BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Akibat Hukum Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Kota Pekanbaru

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Pekanbaru adalah ibu kota dan kota terbesar di Provinsi Riau, Indonesia. Kota ini merupakan kota perdagangan dan jasa, termasuk sebagai kota dengan tingkat

  pertumbuhan, migrasi dan urbanisasi yang tinggi. Secara geografis kota Pekanbaru memiliki posisi yang strategis berada pada jalur lintas Sumatera, terhubung dengan beberapa kota seperti Medan, Padang, dan Jambi dengan wilayah administratif diapit oleh Kabupaten Siak pada bagian utara dan timur sementara bagian barat dan selatan diapit oleh Kabupaten Kampar. Kota Pekanbaru dibelah oleh sungai Siak yang mengalir dari Barat ke Timur dan berada pada ketinggian berkisar antara 5-50 meter di atas permukaan laut. Kota ini termasuk beriklim tropis dengan suhu udara maksimum antara 34-36 C dan suhu minimum antara 20-23

  C.

  2 Sebelum tahun 1960, Pekanbaru hanyalah kota dengan luas 16 km yang

  2

  kemudian bertambah menjadi 62,96 km dengan dua Kecamatan yaitu Kecamatan Senapelan dan Kecamatan Limapuluh. Selanjutnya pada tahun 1965 kota Pekanbaru menjadi enam kecamatan, dan tahun 1987 menjadi delapan kecamatan dengan

  2

  wilayah wilayah 446,50 km , setelah pemerintah daerah Kampar menyetujui untuk menyerahkan sebagian dari wilayahnya untuk keperluan perluasan wilayah Kota Pekanbaru, yang kemudian ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 1987, dan kemudian pada tahun 2003 jumlah kecamatan

  1 pada kota ini dimekarkan menjadi dua belas kecamatan. Sejak Tahun 2010 Pekanbaru telah menjadi kota ketiga berpenduduk terbanyak di Pulau Sumatera setelah Medan dan Palembang. Pekanbaru ditetapkan menjadi Ibu kota Propinsi Riau melalui

  1 Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959.

  Laju pertumbuhan ekonomi Kota Pekanbaru cukup pesat dan menjadi pendorong bagi laju pertumbuhan penduduknya. Etnis Minangkabau merupakan masyarakat terbesar yang tinggal di Kota Pekanbaru dengan jumlah sekitar 37,96% dari total penduduk kota. Etnis Minangkabau pada umumnya bekerja sebagai pegawai dan pedagang. Jumlah mereka yang cukup besar telah mengantarkan bahasa Minang sebagai salah satu bahasa pergaulan yang digunakan oleh penduduk Kota Pekanbaru, selain bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Selain itu etnis yang memiliki proporsi yang cukup besar di Kota Pekanbaru adalah Melayu, Jawa, Batak dan Tionghoa.

  Perpindahan ibu Kota Provinsi Riau dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru pada tahun 1959, memiliki andil besar menempatkan suhu Melayu mendominasi struktur birokrasi pemerintahan kota, namun sejak tahun 2002 hegemoni mereka berkurang

  2 seiring dengan berdirinya Provinsi Kepulauan Riau dari pemekaran Provinsi Riau.

  Menurut Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, “pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi 1 Marwan Ali, Sejarah dan Perkembangan Kota Pekanbaru, World Press, Jakarta, 2012, hal.

  7 2 Ibid

  dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau

  3 penggabungan beberapa daerah”.

  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah pada dasarnya menekankan perwujudan otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keseimbangan hubungan antar pemerintahan. Dengan kata lain prinsip otonomi saat ini berdasarkan asas-asas

  4 desentralisasi berkesinambungan.

  Prinsip ekonomi seluas-luasnya mengandung arti bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertanahan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

  Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sementara itu, otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus 3 Dewi B. Andayani, Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia,

  Disertasi, Pascasarjana Fakutlas Hukum UI, 2004, hal. 15 4 Sadu Wasisitiono, Esensi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Makalah disampaikan pada Rekarnas Asosiasi DPRD Kota-Se-Indonesia, Batam, 2005, hal. 4

  benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

  5 yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

  Selain itu, penyelenggaraan pemerintah daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerja sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa pemerintah daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

  Berdasarkan pengertian pemerintah daerah dan wewenang yang telah diuraikan, pemerintah daerah merupakan kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah otonom yang diberikan oleh pemerintah pusat (melalui desentralisasi) untuk menjalankan hak, kewajiban dan wewenang yang dimilikinya untuk mengatur rumah tangganya sendiri sehingga dapat meningkatkan daya dan hasil guna untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya dan melakukan pembangunan di

  6 daerahnya.

5 H.A.W. Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Rajawali Press, Jakarta, 2011,

  hal.21 6 Akmal Boedianto, Hukum Pemerintahan Daerah, Pembentukan Perda APBD Partisipasif, CV Putra Medis Nusantara, Surabaya, hal. 32

  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan dalam Pasal 13 dan

  Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang antara lain adalah pelayanan pertanahan. Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam pemerintah daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA bahwa hak menguasai dari negara, pelaksanaanya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan

  Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind (tugas pembantuan).

  Kewenangan yang pelaksanaanya dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di daerah yang bersangkutan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUPA yang meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.

  Berdasarkan Pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah diberi wewenang mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan serta pemeliharaan tanah. Penataan ruang meliputi suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

  Berkaitan dengan kebijakan pemerintah daerah, wewenang penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang

  7 menurut batasan administratif.

  Demikian pula halnya dengan kewenangan pemerintah (kabupaten/kota) dalam melaksanakan kewenangan di bidang pelaksanaan pendaftaran tanah yang dalam hal ini kewenangannya dilakukan oleh Kantor Pertanahan. Apabila terjadi pemekaran wilayah berupa perubahan batas wilayah kota kota Pekanbaru, dimana sebagian kecil wilayah Kabupaten Kampar masuk ke dalam wilayah kota Pekanbaru. Dengan demikian sebagian wilayah yang tadinya masuk ke wilayah Kabupaten Kampar dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang perluasan wilayah kota Pekanbaru, maka wilayah tersebut menjadi bagian dari Kota Pekanbaru. Diantaranya wilayah Kabupaten Kampar yang masuk ke Kota Pekanbaru

7 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, PT Alumni, Bandung, 2008, hal. 29

  adalah, sebagian wilayah Kecamatan Siak Hulu PW dan wilayah Kecamatan Kampar.

8 Berkaitan dengan pendaftaran tanah yang terjadi di wilayah Kota Pekanbaru

  yang selama ini telah berlangsung dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tersebut maka terjadi perluasan wilayah kerja dari kantor pertanahan Kota Pekanbaru termasuk didalamnya adalah wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Kota Pekanbaru. Di sisi lain keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor

  19 Tahun 1987 tersebut memperkecil wilayah yang dimiliki oleh Kabupaten Kampar termasuk didalamnya wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar dan wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) daerah kerja Kabupaten Kampar. Hal ini menimbulkan permasalahan dari segi pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh kedua Kantor Pertanahan yaitu Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru dan juga Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar. Disamping itu juga menimbulkan permasalahan di bidang wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang

  9 daerah kerjanya telah ditetapkan di Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru.

  Penelitian ini dimaksudkan untuk membahas masalah pemekaran kota Pekanbaru dalam kaitannya dengan pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan kota Pekanbaru dalam hal kepastian hukum pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah tersebut dan dampak hukum lainnya yang menyangkut 8 Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Memengaruhi Besarnya Otonomi Daerah

  Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi Program Pascasarjana, 1993, hal.57 9 Idham, Konsilidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 2004 masalah pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh masyarakat di kedua wilayah yaitu Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka permasalahan yang dibahas secara lebih mendalam dalam penelitian ini adalah :

  1. Bagaimana praktek pelaksanaan pemekaran wilayah Kota Pekanbaru berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah?

  2. Bagaimana ketentuan batas-batas wilayah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 dalam praktek pelaksanannya?

  3. Bagaimana akibat hukum apabila terjadi pemekaran wilayah Kota Pekanbaru terhadap kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kota Pekanbaru?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui praktek pelaksanaan pemekaran wilayah Kota Pekanbaru berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

  2. Untuk mengetahui ketentuan batas-batas wilayah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 dalam praktek pelaksanannya

  3. Untuk mengetahui akibat hukum apabila terjadi pemekaran wilayah Kota Pekanbaru terhadap kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Kota Pekanbaru

  D. Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu :

  1. Secara teoritis penelitian dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi perkembangan hukum otonomi daerah dalam hal pemekaran / perluasan wilayah dalam kaitannya dengan masalah pelaksanaan pendaftaran tanah di Kabupaten/Kota.

  2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para praktisi, maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai pelaksanaan prosedur hukum pemekaran wilayah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.

  E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di Lingkungan Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Akibat Hukum Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Pendaftaran Hak Atas Tanah di Kota Pekanbaru” belum ada yang meneliti dan membahasnya, sehingga secara akademis keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

  10

  atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau

  11

  permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis, terhadap prosedur hukum pemekaran / perluasan wilayah kabupaten/kota berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.

  Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dan oleh karena itu kerangka teori diarahkan secara khas oleh hukum. Maksudnya penelitian berusaha untuk memahami masalah pemekaran wilayah Kota Pekanbaru dimana perluasan wilayah tersebut merupakan hasil dari pengambilan beberapa wilayah dari Kabupaten Kampar yaitu dengan memasukkan sebagian wilayah Kecamatan Siak Hulu PW dan 10 JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jilid I),

  Jakarta, FE UI, 1996, hal. 203 11 M Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju Bandung, 1994, hal. 80

  Kecamatan Kampar (Kelurahan Simpang Baru) yang sebelumnya merupakan wilayah dari Kabupaten Kampar, dimana perluasan wilayah Kota Pekanbaru tersebut didasarkan kepada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.

  Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, dalam pelaksanaanya akan mengakibatkan timbulnya masalah hukum khususnya dibidang hukum pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor

  24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

  Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik dan berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen III) menyebutkan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-darah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen

  III) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Dalam otonomi daerah di Indonesia terdapat bebrapa prinsip-prinsip dasar yang terkandung di dalamnya yaitu:

  1. Bentuk negara Indonesia adalah Negara Kesatuan dan bentuk pemerintahan adalah republik

  2. Keharusan membentuk daerah, yang terdiri dari daerah besar dan kecil dengan mengisyaratkan adanya suatu desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dengan otonomi yang luas

  3. Bentuk pemerintahan daerah itu disusun dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara

  4. Negara menjamin hak-hak asal usul daerah-daerah yang bersifat istimewa yang ada dalam negara Dari prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) dan pasal

  18 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana tersebut di atas ada beberapa pendapat para ilmuwan hukum tata negara berkaitan dengan asas-asas pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tersebut. Bagir Manan mengemukakan bahwa Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang disertai asas desentralisasi. Dengan demikian secara teoritik persoalan-persoalan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan desentralistik akan terdapat pula di negara Republik

12 Indonesia. Kemudian Bagir Manan berpendapat ada beberapa paradigma baru yang

  ditegaskan dalam Pasal 18, Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan di masa lalu. Paradigma-paradigma baru tersebut meliputi antara lain:

  1. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan (belaka). Di masa depan tidak ada lagi pemerintahan dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah. 12 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, FH UII Yogyakarta, 2007, hal.28.

  2. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan atas dasar otonomi yang seluas- luasnya. Semua fungsi pemerintahan di bidang administrasi negara

  

(administratief regelen en bestuur) dijalankan pemerintah daerah, kecuali yang

ditentukan sebagai urusan pusat.

  3. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan atas dasar keragaman daerah. Urusan rumah tangga daerah tidak perlu seragam. Perbedaan harus dimungkinkan baik atas dasar kultural, sosial, ekonomi, geografi dan lain sebagainya.

  4. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan dengan mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat (adat rechtsgemenschap) dan berbagai hak tradisionalnya. Satuan pemerintahan asli dan hak-hak masyarakat asli atas bumi, air, dan lain-lain wajib dihormati untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat.

  5. Pemerintah daerah dapat disusun dan dijalankan berdasarkan sifat atau keadaan khusus atau istimewa tertentu. Sifat atau keadaan khusus tertentu baik atas dasar kedudukan (seperti ibu kota negara), kesejahteraan (DI Yogyakarta) atau karena keadaan sosio kultural (seperti DI Aceh).

  6. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum. Di masa depan tidak ada lagi anggota DPRD (begitu juga anggota DPR) yang diangkat.

  13 7. Hubungan pusat dan daerah diselenggarakan secara selaras dan adil.

  Berdasarkan pemikiran tersebut, terlihat prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut:

  1. Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarki

  2. Prinsip otonomi dan tugas pembantuan

  3. Prinsip demokrasi

  4. Prinsip otonomi seluas-luasnya Didalam pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 (amandemen III) terkandung prinsip keterkaitan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah antara lain yaitu:

  1. Hubungan wewenang yang diatur dengan UU dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (dimuat dalam ayat 1)

  2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan UU (dimuat dalam ayat 2)

  3. Prinsip pengakuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa (dimuat dalam ayat 1)

  4. Prinsip pengakuan eksistensi dan hak-hak tradisi masyarakat adat (dimuat dalam ayat (2) Berdasarkan uraian mengenai prinsip-prinsip otonomi daerah tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah 13 Jenning, Sistem Pemerintahan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan

  , Dalam Soepomo dan kawan-kawan, Aksara Baru Jakarta 2008, Ketetapan-Ketetapan MPR 1974 hal.32 tidak bersifat sentralistik. Kekuasaan negara dibagi kepada daerah melalui desentralisasi dan kekuasaan.

  Dari uraian di atas maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pelimpahan kewenangan yang menjadi landasan atau dasar dalam rangka mengkaji penerapan asas desentralisasi dalam perkembangan pengaturan pemerintahan daerah, khususnya yang dijadikan sebagai teori dalam penelitian ini adalah teori pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Ada suatu pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bertujuan untuk menghindari kekuasaan yang disentralkan pada satu tangan. Berkaitan dengan prinsip pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dengan kesatuan pemerintah yang lebih rendah, maka lahirlah desentralisasi kekuasaan kepada

  14 pemerintah daerah.

  Dalam sistem pemerintahan daerah ada beberapa teori yang mendasari tentang pembagian kekuasaan diantaranya teori pembagian kekuasaan secara horisontal dan teori pembagian kekuasaan secara vertikal. Menurut pendapat Jimly Asshidiqie pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara verikal ke bawah. Pembagian kekuasaan secara vertikal berarti

  15 adanya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan. 14 Sadu Wasistiono, Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus media Bandung, 2003, hal.7 15 Juanda, Hukum pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan kepala Daerah , Alumni Bandung, 2008, hal.37.

  Dalam sebuah negara kesatuan dimana suatu negara kesatuan ialah suatu bentuk negara yang pemegang kekuasaan tertinggi ada di tangan pemerintah pusat, memiliki kekuasaan penuh dalam pemerintah. Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan secara vertikal melahirkan garis hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). Penerapan dari asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam negara kesatuan merupakan suatu penerapan dari prinsip distribution of powers dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan adanya pembagian kekuasaan dari pusat ke daerah, maka pemerintah pusat menyerahkan beberapa urusan pemerintah kepada

  16 pemerintah daerah.

  Desentralisasi mengandung segi positif dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dari sudut politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, karena

  17

  dilihat dari fungsi pemerintah, desentralisasi menunjukkan:

  1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat

  2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan lebih efisien

  3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif

  16 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2007, hlm.13. 17 Noer Fauzi dan RY Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, PSH FH-UII Yogyakarta, 2001, hal.174.

  4. Satuan-satuan desentralisasi menolong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi dan lebih produktif.

  Hal-hal yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah ialah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa dan kemampuan daerahnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/pejabat di bawahnya, sehingga yang diserahi atau dilimpahi wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya dalam urusan tersebut.

  Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pendaftaran tanah erat kaitannya dengan pengadaan tanah. Hal tersebut diwujudkan antara lain melalui dua hal yaitu :

  1. Mengeluarkan sertipikat hak atas tanah sebagai produk pendaftaran tanah yang merupakan suatu tanda bukti kepemilikan yang sah bagi pemilik

  2. Menghasilkan dokumenberupa data fisik dan data yuridis suatu bidang tanah sekaligus pula inventarisasi data oleh kantor pertanahan Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendaftaran tanah merupakan suatu tahapan yang berfungsi sebagai pengadministrasian bidang-bidang tanah di Indonesia, sekaligus untuk memberikan suatu keabsahan dan tanda bukti bagi para pihak sebagai pemilik sah dari tanah tersebut.

  Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

  Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tugas pelaksanaan pendaftarant anah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu oleh Peraturan Pemerintah ini atau perundang- undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada Pejabat lain.

  Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

  Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah menyebutkan bahwa :

  1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

  2. PPAT sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT

  3. PPAT khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.

  4. Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Satuan Rumah Susun.

  5. Protokol PPAT adalah kumpulan dokumen yang harus disimpan dan dipelihara oleh PPAT yang terdiri dari daftar akta, akta asli, warkah pendukung akta, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya

  6. Warkah adalah dokumen yang dijadikan dijadikan dasar pembuatan akta PPAT

  7. Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam satu satuan daerah kerja PPAT.

  8. Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalamnya

  9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang agrarian / pertanahan.

  PPAT memiliki tugas pokok sebagaimana tertuang di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yaitu :

  1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakuannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

  2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. Jual beli

  b. Tukar menukar

  c. Hibah

  d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) e. Pembagian hak bersama

  f. Pemberian Hak Guna Bangunan / Hak Pakai atas tanah Hak Milik

  g. Pemberian Hak Tanggungan

  h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan Daerah kerja PPAT berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 37

  Tahun 1998 bahwa :

  1. Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

  2. Daerah kerja PPAT sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjuknya.

  Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang berbunyi

  1. Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah Kabupaten/Kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-undang tentang pembentukan Kabupaten/ Kota yang baru PPAT yang daerah kerjanya adalah Kabupaten/Kota semula harus memilih salah satu wilayah Kabupaten/Kota sebagai daerah kerjanya, dengan ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai

  1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang pembentukan Kabupaten/Kota baru tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kota letak Kantor PPAT yang bersangkutan.

  2. Pemilih daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang pembentukan Kabupaten/Kota yang baru. Dari uraian mengenai masalah pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan

  Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan masalah tugas kewenangan PPAT sebagaimana yang termuat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dapat dikatakan bahwa pemekaran/perluasan wilayah yang terjadi di Kota Pekanbaru yang terjadi dari hasil pengambilan sebagian kecil wilayah dari Kabupaten Kampar, dari segi pendaftaran tanah akan menimbulkan perubahan kewenangan dari aparatur pemerintahan (dibidang pertanahan) dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Untuk wilayah yang diambil oleh Kota Pekanbaru yaitu Kecamatan Siak Hulu PW dan Kecamatan Kampar (Kelurahan Simpang Baru) yang sebelumnya merupakan wilayah dari Kabupaten Kampar, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 maka kewenangan di bidang pendaftaran tanah yang sebelumnya berada di bawah kewenangan pemerintah daerah Kabupaten Kampar dan PPAT yang kedudukan dan wilayah kerjanya berada di Kabupaten Kampar beralih menjadi kewenangan dari pemerintah Kota Pekanbaru dan juga PPAT yang kedudukan dan wilayah kerjanya berada di Kota Pekanbaru.

  Dalam praktek pelaksanaan penyerahan kewenangan dari pemerintah Kabupaten Kampar kepada Pemerintah Kota Pekanbaru, sesuai dengan teori penyerahan kewenangan maka penyerahan kewenangan membutuhkan kerjasama antara pemerintah kota Pekanbaru dan pemerintah Kabupaten Kampar khususnya dibidang administrasi pendaftaran tanah antara Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar dengan Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru khususnya di dua kecamatan yang masuk dalam wilayah Kota Pekanbaru yaitu Kecamatan Siahulu PW dan Kecamatan Kampar, sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum dalam hal pelaksanaan pendaftaran tanah yang dilaksanakan terhadap masyarakat di wilayah

  18 kewenangan masing-masing.

  Tujuan diundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar, agar daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka pemekaran / perluasan wilayahnya masing-msaing untuk kemajuan daerahnya, agar sesuai dengan aspirasi masyarakat di daerah tersebut demi mencapai kesejahteraan bersama di semua sektor pembangunan.

  Kewenangan mengurus rumah tangga sendiri tersebut juga mencakup kewenangan mengatur masalah pertanahan di wilayahnya demi mengembangkan otonominya sesuai gerak tuntutan kesejahtearan rakyat, atau minimal daerah tidak kesulitan mengajak investor menanamkan modal di daerahnya demi peningkatan

  19

  usaha yang berkaitan dengan tanah didaerahnya. Keadaan ini dapat dipahami, karean daerah berkeinginan untuk memajukan daerahnya serta mensejahterakan masyarakatnya dengan landasan pengembangan ekonomi sebagai basisnya dengan 18 Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, Kerangka

  

Kebijakan Pertanahan Nasional , Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan Direktorat

Pengukuran dan Pemetaan BPN, Jakarta, 2004 19 Muhammad Yamin, Politik Agraria dalam Mengatur Perkembangan Otonomi Daerah, Artikel, dimuat Jurnal Konstitusi Volume 1 Nomor 2, Volume 2009, Mahkamah Konstitusi Republik

  Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 8 tetap bertumpu kepada kebijakan ekonomi baru mencakup kebijaksanaan, strategi dan pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak sebagai wujud keberpihakan pada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, tanpa mengambaikan peranan perusahaan-perusahaan besar. Pengolahan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam lainnya dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan pengusahaan dan pemilihan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat luas. Tanah sebagai basis usaha pertanian diutamakan penggunaanya bagi pertumbuhan pertanian

  20 rakyat.

  Teori yang dipakai adalah teori penyerahan kewenangan Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru dan Daerah Kabupaten Kampar, batas-batas kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertananahan di Kota Pekanbaru yang dikaji berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 perubahan batas wilayah Kota Pekanbaru dan

21 Kabupaten Kampar. Keseimbangan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap

  pemberian kewenangan hukum dan hak-hak atas tanah terhadap masyarakat yang diberikan oleh pemerintah Kota Pekanbaru dan Pemerintah Kabupaten Kampar akibat terjadinya perluasan wilayah Kota Pekanbaru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 yang mengacu kepada batas-batas kewenangan 20 Herman Hermit, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal.

  17 21 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1994, hal. 102

  yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah untuk memperoleh kepastian hukum pemberian hak-hak atas tanah melalui pelaksanaan pendaftaran tanah di kedua pemerintah kota/kabupaten di Provinsi Riau

  22 tersebut.

  Teori penyerahan kewenangan ini dipelopori oleh Aristoteles dimana ia menyatakan bahwa kewenangan/kekuasaan harus dibagi secara seimbang dan adil berdasarkan UU diantara institusi negara berdasarkan bidang kewenangannya agar kewenangan tersebut dapat dijalankan dengan baik dan benar terhadap seluruh masyarakat. Dalam teori keseimbangan semua orang mempunyai kedudukan yang

  23 sama dan diperlukan sama pula (seimbang) dihadapan hukum.

  Sistem hukum pertanahan dibangun berdasarkan asas-asas hukum Mariam Darus mengemukakan bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum

  24

  yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum. Pandangan ini menunjukkan arti sistem hukum dari segi subtantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran mendasar tentang kebenaran (waarheid truth) untuk menopang norma hukum dan menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum pertanahan.

  Konsiderans UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria Nasional berdasarkan atas hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak menjabarkan unsur-unsur yang bersandar pada 22 Musran Rahmadi, Keseimbangan Pembagian Kewenangan Daerah Otonomi Berdasarkan

  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 , Rafika Aditama, Bandung, 2009, hal. 13 23 24 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1985, hal. 87 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Benda Nasution, Alumni, Bandung, 1990, hal. 15 hukum agama. Menyimak konsiderans dari UUPA tersebut, maka pembangunan Hukum Tanah Nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan perundang-undangan menjadi hukum yang tertulis “selama hukum adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh serta menunjukkan

  25

  adanya hubungan fungsional antara hukum adat dan Hukum Tanah Nasional itu.” AP. Parlindungan mengemukakan bahwa pemberian tempat kedua hukum adat di dalam UUPA, tidak menyebabkan terjadinya dualisme seperti yang dikenal sebelum berlakunya UUPA. Reorientasi pelaksanaan hukum di Indonesia akan lebih berhasil jika kita mampu memahami jika hukum adat yang akan dikembangkan di dalam perundang-undangan modern. Pemberian tempat bagi hukum adat di dalam UUPA, apalagi penempatan itu dalam posisi dasar, merupakan kristalisasi dari asas- asas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum yang adat yang sebenarnya. Hukum adat yang dapat dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan diberi sifat

  26 nasional.

  Sehingga dalam hubungan dengan prinsip-prinsip satuan bangsa dan Negara kesatuan Republik Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya sendiri, harus diteliti dan dibedakan antara :

  a. Hukum adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan bangsa dan seterusnya (Pasal 5) dan tidak merupakan penghambatan pembangunan.

  b. Hukum adat yang hanya mementingkan suku dan masyarakat hukumnya sendiri, yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan kesatuan bangsa serta dapat menghambat pembangunan Negara.

  25 26 Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Medan, 2009, hal. 39 AP Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 47

  Hukum adat yang tidak bertentangan tersebut dalam poin a di atas, tetap berlaku dan merupakan hukum agraria nasional yang berasal dari hukum adat, kecuali hak-hak atas tanah menurut hukum adat yang merupakan ketentuan konversi pasal II,

  VI dan VIII Hukum adat yang bertentangan seperti tersebut dalam poin b tidak

  27 diberlakukan lagi (tidak diadatkan).

  “Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan nonna-norma hukum adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis, haruslah tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA, bahkan Pasal 5 UUPA memberikan syarat yang lebih rinci, yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta peraturan- peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan pemndang-undangan

  28 lainnya”.

  Hukum adat yang dimaksudkan oleh UUPA adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.

  Konsepsi hukum adat dalam hukum tanah nasional di rumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik religius dari konsepsi hukum tanah nasional ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA. Sifat komunalistik menunjukkan semua tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama rakyat Indonesia, yang 27 Man Soetikjno, Politik Agraria Nasional, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hal. 48-49. 28 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentitkan Undang-Undang Pokok

  Agroria Isi dan Pelaksanaannya Jilid. I Hukum Tanah Nasionat Djambatan Jakarta; 1999, hal.1 telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Unsur religius dari konsepsi ini ditujukan oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa

29 Indonesia.

  Suasana religius dalam Hukum Tanah Nasional juga terlihat dalam konsiderans UUPA yang menyebutkan “...perlu adanya hukum agraria nasional yang tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”........”harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha Esa", dan Pasal 5 UUPA yang menyebutkan : “dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Asas-asas hukum adat yang digunakan dalam hukum Tanah Nasional, antara lain asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial, asas pemeliharaan tanah secara berencana, serta asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

  Kedudukan asas-asas tersebut dalam pembangunan hukum yaitu sebagai landasan dan alasan lahirnya peraturan hukum (ratio legis) selanjutnya. Namun demikian, penerapan asas-asas tersebut dalam kasus-kasus konkrit selalu memperhatikan faktor-faktor yang meliputi kasus yang dihadapi, dimungkinkan menyimpan dari asas tersebut guna penyelesaian kasus, akan tetapi harus dapat

  30 memenuhi rasa keadilan dan kebenaran.

  29 30 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 6 Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006, hal.

  37

  Soerjono Soekanto lebih melihat wewenang sebagai kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Bagir Manan berpendapat bahwa kekuasaan (macht) menggambarkan hak untuk berbuat ataupun tidak berbuat, sedangkan wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). Lebih tanjut Nicolai menyebutkan bahwa mengenai hak dan kewajiban adalah hak memberikan pengertian kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak untuk melakukan tindakan tertentu. Sementara itu, kewajiban memuat

  31 keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.

  Prinsip otonomi daerah sebenarnya telah diterapkan jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Beberapa undang-undang yang mendahului Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini aniara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

  Namun, konsep otonomi daerah yang diperkenalkan dalam undang-undang tersebut berbeda dengan Undang-Undang Nomor

  22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 31 Nicolai, P & Oliver, B.K., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hal. 4 dalam Irfan Fachruddin, Alumni, Bandung, 2004, hal.

  Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, 39-40

  Sebagai contoh, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah dilaksanakan secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab ini dalam tahap implementasinya lebih berkonotasi hak daripada kewajiban, dimana banyak memerlukan koordinasi dengan pemerintah pusat sehingga muncul kesan sentralistik. Berbeda dengan hal ini, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan atas asas desentralisasi dalam upaya mewujudkan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, konsep otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 akhiraya justru memunculkan “raja-raja kecil” di daerah sehingga dilakukannya revisi terhadap undang-undang ini.

  Saat ini, prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menekankan perwujudan otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keseimbangan hubungan antar pemerintahan. Dengan kata lain, prinsip otonomi saat

  32 ini berdasarkan atas asas desentralisasi berkeseimbangan.

  Prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung arti bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan. yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah 32 Sadu Wasistiono,

  Makalah Esensi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, disampaikan pada Rakernas Asosiasi DPRD Kota-Se-Indonesia, Batam, 2005, hal. 4. untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran sena, prakarsa. dan pemberdayaan

  33 masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

  Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Sementara itu, otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

  34 yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Dokumen yang terkait

Akibat Hukum Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Kota Pekanbaru

8 110 154

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Problematika Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah Melalui Ajudikasi Pasca Bencana Tsunami Di Kota Banda Aceh

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Akibat Hukum Atas Konsolidasi Bumn Persero Terhadap Pemegang Saham Minoritas

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan atas Perpanjangan Sertipikat Hak Guna Bangunan yang Berada di Atas Tanah Hak Pengelolaan Pemerintah Kota Pakanbaru

0 0 24

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Akibat Hukum Akuisisi Terhadap Perjanjian Tenaga Kerja

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Problematika Produk Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT/S) dalam Melaksanakan Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Grant Sultan Sebagai Alat Bukti Kepemilikan Tanah Dikaitkan Dengan Konversi Hak Atas Tanah

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Terhadap Terwujudnya Catur Tertib Pertanahan Di Kota Tebing Tinggi

0 2 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Atas Penyitaan Jaminan Atas Tanah Hak Milik Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Di Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara

0 0 24

BAB II PROSEDUR HUKUM PELAKSANAAN PEMEKARAN WILAYAH KOTA PEKANBARU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH A. Prinsip Otonomi Daerah - Akibat Hukum Dari Pemekaran Wilayah Terhadap Pendaftaran Hak Atas Tanah Di Kota Pekanbar

0 0 34