BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN A. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) - Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN A. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal,

   

  yaitu:

  34 1.

  Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

  2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi dan;

  3. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Sudarto mengemukakan defenisi singkat, bahwa kebijakan kriminal adalah merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan atau selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan.

  35 Defenisi ini diambil oleh dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan

  sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. Bertolak dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social

                                                               34  Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru) , Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.

   1.  35  Ibid.

  

reaction to crime ”. Berbagai defenisi lainnya yang dikemukakan oleh G. Peter

36 Hoefnagels ialah: a.

   Criminal policy is the science of responses; b. Criminal policy is the science of crime prevention; c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime; d.

   Criminal policy is arational total of the responses to crime.

  Istilah Criminal Policy yang dipergunakan oleh Hoefnagels bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut sebagai “kebijakan kriminal”.

  Istilah ini agaknya kurang pas karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan (kriminal). Istilah ini lebih tepat digunakan sebagai kebijakan

  37 penanggulangan kejahatan.

  Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan utama yaitu “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social (social

  

policy ) dan termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik

                                                             36 37  Ibid., hlm. 2.

   Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan , Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm.

  51.

      kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial

  38 yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.

  Kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus melihat cakupan yang luas yang terkandung dalam suatu sistem hukum (legal system).

  Menurut Friedman bahwa sistem hukum adalah memiliki cakupan yang lebih luas dari hukum itu sendiri. Kata “hukum” sering mengacu hanya pada aturan dan peraturan. Sedangkan sistem hukum membedakan antara aturan dan peraturan itu sendiri, serta struktur, lembaga dan proses yang mengisinya. Oleh karena itu, bekerjanya hukum di dalam suatu sistem menurut Friedman ditentukan oleh tiga unsur, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance),

  39 dan budaya hukum (legal culture).

  a.

  Struktur Hukum (Legal Structure) Struktur hukum merupakan suatu kerangka yang memberikan definisi dan batasan dan bentuk bagi bekerjanya sistem tersebut dalam batasan-batasan yang telah ditentukan secara keseluruhan. Hal ini sebagai mana dikemukakan oleh Friedman; “The structure of a system is its skeletal framework, it is the permanent

  

shape, the institutional body of system, the thought, rigid bones that keep the

process flawing within bound “. Jadi struktur hukum dapat dikatakan sebagai

  institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang berlangsung di dalamnya. Institusi ini dalam penegakan hukum pidana, tergabung dalam system peradilan pidana (criminal justice system), yang terdiri atas

                                                               38 39  Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.   

 Bahan-bahan kuliah Politik Hukum Pidana Fakultas Hukum USU tahun 2011.

    kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang menjamin

  40 berjalannya proses peradilan pidana.

  b.

  Substansi Hukum (legal substance) Substansi hukum (legal substance) adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem tersebut. Substansi hukum juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada di dalam sistem hukum itu, baik berupa keputusan yang mereka keluarkan, maupun juga aturan-aturan baru yang mereka susun. Penting di ingat bahwa substansi hukum ini tidak hanya terpusat pada hukum yang tertulis saja (law in the book), tetapi juga mencakup

  41 hukum yang hidup di masyarakat (the living law).

  c.

  Budaya hukum (legal culture) Budaya hukum (legal culture) adalah sebagai sikap manusia (dalam hal ini masyarakat) terhadap hukum dan sistem hukum itu sendiri. Sikap masyarakat ini menyangkut kepercayaan, nilai-nilai dan ide-ide, serta harapan mereka tentang hukum dan sistem hukum. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum masyarakat. Budaya hukum juga merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan disalahgunakan. Budaya hukum mempunyai peranan yang besar dalam sistem hukum, sehingga tanpa budaya hukum, maka sistem hukum akan kehilangan kekuatannya, seperti ikan mati yang terkapar di kerancangnnya, bukan ikan hidup

                                                               40 41  Ibid.

   Ibid.     yang berenang di lautan (without legal culture, the legal system is inert - a dead

  42 fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea ).

  Ketiga unsur sistem hukum ini mempunyai hubungan dan peranan yang tak terpisahkan. Ketiganya adalah satu kesatuan yang menggerakan sistem hukum tersebut sehingga dapat berjalan dengan lancar. Struktur hukum dapat diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu. Substansi hukum adalah sesuatu yang dihasilkan oleh mesin tersebut. Sedangkan budaya hukum adalah siapa yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin dan membatasi penggunaan mesin tersebut. Jadi apabila salah satu dari ketiga unsur sistem

  43 hukum ini sakit, maka akan menyebabkan sub sistem lainnya terganggu.

  Menurut Hoefnagels kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal

  

policy ) dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana

  (criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of

  44 ). society on crime and punishment (mass media

  Teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara.

  

Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law

  application.” Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari ” dan “influencing views of society on crime and

  “prevention without punishment                                                              42 43   Ibid.   Ibid. 44    Ibid. 

   

  45

punishment (mass media). ” Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan

  pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non

  

penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan preventif sebelum terjadinya

  46 suatu tindak pidana.

B. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

  Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut dengan juga dengan politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh

  47 karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.

  Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan- peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai

  48 apa yang dicita-citakan.

  Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum

                                                               45 46  Ibid.  Teguh Praseyto, Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana: Kajian Kriminalisasi dan Dekriminalisasi , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 17. 47

    48  Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hlm. 65.

   Ibid., hlm. 65-66.    apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat

  49

  dan bernegara. Mahmud M.D., juga memberikan defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal),

  50 maupun dalam penegakannya.

  Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakukan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk

  51 diterapkan.

  Lebih lanjut Soedarto mengungkapkan bahwa melaksanakan melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi

  52

  syarat keadilan dan dayaguna. Marc Ancel menyatakan politik hukum pidana merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk

                                                               49 50  Ibid51  Ibid.  52  Ibid.   Ibid.    memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan

  53 undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.

  A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang runag lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk

  54

  menentukan: 4.

  Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui;

5. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan; 6.

  Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

  Defenisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya, (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme

  55 pelaksanaan pidana. .

  Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

  Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik

                                                               53 54  M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 20. 55  Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 23-24.   Ibid.

    hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan

  56 dengan hukum pidana”.

  Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Politik atau kebijakan hukum pidana dapat dikatakan merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Kebijakan hukum pidana menjadi sangat wajar bila merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).

  Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Ini berarti pengertian social policy telah mencakup social welfare

  57 policy dan social defence policy.

  Berdasarkan dimensi di atas, kebijakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu sistem, hukum terdiri dari budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substantive) hukum. Undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan

                                                               56 57  Ibid.

   Ibid. hlm. 25.    hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan, juga mencakup

  58 pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana.

  Pada hakekatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal policy, atau strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana secara menyeluruh atau total. Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan

  59

  tindakan yang berhubungan dalam hal-hal: a.

  Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana; b.

  Bagaimana merumuskan hukum pidana agar dapat sesuai dengan kondisi masyarakat; c.

  Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana; d.

  Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.

  Berdasarkan pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan di atas, baik oleh A. Mulder maupun yang lain, maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk pembaharuan substansi hukum pidana pada masa yang akan datang, dan bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui komponen Sistem Peradilan Pidana, serta yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi

                                                               58  Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoretis, dan Praktik, PT Alumni, Bandung, hlm. 390. 59 Ibid ., hlm. 391.

    salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk

  

60

mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi.

  Berkaitan dengan persoalan yang terakhir ini, maka ada satu pertanyaan yang krusial yang dapat dimunculkan yaitu, mungkinkah pemidanaan dapat dijadikan instrumen pencegahan kejahatan?. Persoalan ini muncul karena selama ini banyak anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi justru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi. Protes ini ditujukan kepada gagalnya lembaga pemasyarakatan yang seharusnya berfungsi untuk mengintegrasi narapidana dengan kehidupan sosial, tetapi justru lembaga pemasyarakatan menjadi sekolah belajar bagaimana meningkatkan kualitas kejahatan. Dengan kata lain lembaga pemasyarakatan telah menjadi sekolah

  61 kejahatan (school crime).

  Upaya mencari jawaban atas persoalan dia atas, maka pembahasan harus diarahkan untuk mengungkap secara philosopis apa tujuan sesungguhnya pemidanaan. Alasan philosopis pemidanaan sangat penting untuk mencari arah kemana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan. Tanpa itu semua, maka substansi hukum pidana dan penerapannya akan tercerabut dari akar nilai-nilai philosopis dan akan menjadi hukum pidana yang kering serta tidak menyentuh

  62 nilai rasa kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.

                                                               60 61 Mahmud Mulyadi, Op.Cit., 67. 62  Ibid.    Ibid.   

  Usaha menemukan alasan philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan membawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum saat ini. Pembahasan tentang tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan

  63 teori absolut, relatif, teori gabungan, treatment dan social defence.

a. Teori Retributif (Teori Absolut)

  Teori absolut atau teori retributif atau dikenal juga dengan teori pembalasan (vergerlingstheori). Tokoh Teori Retributif adalah Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831). Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang.

  Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan

  64 hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.

  Tindakan pembalasan ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakan

                                                               63 64  Ibid.,hlm. 68.   Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana Terhadap kejahatan Korporasi , , PT Softmedia, Medan, hlm. 93.

      kunci dari konsep teori pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak

  65 boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan.

  Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya

  66

  sendiri. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Hegel: “Punishment is the right of criminal. It is an act of his own will. The violation of right has been proclaimed by the criminal as his own right.

  His crime is the negation of right. Punishment is the negation of his negation, and, consequently an affirmation of right, solicited and farced upon the criminal by him self.”

  Duff dan Garland memaparkan bahwa paham retributif ini dalam teori normatif tentang pemidanaan disebut juga sebagai non-consequentialist.

  Sedangkan teori relatif atau utilitarian disebut consequentialist. Paham non-

  

consequentialist menuntut dengan tegas bahwa suatu perbuatan, apakah itu benar

  atau salah, hakikatnya terletak pada hati nurani seseorang, dan bersifat bebas dari konsekuensinya. Hal ini dijelaskan secara tegas oleh tuntutan penganut retributif bahwa yang bersalah dan hanya yang bersalah yang berhak untuk mendapat pidana, serta pembenaran pemidanaan ini terletak pada timbulnya penderitaan

  

67

yang pantas pada orang bersalah tersebut.

  Nigel Walker mengemukakan bahwa alitran retributif ini terbagi menjadi dua macam, yaitu nteori retributif murni dan teori retributif tidak murni.

                                                               65 66  Ibid.  67  Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit. hlm. 70.     Ibid.   

  

Retributivist murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan

  dengan kesalahan pelaku. Sedangkan Retributivist yang tidak murni dapat dibagi

  68

  menjadi menjadi dua golongan, yaitu: 1.

  Retributivist terbatas (the limitating retributivist), yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan si pelaku;

  2. Retributivist yang distribusi (retribution in distribution), yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah.

  Berdasarkan pembagian aliran retributif di atas, maka hanya the pure

  

retributivist yang mengemukakan dasar pembenaran dijatuhkannya pidana. Oleh

karena itu golongan ini disebut juga “punisher” atau penganut teori pemidanaan.

  Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham retributif yang tidak murni lebih dekat dengan paham non-retributif. Kebanyakan KUHP disusun berdasarkan paham non-retributif yang the limitating retributivist yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan

  69 pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut.

                                                               68 69  Ibid. hlm. 70-71.

   Ibid.    Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif ini,

  70

  menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut: 1.

  Dijatuhkan pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative;

  2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setipa perbuatan yang merugikan orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness;

  3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut proportionality.

b. Teori Deterrence (Teori Relatif)

  Teori Deterrence berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei

  

Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah

  seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana

  71 pembalasan masyarakat.

                                                               70 71  Ibid.   Ibid.    

   

  Christiansen juga memberikan rincian ciri-ciri teori relatif ini sebagai berikut:

  72 1.

  Tujuan pemidanaan adalah untuk pencegahan; 2. Pencegahan ini bukanlah tujuan akhir (final aim), tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu kesejahteraan masyarakat (social welfare); 3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku kejahatan, berupa kesengajaan atau kelalaian, sebagai syarat untuk dijatuhkannya pidana; 4. Penjatuhan pidana harus ditetapkan dengan tujuannya sebagai alat atau sarana untuk pencegahan kejahatan.

  Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.

73 Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism)

  karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan (… the justification for penalizing offences

  is that this reduces their frequency

  ). Penganut reductivism meyakini bahwa

                                                               72

 Bahan-bahan kuliah Politik Hukum Pidana Fakultas Hukum USU tahun 2011.   73  Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit., hlm. 72. pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara

  74

  berikut ini: 1.

  Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;

  2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya; 3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana;

  4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan; 5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.

  Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi pencegahan umum (general deterrence) dan pencegahan khusus (individual or

                                                               74  Ibid. hlm., 73.   

   

special deterrence ), sebagaimana yang dikemukakan oleh Bentham bahwa:

  “determent is equally applicable to the situation of the already-punished

  

delinquent and that of other persons at large, distinguishes “particular prevention

which applies to the delinquent himself; and general prevention which is

applicable to all members of the community without exception.”

  75 General prevention menurut T. Mathiesen merupakan sarana komunikasi

  yang berupa pesan dari negara sebagai pemegang otoritas untuk menjatuhkan pemidanaan kepada masyarakat. Pesan ini terdiri dari: “(1) Punishment is a

  

massage which intends to say that crime does not pay (deterrence); (2) It is a

massage which intends to say that you should avoid certain act because they are

morally improper or incorrect (moral education); (3) It is a massage which

intends to say that you should get into habit of avoiding certain acts (habit

formation).

76 Tugas untuk menyampaikan pesan negara ini, terutama menjadi tanggung

  jawab dari komponen-komponen sistem peradilan pidana. Hal ini sebagaimana ditegaskan lebih lanjut oleh T. Mathiesens:

  

77

  “The criminal justice system, comprising the prosecuting authorities, the

  police, the courts, and the sanctioning apparatus which includes the prison system, may be seen as a large machine having the purpose of communicating this massage to the people. The machine constitutes one of the state’s most important mechanisms for ‘talking’ to the people about the people’s own doing… Andenaes say that ’The communication process from the legislator and the law enforcement agencies to the public is therefore a central link in the operating of general prevention.”

                                                               75  Ibid76  Ibid., hlm. 74.  77  Ibid

  Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawah

  78 pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma.

  Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan

  79 oleh pelaku.

  Teori tujuan pemidanaan ini biasa disebut juga dengan teori relatif. Sedangkan Duff dan Garland, menamakan paham ini sebagai “Consequentialism”. Penganut paham ini menyatakan bahwa sesuatu yang dianggap benar atau salah dari suatu perbuatan, semata-mata tergantung pada akibat yang ditimbulkannya secara keseluruhan. Suatu perbuatan dianggap benar apabila akibat yang dihasilkannya berupa kebaikan dan sebaliknya dianggap salah

  80 bila akibat dari perbuatan tersebut menghasilkan keburukan.

  Selain Cessare Beccaria, maka tokoh aliran klasik yang juga sepakat dengat tujuan pemidanaan sebagai deterrence, adalah Jeremy Bentham dengan teori utilitarian. Legitimasi penjatuhan pidana dalam pandangan utilitaranism

                                                               78 79  Ibid.   80  Ibid.   Ibid., hlm. 75.    adalah untuk deterrence, incapacitation, and rehabilitation. Murphy menjelaskan

  81

  sebagai berikut:

  “For a utilitarian theory of punishment (Bentham’s paradigm) must involve justifying punishment in terms of its social result- e. g., deterrence, incapatitation, and rehabilitation. And thus even a guilty man is, on this theory, being punished because of this instrumental value the action of punishment will have in future. He is being use as a means to some future good – e. g., the deterrence of others.”

  Menurut Ahmad Ali, penganut paham utilitarian menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Pandangan ini didasarkan pada falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu instrumen untuk mencapai

  82 kebahagian tersebut.

  Selain Jeremy Bentham, paham utilitarian juga didukung oleh James Mile dan John stuart Mile. Jeremy Bentham adalah yang paling radikal pandangannya dibandingkan yang lain. Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum adalah semata-mata ditujukan untuk menggapai kemanfaatan sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Pemikirannya dilatarbelakangi oleh rasa ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Dasar Inggris sehingga ia mendesak agar diadakan perubahan dan perbaikan berdasarkan suatu ide yang revolusioner. Ide utilitarian ini diperoleh Bentham dari pemikiran Helvetius dan Cessare Beccaria, yang kemudian dikemukakan kembali oleh Bentham dalam bukunya yang

  83

  berjudul “Introduction to Moral and Legislation.

                                                               81 82  Ibid83  Ibid.   Ibid.   

  Sehubung dengan konsep paham unilitarian ini, Curzon menyatakan paham utilitarian merupakan suatu filosofi moral yang mendefinisikan kebenaran suatu perbuatan dalam hubungannya dengan pemberian kontribusi yang besar untuk kebahagian secara umum dan menganggap kebaikan yang paling pokok adalah untuk kebahagian sebesar-besarnya bagi keseluruhan warga masyarakat

  84 (the greatest happiness of the greatest number).

  Paham utilitarian dapat dilihat sebagai lawan dari teori retributif. Unsur kesalahan dan legitimasi moral pembalasan setimpal dalam pandangan paham utilitarian tidak memainkan peranan yang penting dalam pemidanaan. Pembenaran pemidanaan menurut paham utilitarian hanya jika pemidanaan tersebut membawa konsekuensi yang diinginkan dan melahirkan keuntungan yang lebih banyak. Tujuan pemidanaan menurut pandangan utilitarian ini adalah untuk meningkatkan jumlah kumulatif (cumulative amount) dari kemanfaatan (utility)

  85 atau kepuasan hati (satisfaction).

c. Teori Gabungan

  Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori absolut dan relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana untuk pembalasan kepada si pelaku juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban. Grotius memandang, pidana berdasarkan keadilan absolut berwujudkan pembalasan terbatas kepada apa yang berfaedah bagi masyarakat. Teori gabungan yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat, mengadopsi pemikiran

                                                               84 85  Ibid. hlm. 76.  Ibid .

      bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya. Teori gabungan

  86 ini dipelopori oleh Vos.

d. Teori Treatment (Teori Relatif)

  Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif

  yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

  Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan

  87 perbaikan (rehabilitation).

  Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852- 1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori

  88 sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx.

                                                               86 87

 Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Op. Cit. 96-97. 

88  Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Op. Cit. hlm. 79.   Ibid.

   

  August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul “Cours de Philosophie Positive” atau “Course in

  

Positive Philosophy ”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan

  bahwa “There could be no real knowledge of social phenomena unless it was

  

based on a positivist (scientific) approach” . Perkembangan ilmu pengetahuan saat

itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya.

Dokumen yang terkait

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

6 150 156

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Medis

4 121 154

Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polda Sumut)

4 126 126

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perampasan Aset Terhadap Tindak Pidana Korupsi

0 56 197

Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan

2 30 240

Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Proteksi Peredaran Rupiah Dalam...

0 28 3

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. PENGGOLONGAN NARKOTIKA - Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut

0 0 23

BAB II PENGATURAN SISTEM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Pengaturan Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Dalam Hukum Positif Indonesia - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengguna Ijazah Palsu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kabu

0 0 45

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan - Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserika

0 0 42