Media Massa Sebagai Pemicu Konflik dan P

Media Massa Sebagai Pemicu Konflik dan Pencipta Perdamaian
Emir Chairullah
Media massa, baik mainstream maupun alternatif, selalu menjadi pedang bermata dua di tengah
hubungan antar masyarakat maupun negara. Di satu sisi media massa bisa menjadi alat untuk
menciptakan perdamaian di tengah konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam hal ini, media
berfungsi untuk mencegah dan meredakan konflik yang bakal atau tengah berlangsung dengan
memberikan pencerahan mengenai akar permasalahan dan akibat yang ditimbulkan konflik melalui
pemberitaan akurat, obyektif, dan bertanggung jawab. Sehingga kelompok masyarakat atau bahkan
negara yang terlibat konflik lebih mudah untuk diajak berekonsialiasi dalam menciptakan
perdamaian.
Namun di sisi lain, kebanyakan wartawan maupun institusi media secara sadar maupun tidak sadar
menjadikan media sebagai alat pemicu konflik dan bahkan penebar kebencian. Media seperti ini
cenderung melakukan propaganda untuk terus meningkatkan ketegangan dan memprovokasi
kelompok yang sedang berkonflik. Melalui pemberitaan yang sumir dan cenderung bias serta tidak
toleran, informasi yang diberitakan media justru menyulut ketegangan kecil menjadi besar dan tidak
jarang mengarah ke peperangan yang memakan ribuan nyawa manusia.
Pada bagian ini, penulis akan membahas bagaimana seharusnya media massa berperan dalam
meredakan konflik berskala nasional maupun internasional. Penulis mencoba mengungkap
persoalan yang selama ini terjadi di dalam industri media ketika memberitakan konflik yang menjurus
ke arah kekerasan bahkan perang. Tak lupa tulisan ini bakal menuangkan pengalaman pribadi penulis
saat meliput konflik antar etnis yang melibatkan masyarakat suku Rohingya dan Rakhine di Myanmar

yang sempat disalahpersepsikan oleh masyarakat internasional termasuk Indonesia.
Jurnalisme Perang dan Damai
Kajian pemberitaan media massa sebagai alat untuk pencetus konflik sekaligus penggagas
perdamaian di dalam kelompok masyarakat baik berskala nasional maupun antar negara bukan hal
yang baru dalam studi jurnalistik maupun hubungan internasional. Johan Galtung menawarkan
perspektif jurnalisme damai (peace journalism) untuk memberitakan sebuah konflik atau
peperangan. Berbeda dengan jurnalisme perang (war journalism) yang lebih mempromosikan konflik
atau peperangan sebagai produk untuk dijual, jurnalisme damai menganggap sebuah konflik atau
perang merupakan sebuah persoalan yang harus diatasi secepat mungkin. 1
Dilihat dari obyeknya, wartawan atau media yang menggunakan perspektif jurnalisme perang
mengutamakan konflik dengan kekerasan, korban yang tewas, dan kerugian material sebagai jualan
utamanya. Sedangkan jurnalisme damai justru mengedepankan aspek korban atau human interest
sebagai informasi yang harus diberitakan. Jurnalisme damai mengekspos masalah penderitaan
korban yang muncul akibat konflik serta kerusakan dan kerugian psikologis korban.
Menurut Galtung, model pemberitaan jurnalisme perang tidak ubahnya dengan jurnalisme olahraga
(sports journalism) dimana dalam suatu pertandingan yang melibatkan dua atau lebih kelompok pasti
ada yang menang atau kalah (win-lose). Akibatnya berdasarkan perpektif ini, media kurang berminat
menggali asal muasal konflik dan seringkali abai dalam mencari alternatif penyelesaian konflik. Bagi
1 Johan Galtung, 'High road, low road: Charting the course for peace journalism', Track Two, 7:4, 1998, Lihat
juga dalam Aziz Douai ‘Media ethics in international conflict’, Journal of International Communication, 15:2,

2009, hal 81.

Galtung, untuk memberitakan suatu konflik atau perang, seharusnya wartawan atau institusi media
lebih menerapkan gaya penulisan jurnalisme (health journalism) kesehatan yang lebih
menginformasikan bagaimana pasien berperang mengatasi penyakit dan mencari tahu penyebab dan
obatnya.2 Dengan mengadopsi gaya penulisan ini, media mengutamakan bagaimana mengubah
perang menjadi perdamaian atau mencari alternatif penyelesaian perang tanpa menggunakan jalur
kekerasan.
Untuk memudahkan bagaimana sebaiknya pemberitaan suatu konflik dilakukan, Ross Howard
menggunakan istilah jurnalisme sensitif konflik (conflict-sensitive journalism) sebagai bahan referensi
para jurnalis maupun industri media. 3 Bagi Howard, media bisa menjadi 'alat' resolusi konflik ketika
informasi yang disajikan sangat handal, menghormati hak asasi manusia, dan mewakili berbagai
sudut pandang. Media dalam hal ini diharapkan menjunjung tinggi akuntabilitas dan mengekspos
penyimpangan yang terjadi. Sehingga memungkinkan masyarakat untuk membuat pilihan karena
memperoleh informasi yang berkualitas dan terbuka, seperti layaknya yang terjadi di kebanyakan
rezim demokratis.
Dan untuk memilih bagaimana fakta sebuah pemberitaan disampaikan, Entman menawarkan apa
yang disebut dengan analisis framing (bingkai) dimana media atau wartawan menyeleksi dan
menonjolkan aspek tertentu dari suatu realitas. 4 Framing memberikan tekanan pada bagaimana
suatu peristiwa dimaknai terutama yang berkaitan dengan mana yang sebaiknya diliput dan mana

yang tidak perlu dicari. Hal ini kemudian menyangkut bagaimana fakta yang telah diperoleh
disampaikan ke publik.
Eksploitasi Konflik
Jargon agar masyarakat atau individu mana pun sebaiknya bersikap toleran memang begitu sering
kita dengarkan bahkan diucapkan terutama mendengar konflik di sekeliling kita. Begitu banyak
konflik dan peperangan baik yang diakibatkan ideologi, etnis, dan agama terjadi di tingkat nasional
maupun belahan dunia. Sebagai orang yang berada di luar konflik tentu kita bakal mempertanyakan
mengapa mereka tidak segera mengakhiri konflik dan duduk bersama mencari penyelesaian dengan
jalan damai. Begitu mudah kita menasehati pihak yang bertikai karena dirinya berada di luar
pertikaian itu. Namun hal tersebut bakal berbeda ceritanya apabila konflik tersebut menimpa
pengamat yang ikut menasehati. Rasa toleran dan menjaga jarak dengan fakta dengan mudah lenyap
untuk kemudian berganti dengan asumsi yang sederhana yaitu ‘kami benar, mereka salah’.
Persoalan yang sama juga terjadi dalam dunia jurnalistik dan media massa. Walaupun sudah banyak
artikel akademik maupun opini di media massa yang mengajak praktisi dalam industri media
mengedepankan jurnalisme damai dalam memberitakan konflik, kenyataannya hal tersebut sulit atau
minimal begitu lambat direalisasikan. Kalaupun gagasan jurnalisme damai diimplementasikan,
biasanya media massa (cetak, televisi, dan online) melakukannya begitu konflik atau peperangan
sudah membesar dan membawa korban jiwa yang banyak. Justru yang sering terjadi wartawan dan
industri media massa lah yang membuat eskalasi konflik di level masyarakat, nasional, maupun
internasional meningkat.


2 Seow Ting Lee, 'Peace Journalism: Principles and Structural Limitations in the News Coverage of Three
Conflicts', Mass Communication and Society, 13:4, 2010, hal. 362.
3 Ross Howard, An Operational Framework for Media and Peacebuilding, Vancouver: IMPACS, 2002. Lihat juga
Howard, Conflict Sensitive Journalism: A handbook, Vancouver, IMPACS, 2003.
4 Robert Entman, ‘Framing: Toward clarification of a fractured paradigm’, Journal of Communication, 43(4),
1993, hal. 52.

Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan media justru menyebabkan eskalasi konflik meningkat
menju ke kekerasan bahkan perang. Pertama, jurnalis atau media tidak memahami sejarah maupun
konteks dari peristiwa. Media hanya menulis ataupun melaporkan suatu yang dilihatnya hanya dalam
sesaat atau bahkan seringkali hanya didengarnya dari salah satu kubu yang berkonflik. Padahal
informasi yang diterima jurnalis dan media tersebut sangat bias kepentingan. Persoalan kedua yang
membuat media justru dianggap sebagai pemicu konflik yaitu apabila institusi media maupun
pemiliknya lah justru sebagai pihak berkepentingan di konflik tersebut. Bukannya meredam konflik
apalagi menciptakan perdamaian, media berusaha terus memanas-manasi pihak yang berkonflik agar
kekerasan bisa terus berlangsung.
Mengenai faktor wartawan, biasanya tantangan yang paling besar dihadapi reporter dalam meliput
konflik yaitu mempertahankan independensi di tengah identitas penulis, baik politik, kultural, dan
agama yang mereka miliki. Seringkali wartawan tidak mampu menjaga jarak saat meliput konflik yang

melibatkan identitas mereka, mengingat mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari pihak-pihak
yang bertikai. Kondisi ini terjadi saat konflik berdarah di Ambon-Maluku pada akhir 1990-an di mana
banyak jurnalis di sana yang cenderung terseret dalam pertikaian. Saat itu, jurnalis yang beragama
Kristen akan menggunakan sumber pemberitaan dari kelompok Kristen dan sebaliknya jurnalis
beragama Islam menyuarakan kepentingan kelompok Islam. 5 Kesan yang muncul di mata masyarakat
yaitu para jurnalis bertugas untuk membela dan menyuarakan kelompoknya, ketimbang menegakkan
kode etik jurnalistik.
Belum lagi, secara emosi para wartawan berada di bawah tekanan para pembaca dan penonton yang
berasal dari kelompok yang memiliki identitas sama. Seringkali setiap kelompok yang bertikai bakal
menuduh wartawan melakukan ‘pengkhianatan’ apabila melakukan reportase yang berimbang dan
mengungkap fakta sesungguhnya, terutama apabila beritanya dianggap merugikan kelompok
tersebut. Kebanyakan kelompok yang bertikai akan sangat marah apabila keyakinan dan
prasangkanya dipersoalkan. Seperti layaknya tim olahraga, biasanya kelompok ini ingin media massa
mendukung keyakinan dan prasangka itu demi mencapai kemenangan.
Padahal tugas utama jurnalis, walaupun dalam situasi sulit dan berbahaya, yaitu selalu
mengedepankan fakta tanpa menunjukkan keberpihakan. Ketika meliput situasi konflik dan perang,
jurnalis tidak cukup hanya menyaksikan dan mendengar apa yang sedang terjadi. Mereka harus
memahami konteks sejarah dan kuktur wilayah konflik yang sedang diliput. Jika salah membaca
situasi, reporter di lapangan bakal mudah terperangkap oleh propaganda masing-masing kubu yang
berkonflik. Sementara seringkali perang semakin sulit dipadamkan justru setelah pihak yang

berkonflik murka ketika membaca pernyataan lawannya di media massa.
Problem lain yang sering hinggap dalam diri seorang wartawan yaitu memverifikasi kebenaran
informasi. Seringkali sumber pemberitaan yang diperoleh merupakan informasi sekunder dan bukan
hasil pengamatan langsung. Bahkan pemberitaan seorang jurnalis dari informasi yang diperoleh
rekan kerjanya sesama jurnalis dari institusi. Dan yang sering terjadi -baik pemberitaan jenis
ekonomi, politik, kriminal hingga konflik-, wartawan kemudian menulis berita tanpa pernah datang
dan mengecek langsung peristiwa apa yang hendak diberitakannya. Wartawan adalah saksi, mata
dan telinga publik. Padahal seorang jurnalis seharusnya harus selalu kritis dan bahkan meragukan
informasi, rumor, isu, pernyataan sepihak, pernyataan dalam konferensi pers, bahkan data resmi
yang diperolehnya.
Secara ringkas Sirait mengungkapkan sejumlah kelemahan wartawan ketika meliput konflik:
5 Thomas Hanitzsch, ‘Journalists as peacekeeping force? Peace journalism and mass communication theory’,
Journalism Studies, 5:4, 2004, hal. 483.













Kurang paham sejarah dan karakteristik konflik
Kurangnya kemampuan menganalisa permasalahan di lapangan, sehingga tidak secara
mendalam memahami kasusnya
Tidak menyiapkan daftar narasumber saat hendak ke lapangan yang berakibat agenda isu
yang sudah disusun menjadi berantakan
Lebih mengutamakan sisi konflik atau perang dan mengabaikan sisi kemanusiaannya
Tidak memikirkan dampak pemberitaan bagi pembaca
Narasumber sering tidak jelas karena anonim
Cenderung partisan atau memihak, bahkan seringkali memberitakan informasi fiktif
Tidak menawarkan solusi konflik
Tidak ada proses verifikasi informasi yang didapat
Menggunakan judul yang bombastis yang cenderung provokatif. 6

Khusus untuk konteks Indonesia, persoalan yang biasanya menghinggapi wartawan dalam meliput
dalam peristiwa konflik yakni rendahnya tingkat pendidikan dan profesionalisme yang dimiliki.

Seringkali wartawan masih lemah dalam pemahaman konseptual dan keterampilan profesi
melakukan peliputan yang obyektif dan independen. Kondisi ini umumnya terjadi akibat euphoria di
kalangan praktisi media setelah selama 32 tahun media dikekang oleh rezim Orde Baru. Berbeda
dengan kondisi saat ini di mana media begitu bebas memberikan fenomena yang terjadi di
masyarakat, di masa rezim Soeharto isi berita yang dikeluarkan media sangat terkontrol dan biasanya
hanya bersumber dari ‘pintu’.
Antara Kebutuhan Ekonomi dan Ideologi
Mengenai institusi media yang menjadi sumber pemicu konflik, penulis melihat ada dua
kemungkinan media justru sebagai sumber pemicu konflik dan kekerasan. Pertama, media
mengekspos berita konflik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi politik pemilik maupun elite dalam
media tersebut. Dalam sistem kapitalisme, media tidak ubahnya sebagai sebuah korporasi yang
dikontrol pemilik modal dan bergantung kepada iklan sebagai sumber utama pembiayaan. Karena itu,
media bisa bertahan di kancah pertarungan apabila rantai produksi dan sirkulasi modalnya tidak
terganggu. Dengan demikian, media maupun pemiliknya bisa meraih keuntungan ekonomi karena
beritanya bakal terus dibaca maupun disaksikan pemirsa. Hal ini tentu sah-sah saja untuk dikerjakan
karena memang tidak ada klausul yang menyebutkan sebuah media harus beroperasi dengan tujuan
meminimalisir konflik.
Faktor lain yang membuat media justru menjadi pemicu dalam konflik yakni ketika media justru
berfungsi sebagai alat propaganda dari pemilik atau kelompok yang bertikai. Di zaman pasca Orde
Baru publik melihat institusi media berbasis sektarian bermunculan, terutama media berbasis agama

Islam. Sebut saja Sabili, voa-Islam, eramuslim yang menyuarakan kepentingan umat Islam Indonesia
merupakan mayoritas di negara ini. Persoalannya, media-media ini seringkali justru menebar
kebencian yang berujung konflik kekerasan dengan alasan adanya ancaman terhadap umat Islam di
Indonesia dan dunia dalam era globalisasi saat ini. Parahnya , media berbasis agama ini sering
mengabaikan etika jurnalistik dalam membuat pemberitaan seperti tidak ada sumber berita yang
jelas dan berita yang ditampilkan merupakan opini dari pengelola media. 7

6 Haposan Sirait, Jurnalisme Sadar Konflik: Meliput Konflik dengan Perspektif Damai, Jakarta: Aliansi Jurnalis
Independen, 2007, hal 216-217.
7 Usman Kansong, ‘Media dan Keberagaman: Menggagas Jurnalisme Keberagaman’ dalam Evi Rahmawati dan
Tantowi Anwari (eds), Jurnalisme Keberagaman: Sebuah Panduan Liputan, Jakarta: Hivos-Sejuk Press: 2013.

Ketika memberitakan sebuah konflik yang melibatkan antar umat beragama di Indonesia, misalnya,
seringkali media berbasis agama tersebut mengabaikan aktualitas maupun faktualitas pemberitaan.
Kebanyakan artikel menggunakan sumber anonim untuk menceritakan pertikaian yang bisa
‘membakar’ emosi pembaca. Pemberitaan media ini cenderung mendorong berkembangnya rasa
curiga antar kelompok yang ada dalam masyarakat. Dan bahayanya, media dengan pemberitaan
provokatif semacam ini tumbuh subur di jagat maya dan menjangkau hamper seluruh kalangan.
Tanpa disadari pembaca, baik awam maupun terdidik, menjadi terpengaruh bahkan terindoktrinasi
akibat pemberitaan yang mereka buat.8

Bahkan masa kampanye Pemilu Presiden 2014 ini, sejumlah media Islam ini menjadi rujukan utama
bagi salah satu kubu calon presiden untuk menyerang ‘keimanan’ calon presiden lainnya. Dengan
sumber informasi yang mengandalkan ‘katanya’, media-media tersebut memberitakan bahwa Capres
Joko Widodo merupakan tokoh non-Muslim dan keturunan etnis Tiongkok. Suatu isu yang sangat
sensitif di negara yang baru lepas dari masa otoritarianisme ini. Walaupun jauh dari kebenaran dan
bisa menimbulkan konflik horisontal, isu dan berita tersebut kenyataannya diyakini banyak
masyarakat di Indonesia untuk menjadi referensi mereka ketika memilih dalam Pilpres.
Pemberitaan Dengan dan Tanpa Fakta Lapangan: Sebuah Perbandingan
Seperti yang disebutkan di bagian pengantar, pada bagian ini penulis ingin mencoba membandingkan
berita yang didasarkan pada fakta lapangan ditambah riset pustaka dan pemberitaan yang hanya
bersumber dari opini. Adapun kasus yang dijadikan perbandingan yaitu pemberitaan seputar konflik
antara masyarakat etnis Rohingya dan Rakhine di Myanmar yang mempunyai implikasi kemanusiaan
karena menyebabkan banyaknya pengungsi keluar dari negara tersebut. Pemberitaan tersebut
dimuat di voa-Islam.com dan Media Indonesia pada medio Agustus 2012 di mana saat itu terjadi
kerusuhan berdarah di Provinsi Sitwe, Myanmar yang menyebabkan setidaknya 70 orang meninggal,
lebih dari 3.000 bangunan rusak, dan lebih dari 60.000 orang harus mengungsi.
Tulisan pertama berjudul ‘Licik! Propaganda & Penyesatan Opini Diplomat Tentang Muslim Rohingya’
diberitakan di www.voa-Islam.com pada 7 Agustus 2012. Berikut petikannya:
JAKARTA (VoA-Islam)- Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah nasib
Muslim Rohingya di Myanmar dan di sejumlah tempat pengungsian. Setelah

dibunuh, diperkosa, rumah-rumah dan masjid mereka dibakar, para ulama
ditangkap dan dihabisi, tidak diakui kewarganegaraannya, kini etnis minoritas ini
kembali diserang dengan stigma buruk disertai pemutarbalikkan fakta, mulai dari
pengaburan sejarah, memanipulasi angka korban, menyatakan tidak ada genocide
di Myanmar hingga menyebut konflik komunal, bukan konflik agama.
Berikut ini adalah stigma yang sangat menyakitkan dari para diplomat Indonesia,
tokoh lintas agama, dan tokoh liberal, terkait tragedi kemanusiaan yang menimpa
muslim Rohingya di Myanmar.
Pertama, tuduhan atas Muslim Rohingya yang dianggap sebagai penduduk illegal
dan disinyalir berhubungan dengan jaringan alqaeda. Dan kemungkinan etnis
rohingya hendak mendirikan Negara berdasarkan syariat Islam. Kasus ini hampir
serupa dengan Gerakan Aceh Merdeka di Indonesia.
8 Ade Armando, ‘Islam Diancam! Konstruksi Wacana Keberagaman Melalui Media Islam Online’ dalam
Rahmawati dan Anwari (eds), Jurnalisme Keberagaman: Sebuah Panduan Liputan, Jakarta: Hivos-Sejuk Press:
2013, hal 17-45.

Ada beberapa tulisan yang memojokkan Muslim Rohingya, seperti di lansir dari
situs “Rohingya Terorists”. Diberitakan seperti ini: ada lebih dari 100 ras yang
hidup di Myanmar. Tapi Rohingya bukan salah satu dari mereka. Selain itu, tidak
pernah ada kata seperti Rohingya dalam sejarah Myanmar. Jadi kelompok mana
rohingya itu? Mereka hanya bagian Bengali. Mereka dari Bangladesh. Jika
seseorang meragukan itu, hal itu bisa dilakukan test DNA.
Kedua, ada upaya untuk mengaburkan fakta tentang kebenaran angka korban yang
sesungguhnya terjadi. Perhatikan, pemutar balikkan fakta itu: Jumlah korban
pembantaian Islam Rohingya tampaknya dilebih-lebihkan. Mereka mengutip berita
yang tidak jelas dengan mengatakan, kerusuhan yang pecah pada Juni lalu di
Rakhine, menyebabkan sekira 78 orang tewas.hanya 78 orang yang tewas. Padahal
ada sekitar 4.000 warga Muslim Rohingya dilaporkan tewas dibantai. Media yang
memberitakan apa adanya, kemudian dianggap provokator.
Ketiga, ada upaya mengaburkan sejarah. Misalnya terdapat artikel mengenai
sejarah keberadaan muslim Rohingya seperti pada tulisan ini: “…Bengali menjadi
etnis minoritas yang tinggal di Myanmar, memiliki latar belakang sejarah yang
panjang. Bengali adalah Rohingya yang tinggal di Myanmar beribu tahun yang lalu
dan mereka adalah imigran sementara dari Chittagong.”
Keempat, ada upaya untuk meredam umat Islam untuk tidak melakukan
pembalasan terhadap pemeluk Budha di Tanah Air. Juga, agar umat Islam tidak
berpandangan, bahwa konflik ini bernuasakan agama. Maka tak heran bila para
diplomat, termasuk presiden, menteri luar negeri, begitu juga dengan tokoh lintas
agama dan liberal, mati-matian mengalihkan isu, bahwa konflik Rohingya hanya
sebatas konflik lokal, komunal, bukan konflik agama.
Aneh, giliran non Islam yang dibantai, mereka menyebut sebagai bentuk
pelanggaran berat dan bernuansakan SARA. Tapi giliran umat Islam yang dibantai,
mereka menebar propaganda dan menggiring opini sesat, sekaligus meredam agar
tidak ada pembalasan dari kaum muslimin. Sungguh licik! 9
Tanpa melakukan verifikasi dan konfirmasi, pemberitaan atau opini tersebut langsung memulai
dengan kata penghakiman yaitu ‘Licik’ untuk menuding diplomat Indonesia, tokoh lintas agama, dan
tokoh liberal berkaitan dengan Konflik Rohingya-Rakhine. Namun yang persoalan, sang penulis berita
tidak menginformasikan siapa diplomat Indonesia, tokoh lintas agama, dan liberal yang dimaksud.
Tulisan itu juga tidak memverifikasi apakah tuduhan yang dialamatkan kepada pihak yang dituding
tersebut benar adanya. Dan yang terparah tulisan tersebut ‘mengajak’ pembaca untuk memusuhi
kelompok agama lain tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di lokasi konflik.
Pemberitaan-pemberitaan model seperti itulah yang kemudian menyebabkan masyarakat muslim di
Indonesia sempat terprovokasi. Sejumlah kalangan kemudian mengecam tindakan pemerintah
Myamnar yang dinilai sengaja membiarkan aksi pembantaian yang dilakukan masyarakat suku
Rakhine terhadap masyarakat Rohingya. Bahkan beberapa dari tokoh muslim di Indonesia
menyatakan terjadi pembersihan muslim di wilayah tersebut yang sudah pasti membakar semanagat
‘ke-Islam-an’ masyarakat yang ada di Indonesia untuk membela saudaranya yang dizalimi. Apalagi

9 Lihat http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2012/08/07/20164/licikpropaganda-penyesatan-opinidiplomat-tentang-muslim-rohingya/

saat itu, masyarakat kita masih menstigmakan negara tersebut sebagai negara otoriter karena telah
‘memasung’ pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi selama puluhan tahun.
Sekarang bandingkan dengan tulisan kedua berjudul ‘Myanmar Izinkan Jusuf Kalla Ikut Damaikan
Konflik Rohingya’ yang dimuat di Harian Media Indonesia pada 11 Agustus 2012.
MYANMAR—MICOM: Upaya Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf
Kalla meredakan konflik antara masyarakat etis Rohingya dan Arakan di Provinsi Rakhine,
Myanmar, mendekati kenyataan. Presiden Myanmar U Thein Sein mengizinkan mantan
Wakil Presiden RI untuk melihat langsung kondisi yang terjadi di wilayah tersebut.
Pemerintah Myanmar juga mengapresiasi upaya Kalla serta rombongan PMI dan
Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam meredakan konflik di negaranya.
Demikian kesimpulan pertemuan antara Presiden Myanmar beserta jajarannya dengan
Jusuf Kalla di istana kepresidenan Myanmar seperti yang dilaporkan wartawan Media
Indonesia Emir Chairullah dari Nay Pyi Taw, Jumat (10/8). Ikut dalam pertemuan tersebut
mantan juru runding Perundingan Helsinski Hamid Awaludin, Dubes RI untuk Myanmar S
Sumarsono, dan Asisten Sekjen OKI Atta Abdul Manna.
Dalam pertemuan itu terungkap, pemerintah Myanmar juga menyesalkan adanya
pemberitaan yang mengatakan telah terjadi konflik etnis yang berujung pada konflik
agama. Padahal konflik hanya terjadi akibat tindakan kriminal yang terjadi di dalam
masyarakat yang berakibat pada konflik komunal. "Karena itu saya mengingatkan kepada
pemerintah Myanmar untuk segera menyelesaikan konflik komunal sebelum mengarah
ke konflik agama," ungkap Kalla.
Kalla mengakui, simpang siur pemberitaan konflik ini terjadi akibat anggapan pemerintah
Myanmar belum terbuka. Sehingga masyarakat internasional menjadi salah tafsir atas
apa yang terjadi di provinsi yang berbatasan dengan Bangladesh tersebut. "Karena itu,
Presiden (U Thein Sein) meminta kami untuk melihat langsung apa yang terjadi di sana,"
ujarnya.
Menteri Sosial Kesejahteraan dan Penempatan Kembali Myanmar U Aung Kyi
menyatakan, pemerintah Myanmar terus berusaha agar konflik ini segera diakhiri.
Pihaknya sudah bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga
non pemerintah lainnya dalam meredakan konflik itu. "Namun media massa
memberitakan seakan-akan kami tidak bekerja sama sekali," ujarnya.
Ia menyebutkan, saat ini setidaknya terdapat 60 ribu pengungsi atau internal displaced
person akibat konflik tersebut. "Dan kami ingin mereka kembali lagi ke rumah mereka
begitu konflik selesai," katanya.
Tulisan tersebut dibuat penulis setelah bertemu langsung dengan pihak yang menangani konflik etnis
yang terjadi. Tanpa berusaha membantah, pejabat tinggi di negara itu justru kebingungan mengapa
pemberitaan di dunia internasional tentang konflik tersebut begitu memojokkan pemerintah
Myanmar mengatakan mereka tidak terbuka dengan dunia luar. Padahal pemerintah Myanmar sudah
mengundang sejumlah organisasi internasional seperti United Nations High Commissioner for
Refugees (UNHCR) dan Palang Merah Turki untuk membantu mengatasi dampak konflik etnis
tersebut. Bahkan ketika penulis bertemu langsung dengan para pengungsi dan petugas UNHCR di
lapangan, mereka cukup bingung dengan pemberitaan dahsyat mengenai konflik tersebut. Salah satu

sukarelawan UNHCR asal Irlandia yang sempat berbicang dengan penulis sempat heran dengan
mengatakan, “Kok bisa media-media mengatakan terjadi pembersihan etnis dan penduduk muslim di
sini, padahal mereka tidak ada di lokasi dan melihat kejadiannya.”
Tak lama setelah berita di Media Indonesia dan sejumlah media lain yang ikut dalam peliputan
tersebut terpublikasi, tensi kemarahan masyarakat Muslim di Indonesia pun mulai berkurang.
Masyarakat pun kemudian sadar bahwa mereka memang tidak mengetahui konflik yang
sesungguhnya terjadi di sana. Sebab hampir semua kalangan hanya membaca pemberitaan yang
bersumber dari ‘katanya’ dan bukan hasil reportase wartawan ke lokasi konflik secara langsung yang
menyebabkan informasi yang disampaikan cenderung sumir dan bias kepentingan. Masyarakat pun
akhirnya lebih menyuarakan bagaimana konflik di wilayah itu segera diakhiri agar korban tidak
semakin banyak dan pengungsi bisa segera dipulangkan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas terungkap media massa dan wartawan di dalamnya berperan besar dalam
menentukan arah konflik antar kelompok berskala nasional maupun internasional apakah justru
memperuncing atau mengakhirinya. Ketika konflik telah terjadi, tidak ada larangan apa pun bagi
wartawan dan media untuk membatasi jenis berita yang akan diungkapkan selama masih bersandar
pada fakta. Bahkan tak jarang, berita yang muncul merupakan sesuatu yang kontroversial karena
fakta yang disodorkan justru menimbulkan pertanyaan karena belum terverifikasi. Seringkali framing
pemberitaan dilakukan media hanya demi memuaskan keinginan pembaca yang berasal dari
kelompok yang sama atau meningkatkan tiras penjualan. Akibatnya berita yang muncul justru
meningkatkan eskalasi konflik yang ada di masyarakat dan menimbulkan banyak korban karena
menonjolkan unsur dramatisasi.
Namun demikian, kebebasan berekspresi di media tidak hanya menyangkut kepentingan ideologis
dan pragmatis dari praktisi media massa saja, melainkan juga fungsi sosial dari media massa yaitu
menjadi jembatan pengetahuan antara masyarakat dengan realitas ekonomi politik yang terjadi di
tengah mereka. Sehingga pembaca dan pemirsa bisa mengetahui utuh realitas tersebut tanpa
dipengaruhi unsur kekuasaan dan modal. Walaupun sulit untuk dipraktikkan, pemberitaan dengan
unsur kemanusiaan lah yang sangat dibutuhkan masyarakat yang tengah berkonflik. Dan di sini lah
pentingnya peran media dan wartawan untuk secara obyektif memilih dan menulis kebenaran dalam
suatu pemberitaan tentang konflik.











Referensi
Douai, Aziz, ‘Media ethics in international conflict’, Journal of International Communication,
15:2, 2009.
Entman, Robert, ‘Framing: Toward clarification of a fractured paradigm’, Journal of
Communication, 43(4), 1993.
Galtung, Johan, 'High road, low road: Charting the course for peace journalism', Track Two,
7:4, 1998.
Hanitzsch, Thomas, ‘Journalists as peacekeeping force? Peace journalism and mass
communication theory’, Journalism Studies, 5:4, 2004.
Howard, Ross, An Operational Framework for Media and Peacebuilding, Vancouver: IMPACS,
2002.
Howard, Ross, Conflict Sensitive Journalism: A handbook, Vancouver, IMPACS, 2003.
Lee, Seow Ting, 'Peace Journalism: Principles and Structural Limitations in the News
Coverage of Three Conflicts', Mass Communication and Society, 13:4, 2010.
Rahmawati, Evi dan Tantowi Anwari (eds), Jurnalisme Keberagaman: Sebuah Panduan
Liputan, Jakarta: Hivos-Sejuk Press, 2013.
Sirait, Haposan, Jurnalisme Sadar Konflik: Meliput Konflik dengan Perspektif Damai, Jakarta:
Aliansi Jurnalis Independen, 2007.