Analisis Teori Ekologi Manusia Sebagai M

Analisis Teori Ekologi Manusia Sebagai Model Kebijakan Makro-Struktural Terhadap
Fenomena Anak Jalanan di Ibukota1
oleh
Rizki Akbar Hasan2
____________________________

I. Pendahuluan
Hampir di berbagai belahan dunia, khususnya negara-negara dunia ketiga (Third
World Countries) dan negara berkembang seperti Indonesia, masalah sosial anak adalah salah
satu dari sekian banyak masalah yang secara struktural masih jauh dari kata ‘selesai’ untuk
dibenahi dan ditangani oleh pemerintah. Mulai dari isu yang paling mikro, yaitu belum
terpenuhinya gizi dan pola asuh orang tua, hingga ke isu yang paling makro, yaitu kebijakan
pemerintah terkait kesejahteraan anak; usaha pemenuhan terhadap hak-hak mendasar anak
masih banyak yang belum terpenuhi. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung
berdampak pada banyaknya anak yang. hidup di jalan.
Di wilayah Jakarta, menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2009, dilaporkan bahwa
terdapat 20.000 anak jalanan di Jakarta. Sedangkan menurut Kementerian Sosial RI,
perkiraan jumlah anak jalanan di Jakarta pada tahun 2011 mencapai angka 4000 jiwa. Lain
lagi dengan Komisi Nasional Perlindungan Anak, organisasi pemerinta non-kementerian
tersebut memperkirakan bahwa anak jalanan di Jakarta mencapai 8000 jiwa. Organisasi nonpemerintah lain memperkirakan jumlah anak jalanan mencapai kurang lebih 12.000 jiwa.
Pokok permasalahan yang ingin diangkat oleh penulis adalah mengenai upaya

pengentasan fenomena anak jalan yang dapat dilakukan pemerintah dengan merujuk pada
berita yang ditulis oleh Anto Prabowo3. Mengapa? Karena pemerintah, pada hakikatnya
adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi hak dan memelihara warga negaranya,
terutama fakir miskin dan anak terlantar, seperti yang tercantum dalam Konstitusi negara,
1

Disusun sebagai tugas akhir matakuliah Perlindungan Anak, Departemen Kriminologi, FISIP-UI. 2014
Mahasiswa Program Sarjana Departemen Kriminologi FISIP-UI angkatan 2012. Untuk kritik dan saran hubungi
rizki.akbar21@ui.ac.id
3
Prabowo, Anto. (1998). Masalah Anak-anak Jalanan, Masalah Kita. Suara Merdeka, Selasa 5 Mei 1998,
Halaman 6 dalam Yayasan Setara. http://yayasansetara.org/masalah-anak-anak-jalanan-masalah-kita/ Diakses
Pada 4 Juni 2014. Berita Terlampir
2

UUD NKRI Tahun 1945. Di dalam penulisan ini, dengan menggunakan pendekatan
struktural, penulis menyajikan model kebijakan pemerintah berskala makro dan universal
sebagai upaya untuk mengentaskan fenomena anak jalanan di Ibukota. Pendekatan struktural
tersebut menggunakan Teori Ekologi Manusia sebagai landasan pikir dan diharapkan mampu
memerikan pisau analisis secara makro terkait isu anak jalanan dalam studi perlindungan

anak.

II. Penelitian Terdahulu
Duyan dalam jurnalnya4 menjelaskan bahwa, bukan saja faktor ekonomi, atau
perubahan masyarakat, atau perubahan struktur masyarakat; hubungan antara anak keluarga
juga menjadi salah satu variabel mengenai fenomena kehidupan anak di jalan. Berdasarkan
temuan penelitiannya, adanya indikasi bahwa kebanyakan anak-anak jalanan berasal dari
keluarga yang hidup di bawah garis marjinal secara sosio-ekonomi, berstatus anak yang
yatim-piatu, ditelantarkan, konflik keluarga, tidak memiliki tempat tinggal, orang tua yang
kecanduan alkohol dan narkotika, masalah keuangan dan kemiskinan, kekerasan dalam
keluarga yang melibatkan child battered, wife-beating dan perceraian/pasangan yang
menelantarkan keluarga, hubungan keluarga yang buruk, dan orang tua yang menganggur.
Keadaan yang seperti itu mempengaruhi perasaan putusa asa yang nantinya menjadi faktor
pendorong dalam diri anak untuk terlibat dalah kehidupan jalanan. Dan menariknya, anakanak dengan kondisi diatas, cenderung akan mencari dukungan sosial dan emosioal di tempat
lain, ironisnya tempat tersebut adalah jalanan. Ada dua hal yang mampu ditawarkan oleh
kehidupan jalanan kepada anak-anak dengan kondisi seperti yang disebutkan diatas;
pertama, memberikan harapan karena bertemu dan mengalami attachment dengan peer
group-nya yang memiliki kondisi serupa. Hal ini mengakibatkan anak-anak memiliki
intensitas yang lebih sering di jalanan dan cenderung membentuk gang. Kedua, menambah
rasa keputusasaan anak karena mengalami kerasnya kehidupan jalanan dan rumah bukanlah

opsi untuk kembali. Keputusasaan ini mengakibatkan anak-anak rentan untuk dieksploitasi,
menjadi korban kehidupan jalanan, dan menjadi objek yang diperjualbelikan.
Fakta Konkrit Partikular dari Realitas Sehari-Hari Anak Jalanan5
4

Duyan, Veli. (2005). Relationships Between The Sociodemographic and Family Characteristics, Street Life
Experiences and The Hopelessness of Street Children. Journal Childhood. Turki-Norwegia: Sage Publication.
http://chd.sagepub.com/content/12/4/445
5
Grundling, Jan; Irma, Grundling. (2005). The concrete particulars of the everyday realities of street children.
Human Relations Journal. London; South-Africa: Sage Publication; The Tavistock Institute.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Grundling dan Grundling yang mengambil studi kasus
di Namibia, negara-negara dunia ketiga (Third World Countries) dengan masalah-masalah
seperti pengangguran dan kemiskinan, yang menghasilkan sub-masalah lain seperti
degenerasi budaya dan pola perilaku anti-sosial, secara langsung/tidak langsung
menghasilkan fenomena anak-anak jalanan. Anak-anak yang terlibat dalam kehidupan jalanan
tersebut, mereka bukanlah bagian integral dengan keluarganya dan tinggal di lingkungan
yang tidak mendukung secara sosio-ekonomi untuk tumbuh kembang anak. Anak-anak
jalanan tersebut mengalami masalah, yang oleh UNICEF dibagi menjadi tiga sub-pembagian,

yang menjadi penyebab, yakni; Mikro, meso, dan makro. Selain itu, penyebab lain adalah
terkait masalah ekonomi, kemiskinan, penelantaran, yatim-piatu, dan menjadi korban
kekerasan di dalam rumah. Terkait permasalahan tersebut, maka diperlukan sebuah rencana
pemulihan berbasis pada fakta-fakta konkrit partikular dari realita kehidupan anak-anak
jalanan yang dapat digunakan untuk memulihkan kondisi mereka. Fakta konkrit partikular
yang dimaksud oleh Grundling dan Grundling adalah profil individu dari anak-anak jalanan,
situasi rumah atau tempat asal dari anak-anak jalanan, dan alasan utama dari anak-anak
jalanan mengenai keterlibatannya di jalanan. Ketiga fakta konkrit partikular tersebut
dijadikan sebagai variabel penelitian Grundling dan Grundling. Hasil temuan data lapangan
menggunakan variabel tersebut kemudian dianalisis sehingga menghasilkan temuan berupa
hal-hal yang amat sangat dibutuhkan oleh anak-anak jalanan di Namibia dan di asosiasikan
dengan Klasifikasi Kebutuhan Pringle.
*Klasifikasi Kebutuhan Pringle6
Prioritas Ke1
2
3
4
5

Kebutuhan Anak Jalanan

Yang Berupa;
Kebutuhan primer dan
sekunder (makan-minum,
pakaian, tempat tinggal, dll)
Pendidikan
Perhatian dan Kasih Sayang
Keamanan dan Perlindungan
Pengakuan dan Pujian

Klasifikasi Pringle
Kebutuhan Fisik

Kebutuhan Psikologis

Isu dan Tantangan Pemerintah (Nigeria) Dalam Menghadapi Anak Jalanan Yang
Semakin Bertambah7
http://hum.sagepub.com/content/58/2/173
6
Ibid Grundling dan Grundling. Halaman 186
7

Aransiola, Joshua Oyeniyi; Olusina Bamiwuye; Akinyemi, Akanni Ibukun; Ikuteyijo, Lanre Olusegun. (2009).
Proliferation of Street Children in Nigeria, Issues and Challenges. Journal of Social Work. Nigeria: Sage

Jurnal tersebut menjelaskan implikasi dari UU Hak Anak Nigeria tahun 2003 untuk
mengevaluasi bagaimana praktik yang dilakukan institusi pemerintah yang dimandatkan oleh
UU tersebut, yakni Kepolisian dan Departemen Kesejahteraan Sosial dalam menghadapi
fenomena anak jalanan yang semakin bertambah di Nigeria. Studi tersebut menemukan dan
menjelaskan bahwa anak-anak jalanan masih melihat Kepolisian sebagai sosok yang tidak
ramah sehingga menimbulkan kesan bahwa kehadiran polisi dalam kehidupan mereka hanya
sebagai pihak yang selalu menghukum daripada menolong masalah yang mereka hadapi.
Bahkan, menurut hasil temuan peneliti jurnal, polisi justru menimbulkan masalah tersendiri
bagi anak-anak jalanan. Polisi cenderung berlaku kasar secara fisik, psikis, dan bahkan
seksual kepada anak-anak jalanan. Temuan lain juga menunjukkan bahwa program-program
pemerintah yang dicanangkan oleh Departemen Kesejahteraan Sosial untuk anak-anak
jalanan masih dirasa belum banyak membantu dalam menangani masalah anak-anak jalanan,
dan bagi anak-anak jalanan yang menjadi target memandang program tersebut dengan idiom
‘Nigerian prison yard = halaman penjara Nigeria’, karena program yang dibentuk untuk
anak-anak ternyata lebih tepat jika ditargetkan ke narapidana dewasa di penjara. Ironis.
Second-Class Citizens in the Making: The Rights of Street Children in Chile 8
Salazar dalam jurnalnya menjelaskan mengenai bagaimana anak-anak jalanan di Cili,

Amerika Selatan, secara struktural didiskriminasi dan disegmentasikan dengan anak-anak
golongan sosial-ekonomi menengah keatas. Terlepas dari adanya jaminan ratifikasi Konvensi
Hak- Hak Anak di Cili, anak-anak jalanan tersebut mengalami praktik perlindungan yang
dibedakan dan tidak sesuai dengan Hak Asasi-nya sebagai manusia yang setara. Buktinya
yakni pada pemberitaan demonstrasi yang dilakukan anak-anak sekolah menengah dan
pemberitaan penangkapan anak-anak jalanan oleh kepolisian. Kedua-duanya mendapatkan
perhatian yang sama besar dari media massa, namun keduanya mendapatkan respon yang
berbeda dari publik yang melihatnya. Anak-anak jalanan diperlakukan layaknya kriminal, dan
hal ini disebabkan karena status sosial anak-anak tersebut. Perbedaan status sosial antara dua
contoh kasus tersebut berdampak pada perbedaan hak dan perlindungan yang akan diterima
oleh kedua kelompok anak-anak itu nantinya di masyarakat, dan tentunya anak-anak jalanan
mendapatkan perlakuan yang termarjinakan juga. Dan dalam prosesnya, anak-anak jalanan

Publication. http://jsw.sagepub.com/content/9/4/371
8
Salazar, Guadalupe. (2008). Second-Class Citizens in the Making: The Rights of Street Children in Chile. Journal
of Latin American Perspectives. Cili: Sage Publication. http://lap.sagepub.com/content/35/4/30

berubah


menjadi

’second-class

citizens’.

Untuk

menangani

hal

ini,

Salazar

merekomendasikan perlunya restrukturasi pendekatan pemerintah dengan kembali mengacu
nilai-nilai ideal yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak.
Tipologi Risiko dan Perlindungan Dalam Kehidupan Anak-Anak Jalanan Filipino di
Manila9

Jurnal tersebut berisi hasil diskusi kelompok terfokus dengan anak-anak yang tinggal
dan bekerja di jalanan Manila, serta hasil wawancara dengan informan kunci yang terlibat
dalam program-program intervensi untuk anak-anak jalanan tersebut. Informan kunci
mengungkapkan bahwa ada beberapa praktik yang dapat dilakukan untuk melindungi anakanak tersebut dari perilaku-perilaku khas kehidupan jalanan. Temuan jurnal menunjukkan
bahwa kondisi yang mempromosikan perasaan aman dan perhatian seperti keluarga
memberikan anak-anak tersebut perlindungan dan stabilitas. Anak-anak juga merasa
terlindungi ketika masyarakat memberikan mereka kesempatan terlibat dalam kegiatan
produktif dan memberikan kontribusi positif bagi kehidupan masyarakat. Kegunaan yang
diperoleh dari partisipasi mereka dalam kegiatan produktif masyarakat yang komunal yakni
memberikan anak-anak jalanan harapan dan motivasi untuk keluar dari kehidupan jalanan.

III. Kerangka Pikir
Sebagai dasar kerangka pikir tulisan ini, penulis menggunakan dua kerangka pikir.
Pertama adalah kerangka Hak Asasi Manusia khususnya Konvensi Hak Anak, Artikel 1,
Artikel 2, Artikel 20, Artikel 28, dan Artikel 39. Secara garis besar, kelima artikel tersebut
menjelaskan bahwa anak-anak amat sangat bergantung terhadap orang lain untuk dukungan
materi dan perlindungan10. Konvensi Hak Anak menetapkan tolak ukur universal untuk
perlindungan anak dari praktik neglect dan abuse, dan menjamin hak dasarnya, termasuk hak
untuk bertahan hidup, perkembangan, dan berpartisipasi dalam aktifitas yang diperlukan
untuk tumbuh kembangnya menjadi dewasa11. Selain itu anak-anak juga berhak untuk


9

Maria, Madelene A. Sta; Martinez, Carmelo L; Diestro Jr, Jose Maria A. (2011). Typologies of Risk and
Protection in the Lives of Filipino Street Children in Manila. Journal of Youth & Society. Filipina: Sage
Publication. http://yas.sagepub.com/content/46/1/112
10
Ibid Grundling dan Grundling.
11
Ibid

beropini dan didengar opininya, dan opini tersebut harus menjadi pertimbangan dalam setiap
pengambilan keputusan terkait dengan hidupnya12.
Kedua, penulis menggunakan kerangka pikir teori ekologi manusia yang dicetuskan
oleh Urie Bronfenbrenner, sebagai bentuk pendekatan struktural penulis dalam isu
perlindungan anak jalanan. Teori atau pendekatan ekologi manusia ini memberikan perspektif
multidisiplin dalam isu kekerasan terhadap anak, menggunakan penjelasan mengenai
hubungan ekologi manusia (dimana kekerasan anak terjadi di dalamnya) yang dipengaruhi
oleh kombinasi dari; lingkungan sosial, politik, ekonomi, hukum, psikologi, lingkungan fisik,
kultur/budaya, dan hubungan antar manusia13. Penjelasan sistematis dari pendekatan tersebut,

oleh Bronfenbrenner, dibagi menjadi 5 sistem ekologi manusia yakni;
1. Sistem Mikro. Sistem ini menjelaskan anak sebagai entitas individu beserta
hubungannya dengan faktor bio-psikologis dan hubungannya dengan individu yang ada
di dekatnya.
2. Sistem Meso. Sistem ini mejelaskan anak dengan agen sosialisasi yang pertama bagi
anak, yakni keluarga, sekolah, dan peer group.
3. Sistem Exo atau semi-makro. Sistem ini mencakup anak yang berada di dalam suatu
komunitas atau masyarakat umum dimana anak terlibat secara langsung ataupun tidak
langsung dalam posisinya pada kekerasan yang dialaminya.
4. Sistem Makro. Sistem ini merupakan representasi negara dan keterlibatannya dalam
kekerasan terhadap anak. Bentuk keterlibatannya berupa sistem hukum, politik, budaya,
dan kebijakan yang diinstitusionalisasikan oleh negara dan diterapkan secara
menyimpang.
5. Sistem Global. Sistem ini mencakup tataran global seperti badan PBB, konvensi,
deklarasi, dan segala bentuk instrumen hukum serta bagaimana kerjasama
bilateral/multilateral dan regional/internasional antar negara terhadap isu kekerasan
terhadap anak.

IV. Analisis
Pada bagian ini, penulis akan melakukan analisis berdasarkan permasalahan yang
terkandung pada tajuk berita yang dilampirkan menggunakan tinjauan jurnal dan kerangka
12
13

Ibid
Helander, Einar A. (2008). Children and Violence; The World of the Defenceless. Inggris: Palgrave Macmillan

pikir yang dituliskan pada bagian sebelumnya. Dengan mengadopsi jurnal yang ditulis oleh
Grundling dan Grundling, maka pertama kali penulis berusaha untuk menguraikan fakta
konkrit partikular dari fenomena anak jalanan di Ibukota dalam tajuk berita yang ditulis oleh
Anto Prabowo.
Menguraikan Fakta Konkrit Partikular Fenomena Anak Jalanan di Ibukota
Dalam berita yang ditulis oleh Anto Prabowo, diuraikan bahwa secara makro,
fenomena anak jalanan di sebabkan akibat kurangnya perhatian pemerintah dalam
memperhatikan isu kesejahteraan sosial keluarga, khususnya keluarga yang hidup di bawah
garis marjinal. Pun hal tersebut semakin diperparah ketika negara mengalami sesat pikir dan
memandang fenomena anak jalanan sebagai wabah yang harus diberantas. Jikalau pun
terdapat program-program pemerintah yang ditargetkan untuk mengentaskan kemiskinan,
namun desain untuk mengentaskan fenomena anak jalanan tidak dimasukkan dalam
rancangan program, sehingga tidak efektif. Dalam tajuk berita tersebut, fakta konkrit
partikular yang muncul jika dilihat secara makro, dimana negara memiliki peran penting
adalah sebagai berikut:


Alienasi dan eksploitasi dalam kehidupan keluarga, komunitas, dan negara.
Fakta ini secara tidak langsung berbicara mengenai bagaimana terjadinya penanganan
yang salah dan indikasi abuse terhadap anak dalam institusi keluarga, komunitas, dan
institusi pemerintahan, terutama penegak hukum. Di tingkat keluarga misalnya,
objektifikasi terhadap anak adalah praktik yang masih lumrah dan berakibat pada
pembatasan hak-hak anak. Hal ini dapat berakibat pada anak yang dapat dieksploitasi
oleh orang tuanya untuk dipekerjakan dan mencari nafkah bagi kehidupan keluarga.
Tanpa bekal yang cukup dan usia dibawah 18 tahun, maka anak-anak tersebut
dipekerjakan dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat dengan cara mengemis
atau mengamen. Pada tingkatan komunitas, anak-anak jalanan rentan untuk
mendapatkan perlakuan abuse dan kekerasan oleh orang dewasa di jalanan. Diawali
dengan adanya stigma bahwa anak-anak jalanan adalah bandit-bandit cilik, selanjunya
akan diikuti dengan tindak kekerasan yang menyertai mereka akibat stigma negatif
tersebut. Hal tersebut juga dilakukan oleh institusi pemerintah, terutama Sistem
Peradilan Pidana. Persepsi dan pola pikir yang sesat dari lembaga peradilan pidana
menghasilkan tindakan yang destruktif terhadap anak-anak jalanan yang seharusnya
dilindungi dan dipenuhi hak-haknya. Selain itu, UU Perlindungan Anak dan UU

Sistem Peradilan Anak sebagai salah satu instrumen hukum nasional terkait isu anak,


masih memiliki peran yang insignifikan terhadap isu ini.
Kemiskinan sehingga anak dipekerjakan
Fakta ini berkaitan dengan fakta diatas yang berhubungan dengan keluarga.
Kemiskinan

yang

melanda

keluarga

mengakibatkan

anak-anak

seringkali

dipekerjakan, atau lebih tepatnya, diekspoitasi untuk mendapatkan uang di jalanan.
Pengangguran yang dialami oleh orang tua anak-anak tersebut juga semakin
memperburuk keadaan, Ditambah lagi kesadaran para orang tua mengenai salahnya


perlakuan objektifikasi terhadap anak yang masih minim.
Konflik internal keluarga dan buruknya pola asuh orang tua terhadap anak
Fakta ini merupakan penyebab lain yang cukup kuat mengenai keterlibatan anak-anak
di jalanan. Ketidakharmonisan keluarga – antara lain orang tua yang bercerai – dalam
beberapa kasus juga menjadi pemicu anak untuk lebih memilih dunia jalanan sebagai



rumah alternatif dibandingkan dengan keluarga sendiri14.
Kesenjangan sosial dan dianggap sebagai pihak biang masalah
Kesenjangan sosial ini merupakan fakta yang timbul akibat adanya stratifikasi di
masyarakat. Variabel stratifikasi tersebut biasanya dicirikan dengan perbedaan gaya
hidup dan norma-norma yang dianut, ekonomi, dan status sosial. Dan oleh negara
(dalam arti penguasa pemerintahan), mereka sering dianggap sebagai pengotor
keindahan kota, pembuat keonaran dan ketidaktertiban. Maka tidak jarang praktekpraktek “garuk” dikenakan pada mereka15

Teori Ekologi Manusia Sebagai Model Kebijakan Makro-Struktural
Bagi penulis, usaha pemerintah dalam menghadapi fenomena anak jalanan yang
mengambil studi kasus di Jakarta, dirasa masih belum mencapai titik terang. Anak yang hidup
dan anak yang menghabiskan waktu di jalanan merupakan masalah struktural di Ibukota yang
dari tahun ke tahun selalu dinomorduakan oleh Pemerintah. Maka daripada itu, penulis
menawarakan sebuah model kebijakan makro-struktural dengan mengadopsi teori Ekologi
Manusia sebagai bentuk pengentasan fenomena anak jalana secara universal di Ibukota dan
dengan menambahkan klasifikasi kebutuhan dari Pringle.
Sistem
Ekologi
14

Kebutuhan
Bagi Anak
Jalanan

Yang Harus Dilakukan;

Klasifikasi
Kebutuhan

Peran Pemerintah

Prabowo, Anto. (1998). Masalah Anak-anak Jalanan, Masalah Kita. Suara Merdeka, Selasa 5 Mei 1998,
Halaman 6 dalam Yayasan Setara. http://yayasansetara.org/masalah-anak-anak-jalanan-masalah-kita/ Diakses
Pada 4 Juni 2014. Berita Terlampir
15
Ibid.

Yang
Berupa;

Kebutuhan
di dalam
Keluarga

1. Pemenuhan
kebutuhan
primer
dan sekunder
2. Pola asuh yang baik
dengan
penuh
perhatian dan kasih
sayang dari orang
dewasa,
terutama
orang
tua
yang
Primer
bertanggung jawab
3. Keamanan
dan
perlindungan
bagi
anak

MikroMeso

Kebutuhan
untuk
berinteraksi
dengan
peer gorupnya

Komunitas

Pendidikan
dan
Kebudayaan

1. Pemenuhan
hak
anak
untuk
mendapatkan
rekreasi.
2. Menjamin hak anak
untuk berkembang
Sekunder
dan berpartisipasi
dalam aktifitas yang
terbaik bagi anak
untuk
tumbuh
kembangnya
menjadi dewasa
Pemenuhan hak anak
Primer
untuk mendapatkan
pendidikan dasar

1. Merancang UU dan
PP yang mengatur
tentang keluarga
dan pola asuh yang
sesuai bagi anak
dengan kerangka
HAM, DUHAM,
dan KHA. UU dan
PP tersebut bersifat
wajib dan memiliki
unsur pidana
apabila terjadi
pelanggaran.
2. Membentuk Komisi
Nasional yang
bergerak di bidang
kesejahteraan
keluarga
Kebijakan
yang
diimplementasikan
bersama
dengan
pemenuhan
hak
pendidikan anak

Merombak
program
“Wajib
Belajar
12
Tahun”,
karena
pendidikan adalah Hak,
bukan kewajiban. Kata
wajib
diembankan
kepada
pemerintah
sebagai penyedia dan
penyelenggara
pendidikan berkualitas
dan gratis bagi anakanak.

Perbaikan
Sistem
Kesehatan

Pemenuhan gizi anak
guna
tumbuh
kembangnya, pemberian
vaksin kesehatan untuk
anak,
dan
pola
penanganan anak-anak
jalanan
yang
bekebutuhan khusus dari
segi medis

Membentuk programprogram
comunitybased yang memberikan
kesempatan untuk anak
terlibat dalam kegiatan
produktif
dan
memberikan kontribusi
positif bagi kehidupan
Pemberdaya masyarakat. Kegunaan
an
yang diperoleh dari Sekunder
Komunitas partisipasi mereka dalam
kegiatan
produktif
masyarakat
yang
komunal
yakni
memberikan anak-anak
jalanan harapan dan
motivasi untuk keluar
dari kehidupan jalanan
MakroGlobal

Reformasi
Sistem
Hukum

Kebijakan
yang Primer
mengatur bahwa anakanak yang memenuhi
unsur abuse, neglect,
dan maltreatment dalam
setiap lini kehidupannya
adalah
korban
dari
pelanggaran
HAM,
termasuk anak jalanan.
Hal
ini
akan
mempengaruhi
penanganan
Sistem

Alokasi dana APBN
dan APBD yang
dikhususkan untuk
membentuk sistem
kesehatan anak dan
penanganan khusus dari
segi medis terkait
permasalahan yang
mungkin menimpa anak
(secara psiko-biologis
maupun anak-anak
yang menjadi korban
abuse, neglect, dan
maltreatment).
Peran penting yang
harus diemban oleh
Departemen atau Dinas
Sosial
dan
Kesejahteraan,
yakni
dengan
membentuk
program-program
komunitas
dalam
kerangka HAM dan
KHA. Program tersebut
harus
merupakan
program yang terbaik
bagi anak dan terbebas
dari
unsur
yang
destruktif
dan
intimidatif, seperti yang
tercantum dalam jurnal
yang
ditulis
oleh
Aransiola, et. al.

Peradilan Pidana dan
institusi pemerintahan
lain terkait fenomena
anak jalanan.

V. Kesimpulan
Masalah sosial anak, khususnya isu anak-anak jalanan adalah masalah yang
penyelesaiannya membutuhkan peran serta dari setiap institusi yang ada di masyarakat dan
berfokus mulai dari tataran yang paling kecil hingga yang paling besar. Peran serta negara
adalah peran yang paling utama, diikuti dengan keluarga dan komunitas dalam rangka
menangani fenomena anak jalanan, dengan berfokus pada program-program atau kebijakan
yang berpihak demi kebaikan anak. Pergeseran paradigma terkait anak jalanan sebagai biang
masalah menjadi anak jalanan sebagai korban struktural dapat membentuk pola pikir dan
perspektif yang tepat terhadap isu tersebut.

Daftar Pustaka
Aransiola, Joshua Oyeniyi; Olusina Bamiwuye; Akinyemi, Akanni Ibukun; Ikuteyijo, Lanre
Olusegun. (2009). Proliferation of Street Children in Nigeria, Issues and Challenges.

Journal
of
Social
Work.
http://jsw.sagepub.com/content/9/4/371

Nigeria:

Sage

Publication.

Duyan, Veli. (2005). Relationships Between The Sociodemographic and Family
Characteristics, Street Life Experiences and The Hopelessness of Street Children. Journal
Childhood. Turki-Norwegia: Sage Publication. http://chd.sagepub.com/content/12/4/445
Grundling, Jan; Irma, Grundling. (2005). The concrete particulars of the everyday realities
of street children. Human Relations Journal. London; South-Africa: Sage Publication;
The Tavistock Institute. http://hum.sagepub.com/content/58/2/173
Helander, Einar A. (2008). Children and Violence; The World of the Defenceless. Inggris:
Palgrave Macmillan
Maria, Madelene A. Sta; Martinez, Carmelo L; Diestro Jr, Jose Maria A. (2011). Typologies
of Risk and Protection in the Lives of Filipino Street Children in Manila. Journal of
Youth & Society. Filipina: Sage Publication. http://yas.sagepub.com/content/46/1/112
Prabowo, Anto. (1998). Masalah Anak-anak Jalanan, Masalah Kita. Suara Merdeka, Selasa 5
Mei 1998, Halaman 6 dalam Yayasan Setara. http://yayasansetara.org/masalah-anakanak-jalanan-masalah-kita/ Diakses Pada 4 Juni 2014. Berita Terlampir
Salazar, Guadalupe. (2008). Second-Class Citizens in the Making: The Rights of Street
Children in Chile. Journal of Latin American Perspectives. Cili: Sage Publication.
http://lap.sagepub.com/content/35/4/30

Lampiran Berita

MASALAH ANAK-ANAK JALANAN, MASALAH
KITA16
Oleh Anto Prabowo
SUARA MERDEKA, Selasa, 5 Mei 1998, Halaman VI
Di kota-kota besar, tak terkecuali Semarang, jumlah anak-anak dan remaja yang
berkeliaran

di

jalan

jalan

untuk

mengais

rupiah,

makin

banyak

saja.

mereka

melakukannya dengan berbagai cara seperti mengamen, jual koran, jual jasa semir
sepatu, mengemis dengan membawa bayi, dan mengelap kaca mobil di traffic light.
Mengapa itu terjadi? Jika hal itu dianggap sebagai kondisi yang tidak ideal, apa yang bisa
dilakukan negara untuk mengatasinya, dan partisipasi macam apa pula yang bisa
digalang dari masyarakat?
Di masyarakat, setidaknya ada dua persepsi dalam memandang persoalan anak-anak
jalanan.
Pertama, anak-anak jalanan adalah pembuat masalah. Persepsi seperti itu memang
sangat mudah tumbuh di kebanyakan anggota masyarakat yang melihat langsung – atau
membaca lewat media – tingkah polah anak-anak jalanan yang umumnya memiliki
norma-norma yang berbeda dari aturan-aturan yang dianut oleh masyarakat pada
umumnya.
Lihat cara sebagian dari mereka memperoleh uang. Makin “mudah” dan cenderung
mengemis. Seperti yang terjadi pada kelompok pengamen. Pada masa persaingan ketat,
bukan kreativitas dan perbaikan keterampilan yang mereka tunjukkan, melainkan
penurunan mutu.
Prie GS (kolom Gazebo tabloid Cempaka Minggu ini, 23 April 1998)

menulis, evolusi

penurunan derajat itu tampak dari peralatan yang dibawa.
Semula gitar, kemudian ukulele, saat ini ecek-ecek dari tutup botol, dan telah terlihat
disana-sini mereka hanya berbekal lap untuk membersihkan mobil. Lama-lama nekat.
Sekedar diketahui saja, kelompok yang “nekat” itu telah tampak di beberapa ruas jalan di
Jakarta. Begitu pengemudi membuka kaca jendela untuk menyodorkan “uang kasihan”,
pisau atau clurit yang menempel di lehernya.
16

Prabowo, Anto. (1998). Masalah Anak-anak Jalanan, Masalah Kita. Suara Merdeka, Selasa 5 Mei 1998,
Halaman 6 dalam Yayasan Setara. http://yayasansetara.org/masalah-anak-anak-jalanan-masalah-kita/. Diakses
Pada 4 Juni 2014.

Tidak hanya cara cari uang. Simak juga “gaya hidup” sebagian dari mereka. Konsumtif
sekali. Begitu dapat uang, hari itu juga mereka gunakan untuk happy-happy. Antara lain
main ding-dong atau flydengan mengisap aroma lem.
Dalam hal perilaku seks, sebagaimana telah diberitakan harian ini, mereka cenderung
menerapkan perilaku seks bebas. Prinsipnya, longgar norma.
Tentu saja tidak dapat di-gebyah uyah. Ada beberapa dari mereka yang mencoba
menggunakan rupiah mereka dengan benar-benar untuk ditabung dan biaya sekolah.
Kelompok yang seperti itu tentulah sangat istimewa.
Setidaknya,

mereka

membutuhkan

lingkungan

pendukung



keluarga

atau peer

group lain – yang relatif idealistis, karena lingkungan pergaulan tempat mereka
memperoleh uang sangat tidak mendukung.
Sebagai Korban
Persepsi kedua, mereka adalah korban. Pandangan seperti itu hidup pada diri pihak-pihak
yang berempati terhadap nasib dan kondisi anak-anak jalanan. Mereka juga percaya,
masalah-masalah sosial yang kait-mengait dengan anak-anak jalanan tidak akan bisa
terselesaikan, jika persepsi yang dipakai hanyalah “anak-anak jalanan sebagai pembuat
masalah”.
Pada seminar-lokakarya tentang Konvensi Hak Anak, yang diselenggarakan Pusat Studi
Wanita

Unika

Soegijapratana

bekerja

sama

dengan

Pemda

Jateng

dan

Unicef

pertengahan Februari lalu, persepsi “anak-anak jalanan adalah korban” muncul secara
dominan sekali.
Pada seminar itu juga ditampilkan kesaksian beberapa anak jalanan serta pihak-pihak
yang mewakili mereka. Eksploitasi dan alienasi (pengasingan) yang berlapis-lapis mereka
alami, baik di tingkat keluarga, masyarakat, maupun negara lewat aparatus-aparatusnya.
Di tingkat keluarga, tidak sedikit orang tua yang beranggapan bahwa anak adalah milik
mereka sepenuhnya. Mau diapakan pun adalah hak orang tua, sehingga pihak-pihak di
luarnya tidak berhak ikut campur.
Pandangan seperti itu berwujud pada tindakan pemerkosaan terhadap anak, eksploitasi
tenaga kerja mereka, termasuk juga menjual anak untuk menjadi pelacur.
Sering kemiskinan menjadi alasan, mengapa orang tua bersikap eksploitatif terhadap
anak-anaknya. Tetapi latar belakang lain yang juga dominan, kata dr Nafsiah Mboi MPH,
anggota Komita Hak-hak Anak PBB, adalah ketiadaan pengertian dan kesadaran pada diri

orang tua dan kelompok orang dewasa di masyarakat bahwa anak dan remaja juga
memiliki serangkaian hak.
Hak-hak itu – yang diatur dalam Konvensi Hak Anak – antara lain hak untuk tumbuh,
berkembang,

berpendapat,

mendapatkan

pendidikan,

memperoleh

rasa

aman,

perlindungan dari eksploitasi, identitas, dan kewarganegaraan. Orang tua dan negara
merupakan pihak yang berkewajiban memenuhi hak-hak itu.
Faktor lain, ketidakharmonisan keluarga – antara lain orang tua yang bercerai – dalam
beberapa kasus juga menjadi pemicu anak untuk lebih memilih dunia jalanan sebagai
rumah alternatif dibandingkan dengan keluarga sendiri.
Di dunia jalanan, mereka barangkali mendapatkan kebebasan yang lebih. Tapi
bersamaan dengan itu, mereka juga memperoleh kekerasan, eksploitasi dan juga
“pendidikan” nonformal berupa norma-norma yang sangat jauh berbeda dari masyarakat
pada umumnya.
Pemerkosaan dan pelecehan seks untuk anak-anak jalanan putri serta sodomi untuk
yang putra adalah pengalaman-pengalaman kekerasan nyata yang mereka peroleh. Juga
pemerasan dan kekerasan fisik, baik oleh sesama anak jalanan, preman maupun oleh
pihak-pihak yang seharusnya melindungi mereka.
Pendek kata, eksploitasi yang mereka terima berlapis-lapis. Di masyarakat pun – karena
perbedaan gaya hidup dan norma-norma yang dianut – anak jalanan mengalami
penyingkiran. Tidak mudah untuk menerima mereka sebagai bagian dari anggota
masyarakat yang wajar.
Dan oleh negara (dalam arti penguasa pemerintahan), mereka sering dianggap sebagai
pengotor keindahan kota, pembuat keonaran dan ketidaktertiban. Maka tidak jarang
praktek-praktek “garuk” dikenakan pada mereka.
Patut Diperhatikan
Mana persepsi yang benar di antara keduanya? Saya berpendapat, kedua persepsi itu
tidak salah, kalau ditempatkan sebagai proses yang berurutan.
Awalnya, mereka jelas merupakan korban. Anak-anak jalanan itu merupakan produk
akumulatif kondisi keluarga, keadaan sosial yang buruk, serta negara yang belum
mampu

menjadi

masyarakat.

pengayom

atas

kelemahan-kelemahan

di

level

keluarga

dan

Setelah korban, pada tahap berikutnya mereka dapat saja berubah menjadi trouble
maker, dilihat dari sudut pandang masyarakat. Dengan bahasa yang lain, bisa dikatakan
mereka sebagai “kelompok yang patut mendapat perhatian untuk lebih disikapi secara
manusiawi”.
Tentu saja, kondisi seperti itu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Sebab, jika tidak, dunia
masa depan yang dekat dengan anak-anak jalanan – tanpa perhatian yang khusus dan
serius – cukup jelas. Yang putri akan dekat dengan dunia pelacuran dan yang putra
selangkah lagi masuk ke dunia preman dan kriminal.
Dunia-dunia itu tampaknya memang lebih mudah digapai dibandingkan jika mereka
memasuki ruang-ruang hidup yang “normal” lain.
Serangkaian usaha untuk merangkul dan mengentaskan anak-anak jalanan itu memang
telah dilakukan baik oleh individu maupun kelompok, dengan biaya dari kantong sendiri
atau ada lembaga dana di baliknya.
Individu dan kelompok-kelompok itu berusaha menjadi “keluarga alternatif” bagi anakanak jalanan. Usaha-usaha yang dilakukan: ke dalam, antara lain mengurangi jam hidup
di jalanan, memberikan bekal-bekal keterampilan, mengembalikan ke keluarga, dan
dengan memberikan penyadaran pada kedua pihak (orang tua dan anak).
Sementara ke luar, individu dan kelompok-kelompok pemerhati itu memberikan
pengertian bahwa anak-anak jalanan merupakan bagian dari masyarakat yang menjadi
korban dari kondisi keluarga yang buruk, dan membutuhkan perhatian serius untuk dapat
kembali “normal” seperti anggota masyarakat lain.
Intinya, jangan memusuhi mereka, jangan menganggap mereka sampah.
Di Semarang, kelompok-kelompok pemerhati anak jalanan itu antara lain Paguyuban
Anak Jalanan Semarang (PAJS) – yang digerakkan oleh anak-anak jalanan dewasa untuk
melindungi yang yunior – Duta Awam yang khusus menangani masalah-masalah anak
jalanan putri, Yayasan Sosial Soegijapranata, serta Pusat Studi Wanita Undip Semarang,
dan individu-individu mahasiswa dan dosen dan Unika Soegijapranata Semarang.
Sayang sekali, kelompok itu bergerak sendiri-sendiri dan tidak menjalin kontak satu
dengan yang lain, baik untuk menyamakan persepsi, apalagi untuk membuat jaringan
bersama.

Saya kira, langkah-langkah yang lebih serius dan terbuka, telah saatnya untuk dilakukan.
Masalah anak-anak jalanan memang maslaha kita bersama. Luput memperhatikan hal itu
pada saat sekarang, kita akan menuai masalah yang lebih besar di kemudian hari (41b).
– Anto Prabowo, wartawan Suara Merdeka di Semarang

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121