Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit - Stabilitas Vitamin E dari PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) yang Diinkorporasi pada Galaktomanan Kolang-Kaling

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Minyak Kelapa Sawit

  Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80 persen perikrap dan 20 persen buah yang dilapisi kulit yang tipis, kadar minyak dalam perikrap sekitar 34-40 persen. Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi asam lemak seperti pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Komposisi asam lemak minyak sawit dan minyak inti kelapa sawit.

  Asam lemak Minyak kelapa sawit (persen) Minyak inti sawit (persen) Asam Kaprilat - 3 - 4 Asam kaproat - 3 - 7 Asam laurat

  • 46 -52 Asam Meristat 1.1 – 2.5 14 - 17 Asam Palmitat 40 – 46 6.5 - 6 Asam Stearat 3.6 – 4.7 1 – 2.5 Asam Oleat 39 – 45 13 - 19 Asam linolenat 7 – 11 0.5 – 2

  Sumber : ketaren 1986

  Kandungan karoten mencapai 1000 ppm atau lebih, tetapi dalam minyak jenis tanera kurang lebih 500 -700 ppm, sementara kandungan vitamin E bervariasi dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi.

  Sifat fisiko-kimia minyak kelapa sawit meliputi warna, bau, flavor, kelarutan, titik cair, polymorphism, titik didih (boiling point), slip melting point, bobot jenis, indeks bias, titik keruhan ( turbidity point). titik asap, titik nyala dan titik api. Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah peroses pemucatan, karena asam-asam lemak dan gliseridanya tidak berwarna. Warna orange atau kuning disebabkan oleh adanya pigmen karoten yang larut dalam minyak.

  Minyak dan lemak terdiri dari trigliserida campuran, yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Lemak tersebut jika dihidrolisis atau splitting yang berlangsung pada suhu tinggi dan tekanan tinggi akan menghasilkan 3 molekul asam lemak rantai panjang dan 1 molekul gliserol. Adapun proses hidrolisis dari trigliserida tersebut adalah sebagai berikut :

  Bau dan flavor dalam minyak terdapat secara alami, juga terjadi karena adanya asam- asam lemak berantai pendek akibat kerusakan minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh persenyawaan

  β- ionone (Ketaren, 1986). Bila lemak atau minyak dipanaskan dengan alkali, ester terkonversi menjadi gliserol dan garam dari asam lemak.

  Reaksi tersebut digambarkan disini dengan penyabunan gliseril tripalmitat. O

CH OH

  2 CH O-C-(CH ) CH 2 O 2 14 3 O CHOH kalor

  • 3 CH (CH ) C - +
  • 3 2 14 CHO-C-(CH ) CH O 2 14 3 + 3 Na OH ONa natrium palmitat (sabun) CH OH 2 CH O-C-(CH ) CH 2 2 14 3 gliserol gliseril tripalmitat (tripalmitin) dari minyak sawit

      Garam (biasanya Natrium) dari asam lemak berantai panjang dinamakan sabun (Riswiyanto, 2009).

    2.1.1. Pemurnian Minyak Kelapa Sawit

      Proses pemurnian merupakan langkah yang perlu dilakukan dalam produksi edible oil dan produk berbasis lemak. Tujuan dari proses ini adalah untuk menghilangkan pengotor dan komponen lain yang akan mempengaruhi kualitas dari produk akhir/jadi. Kualitas produk akhir yang perlu diawasi adalah bau, stabilitas daya simpan, dan warna produk.

      Dalam sudut pandang industri, tujuan utama dari pemurnian adalah untuk merubah minyak kasar/mentah menjadi edible oil yang berkualitas dengan cara menghilangkan pengotor yang tidak diinginkan sampai level yang diinginkan dengan cara yang paling efisien. Pengotor tersebut mungkin diperoleh selama proses hulu, yaitu ekstraksi, penyimpanan atau transportasi dari minyak kasar/mentah dari lapangan ke pabrik.

      Proses pemurnian yang tepat sangat penting dilakukan dalam rangka untuk memproduksi produk akhir yang berkualitas tinggi dalam rentang spesifikasi yang telah ditentukan dan sesuai keinginan pelanggan. Ada dua tipe dasar teknologi pemurnian yang tersedia untuk minyak: (i) Pemurnian secara kimia (alkali) (ii) Pemurnian secara fisik

      Perbedaan diantara kedua tipe tersebut didasarkan pada jenis bahan kimia yang digunakan dan cara penghilangan asam lemak bebas. Pemurnian secara fisik tampaknya pada prakteknya menggantikan penggunaan teknik pemurnian menggunakan bahan kimia (alkali) karena tingginya asam lemak bebas pada minyak yang dimurnikan dengan cara kimia. Proses

      

    deasidifikasi (deodorisasi) pada proses pemurnian secara fisik mampu mengatasi masalah

    tersebut.

      Terpisah dari hal tersebut, menurut literatur, metode ini disarankan karena diketahui cocok untuk minyak tumbuhan dengan kadar fosfat yang rendah seperti minyak sawit. Dengan demikian, pemurnian secara fisik terbukti memiliki efisiensi yang lebih tinggi, kehilangan yang lebih sedikit (Nilai Pemurnian < 1.3), biaya operasi yang lebih rendah, modal yang lebih rendah dan lebih sedikit bahan untuk ditangani. Nilai pemurnian (NP) adalah parameter yang digunakan untuk memperkirakan berbagai tahap pada proses pemurnian. Faktor ini tergantung pada hasil produk dan kualitas dari input yang dihitung seperti berikut ini :

      %

      Nilai Pemurnian = NP biasanya dikuantifikasi untuk berbagai tahap dalam proses pemurnian secara sendiri-sendiri dan pengawasan NP dalam pemurnian biasanya berdasarkan berat yang dihitung dari pengukuran volumetrik yang disesuaikan dengan suhu atau menggunakan accurate cross-checked flow meters.

      Secara umum, pemurnian secara kimia memerlukan tahap proses, peralatan dan bahan kimia yang lebih banyak bila dibandingkan dengan pemurnian secara fisik. Diagram proses untuk proses pemurnian secara kimia dan secara fisik digambarkan pada Gambar 2.1 (Hui, 1996).

    Gambar 2.1. Proses pemurnian/refining dari CPO secara kimia dan fisika.

    2.2. Palm Fatty Acid Destilate (PFAD)

      PFAD merupakan hasil samping pemurnian CPO secara fisika, yaitu setelah tahap deguming,

      

    deasidifikasi, dan pengeringan dengan sistem vakum. Komponen terbesar dalam PFAD adalah asam lemak bebas, komponen karotenoid dan senyawa volatil lainnya. Secara umum proses pengolahan (pemurnian) minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% PFAD, dan 0,5% bahan lainnya. Pada umumnya PFAD digunakan industri sebagai bahan baku sabun ataupun pakan ternak.

      PFAD memiliki kandungan asam lemak sekitar 81,7%, gliserol 14,4%, squalane 0,8%, vitamin E 0,5%, sterol 0,4% dan lain-lain 2,2%. Pada suhu yang lebih tinggi, asam lemak bebas yang menimbulkan bau dalam minyak akan lebih mudah menguap, sehingga komponen tersebut diangkut bersama-sama uap panas dan terpisah dari minyak RBDPO, asam lemak bebas dari produk samping pada pemurnian RBDPO inilah yang disebut PFAD yang sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun batangan (Ketaren, 1986). Kandungan vitamin E dalam PFAD bervariasi yakni 1-15% tergantung pada jenis PFAD, proses pemurnian dan kondisi yang digunakan (Fizet, 1993).

    2.3. Vitamin E

      Vitamin E adalah nama umum untuk dua kelas molekul (tokoperol dan tokotrienol) yang memiliki aktivitas vitamin E dalam nutrisi. Vitamin E bukan nama untuk setiap satuan bahan kimia spesifik namun, untuk setiap campuran yang terjadi di alam yang menyediakan fungsi vitamin E dalam nutrisi.

      Vitamin E alami secara normal diperoleh kembali dari PFAD bukan dari minyak nabati yang sudah direfining ( Fizet, 1993). Vitamin E stabil pada pemanasan suhu rendah namun akan rusak bila pemanasan terlalu tinggi. Vitamin E bila terkena oksigen di udara, akan teroksidasi secara perlahan-lahan. Sedangkan bila terkena cahaya warnanya akan menjadi gelap secara bertahap.

      Vitamin E mempunyai delapan bentuk yang berbeda, empat rantai tokoperol dan empat rantai tokotrienol, dengan gugus hidroksil yang dilingkari atom hidrogen untuk menghasilkan radikal bebas dan sebuah rantai hidrofobik sebagai penetrasi dalam membran biologi. Tokoperol dan tokotrienol terdiri dari bentuk alfa, beta, gamma dan delta yang dibedakan dari gugus metil pada cincin chromanol. Tiap bentuk mempunyai aktivitas biologi yang berbeda-beda.

      Semua tokoperol alami mempunyai 3 pusat kiral dan masing-masing mempunyai konfigurasi R (misalnya α-tokoperol alami : 2R, 4’R, 8’R) sedangkan untuk vitamin E sintetik secara umum menggunakan campuran rasemat yang memiliki konfigurasi R dan S (

      2R, S, 4’RS, 8’RS, α-tokoperol). Aktivitas biologi stereoisomer α-tokoperol terutama dilakukan kiralitas atom karbon nomor 2 ( atom karbon kromonol cincin siklik yang mengikat rantai hidrokarbon panjang (Li, 1993) R 1 OH R O 2 R 3 Tokoperol R 1 OH R 2 O R 3 Tokotrienol

      R1, R2, R3 = CH

      3

      α-tokoperol atau tokotrienol R1, R3 = CH3, R2= H

      β- tokoperol atau tokoterienol R1=H, R2, R3= CH3

      γ- tokoperol atau tokotrienol R1,R2 =H , R3 = CH3

      γ- tokoperol atau tokotrienol Minyak sawit mengandung vitamin E antara 600-1000 ppm yang merupakan campuran tokoperol (21-31%) dan tokotrienol (66-79%). Sayangnya, vitamin E yang terdapat dalam minyak sawit sebagian hilang selama proses pengolahan. Tokoperol dan tokotrienol diyakini memiliki aktivitas anti oksidan yang kuat. Keduanya dapat memainkan peran untuk menghambat peroksidasi lipida dengan mematahkan serangan singlet oxygen oxidation (oksidasi oksigen singlet) dan memusnahkan serangan radikal bebas. Dengan demikian berperan sebagai quenching singlet oxygen karena reaksinya dapat memberikan elektron kepada oksigen singlet dan sebagai free radical scavenger karena kemampuanya menangkap radikal bebas (Schwartz et al., 2008).

    2.4. Kromatografi

      Merupakan suatu proses pemisahan yang mana analit-analit dalam sampel terdistribusi antara 2 fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat berupa bahan padat atau dalam bentuk molekul kecil, atau dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada pendukung padat atau dilapiskan pada dinding kolom. Fase gerak dapat berupa cairan atau gas. Jika gas digunakan sebagai fase gerak, maka prosesnya dikenal sebagai kromatografi gas. Dalam kromatografi cair dan juga kromatografi lapis tipis, fase gerak yang digunakan selalu cair.

      Kromatografi gas adalah metode kromtografi pertama yang dikembangkan pada zaman instrumen dan elektronika yang telah merevolusikan keilmuan selama lebih dari tiga puluh tahun. Sekarang kromatografi gas dipakai secara rutin disebagian besar laboratorium industri dan perguruan tinggi. Kromatografi gas adalah suatu proses dengan mana suatu campuran menjadi komponen-komponennya oleh fase gas yang bergerak melewati suatu lapisan serapan (sorben) yang stasioner (Bassett et al, 1994). Kromatografi gas dapat dipakai untuk sebagian campuran yang komponennya, atau akan lebih baik lagi jika semua komponennya mempunyai tekanan uap yang berarti pada suhu yang dipakai untuk pemisahan. Tekanan uap atau keatsirian memungkinkan komponen menguap dan bergerak bersama-sama dengan fase gerak yang berupa gas. Disamping itu, pada kromatografi gas, senyawa yang tak atsiri sering dapat diubah menjadi turunan yang lebih atsiri dan lebih stabil sebelum kromatografi (Gritter, 1985).

      Kromatografi gas merupakan metode yang tepat dan cepat untuk memisahkan campuran yang sangat rumit. Waktu yang dibutuhkan beragam, mulai dari beberapa detik untuk campuran sederhana sampai berjam-jam untuk campuran yang mengandung 500-1000 komponen. Komponen campuran dapat diidentifikasi dengan menggunakan waktu tambat

      (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu tambat adalah waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom.

      Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya. Sedangkan dalam kromatografi padat-gas, digunakan suatu zat padat penyerap (Khopkar, 2003). Sistem gas-padat ini telah dipakai secara luas dalam pemurnian gas dan penghilangan asap, tetapi kurang kegunaanya dalam kromatografi. Pemakaian fase cair memungkinkan kita memilih dari sejumlah fase diam yang sangat beragam yang akan memisahkan hampir segala macam campuran. Satu-satunya pembatas pada pemilihan cairan yang demikian ialah bahwa zat cair itu harus stabil dan tidak atsiri pada kondisi kromatografi.

      Ada beberapa kelebihan kromatografi gas, diantaranya kita dapat menggunakan kolom lebih panjang untuk menghasilkan efisiensi pemisahan yang tinggi. Gas dan uap mempunyai viskositas yang rendah, demikian juga kesetimbangan partisi antara gas dan cairan berlangsung cepat, sehingga analisi relatif cepat dan sensitivitasnya tinggi. Fase gas dibandingkan sebagian besar fase cair tidak bersifat reaktif terhadap fase diam dan zat-zat terlarut. Kelemahannya adalah teknik ini adalah terbatas untuk zat yang mudah menguap. Gritter, 1985, mengatakan bahwa kromatografi gas ini tidak mudah dipakai untuk memisahkan campuran dalam jumlah besar.

      Cara kerja kromatografi gas antara lain adalah, sampel diinjeksikan melalui suatu sampel injection port yang temperaturnya dapat diatur, senyawa-senyawa dalam sampel akan menguap dan akan di bawa oleh gas pengemban menuju kolom. Zat terlarut akan teradsorpsi pada bagian atas kolom oleh fase diam, kemudian akan merambat dengan laju rambatan masing-masing komponen yang sesuai dengan nilai K d masing-masing komponen tersebut. Komponen tersebut terelusi sesuai dengan urut-urutan makin membesarnya nilai koefisien partisi (K ) menuju ke detektor. Detektor mencatat sederetan sinyal yang timbul akibat

      d

      perubahan konsentrasi dan perbedaan laju elusi. Pada alat pencatat sinyal ini akan tampak sebagai kurva antara waktu terhadap komposisi aliran gas pembawa (Khopkar, 2003).

    2.5. Adsorbsi

      Adsorpsi adalah proses fisika dan kimia dimana suatu substansi menggumpal pada antarmuka antara fase yang satu dengan yang lain. Jadi adsorpsi adalah suatu proses dimana atom-atom molekul dari suatu bahan terkumpul pada permukaan adsorben dan bila ditinjau dari zat yang diserap serta bahan penyerap merupakan dua fasa yang berbeda, maka pada peristiwa adsorbsi itu akan terkumpul pada permukaan antarmuka kedua fase tersebut.

      Molekul-molekul pada permukaan zat padat atau zat cair, mempunyai gaya tarik ke arah dalam, karena tidak ada gaya-gaya lain yang mengimbangi. Adanya gaya-gaya ini menyebabkan zat padat dan zat cair mempunyai gaya adsorbsi ( Sukarjo, 2002).

      Apabila pada permukaan antara dua fasa yang bersih (seperti gas-cairan dan cairan- cairan) ditambahkan komponen ketiga, maka komponen ini akan sangat mempengaruhi sifat permukaan. Komponen ketiga yang ditambahkan adalah molekul yang teradsorpsi pada permukaan.

      Peristiwa penyerapan suatu zat pada permukaan suatu zat lain seperti ini disebut adsoprsi. Zat yang diserap disebut fase terserap sedangkan zat yang menyerap disebut adsorben. Kecuali zat padat, adsorben dapat pula berupa zat cair. Karena itu, adsorpsi dapat terjadi antara zat padat dan zat cair, zat padat dan gas, zat cair dan zat cair, atau gas dan zat cair.

      Peristiwa adsorpsi ini disebabkan oleh gaya tarik molekul-molekul dipermukaan adsorben. Zat-zat teradsorbsi terikat dengan kuat dalam lapisan-lapisan yang biasanya tebalnya tak lebih dari satu atau dua molekul (atau ion). Banyaknya zat asing yang dapat diadsorbsi bergantung pada luasnya permukaan yang tersingkap. Meskipun adsorpsi merupakan suatu gejala umum dari zat padat, adsorpsi ini teristimewa efisiensinya dengan materi koloid yang disebabkan oleh besarnya luas permukaan itu (Keenan, 1999).

    2.5.1. Jenis-jenis Adsorbsi

      Adsorpsi ada dua jenis yaitu adsorbsi fisika dan adsorpsi kimia. Pada adsorpsi fisika, adsorpsi disebabkan gaya van der Waals yang ada pada permukaan adsorben. Panas adsorpsi fisika biasanya rendah (~10000 Kal/Mol), lapisan yang terjadi pada permukaan adsorben biasanya lebih dari satu molekul dan kesetimbangan adsorpsi reversible dan cepat misalnya adsorbsi gas pada charcoal.

      Pada adsorpsi kimia terjadi reaksi pada zat yang diserap dan adsorben. Lapisan molekul pada permukaan adsorbennya satu lapis dan panas adsorbsinya tinggi (20000- 100000 Kal/mol). Adsorpsi ini terjadi dengan pembentukan senyawa kimia hingga ikatannya lebih kuat misalnya adsorpsi CO pada W, O

      2 pada Ag, Au, Pt, dan C (Sukarjo, 2002).

      Adsorpsi fisika adalah adsorpsi yang terjadi akibat gaya interaksi tarik-menarik antara molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Adsorpsi ini melibatkan gaya-gaya Van der walls (sebagai kondensasi uap). Jenis ini cocok untuk proses adsorpsi yang membutuhkan proses regenerasi karena zat yang teradsorpsi tidak larut dalam adsorben tapi hanya sampai permukaan saja.

      Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang terjadi akibat interaksi kimia antara molekul- molekul adsorben dengan molekul adsorbat. Proses ini pada umumnya menurunkan kapasitas dari adsorben karena gaya adhesinya yang kuat sehingga proses ini tidak reversibel (Bernasconi et al, 1995).

      Metode adsorpsi dapat diterapkan untuk memperoleh karotenoid yang terdapat dalam suatu campuran minyak. Biasanya dilakukan di dalam proses pemucatan minyak sawit (Ong

      

    et al.,1994). Metode adsorpsi fase terbalik (reverse phase adsorption) melalui jalur metil

      ester mampu menghasilkan lebih dari 90%. Naibaho, (1983) telah mengekstrak karoten dari tanah pemucatan komersil dengan beberapa tahap yaitu pelunakan tanah pemucat dan penyabun dimana konsentrasi karoten yang diperoleh mencapai 40% dari konsentrasi awal.

      Isoterm adsorpsi adalah hubungan kesetimbangan antara konsentrasi dalam fase fluida dan konsentrasi di dalam partikel adsorben pada suhu tertentu. Untuk zat cair, konsentrasi biasanya dinyatakan dalam satuan massa seperti bagian per juta (ppm). Konsentrasi adsorbat pada zat padat dinyatakan sebagai massa yang teradsorpsi per satuan massa adsorben semula (McCabe et al., 1989).

      Proses adsorpsi adalah proses pemisahan dimana komponen tertentu dari suatu fasa fluida berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap (adsorben). Hal ini disebabkan karena partikel zat padat tersebut mempunyai daya tarik terhadap zat-zat terlarut maupun pada zat pelarutnya yang sangat bergantung pada kekuatan tipe interaksi, yaitu interaksi ion- dipol, interaksi dipol-dipol, ikatan hidrogen, dipol dengan dipol tereduksi dan ikatan Van der walls. Sehingga apabila larutan mengalir melalui permukaan yang aktif maka proses adsorpsi dan desorpsi dapat terjadi. Proses adsorpsi dapat digambarkan sebagai proses dimana molekul meninggalkan larutan dan menempel pada permukaan zat adsorben akibat kimia dan fisika (McCabe et al., 1989).

      Kecepatan adsorpsi sangat dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi, luas permukaan adsorben, suhu, tekanan (untuk gas), ukuran partikel dan porositas adsorben. Selain itu, ukuran molekul bahan yang akan diadsorpsi serta viskositas campuran yang akan dipisahkan juga berpengaruh terhadap kecepatan adsorpsi. Suatu adsorben dipandang sebagai suatu adsorben yang baik untuk adsorpsi dilihat dari sisi waktu. Lama operasi terbagi menjadi dua, yaitu waktu penyerapan hingga komposisi diinginkan dan waktu regenerasi pengeringan adsorben. Makin cepat dua varibel tersebut, berarti makin baik untuk kerja adsorben tersebut, tingkat adsorpsi naik diikuti dengan kenaikan temperatur dan turun diikuti dengan penurunan temperatur (Benefield, 1982).

    2.6. Ekstraksi Pelarut

      Ekstraksi pelarut atau disebut juga ekstraksi air merupakan metode pemisahan yang paling baik dan populer. Alasan utamanya adalah pemisahan ini dapat dilakukan baik dalam tingkat makro ataupun mikro. Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat pelarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur seperti benzen, karbon tetraklorida atau kloroform. Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbada dalam kedua fase pelarut.

      Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu komponen dari suatu campuran berdasarkan proses distribusi terhadap dua macam pelarut yang tidak saling bercampur. Ekstraksi pelarut umumnya digunakan untuk memisahkan sejumlah gugus yang diinginkan dan mungkin merupakan gugus pengganggu dalam analisis secara keseluruhan. Kadang- kadang gugus-gugus pengganggu ini diekstraksi secara selektif.

      Teknik pengerjaan meliputi penambahan pelarut organik pada larutan air yang mengandung gugus yang bersangkutan. Dalam pemilihan pelarut organik agar kedua jenis pelarut tidak saling tercamupur satu sama lain. Selanjutnya proses pemisahan dilakukan dalam corong pisah dengan jalan pengocokan beberapa kali.

      Untuk memilih jenis pelarut yang sesuai harus diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

      1. Harga konstanta distribusi tinggi untuk gugus yang bersangkutan dan konstanta distribusi rendah untuk gugus pengotor lainnya.

      2. Kelarutan pelarut organik rendah dalam air

      3. Viskositas kecil dan tidak membentuk emulsi dengan air

      4. Tidak mudah terbakar dan tidak bersifat racun

      5. Mudah melepas kembali gugus yang terlarut didalamnya untuk keperluan analisa lebih lanjut.

      Ekstraksi dapat dilakukan secara bertahap, ekstraksi bertahap cukup dilakukan dengan corong pisah. Campuran dua pelarut dimasukkan dengan corong pemisah, lapisan dengan berat jenis yang lebih ringan berada pada lapisan atas. Mengingat bahwa proses ekstraksi merupakan proses kesetimbangan maka pemisahan salah satu lapisan pelarut dapat dilakukan setelah kedua jenis pelarut dalam keadaan diam. Lapisan yang ada dibagian bawah dikeluarkan dari corong dengan jalan membuka kran corong dan dijaga agar jangan sampai lapisan atas ikut mengalir keluar. Untuk tujuan kuantitatif, sebaiknya ekstraksi dilakukan lebih dari satu kali. Ekstraksi lebih efisien bila dilakukan berulang kali dengan jumlah pelarut yang lebih kecil daripada jumlah pelarutnya banyak tetapi ekstraksinya hanya sekali (Basset, 1994).

      Ekstraksi dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis antara lain: Ekstraksi cara dingin, metode ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses ekstraksi berlangsung, tujuannya untuk menghindari senyawa yang dimaksud rusak karena pemanasanan. Jenis ekstraksi dingin adalah maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau dengan beberapa kali pengocokan pada suhu ruangan.

      Pada dasarnya metoda ekstraksi cara dingin dilakukan dengan cara merendam sampel dengan sekali-sekali dilakukan pengocokan dan pada mumnya perendaman dilakukan 24 jam, selanjutnya pelarut diganti dengan pelarut baru. Ada juga maserasi kinetik yang merupakan metode maserasi dengan pengadukan secara sinambung tapi yang ini agak jarang dipakai. Perkolasi merupakan ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Prosesnya terdiri dari tahap pengembangan bahan, maserasi antara, perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak yang jumlahnya satu sampai lima kali volume bahan.

      Ekstraksi cara panas, metoda ini pastinya melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan adanya panas secara otomatis akan mempercepat proses penyarian dibandingkan cara dingin. Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut yang dilakukan pada titik didih pelarut tersebut, selama waktu tertentu dan sejumlah pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik (kondensor), umumnya dilakukan tiga sampai lima kali pengulangan proses pada residu pertama sehingga termasuk proses ekstraksi sempurna.

      Ekstraksi dengan alat soklet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya pendingin balik (kondensor), disini sampel disimpan dalam alat soklet dan tidak dicampur langsung dengan pelarut dalam wadah yang di panaskan, yang dipanaskan hanyalah pelarutnya, pelarut terdinginkan dalam kondensor dan pelarut dingin inilah yang selanjutnya mengekstraksi sampel.

      Hukum distribusi Nernst menyatakan bahwa solut akan mendistribusikan diri di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur, sehingga setelah kesetimbangan distribusi tercapai, perbandingan konsentrasi solut di dalam kedua fasa pelarut pada suhu konstan akan merupakan suatu tetapan, yang disebut koefisien distribusi , jika di dalam kedua fasa pelarut tidak terjadi reaksi-reaksi apapun. Akan tetapi, jika solut di dalam kedua fasa pelarut mengalami reaksi-reaksi tertentu seperti assosiasi, dissosiasi, maka akan lebih berguna untuk merumuskan besaran yang menyangkut konsentrasi total komponen senyawa yang ada dalam tiap-tiap fasa, yang dinamakan angka banding distribusi (Khopkar, 1990)

    2.7. Aren (Arenga pinnata)

      Aren (Arenga pinnata) merupakan tanaman serba guna yang dapat hidup didaerah tropis basah serta mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai agroklimat mulai dari dataran rendah hingga 1.400 meter diatas permukaan laut. Aren merupakan tumbuhan berbiji tertutup dimana biji buahnya terbungkus daging buah.

      Aren banyak ditanam di Indonesia termasuk di propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Tanaman aren belum dibudidayakan dan sebagian besar masih menerapakan teknologi yang minim (Anonim, 2009). Adapun sistematika tanaman aren adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Arecales Famili : Areacaceae Genus : Arenga Spesies : A. pinnata

      Tinggi batang tanaman aren berkisar antara 8-20 m sehingga untuk menyadap nira

    diperlukan tangga. Tanaman berbunga setelah berumur 7-12 tahun. Tandan bunga muncul

    dari setiap pelepah atau bekas pelepah daun, mulai dari atas kira-kira seperempat dari pucuk

    kearah bawah. Bunga pada tandan pertama hingga kelima atau enam adalah bunga betina,

    baru disusul bunga jantan yang muncul secara bertahap hingga ke pangkal batang atau 2-3 m

    di atas tanah.

      Seluruh bunga betina akan masak dalam 1-3 tahun. Bunga betina yang masih muda dapat diolah menjadi buah aren atau kolang-kaling. Buah aren terbentuk setelah terjadinya

      proses penyerbukan dengan perantaraan angin atau serangga. Buah aren berbentuk bulat berdiameter 4 – 5 cm, di dalamnya berisi biji 3 buah, masing masing terbentuk seperti satu siung bawang putih. Bagian – bagian dari buah aren terdiri dari :

      1. Kulit luar, halus berwarna hijau pada waktu masih muda, dan menjadi kuning setelah masak.

      2. Daging buah, berwarna putih kekuning – kuningan.

      3. Kulit biji, berwarna kuning dan tipis pada waktu masih muda, dan berwarna hitam yang keras setelah buah masak.

      4. Endosperm, berbentuk lonjong agak pipih berwarna putih agak bening dan lunak pada waktu buah masih muda; dan berwarna putih, padat atau agak keras pada waktu buah sudah masak.

      Buah yang masih muda adalah keras dan melekat sangat erat pada untaian buah, sedangkan buah yang sudah masak daging buahnya agak lunak. Daging buah aren yang masih muda mengandung lendir yang sangat gatal jika mengenai kulit, karena lendir ini mengandung asam oksalat. Buah yang setengah masak dapat dibuat kolang-kaling.

      Kolang-kaling adalah endosperm biji buah aren yang berumur setengah masak setelah melalui proses pengolahan. Setelah diolah menjadi kolang-kaling, maka benda ini mejadi lunak, kenyal, dan berwarna putih agak bening (Sunanto, 1993). Tiap buah aren mengandung tiga biji. buah aren yang setengah masak, kulit biji buahnya tipis, lembek dan berwarna kuning, inti biji (endosperm) berwarna putih agak bening dan lembek, endosperm inilah yang diolah menjadi kolang-kaling (Mogea et al, 1991).

      Adapun cara untuk membuat kolang-kaling sebagai berikut: Buah aren dibakar dengan tujuan agar kulit luar dari biji dan lendir yang menyebabkan rasa gatal pada kulit hilang. Biji-biji yang hangus, dibersihkan dengan air sampai dihasilkan inti biji yang bersih. Buah aren direbus dalam belanga/kuali sampai mendidih selama 1-2 jam, sehingga kulit biji menjadi lembek dan memudahkan untuk melepas/memisahkan dari inti biji. Inti biji ini dicuci berulang-ulang sehingga menghasilkan kolang-kaling yang bersih. Untuk menghasilkan kolang-kaling yang baik, bersih dan kenyal, inti biji yang sudah dicuci diendapkan dalam air kapur selama 2 – 3 hari. Setelah direndam dalam air kapur, maka kolang-kaling yang terapung inilah yang siap untuk dipasarkan. Analisis terhadap kolang- kaling memperlihatkan komposisi kimia yang dikandung berdasarkan berat keringnya adalah 5,2% protein, 0,4% lemak, 2,5% abu, 39% serat kasar dan 52.9% karbohidrat (Nisa, 1996). Kolang-kaling memiliki kadar air sangat tinggi, hingga mencapai 93,8% dalam setiap 100 gram-nya. Kolang-kaling juga mengandung protein dan karbohidrat serta serat kasar.

      Selain memiliki rasa yang menyegarkan, mengkonsumsi kolang-kaling juga membantu memperlancar kerja saluran cerna manusia. Kandungan karbohidrat yang dimiliki kolang kaling bisa memberikan rasa kenyang bagi orang yang mengkonsumsinya, selain itu juga menghentikan nafsu makan dan mengakibatkan konsumsi makanan jadi menurun, sehingga cocok dikonsumsi sebagai makanan diet. Kolang-kaling juga dapat digunakan sebagai coktail dan makanan ringan lokal seperti kolak (Orwa et al., 2009). Karbohidrat di dalam kolang-kaling pada umumnya adalah galaktomanan dengan berat molekul beragam dari 6000 sampai dengan 17000 (Koiman, 1971).

    2.8. Galaktomanan

      Kebanyakan tumbuh-tumbuhan memiliki cadangan polisakarida yang secara biologis tidak memiliki fungsi apapun terkecuali sebagai cadangan sumber karbon untuk bertumbuh. Tumbuhan dari famili Poaceae seperti misalnya gandum, padi, maize dan lainnya memiliki cadangan polisakarida.

      Tumbuhan lainnya dari keluarga legume memiliki cadangan polisakarida dalam bentuk galaktomanan. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan dari 163 spesies tumbuhan dari keluarga legume ini, 119 diantaranya menyimpan cadangan polisakaridanya dalam bentuk galaktomanan (Mathur, 2012). Galaktomanan ini memiliki selain sebagai cadangan makanan juga berfungsi menyimpan air untuk mencegah terjadinya kekeringan pada tumbuhan (Srivastava et al, 2005).

      Galaktomanan merupakan polisakarida heterogen yang terdiri dari rantai utama β-(1-

      4)-D-manopiranosa dengan satu unit cabang -D-galaktopiranosa yang terikat pada posisi -

      (1-6). Galaktomanan dari masing-masing tanaman berbeda-beda pada rasio manosa dan galaktosa, distribusi galaktosa pada rantai manosa dan berat molekulnya.

      Struktur umum gaktomanan (Cerqueira et al., 2009).

      Tingkat kekentalan galaktomanan bila dilarutkan dalam air sangat tergantung pada ukuran molekulnya dan bila ditambahkan polisakarida lainnya seperti xantan maka akan terbentuk gel (Morris et al., 1977). Kelebihan utama dari galaktomanan ini dibandingkan polisakarida lainnya adalah kemampuannya untuk membentuk larutan yang sangat kental dalam konsentrasi yang rendah dan hanya sedikit dipengaruhi oleh pH, kekuatan ionik dan pemanasan.

      Viskositas galaktomanan sangat konstan sekali pada kisaran pH 1 – 10,5 yang kemungkinan disebabkan oleh karakter molekulnya yang bersifat netral. Namun demikian apabila galaktomanan akan mengalami degradasi pada kondisi yang sangat asam atau basa pada suhu tinggi.

      Sifat fisikokimia galaktomnan dapat dikarakterisasi dengan menggunakan beberapa peralatan dan teknik yang berbeda. Parameter-parameter yang penting dalam karakterisasi galaktomanan adalah perbandingan manosa dan galaktosa, berat molekul rata-rata, bentuk struktur dan viskositas intrinsiknya. Rasio manosa dan galaktosa dapat ditentukan dengan menggunakan kromatografi gas atau dengan kromatografi pertukaran anion tekanan tinggi setelah terlebih dahulu dihidrolisis dengan menggunakan asam.

      Berat molekulnya dapat ditentukan dengan menggunakan size exclusion

      

    chromatography sedangkan distribusi galaktosa pada rantai manannya dapat dikarakterisasi

      13

      dengan menggunakan spektroskopi C-NMR atau dengan menggunakan metode enzimatis dengan enzim β-D-mannanase yang akan mendegradasi galaktomanan secara spesifik.

      Viskositas intrinsik dapat ditentukan dengan menggunakan viskometer kapiler dan persamaan Huggins & Kramer’s untuk menentukan viskositasnya (Cerqueira et al., 2009).

      Rasio manosa dan galaktosa tergantung pada sumber galaktomanan tersebut dan umumnya berkisar pada 1,1 sampai dengan 5,0. Galaktomanan dengan kandungan galaktosa yang besar umumnya mudah larut dalam air dan kecenderungannya untuk membentuk gel sangat rendah dibandingakn galaktomanan dengan rasio galatosa yang rendah.

Dokumen yang terkait

Stabilitas Vitamin E dari PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) yang Diinkorporasi pada Galaktomanan Kolang-Kaling

9 76 91

Pengaruh Katalis H2SO4 pada Reaksi Epoksidasi Metil Ester PFAD (Palm Fatty Acid Distillate)

0 18 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Edible Film - Aktivitas Antioksidan Edible Film Galaktomanan Yang Diinkorporasi Dengan Ekstrak Rimpang Jahe Pada Daging Ikan Nila

0 1 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sejarah Kelapa Sawit Indonesia - Penentuan Bilangan Peroksida dan Titik Lebur dari Palm Stearic Oil Fatty Acid (PSOFA) PT. Socimas Medan

0 0 32

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aren. - Pembuatan Dan Penentuan Nilai CMC Asetil Galaktomanan Yang Diperoleh Melalui Asetilasi Galaktomanan Hasil Isolasi Dari Kolang-Kaling (Arenga pinnata)

0 2 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Kelapa Sawit - Penentuan Persentase Kehilangan Minyak (Losis) CPO yang Terdapat pada Ampas (Fieber) di PTP. Nusantara IV (Persero)Unit Kebun Pabatu Tebing Tinggi

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Sawit - Pengaruh Waktu Penyimpanan CPO Terhadap Kadar Asam Lemak Bebas Pada Minyak Sawit PTPN IV Dolok Sinumbah Kabupaten Simalungun

1 1 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Sintesis Galaktomanan Ikat Silang Fosfat Dari Galaktomanan Kolang-Kaling (Arenga pinnata) dan Trinatrium Trimetafosfat

0 1 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Sawit - Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas (ALB) Minyak Kelapa Sawit (CPO) Pada Tangki Timbun di PT. Multimas Nabati Asahan (MNA) Kuala Tanjung

1 1 26

Stabilitas Vitamin E dari PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) yang Diinkorporasi pada Galaktomanan Kolang-Kaling

0 0 27