki hal-hal yang membuatnya menjadi suatu
konvensi yang terbilang efektif, yaitu:15
1) Lingkupnya komprehensif, karena mencakup seluruh elemen biodiversitas,
serta harmonisasi konservasi dan penggunaan spesies secara berkelanjutan.
2) Harmonisasi kedaulatan nasional dengan konservasi dan penggunaan
berkelanjutan dari spesies
3) Membangun apa yang disebut “anticipatory approach”
4) Keseimbangan antara konservasi in situ dan ex situ
5) Kewajiban dan komitmen yang mengikat bagi negara pihak.
6) Membuat peraturan-peraturan yang mendetail yang dapat diberlakukan
dengan hukum internasional
7) Keseimbangan antara kepentingan negara maju dan negara berkembang.
2.6 Perbandingan dengan Konvensi – Konvensi Lingkungan Terkait
Bila dibandingkan dengan konvensi-konvensi lingkungan terkait, maka
dapat dilihat secara jelas bahwa Convention on Biological Diversity ini
dibuat dengan tujuan konservasi biodiversitas, penggunaan berkelanjutan
komponen-komponennya, dan pembagian yag adil dan proporsional
manfaat-manfaat yang didapatkan dari sumber daya genetik. 16 Konvensi ini
juga memuat hal-hal yang bersifat prinsip dalam konservasi biodiversitas,
seperti Sustainable use of components of biological diversity17, Public
education and awareness18, Fair and Equitable share of benefits 19, dan
Responsibility for Transboundary Harm20. Hal -hal yang bersifat prinsip dan
Simone Bilderbeek, et. Al., Biodiversity and International Law:
The efectiveness of International Environmental Law,
(Amsterdam: IOS Press, 1992), hal. 7.
16
Pasal 1 Convention on Biological Diversity.
17
Pasal 10 Convention on Biological Diversity.
18
Pasal 13 Convention on Biological Diversity.
19
Pasal 19 Convention on Biological Diversity.
20
Pasal 3 Convention on Biological Diversity.
15
12
umum inilah yang merupakan pembeda Convention on Biological Diversity
dari konvensi-konvensi hukum lingkungan internasional dengan topik
konservasi lainnnya seperti CITES (Convention on International Trade of
Endangered Species) yang terfokus kepada penghapusan perdagangan
spesies-spesies
terancam
punah,
maupun
CCMS
(Convention
on
Conservation of Migratory Species) yang mengatur perlindungan dan
konservasi terhadap spesies yang bermigrasi.
2.7 Tindakan Kriminal terkait Biological Diversity
Lothar Guendig dan Pat Birnie mengemukakan bahwa hukum dasar yang
bersifat substansial yang membahas kejahatan lingkungan internasional
masih lemah, karena “kejahatan” saat ini masih dianggap sebagai
pelanggaran berat hukum internasional.21 Hingga saat ini perjanjian
internasional belum memasukkan apa yang dianggap kejahatan secara jelas
dalam hukum lingkungan internasional.22 Namun, beberapa ahli dalam
hukum lingkungan menyetujui beberapa kejahatan yang dianggap kejahatan
terhadap lingkungan, yaitu:23
1) Penghancuran ekosistem yang disebabkan karena perang. Contohnya seperti
yang terjadi dalam Perang Teluk Persia.
2) Genosida lingkungan
3) Hubungan dan praktik perdagangan yang menyebabkan hilangnya
biodiversitas suatu daerah seperti di daerah perairan dan hutan, termasuk
pembayaran secara paksa oleh negara pemberi hutang yang menyebabkan
suatu negara tidak bisa melakukan konservasi biodiversitas.
4) Penghancuran biodiversitas secara massal
5) Perdagangan spesies yang terancam punah.
2.8 Ratifikasi dan penarikan diri dari perjanjian Convention on Biological
Diversity
21
22
23
Bilderbeek, Op. Cit., hal. 93
Ibid.
Ibid.
13
Pada hakikatnya berdasarkan pasal 33 – 38 konvensi24 mengenai
keanekaragaman hayati dijelaskan bagaimana suatu negara dapat menjadi
pihak dari konvensi ini. pertama diatur dalam pasal 33 yaitu bagaimana
sebuah negara menandatangani sebuah perjanjian internasional, yaitu
konvensi ini dapat ditandatangani oleh seluruh negara dan organisasi
regional dari tanggal 5 Juni 1992 sampai 14 Juni 1992 dan di pusat
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Juni 1992 sampai 4 Juni 1993.
Selanjutnya diatur dalam pasal 34 mengenai ratifikasi, atau penerimaan atau
persetujuan, yaitu ketika konvensi dan protokol merupakan subjek dari
ratifikasi, penerimaan atau persetujuan. Setelah itu dalam pasal 35 diatur
mengenai Konvensi Keanekaragaman Hayati dapat dilakukan aksesi oleh
negara atau organisasi internasional. Dalam pasal 36 mengatur mengenai
bagaimana konvensi ini diterapkan ke dalam suatu negara 90 hari setelah
diterimanya surat penerimaan dari negara sebagai national measure. Dalam
pasal 37 menyatakan bahwa tidak boleh sama sekali dibuat suatu reservasi
dari perjanjian ini. Dalam pasal 38 menyatakan bahwa negara boleh menarik
diri setelah menjadi pihak minimal dua tahun dari perjanjian ini.
2.9 Ratifikasi dari Convention on Biological Diversity di Indonesia
Indonesia telah meratifikasi dari Convention on Biological Diversity
(konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragamaan Hayati)
yang diatur dalam Undang-Undang no. 5 Tahun 1994. Alasan mengapa
Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional ini karena beberapa hal
yaitu25:
a. Keanekaragamaan hayati di dunia, khususnya di Indonesia, sangat berperan
penting
untuk
berlanjutnya
proses
evolusi
serta
terpeliharanya
keseimbangan ekosistem dan sistem kehidupan biosfer;
b. Keanekaragaman hayati yang dimaksud meliputi ekosistem, jenis dan
genetik yang mencakup hewan, tumbuhan dan jasad renik (micro organism)
24
Convention on Biological Diversity. (Rio de Janeiro: United Nations, 1992)
Undang-Undang no. 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi
Keanekaragaman Hayati, Ps. 33-38.
25
14
perlu adanya suatu jaminan agar dijamin keberadannya dan keberlanjutan
bagi kehidupan;
c. Adanya suatu keanekaragaman hayati sedang mengalami pengurangan dan
kehilangan yang nyata karena kegiatan tertentu manusia yang dapat
menimbulkan terganggunya keeimbangan sistem kehidupan di bumi, yang
pada gilirannya akan menggangu berlangsungnya kehidupan manusia;
d. Adanya kesanggupan negara-negara maju untuk menyediakan sumber dana
tambahan dan dana baru serta kemudahan akses untuk memperoleh alih
teknologi bagi kebutuhan negara berkembang dan mempehatikan kondisi
khusus negara terbelakang serta negara kepulauan kecil sebagaimana diatur
dalam UN Convention on Biological Diversity yang merupakan suatu
peluang yang harus ditanggapi positif oleh Pemerintah Indonesia;
e. Demi melestarikan keanekaragaman hayati, wajib memanfaatkan setiap
unsurnya secara berkelanjutan dan meningkatkan kerja sama internasional di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan generasi sekarang
dan mendatang26.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan lingkungan hidup yang
merupakan bagian penting dari ekosistem dan berfungsi sebagai penyangga
kehidupan seluruh makhluk hidup di muka bumi diarahkan pada
terwujudnya kelestarian fungsi lingkungna hidup dalam keseimbangan dan
keserasian yang dinamis dengan perkembangan kependudukan, agar
menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pembangunan
lingkungan hidup pun bertujuan untuk meningkatkan mutu, memanfaatkan
sumber
daya
alam
secara
berkelanjutan,
merehabilitasi
kerusakan
lingkungan, mengendalikan pencemaran dan meningkatkan kualitas
lingkungan hidup.
Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peranan lingkungan hidup
dalam kehidupan manusia terus ditumbuhkembagkan melalui penerangan
dan pendidikan dalam dan luar sekolah, pemberian rangsangan, penegakan
26
Convention on Biological Diversity National Report- Indonesia.Government of
Indonesia.The First National Report: Implementation of Article 6, General
measures for Conservation and Sustainable Use. (Jakarta: United Nations, 2001).
hlm. 3
15
hukum dan disertai dengan dorongan peran aktif masyarkat untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup dalam setiap kegiatan ekonomi sosial.
Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta
keunikan alam terus ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman plasma
nutfah, jenis spesia dan ekosistem. Penelitian dan pengembangan potensi
manfaat hutan bagi kepentingan kesejahteraan bangsa, terutama bagi
pengembangan pertanian, industri dan kesehatan terus ditingkatkan.
Inventarisasi, pemantauan dan penghitungan nilai sumber daya alam dan
lingkungan hidup terus dikembangkan untuk menjaga keberlanjutan
pemanfaatannya.
Sehingga sangat penting kerja sama untuk dibangun baik secara regional
maupun secara internasional terkait dengan pemeiliharaan dan perlindungan
lingkungan hidup dan peran serta dalam pengembangan kebijaksanaan
internasional serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang
lingkungan perlu terus ditingkatkan bagi kepentingan pembangunan
berkelanjutan. Peranan Indonesia di dunia internaional dalam membina dan
mempererat persahabatana dan kerjasama yang saling menguntungkan
antara bangsa-bangsa terus diperluas dan ditingkatkan. Perjuangan bangsa
Indonesia di dunia internasional yang menyangkut kepentingan nasional
seperti upaya lebih memantapkan dasar pemikiran kenusantaraan,
memperluas ekspor dan penanaman modal dari luar negeri serta kerja sama
ilmu pengetahuan dan teknologi terus ditingkatkan. Adanya berbagai
langkah antar negara berkembang untuk mempercepat terwujudnya
perjanjian perdagangan internasional dan meniadakan hambatan serta
pembatasan yang dilakukan oleh negara industri terhadap ekspor negara
berkembang dan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi dan kerjasama
teknik antar negara berkembang, kemudian dilanjutkan dalam rangka
mewujudkan tata ekonomi serta tata informasi dan komunikasi dengan
dunia baru.
2.10 Badan/Organisasi Konservasi Keanekaragaman Hayati
16
Pihak-pihak yang terlibat dari segi publik dan privat masih dianggap
sedikit. Ini disebabkan rendahnya kesadaran, pemahaman dan dukungan
dalam menjelaskan bahwa pentingnya keaneakaragaman hayati untuk
kesejahteraan masyarakat dan kemanan dari negara. Oleh sebab itu, aktor
utama dan pemain inti dari ini adalah organisasi pemerintah dan beberapa
organisasi non pemerintah. Pihak-pihak ini yang merupakan pemain inti
yang telah di identifikasi telah berpartisipasi mengenai pengaturan
keanekaragaman hayati yaitu27:
a. Kementerian Kehutanan (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, Direktorat Jenderal Penggunaan Hutan dan Badan Riset
dan Pengembangan di Kehutanan)
b. Kementerian Pertanian
c. Kementerian Lingkungan Hidup
d. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
e. Universitas
Memang ini merupakan pemain utama dalam melaksanakan fungsi
untuk melindungi lingkungan hidup khususnya keanekaragaman hayati.
Namun tidak menutup kemungkinan juga bagi para organisasi non
pemerintah yang memiliki perhatian khusus terhadap lingkungan seperti
WALHI, WWF, International Tropical Timber Council, Asosiasi Panel
Kayu Indonesia, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Centre for
International Forestry Research dan lain-lain.
2.11 Implementation of the Convention in Switzerland
Switzerland menjadi salah satu pihak yang melaksanakan CBD dengan baik
yang dibuktikan melalui laporan periodis yang di susun Negara tersebut.
Negara Switzerland mengikuti 4 dari 7 program yang dikeluarkan CBD
27
Ibid.hlm. 17.
17
yakni perlindungan terhadap ekosistem hutan, pegununga, water and
wetlands, serta ekosistem agrikultur. Pada Laporan Switzerland yang keempat, dari 11 goals yang di keluarkan CBD pada tahun 2002 untuk tahun
2010, 5 diantaranya terlaksana secara sebagian dan sisanya tidak terlaksana.
Adapun goal tersebut yakni:
1. Promote the conservation of the biological diversity ecosystems, habitats
and biomes
2. Promote the conservation of species diversity
3. Promote the conservation of genetic diversity
4. Promote sustainable use and consumption
5. Reduce pressures fromhabitat loss, land-use change, degradation and
unsustainable water use
6. Control threats from invasive alien species
7. Address challenges to biodiversity from climate change and pollution
8. Maintain capacity of ecosystems to deliver goods and services and support
livelihoods
9. Maintain socio-cultural diversity of indigenous and local communities
10. Ensure the fair and equitable sharing of benefts arising out of the use of
genetic resources
11. Improve fnancial, human, scientifc, technical and technological capacity
to implement the Convention
Diantara goal tersebut yang terpenuhi secara sebagian adalah nomor
3,7,9,10 dan 11. Alasan dapat tercapai secara sebagian diantaranya karena
Switzerland
telah
melakukan
inventarisasi
keanekaragaman
hayati,
melaksanakan program konservasi hingga melakukan proses formulasi suatu
adaptasi terhadap perubahan iklim. Switzerland pun telah melakukan upaya
18
agar proses pembangunan memperhatikan prinsip sustainability serta
mendukung masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan konvensi
ini. Dalam Hal benefit-sharing, Swiss juga sudah mengimplementasikan
treaty multilateral tentang Tumbuhan dan sumberdaya genetik untuk pangan
dan agrikultur terkait hal ini. Hukum Swiss pun mengharuskan adanya
pengungkapan informasi atas sumber dari SDA genetic dan pengetahuan
tradisional.28
Namun memang sangat disayangkan 6 target menjadi target yang tidak
terpenuhi diantaranya karena daerahnya terlalu kecil dan terisolir untuk
dilakukannya tindakan perlindungan keanekaragaman hayati, adanya
populasi hewan yang terancam, dan pembangunan serta pertumbuhan yang
mengakibatkan meningkatnya konsumsi dan perluasan peradaban manusia.
2.12 Kasus di Indonesia terkait dengan pengimplementasian Konvensi
Keanekaragamaan Hayati
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan sumber daya
alamnya yang sangat beragam. Indonesia memiliki salah satu kawasan hutan
yang paling besar dan paling beragam di dunia29. Indonesia memiliki aset
hayati yang sangat kaya, yang berjumlah 15% dari seluruh spesies di dunia
yang terdiri atas darat dan laut dan lingkungan agrikultur.Setidaknya terdiri
dari 10% hutan berada di wilayah Indonesia yang mencerminkan betapa
kayanya Indonesia akan sumber daya alam30. Selain itu juga dengan adanya
2/3 dari wilayah Indonesia merupakan perairan, tidak sedikit karang laut
maupun spesies-spesies binatang laut yang memilih perairan Indonesia
untuk menetap di wilayah tersebut. Dengan semua lokasi strategis tersebut,
Indonesia seharusnya menjadi negara yang makmur dan sangat menjaga
Switzerland, Implementing the Biodiversity Convention, page
6-7
28
29
Mia Siscawati dan Ulfa Hidayati. Status of Impelemntation of Forest-Related
Clauses in the CBD- Indonesia. (Glocestershire: Indonesian Institute for Forest
and Environment, 2002) hlm. 4.
30
http://www.theguardian.com/environment/gallery/2013/may/22/indonesia-internationalbiodiversity-day-in-pictures diakses pada tanggal 22 April 2016.
19
keberlanjutan dari sumber daya alam ini. Fungsi dari hutan-hutan tersebut
juga beragam untuk masyarakat Indonesia yaitu pertama terkait dengan
persediaan makanan dimana pada umumnya semua bahan makanan diambil
dari sumber daya alam hayati yang berdasarkan dari keanekaragaman
hayati. Bahan-bahan makanan ini telah dijadikan bagian dari pertanian,
namun ada beberapa bahan makanan yang langsung diambil dari hutan.
Selanjutnya tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menggunakan bambu,
kayu dan dedaunan sebagai bahan untuk membangun rumahnya. Dengan
berbagai macam sumber daya alam yang ada, semakin banyak juga opsi
untuk seseorang membuat rumahnya dari bahan-bahan alami tersebut.
Ketiga adalah terkait dengan kesehatan dimana orang Indonesia agar tetap
menjaga kesehatan atau menyembuhkan suatu penyakit menggunakan obatobatan herbal yang ditemukan di daerah sekitar ia menetap. Sehingga
dengan alasan-alasan ini sangat penting untuk negara dapat menjaga
keanekaragaman hayati. Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
keanekaragaman hayati sangat penting bagi masyarakat Indonesia karena
tidak bisa lepas dari bahan-bahan tersebut untuk melanjutkan hidupnya dan
pendapatan ekonomi berdasarkan keanekaragaman hayati yang dimiliki31 .
Aset-aset yang dimiliki oleh Indonesia tidak digunakan potensi
tersebut secara maksimal karena adanya keterbatasan kapasitas sumber daya
manusia dan teknologi untuk dapat menggunakan aset tersebut. Level dari
sumber daya manusia dapat dianggap rendah, oleh sebab itu secara teknis
dan kapabilitas teknologi sangat terbatas dalam melakukan eksplorasi,
pemberdayagunaan sumber daya alam hayati. Pemerintah memang secara
nyata sangat beruasaha untuk meningkatkan kesadaran bahwa negara
Indonesia sangat kaya dan berusaha untuk mengedukasi rakyatnya dan
kesadaran dan secara pelan-pelan berusaha untuk membangun institusi yang
dapat mengontrol keanekaragaman hayati dan pentingnya pengaturan yang
baik demi keberlangsungan suatu bangsa. Saat ini dengan kondisi ekonomi,
Indonesia menghadapi kesulitan dengan membiayai program-program dan
aktivitas untuk perkembangan. Meskipun adanya kekurangan sumber daya,
31
Government of Indonesia, Op.Cit. hlm. 6.
20
program untuk mengatur keanekaragaman hayati ini telah berlangsung.
Secara sektor, program ini berjalan dengan provisi dari Konvensi
Keanekaragaman Hayati. Ini dapat dilakukan karena Garis-garis Besar
Haluan Negara telah menyesuakan dengan pasal dalam konvensi ini.
Namun sangat disayangkan bahwa keberlanjutan dari sumber daya
alam ini sama sekali tidak diperhatikan baik dari pemerintah Indonesia
maupun dari rakyatnya sendiri. Mengapa dapat dikatakan demikian? Karena
tidak sedikit masalah-masalah lingkungan yang terus mengandrungi negara
ini, dimana akan dijelaskan lebih lanjut kasus-kasus yang dialami di
Indonesia terkait dengan lingkungan dan keanekaragaman hayati.
Pertama adalah kasus karang laut yang mengalami pemutihan di
perairan laut Jawa, Ambon dan Maluku32. Ini disebabkan karena sering kali
nelayan dalam menjaring ikan menggunakan bom air agar ikan dengan
mudah diambil oleh nelayan tanpa harus bersusah payah menunggu.
Sehingga karang laut maupun spesies-spesies ikan cepat mati karena
menggunakan cara yang tidak baik untuk menangkap ikan. Selain itu juga
dengan adanya pengambilan ikan-ikan eksotik yang dijual dengan mahal
tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemerintah. Ini jelas sangat
merugikan keanekaragaman hayati di laut karena kemungkinan suatu
spesies akan punah sangatlah besar karena tidak diberi kesempatan untuk
berkembang biak.
Kedua masih terkait dengan laut dan keanekaragaman hayati di laut
adalah dengan matinya karang laut dan ikan-ikan karena tingginya pollutan
di laut33. Disebabkan karena pembuangan limbah padat maupun limbah cair
ke laut. Sehingga jelas dengan adanya benda-benda asing maupun cairan
asing yang masuk ke dalam laut akan sangat merugikan keberlangsungan
hidup dari ikan-ikan maupun karang laut yang berada di wilayah periaran
Indonesia.
32
Evan N. Edinger, Jamaluddin Jompa, et. al. Reef Degradation and Coral
Biodiversity in Indonesia: Effeects of Land-based Pollution, Destructive Fishing
Practices and Changes Over Time. (Inggris :Marine Pollution Bulletin vol. 36 no.
8, 1998).hlm. 2.
33
Graham Baines dan Mariyanti Hendro.Biodiversity Planning in Asia. hlm. 131.
21
Ketiga adalah terkait dengan penebangan hutan secara liar dan tidak
bersifat berkelanjutan34. Pembabakan liar yang menyebabkan hilangnya
hutan secara keseluruhan sehingga hutan lebih cenderung untuk mudah
terbakar dibandingkan dengan tidak mudah terbakar.Penebangan hutan
tersebut bertujuan agar perkembangan ekonomi dapat mengakselerasi
dengan cepat dan mengeluarkan Indonesia dari kemisikinan 35. Namun pada
kenyataannya, tetap hanya segelintir masyarakat yang mampu yang dapat
merasakan kemewahan hidup hasl dari penebangan hutan tersebut. Sehingga
penebangan hutan secara liar sangat merugikan Indonesia, baik dari segi
keanekaragaman
hayati
karena
tidak
mencerminkan
pembangunan
keberlanjutan dan juga tidak sedikit warga negara Indonesia yang sangat
berketergantungan hidup dengan lingkungannya.
Ini dapat dijelaskan dengan kasus bahwa deforestasi telah
berlangsung selama tahun 1985-199836 sebessar 1.7 juta hektar per tahun,
bahkan mungkin bisa lebih dari itu. Selanjutnya adanya estimasi bahwa per
tahun penebangan hutan terjadi sebesar 1.3 juta hektar antara 1990-2000.
Dengan menumpuknya bukti yang menyarankan bahwa area hutan telah
berkurang tidak hanya secara kuantitas namun juga kualitas yang
disebabkan oleh berbagai alasan yaitu illegal dan penebangan berlebihan,
pembakaran hutan, mengubah fungsi hutan menjadi agrikultur dan
penebangan hutan bukan untuk tujuan kehutanan. Masalahnya adalah bukan
hanya karena deforestasi namun karena kekurangan kontrol dalam
penggunaan lahan dan tidak sesuainya penggunaan lahan tersebut sesuai
dengan kapabilitas dan konsep dari lingkungan, sosial dan ekonomi. Selain
dengan kurangnya kontrol, lemah pula penegakkan hukum lingkungan dan
kehutanan dan tidak serius dalam mengatur produksi kayu sehingga
mendorong untuk adanya pemotongan pohon secara illegal dan lain-lainnya
yang bersifat melawan hukum37.
34
http://www.fauna-flora.org/explore/indonesia/ diakses pada tanggal 22 April 2016
35
Siscawati.Op. Cit. hlm. 4.
BAPPENAS. Annex I: Causes,Extent, Impact and Costs of 1997/1998 Fires
and Drought. Final Report.( Jakarta: Asian Development Bank, 1999)hlm. 18.
37
Hasim Danuri, Hiras P. Sidabutar et.al. Achieving Sustainable Forest
Management in Indonesia. (Jakarta: International Tropical Timber
36
22
Sejak awal tahun 1980, kebakaran hutan menjadi suatu masalah
yang sangat dikhawatirkan dimana api tersebut telah melahap hutan
Indonesia dalam kuantitas yang besar. Dalam kasus tahun 1997-1998, telah
dilakukan estimasi bahwa 9.7 hektar hutan telah habis di makan api. Akar
dari masalah yang sedang dihadapi adalah adanya sektor kehutanan yang
tidak diatur dalam kebijakan dengan baik, rencana dan strategi implementasi
termasuk mekanisme insentif, monitor dan evaluasi dan penegakan hukum
dan peraturan.
Kerangka hukum untuk konservasi keanekaragaman hayati yang
terdiri atas kebijakan dan hukum. Indonesia memiliki sejarah panjang yang
luar biasa terkait dengan pernyataan ofisial mengenai kebijakan konservasi
keanekaragaman
hayati
sesuai
dengan
standar
nasional
maupun
internasional. Dua faktor yang menyulitkan implementasi efektif dalam
kebijakan ini adalah38: a) kebijakan yang tidak konsisten dengan konservasi
keanekaragaman hayati atau membuat suatu aktivitas yang mengurangi
kebermanfaatan daerah yang dilindungi dan keanekaragaman hayati tidak
dijaga dengan baik karena eksploitasi hutan masih terus terjadi dan b) agen
yang seharusnya bertanggungjawab dalam mengimplementasikan kebijakan
konservasi tidak didukung dengan dana yang cukup dan diberikan suatu
ekspektasi untuk mencari dana dari donor agar dapat mendukung pekerjaan
mereka.
Sebelum adanya ratifikasi dari Konvensi Keanekaragaman Hayati,
Kementerian Lingkungan telah bekerja sama dengan institusi-institusi
lainnya
seperti
Kementerian
Kehutanan,
Kementerian
Pertanian,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan institusi-institusi riset lainnya
terkait dengan studi kasus mengenai keanekaragaman hayati. Setelah di
ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati menjadi Undang-Undang no. 5
Tahun 1994, Indonesia membentuk suatu strategi nasional yang disebut
dengan “Strategi Nasional Pengelolaan Keanekaragaman Hayati” dan
BAPPENAS telah mengeluarkan rencana yang disebut dengan Rencana
Council,2001).hlm. 21.
38
Baines, Op. Cit.hlm. 136.
23
Kegiatan Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia39. Sehingga Kementerian
Lingkungan telah secara aktif bekerja dalam mengatur lindkungan dan
dalam kasus tertentu untuk mengimplementasikan provisi-provisi dari
Konvensi Keanekaragaman Hayati, khususnya pasal 6 yang mengenai
koordinasi studi kasus sebuah negara, menghasilkan suatu draf terkait
strategi nasional dan integrasi program sektoral dan kebijakan lingkungan.
Oleh sebab itu, kementerian telah berusaha untuk mempersiapkan laporan
hasil rencana kegiatan.
Sejak dahulu apabila terkait dengan hukum dan konservasi
keanekaragaman hayati akan banyak berhubungan dengan hukum adat yang
merupakan hukum kebiasaan dari kepemilikan tanah dan sumber daya.
Namun dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa negara
memiliki seluruh negara berdasarkan pasal 33 ayat (3), meskipun ini dapat
membantu mengatur kepemilikan demi komunitas, ini sebenarnya lebih
membantu kepada orang-orang yang memiliki uang untuk mendapatkan
kepemilikan tanah. Pemerintah Indonesia pun telah mengeluarkan berbagai
peraturan
perundang-undangan
terkait
dengan
perlindungan
keanekaragaman hayati yaitu Undang-Undang no. 5 Tahun 1967 mengenai
Pengaturan Kehutanan, Undang- Undang no. 9 Tahun 1985 mengenai
Perikanan, Undang-Undang no. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi
Pengaturan Lingkungan Hidup dan Ekosistem, Undang- Undang no. 12
Tahun 1992 mengenai Tanaman. Apabila keanekaragaman hayati terancam
punah, ini akan sangat mempengaruhi cadangan makanan dan pertumbuhan
berkelanjutan ekonomi Indonesia. Oleh sebab itu, cara dan mekanisme
dalam melindungi dan berkelanjutan untuk keanekaragaman hayati nasional
sangat penting untuk diperhatikan oleh pemerintah40.
Pengaturan mengenai keanekaragaman hayati harus diarahkan untuk
mengontrol penggunaan keanekaragaman hayati demi generasi saat ini dan
generasi
yang
keanekaragaman
akan
hayati
datang;
wajib
konservasi
dilakukan
mengenai
setiap
saat
potensi
dan
dari
adanya
perkembangan sains untuk penggunaan berkelanjutan. Sehingga agar kasus39
Government of Indonesia.Op. Cit.hlm. 9.
Ibid. hlm. 11.
40
24
kasus mengenai pengeksploitasian sumber daya alam tidak berlangsung
secara terus menerus, harus berdasarkan sains dan teknologi yang
menyatakan suatu keanekaragaman hayati dapat di eksploitasi, konservasi
dan digunakan secara berkelanjutan.
Tujuan
dari
perlindungan
lingkungan
adalah
agar
dapat
dilaksanakannya dinikmati oleh seluruh generasi yang saat ini dan generasi
mendatang. Sehingga untuk mengimplementasikan hal tersebut, hutan-hutan
yang merupakan area utama dimana keanekaragaman hayati banyak
ditemukan. Adanya kerjasama dengan komunitas dalam mengontrol
keanekaragaman hayati harus dilakukan beberapa hal yaitu41: lebih
efektifnya pengaturan area yang dilindungi, perlakuan yang sama untuk
keanekaragaman hayati yang dapat ditemui di dalam dan di luar kawasan
lindung. Mempromosikan konservasi ex-situ. Meningkatkan pemahaman
dan promosi mengenai
konservasi
dan
pengetahuan
penggunaan
tradisional
berkelanjutan
dalam
melakukan
keanekaragaman
hayati.
Membentuk mekanisme yang berguna dengan adanya penggunaan
keanekaragaman hayati dan membentuk perhitungan insentif untuk seluruh
kegiatan konservasi keanekaragaman hayati.
2.13 Pelaksanaan dan Mekanisme Sanksi atas Pelanggaran CBD
Sebagaimana dilaksanakannya suatu International Convention, maka
negara-negara yang berpartisipasi didalamnya diharuskan meratifikasi CBD
ini
kedalam
peraturan
perundang-undangan
mereka
agar
dapat
terimplementasi dengan baik.
Dalam Convention ini sendiri terdapar 2 Protokol yang memiliki pengaturan
mengenai Compliance yakni Protokol Nagoya dan Protokol Cartaghena.
Prosedur seperti ini berguna dalam rangka memfasilitasi pihak-pihak yang
berpartisipasi dalam mengimplementasikan kewajiban mereka.42Dalam
protocol Nagoya, mekanisme mengenai compliance diatur dalam article 30
dari protocol tersebut dimana yang menentukan bentuk dari prosedur
41
42
Ibid. hlm. 14.
https://www.cbd.int/abs/compliance.shtml
25
kerjasama, mekanisme institsusional dalam rangka memastikan kepatuhan
terhadap protocol ini adalah COP. Protokol Cartaghena pun memiliki
ketentuan yang sama dalam article 34, dimana sama seperti article 30
protokol
Nagoya,
ketentuan
itu
mengharuskan
adanya
prosedur
penyelesaian sengketa sebagaimana tertera dalam Article 27 CBD.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan dan Saran
Indonesia harus melakukan implementasi lebih terhadap CBD mengingat
Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat luas,
dari lautan
hingga hutan. Masih banyak terjadi
kebobolan dan
penyelewengan akibat minimnya peraturan dan apparat penegak.
Secara Global UN CBD merupakan Konvensi yang sangat esensial dalam
menjaga keanekaragaman hayati untuk dinikmati generasi mendatang kelak.
Keadilan antar generasi merupaka salah satu hal yang ditekankan dalam
konvensi ini. Menurut kami perlu ditegaskannya aturan dan perlu adanya
26
kesukarelaan dari Semua pihak yang berpartisipasi demi memenuhi tujuan
mulia CBD.
27
Daftar Pustaka
A. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati,
UU no. 5 Tahun 1994.
Indonesia.Undang- Undang Dasar 1945.
United Nations. Convention on Biological Diversity 1992.
United Nations, Carthagena Protocol
United Nations, Nagoya Protocol
B. Internet
http://www.theguardian.com/environment/gallery/2013/may/22/indonesiainternational-biodiversity-day-in-pictures diakses pada tanggal 22 April
2016
http://www.fauna-flora.org/explore/indonesia/
diakses pada tanggal 22
April 2016
C. Jurnal
Indonesia, Government. The First National Report: Implementation of
Article 6, General measures for Conservation and Sustainable Use, Jakarta:
United Nations, 2001.
Siscawati, Mia dan Hidayati, Ulfa. Status of Impelmentation of ForestRelated Clauses in the CBD- Indonesia. Glocestershire: Indonesian Institute
for Forest and Environment, 2002.
Edinger, Evan N., Jompa, Jamaluddin, et. al. Reef Degradation and Coral
Biodiversity in Indonesia: Effeects of Land-based Pollution, Destructive
Fishing Practices and Changes Over Time. Inggris :Marine Pollution
Bulletin vol. 36 no. 8, 1998.
Baines, Graham dan Hendro, Mariyanti.Biodiversity Planning in Asia
BAPPENAS. Annex I: Causes,Extent, Impact and Costs of 1997/1998 Fires
and Drought. Final Report.Jakarta: Asian Development Bank, 1999.
28
Danuri, Hasim, Sidabutar, Hiras P., et.al. Achieving Sustainable Forest
Management in Indonesia.
Jakarta: International
Tropical Timber
Council,2001.
Switzerland, Implementing the Biodiversity Convention: Switzerland’s 4 th
National Report, Switzerland: Federal Office of Environment, 2010
D. BUKU
Bilderbeek, Simone, et. Al. Biodiversity and International Law: The
effectiveness of International Environmental Law. Amsterdam: IOS Press,
1992.
Birnie, Patricia, Alan Boyle, Catherine Redgewell. International Law and
the Environment. Cet. 3. Oxford: Oxford University Press, 2009.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif,
Jakarta: CV Rajawali, 2004.
Mamudji, Sri. et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok:
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005)
29