BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemberdayaan Masyarakat 2.1.1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat - Analisis Peran Petugas Kesehatan Terhadap Pemberdayaan Masyarakat Melayu dalam Peningkatan Kesehatan Ibu Hamil di Puskesmas Tanjung Beringin Serdang Bedagai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat

2.1.1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

  Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996), manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya.

  Paradigma sakit merupakan upaya untuk membuat orang sakit menjadi sehat, menekankan pada kuratif dan rehabilitatif, sedangkan paradigma sehat merupakan upaya membuat orang sehat tetap sehat, menekan pada pelayanan promotif dan preventif. Berubahnya paradigma masyarakat akan kesehatan, juga akan merubah pemeran dalam pencapaian kesehatan masyarakat, dengan tidak mengesampingkan peran pemerintah dan petugas kesehatan. Perubahan paradigma dapat menjadikan masyarakat sebagai pemeran utama dalam pencapaian derajat kesehatan. Dengan perubahan paradigma sakit menjadi paradigma sehat ini dapat membuat masyarakat

  13 menjadi mandiri dalam mengusahakan dan menjalankan upaya kesehatannya, hal ini sesuai dengan visi Indonesia sehat, yaitu “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan” (Notoatmodjo, 2005).

  Pemberdayaan masyarakat terhadap usaha kesehatan agar menadi sehat sudah sesuai dengan Undang – undang RI, Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, bahwa pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup masyarakat yang setinggi- tingginya, sebagai investasi bagi mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi – tingginya. Pemerintah bertanggungjawab memberdayakan dan mendorong peran serta aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan (Notoatmodjo, 2005)

  Dalam rangka pencapaian kemandirian kesehatan, pemberdayaan masayrakat merupakan unsur penting yang tidak bisa diabaikan. Pemberdayaan kesehatan di bidang kesehatan merupakan sasaran utama dari promosi kesehatan. Masyarakat merupakan salah satu dari strategi global promosi kesehatan pemberdayaan (empowerment) sehingga pemberdayaan masyarakat sangat penting untuk dilakukan agar masyarakat sebagai primary target memiliki kemauan dan kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan.

  Dalam dimensi kesehatan, pemberdayaan merupakan proses yang dilakukan oleh masyarakat (dengan atau tampa campur tangan pihak luar) untuk memperbaiki kondisi lingkungan, sanitasi dan aspek lainnya yang secara lasung maupun tidak lansung berpengaruh dalm kesehatan masyarakat (Notoatmodjo, 2005).

2.1.2. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

  Tujuan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah (Notoatmodjo, 2005) : 1.

  Tumbuhnya kesadaran, pengetahuan dan pemahaman akan kesehatan bagi individu, kelompok atau masyarakat. Pengetahuan dan kesadaran tentang cara – cara memelihra dan meningkatkan kesehatan adalah awal dari keberdayaan kesehatan. Kesadaran dan pengetahuan merupakan tahap awal timbulnya sendiri merupakan suatu proses yang dimulai dengan adanya alih pengetahuan dari sumber belajar kepada subyek belajar. Oleh sebab itu masyarakat yang mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan juga melalui proses belajar kesehatan yang dimulai dengan diperolehnya informasi kesehatan. Dengan informasi kesehatan menimbulkan kesadaran akan kesehatan dan hasilnya adalah pengetahuan kesehatan.

  2. Timbulnya kemauan atau kehendak ialah sebagai bentuk lanjutan dari kesadaran dan pemahaman terhadap obyek, dalam hal ini kesehatan. Kemauan atau kehendak merupakan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan. Oleh sebab itu, teori lain kondisi semacam ini disebut sikap atau niat sebagai indikasi akan timbulnya suatu tindakan. Kemauan ini kemungkinan dapat dilanjutkan ke tindakan tetapi mungkin juga tidak atau berhenti pada kemauan saja. Berlanjut atau tidaknya kemauan menjadi tindakan sangat tergantung dari berbagai faktor. Faktor yang paling utama yang mendukung berlanjutnya kemauan adalah sarana atau prasarana untuk mendukung tindakan tersebut.

  3. Timbulnya kemampuan masyarakat di bidang kesehatan berarti masyarakat, baik seara individu maupun kelompok, telah mampu mewujudkan kemauan atau niat kesehatan mereka dalam bentuk tindakan atau perilaku sehat.

  2.1.3. Unsur-unsur Pemberdayaan Masyarakat

  Upaya pemberdayaan masyarakat harus memperhatikan 4 unsur didalamnya 1.

  Aksesibilitas imformasi, karena imformasi merupakan kekuasaan baru kengitannya dengan peluang, layanan, penegakan hukum, efektifitas negosiasi, dan akuntabilitas 2. Keterlibatan dan partisipasi, yang menyangkut siapa yang dilibatkan dan bagaimana mereka terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan

  3. Akuntabilitas, kaitannya dengan pertanggungjawaban publik atas segala kegiatan yang dilakukan dengan mengatas namakan rakyat

  4. Kapasitas organisasi lokal, kengiatannya dengan kemampuan bekerja sama, mengorganisasi warga masyarakat, serta memobilitasi sumber daya untuk memcahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.

  2.1.4. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat

  Prinsipnya pemberdayaan masyarakat adalah menumbuhkan kemampuan masyarakat dari dalam masyarakat itu sendiri. Prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan (Notoatmodjo, 2005) :

  1. Menumbuhkembangkan Potensi Masyarakat Didalam masyarakat terdapat berbagai potensi yang dapat mendukung keberhasilan program – program kesehatan. Potensi dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi potensi sumber daya manusia dan potensi dalam bentuk sumber daya alam / kondisi geografis.

  Tinggi rendahnya potensi sumber daya manusia disuatu komunitas lebih ditentukan oleh kualitas, bukan kuatitas sumber daya manusia. Sedangkan potensi melimpahnya potensi sumber daya alam, apabila tidak didukung dengan potensi sumber daya manusia yang memadai, maka komunitas tersebut tetap akan tertinggal, karena tidak mampu mengelola sumber alam yang melimpah tersebut.

  2. Mengembangkan Gotong Royong Masyarakat Potensi masyarakat yang ada tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa adanya gotong royong dari masyarakat itu sendiri. Peran petugas kesehatan atau provider dalam gotong royong masyarakat adalah memotivasi dan memfasilitasinya, melalui pendekatan pada para tokoh masyarakat sebagai penggerak kesehatan dalam masyarakatnya.

  3. Menggali Kontribusi Masyarakat Menggali dan mengembangkan potensi masing – masing anggota masyarakat agar dapat berkontribusi sesuai dengan kemampuan terhadap program atau kegiatan yang direncanakan bersama. Kontribusi masyarakat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam bentuk tenaga, pemikiran atau ide, dana, bahan bangunan, dan fasilitas – fasilitas lain untuk menunjang usaha kesehatan.

4. Menjalin Kemitraan

  Jalinan kerja antara berbagai sektor pembangunan, baik pemerintah, swasta dan lembaga swadaya masyarakat, serta individu dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama yang disepakati. Membangun kemandirian atau pemberdayaan masyarakat, kemitraan adalah sangat penting peranannya.

  Desentralisasi Memberikan pada masyarakat lokal untuk mengembangkan potensi daerah atau wilayahnya.

2.1.5. Proses dan Upaya Pemberdayaan Masyarakat

  Menurut Suharto (2006) pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan, sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Proses pemberdayaan dapat dilakukan secara individual maupun kolektif (kelompok).

  Menurut United Nations (1956:83-92 dalam Tampubolon, 2006), proses-proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Getting to Know the Local Community

  Mengetahui karakteristik masyarakat setempat (lokal) yang akan diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik yang membedakan masyarakat desa yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui artinya untuk memberdayakan masyarakat diperlukan hubungan timbal balik antara petugas dengan masyarakat.

  2. Gathering Knowledge About the Local Community Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi mengenai masyarakat setempat. Pengetahuan tersebut merupakan informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, sex, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai, sikap, ritual dan custom, jenis pengelompokan, serta faktor kepemimpinan baik formal maupun informal.

  3. Identifying the Local Leaders memperoleh dukungan dari pimpinan / tokoh-tokoh masyarakat setempat. Untuk itu faktor the local leaders harus selalu diperhitungkan karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat.

  4. Stimulating the Community to Realize that it has Problems Di dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan.

  Karena itu, masyarakat perlu pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu dipenuhi.

  5. Helping People to Discuss their Problem Memberdayakan masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk mendiskusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan.

  6. Helping people to Identify their Most Pressing Problems Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya.

  7. Fostering Self-Confidence Tujuan utama pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat. Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk

  8. Deciding on a Program Action Masyarakat perlu diberdayakan untuk menetapkan suatu program yang akan dilakukan. Program action tersebut perlu ditetapkan menurut skala prioritas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tentunya program dengan skala prioritas tinggilah yang perlu didahulukan pelaksanaannya.

  9. Recogniton of Strengths and Resources Memberdayakan masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhannya.

  10. Helping People to Continue to Work on Solving their Problems Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang berkesinambungan.

  Karena itu, masyarakat perlu diberdayakan agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara kontinyu.

11. Increasing People!s Ability for Self-Help

  Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalah tumbuhnya kemandirian masyarakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya.

2.2. Stakeholders

  2.2.1. Pengertian Stakeholders (Pemangku Kepentingan) Stakeholders adalah orang atau organisasi yang memiliki kepentingan dalam

  program kesehatan masyarakat dan bagaimana mereka mengimplementasikan program tersebut yang meliputi warga yang peduli, perwakilan pemerintah, perwakilan layanan kesehatan dan sosial lainnya, anggota dewan pemerintah, perwakilan keagamaan dan anggota asosiasi profesional (Rowits, 2011).

  2.2.2. Peran Stakeholders dalam Pengembangan Desa Siaga Aktif

  Menurut Ismawati (2010), pemangku kepentingan yaitu pejabat Pemerintah Daerah, pejabat lintas sektoral, unsur-unsur organisasi/ikatan profesi, Pemuka masyarakat, tokoh agama, PKK, LSM, dunia usaha/swasta.

1. Di Tingkat Kecamatan dan Desa a.

  Camat selaku penanggung jawab wilayah kecamatan

1) Mengkoordinasikan pengembangan dan penyelenggaraan Desa Siaga.

  2) Memberikan dukungan kebijakan dan pendanaan, terutama dalam rangka pembinaan kelestarian kader.

  3) Melakukan pembinaan dalam upaya meningkatkan kinerja Desa Siaga, antara lain melalui fasilitasi atau membantu kader berwirausaha, pemberian penghargaan terhadap kader Desa Siaga.

  b.

  Lurah/Kepala Desa 1)

  Memberikan dukungan kebijakan, sarana dan dana untuk penyelenggaraan Desa Siaga.

  2) Mengkoordinasikan penggerakan masyarakat untuk memanfaatkan

  3) Mengkoordinasikan penggerakan masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan UKBM yang ada.

  4) Menindaklanjuti hasil kegiatan Desa Siaga bersama LKMD. 5)

  Melakukan pembinaan untuk terselengganya kegiatan Desa Siaga secara teratur dan lestari.

  c.

  Tim Penggerak PKK 1)

  Berperan aktif dalam pengembangan dan penyelenggaraan UKBM di Desa Siaga.

  2) Menggerakkan masyarakat untuk mengelola, menyelenggarakan dan memanfaatkan UKBM yang ada.

  3) Menyelenggarakan penyuluhan kesehatan dalam rangka menciptakan kadarzi tokoh masyarakat/konsil kesehatan kecamatan.

  4) Menggali sumberdaya untuk kelangsungan penyelenggaraan Desa Siaga. 5) Menaungi dan membina kegiatan Desa Siaga.

  6) Menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan Desa Siaga.

  d.

  Organisasi Kemasyarakatan/LSM/Dunia Usaha/Swasta 1)

  Bersama petugas Puskesmas berperan aktif dalam penyelenggaraan Desa Siaga.

  2) Memberi dukungan sarana dan dana untuk pengembangan dan penyelenggaraan Desa Siaga.

  Di Tingkat Kabupaten/Kota a.

  Berperan serta dalam Tim Pengembangan Desa Siaga tingkat Kabupaten/Kota.

  b.

  Memberikan dukungan (manusia, dana, dll) untuk pengembangan dan kelestarian Desa Siaga serta revitalisasi Puskesmas dan Rumah Sakit.

  3. Di Tingkat Propinsi a.

  Berperan serta dalam Tim Pengembangan Desa Siaga Tingkat Provinsi.

  b.

  Memberikan dukungan (manusia, dana, dll) untuk pengembangan dan kelestarian Desa Siaga serta revitalisasi Puskesmas dan Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

  4. Di Tingkat Pusat a.

  Berperan aktif dalam Tim Pengembangan Desa Siaga Tingkat Pusat.

  b.

  Memberikan dukungan sumberdaya (manusia, dana, dll) untuk pelaksanaan peran Pusat dalam pengembangan Desa Siaga.

2.2.3. Peran Pelaku Perubahan dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat

  Menurut Ife (2002 : 231) dalam Adi I. R., (2008) menyatakan bahwa peran pelaku perubahan dalam upaya pemberdayaan masyarakat adalah :

  1. Peran Fasilitatif a.

  Pelaku perubahan harus memiliki keterampilan melakukan animasi sosial yang menggambarkan kemampuan petugas untuk membangkitkan energi, inspirasi, antusiasisme masyarakat, termasuk didalamnya adalah bertindak.

  b.

  Salah satu peran dari pemberdaya masyarakat adalah untuk menyediakan dan mengembangkan dukungan terhadap warga yang mau terlibat dalam struktur dan aktivitas komunitas tersebut. Dukungan itu sendiri tidak selalu bersifat akstrinsik ataupun dukungan materiil, tetapi juga dapat bersifat intrinsik.

  2. Peran Edukasional a.

  Pelaku perubahan harus mampu membangkitkan kesadaran masyarakat dalam upaya agar masyarakat mau dan mampu mengatasi ketidakberuntungan struktural mereka, maka warga harus mau menjalin hubungan antar satu dengan lainnya, hal ini menjadi tujuan awal dari penyadaran masyarakat.

  b.

  Pelaku perubahan dalam upaya pemberdayaan masyarakat harus meyampaikan informasi yang mungkin belum diketahui oleh komunitas sasarannya. Ife (2002:243) menyatakan bahwa hanya dengan memberikan informasi yang relevan mengenai suatu masalah yang sedang dihadapi komunitas sasaran tidak jarang dapat menjadi peran yang bermakna terhadap komunitas tersebut (Adi, I. R., 2008).

  3. Peran Kepemimpinan Seorang stakeholders identik dengan seorang pemimpin yang harus memiliki konsep kepemimpinan yaitu Ing Ngarso sung Tulodho artinya didepan sebagai teladan, Ing Madyo Mangun Karso artinya ditengah menggerakkan dan Tut Wuri Handayani artinya dibelakang memberikan dorongan (Pamungkas S. G., 2012).

  Peranan petugas secara umum yaitu: 1. Mengumpulkan, mengolah data dan informasi, menginventarisasi permasalahan serta melaksanakan pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan masyarakat 2. Merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, mengevaluasi dan melaporkan kegiatan Puskesmas;

  3. Menyiapkan bahan kebijakan, bimbingan dan pembinaan serta petunjuk teknis sesuai bidang tugasnya;

4. Melaksanakan upaya kesehatan masyarakat; 5.

  Melaksanakan upaya kesehatan perorangan; 6. Melaksanakan pelayanan upaya kesehatan/ kesejahteraan ibu dan anak, Keluarga

  Berencana, perbaikan gizi, perawatan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pemberantasan penyakit, pembinaan kesehatan lingkungan, penyuluhan kesehatan masyarakat, usaha kesehatan sekolah, kesehatan olah raga, pengobatan termasuk pelayanan darurat karena kecelakaan, kesehatan gigi dan mulut, laboratorium sederhana, upaya kesehatan kerja, kesehatan usia lanjut, upaya kesehatan jiwa, kesehatan mata dan kesehatan khusus lainnya serta pembinaan pengobatan tradisional;

  7. Melaksanakan pembinaan upaya kesehatan, peran serta masyarakat, koordinasi semua upaya kesehatan, sarana pelayanan kesehatan, pelaksanaan rujukan medik, pembantuan sarana dan pembinaan teknis kepada Puskesmas Pembantu, unit 8.

  Melaksanakan pengembangan upaya kesehatan dalam hal pengembangan kader pembangunan di bidang kesehatan dan pengembangan kegiatan swadaya masyarakat di wilayah kerjanya; 9. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan dalam rangka sistem informasi kesehatan;

  10. Melaksanakan ketatausahaan dan urusan rumah tangga UPT, melaksanakan analisis dan pengembangan kinerja UPTD, melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas.

  Peranan Petugas Kesehatan memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan pada ibu hamil yaitu:

1. Memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan maupun program-program pemberdayaan masyarakat meliputi pertemuan dan pengorganisasian masyarakat.

  Fasilitas lainnya yaitu pelaksanaan asuhan antenatal care yang dilakukan oleh prtugas kesehatan

  2. Memberikan motivasi kepada masyarakat untuk bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan agar masyarakat mau berkontribusi terhadap pelaksanaan program antenatal care, pemberian imunisasi TT, pemberian zat besi dan vitamin A pada ibu hamil

3. Mengalihkan pengetahuan, keterampilan, masyarakat dengan melakukan pelatihan-pelatihan seperti penyuluhan dan konseling.

2.3. Masyarakat Melayu

  Orang melayu yang tergolong dalam masyarakat besar melayo-polynesia merupakan salah satu bangsa yang serumpun dalam bangsa yang berbahasa Autronesia terdapat di daerah kepulauan dan sebagian daripada tanah besar asia tenggara. Bagi orang melayu yang tinggal di desa, mayoritas mereka menjalankan aktivitas pertanian. Aktivitas pertanian termasuk mengusahakan tanaman padi, karet, kelapa sawit, kelapa dan tanaman campuran . Di kawasan pesisir pantai, umumnya orang melayu bekerja sebagai nelayan yaitu menangkap ikan dilaut dengan menggunakan alat-alat penangkap ikan. Orang melayu yang tinggal di kota kebanyakan bekerja dalam sektor dinas, sebagai pekerja di sektor perindustrian, perdagangan, pengangkutan dan lain-lain. Kebudayaan Melayu yang diharapkan oleh negara bisa menjadi salah satu benteng untuk menahan segala dampak dari globalisasi ternyata justru kewalahan.

  Masyarakat Melayu adalah salah satu dari delapan masyarakat etnis budaya “asli” di provinsi Sumatera Utara (Ridwan, 2005). Anggota masyarakat Melayu didefinisikan oleh William Hunt (1952):

  “ A Malay one who is Muslim, who habitually speaks Malay, who practices Malay adat, and who fullfills certain residence requirement ”.

  Jadi masyarakat Melayu sesungguhnya bukanlah secara geneologis melainkan kumpulan melting pot asal berbagai suku bangsa ataupun bangsa yang diikat oleh dialek, sosiolek, kronolek, tempolek, maupun idiolek), berpakaian, beradat istiadat serta bertradisi Melayu (dalam Ridwan, 2005). Dalam buku-buku antropologi, umumnya kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang (Barth, 1988): 1.

  Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.

  2. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.

  3. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

  4. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

  Definisi yang ideal memang tidak berbeda jauh dengan yang umum kita kenal, yaitu bahwa suku bangsa = budaya = bahasa; sedangkan masyarakat = suatu unit yang hidup terpisah dari unit lain. Pola ini mendekati kondisi etnografis empiris yang ada, sehingga dapat dipakai oleh ahli antropologi dalam penelitiannya.

  Kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang sama merupakan ciri utama kelompok etnik yang penting. Menurut Barth (1988), ciri khusus ini bukan hanya merupakan ciri etnik kelompok saja, tetapi juga memberikan dampak yang lebih luas, terutama dengan asumsi tiap kelompok etnik mempunyai ciri budaya sendiri.

  Masyarakat Melayu di Sumatera Utara mendiami wilayah pesisir timur. Pesisir timur Sumatera Utara meliputi Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai, Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Labuhan

  Raja-raja Melayu digambarkan sebagai orang yang bersifat luar biasa, selain juga mempunyai kedudukan yang istimewa. Keistimewaan kedudukan golongan pemerintah kerajaan Melayu juga dinyatakan dengan lambang-lambang kebesaran secara visual, termasuk keindahan dan kebesaran istana, serta peralatan kebesaran kerajaan Melayu. Istana memainkan peranan penting sebagai pusat perkembangan budaya yang tertinggi, yang karenanya sering berusaha untuk menjaga ketinggian mutu dan kehalusan tradisi budaya, misalnya adat istiadat. Berperan sebagai pusat pembangunan budaya, istana senantiasa mempertahankan tradisi budaya yang dapat mempertahankan ketinggian budaya Melayu. Istana juga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keagamaan (Ridwan, 2005).

  Keistimewaan kedudukan raja-raja Melayu juga dinyatakan dengan penerimaan Islam. Kedatangan dan penyebaran Islam digambarkan dengan cara yang menarik yang membolehkan masyarakat Melayu menerima dengan baik dan meletakkan pada kedudukan yang tinggi. Pembinaan Islam dikalangan warga masyarakat didapati umumnya penerimaan Islam meresap secara mendalam dan menyeluruh sabagaimana kedudukan Islam di pusat perkembangannya Arab (Basyarsyah, 2005).

  Adat dalam konteks masyarakat Melayu mempunyai makna dan pengertian yang luas, bahkan mencakup keseluruhan cara hidup yang menentukan ketentuan sosial untuk tercapainya keharmonisan dan kestabilan sosial. Berazaskan adat warga masyarakat dapat disusun kehidupan bernuansa keperluan bersama (Ishaq, 2002). propinsi Sumatera Utara. Walaupun terdapat beberapa perbedaan dalam bentuk corak adat istiadat serta kebiasaan diantara kelompok masyarakat namun terdapat hal-hal yang universal: aspek-aspek dimana adat istiadat dan kebiasaan berpengaruh dan berperan dalam perwujudan sikap, karakter, respon, cara pandang, dan lainnya merupakan ciri-ciri yang koresponden. Melalui sudut kebahasaan, ungkapan, rasa bahasa, dan gaya bahasa mendukung pula pemahaman mengenai karakteristik masyarakat penutur dan pemakai bahasa (Ridwan, 2005).

  Menurut Ishaq (2002) salah satu kelemahan masyarakat melayu yang menjadi pandangan adalah kegemaran mereka mencari dan memuja hero atau wira, yang artinya walaupun dengan keadaan ekonomi yang rendah tidak sebaik dulu, mereka tetap hidup dalam bayang-bayang kejayaan masyarakat Melayu di masa lalu.

  Diketahui pada masa lalu orang-masyarakat melayu mengalami masa kejayaan yaitu menguasai sebagian besar aspek kehidupan, mulai dari seni, teknologi (perkapalan, misalnya) sampai perdagangan di nusantara. asyarakat melayu masih bangga dengan

  “kejayaan” yang kononnya di capai oleh Hang Tuah atau lahirnya cerita Langkawi pada tahun 1992 tentang wujudnya sepuluh orang jutawan Melayu. Penciptaan hero ini menimbulkan kesan yang negatif menurut Norazit Selat (dalam Safrin, Sulbihar, dan Sudirman 1996).

  Masyarakat melayu merupakan etnis yang termasuk ke dalam rumpun ras Austronesia. Masyarakat melayu dalam pengertian ini, berbeda dengan konsep Bangsa Melayu yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, Mindanao, Myanmar Selatan, serta pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang selat Malaka dan selat Karimata. Di Indonesia suku Melayu mendiami sebagian besar propinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat (Ahyat Ita Syamtasiyah, 2008).

  Penelitian yang dilakukan oleh Rahmayani Yulia, (2007) ditemukan bahwa daerah pantai Timur yang merupakan tempat tinggal etnik Melayu pada umumnya adalah sebuah dataran rendah yang subur dengan beberapa sungai besar dan daerah- daerah rawa sepanjang pantai sehingga merupakan wilayah yang memiliki potensi alam yang sangat besar. Keadaan seperti ini justru membentuk sikap hidup yang cenderung santai, kurang gigih, dan kadang-kadang mengarah pada sifat mudah menyerah pada nasib, serta terkesan kurang mempunyai dorongan untuk maju. Pada saat ini terdapat pandangan bahwa umumnya masyarakat Melayu kurang mempunyai cita-cita hidup atau secara tegas kurang mempunyai pandangan tentang masa depan keluarga yang diinginkan. Bagi mereka, orientasi hidup lebih ditekankan pada masa kini (atau masa yang sedang dijalani), tanpa mau berfikir bagaimana masa depan keluarga nanti. Penghasilan yang diperoleh atau diberikan suami hanya diperuntukkan untuk kebutuhan konsumsi setiap hari tanpa ada usaha untuk menabung sebagai cadangan untuk biaya kesehatan.

  Kebudayaan Melayu yang diharapkan oleh negara bisa menjadi salah satu benteng untuk menahan segala dampak dari globalisasi ternyata justru kewalahan. globalisasi (Efendi, 2010). Contohnya dalam bidang kesehatan banyak ibu-ibu suku Melayu yang masih melakukan perawatan sesuai dengan budaya mereka walaupun hal tersebut bertentangan dengan ilmu kesehatan. Mereka masih berpegang pada kebiasaan atau perilaku yang mereka dapatkan dari orang tua mereka secara temurun, misalnya nilai-nilai yang mendasari praktek budaya dalam suku Melayu adalah adanya pantangan perilaku seperti pantangan keluar rumah selama 40 hari, perilaku yang khusus dilakukan seperti keramas setiap hari selama seminggu dan memakai pilis. Kemudian adanya pantangan makanan yang sangat bertentangan dengan kesehatan seperti larangan mengkonsumsi sayuran seperti kangkung, genjer, ikan, daging, nangka, dan es.

  Berikut adalah pantangan masyarakat melayu pada ibu hamil: 1. Dilarang menceritakan dan menghina orang cacat, karena anak yang bakal lahir juga akan cacat.

  2. Dilarang memukul dan menyiksa binatang, dikhawatirkan anak yang bakal lahir tida sempurna.

  3. Dilarang memaku, memahat, mengail atau menyembelih binatang, anak yang bakal lahit bibir terbelah atau mengalami kecacatan.

  4. Dilarang ribut dengan ibu mertua, akan mengalami kesulitan ketika melahirkan anak.

  5. Dilarang makan sotong, anak mungkin tercerut tali pusatnya.

  Dilarang mencerca atau melihat sesuatu yang ganjil, nanti hal yang sama akan terjadi pada anak kita

  7. Dilarang minum air tebu atau kelapa di awal kehamilan, anak akan gugur.

  8. Dilarang melihat gerhana, anak mendapat tompok hitam atau bermata juling.

  9. Dilarang melangkah kucing yang sedang tidur, mata anak tertutup seperti kucing yang sedang tidur.

  10. Dilarang menyusup di bawah jemuran, nanti anak akan bodoh.

  11. Dilarang makan makanan yang berakar seperti pegaga, nanti terlekat uri.

  12. Dilarang tidur waktu tengahari, nanti kepala anak akan menjadi besar

2.4. Landasan Teori

  Sebagai acuan dalam menentukan variabel penelitian serta menyusunnya dalam suatu kerangka konseptual, maka keseluruhan teori-teori yang telah dipaparkan diatas dirangkum dalam suatu penjelasan teori seperti diuraikan berikut ini.

  Pembangunan kesehatan tidak terlepas dari komitmen Indonesia sebagai warga masyarakat dunia untuk ikut merealisasikan tercapainya MDGs, karena dari delapan agenda MDGs lima diantaranya berkaitan langsung dengan kesehatan yaitu memberantas kemiskinan dan kelaparan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV dan AIDS serta menyehatkan lingkungan. Salah satu upaya Indonesia untuk mencapai target tersebut dengan pemberdayaan masyarakat. dalam program kesehatan masyarakat dan bagaimana mereka mengimplementasikan program tersebut yang meliputi warga yang peduli, perwalikilan pemerintah, perwakilan layanan kesehatan dan sosial lainnya, anggota dewan pemerintah, perwakilan keagamaan dan anggota asosiasi profesional. Seorang stakeholders yang memiliki kredibilitas ikut berpengaruh yang dapat menyakinkan sebagian besar masyarakat bahwa ada masalah kesehatan yang harus segera di tanggulangi.

  Menurut Green dalam Notoatmodjo (2010), bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu : a.

  Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tingkat pendidikan, tingkat sosial/ekonomi.

  b.

  Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan yang mencakup sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat antara lain adanya Poskesdes, adanya kelompok donor darah, adanya ambulans desa, adanya posyandu balita dan lanjut usia, adanya kelompok dana sosial ibu hamil atau tabulin.

  c.

  Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku yang meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan atau tokoh masyarakat baik formal maupun informal yang bertujuan sehat) bagi masyarakat.

2.5. Kerangka Pikir

  Sesuai dengan Visi MDGs dalam menurunkan AKI khususnya dengan pemberdayaan masyarakat melayu di Puskesmas Tanjung Beringin dengan melibatkan Kepala Puskemas, petugas kesehatan (Bidan), Kepala Desa dan Ibu – ibu PKK.

  Tingkat Kesadaran, Peran Petugas

  Kemauan, Kemampuan Kesehatan dalam memberdayakan masyarakat Melayu

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

  Berdasarkan kerangka pikir di atas maka diperlukan suatu penelitian kualitatif yang mampu menggali bagaimana Analisis peran petugas kesehatan terhadap tingkat kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam memperdayakan masyarakat melayu sehingga masyarakat mau ikut serta dalam peningkatan kesehatan ibu hamil di Puskesmas Tanjung Beringin.