BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Diabetes Mellitus - Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2012-2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Diabetes Mellitus

  Menurut American Diabetes Association (ADA), Diabetes Mellitus atau yang sering disebut dengan kencing manis adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik kadar glukosa darah di atas normal yang terjadi karena defisiensi insulin oleh pankreas, penurunan efektivitas insulin atau kedua- duanya (Perkeni, 2011).

  Diabetes Mellitus merupakan suatu keadaan hiperglikemia menahun yang akan mengenai seluruh sistem tubuh. Keadaan ini disebabkan oleh karena adanya faktor yang menghambat kerja insulin atau jumlah menurun. Hiperglikemia didefenisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dL.

  Kadar glukosa serum normal adalah 110 mg/dL. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus dan hampir semuanya di filtrasi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160-180 mg/dL (Price dan Wilson, 2006).

  Diabetes Mellitus ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi normal yaitu kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL dan kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dL (Misnadiarly, 2006). Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu di dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi.

  Insulin yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur pruduksi dan penyimpananya.

  9

2.2. Klasifikasi Diabetes Mellitus

  Ada beberapa klasifikasi DM yang dibedakan berdasarkan penyebab, perjalanan klinik dan terapinya. Menurut ADA tahun 2012 dilihat dari etiologisnya DM dibagi menjadi empat jenis. Klasifikasi ini telah disahkan oleh WHO, yaitu: DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional (diabetes kehamilan), dan DM tipe lainnya.

2.2.1. Diabetes Mellitus Tipe 1

  Diabetes Mellitus tipe 1 merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang atau berhenti (Rustama dkk, 2010).

  Tipe ini sering disebut insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) karena pasien harus membutuhkan insulin dan sampai saat ini belum dapat di sembuhkan (Sulistia dan Gunawan, 2007). DM tipe 1 biasanya terjadi pada anak-anak atau masa dewasa muda, prevalensinya Kurang lebih 5%-10% penderita dari kasus.

  Individu yang kekurangan insulin hampir atau secara total dikatakan juga sebagai diabetes “juvenile onset” atau “insulin dependent” atau “ketosis prone” Karena tanpa insulin terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan oleh ketoasidosis (Purnamasary, 2009).

  Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan pada terjadinya DM tipe 1. Walaupun hampir 80% penderita DM tipe 1 tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit sama. Faktor genetik berhubungan dengan HLA (Human

  

Leucocyte Antigen) tertentu yang berperan sebagai faktor kerentanan. Lingkungan

  (infeksi virus, toksin dll) akan memicu seseorang yang rentan yang menimbulkan DM tipe 1 (Rustama dkk, 2010).

2.2.2. Diabetes Mellitus Tipe 2

  Diabetes Mellitus tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin atau gangguan sekresi insulin. Pada tipe 2 ini tidak selalu dibutuhkan insulin, kadang-kadang cukup dengan diet dan antidiabetik oral. Karenanya DM ini disebut dengan Non

Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (Sulistia dan Gunawan, 2007).

  DM ini biasanya terjadi setelah usia 40 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada semua usia termasuk masa anak dan remaja. Dulu DM ini dikenal sebagai diabetes onset dewasa (maturitity onset diabetes) atau diabetes stabil (Rustama dkk, 2010). DM ini merupakan tipe DM yang paling sering terjadi, yaitu kurang lebih 90%-95% penderita mengalami DM tipe 2 dari kasus DM. Kebanyakan penderita kelebihan berat badan, sekitar 80% pasien DM ini mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi Insulin (Price dan Wilson, 2006; Smeltzer dan Bare, 2001).

  Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.

  Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi (Ndraha, 2014).

2.2.3. Diabetes Mellitus Gestasional

  Diabetes Mellitus gestasional terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemia tejadi selama kehamilan akibat sekresi hormon-hormon plasenta. Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemanasan makanan bagi janin serta persiapan menyusui. Menjelang aterm, kebutuhan insulin meningkat sehingga mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal, bila seorang ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin maka mengakibatkan hiperglikemia (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

  Diabetes Mellitus gestasional dapat menimbulkan dampak yang buruk untuk janin dalam kandungan jika tidak segera dilakukan pengobatan dengan benar. Kelainan yang dapat ditimbulkan misalnya kelainan bawaan, gangguan pernapasan, bahkan kematian janin (Tobing dkk, 2008). Setelah melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada wanita penderita diabetes gestasional akan kembali normal. Namun banyak wanita yang mengalami DM ini dikemudian hari akan menderita DM tipe 2 (Smeltzer dan Bare, 2001).

2.2.4. Diabetes Mellitus Tipe Lain

  Diabetes Mellitus tipe lain merupakan DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu. Hiperglikemia terjadi karena penyakit lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

2.3. Patofisiologi Diabetes Mellitus

  Diabetes Mellitus terjadi karena produksi insulin tidak ada atau tidak cukup. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta pulau Langerhans di dalam pankreas. Fungsi insulin adalah mengangkut glukosa ke dalam sel. Keberadaan sel bergantung pada jumlah glukosa yang masuk, yang kemudian diubah menjadi energi. Pada DM terjadi peningkatan glukosa dalam darah karena glukosa tidak dapat diangkut kedalam sel tanpa persediaan insulin yang cukup. Keadaan ini pada akhirnya akan mengakibatkan hiperglikemia (Varney dkk, 2006).

  Kadar tertinggi insulin terjadi sekitar 30-45 menit setelah makan makanan tinggi karbohidrat. Kadar insulin kembali ke tingkat basal seiring dengan penurunan kadar glukosa darah, sekitar 120 menit setelah makan. Pada keadaan glukosa darah rendah (kurangnya asupan karbohidrat) kadar insulin akan menurun dan keadaan ini akan merangsang sel alpha pankreas untuk mensekresikan glukagon. Glukagon berfungsi untuk mempertahankan ketersediaan bahan bakar apabila tidak tersedia glukosa makanan dengan merangsang glikogenolisis (pemecahan glikogen menjadi glukosa) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari asam amino, laktat, dan gliserol. Kadar glukosa darah tetap normal melalui mekanisme timbal balik insulin – glukagon (Marks dkk, 2000).

  Pada DM tipe 1, makin menurunnya insulin pasca makan akan mempercepat proses katabolisme. Insulinopenia, menyebabkan glukosa oleh otot dan lemak berkurang mengakibatkan hiperglikemia posprandial. Bila insulin makin menurun glukosa akan merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis, akan tetapi glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel maka hati akan berusaha lebih keras lagi sehingga terjadi hiperglikemia puasa menimbulkan diuresis osmotik disertai glukosuria dengan ambang ginjal sudah terlampaui (180 mg/dL). Tubuh akan kehilangan kalori, elektrolit dan cairan, terjadi dehidrasi yang meningkatkan stress fisiologis dengan hipersekresi hormon stress. Meningkatnya hormon stress dan menurunnya kadar insulin menyebakan peningkatan glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis dan ketogenesis ketoasidosis diabetik (Rustama dkk, 2010). Saat asidosis sudah menjalar keseluruh tubuh, penderita akan mengalami koma yang akhirnya menyebabkan kematian.

  Pada DM tipe 2, insulin di produksi tetapi sel resisten terhadap insulin, sehingga dibutuhkan sekresi insulin dalam jumlah lebih besar. Pada akhirnya pankreas tidak mampu memenuhi peningkatan insulin dan terjadilah hiperglikemia. Pada DM ini tidak terjadi ketoasidosis, tetapi DM yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan HHNK. Diabetes kehamilan sama dengan DM tipe 2, dalam hal ada persediaan insulin. Akan tetapi perubahan hormon selama kehamilan akan mengubah kemampuan toleransi tubuh terhadap insulin (Varney Dkk, 2006).

2.4. Gejala Diabetes Mellitus

  Gejala DM tipe 1 dan tipe 2 tidak banyak berbeda hanya gejalanya lebih ringan dan prosesnya lambat, bahkan kebanyakan orang tidak merasakan adanya gejala. Akibatnya penderita baru mengetahui menderita DM setelah timbul komplikasi. Biasanya penderita tipe 1 sering mengalami penurunan berat badan, sedangkan tipe 2 terjadi hal sebaliknya (Tobing dkk, 2008).

  Gejala DM yang biasa terjadi pada penderita DM yaitu Poliuria (banyak kencing), Polidipsi (banyak minum), dan Polifagia (banyak makan). Gejala ini disebut juga dengan gejala klasik atau gejala khas. Poliuria akan terjadi jika kadar gula darah melebihi nilai ambang ginjal (> 180 mg/dL), gula akan keluar bersama urin. Untuk mengurangi kekentalan gula dalam urin, tubuh akan menarik air sebanyak mungkin kedalam urin sehingga volume urin banyak dan menyebabkan sering kencing. Dengan banyaknya urin yang keluar, tubuh akan mengalami dehidrasi sehingga menyebabkan polidipsi karena sering haus. Sejumlah besar kalori hilang kedalam air kemih sehingga penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan ini Tubuh akan meningkatkan asupan makanan dengan timbulnya rasa lapar hal ini penderita DM jadi polifagia (Hartini, 2009)

  Kadang-kadang DM tidak menunjukkan gejala khas tetapi langsung menunjukkan gejala sesudah beberapa tahun mengidap penyakit DM. gejala ini disebut gejala kronik atau menahun. Gejala kronik yang sering timbul adalah kesemutan, kulit terasa panas seperti tertusuk-tusuk jarum, terasa tebal dikulit, kram, mudah ngantuk, mata kabur, dan biasanya sering ganti kacamata, gatal disekitar kemaluan terutama wanita, serta gigi mudah goyah dan mudah lepas (Tjokroprawiro, 2011).

2.5. Diagnosis Diabetes Mellitus

  Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosa di lakukan di klinik terpercaya, tetapi dapat juga dengan dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (Purnamasary, 2009). Untuk tujuan pemantaun hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer (Perkeni, 2011).

  Menurut Rustama dkk (2010) diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:

  1. Jika ditemukan gejala klasik (poliuria, polidipsia dan polifagia). Gejala ini disampaikan pasien saat berkonsultasi dengan didukung hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang lebih besar dari 200 mg/dL(11,1 mmol/L).

  2. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL (7mmol/L). Puasa adalah tanpa asupan kalori minimal selama 8 jam.

  3. Pada penderita yang asimptomatik ditemukan kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dL atau kadar glukosa darah lebih tinggi dari normal dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.

  Menurut WHO cara pelaksanaan TTGO dapat dilaksanakan dengan cara:

  a. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti biasa (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

  b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

  c. Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa.

  d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1.75 gram/kgBB (anak- anak), dilarutkan dalam air dan diminum dalam waktu 5 menit.

  e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel dalam darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.

  f. Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.

  g. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

  Pemeriksaan kadar HbA1c ( ≥ 6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada saran laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik (Perkeni, 2011). HbA1c adalah zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin (bagian dari sel darah merah). Pemeriksaan HbA1c digunakan sebagai indikator dalam memantau kontrol gula darah jangka panjang, diagnosis, penentuan prognosis, pengelolaan penderita DM. Dengan mengukur glycohemoglobin dapat diketahui berapa besar persentasi hemoglobin yang mengandung gula.

  Kadar HbA1c normal adalah 4 - 6% dari Hb total. Bila kadar gula darah tinggi dalam beberapa minggu, maka kadar HbA1c juga akan tinggi. Ikatan HbA1c yang terbentuk bersifat stabil yang dapat bertahan hingga 2-3 bulan. Kadar HbA1c akan mencerminkan rata-rata kadar dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan. Dengan mengukur kadar HbA1c dapat diketahui kualitas kontrol penyakit DM dalam jangka panjang, sehingga diketahui ketaatan penderita dalam menjalani perencanaan makan dan pengobatan (Dalimartha, 2004).

2.6. Epidemiologi Diabetes Mellitus

2.6.1. Distribusi dan Frekuensi

a. Menurut Orang

  Menurut WHO (2011) penderita DM di negara maju sebagian besar berada pada kelompok umur ≥ 65 tahun, sedangkan di negara berkembang penderita DM sebagian besar berada pada kelompok umur 45-64 tahun. Semua orang memiliki resiko untuk mengalami diabetes. Secara global, prevalensi DM lebih tinggi pada laki-laki. Menurut WHO (2008) prevalensi laki-laki (9,8%) lebih tingggi daripada perempuan (9,2%)

  Berdasarkan penelitian Butarbutar (2013) di RSUD Deli Serdang tahun 2012 proporsi penderita DM berusia ≤ 40 tahun yaitu 4,3% sedangkan yang berusia > 40 tahun yang menderita DM yaitu 95,7%. Proporsi laki-laki menderita

  DM yaitu 41,4% sedangkan pada perempuan 58,6%.

  b. Menurut Tempat

  Menurut IDF (2010) bahwa lebih dari 371 juta orang di dunia yang berumur 20-79 tahun, Indonesia merupakan negara urutan ke-7 dengan prevalensi DM tertinggi, di bawah China, India, USA, Brazil, Rusia dan Mexico. Prevalensinya di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada di perdesaan, serta cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi (Kemenkes, 2013).

  Menurut Riskesdas tahun 2013, Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%), dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter atau berdasarkan gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur (3,3%).

  c. Menurut waktu

  Prevalensi penderita DM terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 jumlah penderita DM mencapai 171 juta orang dan meningkat menjadi 366 juta orang pada tahun 2011. Secara global, DM menyebabkan 4,6 juta kematian setiap tahunnya. IDF memperkirakan DM akan meningkat menjadi 552 juta orang pada tahun 2030 (IDF, 2011). Di Indonesia menurut laporan WHO, prevalensi penderita DM tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang yang diperkirakan pada tahun 2030 meningkat menjadi 21,3 juta orang (Bustan, 2007).

2.6.2. Determinan

  a. Genetik

  Faktor genetik sangat berperan pada terjadinya DM. Hal ini terjadi karena DNA pada orang menderita DM akan diturunkan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin (Riyadi dan Sukarmin, 2008). Jika salah satu anggota keluarga menderita DM maka resiko berkembangnya DM tipe 2 pada anggota keluarga lainnya (saudara kandung) mendekati 40% dan 33% untuk anak cucu. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY, maturity-onset diabetes of the young), yaitu subtipe penyakit DM yang diturunkan dengan pola autosomal dominan, jika orang tua menderita DM tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) DM tipe 2 (Price dan Wilson, 2001).

  b. Usia Faktor usia merupakan faktor pemicu DM yang tidak bisa di kontrol.

  Orang yang berusia 40 tahun rentan terserang DM meskipun tidak menutupi kemungkinan terjadi pada usia dibawah 40 tahun (Tobing dkk, 2008). Hal ini terjadi karena umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara drastis menurun dengan cepat pada usia 40 tahun. Penurunan ini akan beresiko pada penurunan fungsi pankreas untuk memproduksi insulin.

  Berdasarkan penelitian Sinaga (2012) di Rumah Sakit vita Insani Pematangsiantar, proporsi penderita DM menurut kelompok umur tertinggi adalah kelompok umur 51-60 tahun (33,3%) sedangkan proporsi terendah pada kelompok umur ≤ 40 tahun (4,5%).

  c. Obesitas (Kegemukan)

  Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi pankreas disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada penderita obesitas yang mencukupi energi sel yang terlalu banyak (Riyadi dan Sukarmin, 2008). Menurut defenisi obesitas berarti berat badan berlebih sebanyak 20% dari

  2

  berat badan ideal atau indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m (Soewondo, 2007).

  Pada DM tipe 2 kondisi obesitas memicu timbulnya DM yang memiliki resiko 4 kali lebih besar dengan berat badan ideal. Obesitas merupakan faktor utama terjadinya DM tipe 2. Penelitian Denmark menggambarkan penyebaran obesitas pada pasien baru yang di diagnosis DM tipe 2 mencapai 80%, dimana penyebaran obesitas dengan latar belakang populasi yang memiliki umur yang sama sekitar 40% (Wicaksono, 2011).

  d. Pola Makan (Diet) Kurang gizi atau berlebihan sama-sama meningkatkan resiko terkena DM.

  Malnutrisi dapat merusak pankreas sedangkan obesitas meningkatkan gangguan kerja insulin. Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga akan berperan pada ketidakstabilan kerja pankreas (Riyadi dan Sukarmin 2007). Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh menyebabkan jumlah/kadar insulin sel beta pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu mengonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekresi insulin dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan menyebabkan DM (Wijayakusuma, 2008).

  e. Kurangnya Aktivitas Fisik

  Olahraga secara teratur dapat mengurangi resistensi insulin sehingga insulin dapat dipergunakan lebih baik oleh sel-sel tubuh dan dosis pengobatan dapat diturunkan. Sebuah penelitian membuktikan bahwa meningkatkan aktifitas fisik (sekitar 30 menit/hari) dapat mengurangi resiko DM. Olahraga juga dapat digunakan untuk membakar lemak dalam tubuh sehingga dapat mengurangi berat badan yang obesitas. Kebanyakan penderita DM tidak aktif berolahraga (Tobing dkk, 2008).

  Berdasarkan penelitian Wicaksono di Rumah Sakit Dr. Kariadi semarang (2011) dengan menggunakan kasus-kontrol bahwa terdapat hubungan bermakna antara kurangnya aktifitas fisik dengan kejadian DM dengan OR 3,00. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang kurang olahraga (aktifitas fisik) memiliki risiko 3 kali terjadi DM

  f. Infeksi dan Penyakit

  Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas sehingga menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel beta pada pankreas tidak bekerja optimal dalam mensekresi insulin. Beberapa penyakit tertentu, seperti kolesterol tinggi dan displidemia dapat meningkatkan resiko terkena DM (Wijayakusuma, 2008).

2.7. Komplikasi Diabetes Mellitus

2.7.1. Komplikasi Akut

1. Hipoglikemia

  Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL. Hipoglikemia pada pasien DM tipe1 dan DM tipe 2 merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati. Faktor utama terjadinya hipoglikemia adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan. Hipoglikemia timbul akibat peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah penyuntikan insulin atau karena obat yang meningkatkan insulin seperti sulfonilurea. Pernderita DM rentan terhadap komplikasi hipoglikemia sekitar 2 jam sesudah makan sampai waktu makan berikutnya. Oleh karena itu hipoglikemia sangat tinggi pada saat makan dan malam hari.

  Pada pasien DM tipe 2 jarang terjadi hipoglikemia berat, (Soemadji, 2009) lebih sering terjadi pada pasien DM tipe 1. Insiden hipoglikemia sebagai komplikasi dapat dikurangi dengan meningkatkan pemantauan gula darah. Gejala hipoglikemia dapat terdiri dari gejala neurogenik berupa berkeringat, lapar, rasa bergetar disekitar mulut, tremor, pucat, berdebar-debar, dan lemas. Selain itu ada juga gejala neuroglikopenik berupa lemah, sakit kepala, gangguan penglihatan, bicara tidak jelas, sulit berkonsentrasi, lelah, mengantuk, mudah marah, bingung, kejang dan koma (Rustama dkk, 2010).

2. Hiperglikemia

  Hiperglikemia adalah keadaan kelebihan gula darah yang disebabkan oleh makan secara berlebihan, stress, emosional, penghentian obat secara mendadak.

  Hiperglikemia dapat mengakibatkan ketoasidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik (HHNK) .

  a. Ketoasidosis Diabetik ( KAD)

  Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketoasidosis terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan).

  Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan glukosa sel tubuh menurun. KAD merupakan komplikasi akut DM yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat dieuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok (Soewando, 2009). KAD merupakan penyebab tersering kematian yang berhubungan dengan DM tipe 1 salah satu komplikasi terberatnya adalah edema otak yang terjadi pada sekitar 0,5-0,9 % kasus KAD dan menyebabkan 21-24 % kematian (Rustama dkk, 2010).

  b. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)

  Koma hiperosmolar hiperglikemia non ketotik ditandai oleh hiperglikemia, hipersmolar tanpa disertai adanya ketosis. HHNK lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, biasanya terjadi pada orang lanjut usia. Penyebabnya antara lain: infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering (57,1%). Faktor yang memulai HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria menyebabkan kegagalan pada ginjal dalam mengkonsentrasikan urin yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air.

  Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik dan penurunan cairan tubuh total. Terjadi peningkatan konsentrasi protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan intravaskular menyebabkan keadaan hipersmolar. Keadaan ini memicu sekresi hormon anti diuretik dan rasa haus.

  Pada hiperglikemia dan hipersmolar akan timbul dehirasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan stadium terakhir dari hiperglikemia dimana telah timbul gangguan elektrolit berat.

  Keluhan pasien HHNK adalah rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma (Soewando, 2009).

2.7.2. Komplikasi Kronik

  Komplikasi kronik jangka panjang atau dapat disebut juga dengan komplikasi vaskular jangka DM melibatkan pembuluh pembuluh kecil (mikrovaskular) dan pembuluh pembuluh sedang dan besar (makrovaskular). Menurut Tjokroprawiro (2011) risiko terjadinya komplikasi pada penderita DM adalah 2 kali lebih mudah mengalami stroke, dua puluh 25 kali lebih mudah mengalami buta, 2 kali lebih mudah mengalami PJK (Penyakit Jantung Koroner),

  17 kali lebih mudah mengalami gagal ginjal kronik, dan 5 kali lebih mudah mengalami selulitis atau ganggrene.

1. Komplikasi Mikrovaskular

a. Retinopati Diabetik

  Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia 20-74 tahun. Resikonya 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibandingkan dengan nondiabetes. Resikonya meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada waktu diagnosis DM tipe 1 ditegakkan retinopati diabetik hanya ditemukan < 5% dari pasien. Setelah 10 tahun prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan setelah 20 tahun > 90 % pasien. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan 25 % retinopati diabetik nonpoliferatif dan setelah 20 tahun meningkat menjadi 60 % (Pandelaki, 2009).

  Retinopati diabetik disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. Retina merupakan bagian mata yang menerima bayangan dan mengirimkan informasi bayangan tersebut ke otak (Smeltzer dan bare, 2001). Faktor resiko timbulnya retinopati adalah kadar gula yang tidak terkontrol, durasi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia dan merokok. Retinopati diabetik sering tidak bergejala hingga kelainan yang berat atau kerusakan retina yang ireversibel sudah terjadi (Rustama dkk, 2010).

c. Nefropati Diabetik

  Nefropati diabetik pada DM ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Di Amerika dan Eropa nefropati merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal dan merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi diantara semua komplikasi DM dan penyebab kematian tersering karena komplikasi kardiovaskuler (Hendromartono, 2009). Pada DM tipe 1 sering memperlihatkan tanda-tanda penyakit renal setelah 15-20 tahun kemudian, sementara pada DM tipe 2 dapat terkana renal dalam waktu 10 tahun sejak diagnosa DM (Soewando, 2009).

d. Neuropati Diabetik

  Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis yang paling sering ditemukan pada DM. Resiko yang dihadapi pasien DM dengan neuropati diabetik ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Manifestasi neuropati sangat bervariasi, mulai dari tidak ada keluhan dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektro fisiologis hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa juga keluhan dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik tergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi (Subekti, 2009). Neuropati DM dapat menyerang semua tipe saraf termasuk perifer, otonom dan spinal.

  Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia penderita dan lamanya panyakit DM. prevalensi dapat meningkat 50 % pada pasien menderita DM selama 25 tahun. Kenaikan glukosa selama bertahun-tahun telah membawa implikasi pada neuropati (Smeltzer dan Bare, 2001).

2. Komplikasi Makrovaskular

a. Gangguan Pada kaki (Kaki Diabetes)

  Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi yang paling ditakuti, karena sering berakhir dengan kecacatan dan kematian. Di Indonesia kaki diabetes masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal. Terjadinya masalah kaki diabetes diawali dengan adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Kelainan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kulit dan otot kemudian terjadi perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjuntnya mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas (Waspadji, 2009)

  b. Gangguan Pada Pembuluh Darah

  Kerusakan pada pembuluh darah karena DM akan mengakibatkan masalah pada jantung dan otak, serta gangguan pada pembuluh darah kaki akibatnya sirkulasi terganggu, terjadi peningkatan tekanan darah (hipertensi) dan infark hati dan cerebral. Penyempitan pembuluh darah disebabkan adanya tumpukan lemak pada dinding pembuluh darah. Penumpukan ini tidak hanya terjadi karena pola makan yang tidak normal tetapi juga disebabkan oleh kontrol metabolisme glukosa dalam hati tidak normal. Komplikasi dapat mengenai pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga terjadi aterosklorosis. Perubahan ini menyebabkan meningginya LDL-kolesterol dan trigliserida serta menurunnya HDL kolesterol (Tobing dkk, 2008).

  c. Gangguan Fungsi Jantung

  Gangguan pada pembuluh darah akan mengakibatkan aliran darah ke jantung terhambat atau terjadi iskhemia (kekurangan oksigen di otot jantung), timbul angina pectoris bahkan akhirnya dapat menyebabkan serangan jantung dan hingga gagal jantung(Tobing dkk, 2008).

  d. Gangguan Fungsi Pembuluh Otak

  Pasien DM sering merasakan berat dibelakang kepala, leher, dan pundak, pusing (vertigo) serta pendengaran dan penglihatan terganggu. Jika hal ini dibiarkan, gangguan neurologis akan muncul, misalnya dalam bentuk stroke yang disebabkan penyumbatan atau pendarahan (Tobing dkk, 2008).

  e. Gangguan Pada Paru

  Pada penderita DM biasanya lebih mudah terserang infeksi Tuberkulosis Paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. DM memperberat infeksi paru, demikian pula sebaliknya sakit paru akan menaikkan glukosa darah (Ndraha, 2014).

  f. Gangguan Pada Sistem Pencernaan

  Mengidap DM terlalu lama dpat mengakibatatkan urat saraf yang memelihara lambung akan rusak sehingga fungsi lambung untuk menghancurkan makanan menjadi lemah. Hal ini menyebabkan lambung menjadi bergelembung sehingga proses pengosongan lambung terganggu dan makanan lebih lama tertinggal lambung. Keadaan ini akan menimbulkan rasa mual, perut mudah terasa penuh, kembung, makan tidak lekas turun, kadang timbul terasa sakit di ulu hati atau makanan terhenti dalam dada, hal ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran pencernaan bisa juga timbul akibat pemakaian obat-obatan yang diminum.(Tjokroprawiro, 2011).

2.8. Pencegahan Diabetes Mellitus

  Pencegahan DM terdiri dari 3 cara yaitu: pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.

  2.8.1. Pencegahan Primer

  Pencegahan primer adalah semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang beresiko untuk jadi DM atau pada populasi umum. Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasarannya adalah orang-orang yang belum sakit. Pada pencegahan ini dilakukan dengan memprogandakan pola hidup yang sehat dan menghindri pola hidup beresiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati. Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang.

  Selain makanan juga pola hidup beresiko lainnya juga harus dihindari. Menjaga berat badan agar tidak gemuk, dengan olahraga teratur hal ini merupakan pencegahan primer yang efektif dan murah (Suyono, 2009). Pola hidup yang salah juga perlu dihindari seperti berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alkohol, menghindari stress serta menghindari obat-obatan yang dapat menimbulkan DM (Tobing dkk, 2008).

  2.8.2. Pencegahan Sekunder

  Pencegahan sekunder merupakan suatu tindakan untuk menemukan penderita DM sedini mungkin misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi beresiko tinggi, dengan demikian pasien DM yang tidak terdiagnosis dapat terjaring sehingga dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau bila sudah ada komplikasi masih reversibel.

  Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari. Tekanan darah dan kadar lipid juga harus normal, supaya tidak terjadi resistensi insulin. Dalam pencegahan sekunder ini diutamakan dulu cara-cara nonfarmakologis secara maksimal, misalnya dengan diet dan olahraga. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun insulin.

  Pada pencegahan sekunder, penyuluhan tentang pola hidup sehat sperti pencegahan sekunder perlu dilaksanakan. Ditambah dengan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit A sampai unit paling depan yaitu puskesmas. Penyuluhan dilakukan kepada pasien dan juga keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi (Suyono, 2009).

  Menurut Perkeni (2011); Gunawan dan Sulistia (2007) didalam upaya pencegahan sekunder diperlukan intervensi farmakoligis antara lain: a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

  OHO biasanya diberikan pada penderita DM tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja berdasarkan cara kerjanya digolongkan menjadi:

  1. Pemicu sekresi insulin : Sulfonilurea dan glinid Golongan Sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi oleh sel beta pankreas yang merupakan pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang, Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi. Sedangkan golongan glinid cara kerjanya sama dengan Sulfonilurea namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase pertama yang baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial.

  2. Peningkat sensivitas insulin: biguanid dan tiazolidindion Golongan biguanid yang banyak digunakan adalah metformin.

  Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Merupakan pilihan utama untuk penderita DM yang gemuk disertai displidemia dan resistensi insulin. Tiazolidindion menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, obat ini dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan retensi cairan.

  3. Penghambat glukoneogenesis: biguanid Selain menurunkan resistensi insulin, metformin juga mengurangi produksi glukosa hati, dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis.

  4. Penghambat glukosidase alfa : Acarbose Acarbose Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.

  Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens. Menghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk.

  GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolik yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat penglepasan glukagon.

  b. Insulin Insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe 1 demi kelangsungan hidup penderita. Beberapa jenis DM tipe 2, yang tidak dapat diatasi hanya dengan diet dan atau OHO, pasien DM gestasional, DM dengan ketoasidosis, koma non ketososis, atau komplikasi lain, sebelum tindakan operasi. Tujuan pemberian insulin pada semua keadaan tersebut bukan hanya untuk menormalkan glukosa darah tetapi juga memperbaiki semua aspek metabolisme. Keadaan mendekati normaglisemia dicapai pada DM dengan multiple dosis harian insulin, tujuannya mencapai glukosa darah puasa 90-120 mg/dL, glukosa postprandial < 150 mg/dL, HbA1C < 7%. Pada pasien kurang patuh terhadap terapi mungkin perlu dicapai nilai glukosa darah yang lebih tinggi (140 mg/dL) dan postprandial 200-250 mg/dL (Gunawan dan sulistia, 2007).

2.8.3. Pencegahan Tersier

  Pencegahan tersier merupakan upaya mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi. Upaya ini dilakukan untuk mencegah berlanjutnya komplikasi supaya tidak menjurus kepada penyakit organ lainnya dan mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan. Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam hal ini penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien dalam mengendalikan diabetesnya (Suyono, 2009).

2.9. Kerangka Konsep Karakteristik penderita DM dengan komplikasi

  1. Sosiodemografi : Umur Jenis Kelamin Suku Agama Pendidikan Pekerjaan Tempat Tinggal

  2. Keluhan Utama

  3. Jenis Komplikasi

  4. Pemeriksaan HBA1c : Ada tidaknya pemeriksaan Kadar pemeriksaan

  5. Pengobatan

  6. Sumber Biaya

  7. Lama rawatan rata-rata

  8. Keadaan sewaktu pulang

Dokumen yang terkait

BAB II PENGELOLAHAN KASUS A. Konsep dasar 1. Pengertian halusinasi - Asuhan Keperawatan pada Ny. I dengan Prioritas Masalah Halusinasi Pendengaran di RSJ Daerah Provsu Medan

0 0 25

BAB 3 PEMBAHASAN DAN HASIL 3.1 Gambaran Umum Responden - Analisis Pengaruh Gaji, Interaksi Sosial Dan Motivasi Kerja Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada Pt. Bank Mandiri ,Tbk Cab. Ahmad Yani Medan

0 1 21

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia - Analisis Pengaruh Gaji, Interaksi Sosial Dan Motivasi Kerja Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada Pt. Bank Mandiri ,Tbk Cab. Ahmad Yani Medan

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Upaya untuk Pencapaian Adiwiyata pada Sekolah Dasar di Kota Medan Tahun 2015

0 0 19

Upaya untuk Pencapaian Adiwiyata pada Sekolah Dasar di Kota Medan Tahun 2015

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Karakterisasi dan Skrining Fitokimia serta Uji Efek Antidiare Ekstrak Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca ABB) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus)

0 1 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Kesehatan 2.1.1 Pengertian Perilaku Kesehatan - Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Belawan Tahun 2015

0 1 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Belawan Tahun 2015

0 0 11

Hubungan Karakteristik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan Perilaku Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Belawan Tahun 2015

0 0 17

Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2012-2013

0 1 19