Laporan besar TKSDL K3 fix

  

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN

  Disusun oleh: Kelompok K3

  

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

  

DAFTAR ISI

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  DAFTAR TABEL No. Teks Halaman

  1. Klasifikasi Erosi……………………………………………………… ....................8 2. Nilai Faktor P untuk Berbagai Tindakan Konservasi Tanah Khusus. …..

  10

  3. Kelas Kemampuan Lahan…………………………………………….....17

  4. EDP dan Erosi tiap SPL ………………………………………………...18

  5. Hasil Perhitungan Erosi Aktual, Erosi Potensial, dan Erosi Terkendali..23

  DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman

  1. Peta Lokasi Dusun………………………………………………………........16

  2. Lokasi Project…………………………………………………..………16

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Konservasi tanah adalah upaya untuk mempertahankan atau memperbaiki daya guna lahan termasuk kesuburan tanah dengan cara menggunakan lahan sesuai dengan kemampuan tanah agar tidak terjadi kerusakan tanah dan kemunduran daya guna serta produktifitas lahan. Menurut Siswomartono (1989), konservasi adalah perlindungan, perbaikan dan pemakaian sumber daya alam menurut prinsip-prinsip yang akan menjamin keuntungan ekonomi atau social. Pengolahan Konservasi adalah setiap sistem pengolahan tanah yang mengurangi kehilangan tanah atau air. Konservasi tanah dan air dapat diartikan mengelola atau menggunakan tanah dan air agar dapat memberi manfaat yang optimum bagi kepentingan umat manusia dalam jangka waktu berkelanjutan. Kegiatan konservasi tanah meliputi pengendalian erosi, banjir, pengaturan pemanfaatan air, peningkatan daya guna lahan, peningkatan produksi dan pendapatan petani termasuk peningkatan peran serta masyarakat yang terpadu dan kegiatan pengamanannya (Wahyudi 2014). Tujuan konservasi tanah ialah untuk meningkatkan produktivitas lahan secara optimal, memperbaiki lahan yang rusak, dan melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi.

  Banyaknya perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi areal pertanian, dapat mempengaruhi keseimbangan linkungan yang ada. Hal ini terbukti dari lahan hutan yang ada di desa Tulungrejo dengan dirubahnya hutan menjadi agrofoerstri. Masyarakat setempat menggunakan lahan tersebut untuk di tanami tanaman sayuran dan tanaman bunga. Kegiatan ini menimbulkan persepsi dengan dibukanya lahan pertanian di kawasan hutan akan meningkatkan kelajuan erosi akibat yang mulanya ditanami tanaman tahunan untuk menanggulangi besarnya erosi menjadi di tanamani tanaman semusim. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukannya usaha untuk menjaga kestabilan fungsi hutan dengan penerapan konservasi tanah dan air. Peran pemerintah dalam memberikan penyuluhan penting dilakukan. Konservasi lahan yang sesuai dapat mengurangi resiko erosi maupun banjir. Petani dapat melakukan tindakan konservasi tanah dengan cara melakukan teknik konservasi secara vegetatif dan mekanis. Teknik konservasi secara vegetatif yaitu pemanfaatan jenis tanaman untuk ditanam sebagai media pelindung tanah dan erosi, penghambat laju aliran permukaan dan perbaikan sifat-sifat tanah. Sedangkan teknik konservasi secara mekanis seperti pembuatan teras sering, bangunan pengendali, bangunan penahan sedimen dan erosi dan lain-lain (Masaki, 1995).

  Pada praktikum lapang Mata Kuliah Teknologi konservasi sumberdaya lahan yang telah dilakukan di, Desa Tulungrejo memiliki tingkat kecuraman yang berbeda- beda pada setiap SPL nya. Oleh sebab itu penting untuk mahasiswa belajar melihat, mengamati, dan menganalisis kondisi aktual lahan. Sehingga dapat menentukan upaya perbaikan dengan tujuan dapat mengoptimalkan lahan sesuai dengan kemampuannya serta dapat merekomendasikan penggunaan lahan yang sesuai dan menguntungkan secara ekonomis.

1.2 Tujuan

  Adapun tujuan dari fieldtrip yang telah dilakukan adalah :

  1. Untuk menentukan besarnya erosi di wilayah UB Forest, Desa Tulungrejo Dusun Kekep, Kec. Karang Ploso.

  2. Untuk menentukan rekomendasi tindakan KTA di wilayah UB Forest, Desa Tulungrejo Dusun Kekep, Kec. Karang Ploso,.

  3. Untuk menentukan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan KTA.

II. PENDEKATAN METODE

2.1 Inventarisasi Sumberdaya Lahan

  Permasalahan yang sering di jumpai pada pengerjaan project ialah kurang adanya manajemen yang baik dalam penentuan komoditas-komoditas yang di budidayakan terhadap daerah tersebut dan kurang adanya kepedulian terhadap kemampuan lahan, hal ini dapat memberikan dampak yang buruk jika terjadi musim hujan yang berkepanjangan di karenakan kurang adanya daerah resapan air yang telah di alih fungsikan menjadi lahan budidaya dan perumahan warga. Maka dari itu inventarisasi sumberdaya lahan merupakan hal yang penting dalam menentukan lahan untuk tanaman budidaya terutama tanaman semusim dan penentuan daerah konservasi agar dapat memperpanjang umur tanah, mempertahankan daya dukung lahan atau meningkatkan daya dukung lahan dan mengurangi resiko degradasi lahan.

  Kegiatan survey lahan pada saat ini menurut Rossiter (2000) mengemukakan bahwa disiplin survei sumber daya lahan kini memasuki era baru karena munculnya teknologi dan metode baru berikut:

  a) Satelit penginderaan jauh (yang dalam waktu dekat hampir sama detailnya dengan foto udara) yang sangat bermanfaatuntuk persiapan peta dasar dan klasifikasi tutupan lahan.

  b) GPS (global positioning system) yang sangat bermanfaat untuk menentukan lokasi secara akurat, mampu menemukan teknologi pemetaan bawah-pemukaan, serta berkembangnya model elevasi digital (DEM) untuk memprediksi karakteristik medan.

  c) Geostatistik dan teknik interpolasi lainnya.

  d) Sistem inforrnasi geografi (GIS) untuk penyimpanan, transfomasi, analisis dan pencetakan peta.

  Suvery tanah terdapat dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, survey pada tiap satuan peta lahannya sedangkan pada survey tanah yang bertujuan khusus dalam hal ini memiliki tujuan secara spesifik terhadap suatu penggunaan lahan atau rencana pengunaan lahan baik dari sektor kemampuan lahan dan dampak ekonomi yang didapatkan setelah terjadi adanya perubahan tersebut sebagai contoh survey tanah bertujuan khusus misalnya pembuatan saluran irigasi, atau penanaman komoditas tertentu pada suatu daerah.

  Infentarisasi sumberdaya lahan adalah inventarisasi informasi fisik tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan pengelolaan lahan dan konservasi tanah. Menurut Siswanto (2006) secara umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor yang bersifat permanen yaitu bentuk lahan, tipe batuan, jenis tanah sedangkan faktor yang bersifat dinamis misalkan kondisi vegetasi dan erosi. Faktor- faktor tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber yaitu peta, penelitian yang terdahulu, survei lapang yang dibantu dengan penafsiran peta foto udara dan klasifikasi citra satelit. Secara garis besar faktor-faktor yang dapat sebagai pendekatan untuk menentukan kelas kemampuan lahan pada daerah tersebut terdapat bentukan lahan, jenis batuan, jenis tanah, lereng, dan erosi.

  Data fisik lahan yang diperlukan guna melengkapi survei pada kawasan tertentu adalah penambahan parameter fisik baik yang tetap maupun berubah. Parameter fisik tetap antara lain bentuk lahan, batuan, tanah, dan lereng. Sedangkan parameter fisik yang berubah meliputi erosi, teras, dan informasi penggunaan lahan. Beberapa parameter fisik yang di kumpulkan menurut Harjadi (2018) mencakup :

  A. Lahan

  1. Bentuk lahan

  2. Kemiringan lereng

  3. Relief relatif

  4. Batuan di permukaan

  3. Kedalaman regolit

  4. Warna tanah

  5. Tekstur

  6. Struktur

  7. Kemasaman tanah

  8. Permeabilitas/drainase

  C. Batuan

  1. Tipe batuan

  2. Tegangan/pemecahan

  D. Erosi

  1. Jenis erosi

  2. Tingkat erosi

  3. Prosentase erosi

  E. Konservasi tanah

  1. Jenis teras

  2. Prosentase berteras

  F. Penggunaan lahan

2.2 Tingkat Erosi Tanah

  Topografi yang bergelombang dengan kemiringan yang lebih dari 50% memiliki resiko erosi jika memiliki tutupan lahan hanya tanaman budidaya semusim, hal tersebut juga dapat berpengaruh terhadap kesuburan tanah yang diakibatbatkan oleh terkikisnya lapisan tanah bagian atas atau top soil hal tersebut juga dapat memperdangkal lapisan olah tanah jika terjadi dalam jangka waktu yang lama. Menurut Nearing (2017) akibat yang akan ditimbulkan baru terlihat setelah berpuluh

  • – puluh tahun bahkan beratus tahun yang akan datang, terdapar berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi besar kecilnya erosi pada suatu daerah berikut merupakan faktor-faktor erosi yang mempengaruhi besar kecilnya erosi meliputi
sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainya artinya bekerja secara simultan (Morgan dan Rickson, 2005).

  Permasalahan utama pada pengerjaan projek ialah manajemen pembuangan limbah yang tidak di kelola dengan baik yang menyebabkan adanya erosi selokan dan kemiringan lereng yang cukup curam dengan kemiringan mulai dari 34,6% hingga kemiringan lereng 71,1%. Metode yang umum digunakan untuk memperkirakan besarnya erosi adalah metode Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikembangkan oleh Weschmeier dan Smith. USLE memungkinkan pendugaan laju rata–rata erosi suatu lahan tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (konservasi tanah) yang mungkin dilakukan atau yang sedang dipergunakan (Arsyad, 1989: 248). USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi ratarata erosi jangka panjang dari erosi lembar atau alur pada keadaan tertentu.

  Menurut Wischmeier dan Smith dalam Hardjowigeno (1987: 138), untuk memperkirakan besarnya erosi yaitu menggunakan rumus sebagai berikut :

  A = R.K.L.S.C.P

  A = Banyaknya kehilangan tanah per satuan luas lahan. Besarnya kehilanagan tanah atau erosi dalam hal ini hanya terbatas pada erosi kulit dan erosi alur. Tidak termasuk erosi yang berasal dari tebing sungai dan juga tidak termasuk sedimen yang terendapkan di bawah lahan-lahan dengan kemiringan besar. (ton/ha/th).

  R = Faktor erosivitas curah hujan dan air larian untuk daerah tertentu. Faktor R juga merupakan angka indeks yang menunjukkan besarnya tenaga curah hujan yang dapat menyebabkan terjadinya erosi. K = Faktor erodibilitas tanah untuk horison tanah tertentu, dan merupakan kehilangan tanah per satuan luas untuk indeks erosivitas tertentu. Faktor K

  L = Faktor panjang lereng yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilagan tanah untuk panjang lereng tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk panjang lereng 72,6 ft. S = Faktor gradien (beda) kemiringan yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah untuk tingkat kemiringan lereng tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk kemiringan lereng 9%.

  C = Faktor (pengelolaan) cara bercocok tanam yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi cara bercocok tanam yang diinginkan dengan besarnya kehilangan tanah pada keadaan tilled continouos fallow.

  P = Faktor praktik konservasi tanah (cara mekanik) yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi usaha konservasi tanah ideal (misalnya, teknik penanaman sejajar garis kontur, penanaman dalam teras, penanaman dalam larikan) dengan besarnya kehilangan tanah pada kondisi penanaman tegak lurus terhadap garis kontur. Besarnya erosi yang terjadi pada suatu wilayah adalah dengan memperkirakan jumlah kehilangan tanah maksimum yang akan terjadi pada sebidang lahan dengan catatan apabila pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu yang panjang kriteria besarnya erosi permukaan menurut Departemen Kehutanan (1986) adalah sebagai berikut:

  No. Kategori Erosi Permukaan Besaran Erosi Permukaan

  1 Sangat Ringan < 15 ton/ha/tahun

  2 Ringan >15 – 60 ton/ha/tahun

  3 Sedang >60 – 180 ton/ha/tahun

  4 Tinggi >180 – 460 ton/ha/tahun

  5 Sangat tinggi >460 ton/ha/tahun

  Besarnya erosi yang terjadi pada suatu wilayah adalah dengan memperkirakan jumlah kehilangan tanah maksimum yang akan terjadi pada sebidang lahan dengan catatan apabila pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu yang panjang. Dari persamaan tersebut di atas maka besarnya laju erosi diperoleh dari perhitungan faktor – faktor berikut :

  a. Erosivitas Hujan (R) Indeks erosivitas hujan (R) merupakan nilai yang menggambarkan kemampuan potensial tetesan air hujan untuk mengerosi tanah. Faktor–faktor erosivitas hujan diangkat dari rumus Bols (1978), yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan yang merupakan perkalian energi kinetik hujan (E/KE) dengan intensitas hujan maksimun 30 menit (I30). Persamaan EI30 ini dapat digunakan jika tersedia data hujan yang diperoleh dari pencatat hujan otomatis yang mencatat data waktu dan jumlah hujan. Data hujan yang diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Fakultas

  Pertanian UNS hanya diketahui jumlah hujan sehingga persamaan EI30 tidak dapat dipergunakan dan untuk menghitung besar erosivitas digunakan persamaan berikut ini : Rm = - 8,79 + 17,01 x (CHb)

  b. Erodibilitas Tanah (K) tanah yang didapat dari peta percobaan yang panjangnya 22,13 meter (72,6 kaki) terletak pada lahan dengan kemiringan 9 % tanpa tanaman, dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

  1,14

  4

  100K = 1,292{2,1 ( ) (12 - a ) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3)

  M

10 Keterangan :

  K = Erodibilitas tanah M = (% debu dan pasir sangat halus) x (100 - % liat) a = Persentase bahan organik b = Kode struktur tanah c = Kelas permeabilitas tanah c. Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

  Faktor LS merupakan kombinasi antara faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S) atau nisbah besarnya erosi dari suatu lereng dengan panjang dan kemiringan tertentu terhadap besarnya erosi dari plot lahan. Panjang dan kemiringan lereng merupakan dua unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi (Arsyad, 1989:81). Nilai LS diperoleh dengan rumus (Schwab et.al., 1981dalam Wardhana, 2005:14)

  m λ 1,503 1,249 2,249

  .C (cosα ) .0,5(sin α ) sin α )

  • ( 22,1

  ( ) Kelerengan=

  d. Faktor Pengelolaan Tanaman (C) Faktor pengelolaan tanaman merupakan gabungan antara jenis tanaman, pengelolaan sisa–sisa tanaman, tingkat kesuburan dan waktu pengelolaan tanah.

  Faktor C menggambarkan nisbah antara besarnya erosi dari lahan yang bertanaman tertentu dan dengan manajemen (pengelolaan) tertentu terhadap

  1. Variabel alami. Variabel alami terutama adalah iklim dan fase pertumbuhan.

  Efektivitas tanaman dalam mencegah erosi tergantung pada tinggi dan kontinuitas kanopi, kerapatan penutupan lahan, dan kerapatan perakaran

  2. Variabel yang dipengaruhi oleh sistem pengelolaan,yaitu tajuk tanaman, mulsa sisa-sisa tanaman, sisa-sisa tanaman yang dibenamkan ke dalam tanah, pengelolaan tanah, pengaruh residual pengelolaan tanah, dan interaksi antara variabel-variabel tersebut.

  e. Faktor Pengolahan Tanah (P) Faktor pengolahan tanah merupakan bentuk usaha manusia untuk membatasi semaksimum mungkin pengaruh erosi terhadap lahan.

  

Tabel 2. Nilai Faktor P untuk Berbagai Tindakan Konservasi Tanah Khusus.

  NO. Tindakan Konservasi Tanah Nilai P

  1. Terras bangku

  a) Kontruksi baik

  0.04

  b) Kontruksi sedang

  0.15

  c) Kontruksi kurang baik

  0.35

  d) Terras tradisional

  0.40

  2. Strip tanaman rumput bahia

  0.40

  3. Pengolahan tanah dan

  penanaman menurut garis kontur a) Kemiringan 0-8%

  0.50

  b) Kemiringan 9-20%

  0.75

  c) Kemiringan lebih dari

  0.90 20%

  4. Tanpa tindakan konservasi

  1.00

2.3 Klasifikasi Kemampuan Lahan

  pengklasifikasian kemampuan lahan adalah untuk mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian berdasarkan potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara berkesinambungan. Kemampuan lahan menggambarkan kapasitas fisik lingkungan dipengaruhi oleh keadaan topografi, tanah, hidrologi, dan iklim, serta dinamika yang terjadi khususnya erosi, banjir dan lainnya. Dalam sistem klasifikasi ini lahan dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu kelas, subkelas, dan satuan (unit) kemampuan. Sedangkan kombinasi karakter seluruh sifat fisik dipakai untuk menentukan kelas kemampuan lahan, yang dibagi menjadi delapan kelas (Rustiadi et al., 2010).

  Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan dari besarnya faktor-faktor penghambat. Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin buruk, berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang diterapkan semakin terbatas. Berikut merupakan kelas kemampuan lahan yang ditetapkan oleh USDA-NRCS (2003):

  1. Kelas I Lahan kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan lahan pertanian tanpa memerlukan tindakan yang khusus. Lahannya cenderung datar, solum atau daerah perakaran dalam, bertekstur agak halus atau sedang, permeabilitas dan kapasitas menahan air baik, mudah diolah, tingkat kesuburan tinggi, dan responsif terhadap pemupukan. Lahan kelas I hampir tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan, sehingga dapat digunakan untuk kegiatan pertanian intensif. Tindakan pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan struktur tanah yang baik diperlukan guna menjaga kesuburan dan produktivitas lahan.

  2. Kelas II Lahan kelas II dapat gunakan untuk tanaman semusim, padang rumput, padang

  (3) kedalaman efektif tanah agak dalam, (4) struktur tanah dan kemampan tanah untuk diolah agak kurang baik, (5) salinitas ringan sampai sedang atau terdapat garam natrium yang mudah diatasi, tetapi mungkin dapat timbul kembali, (6) mengalami banjir yang merusak pada beberapa waktu, (7) kelebihan air yang dapat diatasi dengan drainase, tetapi air tetap ada sebagai pembatas yang tingkatannya sedang, dan (8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan. Tanah yang digolongkan dalam kelas ini mungkin memerlukan sistem konservasi khusus, tindakan-tindakan pencegahan erosi, pengendalian limpasan air, atau metode pengolahan tanah jika akan digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah baik secara intensif maupun tidak. Misalnya, tanah yang dalam dengan lereng landai dan memiliki bahaya erosi sedang jika digunakan untuk tanaman semusim dapat diatasi dengan pembuatan teras tegak lurus lereng, menanam cover crop diantara tanaman semusim, pengolahan kontur, dan lain-lain.

  3. Kelas III Tanah yang digolongkan dalam kelas III mempunyai kendala yang berat sehingga mengurangi pilihan penggunaan lahan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Lahan kelas III dapat digunakan untuk tanaman semusim, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka margasatwa.

  Kendala yang terdapat pada tanah dalam kelas III adalah terbatasnya waktu penggunaan dan waktu pengolahan, pilihan jenis tanaman bagi tanaman semusim atau kombinasi dari ketiganya. Kendala-kendala tersebut dapat disebabkan oleh salah satu atau lebih dari karakteristik berikut: (1) lereng yang agak curam, (2) nilai erodibilitas agak tinggi atau telah mengalami erosi yang agak berat, (3) banjir yang merusak tanaman sering terjadi, (4) lapisan bawah tanah memiliki permeabilitas sangat lambat, (5) terlalu basah atau terus-menerus jenuh air setelah

  (7) kapasitas menahan air rendah, (8) tingkat kesuburan rendah dan tidak mudah diatasi, (9) salinitas atau kandungan natrium sedang, dan (10) hambatan iklim sedang. Tanah yang selalu basah, berpemeabililas rendah tetapi hampir datar, termasuk dalam kelas III. Jika diusahakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian, tanah ini memerlukan drainase dan pengelolaan tanah yang dapat memelihara atau memperbaiki struktur sehingga memudahkan pengolahan tanah. Untuk menghindari terjadinya pelumpuran dan pemadatan serta memperbaiki permeabilitas tanah, tambahan bahan organik dan disarankan untuk tidak mengolah tanah dalam keadaan basah.

  4. Kelas IV Tanah-tanah dalam kelas IV mempunyai kendala yang sangat berat. Jika digunakan untuk semusim, tanah ini memerlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi yang lebih sulit untuk diterapkan dan dipertahankan. Tanah di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau suaka alam. Tanah-tanah kelas IV mungkin hanya cocok untuk dua atau tiga macam tanaman pertanian atau tanaman yang memiliki produksi rendah. Beberapa kendala disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: (1) lereng curam, (2) sangat peka terhadap erosi, (3) telah mengalami masalalu yang parah, (4) tanah dangkal, (5) kapasitas menahan air rendah, (6) sering tergenang yang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman, (7) kelebihan air bebas dan bahaya genangan setelah didrainase, (8) salinitas atau kandungan natrium yang tinggi, dan (9) keadaan iklim yang cukup merugikan.

  5. Kelas V Tanah yang digolongkan dalam kelas V sedikit memiliki bahaya erosi, tetapi

  Tanah-tanah ini menyulitkan pengolahan tanah bagi tanaman semusim, biasanya. terletak pada topografi datar atau hampir datar, tetapi tergenang air, sering dilanda banjir, atau berbatu, atau iklim yang kurang mendukung, atau memiliki kombinasi penghambat tersebut. Ciri-cirinya adalah (1) terletak di dasar lembah yang sering kebanjiran sehingga sulit digunakan untuk penanaman tanaman semusim secara normal, (2) tanah- tanah yang hampir datar tetapi keadaan iklim tidak memungkinkan tanaman untuk berproduksi secara normal, (3) hampir datar tetapi berbatu-batu, dan (4) tanah- tanah rawa yang tidak memungkinkan didrainase untuk tanaman semusim, akan tetapi dapat ditanami rumput atau tanaman pohon dengan pengelolaan yang tepat.

  6. Kelas VI Tanah-tanah dalam kelas VI memiliki penghambat yang berat sehingga hanya dapat digunakan untuk padang rumput atau padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai penghambat atau bahaya kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: (1) lereng curam, (2) bahaya erosi berat, (3) telah tererosi berat, (4) berbatu, (5) zona perakaran dangkal, (6) kelebihan air atau kebanjiran, (7) kapasitas menahan air rendah, (8) salinitas atau kandungan Na tinggi, atau (9) iklim yang tidak mendukung. Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng yang agak curam jika akan digunakan untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari erosi.

  7. Kelas VII Tanah-tanah dalam kelas VII memiliki pembatas yang berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian dan penggunaannya sangat terbatas untuk padang rumput, hutan produksi dan suaka-alam. Jika tanah-tanah ini digunakan untuk padang rumput atau hutan produksi, maka harus dilakukan usaha pencegahan erosi yang berat. tergenang (6) kandungan garam dan Na tinggi, (7) iklim yang tidak mendunkung, atau (8) pembatas-pembatas lain yang menyebabkan tidak sesuai untuk pertanian.

  8. Kelas VIII Tanah dan landform dalam kelas VIII memiliki pembatas yang menghalangi penggunaan tanah ini untuk produksi tanaman secara komersial dan membatasi penggunaannya hanya untuk pariwisata dan suaka alam. Tanah-tanah ini sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami. Pembatas yang ada sulit atau tidak dapat diperbaiki akibat dari satu atau lebih sifat berikut: (1) erosi dan bahaya erosi sangat berat, (2) iklim sangat tidak mendukung, (3) tanah selalu basah, (4) sangat berbatu, (5) kapasitas menahan air sangat rendah, dan (6) salinitas dan kandungan Na tinggi. Contoh lahan kelas VIII adalah tanah-tanah yang telah rusak atau sangat terdegradasi (badland), tanah-tanah dengan singkapan batuan, pantai berpasir, tempat pembuangan sisa-sisa bahan tambang dan lahanlahan hampir gundul lainnya.

III. KONDISI SUMBERDAYA LAHAN

3.1 Kondisi Umum DAS Mikro

  Kegiatan fieldtrip praktikum Teknologi Konservasi dan Sumberdaya Lahan dilaksanakan di DAS Mikro Dusun Kekep, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kabupaten Batu, Malang. Pada lahan yang kami amati dibagi menjadi 3 SPL, SPL tersebut dibagi berdasarkan kelerengannya. Pada SPL 1 berada pada kelerengan 34,6 % dengan tanaman wortel. SPL 2 berada pada kelerengan 57,6 % dengan tanaman pisang dan ubi kayu. SPL 3 berada pada kelerengan 71,1 % dengan tanaman mahoni. Sebagian besar dari DAS mikro ini merupakan kawasan milik masyarakat. Oleh karena itu banyak tanaman semusim yang ditanam disekitar lahan yang diamati. Berikut merupakan gambar peta lokasi Dusun Kekep yang didapatkan dari google

  earth dan gambar kondisi aktual yang diambil saat pengamatan: Gambar 1. Peta Lokasi Dusun Gambar 2. Lokasi Project

  Kekep

3.2 Kemampuan Lahan

  Penggunaan lahan yang diamati dapat diketahui potensinya dengan melakukan klasifikasi kemampuan lahan berdasarkan faktor-faktor pembatas yang ditemukan. Pengklasifikasian kemampuan lahan didasarkan pada faktor pembatas terberatnya.

  Tabel 3. Kelas Kemampuan Lahan SP L Faktor Penghambat / Pembatas Data Kelas Sub Kelas

  II w Kerikil / bebatuan Tidak ada I s Bahaya banjir Tidak pernah I w

  I w Kelas

  I s Bahaya banjir Tidak pernah

  II w Kerikil / bebatuan Tidak ada

  I s Drainase Baik

  III e Kedalaman tanah > 73 cm I s Tekstur lapisan atas Lempung berdebu

  VIII e Tingkat erosi Sedang

  3 Lereng 71,1%

  SP L Faktor Penghambat / Pembatas Data Kelas Sub Kelas

  VII Subkelas e

  Kelas

  I s Drainase Baik

  1 Lereng 34,6%

  II e Kedalaman tanah > 120 cm I s Tekstur Lempung berdebu

  VII e Tingkat erosi Ringan

  2 Lereng 57,6%

  SP L Faktor Penghambat / Pembatas Data Kelas Sub Kelas

  VI Subkelas e

  II w Kelas

  Drainase Baik I w Kerikil / bebatuan Tidak ada I s Bahaya banjir Tidak pernah

  Lempung berdebu I s

  II e Kedalaman tanah > 120 cm I s Tekstur

  VI e Tingkat erosi Ringan

  VIII Pengklasifikasian kemampuan lahan didasarkan pada faktor pembatas terberatnya. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa pada titik pengamatan ditemukan 3 SPL. Faktor pembatas yang menempati kelas terberat adalah lereng (termasuk dalam sub kelas erosi, disimbolkan dengan e), yakni kelas VIII.

  Kemampuan lahan pada ketiga SPL dinyatakan dalam VIe, VIIe, dan VIIIes. Hal ini berarti bahwa lahan pada titik-titik tersebut tergolong dalam kelas di atas kelas

  IV dengan faktor pembatas berupa erosi. Faktor pembatas berupa erosi dapat diketahui melalui beberapa hal yakni kecuraman lereng, kepekaan erosi, ataupun kerusakan erosi yang telah terjadi Rayes (2007). Pada ketiga titik yang diamati, faktor pembatas erosi disebabkan oleh nilai kecuraman lereng.

  Lahan yang berada pada kemampuan lahan kelas VI, VII, dan VIII memiliki kendala yang sangat berat (dalam hal ini berupa erosi), sehingga pilihan penggunaan lahannya terbatas atau memerlukan pengelolaan yang sangat hati-hati, ataupun keduanya Rayes (2007). Lahan kelas di atas kelas V tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas di atas kelas V bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam.

3.3 Erosi

  Berdasarkan pengamatan di lapang diperoleh 3 SPL, dengan nilai EDP dan erosi sebagai berikut :

  Tabel 4. EDP dan Erosi tiap SPL

SPL EDP ( ton/ha/tahun) Erosi ( ton/ha/tahun)

  1 4,3 436,41 2 23,8 124,51 3 59 390,58 lahan terdapat pada SPL 1, SPL 2 dan SPL 3. Pada SPL 1 permasalahan utama yang dihadapi yaitu erosi dan penerapan budidaya secara monokulkur. Jenis erosi yang ditemukan tergolong dalam erosi percik. Erosi percik diakibatkan oleh pukulan air hujan yang mengenai tanah sehingga menghancurkan pemukaan tanah. Menurut Risnaini (2012), Erosi percik merupakan erosi yang disebabkan oleh adanya air hujan yang memberikan energi tertentu ketika jatuh (energi kinetis), kemudian melepaskan partikel-partikel tanah, oleh sebab itu erosi percikan terjadi pada awal hujan. Meskipun pada saat pengamatan tidak terjadi hujan. Namun, pada saat pengamatan didapatkan proses irigasi tanaman menggunakan sistem irigasi sprinkle yang memiliki meknisme kerja seperti hujan. Kondisi aktul pada SPL 1 didapatkan bahwa pada lokasi tersebut ditemukan vegetasi tanaman wortel kurang mampu menurunkan energi dari percikan air hujan. Akibatnya air hujan langsung menghantam permukaan tanah dan menghancurkan agregat tanah. Menurut Utomo (1994) dalam Wisnu (2010), Kemampuan jenis tanaman dalam menahan erosi tergantung pada bentuk kanopi, sistem perkaran dan kemampuan batang serta sistem percabangan menahan dan mengalirkan air ke bawah. Bentuk daun, ukuran daun, filotaksi dan sudut daun merupakan komponen dalam sisttem daun yang dapat menurunkan energi kinetik hujan.

  Berdasarkan pengamatan aktual pada pada SPL 2 didapatkan nilai A sebesar 124,51 ton/ha/th sedangkan Edp pada SPL 2 hanya 23,8 ton . dari dapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat erosi pada SPL 2 lebih tinggi dari erosi yang diperbolehkan per tahunnya. Permasalahan pada SPL 3 yaitu didapatkan kondisi aktual berupa adanya erosi selokan yang diakibatkan oleh saluran pembuangan air dari taman wisata Selekta. Erosi selokan/parit tergolong dalam erosi yang berat karena tanah yang tergerus oleh air mengakibatkan terbentuknaya alur besar seperti parit dan akan mengikit tanah bagian atas terkikis. Menurut Sucipto (2007), Apabila suatu lahan mengalami erosi berat, maka kedalaman tanahnya menjadi tipis perkembangan akar tanaman, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah, dan tingkat kesuburan tanah

IV. PERENCANAAN KONSERVASI

4.1 Rekomendasi Detail Konservasi

  Pengawetan atau konservasi merupakan kegiatan untuk menjaga keberadaan sesuatu hal secara terus-menerus maupun memperbaiki sesuatu yang telah mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas (Hadi, 2009). Berdasarkan pernyataan Arsyad (1983) dalam Roni (2015), usaha-usaha pengawetan (konservasi) bertujuan untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi, memperbaiki tanah yang rusak,dan menetapkan kelas kemampuan tanah dan tindakan-tindakan atau perlakuan agar tanah tersebut dapat dipergunakan untuk waktu yang tidak terbatas(berkelanjutan). Upaya konservasi harus sesuai dengan kondisi aktual lahan pengamatan. Pada project kali ini, terdapat tiga SPL yang diamati yaitu SPL 1 dengan vegetasi tanaman semusim (wortel), SPL 2 dengan vegetasi agroforestri (pisang dan ubi kayu), dan SPL 3 (mahoni). Kelas kemampuan lahan ketiga SPL yang diamati masing-masing adalah SPL 1 VIe, SPL 2 VIIe, dan SPL 3 VIIIe,s Kemampuan lahan yang berbeda mempengaruhi rekomendasi konservasi yang sesuai bagi lahan tersebut.

  Meninjau dari kondisi lahan aktual, konservasi yang dapat diterapkan pada ketiga SPL yaitu konservasi vegetasi dan mekanik. Konservasi vegetasi merupakan suatu cara pengelolaan lahan menggunakan tanaman atau tumbuhan atau sisa tumbuhan yang dapat mengurangi laju erosi dengan cara mengurangi daya rusak oleh air hujan yang jatuh dan jumlah daya rusak akibat aliran permukaan atau runoff (Hadi, 2009). Konservasi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan

  

cover crop, multiple cropping, rotation cropping, residue management sebagai mulsa,

  dan wana tani atau agroforestry. Tanaman penutup tanah ini selain untuk mencegah atau mengendalikan bahaya erosi juga dapat berfungsi memperbaiki struktur tanah, menambahkan bahan organik tanah, mencegah proses pencucian unsur hara dan mengurangi fluktuasi temperatur tanah. Sedangkan konservasi tanah mekanik menurut Wahyudi (2014), adalah sebuah metode teknik sipil yang melibatkan seluruh sedimen yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi serta meningkatkan kelas kemampuan tanah.

  SPL 1

  Pada SPL 1 direkomendasikan konservasi vegetatif karena diketahui nilai erosi lebih besar yaitu 436,41 ton/tahun dibandingkan nilai edpnya yaitu 4,3 ton/tahun. Pada SPL ini dilakukan pergantian tanaman yang semula merupakan tanaman wortel menjadi tanaman kacang tanah agar lahan lebih tertutupi dan tetap memberi nilai ekonomi bagi petani. Tanaman penutup tanah merupakan tanaman yang ditanam tersendiri maupun bersamaan dengan tanaman pokok. Tanaman penutup tanah berfungsi untuk mencegah erosi, menambah bahan organik, dan memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan yang jatuh (Marhendi, 2014). Salah satu tanaman penutup tanah adalah jenis kacang-kacangan. Selain memiliki nilai konservasi, kacang tanah juga memiliki nilai ekonomi untuk petani. Selanjutnya dapat ditanam rumput BD tahun 2 dengan indeks nilai tanaman 0,02 sebagai tanaman pagar yang dibuat mengikuti kontur dan memperbaiki teras yang sudah ada menjadi teras bangku. Efektivitas teras bangku sebagai pengendali erosi akan meningkat bila ditanami dengan tanaman penguat teras di bibir dan tampingan teras. Rumput dan legume merupakan tanaman yang baik untuk digunakan sebagai penguat teras. Teras bangku sesuai untuk kelerengan 10-40% (Balai Penelitian Litbang, 2014) sehingga cocok untuk SPL 1 yang memiliki kelerengan 34,6%

  SPL 2

  Pada SPL 2 direkomendasikan konservasi vegetatif karena diketahui nilai erosi lebih besar yaitu 124,51 ton/tahun dibandingkan nilai edpnya yaitu 23,8 ton/tahun. Pada SPL ini dilakukan pergantian tanaman yang semulanya tanaman ubi kayu dan pisang menjadi tanaman rumput gajah bisa menurunkan tingkat erosi tanah, karena tutupan lahan yang semakin rapat. Menurut Suharjo (1997), Penggunaan rumput gajah mampu menurunkan erosi dan pertumbuhan rumput akan yang lebih baik pada

  Pada SPL 3 direkomendasikan konservasi vegetatif karena diketahui nilai erosi lebih besar yaitu 390,58 ton/tahun dibandingkan nilai edpnya yaitu 59 ton/tahun. Pada SPL ini dilakukan penambahan tutupan lahan berupa strip rumput permanen disekitaran pohon mahoni untuk mengurangi besarnya erosi yang terjadi. Menurut Juarsah et al (2014), Strip rumput merupakan sistem penanaman rumput yang rapat pada garis kontur, berfungsi sebagai penahan aliran permukaan dan erosi sehingga dapat mendorong terbentuknya teras secara perlahan (teras kredit).

  

Tabel 5. Hasil Perhitungan Erosi Aktual, Erosi Potensial, dan Erosi yang Terkendali

Erosi Aktual (ton/ Erosi Potensial Erosi yang Dapat A (Erosi) ha/tahun) (ton/ha/tahun) Dikendalikan

  SPL 1 436,41 12 424,41 SPL 2 124,51 22,64 101,87

  374,96 SPL 3 390,58 15,62

4.2 Analisis Kelebihan Konservasi

  Berdasarkan hasil rekomendasi pada lahan pengamatan terdapat beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan pada lahan tersebut yakni pada SPL 1 direkomendasikan pergantian vegetasi yang semula tanaman wortel menjadi tanaman kacang tanah dan tanaman rumput BD tahun 2 sebagai tanaman pagarya dan memperbaiki teras yang sudah ada menjadi teras bangku. Pada SPL 2 juga diterapkan rekomendasi konservasi vegetatif dengan melakukan pergantia tanaman yang semula ubi kayu menjadi tanaman rumput gajah. Rekomendasi secara mekanis yang disarankan merupakan perbaikan teras menjadi teras bangku. Hal ini didasarkan salah satunya yakni pada kemiringan lahan. Pada kemiringan tanah yang tidak begitu curam dan bergelombang aliran permukaan akan berkurang dan kesempatan air terserap kedalam tanah akan lebih besar, jika dibandingkan kemiringan tanah yang curam dan tidak bergelombang maka air yang mengalir ke bagian bawah berlangsung sangat cepat, sehingga air tidak memiliki kesempatan untuk masuk kedalam tanah penggalian dan pengurugan tanah melintang lereng yang dilengkapi dengan saluran pembuangan air, yang berfungsi mengurangi kecepatan aliran permukaan dan memperbesar peresapan air, sehingga kehilangan tanah berkurang.

  Kelebihan korservasi menggunakan vetetatif pada SPL 1 dengan mengangati tanaman worel menjadi tanaman kacang tanah serta dipadukan dengan tanaman rumput BD tahun 2 dan SPL 2 dengan pergantian tanaman menjadi rumput gajah. Menanam tanaman kacang tanah akan memberi manfaat secara ekonomi pada petani karena tanaman ini memiliki harga jual yang tidak berselisih jauh dengan tanaman wortel serta dengan menanan tanaman jenis leguminose, tanah akan tertutup oleh tanaman sehingga erosi yang diakibatkan oleh air hujan akan dapat berkurang karena gaya kinetik dari air hujan telah berkurang akibat menghanntam permukaan tanaman terlebih dahulu sebelum menyentuh tanah sedangkan pada pinggiran lahan SPL 1 penanaman rumput BD tahun 2 memberikan manfaat dapat menahan erosi yang terjadi ketika limpasan permukaan terjadi. Tanah yang terbawa oleh limpasan permukaan akan tertahan pada daerah sekitar rumput BD. Pada rekomendasi SPL 2 pergantian tanaman menjadi rumput gajah akan memberikan manfaat menurunkan tingkat erosi dan manfaat berupa ketersediaan pakan bagi ternak masyarakat. Sehingga, perubahan vegetasi tidak akan merugikan petani dan konservasi dapat dijalankan dengan baik.

  Biaya pembuatan teras, baik teras bangku maupun teras gulud tergantung pada volume tanah yang dipindahkan, jenis tanah dan macam alat yang digunakan. Makin besar kemiringan lereng volume tanah yang dipindahkan akan makin banyak, dan pada tanah-tanah yang sangat keras dan lekat membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih banyak. Untuk 1 ha lahan pada kemiringan 10% rata-rata volume tanah yang dipindahkan sebesar 375 m3. Sedangkan data HOK diperoleh bahwa setiap pemindahan 1 m3 tanah membutuhkan tenaga sebanyak satu HOK. Sehingga untuk 1 ha diperlukan tenaga 325 HOK. Satu HOK sendiri merupakan 8 jam waktu kerja pada konservasi tanah secara mekanis maupun kimia, antara lain karena penerapannya relatif mudah, biaya yang dibutuhkan relatif murah, mampu menyediakan tambahan hara bagi tanaman, menghasilkan hijauan pakan ternak, kayu, buah maupun hasil tanaman lainnya. Hal tersebut melatarbelakangi pentingnya informasi mengenai teknologi konservasi tanah secara vegetative (Balai Penelitian Tanah, 2003).

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

  Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan dari ketiga SPL yang diamati memiliki tingkat erosi yang tinggi. hal tersebut dapat dilihat dari tingkat kelerengan yang ada dan jumlah perbandingan antara tingkat erosi dengan nilai Edp yang tersedia. Namun hal terutama yang menyebabkan terjadinya hal tersebut adalah tingkat kelerengan yang sangat curam dan didukung oleh jenis, jumlah vegetasi yang tersedia serta kondisi lahan yang kurang memadai. Tingkat kelerengan dari ketiga SPL berturut-turut adalah 34,6 ; 57,6%; 71,1% dan didapati dari ketiga SPL yang diamati memiliki tingkat Erosi yang melibihi nilai Edp sehingga diperlukan beberapa penanganan lanjut dalam mencegah hal tersebut seperti yang direkomendasikan.

5.2 Saran

  Semoga untuk pengamatan kedepannya dapat menggunakan beberapa teknologi terkini dengan maksud mempermudah dan dapat mengetahui jenis teknologi terkini.

DAFTAR PUSTAKA

  Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : Institut Pertanian Bogor Balai Penelitian Tanah. 2003. Teknik Konservasi Tanah Secara Vegetatif. Pusat

  Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu Tanah. Jakarta : Mediyatama Sarana Perkasa. Hadi, M. 2009. Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengelolaan Lingkungan.

  Universitas Diponegoro: Lab Ekologi & Biosistematik Jurusan Biologi. Harjady, Beny. 2018. Survey ISDL (Inventarisasi Sumberdaya Lahan). Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

  Surakarta. Hardjowigeno S,. dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta: UGM Press.

  Juarsah, Yustika, dan Abdurachman. 2014. Pengendalian Erosi dan Kahat Bahan

  Organik Tanah pada Lahan Kering Berlereng Mendukung Produksi Pangan Nasional. Jurnal Balittanah 255-273.

  Marhendi, Teguh. 2014. Teknologi Pengendalian Erosi Lahan. Jurnal Techno 15 (1): 50-64. Masaki, I., 1995, The Watershed Management Technology Development Project,

  Technical Manual Soil Conservation and Forest Road, Japan International Cooperation Agency. Matheus, R. 2016. Rancang Bangun Model Usahatani Konservasi Sebagai Upaya

  Peningkatan Produktivitas Lahan Kering. Partner, Tahun 2016, Nomer 1, Halaman 38-44. Morgan, R. P. C., dan Rickson, R. J. 2005. Slope Stabilization and Erosion Control: A Bioengineering Approach. London: Published by E & FN Spon. Nearing, M.A., Xie, Y., Liu, B., dan Ye, Y. 2017. Natural and Anthropogenic Rates of Soil Erosion. International Soil and Water Conservation Research 5(2): 77-

  84 Rayes, L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta.

  Risnaini, D.T & Mardiatno, D. 2012. Pengaruh Erosivitas Dan Topografi Terhadap Kehilangan Tanah Pada Erosi Alur Di Daerah Aliran Sungai Secang Desa

  Rossiter, D.G-, 2000. “Methodologi for soil Resource Inventories.” ITC Lecture Notes & Reference. Soil Science Division International Institute for Aerospace Survey & Earth Sciences (ITC). March 2000.

  Rustiadi, E., Barus, B., Prastowo, dan Iman, L. S. 2010. Kajian Daya Dukung Lingkungan Hidup Provinsi Aceh. Jakarta: Crestpent Press. Sibua, C., Yani K., Maria M., dan Wiesje K. 2013. Aliran Permukaan pada

  Teknik Konservasi Tanah Guludan di Kelurahan Rurukan Kecamatan Tomohon Timur. Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi. Siswanto.2006. evaluasi sumberdaya lahan. UPN Press.Surabaya Siswomartono, D., 1989, Ensiklopedi Konservasi Sumber Daya, Penerbit Erlangga,

  Jakarta, 1989 Sucipto. 2007. Analisis Erosi yang Terjadi di Lahan Karena Pengaruh Kepadatan Tanah. Jurnal Wahana Teknik Sipil, 12 (1): 51-60.