BAB II PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN SESUAI DENGAN PENANGANAN BISNIS KARTU KREDIT DALAM ATURAN INTERNAL PT.BANK NEGARA INDONESIA A. Prinsip Kehati-hatian Dalam Perbankan. 1. Pengertian dan Pengaturan Prinsip Kehati-hatian Dalam Undang- undang Perbankan

BAB II PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN SESUAI DENGAN PENANGANAN BISNIS KARTU KREDIT DALAM ATURAN INTERNAL PT.BANK NEGARA INDONESIA A. Prinsip Kehati-hatian Dalam Perbankan.

  

1. Pengertian dan Pengaturan Prinsip Kehati-hatian Dalam Undang-

undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 Black Law Dictionary memberikan rumusan tentang “prinsip” sebagai berikut: Principle. A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others; a settled rule of action, procedure, or legal determination. A truth or proposition so clear that it cannot be proved or contradicted unless by a proposition which is still clearer. That

   which constitutes the essence of a body or its constituent parts.

  Terjemahan: Prinsip merupakan sebuah kebenaran mendasar atau doktrin, sebagai hukum, aturan yang komprehensif atau doktrin yang melengkapi dasar atau asal bagi orang lain; yang menetap aturan tindakan, prosedur, atau penentuan hukum. Sebuah kebenaran atau proposisi sehingga jelas bahwa hal itu tidak bisa terbukti atau bertentangan kecuali dengan proposisi yang masih jelas. Itulah yang merupakan esensi dari tubuh atau bagian-bagian penyusunnya.

  Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 UU Nomor 10 Tahun 1998 bahwa “perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi

   ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.

  Ada satu Pasal dalam UU Perbankan yang secara eksplisit mengandung subtansi prinsip kehati-hatian, yakni Pasal 29 ayat (2), (3) dan (4) UU Nomor 10 Tahun 1998.

  Pasal 29 ayat (2) menentukan sebagai berikut: “Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.

  Pasal 29 ayat (3) menentukan sebagai berikut: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”.

  Pasal 29 ayat (4) menentukan sebagai berikut: “Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”. Jika memperhatikan judul Bab V UU Perbankan (terdiri dari Pasal 29 s/d Pasal 37B), maka Pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Artinya, ketentuan

  prudent banking sendiri merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan

  bank. Lebihkhusus lagi menururt Anwar Nasution, ketentuan prudent banking

  

  termasuk dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam arti sempit. Sebenarnya pengaturan prinsip kehati-hatian ini ternyata termaktub juga pada bagian pasal sebelumnya, yaitu Pasal 8, 10, dan 11 UU Perbankan.

  Pasal 8 UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 menentukan sebagai berikut: Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang dijanjikan.

  Pasal 10 UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 menentukan sebagai berikut: “Bank Umum dilarang a. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c b. melakukan usaha perasuransian c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7”.

  Pasal 11 UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 11 ayat (1) menentukan sebagai berikut: “Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan”. 36 Anwar Nasution, Pokok-pokok pikiran tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan

  

dalam rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat terhadap Industri Perbankan , Makalah

disampaikan pada Seminar tentang “Pertanggungjawaban Bank terhadap Nasabah”, Departemen

  Pasal 11 ayat (2) menentukan sebagai berikut: “Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh persen) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.

  Pasal 11 ayat (3) menentukan sebagai berikut “Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada : a.

  Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh per seratus) atau lebih dari modal disetor bank b.

  Anggota dewan komisaris c. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c d.

  Pejabat bank lainnya, dan e. Perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihakpihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e”.

  Pasal ayat (4) menentukan sebagai berikut: “Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10 % (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI”. Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, oleh UU Perbankan sama sekali tidak dijelaskan, baik pada bagian ketentuan maupun dalam penjelasannya. UU

  Perbankan hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya saja sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 29 ayat (2), (3), dan (4). Dalam bagian akhir ayat (2) misalnya disebutkan bahwasanya “bank wajib melaksanakan usaha sesuai dengan prinsip tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Apa saja yang dimaksud dengan aspek lain itu tidak dijelaskan. Dalam pada itu, dalam rangka mendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehatian-hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam bentuk self regulations. Anwar menyebutkan bahwa:

  “Ruang aturan prudent banking (pembinaan dalam arti sempit) meliputi persyaratan modal awal maupun rasio modal terhadap kemungkinan risiko yang dihadapinya, BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) maupun posisi luar negeri (NOP), rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif (kredit macet), transparansi

   pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit”.

  Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian bank adalah adanya kewajiban bagi bank menyediakan informasi sehubungan dengan transaksi nasabah, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998. Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh infomasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara dana dari nasabah atau pembelian/penjualan surat berharga untuk

  

  kepentingan dan atas perintah nasabahnya. Walaupun ketentuan ini terkesan berlebihan, tetapi ketentuan ini menunjukkan bank benar-benar memiliki tanggung 37 jawab terhadap pada nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab, jika sekali nasabah dirugikan akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank bersangkutan.Hal ini juga relevan dengan konsep hubungan antara bank dan nasabahnya yang bukan hanya sekedar hubungan debitur – kreditur semata,

   melainkan lebih dari itu sebagai hubungan kepercayaan (fiduaciary relationship).

  Dalam sejarah perbankan Indonesia, ketentuan prudent banking pernah diatur secara khusus dalam beberapa paket deregulasi, misalnya paket deregulasi 25 Maret 1989 dan paket deregulasi Februari 1991. Salah satu tujuan atau tugas yang diemban Paket Februari 1991 adalah berupaya mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan permodalan minimum 8% (delapan persen) dari kekayaan. Paket tersebut

  

  diharapkan mampu meningkatkan kualitas perbankan Indonesia. Pengaturan

  

prudent banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan sudah seringkali dilakukan

  revisi atau pergantian, baik setelah lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1992 maupun ketika pemerintah mengundangkan UU Nomor 10 Tahun 1998. Regulasi tersebut sebagian besar diwujudkan dalam bentuk Surat Edaran dan Surat Keputusan Direksi BI.

  39 St. Remi Sjahdeini, BI Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundang- undangan, Pidato Ilmiah dalam Rangka Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UNAIR Surabaya, tanggal 16 Desember 1996 40 Deregulasi Perbankan : Sejumlah Aturan Tambal Sulam, dalam

2. Peraturan Bank Indonesia Tentang Prinsip Kehati-hatian

  Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur keharusan penggunaan prinsip kehati-hatian oleh perbankan Indonesia dalam menjalankan usahanya. Ketentuan dalam Pasal 2 tersebut tidak diubah oleh undang- undang perbankan yang baru, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Kemudian prinsip kehati-hatian itu diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 pada perubahan Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi:

  “ Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia” Ketentuan

  Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: “bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, dan rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha dengan prinsip kehati- hatian.” Di dalam ayat (5) disebutkan “ Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia.” Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pengertian BI diberi kewenangan untuk menetapkan pengaturan mengenai pelaksanaan kewajiban bank untuk melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Selain itu, BI juga diberi kewenangan, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun represif. Semua itu diberikan oleh undang-undang dalam rangka memastikan dilaksanakannya prinsip kehati-hatian oleh bank dalam menjalankan usahanya.

  Surat edaran ini merupakan peraturan pelaksana dari PBI No. 14/2/PBI/2012 Penyelenggaraan Kegiatan APMK. Surat edaran BI ini diperlukan untuk meningkatkan penerapan aspek kehati-hatian, aspek perlindungan konsumen, dan aspek peningkatan standar keamanan teknologi APMK. Surat Edaran bernomor 14/17/DASP tentang perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dimana resmi berlaku mulai 7 Juni 2012.

  Kepala Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran BI Boedi Armanto dalam surat edaran tersebut menjelaskan materi dalam perubahan SE ini menyangkut perlindungan nasabah, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, standar keamanan kartu, kerjasama penyelenggara APMK dengan pihal lain, serta penyampaian laporan.

  Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 17 /DASP perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu 7 Juni 2012, ringkasannya yaitu: a.

  Materi yang dimuat dalam perubahan Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain mencakup: 1) prinsip perlindungan nasabah 2) prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian kartu kredit 3) standar keamanan APMK 4) kerjasama antara penyelenggara APMK dengan pihak lain 5) penyampaian laporan.

  b.

  Dalam rangka penerapan prinsip perlindungan nasabah, Penerbit APMK

  1) menyampaikan informasi tertulis kepada calon Pemegang Kartu dan Pemegang Kartu atas APMK yang diterbitkan. Informasi tersebut wajib menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas dan mudah dimengerti, ditulis dalam huruf dan angka yang mudah dibaca oleh calon Pemegang Kartu dan Pemegang Kartu, dan

  2) menyediakan sarana dan nomor telepon yang dapat secara mudah digunakan dan/atau dihubungi oleh calon Pemegang Kartu dan Pemegang Kartu dalam rangka melakukan verifikasi kebenaran segala fasilitas yang ditawarkan dan/atau informasi yang disampaikan oleh Penerbit.

  c.

  Untuk Kartu Kredit, informasi tertulis sebagaimana yang dimaksud pada butir 2.a yang wajib disampaikan oleh Penerbit Kartu Kredit kepada calon Pemegang Kartu dan Pemegang Kartu Kredit, termasuk pula informasi tentang: 1)

  Bunga Kartu Kredit yang paling kurang meliputi:

  a) Besarnya suku bunga Kartu Kredit, baik suku bunga bulanan maupun suku bunga tahunan b)

  Pola, tata cara dan komponen penghitungan bunga Kartu Kredit dan

  c) Tata cara serta persyaratan permohonan penghapusan bunga jika terdapat kesalahan dalam pembebanan bunga kartu kredit; Informasi tata cara dan dasar penghitungan bunga kartu kredit harus dilengkapi dengan contoh atau ilustrasi yang mudah dipahami oleh pemegang kartu kredit. Besarnya suku bunga kartu kredit tidak boleh melampaui suku bunga maksimum yang

  2) Tata cara dan persyaratan bagi pemegang kartu kredit untuk mengakhiri dan/atau menutup fasilitas kartu redit, yang paling kurang memuat informasi: a)

  Persyaratan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit

  b) Mekanisme pengajuan permohonan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit c)

  Jangka waktu penanganan oleh Penerbit Kartu Kredit terhadap permohonan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas kartu kredit dan d)

  Informasi penting lainnya yang perlu diketahui oleh pemegang kartu kredit.

  3) Ringkasan transaksi pemegang kartu kredit yang mencakup informasi transaksi pemegang kartu kredit selama satu tahun berjalan dihitung sejak bulan mulai berlakunya kartu kredit, yang paling kurang memuat informasi:

  a) total transaksi pembelanjaan selama satu tahun b) total transaksi tarik tunai selama satu tahun c) total bunga selama satu tahun d) total biaya selama satu tahun e) total denda selama satu tahun f) performa pembayaran pemegang kartu kredit atas tagihan kartu kredit selama satu tahun; dan

  g) kualitas kredit pemegang kartu kredit posisi terakhir.

  d.

  Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kartu kredit

  1) Batas minimum usia calon pemegang kartu kredit

  a) Kartu Kredit utama adalah 21 (dua puluh satu) tahun atau telah kawin

  b) Kartu Kredit tambahan adalah 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin

  2) Batas minimum pendapatan calon pemegang kartu kredit adalah Rp

  3.000.000,00 (tiga juta Rupiah) tiap bulan 3)

  Batas maksimum plafon kredit yang dapat diberikan kepada Pemegang Kartu Kredit secara kumulatif kepada 1 (satu) Pemegang Kartu Kredit adalah sebesar 3 (tiga) kali pendapatan tiap bulan

  4) Batas maksimum jumlah penerbit kartu kredit yang dapat memberikan fasilitas kartu kredit untuk 1 (satu) Pemegang Kartu Kredit adalah 2 (dua) Penerbit

  Kartu Kredit 5)

  Persentase minimum pembayaran oleh pemegang kartu kredit paling kurang sebesar 10% (sepuluh persen) dari total tagihan. Pembatasan pada huruf b dan huruf c tidak berlaku bagi calon pemegang kartu kredit dan pemegang kartu kredit yang memiliki pendapatan di atas Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) tiap bulan.

  e.

  Dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4, Penerbit Kartu Kredit diwajibkan untuk melakukan: 1)

  Pengkinian data pemegang kartu kredit 2)

  Penyesuaian plafon kredit dan jumlah penerbit kartu kredit yang dapat memberikan kartu kredit terhadap pemegang kartu kredit yang memiliki pendapatan tiap bulan Rp 3.000.000,00 (tiga juta Rupiah) sampai dengan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah) dan

  3) Pengakhiran dan/atau penutupan kartu kredit bagi pemegang kartu Kredit yang memiliki pendapatan di bawah Rp 3.000.000,00 (tiga juta Rupiah).

  Untuk pelaksanaan dan penyelesaian ketentuan ini, penerbit kartu kredit diberikan tenggat waktu selama 2 (dua) tahun terhitung sejak 1 Januari 2013.

  f.

  Pembayaran pemegang kartu kredit sebesar 10% (sepuluh persen) dari total tagihan atau lebih tetapi tidak penuh, harus dialokasikan oleh penerbit kartu kredit untuk pembayaran biaya dan denda apabila ada, dan sisanya paling kurang sebesar 60% (enam puluh persen) untuk pemenuhan kewajiban pokok transaksi.

  g.

  Sebagai upaya peningkatan keamanan transaksi pemegang kartu kredit, penerbit kartu kredit diwajibkan mengimplementasikan: 1)

  PIN paling kurang 6 (enam) digit sebagai sarana verifikasi dan autentikasi; dan 2)

  Transaction alert kepada pemegang kartu kredit dengan menggunakan teknologi layanan pesan singkat (short message service/sms) atau sarana lainnya berdasarkan pilihan Pemegang Kartu Kredit, apabila terdapat transaksi Kartu Kredit yang memenuhi kriteria:

  a) Transaksi terjadi di pedagang (merchant) yang menurut penerbit kartu kredit memiliki risiko tinggi (high risk merchant); b) transaksi terjadi dalam jumlah dan/atau nilai yang besar atau menyimpang dari profil transaksi Pemegang Kartu Kredit;

  c) transaksi terjadi berkali-kali di Pedagang (Merchant) yang berbeda lokasi dalam waktu yang relatif singkat;

  d) transaksi terjadi berkali-kali di Pedagang (Merchant) yang sama untuk pembayaran pembelanjaan barang dan/atau jasa yang sama; atau

  e) transaksi pertama atas Kartu Kredit baru.

  h.

  Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit baik menggunakan tenaga penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan, Penerbit Kartu Kredit wajib memastikan bahwa: 1) tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku;

  2) identitas setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit Kartu Kredit;

  3) tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-pokok etika penagihan sebagai berikut:

  a) menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit Kartu Kredit, yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan;

  b) penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan Pemegang Kartu Kredit; c) penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal;

  d) penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain Pemegang Kartu Kredit; e) penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu;

  f) penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili Pemegang Kartu Kredit;

  g) penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat Pemegang Kartu Kredit; dan

  h) penagihan di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana dimaksud pada huruf f) dan huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang Kartu Kredit terlebih dahulu. Penerbit Kartu Kredit juga harus memastikan bahwa pihak lain yang menyediakan jasa penagihan yang bekerjasama dengan Penerbit Kartu Kredit juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi penyelenggara APMK. i)

  Dalam rangka mendukung kajian Bank Indonesia untuk penetapan suku bunga maksimum Kartu Kredit, Penerbit diwajibkan menyampaikan Laporan Laba Rugi (Profit/Loss Report) Kartu Kredit. Laporan ini wajib disampaikan Penerbit Kartu Kredit kepada Bank indoensia secara berkala, yaitu triwulanan. j)

  Pemberlakuan secara efektif ketentuan dalam SEBI APMK ini diatur sebagai

  1) ketentuan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian seperti minimum usia calon Pemegang Kartu Kredit, minimum pendapatan calon Pemegang Kartu Kredit, batas maksimum plafon kredit, batas maksimum perolehan Kartu Kredit, maksimum suku bunga Kartu Kredit, dan penyampaian transaction alert, diberlakukan secara efektif per 1 Januari 2013

  2) ketentuan mengenai migrasi teknologi tanda-tangan menjadi PIN paling kurang 6 (enam) digit untuk transakasi Kartu Kredit wajib diselesaikan paling lambat 31 Desember 2014. Dengan demikian per 1 Januari 2015 penggunaan PIN paling kurang 6 (enam) digit untuk transaksi Kartu Kredit sudah wajib diimplementasikan secara penuh, dan

  3) ketentuan-ketentuan lainnya diberlakukan sejak tanggal perubahan SEBI

41 APMK ini diterbitkan.

B. Kartu Kredit

1. Pengertian Dan Pengaturan Kartu Kredit Dalam Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998

  Dalam perkembangan abad modern ini, masyarakat akan lebih mengharapkan adanya kemudahan dalam melakukan segala macam transaksi. Bank sebagai salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa, juga harus meningkatkan produk pelayanan jasanya. Salah satu produk yang biasanya ada pada

   setiap bank adalah kartu kredit.

  

Kartu kredit merupakan salah satu alat bayar dalam transaksi perdagangan

  yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Istilah kartu kredit dalam bahasa Inggris disebut dengan credit card yang didalamnya mencantumkan identitas pemegang kartu kredit dan penerbit yaitu bank/perusahaan pembiayaan. Selain menunjukkan identitas pemegang dan penerbit, istilah kartu kredit juga menunjukkan cara pembayarannya yang dilakukan dengan tidak menggunakan uang tunai, meskipun transaksinya dilakukan secara tunai. Kartu kredit ini umumnya dibuat dari bahan plastik dan berukuran kecil, sehingga istilah kartu kredit sering juga disebut kartu plastik. Dengan bentuk ukurannya yang kecil, menjadikan kartu plastik/kartu kredit sebagai alat bayar yang aman, praktis, mudah, dan sekaligus meningkatkan

   prestise bagi pemegangnya.

  Berbeda dengan kartu debit, dimana pemilik kartu (nasabah) wajib mempunyai dana yang cukup pada rekening nasabah pada bank yang bersangkutan, maka dalam kartu kredit nasabah benar-benar diberikan kredit. Dalam layanan kartu kredit nasabah tidak diwajibkan mempunyai rekening di bank yang bersangkutan.

  Jadi, kartu kredit ini hakikatnya merupakan alat pembayaran transaksi yang memberikan fasilitas kredit kepada pemiliknya, dimana pada saat jatuh tempo,

  42 tagihan atas transaksi tersebut dapat dibayarkan penuh atau sebagian yang telah

   ditentukan minimalnya dan sisanya menjadi fasilitas kredit.

   Unsur-unsur dari pengertian kartu kredit adalah sebagai berikut.

  Pertama subjek kartu kredit, subjek kartu kredit adalah pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi penggunaan kartu kredit. Pihak-pihak tersebut terdiri atas pemegang kartu kredit (card holder) sebagai pembeli, pengusaha dagang (merchant) sebagai penjual, dan bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit (issuer).

  Kedua objek kartu kredit, Objek karu kredit adalah barang/jasa yang diperdagangkan (merchandise) oleh pengusaha dagang sebagai penjual, harga yang dibayar oleh pemegang kartu kredit sebagai pembeli, dan dokumen jual beli (sales document) yang terbit dari transaksi jual beli. Ketiga peristiwa kartu kredit, peristiwa kartu kredit adalah perbuatan hukum (legal

  

act ) yang menciptakan perjanjian penerbitan kartu kredit antara pemegang kartu

  kredit dan penerbit. Di samping itu, perbuatan hukum yang menciptakan penggunaan kartu kredit antara pemegang kartu kartu kredit sebagai pembeli, pengusaha dagang sebagai penjual, dan bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit. Keempat hubungan kartu kredit, dalam perjanjian penerbitan kartu kredit timbul hubungan hak dan kewajiban. Pemegang kartu kredit wajib menyetorkan dana kepada penerbit, dan penerbit wajib menerbitkan dan menyerahkan kartu kredit kepada pemegang kartu kredit. Dalam perjanjian penggunaan kartu kredit, pemegang kartu 44 45 Try Widiono, Op. Cit. hal.204

  kredit wajib membayar barang/jasa kepada penjual dengan cara menunjukkan kartu kredit dan menandatangani tanda lunas pembayaran, penjual wajib menyerahkan barang/jasa kepada pemegang kartu kredit sebagai pembeli, dan penerbit wajib membayar kepada penjual yang menyodorkan tanda lunas pembayaran yang ditandatangani oleh pemegang kartu kredit. Kelima jaminan kartu kredit, jaminan (security) bagi penerbit didasarkan pada perjanjian penerbitan kartu kredit. Pemegang kartu kredit adalah orang yang dapat dipercaya oleh penerbit dan wajib mematuhi ketentuan dan persyaratan perjanjian yang telah ditetapkan oleh penerbit. Sesuai dengan perjanjian, secara berkala pemegang kartu kredit membayar tagihan yang disampaikan oleh penerbit. Kepercayaan dan pembayaran tagihan adalah jaminan bagi penerbit untuk membayar harga barang/jasa yang ditagih oleh penjual.

a. Dasar Hukum Atas Legalisasi Pelaksanaan Kartu Kredit Di Indonesia.

  1) Perjanjian antara para pihak sebagai dasar hukum sebagaimana diketahui sistem hukum kita menganut asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat 1

  KUHPerdata). Pasal 1338 ayat 1 tersebut menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya. Dengan berlandaskan kepada pasal 1338 ayat 1 ini maka asal tidak bertentangan dengan hukum atau kebiasaan yang berlaku, maka setiap perjanjian (lisan maupun tertulis) yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit, akan berlaku sebagai undang-undang bagi para

  2) Perundang-undangan sebagai dasar hukum. Ada berbagai perundang-undangan lain dengan tegas menyebutkan dan memberi landasan hukum terhadap penerbitan dan pengoperasian kartu kredit ini yaitu sebagai berikut:

  a) Keppres No.6 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan No.61 Tahun 1998 tentang . Pranata hukum kartu kredit di Indonesia dimulai pada tahun 1988, yaitu dengan dikeluarkannya Keppres tentang Lembaga Pembiayaan, dan Keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kedua keputusan tersebut menjadi titik awal sejarah perkembangan pengaturan kartu kredit sebagai

   lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia.

  Pasal 2 ayat 1 dari Keppres No.61 ini antara lain menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dari lembaga pembiayaan adalah melakukan usaha kartu kredit. Sementara dalam Pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “perusahaan kartu kredit adalah badan usaha yang kegiatan usaha nya pengelolaan kartu kredit”.

  Menurut Pasal 3 dari Keppres No.61 ini yang dapat melakukan kegiatan lembaga pembiayaan tersebut termasuk kegiatan kartu kredit adalah : 1.

  Bank. 2. Lembaga Keuangan Bukan Bank (sekarang sudah tidak ada lagi dalam sistem keuangan kita). 3. Perusahaan Pembiayaan.

  b) Keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.013/1998 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana berkali-kali diubah, terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan RI

  No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan Pasal 2 dari Keputusan Menkeu No.1251 ini kembali menegaskan bahwa salah satu dari kegiatan Lembaga Pembiayaan adalah usaha kartu kredit. Selanjutnya dalam pasal 7 ditentukan bahwa pelaksanaan kegiatan kartu kredit dilakukan dengan cara penerbitan kartu kredit yang dapat dipergunakan oleh

   pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang dan jasa.

  c) Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan seperti yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Sehubungan dengan perbankan, kartu kredit legitimasinya dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 seperti yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Pasal 6 huruf I nya dengan tegas menyatakan bahwasanya salah satu kegiatan bank adalah melakukan usaha kartu kredit.

  d) Berbagai peraturan perbankan lainnya yang mengatur yang mengatur lebih lanjut atau menyinggung kartu kredit ini yang dikeluarkan dari waktu ke waktu.

b. Pengaturan Kartu Kredit

  Segi hukum perdata ada dua sumber hukum perdata untuk kegiatan pembiayaan kartu kredit, yaitu asas kebebasan berkontrak dan perundang-undangan dibidang hukum perdata. 1)

  Asas kebebasan berkontrak

  Hubungan hukum yang terjadi dalam kegiatan pembiayaan kartu kredit selalu dibuat secara tertulis (kontrak) sebagai dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal certainty). Dalam hubungan hukum kartu kredit terdapat perjanjian, yaitu perjanjian penerbitan kartu kredit. Perjanjian penerbitan kartu kredit adalah persetujuan antara bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit dan pemegang kartu kredit sebagai peminjam uang. Kemudian penggunaan kartu kredit adalah persetujuan yang melibatkan 3(tiga) pihak, yaitu bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit dan pembayar, pemegang kartu kredit sebagai pembeli dan perusahaan dagang sebagai penjual. Perjanjian tersebut dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak para pihak yang memuat rumusan kehendak berkontrak para pihak yang memuat rumusan kehendak berupa hak dan kewajiban dari masing-

  

  masing para pihak. Perjanjian penerbitan kartu kredit dan perjanjian penggunaan kartu kredit merupakan dokumen hukum utama (main legal document) yang dibuat secara sah dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukum yang dibuat perjanjian secara sah maka akan berlaku sebagai undang-undang dari pihak-pihak, yaitu bank/ perusahaan pembiayaan, pemegang kartu kredit, dan perusahaan dagang (Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata). Konsekuensi Yuridis selanjutnya, perjanjian tersebut haruis dilaksanakan dengan itikad baik (in good faith) dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak (unilateral

  

invoidable ). Perjanjian penerbit kartu kredit tersebut berfungsi sebagai dokumen bukti yang sah bagi bank/perusahaan pembiayaan, pemegang kartu kredit, dan perusahaan dagang.

  2) Undang-undang di Bidang Hukum Perdata

  Perjanjian kartu kredit merupakan salah satu bentuk perjanjian khusus yang tunduk pada ketentuan Buku III KUHPerdata. Sumber hukum utama kartu kredit adalah ketentuan mengenai perjanjian pinjam pakai habis dan perjanjian jual beli bersyarat yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Kedua sumber hukum utama dibahas dalam konteksnya kartu kredit.

  a) Perjanjian pinjam pakai habis

  Perjanjian kartu kredit yang terjadi antara bank/perusahaan pembiayaan dan pemegang kartu kredit digolongkan kedalam perjanjian pinjam habis pakai yang diatur dalam Pasal 1754-1773 KUH Perdata. Pasal 1754 KUH Perdata menyatakan bahwa pinjaman pakai habis adalah perjanjian, dengan mana pemberi pinjaman menyerahkan sejumlah barang habis pakai kepada peminjam dengan syarat bahwa peminjam akan mengembalikan barang tersebut kepada pemberi pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama. Dalam pengertian “barang habis pakai” termasuk juga sejumlah uang yang dipinjamkan oleh pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman adalah penerbit, yaitu bank/perusahaan pembiayaan yang berkedudukan sebagai kreditor, sedangkan peminjam adalah pemegang kartu kredit yang berkedudukan sebagai debitur. Karena barang habis pakai yang dipinjam itu adalah sejumlah uang, menurut ketentuan pasal 1765 KUH Perdata pihak-pihak (bank/perusahaan uang pokok ditambah dengan bunga. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian penerbitan kartu kredit tergolong perjanjian khusus yang objeknya adalah barang habis pakai yang di atur dalam Pasal 1754-1773 KUH Perdata. Dengan demikian, ketentuan pasal-pasal tersebut berlaku terhadap dan sejauh relevan dengan perjanjian penerbitan kartu kredit, kecuali apabila dalam perjanjian diatur secara khusus menyimpang.

  b) Perjanjian jual beli bersyarat

  Perjanjian penggunaan kartu kredit adalah perjanjian yang terjadi antara pemegang kartu kredit sebagai pembeli, perusahaan dagang sebagai penjual dan bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit dan pembayar. Perjanjian ini merupakan perjanjian (accessoir) dari perjanjian penerbit kartu kredit sebagai perjanjian pokok. Perjanjian ini digolongkan ke dalam perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457-1518 KUH Perdata, tetapi pelaksanaan pembayaran digantungkan pada syarat yang disepakati dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian penerbitan kartu kredit. Menurut Pasal 1513 KUH Perdata bahwa pembeli wajib membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditetapkan menurut perjanjian. Syarat waktu dan tempat pembayaran ditetapkan dalam perjanjian pokok, yaitu pembayaran dengan menggunakan kartu kredit yang saat dan tempat pembayaran ketika penjual (perusahan dagang) menyerahkan kepada bank/perusahaan pembiayan surat tanda pembelian yang ditandatangani oleh pemegang kartu kredit. Dalam perjanjian penggunaan kartu kredit, penjual kredit) dengan menggunakan kartu kredit. Penjual setuju bahwa harga akan dibayar penerbit (bank/perusahaan pembiayaan) ketika surat tanda pembelian yang ditandatangani oleh pembeli diserahkan kepada penerbit. Syarat perjanjian tersebut mengikat penjual dan pembeli sama mengikatnya dengan perjanjian jual beli tersebut. Penerbit juga terikat karena ketika kartu kredit diterbitkan, penerbit akan membayar harga pembelian barang/jasa kepada siapa pun kartu kredit itu

   digunakan.

c. Karakteristik Yuridis Dari Kartu Kredit.

  Ditinjau dari segi Yuridis ternyata kartu kredit ini mempunyai karakteristik yuridis tertentu yang berbeda dengan alat pembayaran lainnya seperti cek, wesel atau uang tunai. 1)

  Perjanjian-perjanjian tentang kartu kredit yaitu perjanjian-perjanjian yang terjadi antara para pihak yang terlibat dalam pengeluaran dan pemakaian kartu kredit agak unik apabila ditinjau dari segi hukum. Perjanjian dibagi menjadi dua kategori: a)

  Antara Penerbit dengan Pemegang Antara pihak penerbit dengan pemegang kartu kredit terjadi suatu hubungan hukum dalam bentuk perjanjian, biasanya didahului oleh proses di mana pihak pemegang mempelajari terlebih dahulu syarat-syarat dan kondisi yang berlaku terhadap kartu kredit yang bersangkutan. Perjanjian antara pihak penerbit dengan pihak pemegang kartu kredit ini mirip dengan perjanjian kredit bank, dimana hutang akan dibayar kembali secara mencicil pada kartu kredit (dalam arti sempit) dan akan dibayar kembali sekaligus pada waktu penagihan dalam kasus kartu pembayaran tunai (charge card). Karakteristik lainnya adalah pembeli pinjaman tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamkan (in casu pembayaran hutang) sebelum lewat waktu yang telah ditentukan di dalam perjanjian. Lihat Pasal 1759 KUHPerdata kecuali jika ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi yang menurut perjanjian tersebut, pihak peminjam diharuskan membayar hutang sebelum jatuh tempo.

  b) Antara Pemegang dengan Penjual Barang/jasa

  Antara pihak pemengang kartu kredit dengan pihak penjual barang dan jasa terdapat hubungan hukum berupa perjanjian, bahkan seringkali secara tidak tertulis.

  Yang paling lazim tentunya perjanjian jual beli. Yang terjadi adalah perjanjian tiga pihak antara pihak penjual, pembeli dan pemegang kartu. Perjanjian tiga ini merupakan assessoir terhadap perjanjian pokoknya yaitu perjanjian penerbitan kartu kredit antara pihak penerbit dengan pembeli 2)

  Apakah kartu kredit termasuk surat berharga. Dapat diketahui bahwa dalam KUH Dagang disebutkan beberapa jenis surat berharga seperti cek, wesel, Aksep dan sebagainya. Sebenarnya surat berharga mempunyai tiga fungsi utama sebagai berikut:

  a) Sebagai alat bayar (alat tukar pengganti uang)

  b) Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (dapat diperjualbelikan)

  c) Sebagai surat bukti hak tagih (legitimasi). Sungguhpun kartu kredit telah dipandang suatu surat berharga. Sebab jika dilihat dari ke tiga fungsi surat berharga tersebut hanya fungsi yang pertama yang dipenuhi oleh kartu kredit.

  Yaitu fungsi sebagai alat pembayaran (pengganti uang kontan). Sedangkan fungsi kedua tidak terpenuhi sama sekali. Sementara fungsi ketiga juga terpenuhi walaupun secara tidak langsung hak tagih tersebut dapat dipenuhi tetapi bukan oleh kartu kredit, melainkan oleh slip pembayaran yang telah ditandatangani oleh pemegang kartu kredit.

  

2. Prinsip Kehati-hatian Dalam Bisnis Kartu Kredit

  Prinsip kehati-hatian atau dikenal dengan prudential banking seakan-akan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi lembaga perbankan, khususnya bagi pengurus dan karyawan perbankan karena seseorang kini dengan mudah dijadikan objek penyelidikan, penyidikan, dan dakwaan, dan sekaligus menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana yang digelar oleh para penegak hukum, yang menganggap yang bersangkutan telah melakukan tindakan melanggar prinsip kehati-hatian tanpa adanya dukungan fakta dan data yang memadai, sesuai prinsip dasar tuntutan dalam ilmu hukum. Akibat lebih jauh dari sikap pegawai pegawai perbakan demikian sedikit banyak berpengaruh pada momentum laju pertumbuhan pemberian fasilitas kredit.

   Jika melihat permasalahan demikian dengan hati yang bening dan jujur,

  bahasan mengenai prinsip kehati-hatian melahirkan berbagai macam ragam tafsir, 50

   diakses 1 September 2012 51 bias, dan artifisial. Prinsip kehati-hatian merupakan bentuk cita-cita yang paling ideal berada dalam dunia idealisme tertinggi tanpa cacat.

  Sebenarnya prinsip kehati-hatian adalah suatu nasihat bahwa setiap mahluk harus bersikap hati-hati. Tegasnya nasihat untuk bersikap hati-hati adalah nasihat antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Dengan demikian tidaklah tepat jika seseorang yang melanggar “nasihat” harus dianggap pelanggaran terhadap normatif hukum karena suatu nasihat bukanlah norma hukum, tetapi merupakan tingkatan tertinggi dari suatu nilai idealisme. Sekalipun dalam perkembangannya pelanggaran hukum juga dapat diartikan sebagai juga bukan hanya hukum positif yang berlaku, tetapi juga ketentuan-ketentuan internal, termasuk di dalamnya standart

  

operasional procedure, manual, job description , dan demikian dalam setiap sangkaan

atau dakwaan haruslah mendasarkan pada prinsip umum dalam melakukan lain-lain.

  Namun sangkaan atau dakwaan yang terlebih dahulu harus terbukti adanya delik dan

   baru pada unsur pertanggungjawaban.

  Prinsip kehati-hatian juga tidak berlaku untuk suatu kebijakan yang didasarkan pada prinsip judgment rule karena doktrin judgmen rule merupakan suatu doktrin yang didasarkan pada hakikat manusia dengan segala kodratnya, dimana dalam membuat persepsi ke depan, sering mengalami suatu keadaan di mana prediksinya menjadi tidak tepat. Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya, dengan segala kekuranganya mengalami kekeliruan dan/atau kegagalan suatu pencapaian dari harapan yang didasarkan pada prediksi sejak awal. Doktrin business judgment rule memberikan perlindungan kepada seseorang dari kemungkinan adanya kekeliruan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi, dengan kata lain tidak semua wrong dianggap sebagai kesalahan

   (guility).

  Kenyataan bertahun-tahun membuktikan bahwa bank merupakan simbol kepercayaan masyarakat terhadap kondisi moneter suatu negara. begitu besarnya kepercayaan masayarakat terhadap Bank , sehingga sebuah bank menderita "sakit" sedikit saja, pengaruhnya cukup terasa bagi sendi-sendi ekonomi negara. peran otorias moneter, seperti Bank Indonesia mutlak diperlukan guna mengawasi tingkat kesehatan suatu bank.

  Selain itu, menyadari masih banyaknya laporan kejahatan kartu kredit di masyarakat, Bank Indonesia menerbitkan aturan yang mewajibkan bank-bank meningkatkan fitur keamanan pada kartu kredit yang diedarkan. Salah satu fitur yang disarankan bank sentral adalah memakai teknologi chip. Diharapkan dengan pemakaian chip, keamanan pemakai kartu kredit dapat semakin terjaga. hal ini disebabkan karena teknologi chip memuat sejumlah aplikasi dan pengamanan yang berlapis berbasis kriptogram.

  Bank Indonesia juga memandang penting program komunikasi dan sosialisasi dalam upaya mencegah praktik kejahatan kartu kredit dengan mengikutsertakan AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia), YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dan aparat penegak hukum. adapun wujud program ini telah dilaksanakan seperti gelar kasus AKKI dan aparat penegak hukum. Bulan pengaduan nasabah pemagang kartu (ATM, debet dan kartu kredit) bersama YLKI atau berbasis program edukasi publikmelalui media massa. dan yang tidak kalah penting adalah program apresiasi kepada aparat penegak hukum yang berhasil menangani tindak kejahatan kartu (ATM, debet dan kartu kredit) bersama YLKI atau berbagai program edukasi publik melalui media massa. dan yang tidak kalah penting adalah program apresiasi kepada aparat penegak hukum yang berhasil menangani tindak kejahatan kartu (ATM, debet dan kartu kredit).

  C. Gambaran Umum Bank Negara Indonesia

  PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk lebih dikenal dengan Bank BNI merupakan satu dari beberapa bank tertua dan terbesar yang pernah dan sampai saat ini ada di Indonesia. Sejarah berdirinya PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, erat hubungannya dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945. Berdirinya PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada sidang Dewan Menteri Republik Indonesia tanggal 19 September 1945, diputuskan untuk mendirikan sebuah bank milik negara yang berfungsi sebagai bank sirkulasi. Walaupun menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan, pada tanggal 5 Juli 1946 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1946, berhasil didirikan bank sirkulasi atau Bank Sentral Milik Negara Republik Indonesia dengan nama Bank

54 Negara Indonesia.

  Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat, bangsa dan Bank Negara Republik Indonesia, selama 66 tahun usia BNI sejak didirikan pertama kali pada tanggal 5 Juli 1946, BNI terus tumbuh dan berkembang bersama Negeri, mengawal pembangunan di berbagai sektor industri, sesuai dengan tagline BNI Melayani Negeri, Kebanggaan Bangsa, berdiri sejak 1946, BNI yang dahulu dikenal sebagai Bank Negara Indonesia, merupakan bank pertama yang didirikan dan dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Bank Negara Indonesia mulai mengedarkan alat pembayaran resmi pertama yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia, yakni ORI atau Oeang Republik Indonesia, pada malam menjelang tanggal 30 Oktober 1946, hanya beberapa bulan sejak pembentukannya. Hingga kini, tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Keuangan Nasional, sementara hari pendiriannya yang jatuh pada

   tanggal 5 Juli ditetapkan sebagai Hari Bank Nasional.

  Menyusul penunjukan De Javsche Bank yang merupakan warisan dari Pemerintah Belanda sebagai Bank Sentral pada tahun 1949, Pemerintah membatasi peranan Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi atau bank sentral. Bank Negara Indonesia lalu ditetapkan sebagai bank pembangunan, dan kemudian

  54 55 Sumber dari Modul BNI ICONS (Integrated & Centralized On Line System).

  diberikan hak untuk bertindak sebagai bank devisa, dengan akses langsung untuk

   transaksi ke luar negeri.

  Sehubungan dengan penambahan modal pada tahun 1955, status Bank Negara Indonesia diubah menjadi bank komersial milik pemerintah. Perubahan ini melandasi pelayanan yang lebih baik dan tuas bagi sektor usaha nasional.

  Sejalan dengan keputusan penggunaan tahun pendirian sebagai bagian dari identitas perusahaan, nama Bank Negara Indonesia 1946 resmi digunakan mulai akhir tahun 1968. Perubahan ini menjadikan Bank Negara Indonesia lebih dikenal sebagai 'BNI 46'. Penggunaan nama panggilan yang lebih mudah diingat 'Bank BNI' ditetapkan

   bersamaan dengan perubahaan identitas perusahaan tahun 1988.

  Tahun 1992, status hukum dan nama BNI berubah menjadi PT Bank Negara Indonesia (Persero), sementara keputusan untuk menjadi perusahaan publik diwujudkan melalui penawaran saham perdana di pasar modal pada tahun 1996.

  Kemampuan BNI untuk beradaptasi terhadap perubahan dan kemajuan lingkungan, sosial-budaya serta teknologi dicerminkan melalui penyempurnaan identitas perusahaan yang berkelanjutan dari masa ke masa. Hal ini juga menegaskan dedikasi dan komitmen BNI terhadap perbaikan kualitas kinerja secara terus-menerus.

  Pada tahun 2004, identitas perusahaan yang diperbaharui mulai digunakan untuk menggambarkan prospek masa depan yang lebih baik, setelah keberhasilan mengarungi masa-masa yang sulit. Sebutan 'Bank BNI' dipersingkat menjadi 'BNI', 56 sedangkan tahun pendirian '46' digunakan dalam logo perusahaan untuk meneguhkan kebanggaan sebagai bank nasional pertama yang lahir pada era Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  Pada akhir tahun 2011, Pemerintah Republik Indonesia memegang 60% saham BNI, sementara 40% saham selebihnya dimiliki oleh pemegang saham publik baik individu maupun institusi, domestik dan asing. Saat ini, BNI adalah bank terbesar ke-4 di Indonesia berdasarkan total aset, total kredit maupun total dana pihak ketiga. Kapabilitas BNI untuk menyediakan layanan jasa keuangan secara menyeluruh didukung oleh perusahaan anak di bidang perbankan syariah (Bank BNI Syariah), pembiayaan (BNI Multi Finance), pasar modal (BNI Securities), dan asuransi (BNI Life Insurance).Dengan total aset senilai Rp 299,1 triliun dan lebih dari 23.639 karyawan pada akhir tahun 2011, BNI mengoperasikan jaringan pelayanan yang luas mencakup 1.364 outlet domestik dan 5 cabang luar negeri di New York, London, Tokyo, Hong Kong dan Singapura, 6.227 unit ATM milik sendiri, serta fasilitas Internet banking dan SMS banking yang memberikan kemudahan akses bagi nasabah.Berangkat dari semangat perjuangan yang berakar pada sejarahnya, BNI bertekad untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi negeri, serta senantiasa

   menjadi kebanggaan negara.