Pengaruh Diameter Die, Bahan Pengikat, dan Kadar Air Bahan Baku Terhadap Kualitas Pelet yang Dihasilkan pada Produksi Pelet Pakan Ternak Ruminansia Berbasis Biomassa Kelapa Sawit
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biomassa Kelapa Sawit
Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sampai 70% dan faktor genetik hanya 30%. Diantara faktor lingkungan, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar mencapai 60%. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas, maka produktivitas yang tinggi tidak akan tercapai. Disamping pengaruhnya yang besar terhadap produktivitas ternak, faktor pakan juga merupakan biaya produksi yang terbesar dalam usaha peternakan mencapai 60-80% biaya produksi (Mariyono dan Romjali, 2007),
Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan yaitu sekitar 60-70%. Namun demikian karena ketersediaannya sangat terbatas maka pengembangan peternakan dapat diintegrasikan dengan usaha pertanian. Strategi penyediaan pakan ternak dapat dilakukan dengan pemanfaatan limbah pertanian dan limbah agroindustri pertanian (Mariyono dan Romjali, 2007).
Industri kelapa sawit beserta produk sampingnya berpotensi sebagai sumber bahan pakan alternatif. Menurut Siahaan dkk. (2009), produk samping industri kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan adalah: pelepah (oil palm
frond /OPF), daun, tandan kosong (empty fruit bunches/EFB), serat perasan (fiber),
lumpur sawit (solid decanter/SD), dan bungkil inti sawit (palm kernel cake/PKC).Ranjhnan (2001) mengemukakan bahwa produk samping industri kelapa sawit seperti ampas press, serat, lumpur sawit, bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan. Lumpur sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan sampai dengan 10% dari total pakan untuk ternak sapi dan babi. Bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai sumber protein maupun energi. Menurut Siahaan dkk. (2009) daya dukung produk samping kelapa sawit menjadi bahan baku pakan adalah bahan kering pelepah mencapai 37,52 juta ton/tahun dari total tanaman kelapa sawit produktif. Sedangkan produk samping industri kelapa sawit (dalam kg/ha/tahun) adalah bahan kering bungkil inti sawit 470,58 kg, lumpur sawit 264,88 kg, dan serat perasan 2457,84 kg.
2.2. Pakan Ternak Ruminansia
2.2.1. Pakan Konsentrat
Konsentrat adalah pakan yang mengandung kepadatan nutrien tinggi,
biasanya kadar serat kasarnya rendah (kandungan serat kasar kurang dari 18% bahan kering) dan kadar Total Digestible Nutrient (TDN) nya tinggi. Konsentrat dapat diberikan sebagai pakan tunggal atau dicampur dalam ransum seimbang untuk tujuan produksi tertentu. Ada dua macam pakan konsentrat, yaitu carbonaceous concentrate adalah jenis pakan dengan kandungan TDN yang sangat tinggi tetapi rendah protein (8 – 11%), contohnya adalah biji-bijian sereal (jagung, oat, barley, gandum).
Proteinaceous concentrate atau bahan pakan sumber protein adalah jenis pakan yang
kandungan proteinnya tinggi (lebih dari 15%) misalnya bungkil kedelai, bungkil kacang, canola, biji bunga matahari, bungkil kelapa, tepung ikan (FAO, 1983).
Menurut Mariyono dan Romjali (2007), konsentrat sapi potong tidak selalu berbentuk konsentrat buatan pabrik (komersial), namun dapat berupa bahan pakan tunggal atau campuran beberapa bahan pakan. Introduksi penggunaan konsentrat sapi potong banyak digunakan untuk usaha penggemukan dan pada sapi induk dianjurkan sebesar 1-1,5% bobot badan. Kandungan gizi konsentrat sapi potong yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor bekerjasama dengan perusahaan pakan “Yellow Feed” adalah: kadar air maks 13%, protein kasar min 12%, lemak kasar maks 5%, serat kasar maks 15%, abu maks 10%, TDN min 63%, Ca 0,9% dan P 0,5% (Mariyono dan Romjali, 2007).
2.2.2. Pakan Lengkap
Complete feed (pakan lengkap) adalah kombinasi konsentrat dan pakan kasar
(roughages) dalam satu ransum (Sunarso et al., 2011). Pakan lengkap adalah campuran berbagai bahan pakan menjadi ransum untuk memenuhi kebutuhan nutrien spesifik sehingga meningkatkan konsumsi nutrien dan efisiensi pakan. Pakan lengkap dapat mengandung pakan kasar maupun tidak (Wright and Lackey, 2008). atau mengoptimalkan pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami (jerami padi, jerami jagung), dedak padi, bekatul, dapat juga menggunakan limbah industri pertanian seperti bungkil kelapa, bungkil sawit, bungkil kapuk, bungkil kacang, bungkil kedelai, onggok dan sebagainya. Bahan-bahan tersebut memiliki nilai nutrisi yang cukup untuk diolah sebagai bahan penyusun ransum pakan lengkap yang berkualitas (Soeharsono, 2004).
Keuntungan pemberian pakan lengkap yaitu peternak lebih bisa mengontrol program pemberian pakan, menghemat tenaga dan keseluruhan biaya produksi.
Semua hijauan, biji-bijian, suplemen protein, mineral dan vitamin telah dicampur menjadi satu dan ternak akan mengonsumsi semuanya karena tidak bisa memilih bahan pakan yang disukai. Nutrien pakan lengkap telah disesuaikan menurut periode produksi, fisiologis ternak dan produksi yang ingin dicapai sehingga tidak berlebih maupun tidak kurang. Pemberian pakan lengkap lebih praktis saat diaplikasikan pada ternak ruminansia karena sudah mengandung hijauan dan konsentrat, sehingga tidak perlu ada interval waktu pemberian konsentrat dan hijauan. Kelemahan pakan lengkap yaitu lebih rumit dalam penyiapannya, ternak harus dikelompokkan berdasarkan produksinya (terutama untuk ternak perah) karena kebutuhan nutriennya berbeda-beda, diperlukan peralatan yang memiliki kapabilitas untuk mencampur seluruh komponen pakan secara akurat (Schroeder and Park, 2010).
Menurut Mariyono dan Romjali (2007), teknologi pakan lengkap murah telah dikembangkan dan diadopsi secara komersial oleh pabrik pakan Prima Feed di dikembangkan tersebut adalah: kadar air maks 15%, protein kasar 9-12%, lemak kasar maks 4%, serat kasar 20%, abu maks 10%, TDN min 60%, Kalsium 1,0% dan P 0,5%. Pakan tersebut banyak digunakan untuk penggemukan dan pembibitan sapi di wilayah yang tidak tersedia pakan hijauan sepanjang tahun seperti di daerah Nusa Tenggara.
2.2.3. Pakan Berbasis Biomassa Kelapa Sawit
Bahan pakan lengkap ternak ruminansia berbasis biomassa kelapa sawit hasil formulasi PPKS terdiri atas rajangan pelepah kelapa sawit, bungkil inti sawit, dedak padi halus, molasses, garam, mineral, dan urea (Rahutomo dkk, 2012). Komposisi bahan pakannya bervariasi tergantung peruntukannya, untuk penggemukan berbeda dengan untuk pembiakan seperti terlihat pada Tabel 2.1. berikut ini.
Tabel 2.1. Komposisi pakan lengkap ternak ruminansia berbasis biomassa kelapa sawit untuk penggemukan dan pembiakan sapiNo Komponen Penggemukan Pembiakan
1 Rajangan pelepah (%)
50
78
2 Bungkil inti sawit (%)
18
10
3 Dedak padi halus (%) 27 8,5
4 Molases (%) 1,5 1,5
5 Garam (%) 0,8 0,4
6 Mineral (%) 1 0,5
7 Urea (%) 0,4 0,2
Sumber: Rahutomo dkk. (2012)
Sedangkan kandungan nutrisi pelepah, bungkil inti sawit dan pakan lengkap hasil formulasi PPKS dapat dilihat pada Tabel 2.2., Tabel 2.3. dan Tabel 2.4. berikut ini.
- – 57,90 g/100 g
- – 4,46 g/100 g
- – 5,46 g/100 g
- – 2,13 g/100 g
- – 0,42 g/100 g
- – 0,13 g/100 g
- – 11,41
Sumber: Rahutomo, dkk (2012)
4 Lignin 9,35 g/100 g
3 SDA 40,07 g/100 g
2 Lemak kasar 5,92 g/100 g
1 Protein kasar 14,64 g/100 g
No Nutrisi Besaran Satuan
Tabel 2.3. Kandungan nutrisi bungkil inti sawitSumber: Rahutomo dkk. (2012)
8 Energi 4132 - 4147 Kkal/g
%
7 Beta-N 10,55
6 Phospor 0,03
5 Kalsium 0,27
4 Lemak kasar 1,84
3 Protein kasar 3,92
2 Kadar abu 3,42
1 Bahan kering 49,47
No Nutrisi Besaran Satuan
Tabel 2.2. Kandungan nutrisi pelepah kelapa sawitPakan lengkap ini merupakan salah satu hasil dari Program Integrasi Sawit, Sapi, dan Energi (ISSE). Program ini merupakan sebuah paket teknologi pengandangan ternak sapi yang mengandalkan hasil samping dari agrobisnis kelapa sawit berupa pelepah dan bungkil inti sawit sebagai sumber pakan serta pemanfaatan limbah dari pengandangan menjadi sumber energi dan pupuk organik yang dikembalikan ke kebun. Selain mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014, program ISSE juga mampu memberi solusi terhadap permasalahan ternak sapi di perkebunan selama ini yang dianggap sebagai hama.
Tabel 2.4. Kandungan nutrisi pakan lengkap berbasis biomassa kelapa sawit11 Mg 0.51 g/100 g
c.
Mesin pencacah pelepah kelapa sawit generasi ke-5 (G5-700-PPKS) yang mampu mencacah pelepah kelapa sawit segar dari pangkal pelepah hingga ujung daun.
b.
Hasil samping industri kelapa sawit yang dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan adalah pelepah kelapa sawit mulai dari pangkal sampai ujung daun, dan bungkil inti sawit.
Penelitian formulasi pakan ternak oleh PPKS ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2006. Sampai dengan tahun 2012 sudah berhasil ditemukan beberapa hal sebagai berikut : a.
14 Zn 43 ppm Sumber: Lab. Balitnak Kementan, (2013)
13 B 4.69 ppm
12 K 0.77 ppm
10 Lignin 7.11 g/100 g
No Nutrisi Besaran Satuan
9 ADF 33.41 g/100 g
8 P 0.49 g/100 g
7 Ca 0.63 g/100 g
6 Abu 8.65 g/100 g
5 SK 17.7 g/100 g
4 Energi 4228 kkal/kg
3 Lemak 7.72 g/100 g
2 Protein 20.03 g/100 g
1 Air 27.12 g/100 g
Komponen penyusun pakan lengkap adalah rajangan pelepah kelapa sawit, bungkil inti sawit, dedak, urea, garam, molasses dan ultra mineral. d.
Formulasi pakan yang tepat dan berbeda untuk pembibitan dan penggemukan.
e.
Teknologi biogas dari kotoran sapi f. Teknologi pupuk organik cair maupun padat dari kotoran sapi
Sedangkan target penelitian selanjutnya adalah dihasilkannya pakan ruminansia besar dan kecil dengan kadar protein 20% dan dikemas dalam bentuk pelet (Rahutomo dkk, 2012).
2.3. Pelet Pakan Ternak
Menurut Pathak (1997), peletisasi adalah proses pengolahan pakan tunggal, konsentrat ataupun pakan lengkap menjadi bentuk silindris dan pakan yang dihasilkan disebut pelet. Caranya bahan pakan dimasukan ke dalam mesin pelleting kemudian melalui proses ekstrusi bahan pakan tersebut ditekan masuk melalui lubang die dengan diameter yang diinginkan dan hasilnya berupa pakan berbentuk pelet/silinder. Proses pembuatan pelet dapat dilakukan dengan ataupun tanpa perlakuan temperatur maupun pengikat (binder).
Diameter pelet ditentukan oleh jenis hewan yang akan mengkonsumsinya. Pelet yang berasal dari pakan jenis konsentrat diameternya antara 5
- – 15 mm dengan panjang antara 7
- – 20 mm pada umumnya untuk ikan dan unggas. Sedangkan pelet yang berasal dari jenis pakan yang berbasis biomassa diameternya lebih besar yaitu antar
- – 20 mm dengan ukuran panjang yang hampir sama biasanya untuk hewan
Peletisasi pakan ternak bertujuan untuk: 1.
Meminimalkan terbentuknya debu dan partikel-partikel halus lainnya yang akan menyulitkan bagi pekerja pada saat pengolahan maupun pada hewan ketika akan memakannya.
2. Memastikan konsumsi nutrisi tertentu yang kurang disukai atau bahkan tidak disukai sama sekali oleh hewan tertentu.
3. Mengurangi jumlah pakan yang tidak termakan/tersisa, karena dengan berbentuk pelet maka sisa pakan mudah dikumpulkan dan bisa diberikan kembali kepada hewan ketika sudah dicampur dengan pelet yang baru.
4. Menjamin keseragaman distribusi dan konsumsi zat gizi dalam campuran pakan.
5. Mengurangi volume sehingga menghemat tempat untuk penyimpanan, sedangkan densitasnya meningkat sehingga meningkatkan efisiensi konsumsi pakan.
6. Relatif tidak akan ada zat gizi pakan yang hilang jika dibuat dalam bentuk pelet dibandingkan dalam bentuk curah.
7. Memudahkan penanganan dan transportasi.
Berdasarkan ada tidaknya molasses sebagai pengikat, pelet dibedakan menjadi dua yaitu pelet keras dan pelet lunak. Pelet keras adalah pelet yang tidak menggunakan pengikat (berupa molasses) ataupun kalau ada jumlahnya tidak lebih dari 10%. Sedangkan pelet lunak menggunakan molasses sebagai pengikat jumlahnya berkisar antara 30-40%. Selain itu, bentonit, kalsium oksida dan kalsium karbonat dapat juga digunakan sebagai pengikat pada pelet lunak (Pathak, 1997).
2.3.1. Proses Produksi Pelet
Umumnya proses pengolahan pelet terdiri dari 3 tahap, yaitu 1) pengolahan pendahuluan meliputi pencacahan, pengeringan dan penghancuran menjadi tepung, 2) Pembuatan pelet meliputi pencetakan, pendinginan dan pengeringan, 3) Perlakuan akhir meliputi sortasi, pengepakan dan penggudangan (Tjokroadikoesoemo dalam Krisnan dan Ginting, 2009). Secara ringkas tahapan pembuatan pelet sebenarnya hanya meliputi beberapa proses penting yaitu pencampuran (mixing), pengaliran uap (conditioning), pencetakan (extruding) dan pendinginan (cooling). Bagi industri atau pabrik pakan unggas (non ruminansia) dan pakan ikan (aqua feed), hal tersebut umum dilakukan mengingat dukungan peralatan dan mesin yang modern pada skala usaha industri. Namun berbeda halnya dengan industri pakan ruminansia yang umumnya masih menggunakan mesin sederhana pada skala usaha menengah atau kecil. Sebagian besar pabrik pakan ruminansia, mesin pelet yang digunakan masih bersifat sederhana tanpa dilengkapi conditioner, akibatnya pelet yang dihasilkan banyak yang pecah atau kualitas pelet menjadi terkoreksi (Krisnan dan Ginting, 2009).
Berdasarkan karakteristik bahan bakunya, pembuatan pakan pelet dari biomassa kelapa sawit memerlukan penambahan tahapan proses yaitu: a. Penambahan bahan pengikat (binder)
Binder merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses pelleting. Fungsi
dari bahan pengikat dalam pelleting adalah untuk meningkatkan kekompakan bahan yang hendak dibuat pelet. Pemilihan dan penggunaan jumlah bahan pengikat dalam pembuatan pelet perlu diperhatikan. Jika terlalu sedikit digunakan, pelet yang dihasilkan tidak sempurna atau mudah pecah. Sebaliknya, jika terlalu banyak digunakan maka pori-pori bahan pelet akan tertutup.
Bahan pakan yang berbasis biomassa mengandung kadar pati yang rendah. Kondisi tersebut menyebabkan minimnya proses gelatinisasi pada saat pengkondisian bahan baku. Pati yang mengalami gelatinisasi sifat fisik dan kimianya berubah menjadi pasta dan lengket. Sifat tersebut dimanfaatkan sebagai bahan pengikat komponen pakan lainnya sehingga menjadi kompak dan tidak mudah pecah.
Kondisi tersebut tidak dialami oleh bahan pakan yang berbasis biomassa. Karena minimnya kandungan pati maka proses gelatinisasi tidak maksimal sehingga komponen pakan menjadi tidak terikat satu sama lain secara sempurna. Oleh karena itu pada produksi pakan yang bahan bakunya berbasis biomassa diperlukan tambahan bahan pengikat. Bahan pengikat yang biasa dipakai untuk membuat pelet menurut Menurut Mardiana (2011) bahan pengikat yang umum digunakan berupa: gula dan polimer, polimer alam: starch (amilum) dan gum (acacia, tragacanth, gelatin), dan polimer sintetik: metil selulosa, etil selulosa, dan hidroksi propil selulosa.
Dari bahan-bahan di atas, amilum merupakan salah jenis perekat alami yang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Amilum (C H O )n, merupakan
6
10
5
cadangan makanan utama bagi tumbuhan dan dua per tiga bagian dari kalori karbohidrat yang dibutuhkan oleh kebanyakan manusia. Ketersediaannya yang banyak di pasaran (meliputi gandum, jagung, beras, kentang, dan lain-lainnya), kemudahan dalam penggunaannya, serta daya rekatnya yang telah terbukti (sebagai perekat pada pelet pakan ternak, amplop, perangko, dan lain sebagainya) membuat penggunaan amilum kian diminati. Akan tetapi, amilum juga memiliki kekurangan berupa sifat alir dan kompresibilitasnya yang kurang baik sehingga dibuat amilum pregelatinasi (Bolhuis dan Chouhan, 1996 dalam Mardiana (2011).
Amilum pregelatinasi merupakan pati amilum yang dibuat menjadi pati pregelatinasi dengan cara memanaskan suspensi pati hingga suhu gelatinasi kemudian didinginkan. Pada umumnya amilum yang normal memiliki dua tipe polimer D-glucopyranose, yakni amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polimer dari unit α-D-glucopyranosyl yang sebagian besar terdiri atas rantai lurus. Amilosa ini bersifat tidak larut dalam air dingin, mengembang pada suhu tinggi, dan kurang lekat. Adapun amilopektin merupakan polimer berantai cabang dari unit α-D-
glucopyranosyl . Rasio dari amilosa-amilopektin inilah nantinya yang akan mempengaruhi sifat dari pati itu sendiri. Tabel 2.5 menunjukkan kandungan amilosa dan amilopektin pada beberapa sumber pati.
Tabel 2.5. Karakteristik beberapa jenis patiUkuran Rasio Suhu Jenis Pati Bentuk Granula ˚
Granula (µm) Amilosa/Amilopektin Gelatinasi (
C) Sagu Elips agak 20 - 60 27/73 60 – 72 terpotong
Beras Poligonal 3 - 8 17/83
61
- – 78 Jagung Poligonal 5 - 25 26/74
62
- – 74 Kentang Bundar 15 - 100 24/76
56 – 69 Tapioka Oval 5 - 35 17/83 52 – 64 Gandum Elips 2 - 35 25/75
52
- – 64 Ubi Jalar Poligonal 16 - 25 18/82
58
- – 74
Sumber: Knight (1969) dalam Mardiana (2011)
Granula amilum yang tidak rusak memiliki sifat yang sukar larut dalam air dingin, tetapi mampu menyerap air dengan sedikit pengembangan yang reversible.
Sedangkan pada air panas, granula dapat mengembang secara irreversible sehingga membentuk gelatin. Hal ini disebabkan pada temperatur tertentu (temperatur gelatinasi), energi kinetik molekul lebih kuat dibandingkan ikatan hidrogen pada granul sehingga menyebabkan ruang dalam granul pecah dan mengembang. Granula pati yang mengembang tersebut cenderung saling berkaitan membentuk gel (Meyer, 1961 dalam Mardiana (2011)). Rentang suhu yang disajikan pada Tabel 2.5. merupakan temperatur awal dimana granula-granula mulai mengembang hingga akhirnya 100% tergelatinasi.
Bahan-bahan yang sering digunakan sebagai perekat pelet antara lain: a.1. Tepung gaplek
Tepung gaplek merupakan hasil olahan ubi kayu yang diperoleh dari menumbuk atau menggiling gaplek sehingga diperoleh tepung dengan ukuran maksimum 100 mesh. Di masa lalu, umbi ubi kayu diekspor ke Eropa untuk bahan baku wiski kelas rendahan. Selain itu, ubi kayu juga diproses menjadi produk tapioka olahan, seperti paarl, seeds, vlokken, dan shifting. Amerika Serikat (AS), mengolah tepung tapioka untuk berbagai keperluan, antara lain industri kayu, tekstil, sampai industri bahan perekat. Saat ini ubi kayu banyak diekspor ke AS dan Eropa dalam bentuk tapioka. Negara-negara tersebut, memanfaatkan ubikayu sebagai bahan baku industri pembuatan tepung tapioka dan tepung gaplek serta bahan pembuatan alkohol, etanol, dan gasohol. Tepung tapioka juga digunakan dalam industri lem, industri kimia, dan tekstil (Khudori, 2003).
Gaplek sangat populer di daerah Jawa yang kekurangan air sebagai bahan makanan pokok. Berdasarkan bentuknya gaplek dapat dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu gaplek gelondong, gaplek chips (irisan tipis), gaplek pelet, gaplek tepung, dan gaplek kubus. Pada umumnya gaplek gelondong dan pelet digunakan sebagai bahan baku pakan ternak, sedangkan gaplek dalam bentuk tepung digunakan sebagai bahan makanan. Gaplek dalam bentuk chips digunakan sebagai bahan industri pati dan dekstrin (Oramahi dalam Supriyadi, 2007). Per 100 gr tepung gaplek terkandung kalori 363 kalori; karbohidrat 88,2 gr; protein 1,10 gr; lemak 0,5 gr; air 9,1%;
Syamsu (2007) melakukan penelitian pembuatan pakan pelet untuk itik dengan perlakuan pemberian bahan perekat berupa tepung tapioka dan tepung gaplek dan lama waktu penyimpanan pengaruhnya terhadap sifat fisik pakan. Penambahan 5% tepung gaplek menghasilkan sifat fisik terbaik yaitu sudut tumpukan 33.31˚ dan daya ambang 6.15 m/detik. Sedangkan penambahan 5% tepung tapioka dalam ransum pelet menghasilkan sifat fisik terbaik yaitu kerapatan tumpukan sebesar 549
3
3
kg/m dan kerapatan pemadatan tumpukan sebesar 746 kg/m . Sara (2003), menyatakan bahwa dengan penambahan 6% tepung gaplek sebagai bahan perekat pada ransum bentuk pelet menghasilkan sifat fisik yang terbaik. a.2. Tepung terigu industri
Tepung terigu industri diperoleh dari pengolahan biji gandum. Kualitasnya di bawah tepung terigu untuk pangan. Sifat gandum banyak ditentukan oleh protein yang dikandungnya. Jenis protein yang terdapat pada gandum adalah albumin (larut dalam air), globulin (larut dalam garam netral), gliadin (larut dalam etanol 70%), dan glutenin (tidak larut dalam alkohol tetapi larut dalam basa atau asam encer). Kandungan protein dapat berbeda-beda tergantung jenis dan tempat gandum tersebut tumbuh. Selain protein, gandum juga mengandung karbohidrat. Karbohidrat yang terdapat dalam gandum sebagian besar adalah pati, dan pati merupakan senyawa yang tidak larut dalam air (Makfoel, 1982).
Pada industri pakan, tepung terigu industri lazim disebut dengan tepung industri. Pemanfaatan utamanya adalah untuk bahan pakan karena kandungan tepung terigu adalah pati dengan kandungan amilosa 20
- – 26% dan amilopektin 70- 75%. Sedangkan suhu gelatinisasinya sekitar 56
- –62˚C. Yang harus dipertimbangkan dalam tepung terigu adalah terutama kadar proteinnya karena berkaitan erat dengan kadar glutein. Bila dicampur dengan air, partikel-partikel glutein terhidrasi dan bila dikocok atau diaduk terjadi kecenderungan memanjang atau membentuk serabut- serabut (Winarno, 1991).
Utomo dkk, (2013) melakukan penelitian pembuatan briket bioarang dari limbah furnitur enceng gondok dengan perekat tepung tapioka dan tepung terigu.
Briket dengan perekat tepung terigu mempunyai nilai kalor yang lebih tinggi dari briket yang perekatnya tepung tapioka.
b. Penambahan air panas Penambahan air panas merupakan modifikasi proses conditioning untuk produksi pelet skala kecil. Pada umumnya proses peletisasi skala kecil menggunakan mesin yang tidak dilengkapi dengan instrument injeksi uap. Uap dipakai sebagai media conditioning untuk menaikan suhu dan kadar air, dimana keduanya berperan pada proses gelatinisasi pati.
Zalizar dkk, (2012) melakukan penelitian pembuatan pelet pakan kambing dengan perlakuan penambahan air sebanyak 1/6 dan 1/4 dari berat bahan pakan.
Perlakuan yang diberi air sebanyak 1/6, warna peletnya kehitaman, bentuknya tidak
kompak (mudah hancur), konsistensinya kurang padat dan palatabilitas kambing
terhadap pakan tersebut rendah. Sedangkan yang diberi air 1/4 warnanya cerah,
bentuknya kompak (tidak mudah hancur), konsistensi padat dan palatablitas kambing
terhadap pakan tersebut tinggi.Retnani dkk, (2010) melakukan penelitian uji sifat fisik ransum ayam broiler
bentuk pelet yang ditambahkan perekat onggok/ampas ubi kayu (0,2,4,6%) melalui proses penyemprotan air 0, 5, 10, 15, 20%. Hasilnya pelet dengan penambahan perekat onggok sebanyak 4% dengan penyemprotan air 5% dapat dikatakan mempunyai sifat fisik yang baik dilihat dari kadar air, berat jenis, aktivitas air, kadar kehalusan, ketahanan benturan, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, dan sudut tumpukan.
2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Pelet
A. Adhesi pelet
Adhesi adalah proses ketika material saling terikat satu sama lain oleh ikatan fisika maupun kimia bahan. Hal ini dapat terjadi oleh karena bergabungnya permukaan masing-masing bahan atau karena melelehnya masing-masing bahan atau karena penggunaan bahan perekat. Bahan perekat adalah bahan yang ketika digunakan pada permukaan bahan pakan dapat menyebabkan rekat satu sama lain dan tidak mudah dipisahkan (Wake, (1976) dalam Behnke, (2001). Ada baiknya bahan perekat digunakan dalam industri pelet. Meskipun begitu bahan perekat yang sudah built in di dalam bahan pakan perlu dioptimalkan melalui perlakuan panas dan air.
Terjadinya perekatan bahan pada proses peletisasi melalui mekanisme:
mechanical interlocking , difusi, dan adsorpsi. Kinlock (1987) dalam Behnke (2001)
menjelaskan mechanical interlocking terbentuk ketika bahan perekat mengenai permukaan bahan kasar, mengeras dan kemudian mengikat masing-masing bahan menjadi satu. Teori difusi didasarkan oleh difusi polimer pada lapisan antarmuka pada permukaan bahan. Difusi terjadi ketika bahan dipanaskan kemudian menyebar melewati lapisan antarmuka diantara dua bahan. Peristiwa ini dapat terjadi hanya ketika suhu polimer di bawah suhu transisi gelas dari polimer tersebut. Adsorpsi terjadi oleh adanya gaya interatomik maupun inter molekuler antara permukaan bahan perekat dan bahan pakan. Gaya yang berperan adalah gaya ionik, kovalen, interaksi ikatan hidrogen dipol dan gaya Van der Waal.
B. Rheologi Bahan Pakan
Rheologi dan fungsi bahan pakan sangat tergantung oleh struktur fisik (kristal, amorph) dan komposisi kimianya. Bahan pakan dipanaskan melewati orde pertama maupun kedua ataupun kombinasi keduanya dari suhu transisi gelasnya.
Transisi orde pertama merupakan orde untuk melelehkan kristal, sedangkan orde kedua merupakan orde untuk relaksasi polimer. Bahan yang berbentuk kristal (misalnya gula), hanya melewati orde transisi pertama saja. Bahan yang berbentuk semi kristal (misalnya pati) melewati transisi orde kedua dahulu baru kemudian ke transisi orde pertama. Sedangkan bahan yang berbentuk amorph (misalnya selulosa daerah amorph polimer mulai menunjukkan relaksasi ataupun menjadi labil disebut sebagai suhu transisi gelas. Suhu transisi gelas dari beberapa bahan telah dilaporkan oleh para peneliti yaitu: pati oleh Zelesnak & Hoseney (1986), wheat gluten oleh Slade (1984); Hoseney (1986), gluten jagung oleh Lawton (1982) dalam Behnke (2001).
Suhu transisi gelas suatu bahan berbanding terbalik dengan kadar airnya. Jika kadar air pada suatu bahan meningkat maka suhu transisi gelasnya menurun. Ramuan bahan pakan mempunyai suhu transisi gelas lebih rendah dari suhu normalnya dihubungkan dengan kondisi proses (70-90˚C) ketika kadar air bahan antara 15 dan 18%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pakan mulai mengalir selama proses
conditioning maupun pelleting. Jumlah dan lokasi bahan pakan yang mengalir
tergantung kepada suhu dan lokasi air (di permukaan ataupun di dalam partikel).Jumlah pati yang tergelatinisasi maupun yang rusak telah diteliti dan hasilnya menunujukkan tidak ada pengaruh terhadap kualitas pelet (Stevens (1987) dan Lopez (1993) dalam Behnke (2001)). Pati yang rusak lebih banyak ditemukan di luar permukaan pelet pada perlakuan temperature lebih rendah. Walaupun begitu ditemukan juga pati yang rusak menurun ketika perlakuan temperature meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kerusakan pati lebih disebabkan oleh gesekan mekanis antara permukaan die dengan pati dan bukan karena tingginya perlakuan
hydrothermal saja.
Woods (1987) mempelajari peranan pati dan protein dalam proses peletisasi. kualitas pelet dibandingkan dengan jika ditambahkan dalam bentuk tepung terdenaturasi. Pada penambahan pati dalam keadaan pregelatinisasi akan meningkatkan kualitas pelet dibandingkan dengan jika ditambahkan dalam bentuk normalnya. Wood menyimpulkan bahwa protein berpengaruh lebih besar terhadap kualitas pelet dari pada pati. Penemuan ini telah diperkuat oleh Briggs et al, (1999).
Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat gelatinisasi pati kemungkinan tidak sepenting dengan lokasi terjadinya gelatinisasi. Gelatinisasi pati yang terjadi pada permukaan bahan pakan merupakan titik kritis pembentukan ikatan intra partikel yang berperan penting pada pembentukan kekuatan, durabilitas pelet. Gelatinisasi pati yang terjadi pada antarmuka partikel dirangkai dengan plastisisasi protein akan menghasilkan difusi polimer antara granula pati dan molekul protein yang akan menghasilkan perekatan partikel.
C. Pengaruh Formulasi Pakan
Formulasi pakan berbiaya rendah didesain untuk menemukan parameter nutrisi yang dibutuhkan oleh hewan. Meskipun demikian pengaruh formulasi pakan pada proses pengolahan terutama peletisasi jarang dipikirkan oleh pada umumnya para ahli nutrisi. Bahan pakan yang sekarang ini dipakai oleh industri pakan telah menggunakan bahan perekat lebih dari 100 tahun. Penambahan lemak ke dalam bahan sebelum peletisasi biasanya menurunkan kualitas pelet (Richardson and Day (1976); Headly and Kershner (1968) dalam Behnke (2001)). Sementara itu
(1989) melaporkan peningkatan durabilitas pellet pakan babi pada peningkatan pemberian gandum yang meningkat dari 0-45%. McKee (1988) dalam Behnke (2001) terjadi peningkatan kualitas pelet dan stabilitas air pada pakan ikan patin dengan meningkatkan penambahan wheat gluten dari 0-10%. Lopez (1993) dalam Behnke (2001) juga melaporkan penambahan wheat gluten menghasilkan pengaruh positif pada kualitas pelet dan stabilitas air, akan tetapi dengan penambahan tepung ubi kayu berpengaruh negatif.
D. Pengaruh Ukuran Partikel
Pengecilan ukuran partikel bahan pakan menghasilkan pertambahan luas permukaan persatuan volume. Partikel yang lebih kecil akan mempunyai titik kontak yang lebih banyak dibandingkan dengan partikel yang lebih besar. Anand (1970) dalam Behnke (2001) menunjukkan titik kontak antar butiran polystyrene meningkat sebanyak 3 atau 4 atau 7 kali pada pengurangan ukuran butiran sebanyak 3 atau 4 atau 7 kali partikel persatuan luas.
Penetrasi panas dan air ke dalam inti partikel dapat dicapai dalam waktu yang jauh lebih pendek oleh partikel kecil dengan luas permukaan per satuan berat yang besar. Stevens (1987) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan kualitas pelet yang dihasilkan dengan mengurangi ukuran partikel jagung dan gandum dari 1023 ke 551µ dan dari 802 ke 365µ. Martin (1983) dalam Behnke (2001) melaporkan hasil yang sama menggunakan jagung dan sorghum. Wondra et al, (1995) melaporkan Industri pakan pelet ikan melakukan penggilingan bahan pakan sehingga ukuran partikelnya kurang dari 250µ untuk mendapatkan pelet dengan stabilitas air yang tingi. Dengan mengkombinasikan ukuran partikel kecil dan waktu, perlakuan suhu tinggi menghasilkan pelet yang mempunyai stabilitas air paling baik.
E. Conditioning
Pentingnya perlakuan uap telah dihitung oleh Skoch dkk, (1981) dengan membandingkan peletisasi cara kering dengan peletisasi menggunakan perlakuan uap. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa perlakuan uap memperbaiki durabilitas pelet, rata-rata produksi dan menurunkan jumlah partikel halus sisa pakan serta menurunkan konsumsi energi. Berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa uap berperan sebagai “pelumas” untuk mengurangi gesekan selama peletisasi.
Menurut Reimer (1992) dalam Behnke (2001), kualitas pelet secara proporsional dipengaruhi oleh faktor: formulasi pakan (40%), ukuran partikel (20%),
conditioning (20%), spesifikasi die (15%), pendinginan dan pengeringan (5%). Jika
ini benar maka kualitas pelet 60% ditentukan oleh bahan sebelum masuk conditioner dan akan meningkat menjadi 80% setelah keluar dari conditioner sebelum masuk ke dalam ruang die pada mesin pelet.
Rhen et al, dalam Carone et al, (2011) melaporkan pada pembuatan pelet dari sebuk gergaji pohon cemara dengan menaikkan suhu dari 26°C ke 144°C dan menurunkan kadar air menjadi 6,3 % pada saat proses peletisasi, akan meningkatkan pelet dari bahan rumput-rumputan yaitu jerami pohon gandum, barley (jewawut), tongkol jagung dan switchgrass dengan variasi tekanan proses sebesar 1000, 2000, 3000, 4000 & 4400 N. Hasilnya pada tekanan yang rendah, pelet dari tongkol jagung mempunyai densitas paling tinggi. Tekanan proses, kadar air dan ukuran partikel berpengaruh nyata terhadap densitas pelet dari jerami barley, tongkol jagung dan switchgrass .
Telah ada beberapa penelitian untuk mempelajari pengaruh 2 faktor pertama yaitu formulasi pakan dan ukuran partikel terhadap kualitas pelet. Stevens (1987) dan Winowiski (1998) membandingkan durabilitas pelet dari bahan pakan yang mengandung jagung dengan bahan pakan yang sebagian ataupun seluruh komponen jagung diganti dengan gandum. Pada kedua hal di atas durabilitas pelet yang lebih tinggi berasal dari bahan pakan yang mengandung gandum. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan protein kasar pada gandum (13%) sedangkan pada jagung (9%). Penemuan ini didukung oleh Briggs et al, (1999) yang menemukan peningkatan kadar protein pakan ayam dari 16,3 ke 21% akan meningkatkan rata-rata durabilitas pelet dari 75,8 ke 88,8%.
Ukuran partikel menurut Reimer (1992) dalam Behnke (2001) merupakan faktor kedua yang mempengaruhi kualitas pelet sebesar 20%. Penurunan ukuran partikel dari bahan kasar menjadi halus akan meningkatkan luas permukaan partikel persatuan volume untuk mengabsorpsi perlakuan uap dan ikatan antar partikel.
MacBain (1966) dalam Behnke (2001) mengindikasikan bahwa variasi ukuran seragam. Steven (1987) melakukan penelitian peletisasi bahan pakan yang mengandung jagung ataupun gandum, menemukan fakta bahwa ukuran partikel tidak berpengaruh terhadap durabilitas pelet.
Mani et al, (2006) melakukan penelitian pembuatan pelet dari bahan rumput- rumputan yaitu jerami pohon gandum, barley (jewawut), tongkol jagung dan
switchgrass dengan ukuran partikel 3,2; 1,6; 0,8 mm. Hasilnya ukuran partikel sangat
berpengaruh terhadap densitas pelet terutama pada bahan baku yang berasal dari jerami barley, tongkol jagung dan switchgrass.
Carone et al, (2011) melakukan penelitian pembuatan pelet yang bahan bakunya berasal dari pelepah pohon Olea europaea L. dengan ukuran partikel sebesar 1, 2, 4 mm. Hasilnya menunjukkan bahwa ukuran partikel menjadi salah satu faktor penting pada terbentuknya pelet yang baik. Perlakuan dengan temperatur tinggi, kadar air rendah dan ukuran partikel yang semakin kecil merupakan kondisi yang ideal untuk menghasilkan pelet yang baik.
F. Spesifikasi Die Spesifikasi die akan mempengaruhi kualitas pelet dengan proporsi 15%.
Fahrenholz (2012) mengatakan bahwa karakteristik die yang akan mempengaruhi kualitas pelet adalah ketebalannya yang berkaitan dengan diameter lubang cetakan yang dikenal dengan nama rasio L:D. Die dengan rasio L:D tinggi berarti die-nya lebih tebal yang akan meningkatkan kualitas pelet melalui mekanisme gesekan dan menyampaikan bahwa dengan memakai die yang lebih tipis akan menurunkan kualitas pelet dan mengurangi konsumsi energi pada produksi pelet dari ransum rendah lemak.
Menurut Pathak (1997), diameter pelet ditentukan oleh jenis hewan yang akan mengkonsumsinya. Pelet yang berasal dari pakan jenis konsentrat diameternya antara 5
- – 15 mm dengan panjang antara 7 – 20 mm pada umumnya untuk ikan dan unggas. Sedangkan pelet yang berasal dari jenis pakan yang berbasis biomassa diameternya lebih besar yaitu antara 10
- – 20 mm dengan ukuran panjang yang hampir sama biasanya untuk hewan mamalia sedang maupun besar seperti kambing/domba dan sapi.
Selain karena alasan di atas, besarnya ukuran die untuk pelet yang berasal dari bahan berbasis biomassa disebabkan oleh karakteristik bahan baku tersebut.
Bahan pakan yang berbasis biomassa pada umumnya mempunyai ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan bahan pakan yang berbasis tepung, sehingga akan relatif lebih sulit untuk dibuat pelet jika ukuran lubang die-nya kecil ( 8 mm).
2.3.3. Parameter Mutu Pelet
Menurut Payne et al, (2001) secara fisik pelet yang baik mempunyai parameter sebagai berikut: bentuknya menarik, bebas debu, tidak retak, ukurannya seragam, keras (cukup keras untuk menahan tekanan selama penyimpanan), dan tahan lama/durable. Durabilitas merupakan parameter pelet yang paling penting. Pelet harus tahan terhadap benturan selama penanganan mulai dari proses pembuatan sampai ketika pelet akan diberikan kepada ternak.
Kualitas pelet sulit untuk diukur karena merupakan kombinasi dari banyak faktor, diantaranya adalah pengalaman petugas analisa. Beberapa faktor yang sering dihubungkan dengan istilah kualitas pelet dapat dilihat pada Tabel 2.6. Subjektif artinya bahwa pengukuran faktor tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh pendapat pribadi dan sulit untuk distandarkan. Seperti misalnya menentukan warna pelet memang mudah, tetapi memastikan jenis warna yang mana yang menandakan kualitas pelet tertentu adalah sangat dipengaruhi pendapat pribadi. Demikian juga dengan menentukan textur pelet. Parameter mutu yang secara objektif dapat diukur adalah indeks ketahanan pelet dan hardness.
Table 2.6. Kualitas pelet dan karakteristik analisanyaKARAKTERISTIK NO KUALITAS PELET ANALISA
1 Durability/PDI Objektif
2 Hardness Objektif
3 Kenampakan fisik:
a. Warna Subjektif
b. Textur permukaan Subjektif
c. Panjang rata-rata Objektif
d. Jumlah debu Objektif
e. Palatabilitas Subjektif Sumber: Payne et al, (2001)
a. Indeks Ketahanan Pelet
Indeks Ketahanan (durabilitas) pelet kemungkinan merupakan parameter mutu pelet paling penting (Payne et al, 2001). Durabilitas pelet berarti kemampuan pelet mempertahankan bentuknya dari tekanan dan goncangan selama penanganan proses dan distribusi. Durabilitas pelet dapat diukur menggunakan dua metode yaitu
pneumatic /hembusan dan mekanis.
a.1. Pengukuran durabilitas pelet secara hembusan Pengukuran dengan metode ini menggunakan alat yang disebut The
Borregaard LT Portable Pellet Tester . Caranya adalah dengan menimbang 100 gram
pelet yang sudah disaring kemudian dimasukkan ke dalam alat dan akan terbentur ke dinding oleh hembusan angin yang kuat. Kemudian pelet secara otomatis tersaring, pelet yang masih utuh ditimbang. Prosentase jumlah pelet yang masih utuh merupakan nilai durabilitas pelet. Metode ukur ini bersifat kompak, cepat, akurat,
repeatable dan bebas debu (Payne et al, 2001).
a.2. Pengukuran durabilitas pelet secara mekanis Pengukuran dengan metode ini menggunakan alat yang disebut Tumbling can
(ASAE) Method. Caranya dengan menimbang 500 gram pelet yang sudah disaring
kemudian dimasukkan ke dalam alat. Ketika alat dihidupkan maka pelet akan mengalami goncangan akibat jatuh bergulingan (tumbling) di dalam alat. Setelah selesai proses kemudian sampel disaring dan ditimbang. Prosentase jumlah pelet yang masih utuh merupakan nilai durabilitas pelet (Payne et al, 2001).
Faktor yang mempengaruhi keutuhan bentuk pelet berupa benturan, tekanan dan gesekan (Pfost et al, 1962). Pecahnya pelet disebabkan oleh dua jenis peristiwa yaitu fragmentasi/pematahan dan abrasi/goresan (Thomas, 1998). Sesudah keluar ke pendingin oleh bucket elevator dan conveyor serta ketika dimasukan ke dalam
holding bins . Pelet akan dikemas untuk dijual eceran atau dikapalkan yang tentu saja
akan mengalami goncangan lagi selama penanganan untuk sampai kepada peternak.Ketika pakan sampai pada ternak, jumlah pakan yang hancur dibandingkan dengan yang masih utuh meningkat.
Nilai durabilitas pelet yang baik telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Pelet bahan bakar dikatakan bermutu baik jika nilai durabilitasnya di atas 80%, sedang jika di antara 70-80%, dan rendah jika di bawah 70%, (Tabil (1996) dan Adapa et a,l (2003) dalam Fasina (2008)). Menurut Dozier (2001) kualitas pelet yang optimum harus mempunyai indeks ketahanan di atas 96%.
b. Hardness
Hardness pada umumnya diukur menggunakan Spring Hardness Tester yaitu
metode pengukuran menggunakan pegas/spring. Pelet akan terjepit diantara rongga pada alat tester kemudian ditekan dengan cara memutar ulir pegas sampai pelet pecah. Posisi dimana pelet pecah merupakan nilai hardness (satuan kgf). Menurut beberapa laporan, hasil pengukuran hardness cukup beragam tergantung posisi pelet diantara rongga alat dan operator. Payne et al, (2001) merekomendasikan bahwa untuk mengukur kualitas pelet sebaiknya keduanya dilakukan yaitu mengukur durabilitas dan hardnessnya. Alasannya sederhana bahwa durabilitas adalah untuk menghindari pecahnya pelet pada saat antara pengolahan dan feeding, sedangkan
hardness penting untuk menghindari pecahnya pelet pada saat disimpan dalam bulk silo .
7,6 92,8 Die 5*35 mm
Sumber: Thomas, (1998)
90˚C 8,0 94,0
80˚C 7,8 94,5
70˚C 7,8 94,0
60˚C 7,8 94,3
50˚C 7,6 94,1
6,6 91,3 90˚C
Celma et al, (2012) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pelet yang dihasilkannya mempunyai nilai hardness paling tinggi (88 N) pada kadar air bahan 34%. Dia memvariasikan kadar air bahan baku pelet pada 20, 24, 28, 34, dan 37%. Thomas (1998) melaporkan durabilitas dan hardness pelet barley dipengaruhi oleh kondisi proses sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.7.
6,6 75,7 80˚C
Die 5*25 mm 70˚C
Kahl Holmen (Kgf) (%)
Hardness Durabilitas
Barley Temperatur
Tabel 2.7. Pengaruh Kondisi Proses Terhadap Durabilitas dan Hardness PeletMenurut Payne et al, (2001) secara umum pelet yang berkualitas baik adalah yang presentase partikel halus yang tidak terpeletkan minimum. Meskipun demikian parameter kualitas pelet dapat berbeda-beda di masing-masing negara dan masing- kualitas pelet merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas pelet namun masing-masing pabrik harus membuat standarisasi berdasarkan: (1) jumlah tahapan proses penanganan antara produksi dan pemberian pakan, (2) permintaan konsumen.