Pemilu Teknologi dan Teori Konspirasi (1)

Pemilu, Teknologi, dan Teori Konspirasi
Oleh: Harun Husein
Sunlight is the best disinfectant. Demikian kata pepatah. Maknanya kira-kira, keterbukaan adalah cara
paling baik untuk mencegah berbagai persoalan yang timbul dari ketertutupan, seperti manipulasi dan
kecurangan, hingga sekadar kecurigaan. Pemikiran dan semangat seperti itulah yang sejak awal
melandasi penerapan teknologi informasi dalam pemilu, wabilkhusus dalam penghitungan suara.
Penghitungan suara dengan fasilitas teknologi informasi diterapkan sejak Pemilu 2004. Saat itu, para ahli
IT yang mendesainnya, menyebutnya sebagai real count. KPU saat ini menamainya Sistem Penghitungan
Suara (Situng). Penghitungannya memakai metode sensus, karena suara dari seluruh TPS dihitung. Tak
sekadar mengambil sampel suara dari TPS tertentu, seperti hitung cepat (quick count).
Rekapitulasi elektronik (e-rekapitulasi) ini bukanlah hasil resmi penghitungan suara. Sebab, UndangUndang Pemilu sampai saat ini menyatakan yang resmi adalah penghitungan manual. Alhasil, real count
hanya menjadi second opinion.
Meski demikian, karena real count menghitung seluruh suara, dan sumber datanya adalah dokumen
hasil penghitungan di tingkat TPS, maka melihat real count tak ubahnya melihat penghitungan manual.
Real count pun membuka akses bagi siapa saja untuk mengetahui data dan progress penghitungan suara,
sehingga penghitungan suara tak lagi menjadi urusan eksklusif penyelenggara dan peserta pemilu.
Yang lebih menarik, teknologi memungkinkan data hasil penghitungan suara di-trace hingga tingkat TPS.
Sehingga, jika masih tak percaya pada hasil rekapitulasi yang tampil di real count, setiap orang bisa
mengecek dan menghitung sendiri. Masyarakat antara lain bisa mencocokkan hasil penghitungan mulai
dari TPS tempat dia memberikan suara, apakah sama dengan yang tampil di real count.
Dengan cara seperti ini, praktis, ruang gerak pelaku kecurangan menjadi sempit. Sebab, semua benarbenar terbuka. Setiap orang bisa melihat, setiap orang bisa menghitung, setiap orang bisa

membandingkan. Jika ada kecurangan, amat mudah mendeteksinya. Karena teknologi ini bak cermin.
Yang ada di cermin memang hanya bayangan. Tapi bayangan yang muncul mustahil berbeda dengan
orang yang bercermin. Kalau berbeda, pasti ada persoalan.
Jika hasil rekapitulasi manual di tingkat kabupaten tertentu jumlah suaranya satu juta, tapi data di
fasilitas real count hanya 750 ribu, maka mudah diduga ada penggelembungan suara yang dilakukan
pihak tertentu dalam penghitungan manual. Tentu bukan rahasia lagi, dalam proses penghitungan secara
manual itu, banyak pihak bermain. Setiap jenjang penghitungan tak ubahnya tikungan maut di mana
suara bisa diselundupkan, ditambah, dikurangi, dan ditransaksikan.
Da’i kondang almarhum Zainuddin MZ, pernah mengatakan bahwa ‘dengan ilmu, hidup menjadi mudah’.
Penerapan teknologi informasi untuk pemilu ini pun, benar-benar mempermudah. Karena setiap orang
dan setiap partai bisa memonitor data penghitungan suara pergerakannya. Sehingga, menurut hemat
saya, hanya orang-orang yang berniat curanglah yang tak menghendaki teknologi seperti ini diterapkan.

Tapi, sejak penerapannya pada 2004 silam, teknologi ini kurang mendapat apresiasi. Banyak peserta
pemilu, baik partai politik maupun calon presiden, yang melihatnya dengan sudut pandang teori
konspirasi. E-rekapitulasi ini justru menjadi sumber kecurigaan baru, sebagai alat untuk melakukan
kecurangan. Dicurigai ada kekuatan tertentu, the invisible hand, yang bekerja di balik layar untuk
mengontrol dan merekayasa angka-angka yang tampil di layar.
Kecurigaan itu bisa benar, bisa tidak. Tidak bijak pula menutup mata sepenuhnya, sebab memang ada
persoalan yang bikin spektis. Pada 2004 lalu, misalnya, ada satu persoalan yang cukup mengganggu.

Sebab, ketika Presiden Megawati Soekarnoputri saat itu mengunjungi Pusat Tabulasi Nasional di Hotel
Borobudur, suara Mbak Mega tiba-tiba naik signifikan. Untuk Pemilu 2009, soal IT KPU juga disebut-sebut
oleh mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, meski tekanannya lebih pada proyeknya.
Tapi, faktanya, hasil akhir real count penghitungan pada Pemilu 2004 silam, sangat mendekati
penghitungan manual. Pada Pilpres 2004, selisih real count dengan penghitungan manual hanya 0,26
persen. Itu pun karena masih ada 4 juta suara yang tidak masuk real count sampai selesainya
penghitungan manual. Seharusnya, problem inilah yang disempurnakan pada pemilu-pemilu berikutnya,
tapi pada Pemilu 2009 terjadi perubahan pengiriman data. Data yang dikirim bukan lagi sekadar rekap
angka, tapi dokumen penghitungan suara di TPS di-scan. Tapi, walaupun teknologi ini lebih mature,
namun banyak yang tidak terantisipasi. Banyak dokumen penghitungan suara tak terbaca, karena saat discan terlipat dan sebagainya.
Jadi, ketimbang terus-menerus mengunyah-ngunyah teori konspirasi yang tak jelas ujung pangkalnya,
saya ingin mengutip pendapat cendekiawan Kuntowijoyo. Dalam salah satu tulisannya, Kuntowijoyo
menegaskan untuk menyelesaikan berbagai persoalan,saatnya bergerak dari kekumuhan teori konspirasi,
menuju kebenderangan faktual analisis.
Dalam masalah teknologi informasi ini, karena semua data telah dibuka, amat mudah melakukan
verifikasi. Jika sebuah partai mencurigai hasil penghitungan di kabupaten tertentu yang tampil di real
count, mereka tinggal mengecek TPS by TPS di kabupaten itu. Kalau setelah direkap ulang ternyata
hasilnya tidak konsisten, misalnya hasil penghitungan untuk kabupaten tertentu berbeda dengan hasil
penghitungan seluruh TPS di kabupaten tersebut, berarti memang ada yang bermain dengan sistem
teknologi informasi.

Tapi, jika pun ada yang ingin main curang, sebenarnya tidak terlalu berguna mengontrol real count.
Sebab, dia bukan hasil penghitungan resmi. Percuma merekayasa angka real count, kalau hasil
penghitungan manual ternyata berbicara lain, kecuali untuk menggiring opini. Tapi, menggiring opini
lewat real count pun tak mudah, sebab ada instrument pengawasan lain yang bekerja, yaitu quick count
yang digelar sejumlah lembaga.
Lembaga-lembaga quick count, bisa jadi akan berani bermain saat memaparkan angka-angka survei
politik, tapi tidak akan berani dalam mempermainkan hasil quick count. Sebab, tak seperti survei politik
yang berbasis opini, quick count ini berbasis fakta (penghitungan di TPS). Sehingga, konyol kalau bermain
api di wilayah ini. Pertarungan di wilayah quick count bukanlah pertarungan untuk memainkan angkaangka, tapi lebih merupakan pertarungan gengsi dengan presisi tinggi.

Walhasil, kalaupun pada Pemilu 2014 nanti real count kembali diterapkan, yang diperlukan adalah
kehati-hatian. Sistemnya harus diaudit, keamanannya harus dilipatgandakan, dan pengiriman datanya
lebih dipercepat. Dengan cara inilah real count akan menjadi sesuatu yang produktif dan bermanfaat,
bukan menciptakan kegaduhan dan kemubaziran.
n

Pada 2004 lalu, misalnya, memang ada satu persoalan yang cukup mengganggu. Ketika Presiden
Megawati Soekarnoputri mengunjungi Pusat Tabulasi Nasional di Hotel Borobudur, suara Mbak Mega
tiba-tiba naik signifikan. Tapi, faktanya, hasil akhir real count hanya selisih 0,26 persen dengan
penghitungan manual. Itu pun karena masih ada data yang belum masuk di real count.


Untuk Pemilu 2009, soal IT KPU juga disebut-sebut oleh mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, meski
tekanannya lebih pada proyeknya. Itu semua bermula dari lambatnya pengiriman data. Pada 2009,
pengiriman datanya memang amburadul. Karena dokumen penghitungan tingkat TPS yang di-scan
banyak terlipat, sehingga tak terbaca. Real count pun distop di tengah jalan.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2