TUGAS SOSIOLOGI makalah HUKUM observasi

1. PENDAHULUAN
Sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab sudah akrab dengan minuman beralkohol
atau disebut juga minuman keras (khamar dalam bahasa Arab). Bahkan menurut Dr. Yusuf
Qaradhawi, dalam kosakata Arab ada lebih dari 100 kata berbeda untuk menjelaskan minuman
beralkohol. Disamping itu, hampir semua syair/puisi Arab sebelum datangnya Islam tidak lepas
dari pemujaan terhadap minuman beralkohol. Ini menyiratkan betapa akrabnya masyarakat
tersebut dengan kebiasaan mabuk minuman beralkohol. Sudah tidak asing bagi kita, bahwa pada
akhir-akhir ini di media masa ramai di beritakan banyak nyawa yang terbuang sia-sia karena
masyarakat masih banyak yang kecanduan untuk mengkonsumsi minuman keras yang sifatnya
oplosan atau akrab di sapa (MIRAS OPLOSAN).
Minuman keras (khamar) adalah jenis minuman yang memabukkan dan diharamkan.
Minuman yang termasuk kepada kelompok khamar adalah segala jenis minuman yang memiliki
sifat sama dengan khamar, yaitu memabukkan. Jadi batasan suatu minuman dikatakan
sebagaikhamar didasarkan pada sifatnya bukan pada jenis dan bahannya. Minuman yang
dikelompokkan pada khamar hukumnya haram karena meminumnya merupakan perbuatan keji
dan perbuatan syaitan.
Aturan larangan (pengharaman) minuman keras (khamar) berlaku untuk seluruh umat
Islam karena sudah tercantum dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, serta tidak ada perkecualian
untuk individu tertentu. Yang dilarang dalam Islam adalah tindakan meminum khamar itu
sendiri, terlepas apakah si peminum tersebut mabuk atau tidak.
Pemerintah sudah tidak henti-hentinya melakukan pencegahan dengan berbagai upaya

guna menyelamatkan keselamatan dan kesehatan masyarakat dari minuman beralkohol, namun
upaya pencegahan itu masih dinilai kurang efektif. Yang menjadi tidak habis pikir adalah bahwa
sudah sekian banyak nyawa yang hilang dengan sia-sia karena mengkonsumsi minuman
beralkohol, ditambah dengan penegakkan aturan oleh pemerintah malah tidak menjadikan
masyarakat menjadi jera dan takut akan bahaya yang ada pada dirinya bagi yang mengkonsumsi.
Dari sinilah, bahwa tidak serta merta pemerintah yang disalahkan mengenai kasus yang telah
terjadi, karena pemerintah telah berusaha dengan sangat untuk mengatasi masalah ini, meskipun
belum ada undang-undang yang resmi mengenai masalah minuman keras atau malah mungkin
masyarakat yang sulit untuk diatur dan disadarkan akan bahaya ini.
2. PEMBAHASAN
Perlu di sadari bahwa minuman yang mengandung Alkohol sudah menjadi hal yang
tidak lazim di beberapa Negara yang mana memandang bahwa minuman mengandung alcohol

dapat membahayakan bagi setiap konsumen yang telah memiliki kadar kuat untuk kecanduan
terhadap minuman ber alkohol. Setiap Negara yang memandang bahwa minuman beralkohol
harus mendapat perhatian yang lebih, karena disamping memberikan manfaat bagi yang
mengkonsumsi, tetapi juga sangat besar dampak yang merugikan khususnya bagi para
generasi bangsa, khususnya Indonesia juga mengatur tentang itu. Sering kita lihat dan dengar
dari berbagai media masa, korban berjatuhan dengan sia-sia dikarenakan mengkonsumsi
minuman beralkohol yang mengandung berbagai campuran sehingga kadar alcohol

didalamnya menjadi sangat besar dan itu diluar akal sehat manusia pada umumnya. Melihat
kondisi seperti ini pemerintah sudah berusaha untuk mencegah, dalam hal ini Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani peraturan presiden (perpres) baru tentang
pengendalian minuman beralkohol (mihol). Peraturan tersebut untuk mengganti keputusan
presiden (keppres) sebelumnya yang dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada Juni.
Regulasi baru tersebut dicantumkan dalam Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang
Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang ditandatangani SBY pada 6
Desember 2013. Melalui peraturan itu, pemerintah kembali mengategorikan minuman
beralkohol sebagai barang dalam pengawasan. “Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi
pengawasan terhadap pengadaan minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri
atau asal impor serta peredaran dan penjualannya,” bunyi Pasal 3 Ayat (3) Perpres 74/2013,
seperti dikutip laman resmi Sekretariat Kabinet.
Dalam perpres tersebut, mihol dikelompokkan dalam tiga golongan. Pertama, mihol
golongan A adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanil (C2H5OH) dengan
kadar sampai dengan limapersen. Kedua, mihol golongan B adalah minuman yang
mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar lebih dari lima sampai 20 persen. Ketiga,
mihol golongan C, yaitu minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol dengan kadar
lebih dari 20-55 persen. Pasal 7 perpres ini menegaskan, minuman beralkohol golongan A, B,
dan C hanya dapat dijual di sejumlah tempat. Di antaranya, hotel, bar, dan restoran yang
memenuhi persyaratan. Selain itu, mihol juga bisa diperjualbelikan di toko bebas bea.

Hal yang baru dari perpres pengendalian mihol adalah pemberian kewenangan pada
bupati dan wali kota di daerah-daerah, serta gubernur di DKI Jakarta untuk menentukan
tempat-tempat di mana mihol boleh diperjualbelikan atau dikonsumsi. Syaratnya, mesti tidak
berdekatan dengan tempat peribadatan, sekolah, dan rumah sakit. Di luar tempat-tempat
tersebut, minuman beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk
kemasan. Perpres juga memberikan wewenang kepada bupati/wali kota dan gubernur untuk

DKI Jakarta menetapkan pembatasan peredaran
mempertimbangkan karakteristik daerah dan budaya lokal.

minuman

beralkohol

dengan

Munculnya Perpres 74/2013 tak lepas dari benturan antara sejumlah peraturan daerah
(perda) yang melarang total peredaran mihol dan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang hanya
mengatur pembatasan. Polemik yang mencuat pada 2012 itu membuat Kemendagri
mengevaluasi perda-perda miras di sejumlah daerah.

Evaluasi yang dilihat sebagai pencabutan perda tersebut menimbulkan gejolak hingga
akhirnya Front Pembela Islam (FPI) menggugat Keppres 3/1997 ke MA. MA mengabulkan
gugatan tersebut pada Juni tahun lalu dan membatalkan Keppres 3/1997. Meskipun
pemerintah telah mengeluarkan peraturan, di Indonesia minuman beralkohol dengan system
oplosan telah menelan banyak korban jiwa di setiap daerah, seperti korban minuman keras
oplosan di sumedang, jawa barat jumlah korban jiwa menjadi 127 pasien. Ada Salah satu dari
korban yang selamat mengaku kenapa mengkonsumsi minuman yang membahayakan bagi
kesahatan bahkan nyawa bisa jadi taruhannya, bahwa mereka mengaku minuman itu sebagai
penghangat tubuh bagi yang telah kecanduan, namun karena minuman beralkohol yang
memiliki merk terkenal cenderung mahal dan sulit dijangkau bagi mereka yang status ekonomi
menengah ke bawah dan hidup cenderung pas-pas-an, karena sudah menjadi pecandu guna
mendapatkan apa yang diinginkan, maka mereka akhirnya memilih dengan membeli dengan
cara dioplos dengan bahan-bahan yang terjangkau yang dapat menjadikan kadar alcohol naik.
melihat hal ini, para anggota dewan telah melakukan tindakan guna merancang RUU guna
melindungi generasi bangsa dari pengaruh alcohol.
Sidang paripurna DPR RI menyetujui
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Larangan Minuman Beralkohol untuk menjadiusul inisiatif DPR RI, dan akan segera
dibahas oleh DPR bersama Pemerintah. Setiap warganegara berhak mendapatkan
lingkungan kehidupan yang baik dan sehat, sejahtera lahir batin, yang merupakan hak

asasi yang dijamin pemenuhannya oleh negara untuk melindungis egenap bangsa
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik IndonesiaTahun 1945.
Dalam Rapat tersebut, Seluruh Fraksi menyampaikan pendapat persetujuannya kepada
pimpinan Sidang Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso, Selasa (24/6), di Gedung
Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta.
Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat, menyampaikan pandangan bahwa Minuman
beralkohol selain bertentangan dengan norma agama dan moral bangsa Indonesia yang

religious, juga telah terbukti menelan korban jiwa yang jumlahnya tidak sedikit. Data Badan
Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2011 mencatat sebanyak 2,5 juta penduduk dunia
meninggal akibat alcohol dan sekitar 9 persen dari kematian itu terjadi pada orang usia muda
berusia 15-29 tahun (korban berada di usia produktif). Jatuhnya korban jiwa tersebut
diakibatnkan menengak minuman beralkohol, baik yang berkadar alkohol tinggi ataupun
oplosan.
Selain dampak yang ditimbulkan terhadap kesehatan dan psikologis, Minuman
Beralkohol dianggap menjadi faktor pemicu tingginya angka kriminalitas di beberapa daerah
di Indonesia, dimana 58% kasus yang terjadi akibat kondisi mabuk atau pengaruh minuman
beralkohol. Kondisi ini sering menyulut perkelahianatau tawuran, mengganggu ketertiban
umum, hilangnya rasa aman dan rusaknya tatanan sosial dalam masyarakat.
Sekalipun dampak negatif yang diakibatkan Minuman Beralkohol begitu komplek,

namun faktanya Minuman Beralkohol masih banyak diproduksi, diimpor dan diperjualbelikan
secara bebas, sehingga hal ini membahayakan kehidupan manusia, terutama anak dan remaja
serta menimbulkan jatuhnya korban jiwa. “Kondisi ini diperparah oleh lemahnya penegakan
hukum khususnya terkait dengan produksi, peredaran dan jual belinya, serta dampaknya yang
ditimbulkan dari minuman beralkohol,” papar Martin hutabarat.
Adapun pengaturan mengenai Minuman Beralkohol saat ini utamanya didasarkan pada
Keputusan Presiden No.3 tahun 2007 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman
Beralkohol, kemudian Peraturan Menteri Perdagangan No.11/M-DAG/PER/3/2012 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 43/M-DAG/PER/9/2009
tentang Ketentuan Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian
Minuman Beralkohol, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 71/M-IND/PER/7/2012 tentang
Pengendalian dan Pengawasan Industri Minuman Beralkohol.
Fraksi Partai Gerindra memandang perlu untuk menyikapi Rancangan Undang-undang
Tentang Larangan Minuman Beralkohol. Fraksi Partai Gerindra berpandangan beberapa
daerah telah memiliki aturan sendiri-sendiri tentang Larangan minuman beralkohol. Saat ini
baru beberapa daerah yang sudah menerapkan Perda Minuman Beralkohol, seperti didaerah
Banjarmasin, Cirebon dan Manokwari. Di daerah tersebut, masyarakat setempat yang
mendesak pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah Minuman beralkohol karena
masyarakat setempat merasa peredaran bebas Minuman beralkohol sangat berdampak buruk
pada generasi muda penerus bangsa.


Namun, masih banyak juga daerah yang belum memiliki peraturan daerah ini karena
dianggap tidak penting. Padahal, korban akibat minuman beralkohol sudah sangat
mengkhawatirkan. Sehingga secara keseluruhan tetap dibutuhkan Undang-undang sebagai
payung hukum. Sehingga tercipta regulasi yang lebih kuat, serta juga mengayomi dan
melindungi seluruh wilayah kesatuan Indonesia. Serta didasari pada putusan Mahkamah
Agung (MA) menyatakan membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 3 Tahun 1997
tentang Minuman Keras karena Beberapa payung hukum soal peredaran miras di Tanah Air
sudah dinyatakan tidak berlaku.
“Dengan begitu, dalam pembahasan dan penyusunan naskah dan substansi Rancangan
Undang-Undang Tentang Larangan Minuman Beralkohol perlu dilakukan penyesuaian.
Sehingga produk legislasi yang dihasilkan tidak mudah dibatalkan dan memang mempunyai
kemaslahatan bersama bagi rakyat Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Fraksi Partai Amanat Nasional, A.Muhajir, dampak kerusakan dan bahaya
minuman mengandung alkohol, khususnya yang berkadar tinggi jauh lebih besar dibandingkan
manfaatnya. “Hal yang memprihatinkan adalah tidak sedikit minuman beralkohol ini adalah
kaum muda yang sebagiannya merupakan pelajar dan mahasiswa yang seharusnya menjadi
aset strategis untuk memperbaiki masa depan Negara,” ungkapnya.
Di indonesia, jumlah korban meninggal akibat minuman beralkohol setiap tahun
mencapai angka 18.000 orang. Ini merupakan angka yang sangat besar dan karena itu sungguh

sangat membuat kita semua prihatin. Selain itu, secara sosiologis, mayoritas penduduk
Indonesia adalah muslim dan menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di seluruh
dunia.
“Islam dengan tegas melarang untuk mengkonsumsi minuman keras, karena dipandang
sebagai barang yang kotor. Karena itu, sangat menjadi sangat aneh apabila Indonesia menjadi
salah satu Negarayang sangat permisif dalam penggunaan atau konsumsi minuman
beralkohol,” tegas Muhajir.
Fraksi PAN berpendapat, produksi dan peredaran minuman keras yang tidak terkendali
akan menjadi sumber potensi utama maraknya kriminalitas. Telah begitu banyak peristiwa
kejahatan di negeri ini yang sangat dijadikan contoh, tentang betapa buruknya pengaruh
peredaran dan konsumsi minuman beralkohol yang tak terkendali terhadap meningkatnya
angka kriminalitas di kota maupun pelosok dasa.

“Hal tersebut tentunya tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena generasi muda
sebagai kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap persoalan ini akan menjadi korban
utama,” keluhnya.
Fraksi PAN menilai, perlu peran aktif negara untuk membuat kebijakan agar
masyarakat terhindar dari dampak negatif produksi dan peredaran minuman beralkohol di
tanah air. Untuk itu, RUU ini diharapkan dapat membuat seluruh lapisan masyarakat, terutama
generasi muda. Dengan begitu kita akan memiliki generasi baru dengan kecerahan berfikir

yang optimal, sehingga mampu berkontribusi dalam pembangunan negara secara akseleratif.
Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, menyatakanbahwa secara subtansi,
pembahasan RUU ini menjadi sangat penting dan strategis bagi masyarakat, bangsa, dan
Negara Indonesia karena ini menyangkut pada kehidupan masa depan masyarakat, bangsa dan
Negara Indonesia. Disisi lain, pengaturan ini harus dilakukan secara hati-hati, secara cermat,
cerdas, serta mengandung berbagai pertimbangan baik secara hukum maupun ekonomis, juga
sosial budaya.
Menurutnya, Secara umum, bagaimana agar larangan terhadap penggunaan minuman
beralkohol ini, tidak menimbulkan persoalan hukum baru atau menimbulkan tindak pidana
lainnya seperti jika minuman beralkohol ini akan dapat menimbulkan pada daya atau
keinginan penggunaannya berbuat melanggar hukum.
Secara ekonomis, apakah larangan minuman beralkohol ini memiliki nilai manfaat bagi
peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, utamanya apakah minuman
beralkohol ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan pajak
atas minuman beralkohol.
Pada sisi nilai sosial budaya, apakah minuman beralkohol ini mampu tetap
mempertahankan nilai-nilai yang baik dari kultur budaya bangsa Indonesia yang selama ini
terkenal dengan budaya bangsa yang baik, santun, dan berbudi pekerti yang baik, serta mampu
menumbuhkan kembangkan nilai-nilai sosial bangsa Indonesia pada kepekaan, kebersamaan,
serta keutuhan sesame ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dalam kesatuan NKRI.

Fraksi Partai Kebangkitan bangsa, KH. Muhammad Unais Ali Hisyam, berpandangan
dengan masih banyaknya minuman beralkohol yang diproduksi, diimpor, dan diperjualbelikan
secara bebas dikhawatirkan akan mengganggu dan membahayakan terutama anak dan remaj,
hilangnya rasa aman dan ketentraman masyarakat.

Sementara pengaturan yang berkaitan dengan larangan terhadap minuman beralkohol
masih banyak tersebar di banyak peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral dan
parsial. Dan belum ada UU yang secara khusus mengatur mengenai minuman beralkohol.
“Penting pula untuk ditekankan bahwa menurut agama minuman beralkohol sama
halnya khamr (arak) yang hukumnya haram untuk dikonsumsi, karena akan menimbulkan
madharat bagi masyarakat,” jelasnya.
Sedangkan, Fraksi Partai Golkar, Poempida Hidayatulloh, menyatakan minuman
beralkohol sangat berbahaya untuk kesehatan manusia. Namun disisi lain minuman beralkohol
merupakan salah satu komoditi unggulan ekonomi yang dapat menyerap banyak tenaga kerja,
disamping sebagai tambahan pemasukan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) melalui Pajak dan Cukai.
Fraksi Partai Hanura, Djamal Aziz, bahwa kehadiran Undang-Undang terkait minuman
beralkohol atau minuman mengandung Ethyl Alcohol sangat penting mengingat efek samping
yang ditimbulkan. Efek samping minuman beralkohol ini dapat mendorong perubahan
perilaku, seperti misalnya ingin berkelahi atau melakukan tindakan kekerasan lainnya, tidak

mampu menilai realitas, terganggunya fungsi sosialnya dan terganggu pekerjaannya.
“Negara kita saat ini tengah melaksanakan pembangunan untuk mewujudkan cita-cita
sebagaimana UUD 1945. Pembangunan negara selain membutuhkan sumber daya manusia
yang tangguh, ulet, dan membutuhkan daya fikir dan inovasi,” katanya. dari pandangan
sosiologi hukum mengenai permasalahan ini adalah kita tahu bahwa mengatasi masalah social
yang terus meningkat dimasyarakat sebuah pekerjaan yang tidak mudah bagi pemerintah,
pasalnya pemerintah tidak hanya memikirkan persoalan minuman keras yang beredar di
masyarakat saja, yang mana terus menambah korban jiwa. Pemerintah sendiri dalam
melindungi masyarakatnya kurang begitu responsive untuk mengatasi masalah ini, dengan
belum adanya undang-undang ketegasan yang mengatur para pengedar, pengelola dan
pengkonsumsi minuman keras sehingga tidak heran apabila masih banyak korban jiwa
berjatuhan. Pemerintah hanya sekedar merancang dan memberikan argument guna
menguatkan lahirnya undang-undang mengenai minuman keras beralkohol. Jadi diharapkan
kepada seluruh pemerintah daerah harus melakukan tindakan tegas bagi para pengedar,
pengelola dan pengkonsumsi berupa hukuman atau denda sebagai bentuk hukuman
pelanggaran yang telah dilakukannya untuk mengurangi korban jiwa dan guna menunggu
peraturan dari pemerintah secara tertulis berbentuk undang-undang.