BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Pengertian Diabetes Mellitus (DM) - Pengaruh Gaya Hidup terhadap Kejadian DM Tipe 2 di RSUD Kota Padangsidimpuan Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

2.1.1 Pengertian Diabetes Mellitus (DM)

  Menurut American Diabetes Association (ADA), Diabetes mellitus adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat gangguan sekresi insulin, penurunan kerja insulin, atau akibat dari keduanya. Diagnosis DM menurut ADA jika hasil pemeriksaan gula darah: 1)

  Kadar gula darah sewaktu lebih atau sama dengan 200 mg/dl 2)

  Kadar gula puasa lebih atau sama dengan 126 mg/dl 3)

  Kadar gula darah lebih atau sama dengan 200 mg/dl pada 2 jam setelah beban glukosa 75 pada tes toleransi glukosa (ADA, 2011) Diabetes Mellitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin. Hal ini terkait dengan kelainan pada karbohidrat, metabolime lemak dan protein. Diabetes Mellitus merupakan penyakit kronik, progresif dengan karakteristik ketidakmampuan tubuh dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, yang menyebabkan peningkatan level gula darah (Black & Hawks,2009).

  Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatarbelakangi oleh resistensi insulin ( Soegondo dkk, 2011).

  Diabetes mellitus adalah gangguan kesehatan yang berupa kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin (Bustan, 2007). Diabetes merupakan penyakit yang heterogonik, baik karena manifestasinya maupun karena jenisnya. Diabetes adalah sindrom yang disebabkan oleh terganggunya insulin di dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperglikemia yang disertai abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Inzucchi, 2004).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus (DM)

  Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (2008) dalam Inzucchi (2004), terbagi 4 bagian yaitu: a.

   Diabetes Tipe I (Insulin–Dependen Diabetes Mellitus atau IDDM)

  Diabetes Tipe I (IDDM) muncul pada saat pankreas tidak dapat atau kurang mampu memproduksi insulin sehingga insulin dalam tubuh kurang atau tidak ada sama sekali. Glukosa di dalam darah menumpuk karena tidak dapat diangkut ke dalam sel. Diabetes tipe ini tergantung pada insulin, oleh karena itu penderita memerlukan suntikan insulin (Tandra, 2007).

  Diabetes Tipe I (IDDM) merupakan suatu gangguan autoimun (autoimmune

  

disorder) yang ditandai dengan kerusakan sel-sel beta langerhans pankreas. Karena

  itu, DM jenis ini kebanyakan ditemukan pada anak atau usia muda, minimal sebelum berhubungan dengan degenerasi atau kerusakan organ dan faktor gaya hidup (Bustan, 2007).

  Menurut Brunner & Suddarth Diabetes Mellitus Tipe I disebabkan oleh faktor genetik, di mana penderita diabetes mewarisi predisposisi/kecenderungan terhadap terjadinya Diabetes Mellitus Tipe I, biasanya ditemukan pada individu yang memiliki antigen H. Selain itu disebabkan oleh faktor imunologi, adanya respon autoimun yang abnormal, serta adanya kerusakan sel beta pankreas.

b. Diabetes tipe II (Non Insulin-Dependent Diabetes Mellitus atau NIDDM).

  Diabetes Mellitus Tipe II (NIIDM) merupakan diabetes yang paling sering ditemukan di Indonesia. Penderita tipe ini biasanya ditemukan pada usia di atas 40 tahun disertai berat badan yang berlebih (Nabil, 2009).

  Kemungkinan lain terjadinya diabetes ini adalah karena sel-sel jaringan tubuh tidak peka atau resisten terhadap insulin. Resistensi terhadap insulin pada diabetes Mellitus tipe II ini terjadi karena turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan menghambat produksi oleh sel hati (Tandra, 2007).

2.1.3 Epidemiologi Diabetes Mellitus

  World Health Organization (WHO) menyatakan pada tahun 2005 penderita

  diabetes Mellitus mencapai 217 juta dan memperkirakan pada tahun 2030 mencapai 366 juta jiwa. Adanya globalisasi dan perubahan gaya hidup menyebabkan peningkatan kejadian overweight dan obesitas. Kedua hal tersebut diketahui banyaknya orang yang mengalami overweight atau obesitas, semakin banyak pula orang yang menderita diabetes mellitus (Aso, 2008).

  Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 orang diseluruh dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari total populasi, insidennya terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka ini menjadi 366 juta jiwa atau sekitar 4.4% dari populasi dunia, DM terdapat diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes Melitus tipe 2 terjadi di negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika , ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang tidak sehat, di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil dari 24417 responden berusia > 15 tahun , 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu (kadar glukosa 140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban glukosa sebanyak 75 gram), DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah, daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi adalah Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1% sedangkan kelompok usia terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%, beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor resiko DM adalah Obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya komsumsi sayur dan buah (Manik, 2012).

  Penelitian yang dilakukan di USA pada 21.217 dokter US selama 5 tahun (kohort study) menemukan bahwa kasus DM tipe 2 lebih tinggi pada kelompok yang melakukan aktivitas fisik kurang dari 1 kali perminggu dibanding dengan kelompok tahun pada 87.535 perawat wanita yang melakukan olahraga ditemukan penurunan resiko penyakit DM tipe 2 sebesar 3370 (Soegondo dkk, 2009).

  Prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun diperkotaan 5,7%, prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2% disebutkan pula bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% (Depkes, 2009).

  Prevalensi nasional penyakit diabetes mellitus adalah 1,1%, sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi penyakit diabetes mellitus diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Papua Barat (Riskesdas, 2007).

  Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 1993 di Jakarta daerah urban membuktikan adanya peningkatan prevalensi DM dari 1.7% pada tahun 1982 menjadi 5.7% kemudian tahun 2001 di Depok dan didaerah Jakarta Selatan menjadi 12.8%, demikian juga di Ujung Pandang daerah urban meningkat dari 1.5% pada tahun 1981 menjadi 3,5% pada tahun1998, kemudian pada akhir 2005 menjadi 12.5%, di daerah rural yang dilakukan oleh Arifin di Jawa Barat 1,1% di daerah terpencil, di Tanah Toraja didapatkan prevalensi DM hanya 0,8% dapat dijelaskan perbedaan prevalensi daerah urban dan rural (Soegondo dkk, 2009).

2.1.4Patogenesis Diabetes Mellitus

  Di dalam saluran pencernaan makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan yang masuk. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Agar dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan itu harus masuk terlebih dahulu masuk ke dalam sel agar dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses metabolisme, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Dalam proses metabolisme ini insulin memegang peran yang sangat penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Hidrat arang dalam makanan diserap oleh usus halus dalam bentuk glukosa. Glukosa darah dalam tubuh manusia diubah menjadi glikogen hati dan otot oleh insulin. Sebaliknya, jika glikogen hati maupun otot akan digunakan, dipecah lagi menjadi glukosa oleh adrenalin. Jika kadar insulin darah berkurang, kadar glukosa darah akan melebihi normal, menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, akibatnya glukosa akan tetap berada di dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di dalam darah meningkat. Dalam keadaan ini badan akan menjadi lemah karena tidak ada sumber energi di dalam sel (Syah, 2011).

  Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu : 1. Rusaknya sel-sel pancreas karena pengaruh ddari luar (virus, zat kimia tertentu, dll) ataupun dari dalam (penyakit autoimune)

  2. Desensitasi (penurunan sensitivitas) reseptor glukosa pada kelenjar pankreas 3.

  Desensitasi/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan perifer (Tjokroprawiro, 1996).

  Menurut Soegondo (2011), patogenesis DM berbeda berdasarkan tipe penyakit yaitu:

  1. DM Tipe 1

  Insulin tidak ada dan hal ini disebabkan karena jenis penyakit ini ada reaksi autoimun. Pada individu yang rentan (susceptible) terhadap tipe 1, terdapat adanya ICA (Islet Cell Antibody) yang meningkat kadanya oleh karena beberapa faktor pencetus seperti infeksi virus, diantarnya virus cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain, hingga timbul peradangan pada sel beta (insulitis) yang akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta. Pada insulitis yang diserang hanya sel beta, biasanya sel alfa dan delta tetap utuh. Pada studi populasi ditemukan adanya hubungan antara DM tipe 1 dengan HLA DR3 dan DR4.

  2. DM Tipe 2

  Patogenesis pada DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan Hepatic Glucose Production (HGP), dan penurunan fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β.

2.1.5. Patofisiologi Diabetes Mellitus

  Diabetes melitus tipe 2 merupakan bagian terbesar dari penderita diabetes melitus dan mempunyai riwayat perjalanan alamiah yang unik dan patofisiologi penyakit yang kompleks. Patofisiologi diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan adanya gangguan metabolik ganda yang progresif yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin oleh sel beta pankreas (Soewondo, 2007).

  Awalnya resistensi insulin menyebabkan kemampuan insulin menurunkan kadar gula darah menjadi berkurang. Akibatnya pankreas harus mensekresi insulin lebih banyak untuk mengatasi kenaikan kadar gula darah. Pada tahap ini, kemungkinan individu tersebut akan mengalami gangguan toleransi glukosa (tahap pradiabetes), tetapi belum memenuhi kriteria penderita diabetes melitus. Kondisi resistensi insulin akan terus berlanjut dan semakin bertambah berat, sementara pankreas tidak mampu lagi terus menerus meningkatkan kemampuan sekresi insulin yang cukup untuk mengontrol gula darah. Peningkatan produksi glukosa hati, penurunan pemakaian glukosa dan lemak oleh otot berperan atas terjadinya hiperglicemia kronik saat puasa dan setelah makan. Akhirnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan kenaikan kadar gula darah bertambuah berat. Perubahan proses toleransi glukosa, mulai dari kondisi normal, toleransi glukosa terganggu dan diabetes tipe 2 dapat dilihat sebagai keadaan yang berkesinambungan (Soewondo, 2007).

2.1.6 Komplikasi Diabetes Mellitus

  Jika gula darah tidak terkontrol dengan baik beberapa tahun kemudian akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes yang timbul dapat berupa komplikasi akut dan kronis.

a. Komplikasi Akut

  Komplikasi akut adalah komplikasi yang muncul secara mendadak. Keadaan bisa fatal jika tidak segera ditangani. Termasuk dalam kelompok ini adalah:

1. Hipoglikemia (Glukosa Darah Turun Terlalu Rendah)

  Menurut Fishbein dan Palumbo, hipoglikemia adalah suatu keadaan di mana konsentrasi atau kadar gula di dalam darah terlalu rendah (<60mg/dl), yang dapat terjadi pada pasien yang menerima suntikan insulin dan obat anti diabetes. Hipoglikemia ini terjadi jika pemberian dosis insulin atau obat anti diabetes tidak tepat, latihan fisik atau olah raga berlebihan, menunda jadwal makan setelah minum obat, serta kebiasaan konsumsi alkohol (Kronerberg, 2008).

  Pada saat mendapat suntikan penderita harus makan dengan kalori yang sesuai untuk mengimbangi efek insulin. Jadwal makan juga haruslah teratur, tiga kali makan utama dan selingan dua kali di antara makan utama, makan snack pada malam hari sangat penting karena makanan hanya dapat tahan hingga jam tiga pagi (Nabil,2009).

  Olahraga membakar glukosa dalam tubuh, tetapi perlu diperhatikan kesesuaian antara olahraga dengan dosis obat dan pola diet penderita. Latihan fisik dan olahraga berlebihan dapat menyebabkan hipoglikemia pada malam hari atau bekerja dengan menghambat kemampuan hati untuk melepaskan glukosa alkohol juga menghambat kerja hormon yang menaikkan glukosa darah serta meningkatkan efek insulin, dan dapat menyebabkan hipoglikemia berat (Tandra, 2007).

  Tanda dari gejala hipoglikemia dapat bervariasi tergantung penurunan kadar glukosa darah. Keluhan pada dasarnya dapat berupa keluhan pada otak, ini dikarenakan otak tidak mendapat kalori yang cukup sehingga mempengaruhi fungsi intelektual, antara lain sakit kepala, kurang konsentrasi, mata kabur, lelah, kejang hingga koma. Keluhan lain seperti lapar, nadi cepat, kejang atau koma. Keluhan akibat efek samping hormon lain yang berusaha menaikkan kadar glukosa darah, misalnya pucat, berkeringat, nadi cepat, berdebar, cemas serta rasa lapar (Tandra, 2007).

2. Hiperosmolar Non-Ketotik

  Pada keadaan tertentu gula darah dapat sedemikian tingginya sehingga darah menjadi kental. Dalam keadaan seperti ini dinamakan Hiperosmolar non-ketotik (HNOK), atau Diabetic Hiperosmolar Syndrome (DHS). Kadar glukosa darah dapat mencapai nilai 600mg/dl. Glukosa dapat menarik air keluar sel dan selanjutnya keluar bersama urin, dan tubuh mengalami dehidrasi. Penderita diabetes dalam keadaan ini menunjukkan gejala nafas cepat dan dalam, banyak kencing, sangat haus, lemah, kaki dan tulang kram, bingung, nadi cepat, kejang dan koma (Tandra, 2007). Hiperglikemia dapat terjadi jika masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang didahului stress akut (Suryono, 2004).

3. Ketoasidosis (Terlalu Banyak Asam Dalam Darah)

  Pada Diabetes Mellitus yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang tinggi dan kadar hormon yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak untuk sumber energi pemecahan lemak tersebut kemudian menghasilkan badan-badan keton di dalam darah (ketosis). Ketosis ini menyebabkan derajat keasaman (pH) dalam darah menurun (asidosis). Pada pasien dengan ketoasidosis diabetik umumnya memilki riwayat asupan kalori (makanan) yang berlebihan atau penghentian obat diabetes atau insulin (Nabil, 2009).

  Gejala yang timbul dapat berupa kadar gula darah tinggi (>240 mg/dl). Terdapat keton dalam urin, buang air kecil banyak hingga dehidrasi, napas berbau aseton, lemas hingga koma (Nabil, 2009).

b. Komplikasi Kronik

  Komplikasi kronik ini terjadi karena glukosa darah berada di atas normal berlangsung secara selama bertahun-tahun. Komplikasi timbul secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi berangsur semakin berat dan membahayakan. Komplikasi kronik dapat berupa komplikasi makrovaskular diantaranya:

  1. Kerusakan Saraf (Neuropati Diabetik) Baik pada penderita diabetes I maupun pada penderita tipe diabetes II bisa terkena neuropati. Hal ini bisa terjadi setelah terkena diabetes dalam waktu yang lama, dengan glukosa darah tinggi yang tidak terkontrol. Dalam jangka lama, glukosa makanan ke saraf menyebabkan terjadinya kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik. Saraf tidak dapat mengirim dan menghantarkan pesan-pesan rangsangan impuls saraf. Keluhan yang terjadi bervariasi, mungkin nyeri pada tangan dan kaki, gangguan pencernaan dan lain sebagainya (Tandra, 2007).

  Gejala dapat berlanjut dengan rasa tebal di kaki, tidak ada rasa nyeri pada kaki, penderita tidak dapat mengetahui adanya infeksi. Apabila terjadi goresan luka akan menyebabkan munculnya ulkus (borok) di kaki yang disebut dengan neuropatic

  

ulcer . Bila tidak diobati akan menyebabkan infeksi dan kerusakan tulang yang

  memerlukan tindakan amputasi. Gangguan yang muncul setelahnya adalah gangguan pada pembuluh darah, sehingga aliran darah tidak mencukupi ke kaki dan tangan menyebabkan luka dan infeksi sukar sembuh (Nabil, 2009).

  Neuropati yang lain yang dapat terjadi adalah neuropati otonom, saraf yang rusak adalah saraf otonom yaitu saraf yang mengatur bagian tubuh yang tidak disadari misalnya denyut jantung, saluran cerna kandung kemih, alat kelamin dan kelenjar keringat. Saraf ini berhubungan dengan sum-sum tulang belakang dan otak.

  Neuropati otonom kardiovaskuler ditandai dengan denyut jantung yang cepat terutama pada saat tidur. Denyut nadi bisa juga berubah pada saat bernapas. Pada saat nafas denyut nadi jadi lebih lambat, saat mengeluarkan nafas denyut nadi menjadi lebih lambat (Tandra, 2007).

  Neuropati gastrointestinal terjadi pada saraf otonom lambung dan usus. Penyerapan makanan menjadi lambat yang menyebabkan kembung, rasa penuh walau diabetes disebabkan oleh kerusakan saraf sehingga fungsi lambung untuk menghancurkan makanan menjadi lemah dan lambung menggelembung dan menyebabkan proses pengosongan lambung (Tjokroprawiro, 2007).

  Neuropati otonom genitourinarius menyerang organ genital dan saluran kemih. Termasuk gangguan ereksi, sukar mencapai organisme serta gangguan kemih.

  Pada penderita diabetes gangguan ereksi disebabkan oleh rusaknya urat saraf pada alat kelamin. Kesukaran pengosongan kandung kemih disebut dengan diabetic

  

neurogenic bladder di mana bila kantung penuh tidak terasa, bila ingin berkemih juga

  tidak terasa. Neuropati otonom sudumotor adalah jenis komplikasi yang lain yang ditandai dengan keringat yang abnormal. Pada lengan dan tungkai hanya ada sedikit keringat dan tubuh bagian tengah dan wajah berkeringat banyak. Neuropati otonom pada pupil mata, mengatur masuknya sinar ke dalam bola mata. Di tempat yang gelap pupil tetap kecil dan tidak membuka lebar walaupun berada di dalam ruangan gelap (Tandra, 2007).

  2. Mata (Retinopati) Penyakit diabetes dapat merusak mata dan menjadi penyebab kebutaan. Ada tiga macam disebabkan oleh diabetes yaitu retinopati, katarak, glukoma. Retinopati diabetik merupakan salah satu komplikasi yang serius. Diawali kerusakan pembuluh darah kapiler pada jaringan yang berfungsi sebagai sensor cahaya (retina). Gangguan pembuluh darah kapiler pada retina mata berupa melemahnya dinding pembuluh kapiler. Selanjutnya dinding pembuluh menggembung membentuk suatu struktur yang disebabkan mikroaneurisme, pembentukan mikroaneurisme akan diiringi dengan penyumbatan pembuluh kapiler (Nabil, 2009).

  3. Jantung Penyakit diabetes dapat menyebabkan berbagai penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) antara lain angina (nyeri dada), serangan jantung, tekanan darah tinggi, penyakit jantung. Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah yang mengakibatkan suplai darah berkurang dan tekanan darah meningkat. Keluhan sakit jantung sangat bervariasi, biasanya tidak ada keluhan, tetapi selanjutnya akan timbul gejala akibat penyumbatan antara lain sesak nafas, nyeri dada, rasa lelah, sakit kepala, detak jantung cepat dan tidak teratur, berkeringat banyak. Akan tetapi, kadang pada penderita diabetes disertai tanpa rasa nyeri. Hal ini disebabkan karena saraf yang mengantar rasa nyeri telah rusak (Tandra, 2007).

  4. Kerusakan Ginjal (Nefropati Diabetik) Semakin lama terkena diabetes, pasien akan lebih mudah mengalami kerusakan ginjal. Pada awalnya terjadi peningkatan glomerular filtration rate hingga

  150 ml/menit pada penderita diabetes. Apabila keadaan ini berlanjut bertahun-tahun akan ada sedikit protein yang keluar ke dalam urine. Keadaan ini disebut sebagai mikroalbuminuria yaitu keluarnya protein albumin dalam jumlah 30-300 mg dalam 24 jam. Selanjutnya akan menimbulkan makroalbuminuria atau keluarnya protein dalam jumlah banyak dalam urin (proteinuria) yang akan menjurus ke nefropati

2.1.7. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Mellitus (DM)

  Banyak faktor yang merupakan faktor risiko diabetes melitus dan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu sosiodemografi, keadaan klinis/mental, faktor perilaku/gaya hidup (Irawan, 2010)

a. Sosiodemografi

1. Usia

  Perubahan metabolisme tubuh yang ditandai dengan penurunan produksi hormon testosteron untuk laki-laki dan estrogen untuk perempuan biasanya memasuki usia 45 tahun keatas, kedua hormon ini tidak hanya berperan dalam pengaturan hormon seks, tetapi juga metabolisme pengaturan proses metabolisme tubuh, salah satu fungsi kedua hormon tersebut adalah mendistribusikan lemak keseluruh tubuh. Akibatnya lemak menumpuk diperut, batasan lingkar perut normal untuk perempuan <80cm dan untuk laki-laki <90cm. Membesarnya lingkaran pinggang akan diikuti dengan peningkatan gula darah dan kolesterol yang akan diikuti dengan sindroma metabolik yakni terganggunya metabolisme tubuh dan dari sinilah mulai timbulnya penyakit degeneratif (Tjokroprawiro, 1998). Umumnya penderita diabetes melitus tipe 2 mengalami perubahan fisiologi yang secara drastis, diabetes melitus tipe 2 sering muncul setelah usia 30 tahun keatas dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin (Smeltzer & Bare, 2002).

  Peningkatan kejadian diabetes melitus sangat erat kaitannya dengan peningkatan usia karena lebih dari 50% diabetes melitus tipe 2 terjadi pada kelompok yang berisiko terhadap diabetes melitus tipe 2 di Indonesia adalah 45 tahun keatas (PERKENI, 2006). Pengaruh penuaan terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2 terjadi karena adanya perubahan pada sel beta pankreas yang menyebabkan perubahan sekresi insulin karena berhubungan dengan perubahan metabolisme glukosa pada usia tua (Rohmah W, 2002 dalam Rumiyati, 2008). Dengan adanya perubahan metabolisme glukosa tersebut, maka menurut Sukardji, kebutuhan kalori pada usia 40-59 tahun harus dikurangi 5%, sedangkan antara 60-69 tahun dikurangi 10% dan diatas 70 tahun dikurangi 20% (Sukardji, 2009).

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balitbangkes dalam Riskesdas tahun 2007, mendapatkan bahwa pada kelompok umur yang lebih tua, prevalensi kejadian diabetes melitus semakin meningkat. Dari penelitian tersebut didapatkan prevalensi diabetes melitus pada kelompok umur 15-24 tahun sebesar 0,6%, kelompok umur 25-34 tahun sebesar 1,8%, kelompok umur 35-44 tahun sebesar 5%, kelompok umur 45-54 tahun sebesar 10,5%, kelompok umur 55-64 tahun sebesar 13,5%, kelompok umur 65-74 tahun sebesar 14,0% dan kelompok umur 75 tahun keatas sebesar 12,5% (Balitbangkes, 2008). Penelitian yang dilakukan Rahajeng tahun 2004 mendapatkan bahwa pada kelompok umur 41-64 tahun memiliki risiko untuk menderita diabetes melitus 3,3 kali lebih muda disbanding dengan kelompok umur 25-40 tahun (Rahajeng, 2004).

2. Jenis Kelamin

  Hasil penelitian di Jepang pada tahun 2007 menyatakan bahwa prevalensi wanita adalah 60 : 40 (D’Adamo & Catherine, 2006). Menurut Inzucchi (2004), prevalensi antara pria dan wanita tidak jauh berbeda dan prevalensi meningkat sebanding dengan semakin buruknya toleransi glukosa.

  Secara prevalensi, wanita dan pria mempunyai peluang yang sama terkena diabetes. Hanya saja, dari faktor risiko, wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes melitus tipe 2. Selain itu pada wanita yang sedang hamil terjadi ketidakseimbangan hormonal progesteron tinggi, sehingga meningkatkan sisetem kerja tubuh untuk merangsang sel-sel berkembang (termasuk pada janin), tubuh akan memberikan sinyal lapar dan pada puncaknya menyebabkan sistem metabolisme tubuh tidak bisa menerima langsung asupan kalori dan menggunakannya secara total sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah saat kehamilan (Damayanti, 2010).

  Berdasarkan Riskesdas 2007, prevalensi diabetes melitus tipe 2 pada lakilaki sebesar 4,9% sedangkan pada permpuan 6,4% (Balitbangkes, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Rumiyanti tahun 2008, mendapatkan sebanyak 67,0% wanita menderita diabetes melitus sedangkan laki-laki 33,0% namun tidak ditemukan hubungan yang signifikan. Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Hermita (2006), berhasil menemukan hubungan yang signifikan kejadian diabetes melitus dengan jenis kelamin dengan OR 1,35, artinya perempuan lebih mudah untuk menderita diabetes melitus 1,35 kali dibanding laki-laki.

  3. Tingkat Pendidikan

  Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit diabetes melitus tipe 2. Orang yang tingkat pendidikannya tinggi biasanya akan memiliki banyak pengetahuan tentang kesehatan, tingkat pendidikan juga mempengaruhi aktivitas fisik seseorang karena terkait dengan pekerjaan yang dilakukan. Orang yang tingkat pendidikan tinggi biasanya lebih banyak bekerja di kantoran dengan aktivitas fisik sedikit sedangkan yang tingkat pendidikan rendah lebih banyak menjadi buruh maupun petani dengan aktivitas fisik yang cukup (Irawan, 2010)

  Berdasarkan data Riskesdas 2007, menyatakan bahwa prevalensi diabetes mellitus bervariasi pada setiap tingkat pendidikan, pada kelompok tidak sekolah prevalensi diabetes sangat besar yaitu 8,9%, tidak tamat SD sebesar 8,0%, tamat SD sebesar 5,5%, tamat SMP sebesar 4,4%, tamat SMA sebesar 4,9%, dan tamat perguruan tinggi (PT) sebesar 5,6% (Balitbangkes, 2008).

  4. Pekerjaan

  Jenis pekerjaan erat kaitannya dengan aktivitas fisik yang dilakukan seseorang, jenis pekerjaan dapat dikelompokkan berdasarkan berat-ringannya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang, seperti (Sukardji, 2009) : Ringan : pegawai kantor, pegawai tokoh, guru, ibu rumah tangga, ahli hukum dll.

  • Sedang : pegawai di industri ringan, mahasiswa, dan militer yang sedang tidak

  Berat : petani, buruh, militer dalam keadaan latihan, penari, atlet.

  • Sangat berat : tukang becak, tukang gali dan pandai besi.
  • Jenis pekerjaan juga erat kaitannya dengan tingkat pendapatan seseorang, menurut Sudoyo (2009) tingkat pendapatan dan kemakmuran suatu bangsa dapat mempengaruhi tingginya prevalensi diabetes melitus di negara tersebut yang disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar.

  Riskesdas 2007 mendapatkan prevalensi diabetes melitus tertinggi pada kelompok yang tidak bekerja dan ibu rumah tangga yaitu sebesar 6,9% dan 7,0%, sedangkan pada kelompok yang lain bervariasi, yaitu 1,0% pada kelompok sekolah, 5,9% pada pegawai, 5,9% pada wiraswasta, 2,8% pada petani atau buruh dan 9,0% pada kelompok lainnya (Balitbangkes, 2008).

  Penelitian yang dilakukan oleh Nyenwe dkk (2003) di Port Harcourt, Nigeria mendapatkan 44,2% orang yang pekerjaannya berat menderita diabetes melitus dan 55,8% orang yang pekerjaannya ringan menderita diabetes melitus.

5. Status Perkawinan

  Status perkawinan diyakini memiliki hubungan dengan kejadian diabetes melitus dimasyarakat. Status perkawinan diyakini memiliki pengaruh terhadap kebiasaan atau gaya hidup dan pola makan serta aktivitas fisik yang dilakukan. Orang yang menikah biasanya memiliki pola makan yang lebih teratur, selain itu status perkawinan juga memilki pengaruh terhadap kondisi kejiwaan seseorang.

  b.Keadaan Klinis atau Mental

1. Stres

  Stres adalah reaksi seseorang, baik secara fisik maupun kejiwaan karena adanya perubahan. Stres merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dihindari, stres selalu terjadi pada setiap orang, dan terjadi pada setiap waktu selama orang tersebut menjalani kehidupan sosialnya. Reaksi stres dapat bersifat positif maupun negatif. Bersifat positif, jika menimbulkan dampak pasitif atau menjadi pendorong orang berusaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan bersifat negatif, jika terjadi keluhan atau gangguang terhadap orang tersebut (Rahajeng, 2007).

  Reaksi stres yang bersifat positif seperti melakukan latihan jasmani, olahraga, atau memacu seseorang untuk berusaha dengan baik. Sedangkan reaksi negatif stres yang bersifat fisik seperti jantung berdebar-debar, otot-otot tegang, sakit kepala, sakit perut atau mencret, letih, lelah, gangguan makan (tidak berselera makan atau makan berlebihan), eksim atau kulit gatal-gatal. Reaksi negatif stres yang bersifat kejiwaan seperti sukar memusatkan perhatian, pelupa, sukar tidur atau banyak tidur, cenderung menyalahkan orang lain, cemas, menarik diri dan menyerang (Rahajeng, 2007).

  Stres dapat menjadi faktor risiko terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2 karena pada keadaan stres akan berkaitan dengan peningkatan berat badan dan inaktif, yang disebabkan karena makan yang tidak terkendali, tidak berolahraga, gangguan secara emosional dan tubuh memproduksi hormon epinephrine dan kristol yang dapat menghambat kerja insulin sehingga dapat meningkatkan kadar gula darah (Wetherill, 2001).

2. Obesitas

  Obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan skeletal dan fisik sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh. Bila lemak tubuh lebih dari 30% pada wanita dan 25% pada pria maka dikategorikan obesitas. Pada prinsipnya, pada obesitas ditemukan ketidakseimbangan antara masukan energi (intake) dan energi yang dikeluarkan, dimana masukan energi lebih besar daripada pengeluarannya (Hasdianah, 2012).

  Obesitas merupakan manifestasi dari kelebihan berat badan yang artinya mempunai lemak tubuh terlalu banyak. Obesitas berbeda dengan overweight yang hanya kelebihan berat badan, karena kelebihan berat badan bisa dimungkinkan karena adanya massa otot, tulang atau air yang berlebih (misalnya pada kasus atlet binaraga).

  Meskipun kedua istilah tersebut (obesitas dan overweight) sama-sama bermakna seseorang yang mempunyai berat badan melebihi berat badan yang normal sesuai tinggi badannya. Kriteria obesitas adalah berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT).

  IMT merupakan perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan. Cara menghitung IMT adalah sebagai berikut: berat badan (kg)/ (tinggi badan (m) x tinggi badan (m)) (Tandra, 2008).

  Prevalensi obesitas berkorelasi positif dengan kejadian diabetes. Timbunan lemak yang tergambar sebagai penambahan ukuran lingkar pinggang akan insulin plasma dan sindrom resistensi insulin. Keberhasilan mengurangi berat badan hingga 10 kg kemungkinan besar dapat menormalkan kadar glukosa darah, selain itu penurunan berat badan juga dapat memperlambat perkembangan dini dan perluasan pembentukan plak pada pembuluh darah (Arisman, 2007).

  Pada orang yang mengalami obesitas, terdapat kelebihan kalori akibat makan yang berlebih menimbulkan penimbunan lemak di jaringan kulit. Resistensi insulin akan timbul pada daerah yang mengalami penimbunan lemak sehingga akan menghambat kerja insulin di jaringan tubuh dan otot yang menyebabkan glukosa tidak dapat diangkat ke dalam sel dan menimbun di dalam pembuluh darah. Penumpukan glukosa ini akan meningkatkan glukosa dalam darah. Prevalensi obesitas dan diabetes mellitus tipe 2 meningkat dengan pesat di seluruh dunia. Sekitar 60% dari mereka yang obes menderita diabetes Mellitus tipe 2. Semakin besar (IMT) semakin besar risiko menderita DM tipe 2 (Tandra, 2007).

2.2. Gaya Hidup

  Menurut Kotler (2002), gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktifitas, minat dan opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Minor dan Mowen gaya hidup adalah menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana orang membelanjakan uangnya dan bagaimana mengalokasikan waktu (Tamher, 2009).

  Gaya hidup individu, yang dicirikan dengan pola perilaku individu, akan memberi dampak pada kesehatan individu dan selanjutnya pada kesehatan orang lain.

  Dalam kesehatan, gaya hidup seseorang dapat diubah dengan cara memberdayakan individu agar merubah gaya hidupnya, tetapi merubahnya bukan pada si individu saja, tetapi juga merubah lingkungan sosial dan kondisi kehidupan yang memengaruhi pola perilakunya. Tidak ada aturan ketentuan baku tentang gaya hidup yang berlaku untuk semua orang. Budaya, pendapatan, struktur keluarga, umur, kemampuan fisik, lingkungan rumah dan lingkungan tempat kerja yang berbeda, menciptakan berbagai gaya yang berbeda pula (Hadywinoto, 1999).

  Menurut Darmojo (1999), gaya hidup adalah sebagai praktek perilaku dan praktek sosial yang mendukung kesehatan dan merupakan cerminan dari nilai-nilai dan jati diri dari kelompok dan masyarakat dimana penduduk hidup dan menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk memenuhi kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan fisik.

a. Konsumsi Serat (Sayur dan Buah)

  Serat adalah bagian dari karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh. Ada dua macam serat yaitu serat larut (pembentuk gel) seperti pectin dan guargum dan serat tidak larut seperti sellulose dan bran. Kedua jenis serat tersebut banyak terdapat pada padi-padian, kacang-kacangan, tempe, sayuran serta buah (Sukardji, 2007).

  The American Cancer Society, The American Heart Association dan The

  

American Diabetic Association menyarankan 25-35 g fiber/hari dari berbagai bahan diabetes di Indonesia menyarankan 20 - 25 g/hari bagi orang yang berisiko menderita DM (Soegondo dkk, 2009).

  Konsumsi serat terutama insoluble fiber (serat tidak larut) yang terdapat dalam biji-bijian dan beberapa tumbuhan, dapat membantu mencegah terjadinya diabetes dengan cara meningkatkan kerja hormon insulin dalam mengatur gula darah di dalam tubuh. Serat larut bersifat larut dalam air dan membentuk suatu materi seperti gel, yang diyakini dapat menurunkan kolesterol dan gula darah. Makanan seperti oatmeal dan biji-bijian (kacang, apel, beri, dan buah lainnya) sangat tinggi kandungan serat larutnya. Sedangkan serat tidak larut bersifat tidak larut dalam air dan dapat melewati sistem pencernaan secara keseluruhan dapat berfungsi sebagai memberikan perasaan kenyang dan puas serta membantu mengendalikan nafsu makan dan menurunkan berat badan, membantu buang air besar secara teratur, menurunkan kadar kolesterol darah yang dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit diabetes (Sukardji, 2007).

  Asupan serat yang direkomendasikan untuk orang dengan diabetes sama dengan untuk orang yang tidak diabetes yaitu dianjurkan mengkonsumsi 20-35 g serat makanan dari berbagai sumber bahan makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira- kira 25 g/1000 kalori dengan mengutamakan serat larut. Dari hasil Penelitian terhadap 17 wanita dengan berat badan lebih selama tiga hari melakukan diet dengan mengkonsumsi roti yang diperkaya dengan serat tidak larut dan tiga hari lainnya juga mengkonsumsi roti yang sama, namun rendah serat. Setelah beberapa hari mengkonsumsi roti yang kaya akan serat, pengaturan sensitivitas insulin pada wanita tersebut semakin membaik (Sukardji, 2007) Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Tjokroprawiro (1978 membuktikan bahwa konsumsi diit-B (68% kalori karbohidrat, 20 kalori lemak dan 12% kalori protein) yang banyak mengandung serat dari sayuran golongan A dan sayuran golongan B dapat memperbaiki glukose uptake (pembakaran glukosa) dari jarinan perifer, memperbaiki kepekaan sel beta pankreas dan dapat menekan kenaikan kadar kolesterol darah (Tjokroprawiro, 2006). Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahajeng, 2004 juga menyatakan bahwa konsumsi serat

  ≥25 gram/hari dapat mencegah terjadinya penyakit diabetes melitus tipe 2 dengan HR 0.29 - 0.42 kali.

  Hasil analisis data SKRT tahun 2004 yang dilakukan oleh Hermita 2006, menyatakan bahwa 12,6% orang yang mengkonsumsi serat <5 porsi/hari menderita diabetes dan sekitar 11,1% orang yang mengkonsumsi serat cukup (

  ≥5 porsi/hari) menderita diabetes. Hasil laporan Riskesdas 2007 menyatakan bahwa prevalensi diabetes melitus pada orang yang kurang konsumsi serat (<5 porsi/hari) sebesar 5,0% sedangkan prevalensi diabetes pada orang yang mengkonsumsi cukup serat (

  ≥5 porsi/hari) sebesar 4,9% dengan rata-rata konsumsi kurang serat secara nasional adalah 93,6% dan tinggi di semua propinsi (Balitbangkes, 2008).

  Kebutuhan akan serat yang dapat larut dalam air seperti apel, jeruk, pir, kacang merah dan kedelai juga perlu untuk tubuh. Selain sebagai sumber serat, buah dan sayuran juga merupakan sumber vitamin dan mineral. Mengonsumsi serat dan konsumsi susu dapat menambah kebutuhan air yang kurang pada tubuh. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan makan adalah: porsi makan jangan terlalu kenyang akan lebih baik jika porsi makannya sedikit tapi sering, banyak minum air putih sekitar 7-8 gelas/hari dan batasi minum kopi dan teh, kurangi garam, makanan hendaknya mudah dicerna, lembek tidak keras, hindari makanan yang terlalu manis, terlalu asin dan yang terlalu gurih/gorengan (Rimbana 2004; Sunita, 2003). Pola makanan yang tidak seimbang antara asupan dengan kebutuhan baik jumlah maupun jenis makanannya, seperti makan makanan tinggi lemak, kurang mengonsumsi sayuran, buah dan sebagainya juga makan makanan yang melebihi kebutuhan tubuh bisa menyebabkan obesitas atau kegemukan (Supariasa, 2002).

  Menurut Depkes RI (2005), ukuran saat mengukur sayuran adalah sudah matang tanpa kuah dalam keadaan basah, buah buahan dalam ukuran gram, kacang- kacangan diukur dalam ukuran gram dan sudah siap saji, untuk melihat daftar kandungan serat perseratus gram (sayur-sayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan) dapat dilihat pada tabel berikut.

  

Tabet 2.1Daftar Kandungan Serat per 100 Gram Sayur-sayuran,

Buah- buahan Serta Produk Olahannva

Serat/ Serat/1 Serat/10 Sayuran Buah Kacang 100gr 00gr 0gr

  Bayam

  0.8 Alpukat 1,4 Kedelai 4,9 Daun papaya 2,1 Anggur 1,7 Kacang tanah

  2 Daun singkong 1,2 Apel 4,7 Kacang hijo 4,1 Kangkung

  1 Belimbing 0,9 Kedelai 2,5 Seledri 0,7 Jagung 2,9 Kecap 0,6 Selada 0,6 Jambu Biji 5,6 Tahu 0,1 Tomat 1,2 Jeruk Bali 0,4 Susu kedelai 0,1

Tabel 2.1 (Lanjutan) Sayuran

  Serat/ 100gr Buah Serat/1 00gr Kacang Serat/10 0gr

  Paprika 7,4 Jeruk citrun

  2 Touge 0,7 Cabai 0,3 Mangga 0,4 Kacang panjang 3,2 Bawang putih 1,1 Nenas 0,4 Tempe 1,4 Bawang merah 0,6 Pepaya 0,7 - - Kentang 0,3 Pisang 0,6 - - Lobak 0,7 Semangka 0,5 - - Wortel 0,9 Sirsak 2 - - Brokoli 0,5 Srikaya 0,7 - - Kembang kol 0,9 Stroberry 6,5 - - Asparagus 0,6 Pear 0,3 Jamur 1,2 - - - - Terong 0,1 - - - - Sawi 2,0 - - - - Buncis 3,2 - - - - Nangka 1,4 - - - - Daun kelor 1,4 - - - -

  Sumber: Depkes,2005

b. Aktifitas Fisik

  Aktifitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga secara sederhana yang sangat penting bagi pemeliharaan fisik, mental dan kualitas hidup yang sehat dan bugar (Mien, 1998).

  Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur sangat penting selain untuk menghindari kegemukan, juga dapat menolong mencegah terjadinya penyakit akibat pola hidup seperti diabetes, serangan jantung dan stroke (Johnson, 1998).

  Pada waktu melakukan aktivitas fisik, otot-otot akan memakai lebih banyak glukosa daripada waktu tidak melakukan aktivitas fisik, dengan demikian konsentrasi glukosa darah akan turun. Melalui aktivitas fisik, insulin akan bekerja lebih baik sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel untuk dibakar menjadi tenaga (Soegondo, 2008).

  WHO merekomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik dengan intesitas sedang selama 30 menit per hari dalam satu minggu atau 20 menit perhari selama 5 hari dalam satu minggu dengan intensitas berat untuk mendapatkan hasil yang optimal dari aktivitas fisik atau olahraga. Hal ini terbukti dari studi yang dilakukan di Amerika terhadap 21.000 orang dokter menyatakan bahwa berolahraga 5 kali seminggu akan menurunkan 42% kasus yang diperkirakan akan menderita diabetes melitus tipe 2 (Johnson, 1998).

  Penelitian yang dilakukan terhadap lebih dari 10.000 lulusan Universitas Harvard yang dilakukan dalam waktu panjang, menunjukkan bahwa olahraga yang kuat dapat menambah kira-kira 10 bulan kepada hidup seseorang dan lebih lama lagi jika berolahraga sejak muda, kurang jika dilakukan pada usia lanjut (Johnson, 1998). Penelitian lain yang dilakukan selama 8 tahun kepada 87.353 perawat wanita yang melakukan olahraga ditemukan penurunan risiko penyakit diabetes tipe 2 sebesar 33% atau RR 0,87 (Goldstein, Muller, 2008; Ilyas, 2009).

  Menurut Riskesdas (2007), melaporkan 48,2% penduduk Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik (<5 hari dan <150 menit per hari). Kurang aktivitas fisik tertinggi terdapat pada kelompok umur 75 tahun keatas (76,0%) dan umur 10-14 tahun (66,9%), dilihat dari jenis kelamin, kurang aktivitas fisik lebih tinggi pada perempuan (54,5%) dibanding laki-laki (41,4%) (Balibangkes, 2008).

  Sebelumnya menurut SKRT tahun 2004 mendapatkan aktivitas tidak cukup gerak pada penduduk usia ≥15 tahun 68,7% dengan aktivitas tidak cukup gerak tinggi di semua propinsi (Hermita, 2006). Menurut Rahajeng, aktivitas fisik yang dilakukan selama 120 menit/hari mampu mencegah terjadinya diabetes mellitus dengan hazard rasio (HR) 0,56 pada kelompok yang telah mengalami TGT (Rahajeng, 2004).

  Penelitian kasus kontrol yang dilakukan oleh Purnawati terhadap 240 orang pasien rawat jalan di RSCM tahun 1998, menyatakan bahwa orang yang memiliki aktivitas fisik kurang berisiko untuk terkena diabetes melitus 2 kali lebih mudah dibandingkan dengan orang yang memiliki aktivitas fisik cukup. Hasil penelitian di RS M. Jamil padang juga menemukan hal yang sama, bahwa orang yang memiliki aktivitas fisik kurang berisiko 3,2 kali lebih mudah untuk menderita diabetes melitus tipe 2 dibanding dengan orang yang memiliki aktivitas fisik cukup (Yusmayati, 2008).

  Menurut Depkes RI (2008) gaya hidup juga bisa mempengaruhi kerentanan fisik terutama karena kurangnya aktifitas fisik akibatnya timbul penyakit yang sering diderita antara lain diabetes mellitus atau kencing manis, penyakit jantung, hipertensi, kanker atau keganasan dan lain-lain. Gaya hidup pada jaman modern ini telah mendorong orang mengubah gaya hidupnya seperti jarang bergerak karena segala sesuatu atau pekerjaan dapat lebih mudah dikerjakan dengan adanya teknologi yang modern seperti mencuci dengan mesin cuci, menyapu lantai dengan mesin penyedot debu, bepergian dengan kendaraan walaupun jaraknya dekat dan bisa dilakukan kita menjadi manja, karena kurang bergerak, sehingga tubuh menjadi lembek dan rentan penyakit. Untuk menciptakan hidup yang sehat, segala sesuatu yang kita lakukan tidak boleh berlebihan karena hal tersebut bukannya menjadikan lebih baik tetapi sebaliknya akan memperburuk keadaan. Jadi lakukanlah atau kerjakanlah sesuatu hal itu sesuai dengan kebutuhan

c. Merokok

  Merokok adalah salah satu faktor risiko terjadinya penyakit diabetes melitus tipe 2, menurut Amarican Diabetes Associations asap rokok dapat menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam jaringan, meningkatkan kadar kolesterol dan tekanan darah dan dapat meningkatkan kadar gula darah sehingga orang yang sering terpapar dengan asap rokok memiliki risiko terkena penyakit diabetes melitus lebih mudah dibanding dengan orang yang tidak terpapar dengan asap rokok (Tarigan, 2009). Merokok juga menyebabkan meningkatnya kadar gula darah sebagai akibat dari terjadinya resistensi insulin yang merupakan awal dari terjadinya diabetes melitus tipe 2 (Norma J, 2007).

  Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Eabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tas dengan atau tanpa bahan tambahan (Kemenkes RI, 2010).

  Merokok berhubungan dengan sensitivitas insulin dalam menarik glukosa di dalam darah dan menghambat produksi insulin sehingga kadar gula di dalam darah apabila merokok ≥1 batas dalam satu minggu. Sementara menurut Shiffman et.al

  (2004) bahwa seseorang dikatakan merokok apabila mengkonsumsi rokok 1-5 batang per hari, sedangkan yang dikatakan perokok berat apabila mengkonsumsi rokok 20- 40 batang per hari. Aktif merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2 (Carole et.al, 2007).

  Merokok dapat menyebabkan diabetes Mellitus karena aktivitas merokok sangat mungkin menjadi penyebab dari resistensi insulin (penyebab diabetes tipe 2) dan respon yang tidak cukup terhadap sekresi insulin. Merokok tidak hanya bisa meningkatkan resiko seseorang terserang diabetes tipe 2 tetapi juga komplikasi diabetes yang berbahaya. Komplikasi diabetes yang paling mematikan adalah tekanan darah tinggi yang bisa menyebabkan penyakit jantung. Menurut sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa resiko terserang penyakit diabetes bagi mereka yang merokok lebih dari 20 batang per hari adalah sebesar 61% sedangkan mereka yang dikategorikan perokok ringan hanya memiliki kenaikan resiko diabetes sebesar 29% (Tandra, 2007).

  Kebiasaan merokok menyebabkan gangguan metabolisme glukosa dan peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan peningkatan resiko terkena diabetes melitus. Hasil penelitian ini menunjukkan orang dengan kebiasaan merokok lebih beresiko terkena DM tipe 2 (Wicaksono, 2011).

d. Konsumsi Alkohol

  Alkohol mengandung kalori yang sangat tinggi yaitu 7 kalori per gram alkohol masuk ke dalam tubuh, maka akan dipecah menjadi asetat. Hal ini membuat tubuh membakar asetat terlebih dahulu daripada zat lainnya seperti lemak atau gula.

  Alkohol juga menghambat proses oksidasi lemak dalam tubuh, yang menyebabkan proses pembakaran kalori dari lemak dan gula terhambat dan akhirnya berat badan akan bertambah (Suyanto, 2010).

  Alkohol juga dapat mempengaruhi kelenjar endokrin, dengan melepaskan epinefrin yang mengarah kepada hiperglikemia transien dan hiperlipidemia sehingga konsumsi alkohol kontraindikasi dengan diabetes (Rahatta, 2009).

  Konsumsi alkohol hendaknya dibatasi dan dihindari bagi penderita diabetes karenadapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia pada mereka yangmenggunakan insulin dan sulfonilurea, terutama bila dikonsumsi pada saatsebelum makan (Sukardji, 2009).