BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Potensi Resiko Banjir Pada DAS Yang Mencakup Kota Medan Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.1.1 Pengertian DAS

  Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam istilah asing disebut catchment area,

  

drainage area , drainage basin, river basin, atau watershed (Notohadiprawiro, 1981;

  Cech, 2005). Pengertian yang berkembang di Indonesia, terdapat tiga terminologi sesuai dengan luas dan cakupannya yaitu: Catchment, Watershed dan Basin. Tidak ada batasan baku, tetapi selama ini dipahami bahwa catchment lebih kecil dari watershed, dan basin adalah DAS besar (Priyono dan Savitri, 2001). Definisi lain menyatakan Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang menerima, menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkan ke laut atau danau melalui satu sungai utama. Dengan demikian suatu DAS akan dipisahkan dari wilayah DAS lain di sekitarnya oleh batas alam (topografi) berupa punggung bukit atau gunung. Dengan demikian seluruh wilayah daratan habis berbagi ke dalam uni-unit Daerah Aliran Sungai (DAS) (Asdak, 1995).

  DAS biasanya dibagi menjadi tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir. Fungsi suatu DAS merupakan suatu respon gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor alamiah dan buatan manusia dan yang ada pada DAS tersebut. Sebuah DAS yang besar dapat dibagi menjadi Sub DAS-Sub DAS yang lebih kecil ditampilkan pada

Gambar 2.1. Unit spasial yang lebih kecil dapat dibentuk pada SubDAS untuk melakukan analisa spasial yang lebih akurat berdasarkan jenis tanah dan penggunaan

  lahannya.

  Faktor utama kerusakan DAS ditandai dengan menurunnya kemampuan menyimpannya yang menyebabkan tingginya laju erosi dan debit banjir sungai- sungainya. Faktor utama penyebab adalah 1)hilang/rusaknya penutupan vegetasi permanen/hutan, 2)penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, dan 3)penerapan teknologi pengelolaan lahan/pengelolaan DAS yang tidak tepat (Sinukaban, 2007).

Gambar 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.1.2 Pengertian Sungai Dalam siklus hidrologi, aliran sungai digolongkan sebagai aliran permukaan.

  Air sungai bisa berasal dari air hujan (terutama di daerah tropis) dan bisa pula berasal dari es yang mencair di gunung atau pegunungan (terutama di daerah empat musim).

  Oleh karena itu, debit air sungai bisa sangat dipengaruhi oleh musim. Bagi kita di Indonesia yang berada di daerah tropis, debit air sungai akan tinggi bila musim hujan dan rendah di musim kemarau. Sementara itu, di daerah empat musim, debit aliran sungai meningkat ketika musim dingin berakhir karena salju mencair. Menurut Sandy (1985), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu juga mengikis bumi sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran kecil atau besar yang disebut dengan istilah alur sungai.

  Sebagian besar air hujan yang turun ke permukaan tanah mengalir ke tempat- tempat yang lebih rendah. Setelah mengalami bermacam macam perlawanan akibat gaya berat, air hujan akhirnya melimpah ke danau atau ke laut. Suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan disebut alur sungai. Dan perpaduan antara alur sungai dan aliran air didalamnya disebut sungai. Suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, di mana air akan mengalir melalui sungai dan anak sungai disebut daerah aliran sungai (DAS). Dalam istilah bahasa inggris disebut Catchment Area, Watershed, atau River Basin.

  Menurut Waryono (2001) bahwa struktur sungai pada hakekatnya merupakan bentuk luar penampang badan sungai yang memiliki karakteristik berbeda pada bagian hulu, tengah, dan hilir. Lebih jauh dikemukakan bahwa bagian dari struktur sungai meliputi badan sungai, tanggul sungai dan bantaran sungai. Forman (1986) menggambarkan struktur koridor sungai secara rinci ditampilkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur Koridor Sungai

  Keterangan: A: Penyangga tepian sungai.

  D: Batas tinggi air semu.

  B: Dataran banjir.

  E: Dasar sungai.

  C: Badan sungai.

  F: Vegetasi riparian. Fungsi pokok sungai adalah untuk mengalirkan kelebihan air dari permukaan tanah, sedangkan fungsi lainnya adalah dapat digunakan untuk kesejahteraan manusia, seperti sumber air minum, PLTA, pengairan, transportasi air, untuk meninggikan tanah yang rendah dan mengatur suhu tanah. Menurut peraturan perundangan yang ada, fungsi sungai adalah: a.

  Sungai sebagai sumber air yang merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai fungsi serba guna bagi kehidupan manusia.

  b.

  Sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan pemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.

2.1.3 Bentuk bentuk Daerah Aliran Sungai

   Bentuk bentuk DAS dapat dibagi dalam empat, antara lain: a. Bentuk memanjang/ bulu burung.

  b. Bentuk radial.

  c. Bentuk parallel.

  d. Bentuk komplek.

  a. Bentuk memanjang/ bulu burung Bentuk DAS ini biasanya akan memanjang dengan anak-anak sungainya langsung mengalir ke induk sungai yang berbentuk seperti bulu burung.

  Bentuk ini akan menyebabkan besar aliran banjir relatif lebih kecil karena perjalanan banjir dari anak sungai itu berbeda beda dan banjir berlangsung agak lama. Bentuk dari DAS ini ditampilkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 DAS bentuk memanjang

  b. Bentuk radial Bentuk DAS ini seolah olah memusat pada satu titik sehingga menggambarkan adanya bentuk radial, kadang-kadang gambaran tersebut memberi bentuk kipas atau lingkaran. Sebagai akibat dari bentuk tersebut maka waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru anak sungai memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Sebagai contoh DAS Bengawan Solo ditampilkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 DAS bentuk radial

  c. Bentuk paralel DAS ini dibentuk oleh dua jalur DAS yang bersatu dibagian hilir. Dan apabila terjadi banjir di daerah hilir biasanya terjadi setelah di bawah titik pertemuan. Sebagai contoh adalah banjir di Batang Hari di bawah pertemuan Batang Tembesi ditampilkan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 DAS bentuk paralel

  d. Bentuk komplek DAS bentuk komplek merupakan bentuk kejadian gabungan dari beberapa bentuk DAS yang dijelaskan di atas, sebagai contoh ditampilkan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 DAS bentuk komplek

2.2 Potensi Banjir

2.2.1 Pengertian Banjir

  Dalam ilmu geografi istilah “banjir” tidak dapat di definisikan dengan memuaskan. Salah satu pengertian tentang banjir yang mendefinisikan bahwa peristiwa meluapnya air sungai melampaui tanggulnya sehingga menggenangi daratan disampingnya (Strahler, 1975). Pengertian ini tidak mempersalahkan apakah banjir adalah suatu bencana atau bukan. Pengertian ini memandang “banjir” sebagai suatu istilah yang bermakna sosial-budaya, karena suatu tempat dikatakan dilanda banjir jika tempat itu adalah daerah budi daya manusia yang tidak semestinya dilanda banjir, jika tempat itu adalah suatu hutan atau suatu permukiman yang terdiri atas rumah-rumah panggung yang dibuat untuk menghindari naiknya permukaan setiap musim, maka itu tidak dikatakan banjir oleh mereka. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa istilah banjir itu tidak dipakai secara konsisten. Terkadang disamakan dengan “genangan”. padahal tidak semua genangan disebabkan oleh meluapnya sungai, misalnya genangan di ruas jalan yang cekung. Namun yang jelas kata

  “banjir” akan memunculkan kesan ”genangan” dipikiran kita.

   Banjir adalah setiap aliran yang relatif tinggi yang melampaui tanggul sungai

  sehingga aliran air menyebar ke dataran sungai dan menimbulkan masalah pada manusia (Chow, 1970). Definisi di atas menjelaskan bahwa banjir terjadi apabila kapasitas alir sungai telah terlampaui dan air telah menyebar ke dataran banjir, bahkan lebih jauh yang mengakibatkan terjadinya genangan. Genangan air tidak dikatakan banjir apabila tidak menimbulkan masalah bagi manusia yang tinggal pada daerah genangan tersebut. Menurut Hasibuan (2004), banjir adalah jumlah debit air yang melebihi kapasitas pengaliran air tertentu, ataupun meluapnya aliran air pada palung sungai atau saluran sehingga air melimpah dari kiri kanan tanggul sungai atau saluran.

  Dalam kepentingan yang lebih teknis, banjir dapat disebut sebagai genangan air yang terjadi di suatu lokasi yang diakibatkan oleh:

  1. Perubahan tata guna lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS).

  2. Pembuangan sampah.

  3. Erosi dan sedimentasi.

  4. Kawasan kumuh sepanjang jalur drainase.

  5. Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat.

  6. Curah hujan yang tinggi.

  7. Pengaruh fisiografi/geofisik sungai.

  8. Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai.

  9. Pengaruh air pasang.

  10. Penurunan tanah dan rob (genangan akibat pasang surut air laut).

  11. Drainase lahan.

  12. Bendung dan bangunan air.

  13. Kerusakan bangunan pengendali banjir (Kodoatie, 2005).

2.2.2 Daerah Rawan Banjir

  Untuk mereduksi kerugian akibat banjir, maka lebih dulu harus diketahui secara pasti daerah rawan banjir. Daerah rawan banjir dapat dikenali berdasarkan karakter wilayah banjir yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. limpasan dari tepi sungai.

  2. wilayah cekungan. 3. banjir akibat pasang surut. Menurut Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang garis sempadan sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas sungai, daerah penguasaan sungai adalah dataran banjir, daerah retensi, bantaran atau daerah sempadan ditampilkan pada Gambar 2.7. Elevasi dan debit banjir daerah rawan banjir sekurang- kurangnya ditentukan berdasarkan analisis perioda ulang 50 tahunan.

  Tingkat resiko di daerah rawan banjir bervariasi tergantung ketinggian permukaan tanah setempat. Dengan menggunakan peta kontur ketinggian permukaan tanah serta melalui analisis hidrologi dan hidrolika dapat ditentukan pembagian dataran banjir menurut tingkat resiko terhadap banjir. Pembagian daerah rawan banjir digunakan sebagai bahan acuan penataan ruang wilayah perkotaan sehingga diketahui resiko banjir yang akan terjadi. Dengan mengikuti pemetaan daerah rawan banjir yang telah diperbaiki maka resiko terjadi bencana/kerusakan/kerugian akibat genangan banjir yang diderita oleh masyarakat menjadi minimal.

  Gambar 2.7: Daerah Penguasaan Sungai

Gambar 2.7 Daerah Penguasaan Sungai

2.2.3 Tingkat Bahaya Banjir

  Banjir terjadi sepanjang sistem sungai dan anak-anak sungainya yang mampu membanjiri wilayah luas dan mendorong peluapan air di dataran banjirnya (flood plain).

  Dataran banjir merupakan daerah rawan banjir yang dapat diklasifikasi berdasarkan kala ulang banjirnya. Dataran banjir di sekitar bantaran sungai yang masuk dalam daerah genangan pada debit banjir tahunan Q 100 merupakan daerah rawan banjir yang sangat tinggi dijelaskan pada Tabel 2.1 menjelaskan klasifikasi ini yang akan diadopsi dalam studi ini.

Tabel 2.1 Tingkat Bahaya Banjir menurut Periode Kala Ulang

  Kelas Kala Ulang Daerah Rawan Banjir

  Debit Banjir

  1 Q

  50 100 Sangat Tinggi

  • – Q

  2 Q

  30

  50 Tinggi

  • – Q

  3 Q

  10

  30 Sedang

  • – Q

  4 Q Rendah

  1 – Q

  10

2.2.4 Potensi Banjir Sungai Deli

   Sungai Deli membelah Kota Medan dari arah selatan ke utara dengan total

  2

  2

watershed 358 km . Dari total luas watershed tersebut, sekitar 200 km atau 56%

  diantaranya telah dan sedang berubah menjadi wilayah terbangun/perkotaan. Wilayah

  2

  tersebut terdiri dari catchment area sungai Deli bagian downstream (17 km ), Sungai

  2

  

2

  sikambing (40 km ), Sungai Babura (99 km ), dan sisi kiri kanan Sungai Deli hingga ke

  2

  2 Deli Tua/Namorambe (44 km ). Catchment area selebihnya (158 km ) yakni terhitung

  dari Delitua/Namorambe hingga Sembahe/Sibolangit/Gunung Sibayak merupakan lahan pertanian, kebun campuran dan hutan tanaman industri dan hutan alam.

  Kemiringan dasar Sungai Deli rata-rata ialah 0.00611 dan pada daerah yang landai atau mild slope ialah 0.0008. Berdasarkan pengamatan kejadian-kejadian banjir di Kota Medan maka ancaman banjir paling ekstrem ialah apabila banjir Sungai Deli dan Babura (river flood) terjadi bersamaan dengan hujan di atas Kota Medan (urban storm water ).

  Sesuai dengan kondisi topografi Kota Medan maka sistem saluran drainase Kota Medan jarang yang bermuara ke Sungai Belawan sehingga banjir Sungai Belawan tidak terlalu banyak mempengaruhi sistem drainase Kota Medan. Demikian juga banjir Sungai Percut sudah tidak menjadi ancaman karena telah selesai dinormalisasi hingga ke muara yakni untuk debit banjir periode ulang 30 tahun, termasuk menampung pengalihan debit Sungai Deli melalui Floodway. Drainase primer Sungai Sikambing juga sudah selesai dinormalisasi ialah pada bagian downstream yakni JL. Kejaksaan hingga muara Belawan yakni untuk debit banjir periode ulang 20 tahun. Sementara itu, penampang Sungai Deli antara titi kuning (Floodway) dan JL. Kejaksaan masih rawan banjir karena belum dinormalisasi. Kapasitas penampang Sungai Deli pada bagian ini masih rendah yakni hanya mampu menampung debit banjir periode ulang 2 tahun yaitu

  3

  sebesar 160 m /det (Ginting, 2012). Perkiraan debit banjir Sungai Deli pada beberapa ruas (section) untuk berbagai periode ulang menurut hasil analisis yang dilaporkan pada study JICA (1992) ditampilkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Perkiraan Debit Banjir untuk berbagai Periode Ulang

  (Sumber: JICA, 1992)

Tabel 2.2 Perkiraan Debit Banjir untuk Periode Ulang Sungai Deli

  Periode Ulang (Tahun) Debit Banjir

  10 Tahun

  20 Tahun

  30 Tahun

  3

  3

  3

  (m /det) (m /det) (m /det) Q

  1 460 530 570

  Q 420 490 520

  2 Q 3 260 300 320 Sumber JICA 1992

  Dari hasil analisis tersebut pada Gambar 2.8 di atas dapat dilihat bahwa debit banjir Sungai Deli pada bagian yang belum dinormalisasi yakni antara JL. Kejaksaan

  3

  dan titi kuning untuk periode 10 tahun adalah sebesar Q

  3 = 260 m /det. Jika debit banjir

  3

  periode ulang 10 tahun yakni Q

  3 = 260 m /det dibandingkan dengan kapasitas

  3

  penampang pada bagian ini yakni 160 m /det, maka pada kejadian banjir periode ulang 10 tahun akan terjadi potensi banjir yang mengancam permukiman penduduk sebesar

  3 100 m /det.

2.2.5 Potensi Banjir Sungai Babura

  Selanjutnya, Sungai Babura yang merupakan anak Sungai Deli adalah sungai yang sangat potensil sebagai ancaman banjir Kota Medan karena disamping watershed sungai ini seluruhnya berada pada wilayah penyangga perkembangan Kota Medan, pembangunan pemukiman sangat pesat di wilayah ini dan penampang sungai ini belum pernah dinormalisasi. Kemiringan dasar sungai rata-rata ialah 0.00236 dan pada daerah landai atau mild slope ialah 0.00187. Menurut hasil studi dan analisis JICA dan MMUDP, kapasitas penampang Sungai Babura yang ada pada saat ini (natural) hanya

  3

  mampu menampung debit banjir periode ulang 1 tahun yakni sebesar 69 m /det. Dari hasil analisis yang tertera pada gambar 2.8 dapat diketahui bahwa debit Sungai Babura yang masuk ke Sungai Deli dijelaskan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Perkiraan Debit Banjir untuk Periode Ulang Sungai Babura

  Periode Ulang (Tahun) Debit Banjir 10 Tahun

  20 Tahun

  30 Tahun

  50 Tahun 100 Tahun

  3

  3

  3

  3

  3

  (m /det) (m /det) (m /det) (m /det) (m /det) Q babura 160 190 200 230 260

   Sumber JICA 1992

  Jadi bila dibandingkan dengan kapasitas penampang Sungai Babura yakni 69

  3

  m /det, maka potensi banjir Sungai Babura yang mengancam permukiman penduduk

  3 untuk periode ulang 10 tahun ialah sebesar 91 m /det.

2.3 Curah Hujan

2.3.1 Faktor Curah Hujan

  

Faktor curah hujan yang tinggi merupakan salah satu faktor utama penyebab

  banjir. Wilayah Indonesia yang merupakan benua maritim di daerah tropis mempunyai curah hujan yang sangat tinggi. Dengan didominasi oleh adanya awan-awan konvektif dan orografik yang sangat tinggi. Dengan didominasi oleh adanya awan-awan konvektif dan orografik maka intensitas curah hujan yang terjadi sangat besar. Curah hujan yang tinggi, lereng yang curam di daerah hulu disertai dengan perubahan ekosistem dari tanaman tahunan atau tanaman keras berakar dalam ke tanaman semusim berakar dangkal mengakibatkan berkurangnya air yang disimpan dalam tanah, memperbesar aliran permukaan serta menyebabkan terjadinya tanah longsor. Curah hujan yang tinggi dalam kurun waktu yang singkat dan tidak dapat diserap tanah akan dilepas sebagai aliran permukaan yang akhirnya menimbulkan banjir.

2.3.2 Analisa Curah Hujan Kawasan

  a. Metode Aritmatik (Aljabar) Metode ini merupakan perhitungan curah hujan wilayah dengan rata-rata aljabar curah hujan di dalam dan sekitar wilayah yang bersangkutan.

  (2.1) di mana: R = Curah hujan rata-rata wilayah atau daerah.

  R i = Curah hujan di stasiun pengamatan ke-i.

  .

  n = Jumlah stasiun pengamatan Hasil perhitungan yang diperoleh dengan cara aritmatik ini hampir sama dengan cara lain apabila jumlah stasiun pengamatan cukup banyak dan tersebar merata di seluruh wilayah seperti ditunjukkan pada Gambar 2.9. Keuntungan perhitungan dengan cara ini adalah lebih objektif.

Gambar 2.9 Aljabar

b. Metode Thiessen

  Jika titik-titik di daerah pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata, maka cara perhitungan curah hujan dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan ditampilkan pada Gambar 2.10.

   (2.2) di mana: R = Curah hujan daerah.

  R n = Curah hujan di setiap stasiun pengamatan. A = Luas daerah yang mewakili tiap stasiun pengamatan. n

Gambar 2.10 Polygon Thiessen

  c. Metode Isohyet Peta isohyet digambar pada peta topografi dengan perbedaan 10 mm

  • – 20 mm berdasarkan data curah hujan pada stasiun pengamatan di dalam dan di luar daerah yang dimaksud. Luas bagian antara dua garis isohyet yang berdekatan diukur dengan Planimeter ditampilkan pada Gambar 2.11. Curah hujan daerah itu dapat dihitung menurut persamaan:

  (2.3) Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan untuk membuat isohyet.

Gambar 2.11 Metode Isohyet

2.3.3 Analisa Frekuensi

  Analisis frekuensi adalah prosedur memperkirakan frekuensi suatu kejadian pada masa lalu atau masa yang akan datang. Prosedur tersebut dapat digunakan menentukan hujan rancangan dalam berbagai kala ulang berdasarkan distribusi yang paling sesuai antara distribusi hujan secara teoritik dengan distribusi hujan secara empirik. Hujan rancangan ini digunakan untuk menentukan intensitas hujan yang diperlukan dalam perhitungan debit banjir menggunakan metode rasional. Dalam penelitian ini dihitung hujan harian rancangan dengan kala ulang 2, 3, 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi metode yang dipakai dalam analisis frekuensi data curah hujan harian maksimum adalah sebagai berikut:

  1. Distribusi Gumbel.

  2. Distribusi Log Pearson Tipe III.

  3. Distribusi Normal.

  4. Distribusi Log Normal.

  1. Distribusi Gumbel Menurut Gumbel curah hujan untuk periode ulang tertentu (PUH) tertentu (Tr) dihitung berdasarkan persamaan berikut:

  − X = Tr

  (2.4)

  • + S

   Y = -L Tr n

  (2.5)

  − 1 2

  1

  2

  • – ( )

  =1 S n =

  (2.6)

  

−1

dimana: Y Tr = Reduced variate.

  S = Standar deviasi data hujan. S = Standar deviation tergantung pada jumlah sampel/data. n T = Fungsi waktu balik (tahun). r Y n = Reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data n.

  2. Distribusi Log Pearson Tipe II Metode ini telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tiga parameter penting dalam Metode Log Pearson Tipe III, yaitu: 1. Harga rata-rata (R).

  2. Simpangan baku (S).

  3. Koefisien kemencengan (G). yang digunakan periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang.

  K T = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau

  

3

=1 −1 ( −2) ( )

  (2.13) di mana: T = Perkiraan nilai yang diharapkan akan terjadi dengan periode ulang T – tahunan. = Nilai rata-rata hitung sampel.

   K T =

  (2.12)

  T S

   T =

  3. Distribusi Normal Distribusi normal disebut juga distribusi Gauss. Dalam pemakaian praktis umumnya digunakan persamaan sebagai berikut:

  G = Koefisien kemencengan. S = Simpangan baku. K = Variabel standar untuk R yang besarnya tergantung dari nilai G .

  (2.11) di mana: R = Curah hujan rencana (mm).

   Log T = Log

  (2.10)

  3

  )

   = Log R

   G = ( −

  (2.9)

  

2

  1

  2 =1 −1

  )

  S = ( −

  (2.8)

  =1

   Log =

  (2.7)

  • + KS
  • + K

2.3.4 Uji kecocokan (Goodness of fittest test)

  Urutkan data (X

   Logn x T

   x

  k n

  (2.14) di mana:

  T = Intensitas curah hujan dengan periode ulang T tahun.

   x = Harga rata rata dari populasi x.

  K = Faktor frekuensi.

   n = Standar deviasi dari populasi x.

  Penguji parameter untuk menguji kecocokan (the goodness of fittest test) distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Penelitian ini menggunakan Metode Smirnov-Kolmogorof (secara analitis). Pengujian probabilitas Metode Smirnov-Kolmograf dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut: 1.

  4. Metode Distribusi Log Normal

  i ) dari besar ke kecil atau sebaliknya.

2. Tentukan peluang empiris masing-masing data yang sudah diurut tersebut (X i ) dengan rumus tertentu, misalnya rumus weibull.

  • 1

  (2.15) dimana: n = Jumlah data

  i = Nomor urut data diurut dari besar ke kecil atau sebaliknya.

  3. Tentukan peluang teoritis masing-masing data yang sudah di urut tersebut

  P’(X i ) berdasarkan persamaan distribusi probablitas yang dipilih (Gumbel,

  Normal, dan sebagainya).

  4. Hitung selisih ( ∆P i ) antara peluang empiris dan teoritis data yang diurut.

  ( ) =

  ∆ = ( ) − ( ) (2.16)

  Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi, Lubis (1992). Dalam penelitian ini intensitas hujan diturunkan dari data curah hujan harian. Menurut Lubis (1992) intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) empirik menggunakan metode mononobe sebagai berikut:

  t = Lamanya curah hujan (jam). R

24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm).

  (2.17) di mana: I = Intensitas curah hujan (mm/jam).

  3

  2

  24 t

  24

  = 24

  N > 50

  5. Tentukan apakah ∆P

  5 0,45 0,51 0,56 0,67 10 0,32 0,37 0,41 0,49 15 0,27 0,30 0,34 0,40 20 0,23 0,26 0,29 0,36 25 0,21 0,24 0,27 0,32 30 0,19 0,22 0,24 0,29 35 0,18 0,20 0,23 0,27 40 0,17 0,19 0,21 0,25 45 0,16 0,18 0,20 0,24 50 0,15 0,17 0,19 0,23

  N (derajat kepercayaan) 0,20 0,10 0,05 0,01

  ∆ Kritis Smirnov-Kolmogrov (Kamiana, 2011)

Tabel 2.4 Tabel Nilai

  ∆P kritis dijelaskan pada Tabel 2.4.

  6.

  < ∆P kritis, jika “tidak” artinya Distribusi Probabilitas yang dipilih tidak dapat diterima, demikian sebaliknya.

  i

2.3.5 Intensitas Curah Hujan

2.3.6 Waktu Konsentrasi

  Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ketempat keluar DAS (Titik Kontrol) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi. Salah satu rumus untuk memperkirakan waktu konsentrasi (t

   t c = t + t d

  Nilai koefisien limpasan ataupun koefisien pengaliran sangat berpengaruh terhadap debit banjir. Limpasan air hujan yang langsung mengalir di atas permukaan suatu lahan dapat memberikan aliran yang cepat maupun lambat pada saat menuju suatu

  L s = Panjang lintasan aliran di dalam saluran/sungai (m).

  n = Angka kekasaran Manning.

  = 23 x 3,28 x L s x n (menit). t d = L s 60 V (menit).

  (2.19) di mana: t

  ) yakni waktu perjalanan dari pertama masuk sampai titik keluaran.

  c ) adalah rumus yang dikembangkan oleh Kirpich

  d

  2. Conduit time (t

  1. Inlet time (t ) yakni waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan sampai saluran terdekat.

  (2.18) di mana: L = Panjang saluran utama dari hulu sampai penguras dalam km. S = Kemiringan rata-rata saluran utama dalam m/m. Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakan menjadi dua komponen, yaitu:

  0.8

   Tc = 0.00025 (L/ √S)

  (1940), yang dapat ditulis sebagai berikut:

2.3.7 Koefisien Limpasan

  saluran drainase dan yang nantinya menuju ke saluran primer atau sungai, tergantung dari tata guna lahan di sekitar saluran tersebut. Nilai koefisien ini juga dapat digunakan untuk menentukan kondisi fisik dari suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang artinya memiliki kondisi fisik yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kodoatie dan Syarief (2005) yang menyatakan bahwa angka koefisien aliran permukaan itu merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisar antara 0

  • – 1, nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terinterepsi dan terinfiltrasi ke dalam tanah dan sebaliknya untuk C = 1 menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai aliran permukaan (run off). Perubahan tata guna lahan yang terjadi secara langsung mempengaruhi debit puncak yang terjadi pada suatu DAS.

Tabel 2.5 Nilai Koefisien Limpasan

  \ Sumber: SNI 03-2415 —1991

  Jenis Daerah Koefisien Limpasan Daerah Perdagangan Kota

  0.70-0.95 Sekitar Kota 0.50-0.70 Daerah Pemukiman Satu Rumah 0.30-0.50 Banyak Rumah, terpisah 0.40-0.50 Banyak Rumah, rapat 0.60-0.75 Pemukiman, pinggiran kota 0.25-0.40 Apartemen 0.50-0.70 Daerah Industry Ringan

  0.50-0.80 Padat

  0.60-0.90 Lapangan, kuburan dan sejenisnya 0.10-0.25 Halaman, jalan kereta api dan sejenisnya 0.20-0.35 Lahan tidak terpelihara 0.10-0.30

2.4 Debit Banjir

  2.4.1 Debit Banjir

  Daerah dataran banjir diprediksi berdasarkan debit banjir dengan kala ulang

  100

  tertentu. Debit banjir dengan kala ulang 100 tahun Q bermakna banjir yang memiliki probabilitas kejadian 0.01 dalam setahun yang akan menggenangi daerah dataran banjir.

  100

  10 Daerah dataran banjir Q tentu jauh lebih besar dari daerah dataran banjir Q .

  Mengingat banyak sungai di Indonesia yang tidak dilengkapi dengan alat pengukur debit, maka debit banjir biasanya dihitung berdasarkan curah hujan dengan menggunakan metode Gumbel, metode Log Pearson III, ataupun metode Normal. Dan perhitungan debit banjir digunakan dengan metode hidrograf sintetis (Nakayasu, Snyder, dll) untuk pemodelan unsteady flow dan metode rasional untuk steady flow.

  2.4.2 Metode Perhitungan Debit Banjir

2.4.2.1 Metode Rasional

  Besarnya debit rencana dihitung dengan memakai metode Rasional kalau daerah alirannya kurang dari 80 Ha. Untuk daerah yang alirannya lebih luas sampai dengan 5000 Ha, dapat digunakan metode rasional yang diubah. Untuk luas daerah yang lebih dari 5000 Ha, digunakan hidrograf satuan atau metode rasional yang diubah.

  Rumus metode rasional adalah sebagai berikut:

  Q = f x C x I x A (2.20) di mana: C = Koefisien pengaliran. I = Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam).

  2 A = Luas daerah aliran (km ).

  f = Faktor konversi = 0.278.

2.4.2.2 Metode Hidrograf Banjir

  Kebanyakan daerah aliran sungai sebagian besar curah hujan akan menjadi limpasan langsung. Aliran semacam ini dapat menghasilkan puncak banjir yang tinggi.

  Teori hidrograf satuan menghubungkan hujan netto atau hujan efektif, yaitu sebagian hujan total yang menyebabkan adanya limpasan permukaan, dengan hidrograf limpasan langsung sehingga merupakan sarana untuk menghitung hidrograf akibat hujan sembarang. Ini dikerjakan atas dasar anggapan bahwa transformasi hujan netto menjadi limpasan langsung tidak berubah karena waktu (time invariant). Dari sudut limpasan langsung semua hujan yang tidak memberikan sumbangan terhadap terjadinya banjir dipandang sebagai kehilangan. Kehilangan tersebut terdiri atas: a. Air hujan yang tersangkut didahan pohon dan tumbuhan (interception).

  b. Tampungan di cekungan (depression storage).

  c. Pengisian lengas tanah (replenisment of soil moisture).

  d. Pengisian air tanah (recharge).

  e. Evapotranspirasi.

  Jadi hidrograf tersebut didefinisikan sebagai hubungan antara salah satu unsur aliran terhadap waktu. Berdasarkan definisi tersebut dikenal ada 2 macam hidrograf, yaitu hidrograf muka air dan hidrograf debit. Hidrograf muka air tidak lain adalah data atau garafik hasil rekaman AWLR (Automatic Water Level Recorder). Sedangkan hidrograf debit, yang dalam pengertian sehari hari disebut hidrograf, diperoleh dari hidrograf muka air dan lengkung debit. Hidrograf tersusun atas dua komponen, yaitu aliran permukaan, yang berasal dari aliran langsung air hujan, dan aliran dasar (base

  

flow ). Aliran dasar berasal dari air tanah yang pada umumnya tidak memberikan respon

yang cepat terhadap hujan.

  1. Hidrograf Satuan Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan efektif yang terjadi merata diseluruh DAS dan dengan intensitas tetap selama satu satuan waktu yang ditetapkan, yang disebut hujan satuan. Hujan satuan adalah curah hujan yang lamanya sedimikian rupa sehingga lamanya limpasan permukaan tidak menjadi pendek, meskipun curah hujan itu menjadi pendek. Jadi hujan satuan yang dipilih adalah yang lamanya sama atau lebih pendek dari periode naik hidrograf (waktu dari titik permulaan aliran permukaan sampai puncak). Periode limpasan dari hujan satuan semuanya adalah kira kira sama dan tidak ada sangkut pautnya dengan intensitas hujan. Hidrograf satuan merupakan model sederhana yang menyatakan respon DAS terhadap hujan. Tujuan dari hidrograf satuan adalah untuk memperkirakan hubungan antara hujan efektif dan aliran permukaan. Konsep hidrograf saatuan pertama kali dikemukakan oleh Sherman pada tahun 1932. Dia menyatakan bahwa suatu sistem DAS mempunyai sifat khas yang menyatakan respon DAS terhadap suatu masukan tertentu yang berdasarkan 3 prinsip: a. Pada hujan efektif berintensitas seragam pada suatu daerah aliran tertentu, intensitas hujan yang berbeda tetapi memiliki durasi sama, akan menghasilkan limpasan dengan durasi sama, meskipun jumlahnya berbeda. Ini merupakan aturan empiris yang mendekati kebenaran. b. Pada hujan efektif berintensitas seragam pada suatu daerah aliran tertentu, intensitas hujan yang berbeda tetapi memiliki durasi sama, akan menghasilkan hidrograf limpasan, dimana ordinatnya pada sembarang waktu memiliki proposi yang sama dengan proposi intensitas hujan efektif.

  Dengan kata lain, ordinat hidrograf satuan sebanding dengan volume hujan efektif yang menimbulkannya. Hal ini berarti bahwa hujan sebanyak n kali lipat dalam satuan waktu tertentu akan menghasilkan suatu hidrograf dengan ordinat sebesar n kali lipat.

  c. Prinsip superposisi dipakai pada hidrograf yang dihasilkan oleh hujan efektif berintensitas seragam yang memiliki periode periode yang berdekatan atau tersendiri. Jadi, hidrograf yang merepresentasikan kombinasi beberapa kejadian aliran permukaan adalah jumlah dari ordinat hidrograf tunggal yang memberi kontribusi.

  Ketiga asumsi ini secara tidak langsung menyatakan bahwa tanggapan DAS terhadap hujan adalah linier, walaupun sebenarnya kurang tepat. Namun demikian, penggunaan hidrograf satuan telah banyak memberikan hasil yang memuaskan untuk berbagai kondisi. Sehingga, teori hidrograf satuan banyak dipakai dalam menentukan debit atau banjir rencana.

  2. Hidrograf satuan sintetik Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa untuk menurunkan hidrograf satuan diperlukan rekaman data limpasan dan data hujan, padahal sering kita jumpai ada beberapa DAS tidak memiliki sama sekali catatan limpasan. Dalam kasus ini, hidrograf satuan diturunkan berdasarkan data-data dari sungai pada DAS yang sama atau DAS terdekat yang mempunyai karakteristik yang sama. Karakteristik atau parameter daerah pengaliran tersebut terlebih dahulu perlu dicari waktu, lebar dasar, luas, kemiringan, panjang, koefisien limpasan dan lain sebagainya. Hasil dari penurunan hidrograf satuan ini dinamakan hidrograf satuan sintetik (HSS). Ada tiga jenis hidrograf satuan sintetis, yaitu:

  1. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu.

  2. Hidrograf Satuan Sintetik Snyder.

  3. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I.

  4. Hidrograf Satuan Sintetik SCS.

  Dalam penelitian ini hanya akan dibahas mengenai Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu. Hidrograf tersebut penulis rasa cocok dengan kedaan lokasi studi di DAS Deli dan DAS Belawan khususnya pada sungai utama dan anak sungainya di kedua DAS tersebut yaitu Sungai Deli, Sungai Babura, dan Sungai Belawan.

  3. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Stasiun pengukur debit dan tinggi muka air sungai (stasiun hidrometri) pada umumnya hanya dipasang di tempat tempat tertentu yang dipandang oleh pengelolanya mempunyai arti yang cukup penting. Hal tersebut disebabkan karena tidak mungkin memasang stasiun hidrometri disembarang tempat dan biaya pemasangannya juga tidak murah. Namun masalah yang banyak timbul adalah ketidak-cocokan antara rencana pengembangan jaringan stasiun hidrometri. Pengembangan suatu daerah sering tidak dapat diketahui sebelumnya, atau kalau rencana itu diketahui tidak selekasnya diikuti dengan keiatan pengumpulan data. Hingga pada saat dibutuhkan untuk analisis data tidak tersedia, atau tersedia dalam jangka waktu yang sangat pendek.

  Untuk mengatasi hal ini sebenarnya di Indonesia telah dikenal dan banyak digunakan berbagai cara untuk memperkirakan banjir rancangan yang didasarkan atas persamaan rasional. Cara ini mengandalkan data curah hujan sebagai dasar hitungan. Namun dari penelitian terbukti bahwa metode seperti Melchior, Der Weduwen dan

  

Haspers mempunyai penyimpangan yang berkisar antara 2% - 80%, dengan

  penyimpangan rata rata berturut turut sebesar 89%, 85% dan 56%. Selain itu tercatat pula bahwa 77% dari kasus yang ditinjau menunjukkan perkiraan lebih

  

(overestimated). Cara- cara rasional untuk memperkirakan banjir yang mendapatkan

  kritikan tajam, karena pemakaian koefisien limpasan (runoff coefficient) mengundang subjektivitas yang sangat besar dan merupakan salah satu faktor penyebab penyimpangannya. Penyebab lainnya adalah koefisien reduksi (reduction coefficient).

  Persamaan rasional hanya dianjurkan untuk DAS kecil kurang dari 80 hektar atau untuk DAS yang memiliki unsur unsur penyusun yang seragam. Dalam perancangan diharapkan perkiraan banjir rancangan yang menyimpang sekecil mungkin. Sudah barang tentu perkiraan yang tepat tidak akan dapat diharapkan, karena proses pengalihragaman hujan menjadi banjir merupakan proses alam yang sangat kompleks yang tidak dapat diungkapkan dengan persamaan matematik secara tuntas.

  Cara lain yang lebih baik hampir seluruhnya menuntut ketersediaan data pengukuran sungai yang memadai. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kesulitan kesulitan tersebut. Cara ini dapat digunakan disembarang lokasi yang dikehendaki dalam suatu DAS tanpa tergantung ada atau tidaknya data pengukuran sungai. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa kegiatan hidrometrik masih tetap merupakan pilihan utama, sehingga walaupun telah ditemukan cara pendekatan yang akan banyak mengatasi masalah kelangkaan data, namun prioritas pengukuran sungai ditempat mutlak masih diperlukan. Hidrograf satuan ini secara sederhana dapat ditampilkan pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Kurva Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

  Nakayasu (1950) telah menyelidiki hidrograf satuan di Jepang dan memberikan seperangkat persamaan untuk membentuk suatu hidrograf satuan sebagai berikut: 1. ), rumusnya:

  g

  Waktu kelambatan (t untuk L > 15 = 0,4 + 0, 058 : (2.21)

  0,7

  untuk L < 15 = 0,21 (2.22)

  : 2. Waktu puncak dan debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut:

  = + 0,8 (2.23)

3. Waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak:

  

0,3

  (2.28) Jika >

  seperti drainase, sungai, dan penampang saluran terbuka lainnya. River Analysis System (RAS), dibuat oleh Hydrologic Engineering Center (HEC) yang merupakan satuan kerja

   HEC-RAS merupakan program aplikasi untuk pemodelan aliran saluran terbuka

  (2.30)

  

− + 1,5 0,3

2 0,3

  > 1,5 0,3 = 0,3

  (2.29) Jika

  − + 0,5 0,3

1,5

0,3

  > 0,3 = 0,3

  − 0,3

  = (2.24) 4. Waktu puncak:

  = 0,3

  Jika < < 0,3

   (2.27) 7. Bagian lengkung turun:

  2,4

  Bagian lengkung naik (0 < t < tp): =

  (2.26) 6.

  1 3,6 1 (0,3 0,3 )

  Debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut: =

  = + 0,8 (2.25) 5.

2.5 Aplikasi HEC-RAS

  di bawah US Army Corps of Engineers (USACE). HEC-RAS dapat menyajikan merupakan pemodelan satu dimensi aliran tunak maupun tak-tunak (steady and

  

unsteady onedimensional flow model). HEC-RAS memiliki empat komponen model satu

  dimensi: (1) hitungan profil muka air aliran tunak, (2) simulasi aliran tak-tunak, (3) hitungan angkutan sedimen, dan (4) hitungan kualitas air. Dalam pemodelan, input

  

HEC-RAS untuk pemodelan keempat komponen tersebut dapat memakai data geometri

  yang sama, routine hitungan hidraulika yang sama, serta beberapa fitur desain hidraulik yang dapat diakses setelah hitungan profil muka air dilakukan. HEC-RAS merupakan program aplikasi yang mengintegrasikan fitur graphical user interface, analisis hidraulik, manajemen dan penyimpanan data, grafik, serta pelaporan.

  2.5.1 Graphical user interface Interface ini berfungsi sebagai penghubung antara pemakai dan HEC-RAS.

  

Graphical interface dibuat untuk memudahkan pemakaian HEC-RAS dengan tetap

  mempertahankan efisiensi. Melalui graphical interface ini, dimungkinkan untuk melakukan hal-hal berikut ini:

  1. Manajemen file.

  2. Menginputkan data serta mengeditnya.

  3. Melakukan analisis hidraulik.

  4. Menampilkan data masukan maupun hasil analisis dalam bentuk tabel dan grafik.

  5. Penyusunan laporan.

  6. Mengakses On-Line help.

2.5.2 Analisis Hidraulika

   Steady Flow Water Surface Component . Modul ini berfungsi untuk menghitung profil muka air aliran permanen berubah beraturan (steady gradually varied flow).

  Program ini mampu memodelkan jaringan sungai, sungai dendritik, maupun sungai tunggal. Regime aliran yang dapat dimodelkan adalah aliran sub-kritik, super- kritik, maupun campuran antara keduanya.