BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Edible Film - Aktivitas Antioksidan Edible Film Galaktomanan Yang Diinkorporasi Dengan Ekstrak Rimpang Jahe Pada Daging Ikan Nila

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Edible Film

  Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, teknologi pengemasan juga berkembang dengan pesat. Akhir-akhir ini kemasan yang lebih modern telah banyak digunakan secara meluas pada produk bahan pangan dan hasil pertanian misalnya plastik, kertas, aluminium, foil, logam dan kayu. Diantara bahan kemasan tersebut, plastik merupakan bahan kemasan yang paling populer dan sangat luas penggunaannya. Bahan kemasan ini memiliki berbagai keunggulan yakni, fleksibel, transparan, tidak mudah pecah, bentuk laminasi (dapat dikombonasikan dengan bahan kemasan lain), tidak korosif dan harganya relatif murah. Disamping memiliki berbagai kelebihan, plastik juga memiliki kelemahan yakni, tidak tahan panas, dapat mencemari produk sehingga mengandung resiko keamanan dan kesehatan konsumen, dan plastik termasuk bahan yang tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami (nonbiodegradable).

  Saat ini, bahan kemasan plastik yang tidak mudah terurai secara alami mengakibatkan terjadinya penumpukkan limbah dan menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Kondisi demikian menyebabkan bahan kemasan plastik tidak dapat dipertahankan penggunaanya secara meluas, oleh karena akan menambah persoalan lingkungan dan kesehatan di waktu mendatang. Menurut Syarief et al, (1988) ada lima persyaratan yang dibutuhkan dalam menentukan pilihan jenis dan cara pengemasan yang akan digunakan yaitu penampilan, perlindungan, fungsi, harga dan biaya, serta penanganan limbah kemasan. Dengan tidak dapat dipertahankannya lagi penggunaan plastik sebagai bahan kemasan serta adanya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan harus ramah lingkungan, maka hal ini mendorong dilakukannya penelitian dan pengembangan teknologi bahan kemasan yang “biodegradable”. Saat ini pengembangan teknologi bahan kemasan

  

biodegradable terarah pada usaha untuk membuat bahan kemasan yang memiliki sifat seperti

  plastik yang berbahan dasar dari bahan alam dan mudah terurai yang disebut dengan Edible film . dapat dikonsumsi dan ditempatkan di atas komponen makanan (coating) atau diletakkan diantara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang transfer massa seperti kelembapan, oksigen, lipid, dan zat terlarut, dan atau sebagai pembawa bahan makanan aditif, serta meningkatkan kemudahan penanganan makanan (Krochta et al., 1992). Edible

  

packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu yang berfungsi sebagai pelapis

  (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film) (Krochta et al., 1994). Edible film dan coating berbeda dalam cara pembentukannya dan penggunaannya pada makanan. Edible

  

coating dibentuk dan digunakan secara langsung pada produk makan dengan cara mengolesi

menggunakan kuas cat, penyemprotan, pencelupan, atau penyiraman (Cuq et al., 1995).

  Sedangkan Edible film merupakan lapisan tipis berupa lembaran yang dibentuk melalui penuangan pada cetakan yang selanjutnya dikeringkan. Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, makanan semi basah, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan terutama obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul (Krochta et al., 1994).

  

Edible film dan coating dapat memberikan penahanan terhadap uap air, oksigen (O ),

  2

  karbondioksida (CO

  2 ), aroma, lipida, dan sebagai pembawa zat (seperti anti mikroba, antioksidan, flavour, dan lain sebagainya) (Krochta and De Mulder-Johnston, 1997).

  Salah satu fungsi dari edible film adalah mempertahankan kualitas produk makanan yang dikemasnya agar tidak mengalami degradasi. Degradasi dalam sistem makanan sangat ditentukan oleh komposisi gas yang terdapat dalam lingkungan produk yang dikemas tersebut. Sebagai contoh, oksigen yang terlibat dalam proses ketengikan lemak dan minyak, pertumbuhan mikroorganisme, pembentukkan warna coklat oleh enzim dan kerusakan vitamin. Dengan demikian edible film yang ingin dibuat harus dapat melindungi produk makanan dari oksigen (Gontard et al., 1996). Namun demikian, permeabilitas edible film terhadap oksigen dan karbon dioksida sangat penting dalam menjaga kesegaran produk tersebut. Untuk itu bahan yang dapat membentuk edible film dengan kemampuan yang seimbang lebih diutamakan. Oleh karena karakteristik utama dalam mempertimbangkan pemilihan edible film adalah daya permeabilitas terhadap oksigen, karbon dioksida dan uap airnya (Ayranci and Tunc, 2002). Pada produk makanan segar, keberhasilan edible film mempertahankan kesegaran produk bergantung pada kemampuannya untuk mengontrol komposisi gas internal (Park, 1999).

  Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan dan subtansi lain untuk

  mikroba (Krochta et al., 1994). Selama proses pembuatan, bahan yang akan dibuat dilarutkan dalam pelarut seperti alkohol, air, campuran air dan alkohol, atau campuran pelarut lainnya. Bahan pemlastis, pewarna, penambah rasa atau antimikroba dapat juga ditambahkan pada saat pelarutan. pH dan pemanasan larutan dilakukan untuk penyempurnakan dispersi. Larutan

  

film kemudian dicetak dan dikeringkan pada suhu yang diinginkan hingga diperoleh film

(Bourtoom, 2008).

  Menurut Harris (1999), proses pembuatan edible film dapat dibagi atas tiga tahap sebagai berikut:

  1. Pembentukkan emulsi

2. Casting atau pencetakan bahan emulsi ke permukaan cetakan yang mempunyai

  permukaan datar dan licin

  3. Pengeringan Pembuatan emulsi sangat tergantung pada sifat-sifat fisik-kimia bahan emulsi, jenis

  

emulsifier, jumlah dan konsentrasi emulsifier, ukuran partikel yang diinginkan, viskositas

  larutan dan jenis alat pengemulsi yang digunakan. Untuk memperbaiki sifat-sifat kelenturan

  

film yang diperoleh maka ditambahkan plastisizer. Casting biasanya dilakukan pada

  permukaan datar dan halus seperti kaca dengan menuangkan bahan emulsi ke permukaan cetakan tersebut pada ketebalan tertentu. Film kemudian dikeringkan pada aliran udara kering selama 10-12 jam (Kinzel, 1992).

  Salah satu sumber daya alam yang dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan edible film adalah kolang-kaling. Menurut Mahmud dan Amrizal (1991), kolang kaling mengandung karbohidrat, pati dan kadar air yang tinggi dari berat buah, dengan demikian kolang-kaling dapat digunakan sebagai bahan baku edible film katagori hidrokoloid. Keunggulan dari kolang-kaling digunakan sebagai sumber bahan baku edible

  

film adalah ketersediaannya sepanjang tahun, mudah didapat, harga relatif murah dan secara

  ekonomis bernilai rendah karena kolang – kaling hanya digunakan pada bulan Ramadhan untuk berbuka puasa. Kolang-kaling diperoleh dari tanaman aren yang berumur sekitar 1 tahun sampai 1,5 tahun. Buah aren yang muda akan menghasilkan kolang-kaling yang sangat lunak dan bila terlalu tua akan menghasilkan kolang-kaling yang keras (Maryadi, 2004).

  Komponen penyusun edible film mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama penyusunnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: hidrokoloid (contoh: polisakarida atau protein), lemak (contoh: asam lemak, asilgliserol, dan lilin) dan komposit serta komponen tambahan yang dapat memodifikasi film (Donhowe and Fennema, 1994).

  Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, dan lipid serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Kelemahannya, film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH.

  Kelebihan edible film dari lipid adalah memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk dari penguapan air. Sedangkan kekurangannya yaitu kegunaannya dalam bentuk murni sebagai pelapis masih terbatas, karena mempunyai kekurangan dari segi ketahanannya.

  Edible film dari komposit (gabungan hidrokoloid dan lipid) dapat meningkatkan kelebihan film dari hidrokoloid dan film dari lipid, serta mengurangi kelemahannya.

  Pembentukkan edible film merupakan proses pertumbuhan fragmen-fragmen kecil yang akan membentuk suatu polimer. Perinsip pembentukkan edible film adalah interaksi rantai polimer menghasilkan polimer yang lebih besar dan stabil (Syamsir, 2008).

  Sifat dari edible film yang penting diketahui sebelum digunakan untuk mengemas produk dan penentuan umur simpan, antara lain permeabilitas terhadap uap air, permeabilitas terhadap gas, dan permeabilitas terhadap lipid. Permeabilitas air adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan tertentu pada kondisi suhu dan kelembapan tertentu.

  Hal ini disebabkan polimer dengan polaritas tinggi mempunyai ikatan hidrogen yang sebaliknya polimer dengan gugus hidrofobik tinggi akan menghasilkan film dengan sifat sekat (barrier) yang baik terhadap uap air. Kebalikan dari teori tersebut, polimer dengan komponen hidrofilik tinggi cenderung akan menjadi sekat lintas yang baik bagi gas oksigen (Paramawati R., 2001).

2.1.2 Plasticizer pada Edible Film Untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif.

  Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap uv dan lain- lain. Pemlastis dalam konsep sederhana adalah merupakan pelarut organik dengan titik didih tinggi atau suatu padatan dengan titik leleh rendah ditambahkan kedalam resin seperti PVC yang keras dan kaku, sehingga akumulasi gaya intermolekuler pada rantai panjang akan menurun (Yavad and Satoskar, 1997).

  Gliserol adalah salah satu plasticizer yang paling sering digunakan pada pembuatan

  

film , disebabkan stabilitas dan kecocokan dengan rantai hidrofilik biopolimer. Fungsi utama

gliserol adalah sebagai suatu zat yang berfungsi untuk menjaga kelembutan dan kelembapan.

  Gliserol dapat digunakan sebagai pelarut, pemanis, pengawet dalam makanan serta sebagai zat emollient dalam kosmetik. Berdasarkan sifatnya gliserol banyak digunakan sebagai

  plasticizer dan didalam industri resin untuk menjaga kelenturan.

2.2. Galaktomanan

  Galaktomanan merupakan polisakarida heterogen yang terdiri dari rantai utama β-(1-4)-D- manopiranosa dengan satu unit cabang α-D-galaktopiranosa yang terikat pada posisi α-(1-6). Dengan struktur berikut :

Gambar 2.1. Struktur Galaktomanan

  Kelebihan utama dari galaktomanan ini dibandingkan polisakarida lainnya adalah kemampuannya untuk membentuk larutan yang sangat kental dalam konsentrasi yang rendah dan hanya sedikit dipengaruhi oleh pH, kekuatan ionik dan pemanasan. Viskositas galaktomanan sangat konstan sekali pada kisaran pH 1 – 10,5 yang kemungkinan disebabkan oleh karakter molekulnya yang bersifat netral. Namun demikian galaktomanan akan mengalami degradasi pada kondisi yang sangat asam atau basa pada suhu tinggi (Cerqueira et

  al ., 2009).

  Aren (Arenga pinnata) merupakan tanaman serba guna yang dapat hidup didaerah tropis basah serta mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi tanah. Aren banyak ditanam di Indonesia termasuk di propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Tanaman aren belum dibudidayakan dan sebagian besar masih menerapkan teknologi yang minim (Anonim, 2009).

  Buah yang masih muda adalah keras dan melekat sangat erat pada untaian buah, sedangkan buah yang sudah masak daging buahnya agak lunak. Daging buah aren yang masih muda mengandung lendir yang sangat gatal jika mengenai kulit, karena lendir ini mengandung asam oksalat. Buah yang setengah masak dapat dibuat kolang-kaling. Kolang- kaling adalah endosperma biji buah aren yang berumur setengah masak setelah melalui proses pengolahan. Setelah diolah menjadi kolang-kaling, maka akan menjadi lunak, kenyal, dan berwarna putih agak bening (Sunanto, 1993). Endosperma dari Arenga pinnata telah diteliti mengandung komponen polisakarida yang larut dalam air, komponen itu adalah galaktomanan. Galaktomanan dipisahkan dari ekstrak endosperma biji mentah arenga

  

pinnata yang dilarutkan dalam sodium hidroksida kemudian di endapkan dengan etanol

  setelah dilakukan pengasaman. Polisakarida terlarut di murnikan dengan penambahan reagen fehling untuk menghasilkan galaktomanan. Perbandingan manosa dan galaktosa yang diperoleh adalah 2,26 : 1 (Kooiman, 1971).

  Jahe merupakan salah satu bumbu yang paling penting dan luas penggunaannya di seluruh dunia. Disebabkan permintaan yang tinggi, jahe tersebar sampai negara- negara tropis maupun subtropis dari wilayah Cina-India. Negara-negara penghasil jahe yakni : India, Cina, Thailand, Nigeria, Indonesia, Brasil, Jepang, Malaysia, Srilanka dan negara-negara kepulauan pasifik lainnya dan Indonesia sendiri merupakan penghasil penting lainnya, dimana mempunyai luas penanaman sampai 10.000 hektar dan produksi sekitar 77.000 ton dan penanamannya dipusatkan di kepulauan Jawa-Sumatera (Ravindran, 2005).

  Jahe secara botani dikenal sebagai Zingiber Officinale Roscoe dengan klasifikasi : Subkingdom : Tracheobionta Subdivisi : Spermatophyta Klas : Monocotyledons Subklas : Zingiberida Ordo : Zingiberales Sub-ordo : Scimitae Family : Zingiberaceae Genus : Zingiber Spisies : Officinale (Butt, 2011 ; Ravindran, 2005 ; Zachariah, 2008).

2.3.1 Komponen Kimia Pada Jahe

  Jahe merupakan tanaman khas yang memiliki gabungan dari banyak sifat dan ciri, dimana mengandung minyak volatil, minyak non-volatil, senyawa pedas, resin, pati, protein dan mineral. Komponen tertentu dari kelimpahan relatif dapat sangat bervariasi antara sampel jahe dalam kondisi segar maupun kering.

  Jahe memberikan sifat organoleptis yang khas pada dua komponennya, yaitu aroma dan beberapa dari rasa jahe yang diketahui dengan adanya komponen minyak atsiri dan rasa pedas yang dihasilkan oleh komponen non-volatil. terhadap aroma jahe dan ketergantungan yang relatif besar dalam minyak alami dari rimpang segar daripada minyak atsiri yang didestilasi dari jahe kering. Seskuiterpen teroksigenasi merupakan komponen yang relatif sedikit dalam minyak volatil tetapi tampaknya penting sebagai penyumbang sifat rasa. Hasil minyak yang didestilasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang mencakup jenis jahe, tingkat kematangan saat panen, metode untuk preparasi, umur, dan termasuk metode destilasi (Zachariah, 2008).

2.3.2 Manfaat Jahe

  Adapun manfaat yang terkandung dalam jahe itu sendiri antara lain:

  A. Jahe sebagai penyedap rasa Rempah-rempah yang digunakan dalam makanan untuk empat tujuan dasar:

  1. Untuk penyedap

  2. Untuk menutupi atau menghilangkan bau

  3. Untuk menyampaikan kepedasan

  4. Untuk menambahkan warna

  B. Jahe sebagai antioksidan Jahe memiliki kandungan antioksidan yang tinggi dan telah dikelompokkan sebagai salah satu rempah-rempah dengan aktivitas antioksidan yang baik. Hal ini membuatnya sebagai peredam radikal bebas. Sethi dan Aggarwi (1957) melaporkan bahwa jahe kering memiliki sifat antioksidan yang lemah. Aktivitas antioksidan dari jahe bergantung pada struktur sisi rantai pada pola substitusi pada cincin benzena, terutama aktivitas antioksidan yang diberikan oleh gingerol dan heksahidrokurkumen. Pada hewan percobaan, diet yang mengandung jahe menunjukkan efek yang sangat protektif, terhadap kerusakan oksidatif yang disebabkan malathion juga menunjukkan aktivitas antioksidan.

  Penggabungan garam dan ekstrak jahe pada daging sapi tanpa lemak tengik selama penyimpanan, meningkatkan kelembutan dan menambah jangka waktu simpan. Beberapa komponen senyawa yang bersifat antioksidan (gambar 2.2).

  CH 3 H CH C 3 C CH 3 H C C

  H C O CH CH CH CH= C 2 CH 2 2

2

2 CH 3 CH 3 CH CH 2 2 CH 3 CH 3 H C C 2 H C C CH 2 2 C C CH 3 H CH 3 H

  1,8-sineol Zingiberen Kamfen

Gambar 2.2. Struktur Senyawa yang Bersifat Antioksidan pada Jahe

  C. Jahe sebagai antimikroba Jahe juga sangat efektif digunakan dalam pengawetan makanan meskipun sifat antimikroba tidak terlalu tinggi namun dapat mencegah pembusukkan pada makanan dan dapat juga merangsang nafsu makan (Ravindran, 2005).

  Pemanfaatan rempah-rempah sebagai pengawet alami pangan sudah banyak diteliti baik untuk pangan segar maupun pangan olahan. Beberapa penelitian tersebut antara lain pengawetan sale pisang basah menggunakan jahe (Kawiji dkk, 2011), penggunaan pasta jahe sebagai antimikroba pada coating ikan lele asap (Johnson and Ndimele, 2011), dan pengawetan keju dengan ekstrak jahe (Balewu et al., 2005). Beberapa struktur senyawa yang bersifat antimikroba (gambar 2.3.).

  CH CH CH CH 2

  2

  2 2 CH

  3 HC C CH 3 C CH C C O C C C H C

3 CH CH

  3 3 H H C C 3 H H O H

  Geranial Neral

Gambar 2.3. Struktur Senyawa yang Bersifat Antimikroba pada Jahe

2.4. Minyak Atsiri

  Jahe merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki beragam kasiat. Tumbuhan yang digolongkan kedalam suku temu-temuan ini memang mengandung banyak senyawa aktif merupakan senyawa-senyawa yang sangat mudah menguap, dan aroma khas jahe berasal dari minyak atsiri ini. Minyak ini biasanya digunakan sebagai aroma terapi karena mampu untuk memberikan efek relaksasi, dimana minyak jahe ini dapat diperoleh dengan cara hidrodestilasi (Kawiji dkk, 2011).

  Akan tetapi kendala penggunaan minyak atsiri pada pangan adalah adanya perubahan organoleptik (aroma maupun rasa) produk yang diaplikasikan. Oleh karena itu untuk meminimalkan kadar penggunaan minyak atsiri maka terbuka peluang untuk menggunakan

  

edible coating atau edible film sebagai bahan pembawa komponen alami tersebut (Krochta et

al ., 1994).

  Komposisi Kimia Minyak Atsiri Pada umumnya komponen kimia dalam minyak atsiri dibagi menjadi dua golongan yaitu:

  1. Golongan Hidrokarbon Persenyawaan yang termasuk golongan hidrokarbon terbentuk dari unsur Hidrogen (H) dan Karbon (C). Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam alam dan minyak atsiri sebagian besar terdiri dari monoterpen (2 unit isopren), sesquiterpen (3 unit isopren), diterpen (4 unit isopren) dan politerpen, serta paraffin, olefin dan hidrokarbon aromatik. Komponen kimia golongan hidrokarbon yang dominan menentukan bau dan sifat khas setiap jenis minyak.

  Sebagai contoh minyak terpentin yang mengandung monoterpen disebut pinen dan minyak jeruk mengandung 90% limonen.

  2. Oxygenated hydrocarbon Komponen kimia dari golongan persenyawaan ini terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O). Persenyawaan yang termasuk dalam golongan ini adalah persenyawaan alkohol, aldehida, keton, oksida, ester, dan eter. Ikatan atom karbon yang terdapat dalam molekulnya dapat terdiri dari ikatan jenuh dan ikatan tidak jenuh. Persenyawaaan yang mengandung ikatan tidak jenuh umumnya tersusun dari terpen.

  Komponen lainnya terdiri dari persenyawaaan fenol, asam organik yang terikat dalam bentuk ester misalnya lakton, kumarin dan turunan furan misalnya quinin. (Ketaren, 1985).

  Ikan merupakan anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin) yang hidup di air dan bernafas dengan insang. Ikan merupakan kelompok vertebrata yang sangat beraneka ragam. Lebih dari 27.000 jenis ikan di seluruh dunia. Secara taksonomi, ikan tergolong kelompok

  

paraphyletic yang hubungan kekerabatannya masih diperdebatkan; biasanya, ikan dibagi

  menjadi ikan tanpa rahang (kelas Agnatha), ikan bertulang rawan (kelas Chondritchtyes), dan sisanya ikan tergolong bertulang (kelas Osteichthyes).

  Ikan biasa ditemukan di hampir semua genangan air yang cukup besar baik air tawar, air payau, dan air asin pada kedalaman yang bervariasi, dari dekat permukaan sampai beberapa ribu meter dari permukaan. Ikan terdiri dari ikan air tawar dan air laut. Salah satu ikan dari air tawar adalah ikan nila. Keduanya adalah sumber protein yang sangat penting bagi pertumbuhan. Ikan mengandung 18% protein yang terdiri dari asam-asam amino esensial yang tidak rusak pada waktu dimasak. Kandungan lemaknya 1 – 20% lemak yang mudah dicerna dan bisa langsung digunakan oleh jaringan tubuh. Kandungan lemaknya sebagian besar adalah asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan pada masa pertumbuhan dan dapat menurunkan kolesterol yang ada dalam darah (Hamid, 2010).

  Minyak ikan merupakan jenis minyak yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh paling tinggi dibandingkan dengan jenis minyak lainnya (Departemen Kesehatan RI, 1988). Minyak ikan terdapat pada daging ikan baik daging yang berwarna merah maupun putih, selain dalam daging, minyak juga terdapat dalam bagian tubuh ikan lain terutama hati dengan kadar yang beragam. Minyak ikan merupakan komponen lemak dalam jaringan tubuh ikan yang telah diekstraksi dalam bentuk minyak. Sampai saat ini, pengertian minyak/lemak atau lipida secara umum belum didefenisikan dengan pasti dan dapat diterima oleh semua ilmuan. Sampai saat ini minyak ikan masih merupakan sumber asam lemak ω-3 utama (Estiasih, 2009). Ditinjau dari segi kesehatan, hal ini sangat menguntungkan terutama kandungan asam lemak omega-3 nya. Kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi menyebabkan minyak ikan menjadi kurang stabil, karena mudah mengalami oksidasi. Proses oksidasi akan semakin meningkat dengan adanya panas, cahaya dan oksigen (Departemen Kesehatan RI, 1988).

  Ikan mengandung lemak dengan persentase yang berbeda dan sebagian besar berupa demikian bersifat tidak stabil dan relatif mudah mengalami proses oksidasi. Selama penyimpanan, reaksi oksidasi yang terjadi akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berperan pada pembentukkan aroma, cita rasa dan penampakan. Oksidasi lemak merupakan penyebab utama penurunan kualitas pada ikan segar yang disimpan pada suhu rendah. Mikroba dan enzim yang dihasilkannya dapat berperan dalam proses ketengikan lemak, tetapi proses oksidasi lemak lebih dominan sebagai penyebab ketengikan (Liviawaty, 2010).

  Ikan nila merupakan spesies yang berasal dari kawasan Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya di Afrika. Bentuk tubuh memanjang, pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Jenis ini merupakan ikan konsumsi air tawar yang banyak dibudidayakan setelah ikan mas (Cyrprinus Carpio) dan telah dibudidayakan di lebih dari 85 negara. Saat ini, ikan ini telah tersebar ke Negara beriklim tropis dan subtropik, sedangkan pada wilayah beriklim dingin tidak dapat hidup dengan baik. Bibit nila didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Peneliti Perikanan Air Tawar (Balitkanwar) dari Taiwan pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, ikan ini kemudian disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh Pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan (Dinas kelautan dan perikanan, 2010).

  Kandungan gizi ikan nila per 100 gram daging yang dapat dimakan: Kadar air : 73,83 – 79,5 Protein : 19,53 – 18, 65 Lemak : 3,51 – 0,55 Abu : 0,91 – 1,30 (Nurjanah, dkk, 2011) Klasifikasi ikan nila: Kelas : Osteichthyes Sub-kelas : Acanthoptherigii Ordo : Percomorphi Sub-ordo : Percoidea

  Famili : Cichli dae Genus : Oreochromis Spesies : Oreochromis niloticus Sugiarto, 1988).

2.6. Oksidasi Lipida

  Minyak dan lemak pada makanan memburuk melalui beberapa reaksi degredasi baik pada pemanasan dan penyimpanan jangka panjang. Proses kerusakan utama adalah reaksi oksidasi dan dekomposisi dari produk oksidasi yang mengakibatkan penurunanan nilai gizi dan kualitas sensorik. Dengan adanya proses-proses oksidasi adalah penting bagi produsen makanan dan untuk semua yang terlibat dalam seluruh rantai makanan dari pabrik ke konsumen. Oksidasi dapat dihambat oleh berbagai metode termasuk pencegahan akses oksigen, penggunaan suhu rendah, inaktivitas enzim mengkatalisis oksidasi, reduksi tekanan oksigen dan penggunaan kemasan yang cocok.

  Reaksi spontan oksigen atmosfer dengan lipida, yang dikenal sebagai autoksidasi, adalah proses yang paling umum yang menyebabkan kerusakan oksidatif. Asam lemak tak jenuh ganda memiliki potensi untuk membusuk oleh proses ini, apakah dalam bentuk asam lemak bebas atau dalam bentuk trigliserida (digliserida atau monogliserida) atau posfilipida.

  Kerusakan minyak ikan akibat oksidasi selama proses pemurnian dapat dikurangi dengan penambahan antioksidan dan setiap jenis antioksidan menpunyai tingkat efektivitas kerja yang berbeda-beda. Penggunaan antioksidan, termasuk jenis dan konsentrasinya, harus sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI (1988). Jenis antioksidan yang diteliti adalah yang sering digunakan di Indonesia, sehingga memudahkan dalam penerapannya. Bila oksidasi dapat dicegah atau dikurangi dengan menggunakan antioksidan yang tepat, proses pemurnian diharapkan dapat menghasilkan minyak ikan bermutu baik dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Usaha pemanfaatan minyak ikan yang mempertimbangkan keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, terutama kandungan asam lemak omega-3 akan sangat bermanfaat, karena dapat menghasilkan produk sesuai dengan yang diinginkan.

  Hampir semua tahapan pada pemurnian minyak ikan melibatkan panas dan dilakukan degumming, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi (Departemen Kesehatan RI, 1988).

2.6.1. Produk Oksidatif Lipida

  Komponen dibentuk pada tahap awal autoksidasi adalah hidroperoksida, dan ini juga produk dibentuk pada oksidasi katalisis lipoksigenase. Meskipun hidroperoksida adalah tidak mudah menguap dan tidak berbau, namun senyawa tersebut relatif tidak stabil dan secara spontan dapat mendekomposisi atau dalam reaksi katalis membentuk senyawa aroma yang mudah menguap, yang aromanya tak sedap. Sifat aroma tak sedap terdeteksi terutama tergantung pada komposisi asam lemak dari substrat dan tingkat oksidasi, meskipun kondisi oksidasi juga dapat mempengaruhi senyawa mudah menguap yang dihasilkan dan sifat sensorik dari minyak teroksidasi. Contoh dari oksidatif aroma tak sedap adalah rasa kacang yang tidak enak pada minyak kedelai. Aroma amis yang berkembang di minyak ikan, dan aroma logam yang terdapat pada lemak susu. Aldehida umumnya berkontribusi untuk aroma tak sedap yang berkembang selama oksidasi lipida. Selain pengembangan rasa tengik, kerusakan oksidatif lipida dapat menyebabkan pemutihan disebut radikal bebas, yang dibentuk selama oksidasi lipida. Radikal bebas juga dapat menyebabkan pengurangan kualitas gizi melalui reaksi dengan vitamin, khususnya vitamin E, yang hilang dari makanan selama aksinya sebagai antioksidan.

  Aroma tak sedap yang berkembang selama oksidasi lipida secara umum merupakan peringatan bahwa makanan tersebut tidak lagi dapat dimakan, meskipun hal ini tidak berlaku untuk suplemen lemak tak jenuh ganda yang diambil dalam bentuk kapsul. Ada beberapa kekhawatiran bahwa asupan berlebihan hidroperoksida lipida dapat menyebabkan efek merugikan kesehatan. Secara teori, jika hidroperoksida diserap konsumen yang merupakan potensial sumber radikal maka akan dapat menyebabkan kerusakan secara in vivo. Radikal bebas yang dihasilkan oleh dekomposisi hidroperoksida dapat menyebabkan kerusakan protein, enzim, atau DNA dan juga dapat menghasilkan karsinogen.

  Hidroperoksida bisa terbentuk oleh autoksidasi, tetapi jalur alternatif adalah dengan tindakan dari enzim lipokgenase pada asam lemak tak jenuh ganda. Lipokgenase terjadi pada berbagai tanaman termasuk kedelai, jagung, kentang, tomat, mentimun, benih gandum dan biji barley. Ini adalah sangat penting dalam pengembangan rasa dan sayuran, tetapi pada menyebabkan hidroperoksida yang kemudian terurai untuk membentuk aroma tak sedap dalam minyak.

  Hidroperoksida juga bisa terbentuk oleh foto-oksidasi jika cahaya bekerja pada lemak dengan kehadiran sebuah sensitizer. Namun, dekomposisi hidroperoksida adalah reaksi energi rendah untuk inisiasi autooksidasi, dan dekomposisi dari aroma tak sedap yang terbentuk biasanya merupakan karakteristik produk autooksidasi (Pokorny, 2001).

2.6.2. Mekanisme Autoksidasi

  Sebagai reaksi radikal bebas, autoksidasi berlangsung dalam tiga langkah yang berbeda, (Gambar 2.4)

  • Inisiasi X• RH R•

  XH

  • Propagasi R• O

2 ROO•

  ROO• + R-H ROOH + R’• Terminasi ROO• + ROO• ROOR + O

  2 ROO• + R• ROOR

  • R• R• RR
  • Inisiasi Sekunder ROOH RO• •OH
  • 2ROOH RO• ROO• + H

  2 Inisiasi pengkatalisis logam

  n+ (n+1)+ -

  M

  • ROOH RO• OH M +

  (N+1)+

  • M ROOH ROO• + H M

Gambar 2.4. Mekanisme Autoksidasi Lipida Langkah pertama adalah inisiasi dimana radikal lipida terbentuk dari lipida molekul.

  Abstraksi atom hidrogen oleh spesies reaktif seperti radikal hidroksil dapat menyebabkan inisiasi oksidasi lipida. Namun, dalam mnyak sering kali ada jejak hidroperoksida, yang mungkin telah dibentuk oleh aksi lipoksigenase sebelum dan selama ekstraksi minyak. Inisiasi sekunder dengan pemecahan homolitik dari hidroperoksida berlangsung pada energi reaksi yang relatif rendah dan biasanya reaksi inisiasi utama terdapat dalam minyak yang dimakan. Reaksi ini biasanya dikatalisis oleh ion logam.

  Setelah inisiasi, reaksi propagasi terjadi dimana satu lipid radikal diubah menjadi berbeda lipida radikal. Reaksi ini umumnya melibatkan abstraksi atom hidrogen dari molekul lipida atau penambahan oksigen ke suatu alkil radikal. Entalpi reaksi tersebut relatif rendah dibandingkan dengan reaksi inisiasi, sehingga reaksi propagasi terjadi dengan cepat dibandingkan dengan reaksi inisiasi.

  Pada tekanan atmosfer, reaksi radikal alkil dengan oksigen sangat cepat, sehingga konsentrasi radikal peroksi lebih tinggi dari radikal alkil. Abstraksi hidrogen terjadi secara istimewa pada atom karbon yang energi disosiasinya rendah. Karena energi disosiasi ikatan C-H dikurangi dengan tetangga fungsi alkena, maka abstraksi hidrogen terjadi paling cepat pada kelompok metilen antara dua kelompok alkena dalam asam lemak tak jenuh ganda (PUFA).

  Para radikal yang terbentuk awalnya dari sebuah PUFA yang terdelokalisasi di lima atom karbon dari bagian 1,4-pentadienil, dan reaksi dengan oksigen terjadi secara istimewa dengan penambahan pada satu dari karbon akhir struktur ini. Ini mengarah pada pembentukkan 9 – dan 13-hidroperoksida dari asam linoleat seperti ditunjukkan pada (Gambar 2.5). CH

  3 CH

  2 CH

  2 CH

  2 CH

  2 CH=CH-CH 2 -CH=CH(CH 2 )

  7 COOH ●

  ROO Asam Linoleat

  ●

  CH

  3 CH

  2 CH

  2 CH

  2 CH

  2 CH=CH-CH -CH=CH(CH 2 )

  7 COOH

  Radikal linoleil

  ●

  CH

  3 CH

  2 CH

  2 CH

  2 CH

  2 CH -CH=CH-CH=CH(CH 2 )

  7 COOH

  O

  2 CH

  3 CH

  2 CH

  2 CH

  2 CH

  2 CH-CH=CH-CH=CH(CH

2 )

  7 COOH ●

  OO Radikal peroksil RH

  CH CH CH CH CH CH-CH=CH-CH=CH(CH ) COOH

  3

  2

  2

  2

  2

  

2

  7 OOH 13-hidroperoksida

Gambar 2.5. Pembentukkan 13-hidroperoksida dari asam Linoleat (Senyawa 9- hidroperoksida merupakan produk utama yang terbentuk melalui jalur seperti diatas)

  (Ketaren, 1985).

2.7. Antioksidan

  Antioksidan dalam makanan dapat didefinisikan sebagai zat yang mampu menunda, memperlambat atau mencegah pengembangan ketengikan dan rasa dalam makanan atau kerusakan lainnya akibat oksidasi. Antioksidan menunda pengembangan aroma tak sedap dengan memperpanjang masa induksi. Penambahan antioksidan setelah akhir priode ini cenderung tidak efektif dalam memperlambat pengembangan ketengikan (Pokorny, 2001).

  Sejak perang dunia telah dikenal kurang lebih sebanyak 500 macam persenyawaan kimia yang mempunyai aktivitas antioksidan dapat menghambat atau mencegah kerusakan lemak atau bahan pangan berlemak akibat proses oksidasi. Pertama kali bahan kimia tersebut ditambahkan untuk menghambat kerusakan oleh oksidasi pada karet, gasoline, plastik atau bahan non pangan lainnya, dan belum digunakan dalam bahan pangan karena pada saat itu belum diketahui seberapa jauh pengaruh racun yang mungkin dapat ditimbulkan. Pada saat sekarang, antioksidan tersebut telah banyak digunakan atau ditambahkan kedalam lemak atau bahan pangan berlemak.

  Berdasarkan penelitian Food Laboratoris of Eastman Chemical Product Inc , telah asam sitrat dan asam posfat terhadap aktivitas antioksidan pada kondisi tertentu. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh 4 macam mekanisme reaksi yaitu: 1) pelepasan hidrogen dan antioksidan, 2) pelepasan elektron dari antioksidan, 3) adisi lemak kedalam cincin aromatik pada antioksidan, dan 4) pembentukkan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan.

  Bahan kimia yang dapat mempercepat oksidasi atau sebagai pengoksidasi adalah salah satunya peroksida. Hasil oksidasi berpengaruh dan dapat mempersingkat periode induktif lemak segar, dan dapat merusak zat inhibitor. Konstituen yang aktif dari hasil oksidasi lemak, berupa peroksida lemak atau penambahan peroksida selain yang dihasilkan pada proses oksidasi lemak, misalnya hidrogen peroksida dan asam perasid dapat mempercepat proses oksidasi (Ketaren, 1985). Berkaitan dengan fungsinya, senyawa antioksidan diklasifikasikan dalam tiga tipe antioksidan, yaitu:

  1. Primary Antioksidan (Antioksidan utama/ Antioksidan Primer) Termasuk:

  • SOD (Superoxide Dismutase)
  • GPX (Glutathion Perokxide)
  • Metalbinding protein seperti Ferrtin atau Ceruloplasmin Antioksidan primer ini bekerja untuk mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal bebas ini sempat bereaksi. Contoh antioksidan ini adalah enzim SOD yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses peradangan karena radikal bebas.

  2. Secondary Antioksidan (Antioksidan Kedua/ Antioksidan Sekunder) Antioksidan ini berfungsi menangkap senyawa serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Contoh: antioksidan sekunder: vitamin E, vitamin C, betakaroten, asam urat, bilirubin dan albumin.

  3. Tertiary Antioksidan (Antioksidan Ketiga/ Antioksidan Tersier) Antioksidan jenis ini memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan radikal bebas. Contoh enzim yang memperbaiki DNA pada inti sel adalah mentionin sulfoksidan

  

reduktase . Adanya enzim-enzim perbaikan DNA ini berguna untuk mencegah penyakit

misalnya kanker (Kosasih, 2004).

  Spesi oksigen reaktif seperti hidrogen peroksida (H O ), anion radikal superoksida

  2

  2

  (O

  2

  ●) dan radikal hidroksil (OH●) dapat terbentuk oleh karena adanya cahaya, logam, panas, radiasi ionisasi, beberapa reaksi kimia, proses metabolis dan penuaan. Spesi yang reaktif ini berperan dalam perubahan sitotoksitas dan metabolik tubuh seperti penyimpanan kromosom, oksidasi lipida protein, perubahan pada morfologi jaringan otak pada hewan dan manusia, serta juga terlibat dalam perkembangan beberapa penyakit seperti kanker, jantung koroner, diabetes dan lain sebagainya (Moskovitz, et al., 2002).

  Minyak atsiri telah dikenal luas penggunaannya sebagai bahan pengawet pada industri makanan dan dapat diterima konsumen karena berasal dari alam. Namun demikian, aplikasi minyak atsiri masih terbatas mengingat pertimbangan flavour yang dibawanya dan efektifitasnya yang tidak terlalu tinggi oleh karena interaksinya dengan komponen-komponen yang terdapat dalam makanan (Skandamis et al., 2001).

  Beberapa tumbuh-tumbuhan terutama yang biasa digunakan sebagai bumbu masakan merupakan sumber senyawa fenolik dan telah dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan yang sangat baik. Salah satu tumbuhan bumbu yang memiliki sifat antioksidan yang baik adalah jahe (Zingiber officinalis), beberapa peniliti telah melakukan penelitian inkorporasi minyak atsiri yang bersifat antioksidan kedalam edible packaging sama dengan permasalahan penambahan antimikroba. Pelepasan bahan aktif dan pengaruh penambahannya terhadap sifat mekanis, daya penghambatan, dan sifat optis edible packaging memperbaiki sifat permeabilitas uap air filmnya oleh karena fraksi yang mengandung gugus hidrofobik semakin meningkat (Sanchez-Gonzalez et al., 2011).

  2.7.1. Pengaruh Antioksidan terhadap Oksidasi

  Antioksidan dapat menghambat atau memperlambat oksidasi dalam dua cara: baik dengan peredaman radikal bebas, dalam hal ini senyawa tersebut digambarkan sebagai antioksidan dalam hal ini senyawa tersebut adalah antioksidan sekunder. Antioksidan primer termasuk senyawa fenolik. Komponen ini diasumsikan selama periode induksi. Antioksidan sekunder beroperasi dengan berbagai mekanisme termasuk mengikat ion logam, peredaman oksigen, mengubah hidroperoksida untuk spesi non-radikal menyerap radiasi UV atau menonaktifkan oksigen singlet (Pokorny, 2001).

  2.7.2. Pengukuran Aktivitas Antioksidan dengan DPPH Radikal Bebas

  Peredaman radikal merupakan suatu mekanisme utama dari antioksidan yang berperan dalam makanan. Beberapa metode yang telah dikembangkan dalam perhitungan nilai aktivitas antioksidan oleh peredaman radikal sintetis dalam pelarut organik polar, pada suhu kamar. Yang dipergunakan yakni radikal 2,2 diphenyl-1-picrylhydrazyl/ DPPH dan 2,2’-azino-bis (3-ethylbenzothiazoline-6-sulphonic acid)/ ABTS.

  Dalam pengujian DPPH, peredaman radikal-radikal DPPH diikuti dengan memantau penurunan absorbansi yang disebabkan karena reduksi oleh antioksidan (AH) atau reaksi dengan spesi radikal (R ●).

  • DPPH• + AH DPPH-H A• DPPH•+ R• DPPH-R Reaksi cepat terjadi pada radikal DPPH dengan beberapa senyawa fenolik, tetapi reaksi selanjutnya lambat yang disebabkan terjadinya penurunan absorbansi. Oleh karena itu, keadaan dasar tidak akan tercapai untuk beberapa jam. Kebanyakan dokumentasi untuk penggunaan metode DPPH adalah peredaman 15 atau 30 menit waktu reaksi. Hasil yang dituliskan berupa IC

  50 , yang merupakan suatu konsentrasi sampel antioksidan yang diuji

  mampu melakukan peredaman 50% terhadap radikal DPPH dalam jangka waktu tertentu (Pokorny, 2001).

  Senyawa polisakarida yang telah diuji antioksidannya oleh peneliti sebelumnya yaitu galaktomanan dari biji aren kolang-kaling (Arenga pinnata) melalui peredaman radikal bebas dengan nilai IC 50 adalah 22,109 mg/mL (Tarigan, 2012).

2.8. Ekstraksi Lipida

  Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi ini bermacam-macam, yaitu

  

rendering (dry rendering dan wet rendering), mechanical expression dan solvent extraction

(Ketaren, 1985).

  Lipida dalam hal sifat terkait dengan molekul lain melaui: (a) interaksi Van der Waals Contoh : interaksi beberapa lipida dengan protein (b) ikatan elektrostatis dan hiderogen Terutama antara lipida dengan protein (c) ikatan kovalen antara lipida, karbohidrat dengan protein

  Karena itu, untuk memisahkan dan mengisolasi lipida dari matriks seluler yang kompleks, penanganan secara kimia dan fisis yang berbeda harus diberikan. Ketidaklarutan dalam air secara umum digunakan untuk pemisahan lipida dari komponen lainnya. Ekstraksi lengkap mungkin memerlukan waktu ekstraksi yang lama atau seri atau kombinasi pelarut sehingga lipida dapat dilarutkan dari matriks. Perosedur dalam ekstraksi lipida dari jaringan hewan atau tumbuhan biasanya meliputi beberapa langkah : (a) penyediaan sampel, yang meliputi: pengerinagan , pengecilan ukuran atau hidrolisis (b) homogenisasi jaringan dengan adanya pelarut (c) pemisahan cairan (organik dan larutan) dan fase padat (d) penghilangan kontaminasi non-lipida (e) penghilangan pelarut dengan pengeringan dari ekstrak

  Untuk mencegah atau memperlambat kerusakan oksidatif pada makanan, antioksidan banyak digunakan sebagai aditif dalam lemak dan minyak, dan dalam pengolahan makanan (Akoh, 2002).

Dokumen yang terkait

Pengaruh Salinitas Terhadap Aktivitas Enzim Lipase Dari Bacillus cereus DA 5.2.3 Dalam Degradasi Pakan Udang

0 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Enzim Lipase - Pengaruh Salinitas Terhadap Aktivitas Enzim Lipase Dari Bacillus cereus DA 5.2.3 Dalam Degradasi Pakan Udang

0 0 5

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa

0 0 42

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi Bagi Pelaku Khalwat Dalam Persepektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Atudi di Kota Langsa)

0 0 13

BAB II PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA MENGENAI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengaturan Hukum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putus

0 0 13

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Su

0 0 34

BAB III METODOLOGI 3.1 Umum - Desain Dan Pengecoran Runner Propeller Berbahan Kuningan (60% Cu / 40% Zn) Untuk Turbin Air Berdaya 118 W Dan Debit 12 L/S Dengan Cetakan Pasir

0 0 58

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Desain Dan Pengecoran Runner Propeller Berbahan Kuningan (60% Cu / 40% Zn) Untuk Turbin Air Berdaya 118 W Dan Debit 12 L/S Dengan Cetakan Pasir

0 0 50

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PIHAK TERTANGGUNG DAN ASURANSI - Perlindungan Pihak Tertanggung Dalam Asuransi Terhadap Tuntutan Ganti Kerugian dari Pihak Ketiga (Studi pada PT Asuransi Intra Asia)

0 1 36

BAB I PENDAHULUAN - Perlindungan Pihak Tertanggung Dalam Asuransi Terhadap Tuntutan Ganti Kerugian dari Pihak Ketiga (Studi pada PT Asuransi Intra Asia)

0 1 10