muatan politik penentu kualitas UU oleh Jefi Rulian Artha
KEPENTINGAN POLITIK PENENTU KUALITAS UNDANG-UNDANG
ABSTRAK
Dalam politik hukum, wewenang yang diberikan kepada para elit politik untuk
membentuk suatu peraturan seringkali dijadikan alat untuk mencapai kepentingan
politik mereka. Aspirasi rakyat sering terlupakan akibat terlalu sibuknya para elit politik
dalam mengurus partai politiknya. Keinginan masyarakat tertuju pada keadilan yang
memberikan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kepastian hanya
tergantung dari muatan kepentingan politik maka kualitas Undang-Undang patut
diragukan. Kesejahteraan tidak akan tercapai jika kualitas Undang-Undang dilandasi
muatan kepentingan-kepentingan politik bukan kepentingan masyarakat banyak. Jika
sudah terjadi demikian, maka konstitusi hanya menjadi hiasan negara bukan menjadi
pedoman. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber tertib hukum yang ada di
Indonesia yang mengartikan bahwa semua hukum yang ada dan berlaku di Indonesia
harus sesuai dengan nilai-nilai dari Pancasila yang mengedepankan kepentingan rakyat.
Politik Hukum
Politik hukum merupakan suatu bagian dalam kajian ilmu hukum yang terdiri
atas dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Moh. Mahfud MD,
menganggap politik hukum masuk dalam disiplin ilmu hukum. Beliau berpendapat
bahwa politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan atau
telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup pembuatan hukum
yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat
disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada,
termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Materi dan
ketentuan hukum iniliah yang kemudian akan dirumuskan kedalam suatu peraturan
perUndang-Undangan
dalam
bentuk
Undang-Undang
Dasar,
Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan lainnya.
Kajian politik hukum pada pembangunan hukum, yaitu tentang perlunya
mengikutsertakan peran kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat dalam hal
Muatan Kepentingan Politik Penentu Kualitas UU | Jefi R.A
1
bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan dan dilembagakan
dalam suatu proses politik yang sesuai dengan cita-cita awal suatu negara. Dalam teori
hukum, Undang-Undang merupakan hasil kesepakatan antara penguasa dan masyarakat
untuk mewujudkan suatu kepastian, keadilan, keteraturan, dan manfaat bagi masyarakat.
Dalam politik hukum yaitu proses dari pembuatan Undang-Undang, hukum dijadikan
motor dalam meraih tujuan politik tertentu. Dalam politik hukum, penciptaan hukum ini
memang sudah dilakukan berulang-ulang sejak politik menjadi satu dengan kepentingan
Negara.
Tujuan Politik Hukum (dalam bentuk Undang-Undang)
Cita-cita dari politik hukum yaitu untuk kepentingan masyarakat dan membatasi
kesewenang-wenangan pemerintah terhadap masyarakat. Politik hukum merupakan
suatu agenda perumusan kepentingan yang dilakukan antara pemangku kekuasaan
dengan perwakilan yang dibentuk oleh masyarakat. Politik hukum selalu meletakkan
kepentingan bersama sebagai fondasi dalam pembuatan Undang-Undang. Politik hukum
berpegang pada idealisme yakni untuk melayani publik (Bernar L. Tanya, 2011:10).
Melihat gejala yang ada, muatan kepentingan-kepentingan politik dalam politik hukum
akan menentukan kualitas Undang-Undang, hal inilah yang menjadi problematika
permasalahan yang ada di negara kita yang nantinya membuat Undang-Undang yang
ada tidak berkualitas dan jauh menyimpang dari dasar negara karena terdapat
permasalahan politik dalam pembuatan Undang-Undang.
Lembaga yang Terlibat dalam Politik Hukum (Pembuatan Undang-Undang)
Pasca amandemen Undang-Undang 1945 terjadi perubahan kekuasaan dalam
memproduksi Undang-Undang di mana posisi DPR jauh lebih kuat dari Presiden. Pasal
20 Ayat (1) memberi mandat DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.
Pasal 5 Ayat (1) yang diamandemen memposisikan Presiden hanya berhak mengajukan
rancangan Undang-Undang kepada DPR. Lalu posisi DPR dikokohkan lagi melalui
Pasal 20 Ayat (5), dalam hal Undang-Undang yang telah disetujui bersama tidak
disahkan Presiden dalam waktu 30 hari sejak disetujui, rancangan itu sah menjadi
Undang-Undang dan wajib diundangkan. Ketentuan yang ada pada Pasal 20 Ayat (5)
secara implisit memaksa Presiden mengundangkan tiap Undang-Undang yang telah
Muatan Kepentingan Politik Penentu Kualitas UU | Jefi R.A
2
disetujui DPR, meski ada materi tertentu yang tidak diterima pemerintah selama proses
pembahasan. Di titik ini ada semacam peralihan fungsi dan kewenangan dalam
memproduksi Undang-Undang sebelum amandemen, Pasal 5 Ayat (1) menyatakan,
Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
Pasal 20 Ayat (1), tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan DPR. Fakta sebelum
amandemen Undang-Undang 1945 ini menunjukkan posisi Presiden lebih kuat dari
DPR (executive heavy), namun pasca amandemen Undang-Undang 1945 beralih ke
posisi DPR lebih kuat dari presiden (legislative heavy).
Fenomena ketatanegaraan ini sesungguhnya mengajarkan bahwa fungsi DPR
sangat strategis dalam menentukan bentuk bulat-lonjongnya sebuah Undang-Undang.
Kualitas produk legislasi sudah barang pasti menjadi tanggungjawab DPR. Karena
sesungguhnya dalam konteks pelembagaan demokrasi melalui produk legislasi fungsi
DPR sangat berpengaruh dalam menuntaskan arah dari konsolidasi demokrasi.
Urgensitas fungsi itu dapat dimulai dengan mengukur tingkat kualitas sebuah produk
Undang-Undang. Ia menjadi kunci keberhasilan konsolidasi demokrasi.
Pengaruh Kepentingan Politik Dalam Perumusan Undang-Undang
Pasca amandemen Undang-Undang 1945 beralih ke posisi DPR lebih kuat dari
Presiden (legislative heavy). Hal ini mencerminkan kemiripannya dengan sistem
parlementer dan telah memasukkan sebagian sistem parlementer seiring dengan
pemurnian sistem presidensial. Model ini menjadi penyebab utama buruknya proses
legislasi di DPR selain karena sistem multipartai ekstrim di DPR dengan 10 parpol yang
terkelompok dalam 10 Fraksi yang menyebabkan konflik kepentingan yang kuat antar
fraksi untuk saling memperebutkan pengaruh paling kuat dalam melakukan fungsi
pengawasan pada Presiden agar Presiden mau bersedia berbagi kursi menteri di kabinet.
Akibatnya multipartai di DPR ini telah mempersulit DPR dalam mengambil
keputusan dalam proses legislasi. Karena itu apa yang disinyalir oleh Giovani Sartori
menjadi kenyataan bahwa problem sistem presidensial berbasis multipartai ekstrim
tidak terletak dalam arena eksekutif (presiden), melainkan dalam arena legislatif (DPR)
saat merencanakan dan memutuskan produk legislasi dan non legislasi.
Muatan Kepentingan Politik Penentu Kualitas UU | Jefi R.A
3
Masalah Materi Muatan Undang-Undang Saat Ini
Permasalahan muatan kepentingan inilah yang menjadi beban bagi terciptanya
Undang-Undangan yang pro rakyat. Jelas antara keinginan rakyat dengan kehendak
penguasa selalu kontra dalam pandangan serta dalam implementasi pelaksanaan di
lapangan. Dalam tulisan ini penulis menitikberatkan tentang pemahaman akan UndangUndang yang selalu dimuati oleh kepentingan politik sehingga tidak sesuai dengan
kehendak dan keinginan masyarakat banyak. Jelas jika sudah terjadi demikian, maka
munculah permasalahan hukum yang nanti bukannya mensejahterakan masyarakat
tetapi malah dapat menambah beban berat masyarakat.
Dalam konteks peran anggota DPR untuk meningkatkan produktivitas legislasi
muncullah pertanyaan apakah ia sebagai agent (perantara) atau sebagai trustee (wali
amanat). Kejelasan kedua peran ini penting untuk segera dijawab dalam realitas
eksistensi anggota DPR, karena ketidakjelasan peran DPR selama ini telah menjadi
salah satu penghambat lemahnya produktivitas DPR. Ketidakjelasan ini dapat dilihat
dalam realitasnya, misalnya pada saat tertentu tampak sekali DPR memerankan diri
sebagai agent yang memainkan peran sebagai perantara atas kelompok konstituen
tertentu atau kelompok kepentingan lain. Di konteks ini perjuangan dalam produk
legislasi (UU) lebih didasarkan pada keuntungan dan kerugian dari suatu kelompok
tertentu atau biasanya pada ”pesanan” politik. Makin besar keuntungan yang didapat
atas dasar pesanan makin kuat perjuangannya dalam menggolkan suatu draf RUU
menjadi UU begitu pula sebaliknya.
Pada saat yang lain tampak DPR memerankan diri sebagai trustee (wali amanat),
yakni kehadirannya di DPR adalah merupakan representasi kehendak umum
masyarakat. Karena perjuangan untuk merumuskan suatu naskah Undang-Undang tidak
lagi memperhatikan pada konteks kepentingan kelompok konstituen tertentu, tapi hanya
pada kepentingan publik.
Maka di sinilah munculnya praktik-praktik jual-beli kepentingan atau korupsi
produk Undang-Undang antara anggota DPR dan kelompok-kelompok kepentingan itu
dapat terjadi. Seperti yang paling mutakhir adalah skandal raibnya Pasal 113 Ayat (2)
atau ”Ayat Tembakau” dalam RUU Kesehatan. Begitu pula terjadi saat proses
Muatan Kepentingan Politik Penentu Kualitas UU | Jefi R.A
4
pembentukan UU Pemilu Legislatif 2009 (UU No. 10/2008). Berdasarkan penelusuran
Cetro, setelah rapat paripurna, terjadi penambahan Pasal dari 316 menjadi 320 Pasal.
Peristiwa itu merupakan skandal politik terbaru dalam proses legislasi. Karena itu,
keliru besar dan amat tidak bertanggungjawab mengatakan kejadian itu sebagai sebuah
kesalahan teknis. Melainkan sebagai kudeta redaksional.
Karena itu betapapun sulitnya anggota DPR, semestinya ia dapat menempatkan
dirinya sebagai individu independen yang tidak bergantung pada parpol mereka dalam
bersikap menyuarakan produk UU. Mestinya hanya berdasar pada pemahaman mereka
sendiri terhadap fakta dan logika setiap rangkaian keadaan (circumtances) tertentu.
Untuk menghindari adanya praktik korupsi politik, berupa penyalahgunaan
kewenangan dalam proses legislasi di DPR, maka diperlukan penguatan kapasitas ruang
partisipasi publik dalam proses legislasi. Secara teori dan praktik ketatanegaraan
Indonesia, sangatlah sulit untuk meninggalkan fungsi partisipasi dalam proses legislasi.
Ada keterkaitan erat yang tidak mungkin dapat dipisahkan antara partisipasi masyarakat
yang diwakili dan akan diatur, dengan sekelompok elite yang mewakili masyarakat dan
menginisiasi peraturan. Partisipasi tentu hal yang menjadi penting. Praktik legislasi
yang tidak ramah partisipasi ini telah mencederai prinsip kedaulatan rakyat yang
dijaminoleh konstitusi. Pelanggaran atas konstitusi tentu menjadi alasan kuat untuk
diinvalidasinya aturan perundang-undangan yang bertentangan dengan harapan
masyarakat oleh MK sebagai court of law. Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan adanya keharusan
untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses undang-undang. Kemudian
dalam Pasal 139-141 Peraturan Tata Tertib DPR ditentukan bahwa masyarakat dapat
memberi masukan baik lisan maupun tertulis kepada DPR dalam rangka penyiapan dan
pembahasan RUU. Bahkan dalam hal ada masukan lisan, pemimpin alat kelengkapan
akan menyediakan waktu pertemuan khusus dengan pemberi masukan. Dibandingkan
dengan masa sebelumnya, adanya ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
proses pembentukan undang-undang merupakan kemajuan yang cukup positif.
Muatan Kepentingan Politik Penentu Kualitas UU | Jefi R.A
5
ABSTRAK
Dalam politik hukum, wewenang yang diberikan kepada para elit politik untuk
membentuk suatu peraturan seringkali dijadikan alat untuk mencapai kepentingan
politik mereka. Aspirasi rakyat sering terlupakan akibat terlalu sibuknya para elit politik
dalam mengurus partai politiknya. Keinginan masyarakat tertuju pada keadilan yang
memberikan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kepastian hanya
tergantung dari muatan kepentingan politik maka kualitas Undang-Undang patut
diragukan. Kesejahteraan tidak akan tercapai jika kualitas Undang-Undang dilandasi
muatan kepentingan-kepentingan politik bukan kepentingan masyarakat banyak. Jika
sudah terjadi demikian, maka konstitusi hanya menjadi hiasan negara bukan menjadi
pedoman. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber tertib hukum yang ada di
Indonesia yang mengartikan bahwa semua hukum yang ada dan berlaku di Indonesia
harus sesuai dengan nilai-nilai dari Pancasila yang mengedepankan kepentingan rakyat.
Politik Hukum
Politik hukum merupakan suatu bagian dalam kajian ilmu hukum yang terdiri
atas dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Moh. Mahfud MD,
menganggap politik hukum masuk dalam disiplin ilmu hukum. Beliau berpendapat
bahwa politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan atau
telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup pembuatan hukum
yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat
disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada,
termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Materi dan
ketentuan hukum iniliah yang kemudian akan dirumuskan kedalam suatu peraturan
perUndang-Undangan
dalam
bentuk
Undang-Undang
Dasar,
Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan lainnya.
Kajian politik hukum pada pembangunan hukum, yaitu tentang perlunya
mengikutsertakan peran kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat dalam hal
Muatan Kepentingan Politik Penentu Kualitas UU | Jefi R.A
1
bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan dan dilembagakan
dalam suatu proses politik yang sesuai dengan cita-cita awal suatu negara. Dalam teori
hukum, Undang-Undang merupakan hasil kesepakatan antara penguasa dan masyarakat
untuk mewujudkan suatu kepastian, keadilan, keteraturan, dan manfaat bagi masyarakat.
Dalam politik hukum yaitu proses dari pembuatan Undang-Undang, hukum dijadikan
motor dalam meraih tujuan politik tertentu. Dalam politik hukum, penciptaan hukum ini
memang sudah dilakukan berulang-ulang sejak politik menjadi satu dengan kepentingan
Negara.
Tujuan Politik Hukum (dalam bentuk Undang-Undang)
Cita-cita dari politik hukum yaitu untuk kepentingan masyarakat dan membatasi
kesewenang-wenangan pemerintah terhadap masyarakat. Politik hukum merupakan
suatu agenda perumusan kepentingan yang dilakukan antara pemangku kekuasaan
dengan perwakilan yang dibentuk oleh masyarakat. Politik hukum selalu meletakkan
kepentingan bersama sebagai fondasi dalam pembuatan Undang-Undang. Politik hukum
berpegang pada idealisme yakni untuk melayani publik (Bernar L. Tanya, 2011:10).
Melihat gejala yang ada, muatan kepentingan-kepentingan politik dalam politik hukum
akan menentukan kualitas Undang-Undang, hal inilah yang menjadi problematika
permasalahan yang ada di negara kita yang nantinya membuat Undang-Undang yang
ada tidak berkualitas dan jauh menyimpang dari dasar negara karena terdapat
permasalahan politik dalam pembuatan Undang-Undang.
Lembaga yang Terlibat dalam Politik Hukum (Pembuatan Undang-Undang)
Pasca amandemen Undang-Undang 1945 terjadi perubahan kekuasaan dalam
memproduksi Undang-Undang di mana posisi DPR jauh lebih kuat dari Presiden. Pasal
20 Ayat (1) memberi mandat DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.
Pasal 5 Ayat (1) yang diamandemen memposisikan Presiden hanya berhak mengajukan
rancangan Undang-Undang kepada DPR. Lalu posisi DPR dikokohkan lagi melalui
Pasal 20 Ayat (5), dalam hal Undang-Undang yang telah disetujui bersama tidak
disahkan Presiden dalam waktu 30 hari sejak disetujui, rancangan itu sah menjadi
Undang-Undang dan wajib diundangkan. Ketentuan yang ada pada Pasal 20 Ayat (5)
secara implisit memaksa Presiden mengundangkan tiap Undang-Undang yang telah
Muatan Kepentingan Politik Penentu Kualitas UU | Jefi R.A
2
disetujui DPR, meski ada materi tertentu yang tidak diterima pemerintah selama proses
pembahasan. Di titik ini ada semacam peralihan fungsi dan kewenangan dalam
memproduksi Undang-Undang sebelum amandemen, Pasal 5 Ayat (1) menyatakan,
Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR.
Pasal 20 Ayat (1), tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan DPR. Fakta sebelum
amandemen Undang-Undang 1945 ini menunjukkan posisi Presiden lebih kuat dari
DPR (executive heavy), namun pasca amandemen Undang-Undang 1945 beralih ke
posisi DPR lebih kuat dari presiden (legislative heavy).
Fenomena ketatanegaraan ini sesungguhnya mengajarkan bahwa fungsi DPR
sangat strategis dalam menentukan bentuk bulat-lonjongnya sebuah Undang-Undang.
Kualitas produk legislasi sudah barang pasti menjadi tanggungjawab DPR. Karena
sesungguhnya dalam konteks pelembagaan demokrasi melalui produk legislasi fungsi
DPR sangat berpengaruh dalam menuntaskan arah dari konsolidasi demokrasi.
Urgensitas fungsi itu dapat dimulai dengan mengukur tingkat kualitas sebuah produk
Undang-Undang. Ia menjadi kunci keberhasilan konsolidasi demokrasi.
Pengaruh Kepentingan Politik Dalam Perumusan Undang-Undang
Pasca amandemen Undang-Undang 1945 beralih ke posisi DPR lebih kuat dari
Presiden (legislative heavy). Hal ini mencerminkan kemiripannya dengan sistem
parlementer dan telah memasukkan sebagian sistem parlementer seiring dengan
pemurnian sistem presidensial. Model ini menjadi penyebab utama buruknya proses
legislasi di DPR selain karena sistem multipartai ekstrim di DPR dengan 10 parpol yang
terkelompok dalam 10 Fraksi yang menyebabkan konflik kepentingan yang kuat antar
fraksi untuk saling memperebutkan pengaruh paling kuat dalam melakukan fungsi
pengawasan pada Presiden agar Presiden mau bersedia berbagi kursi menteri di kabinet.
Akibatnya multipartai di DPR ini telah mempersulit DPR dalam mengambil
keputusan dalam proses legislasi. Karena itu apa yang disinyalir oleh Giovani Sartori
menjadi kenyataan bahwa problem sistem presidensial berbasis multipartai ekstrim
tidak terletak dalam arena eksekutif (presiden), melainkan dalam arena legislatif (DPR)
saat merencanakan dan memutuskan produk legislasi dan non legislasi.
Muatan Kepentingan Politik Penentu Kualitas UU | Jefi R.A
3
Masalah Materi Muatan Undang-Undang Saat Ini
Permasalahan muatan kepentingan inilah yang menjadi beban bagi terciptanya
Undang-Undangan yang pro rakyat. Jelas antara keinginan rakyat dengan kehendak
penguasa selalu kontra dalam pandangan serta dalam implementasi pelaksanaan di
lapangan. Dalam tulisan ini penulis menitikberatkan tentang pemahaman akan UndangUndang yang selalu dimuati oleh kepentingan politik sehingga tidak sesuai dengan
kehendak dan keinginan masyarakat banyak. Jelas jika sudah terjadi demikian, maka
munculah permasalahan hukum yang nanti bukannya mensejahterakan masyarakat
tetapi malah dapat menambah beban berat masyarakat.
Dalam konteks peran anggota DPR untuk meningkatkan produktivitas legislasi
muncullah pertanyaan apakah ia sebagai agent (perantara) atau sebagai trustee (wali
amanat). Kejelasan kedua peran ini penting untuk segera dijawab dalam realitas
eksistensi anggota DPR, karena ketidakjelasan peran DPR selama ini telah menjadi
salah satu penghambat lemahnya produktivitas DPR. Ketidakjelasan ini dapat dilihat
dalam realitasnya, misalnya pada saat tertentu tampak sekali DPR memerankan diri
sebagai agent yang memainkan peran sebagai perantara atas kelompok konstituen
tertentu atau kelompok kepentingan lain. Di konteks ini perjuangan dalam produk
legislasi (UU) lebih didasarkan pada keuntungan dan kerugian dari suatu kelompok
tertentu atau biasanya pada ”pesanan” politik. Makin besar keuntungan yang didapat
atas dasar pesanan makin kuat perjuangannya dalam menggolkan suatu draf RUU
menjadi UU begitu pula sebaliknya.
Pada saat yang lain tampak DPR memerankan diri sebagai trustee (wali amanat),
yakni kehadirannya di DPR adalah merupakan representasi kehendak umum
masyarakat. Karena perjuangan untuk merumuskan suatu naskah Undang-Undang tidak
lagi memperhatikan pada konteks kepentingan kelompok konstituen tertentu, tapi hanya
pada kepentingan publik.
Maka di sinilah munculnya praktik-praktik jual-beli kepentingan atau korupsi
produk Undang-Undang antara anggota DPR dan kelompok-kelompok kepentingan itu
dapat terjadi. Seperti yang paling mutakhir adalah skandal raibnya Pasal 113 Ayat (2)
atau ”Ayat Tembakau” dalam RUU Kesehatan. Begitu pula terjadi saat proses
Muatan Kepentingan Politik Penentu Kualitas UU | Jefi R.A
4
pembentukan UU Pemilu Legislatif 2009 (UU No. 10/2008). Berdasarkan penelusuran
Cetro, setelah rapat paripurna, terjadi penambahan Pasal dari 316 menjadi 320 Pasal.
Peristiwa itu merupakan skandal politik terbaru dalam proses legislasi. Karena itu,
keliru besar dan amat tidak bertanggungjawab mengatakan kejadian itu sebagai sebuah
kesalahan teknis. Melainkan sebagai kudeta redaksional.
Karena itu betapapun sulitnya anggota DPR, semestinya ia dapat menempatkan
dirinya sebagai individu independen yang tidak bergantung pada parpol mereka dalam
bersikap menyuarakan produk UU. Mestinya hanya berdasar pada pemahaman mereka
sendiri terhadap fakta dan logika setiap rangkaian keadaan (circumtances) tertentu.
Untuk menghindari adanya praktik korupsi politik, berupa penyalahgunaan
kewenangan dalam proses legislasi di DPR, maka diperlukan penguatan kapasitas ruang
partisipasi publik dalam proses legislasi. Secara teori dan praktik ketatanegaraan
Indonesia, sangatlah sulit untuk meninggalkan fungsi partisipasi dalam proses legislasi.
Ada keterkaitan erat yang tidak mungkin dapat dipisahkan antara partisipasi masyarakat
yang diwakili dan akan diatur, dengan sekelompok elite yang mewakili masyarakat dan
menginisiasi peraturan. Partisipasi tentu hal yang menjadi penting. Praktik legislasi
yang tidak ramah partisipasi ini telah mencederai prinsip kedaulatan rakyat yang
dijaminoleh konstitusi. Pelanggaran atas konstitusi tentu menjadi alasan kuat untuk
diinvalidasinya aturan perundang-undangan yang bertentangan dengan harapan
masyarakat oleh MK sebagai court of law. Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan adanya keharusan
untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses undang-undang. Kemudian
dalam Pasal 139-141 Peraturan Tata Tertib DPR ditentukan bahwa masyarakat dapat
memberi masukan baik lisan maupun tertulis kepada DPR dalam rangka penyiapan dan
pembahasan RUU. Bahkan dalam hal ada masukan lisan, pemimpin alat kelengkapan
akan menyediakan waktu pertemuan khusus dengan pemberi masukan. Dibandingkan
dengan masa sebelumnya, adanya ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
proses pembentukan undang-undang merupakan kemajuan yang cukup positif.
Muatan Kepentingan Politik Penentu Kualitas UU | Jefi R.A
5