EKSPLOITASI PEKERJA PEREMPUAN DI PERKEBUNAN DELI SUMATERA TIMUR 1870-1930 - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) BAB III Edit

(1)

69 BAB III

KONDISI SOSIAL EKONOMI PEKERJA PERKEBUNAN TAHUN 1870-1930

A. Masyarakat Perkebunan

Ekspansi perkebunan di Sumatera Timur tidak hanya menyangkut perusahaannya yang bersifat multinasional, melainkan juga penduduknya yang multietnik. Pada hakekatnya masyarakat di perkebunan Sumatera Timur lebih multirasial karena terdiri dari bangsa Eropa, (selain negara Belanda yaitu, Inggris, Perancis, Belgia, Swiss, dan Jerman), Asia (Jepang, India, dan Cina), dan Jawa atau pribumi

lainnya (Melayu dan Batak).1 Tenaga kerja yang dipekerjakan lebih banyak

dikerahkan dari luar daerah seperti Cina dari Straits Settlements2, India, dan Jawa.

Pemukiman-pemukiman barupun muncul mirip dengan frontier (daerah

perbatasan) yang jauh dari kota serta pusat peradaban.3

Pada periode awal perusahaan perkebunan tahun 1863, pimpinan dipegang

oleh seorang planter4 yang merangkap fungsi sebagai perintis, pengelola dan

kepala komunitas perkebunan. Pada masa itu lingkungan masyarakat perkebunan

1J. De Waard, “de Oostkust van Sumatra”,

Tijdsrift voor Economisch Geographie, No. 7 Juli 1934, hlm. 257.

2

Straits Settlements adalah Semenanjung Malaka. Lihat Mohammad Said, Suatu Zaman Gelap di Deli: Koeli Kontrak Tempo Doeloe dengan Derita dan Kemarahannya (Medan: Waspada, 1977), hlm. 80.

3Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial

Ekonomi (Yogyakarta: Adtya Media, 1991), hlm. 143. 4

Jacobus Nienhuys yang pertama kali mengetahui potensi wilayah yang dianggapnya cocok untuk bertanam tembakau.


(2)

70 yang terbatas masih dikuasai oleh hubungan patrimonial, sehingga masih ada suasana keakraban dan kekeluargaan. Bahkan pada awal penempatan tenaga kerja tahun 1864, pekerja, pengawas, dan tuan kebun Jacobus Nienhuys tinggal dalam

satu atap karena belum tersedianya pemukiman.5 Seiring dengan berkembangnya

perusahaan-perusahaan berskala besar, muncul juga kebutuhan akan manajemen yang rasional dan efisien sesuai dengan tujuan peningkatan produktivitas setinggi-setingginya.

1. Struktur Sosial dan Kekuasaan

Sejak masa perintisan perkebunan pertama, orang Eropa berkedudukan di lapisan atas berdasarkan peranannya sebagai pengambil prakarsa, penanam modal, pengelola, atau selaku pengusaha utama. Tenaga kerja yang didatangkan dari luar daerah diperlakukan sebagai faktor dalam sistem produksi. Proses pengolahan bahan mentah banyak memerlukan tenaga manusia, di antaranya tenaga pribumi,

Cina, dan Keling yang ditempatkan pada lapisan paling bawah.6

Hubungan industrial antara masyarakat lapis atas dan lapis bawah membutuhkan perantara. Perantara biasanya diambil dari pihak Eropa yang

bertugas sebagai tenaga pembantu (asisten) dan pengawas (opzichter). Pembagian

tugas pekerjaan dibeda-bedakan menurut pengalaman kerja, pengetahuan, dan lamanya pengabdian dalam perusahaan. Para asisten muda ada di bawah asisten senior dengan masa kerja 6 tahun lebih, sedang semua asisten di bawah pengawas

5

Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli, Politik, Kolonial pada Awal Abad

ke-20 (Jakarta: Pusaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 25. 6


(3)

71 (opzichter). Pimpinan umum dipegang oleh administrator, suatu jabatan tertinggi di perkebunan. Tugas administrator perkebunan adalah merancang sistem produksi baru, dan mengganti metode produksi yang telah usang. Administrator juga mempunyai kewajiban memeriksa surat-surat masuk, pembukuan, dan uang kas perusahaan. Tugas sehari- hari administrator perkebunan dibantu oleh asisten

perkebunan.7

Tenaga kerja perkebunan yang pada jamannya disebut kuli,

dikelompokkan ke dalam regu-regu (ploeg) yang masing- masing diawasi oleh

seorang mandor. Beberapa mandor ada di bawah mandor kepala dan mereka

semua diawasi oleh para asisten dan pengawas (opzichter). Regu-regu merupakan

unit kerja yang terdiri atas unsur-unsur etnis tertentu, tidak ada percampuran antara unsur-unsur etnis. Hal ini bertujuan supaya tidak terjalin ikatan solidaritas

di antara mereka.8

Para pekerja Cina yang datang ke perkebunan berada di bawah pimpinan kepala suku dan bekerja diperintah langsung oleh kepala sukunya. Pengusaha perkebunan hanya berhubungan dengan para pimpinan kepala suku orang-orang Cina dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan di perkebunan. Kedudukan pimpinan kepala suku sebagai mandor atau pengawas bagi para pekerja Cina

7Ibid., hlm. 145.

8Mubiyarto, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan, Kajian Sosial


(4)

72

disebut dengan tandil.9 Tandil bertanggung jawab atas keamanan, ketertiban,

mengawasi pekerjaan para pekerja, dan menjadi penghubung antara para pekerja dan pengusaha perkebunan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam masyarakat perkebunan tidak hanya berlaku struktur sosial tetapi juga terdapat struktur kekuasaan beserta hirarkhinya. Mengingat bahwa lingkungan serta suasana

pekerjaan bercirikan daerah frontier, maka tuntutan produktivitas perusahaan

hanya dapat dipenuhi apabila ada kekuasaan yang dapat menanamkan disiplin kerja yang ketat, untuk menjamin eksploitasi yang kontinyu serta intensif. Kondisi seperti ini menyebabkan kekuasaan otokratislah yang mampu mendisiplinkan tenaga kerjanya.

2. Organisasi Kerja

Peranan inti organisasi kerja di perkebunan adalah regu (ploeg) yang berada di

bawah pimpinan kepala regu/mandor (ploeg baas). Kedudukan mandor

merupakan kunci yang strategis, karena ia berperan tidak hanya sebagai pemimpin

unit tetapi juga sebagai perantara ke pihak pimpinan atas.10

Secara umum pembagian tenaga kerja perkebunan dibedakan dalam 4

golongan, yaitu:11

9Anthony Reids, An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories Of

Sumatra (Singapore: Asia Research Institute National University of Singapore, 2005), hlm. 222.

10Sartono Kartodirdjo, op.cit ., hlm. 146.


(5)

73

1. Administrator

2. Pegawai/staf

3. Pegawai non staf/mandor

4. Pekerja perkebunan

Seorang administrator memegang tanggung jawab yang besar dalam satu unit perkebunan. Ia dibantu oleh seorang penasihat dan kontrolir yang disebut pegawai staf karena kedudukan mereka tidak langsung mengawasi aktivitas di perkebunan. Seorang kontrolir membawahi beberapa kepala bagian antara lain kepala bagian tanaman, bagian teknik, bagian pabrik dan staf administrasi. Masing- masing kepala membawahi seorang asisten yang langsung diberi wewenang ke lapangan/lokasi perkebunan. Seorang asisten dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh beberapa orang mandor sesuai dengan jenis-jenis pekerjaan mereka, misalnya ada mandor tanam, mandor panen, pengolahan sortasi, pengepakan. Lapisan terbawah dalam hira rki masyarakat perkebunan adalah para

pekerja buruh baik pekerja perkebunan maupun pekerja pabrik.12

3. Produksi Perkebunan

a. Pengolahan Tanah dan Tanaman

Pada awalnya pengusaha perkebunan pertama Jacobus Nienhuys,13 berpendapat

bahwa tanah-tanah di Sumatera Timur hanya mampu menghasilkan panen

12

Ibid, hlm. 116. Selain itu di setiap perkebunan dipekerjakan polisi-polisi

khusus penjaga perkebunan yang bertanggungjawab langsung pada kontrolir. 13

Lahan seluas 400 bau yang terletak di daerah Labuan disediakan oleh Sultan Deli untuk digunakan sebagai kebun percobaan penanaman tembakau.


(6)

74 tembakau untuk satu kali panen saja. Setelah diadakan penelitian pada awal tahun 1890, tembakau gulung yang bermutu baik dapat pula dihasilkan di atas lahan kosong yang pernah ditumbuhi tembakau. Lahan yang pernah digunakan terlebih dahulu dikosongkan selama masa 8 (delapan) tahun atau 12 tahun yang bertujuan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Tembakau yang dihasilkan dari tanah yang telah dikosongkan ternyata bermutu baik, walaupun warna daunnya lebih

muda daripada tembakau yang berasal dari tanah hutan.14

Tahun penanaman bagi suatu perkebunan dimulai dengan pembukaan hutan belukar yang dilakukan dengan sistem kerja borongan oleh suku Batak Karo. Pohon-pohon ditebangi, kecuali pohon buah-buahan, pohon asam, dan

gelugur.15 Setelah penebangan pohon, persiapan dimulai dengan cara mencangkul

lahan yang akan ditanami tembakau. Sementara persiapan lahan masih berjalan, dipersiapkan pula tempat tempat pembibitan. Masa tanam bibit memerlukan waktu dua bulan, sedangkan untuk pemindahan bibit dari tempat persemaian ke

lahan perkebunan diperlukan waktu selama 40 sampai 50 hari.16

14

Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan

Perjuangan Agraria di Sumatera Timur, 1863-1947 (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 65.

15

Pohon-pohon tersebut dilarang untuk ditebang, sesuai dengan rumusan kontrak yang melarang melakukan penebangan terhadap pohon-pohon yang ditanam oleh masyarakat setempat. Ketentuan tersebut dijelaskan pada contoh kontrak tahun 1887 berupa Keputusan No.1 tanggal 19 Oktober 1887 yang menjelaskan bahwa para pengusaha perkebunan tidak mengusik tanah yang benar-benar sedang digunakan oleh penduduk setempat untuk berladang.

16


(7)

75 Perawatan pada masa tanam diperlukan untuk menghindarkan tambakau dari penyakit pes tumbuhan dan pes binatang. Tembakau yang terserang hama akan menimbulkan daun yang berbintik atau berlubang, sehingga daun tembakau

yang demikian akan diapkir sebagai pembungkus cerutu.17 Oleh sebab itu untuk

menjaga mutu daun tembakau, setiap pekerja diberi tanggungjawab mengolah sebidang tanah yang dikerjakan send iri. Setiap 1 (satu) hektar lahan diperlukan 4

(empat) orang pekerja.18 Mereka bertanggung jawab penuh untuk mengelola

16.000 pohon tanaman.

Pengolahan tanaman dilakukan di bawah pengawasan seorang administrator dengan bantuan 4 (empat) atau 6 (enam) orang asisten. Lahan yang

diolah adalah 400 petak tembakau, setiap petak berukuran 1 bau19 yang akan di

tanami 16.000 batang pohon tembakau.20 Setelah dipanen daun-daun tembakau

tersebut diserahkan kepada pihak perusahaan. Daun-daun tembakau akan dipilah, dihitung dan dinilai oleh asisten kebun. Daun tembakau yang diolah sebagai pembungkus cerutu hanya daun tembakau yang benar-benar berkualitas baik.

b. Proses Produksi & Jumlah Produksi

Daun-daun tembakau yang telah kering diangkut dari bangsal pengeringan ke gudang-gudang peragian. Setiap 5 (lima) atau 6 (enam) lahan perkebunan

17

Ibid. 18

J. De Waard, op.cit., hlm. 217.

19

Bau adalah ukuran luas tanah, 1 bau sama dengan 0,7 hektar. Lihat Karl

J. Pelzer, op.cit., hlm. 66.

20


(8)

76 disediakan 1 (satu) bangsal pengeringan. Suhu dalam gudang peragian diawasi dengan sangat hati- hati, dicatat dengan termometer yang diletakkan pada

tabung-tabung bambu. Suhu harus diturunkan setelah mencapai 600C , dan daun-daun

tembakau yang sudah mengalami peragian akan dipisahkan tempat

penyimpanannya. 21

Tembakau yang sudah diragi kemudian disortir, diklasifikasikan menurut mutunya, dan disimpan pada gudang- gudang khusus dengan menggunakan penerangan. Sekitar 600 sampai 800 pekerja dipersiapkan untuk pekerjaan penyortiran yang memerlukan keterampilan tinggi, karena harus mampu membedakan 21 jenis mutu yang berbeda berdasarkan warna daun, permukaan

daun, dan menurut panjang daun.22 Setelah disortir dan diklasifikasikan,

daun-daun tembakau akan diperiksa secara teliti oleh seorang asisten penerima, kemudian dikemas, dan diangkut ke tempat-tempat pengiriman untuk diekspor ke pasaran dunia di Eropa.

Kemajuan perusahaan perkebunan tembakau di Sumatera Timur menunjukkan angka yang pesat antara tahun 1864-1900. Namun pada akhir dekade 1880 mulai tampak gejala-gejala kelebihan produksi. Hal itu terutama terjadi pada tahun 1890 sewaktu panen tembakau ternyata berjumlah 50.000 bal lebih banyak daripada tahun 1889. Akibat lain dari kelebihan produksi tembakau adalah harga di pasaran internasional anjlok lebih da ri 50% di bawah tingkat harga tahun 1890. Pasaran internasional mengalami kelebihan penawaran

21

Ibid., hlm. 69. 22


(9)

77 tembakau, terutama akibat kenaikan produksi tembakau Deli. Sebagai akibat krisis tembakau tahun 1891, banyak perkebunan tembakau yang ditutup. Antara tahun-tahun 1890 dan 1894 tidak kurang dari 25 perusahaan tembakau yang memiliki sejumlah besar perkebunan, dibubarkan. Pada tahun 1890 jumlah produksi tembakau sebanyak 236.323 bal. Jumlah itu menurun sampai 144,689 bal dalam tahun 1892.

Angka-angka peningkatan produksi tembakau dapat dilihat dalam tabel 5

di bawah ini.23

Tabel 3.5. Jumlah Produksi Tembakau Deli dan Rata-rata Nilai Jual di Sumatera Timur Tahun 1964-1900

Tahun Jumlah Bal

(@’ 158kg)

Rata-rata harga/ 0,5 kg (gulden)

Nilai Jual 1864 1869 1874 1879 1884 1889 1890 1892 1894 1899 1900 50 1.381 12.895 57.596 115.496 184.322 236.323 144.682 193.334 264.100 223.731 0,48 1,29 1,50 1,19 1,44 1,46 0,72 1,26 1,19 0,82 1,11

f 4.000 f 250.000 f. 2.850.000 f. 10.350.000 f. 27.550.000 f. 40.600.000 f. 26.000.000 f. 26.700.000 f. 35.000.000 f. 33.300.000 f. 38.000.000

Sumber: W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust I (Amsterdam:

Oostkust van Sumatra-Instituut, 1919), hlm. 186.

Tahun 1891 merupakan berakhirnya fase pertama dari sejarah ekonomi Pantai Sumatera Timur, suatu tahap produksi tembakau yang pertumbuhannya

terlalu cepat, sehingga digambarkan sebagai pertumbuhan yang abnormal.24

23

W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust I (Amsterdam:

Oostkust van Sumatra-Instituut, 1919), hlm. 186. 24


(10)

78 B. Perekrutan Pekerja

Pembukaan lahan perkebunan secara besar-besaran di Sumatera Timur oleh perusahaan-perusahaan swasta Barat, selain me mbutuhkan penyediaan lahan juga membutuhkan banyak tenaga kerja. Tenaga kerja adalah faktor utama yang mendukung keberhasilan suatu perkebunan yang diperlukan sebagai penggarap tanah, penanam tembakau, pengolah daun tembakau, dan sebagai kuli angkut. Tembakau yang sudah dipanen diangkut ke bangsal-bangsal pengolahan, sesudah selesai diolah, dikemas, dan selanjutnya diangkut ke tempat-tempat pengiriman untuk diekspor ke pasaran dunia.

Kebutuhan tenaga kerja di Sumatera Timur dipenuhi dengan mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah, karena tidak mudah memperoleh tenaga kerja dari desa-desa di sekitar perkebunan. Perkebunan yang berskala besar di Sumatera Timur mendatangkan para pekerja dari etnis Cina, Jawa, dan India

sebagai pekerja kontrak.25 Para pekerja sebelum diberangkatkan ke tempat tujuan

harus menandatangani kontrak untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. Mereka juga

akan menerima uang voorschot (uang muka upah). Voorschot yang diberikan akan

dibayar kembali kepada pengusaha perkebunan dengan cara memotong upah setelah mereka bekerja. Setelah ditandatanganinya kontrak, pihak pengusaha

perkebunan menuntut kepatuhan para pekerja dalam bekerja.26

25

Arsip Brieven Gouvernement Secretaris/BGS, No. 418/A2, Arsip

Nasional Republik Indonesia 26

Arsip Mailrapporten, 7 Februari 1922 No. 843, Arsip Nasional Republik


(11)

79 Kegiatan di perkebunan semakin meningkat, mengakibatkan semakin banyak jumlah pekerja yang didatangkan. Hal ini memicu banyaknya peristiwa yang terjadi di perkebunan. Salah satu masalah yang sangat menonjol adalah keinginan pengusaha perkebunan untuk memperoleh hasil tinggi dari perkebunan. Para pengusaha perkebunan memaksa agar para pekerja bekerja lebih giat dalam mencapai keinginannya tersebut. Situasi seperti ini membuat banyak pekerja melarikan diri ke Semenanjung Malaka dan tidak mau kembali lagi ke

perkebunan.27 Selain itu banyak pekerja yang bekerja dengan bermalas- malasan

setelah diberi panjar uang sewa. Perkelahian antar pekerja juga sering terjadi. Hal-hal seperti itu merupakan masalah yang perlu diatasi oleh para pengusaha perkebunan.

Kebutuhan tenaga kerja di perkebunan Deli pada mulanya dapat dipenuhi dengan tenaga kerja penduduk setempat. Namun penduduk setempat banyak yang kurang tertarik bekerja di perkebunan. Mereka juga kurang terampil dalam penanaman tembakau. Oleh sebab itu pengusaha perkebunan terpaksa mencari tenaga kerja dari daerah lain, yaitu dari Semenanjung Malaka, Jawa, dan India (Keling).

Perekrutan tenaga kerja tersebut sering dilakukan dengan cara penipuan yaitu dengan cara diajak nonton pertunjukan wayang, atau menyebutkan Johor sebagai tempat tujuan namun pada kenyataannya mereka diseberangkan ke Deli secara diam-diam. Pada waktu itu Deli sudah mempunyai reputasi buruk di

27


(12)

80

kalangan pekerja yang berada di Semenanjung Malaka.28 Para agen pencari tenaga

kerja membujuk calon tenaga kerja dengan memberikan janji yang muluk- muluk,

umpamanya dengan memberi janji akan memperoleh gaji yang besar.29 Namun

tidak sedikit yang ditipu dan dibawa paksa seperti sedang berjalan langsung ditangkap, dimasukkan ke dalam kapal. Cara demikian dapat disamakan dengan penculikan karena mereka dibawa begitu saja tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu antara calon tenaga kerja dan agen pencari tenaga kerja.

Pengerahan tenaga kerja ditangani oleh beberapa biro pencari dan penyalur

tenaga kerja. Salah satu Biro Imigrasi tenaga kerja adalah ESAS yang

berkedudukan di Surabaya. Biro ini memasang iklan di surat kabar dan

menawarkan tenaga kerja seperti menawarkan barang dagangan.30 Biro ini juga

menyalurkan tenaga kerja, baik orang Madura, Jawa, Sunda maupun orang Cina untuk dipekerjakan di daerah pertanian, perkebunan, dan pertambangan.

Biro Imigrasi lainnya bernama J. C. de Jongh di Batavia adalah milik seorang makelar bernama Herman A. Lefebre yang juga menawarkan tenaga kerja melalui iklan di surat kabar. Kantor Imigrasi J. C. de Jongh dalam iklannya menyediakan pekerja kontrak perempuan sebanyak 25 orang dan 15 orang

laki-laki.31 Biro Imigrasi J. M. Levie di Medan juga menawarkan tenaga kerja dari

Jawa khususnya dari Bagelen.

28

Ibid., hlm. 30

29

Brieven Gouvernement Secretaris/BGS, op.cit., No. 418/A2

30

Sumatera Pos, 7 Mei 1902 31


(13)

81 Salah satu biro atau agen pencari tenaga kerja lainnya bernama VEDA (Vrije Emigratie Deli Avros). Biro ini menyalurkan tenaga kerja dengan cara berbeda dengan biro-biro lainnya. Cara tersebut sangat diminati oleh para pengusaha perkebunan karena calon tenaga kerja yang di bawa oleh agen penyalur Avros adalah benar-benar pekerja yang sehat. Calon tenaga kerja didaftar oleh agen dan diperiksa kesehatannya oleh dokter perusahaan, setelah itu mereka diberangkatkan ke berbagai perkebunan di Sumatera.

a. Pekerja Cina

Pada awal pembukaan perkebunan (1864), tenaga kerja sangat sulit diperoleh jika dibandingkan dengan tanah yang sangat mudah didapat. Jacobus Nienhuys terpaksa mencari sendiri tenaga kerja dari tempat lain salah satunya tenaga kerja

dari Cina yang berada di Penang.32 Sejak pertengahan abad ke-19 Penang dan

Singapura merupakan tempat pasar pekerja Cina, tidak saja untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Asia Tenggara, melainkan juga untuk memenuhi

kebutuhan tenaga kerja di tempat lain seperti Macao dan California.33 Mereka

mencari pekerjaan ke luar negeri karena kemiskinan di negaranya yang disebabkan oleh konflik politik dan krisis ekonomi yang terus- menerus. Kedatangan mereka juga disebabkan karena tempat asal mereka pada waktu itu

32

Brieven Gouverneur Secretarie/BGS, op.cit., No. 418/A2. Lihat juga

Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories Of Sumatra

(Singapore: Asia Research Institute National University of Singapore, 2005), hlm. 197.

33

Eric R. Walt, Europe and The People Without History (Barkeley:


(14)

82 merupakan daerah yang iklimnya keras, tanahnya kurang subur, dan penduduknya

padat, serta pergolakan-pergolakan sosial yang terjadi di sana.34

Jacobus Nienhuys mulai melakukan hubungan dengan orang-orang Cina

yang telah lama bermukim di Penang yang disebut Lau Keh (sebutan bagi orang

Cina perantauan).35 Melalui orang-orang Cina inilah Jacobus Nienhuys

berhubungan dengan agen tenaga kerja, yaitu melalui kantor Protektorat yang mendatangkan para pekerja dari negeri Cina yang pada umumnya berasal dari daerah sekitar Swataw, Amoy, dan Kanton.

Gambar 3. 5. Para Pekerja Cina di Perkebunan Deli Sumatera Timur, Tahun 1900

Sumber: Koninlijk Instituut voor de Tropen (KIT), No. 005-071, No. Inventaris

F.1, Arsip Nasional Republik Indonesia.

Tenaga kerja Cina yang datang ke perkebunan tetap berada di bawah pimpinan kepala sukunya. Demikian juga dalam melaksanakan pekerjaan,

34

Ong Eng Die, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942 (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1986) hlm. 14. 35


(15)

83 langsung diperintah oleh kepala suku tersebut. Para pengusaha perkebunan hanya berhubungan dengan kepala suku orang-orang Cina. Kedudukan kepala suku

adalah sebagai mandor yang disebut dengan Tandil.36 Tugas Tandil sebagai

pengawas tenaga kerja Cina, bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban untuk seluruh kelompoknya. Selain itu juga menjadi penghubung antara tenaga kerja dan pengusaha, sehingga dapat mencegah timbulnya konfrontasi langsung antara asisten dan tenaga kerja.

Tenaga kerja Cina yang didatangkan ke perkebunan tembakau di Deli Sumatera Timur pada tahun 1884 hanya 40.257 orang, tahun 1885 bertambah 3.839 orang menjadi 44.096 orang. Begitu juga tahun 1886 terjadi peningkatan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah

tenaga kerja bertambah 13.090 orang yaitu menjadi berjumlah 57.186 orang.37

Peningkatan jumlah tenaga kerja yang begitu besar disebabkan pada tahun-tahun tersebut dibuka perkebunan tembakau secara besar-besaran, sehingga dibutuhkan

tenaga kerja yang banyak.38

Pada awalnya kebutuhan tenaga kerja Cina dapat dipenuhi oleh agen pencari tenaga kerja yang ada di Penang dan Singapura. Akan tetapi karena adanya permintaan tenaga kerja yang semakin tinggi dari pihak perkebunan, membuat para agen pencari tena ga kerja saling berlomba untuk memenuhi

36

Mohammad Said, op. cit., hlm. 80

37

R. Broesma, Oostkust van Sumatra I (Batavia: Javasche Boekhandel de

Drukkerij, 1919), hlm. 252. 38


(16)

84 kebutuhan tersebut. Proses pengerahan tenaga kerja dari Cina diurus oleh suatu

Biro Imigrasi (Imigratie Bureau). Biro ini didirikan oleh para pengusaha yang

tergabung dalam perhimpunan pengusaha-pengusaha perkebunan Deli (Deli

Planters Vereniging atau DPV). Melalui biro inilah para pengusaha perkebunan menyelesaikan masalah- masalah yang dihadapi dalam mengelola perkebunan. Tenaga kerja yang didatangkan dari Cina harus melalui Biro Imigrasi Protektorat Cina di Singapura. Biro ini pula yang mengurus penampungan mereka sampai tenaga kerja tersebut dikirim ke perkebunan-perkebunan tembakau di Deli.

Tabel 3. 6. Kedatangan dan Keberangkatan Kuli Cina di Sumatera Timur, Tahun 1888-1900 (lewat Kantor Imigrasi)

Tahun Kedatangan Jumlah Berangkat

Cina Straits

Settlements 1888 1889 1890 1891 1892 1893 1894 1895 1895 1897 1898 1899 1900 Jumlah 1.152 5.176 6.666 5.351 2.160 5.152 5.607 8.163 666 4.435 5.105 7.561 6.922 70.111 2.820 3.494 2.462 1.511 109 730 857 2.142 559 1.384 1.424 331 4 17.827 3.972 8.670 9.128 6.862 2.269 5.882 6.464 10.305 7.220 5.819 6.529 7.892 6.926 87.938 586 1.562 1.476 1.127 693 964 1.350 2.140 2.043 1.910 1.635 1.948 1.835 19.269

Sumber: H.J Bool, De Chineesche Immigratie naar Deli (Utrecht: Bosch, 1903),


(17)

85 b. Pekerja Jawa

Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, pengusaha-pengusaha perkebunan semakin giat mencari tenaga kerja. Selain mendatangkan tenaga kerja langsung dari Cina melalui Biro Imigrasi, mereka juga mendatangkan tenaga kerja dari

Jawa.39 Pekerja dari Jawa sudah dikenal sebagai pekerja yang memiliki

keterampilan dalam bidang pertanian, sehingga mereka dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaan di perkebunan. Alasan mengapa pada awalnya lebih banyak pekerja Cina yang didatangkan dan bukan dari Jawa, karena bangsa Cina sudah sangat terkenal sebagai pekerja keras yang efisien dan hidup hemat. Selain itu hubungan kapal ke luar negeri langsung atau melalui Singapura

lebih lancar daripada ke Jawa.40 Pungutan pajak atas impor tenaga kerja asing

menghentikan pengiriman tenaga dari Cina.

Para pengusaha perkebunan mulai berpaling untuk mendatangkan tenaga kerja dari Jawa dengan menyebarkan agen pencari kerja ke seluruh Pulau Jawa.

Agen pencari kerja dikenal dengan sebutan werver (werek). Calon tenaga kerja

Jawa dibujuk dengan segala janji sehingga mereka bersedia menandatangani formulir kerja. Formulir tersebut disebar di setiap tempat agar setiap orang mudah memperoleh serta mempelajari isinya. Formulir kerja tersebut berisi hak dan

kewajiban antara buruh dan majikan.41 Para agen pencari tenaga kerja selain

39

Ibid. Lihat juga W. F. Wertheim, Indonesian Society in Trantition (De Hague: Uitgeverij W. van Hoeve, 1956), hlm. 72.

40Mailrapporten, op.cit., No. 843.

41


(18)

86 menyebarkan formulir, juga dilakukan dengan keliling desa dalam mencari calon

tenaga kerja.42 Mereka membujuk calon tenaga kerja dengan menyebut Deli

sebagai tanah baru yang menyimpan banyak emas. Agen pencari kerja mengiming- imingi bahwa di Deli banyak emas, banyak perempuan cantik, dan boleh berjudi. Setiap orang yang pergi ke Deli, setelah beberapa tahun pulang

kembali ke daerahnya sudah menjadi kaya.43

Berdasarkan laporan J. Tideman bahwa calon tenaga kerja yang tertipu bukan hanya orang-orang bodoh yang tidak berpendidikan, melainkan juga pemuda-pemuda lulusan H.I.S. yang lancar berbahasa Belanda. Seorang juru tulis yang merupakan putera seorang asisten wedana di Jawa juga tertipu dan diculik oleh agen pencari kerja. Mereka dijanjikan akan mendapat gaji besar sebagai juru tulis di Deli. 44

Tabel 3. 7. Jumlah kuli Cina dan Jawa di Sumatra Timur Tahun 1883-1930

Tahun Cina Jawa Jumlah

1883 21.136 1.711 22.874

1893 41.700 18.000 59.700

1898 50.846 22.256 73.102

1906 53.105 33.802 86.907

1913 53.617 118.517 172.134

1920 27.715 209.459 237.174

1930 26.037 234.554 260.591

Sumber: Thee Kian Wie, Plantation Agricultural and Export Growth an

economic history qf East Sumatra, 1863-1942 (Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1977), hlm. 39.

42

Madelon. H. Szekely-Lulofs, Koeli (Holland: Bureau B.V, 1931). hlm. 8.

43

Ibid., hlm. 9.


(19)

87

Pada tahun 1875 Deli Maatschappij sudah mendatangkan pekerja Jawa

dari Bagelen. Percobaan tersebut tidak meningkatkan pasokan tenaga kerja dari Jawa. Para pengusaha perkebunan semula kurang menaruh perhatian terhadap Jawa sebagai pemasok tenaga kerja. Pemerintah kolonial pun tidak mendorong para pekerja untuk berangkat ke Sumatera Timur karena teralu rendahnya upah yang berlaku di sana. Pada tahun 1887 Gubernur Jenderal mengeluarkan surat edaran kepada semua Residen di Jawa agar melarang menyetujui kontrak untuk Deli, selama upah bulanan pekerja belum dinaikan.

Akan tetapi adanya penyempitan lahan pertanian di Jawa akibat penguasaan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan gula maka tenaga kerja dari Jawa datangkan ke perkebunan Sumatera Timur. Berkurangnya jumlah pekerja kontrak Cina dalam perkebunan sangat menguntungkan pengusaha perkebunan karena pekerja Jawa yang menggantikannya mau dibayar dengan upah murah.

Waktu kerja mereka dapat diperpanjang karena mereka terlibat hutang.45

Penghapusan pajak bumi pada tahun 1870, diganti dengan pajak kepala yang dikenakan kepada seluruh penduduk Jawa tanpa kecuali sangat memberatkan penduduk Jawa, sehingga mereka bersedia bekerja di perkebunan agar dapat

melepaskan diri dari pajak.46

45Bambang Purwanto. ”Menelusuri Akar Ketimpangan dan Kesempatan

Baru: Catatan Tentang Sejarah Perkebunan Indonesia” dalam website (http://sejarah.fib. ugm.ac.id /artdetail. Phpid, hlm.12), diunduh 31/8/2010 7:38 PM. 2007

46

A.M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX , Kerja Wajib di

Karesidenan Kedu, 1800-1890 (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000),


(20)

88 Semakin padatnya penduduk di Jawa menyebabkan terjadinya kemiskinan sehingga mendorong pemerintah kolonial untuk bersikap lebih toleran terhadap pengiriman tenaga kerja ke Sumatera Timur. Terjadinya krisis tembakau tahun 1891 menyebabkna banyak lahan- lahan kosong bekas perkebunan tembakau dapat

didiami oleh pendatang dari Jawa sebagai transmigran.47

Hasil penelitian menyebutkan bahwa 48% dari pekerja yang

diberangkatkan ke Sumatera Timur pada tahun 1928 berasal dari daerah Banyumas Barat, Bagelen (Purworejo, Kutoarjo, dan Kebumen), Jawa Timur

(Ponorogo, Tulungagung, Blitar, Kediri, Nganjuk, Jombang, dan Malang).48

Mereka juga berasal dari kabupaten-kabupaten di Pulau Jawa yang kepadatan penduduknya di atas 500 orang/km2, seperti Tegal, Karanganyar, Banyumas,

Purbolinggo, Purworejo, Kebumen, dan beberapa daerah di Vorstenlanden.49

c. Pekerja Pere mpuan

Ketika sektor pertanian tidak mampu lagi menampung tenaga kerja perempuan, mereka mempunyai andil yang cukup besar dalam penyediaan tenaga kerja. Mengalirnya tenaga kerja perempuan menjadi fenomena yang menarik di wilayah perkebunan. Mereka sengaja didatangkan untuk memikat para pekerja laki- laki

47

Koloniaal Verslag 1891, hlm 19-21. 48

A.M.P.A. Scheltema,“Eenige Gegeven Betreffende den Economische

toestand in de Regentschapen, van waar in 1928 de meeste contracten koelies

vertrokken: koloniale studien, dertiende jarig” (Weltevreden: G. Holff &

Co,1929), hlm. 411. 49

Berdasarkan data dari Kantor Perburuhan (Kantor van Arbeid) dan

Kantor Ketenagakerjaan (Wervinge Controleurs) Tahun 1928, dalam Indische


(21)

89

agar betah atau tetap tinggal di perkebunan setelah masa kontrak selesai.50

Beberapa faktor yang menjadi pendorong masuknya tenaga kerja perempuan ke dalam wilayah perkebunan, yaitu adanya komersialisasi tanah, introduksi ekonomi

uang, dan tingginya tingkat pengangguran.51

Membanjirnya para pekerja Jawa ke Sumatera Timur yang berlangsung terus selama beberapa tahun (lihat tabel 8), merupakan akibat dari adanya penurunan kesejahteraan penduduk pribumi. Perkembangan perkebunan terutama di Deli dan meningkatnya tanaman industri tembakau, merupakan daya tarik bagi mereka untuk datang ke Deli. Langkanya tenaga kerja menyebabkan para agen pencari kerja giat memasang iklan- iklan di surat kabar. Selain tenaga kerja laki-laki yang kuat, dicari juga perempuan muda yang sehat. Para calon tenaga kerja baik laki- laki atau perempuan berbondong-bondong untuk mendaftar sebagai calon tenaga kerja. Seperti terlihat dalam iklan surat kabar, bahwa kantor J. C. de Jongh yang berkedudukan di Batavia menyediakan pekerja kontrak bebas

sebanyak 25 orang perempuan dan 15 orang laki- laki. 52 Kantor imigrasi M. Levie

di Medan juga menawarkan pekerja dari Jawa baik laki- laki maupun perempuan. Kedua iklan tersebut menawarkan tenaga kerja perempuan, karena kurangnya tenaga kerja perempuan di Deli menyebabkan mereka banyak dicari untuk bekerja di perkebunan.

50Mubiyarto, op.cit., hlm. 110

51Ibid.

52


(22)

90 Para pencari pekerja perempuan, selain menyebarkan formulir dalam mencari calon tenaga kerja juga dilakukan dengan keliling desa. Mereka

membujuk calon pekerja perempuan dengan cara akan menikahinya.53 Namun

kenyataannya mereka di jual kepada agen pencari kerja. Para pekerja wanita yang

berangkat ke Deli tanpa membawa uang voorschot sehingga penderitaan mereka

dimulai pada saat mereka diberangkatkan. Mereka diangkut ke Sumatera seperti layaknya hewan ternak, ditumpuk seperti daun enau dalam sebuah kapal barang

yang muatannya melebihi kapasitas.54 Kepergian mereka tanpa pamit kepada

keluarganya karena dibohongi, sehingga banyak keluarga yang kehilangan anak-anaknya, isteri atau suaminya. Seorang pekerja perempuan menjadi gila karena

meninggalkan anak-anaknya di Jawa.55

Pada awal pembukaan perkebunan, kaum perempuan sama sekali tidak dianggap sebagai tenaga kerja. Para pengusaha perkebunan tidak tertarik untuk mendatangkan pekerja perempuan dan belum waktunya untuk didatangkan. Pekerjaan pada waktu itu adalah membuka hutan secara besar-besaran yang menuntut persyaratan khusus dalam hal kekuatan dan ketahanan fisik. Seiring dengan kegiatan perawatan tanaman dan produksi perkebunan yang bertambah, seperti mencari ulat tembakau, menggaru tanah, menyortir, memilah,

53Szekely- Lulofs, op.cit.,hlm. 19.

54

Kapal tersebut seharusnya untuk kapasitas 40 orang, namun diisi oleh

102 orang pekerja. Lihat Jan Breman, op.cit., hlm. 125.

55

Arsip Telegram Zeer Geheim/Tzg Agenda Mei 1921, ANRI. Lihat juga


(23)

91 menggantungkan dan mengikat daun-daun tembakau maka mulai dibutuhkan tenaga kerja perempuan.

Sejumlah kecil perempuan yang berada di perkebunan adalah istri Tandil

atau istri dari pekerja-pekerja Cina yang sudah menetap lama (laukheh). Para

perempuan Cina yang datang ke perkebunan selain untuk menemani para suami

juga untuk berdagang atau meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi.56

Perempuan Cina pada dasarnya kurang cocok untuk bekerja di perkebunan, mereka lebih memperlihatkan naluri dagang daripada menjadi buruh.

Perempuan Eropa juga sangat minim keberadaannya di perkebunan Sumatera Timur. Tahun 1884 jumlah orang Eropa di perkebunan sebanyak 688 orang, terdiri dari laki- laki 540 orang dan jumlah perempuan 148 orang berarti

hampir empat berbanding satu.57 Pada tahun 1900 jumlah perempuan Eropa

meningkat menjadi 540 orang yaitu dari 2.079 orang Eropa, terdiri dari laki- laki

1.578 orang.58

Demikian juga di kalangan pekerja, kaum perempuan merupakan minoritas. Sekitar tahun 1875 para pekerja perempuan didatangkan dari Pulau

Jawa bersamaan dengan kedatangan para pekerja laki- laki.59 Pada awal

kedatangannya jumlah pekerja perempuan hanya sebagian kecil dibandingkan

56

Broersma, I, op.cit., hlm.136-137

57

W.H.M Schadee I, op.cit., hlm. 41.

58

Sumatera Pos, 5 Mei 1913. 59


(24)

92 dengan jumlah pekerja laki- laki yaitu 4:1, atau hanya 8%. Namun kedatangan

mereka bertambah banyak pada awal abad ke-20 yaitu hampir 30%.60

Pada awal tahun 1900 dari seluruh pekerja di perkebunan Deli

Maatschappij yang berjumlah 62.000 orang, pekerja perempuan hanya berjumlah 5.000 orang dan semuanya orang Jawa. Pada dasawarsa berikutnya jumlah mereka

meningkat dari 5% menjadi 20% dari seluruh pekerja kontrak.61 Peningkatan

jumlah pekerja perempuan disebabkan karena adanya anjuran pemerintah kolonial yang mendorong untuk mendatangakan pekerja perempuan. Pemerintah kolonial mengijinkan para pengusaha perkebunan untuk mengerahkan pekerja perempuan sebagai tenaga kerja.

Semakin padatnya penduduk di Jawa mendorong pemerintah kolonial melakukan transmigrasi yang dianggap sebagi jalan ke luar untuk mengatasi permasalahan tersebut. Lahan-lahan kosong bekas perkebunan tembakau yang ditinggalkan pemiliknya pada saat terjadi krisis tahun 1890 dapat digunakan untuk

membuka persawahan bagi para transmigran.62 Adanya perubahan sistem

pengawasan kerja yang semula para pekerja yang datang ke perkebunan adalah perorangan sehingga dilarang membawa anak dan isteri. Akan tetapi pada tahun 1891 terjadi perubahan yaitu pekerja kontrak dari Jawa yang didatangkan ke

60

Schadee I, op.cit., hlm. 41.

61H.J. Langeveld, “Arbeidstoestanden op de Ondernemingen ter Oostkust van Sumatra Tussen 1920 en 1940 in het Licht van het Verdwijnen van de

Poenale Sanctie op de Arbeidscontracten” (Economisch en Sociaal-Historisch Jaarboek, 1978), hlm. 363.

62


(25)

93 Sumatera Timur diperbolehkan membawa keluarga dengan tujuan mereka akan

dipekerjakan di perkebunan-perkebunan sebagai tenaga kerja cadangan.63

Para pekerja perempuan yang didatangkan dari Jawa di antaranya terdapat

beberapa anak gadis yang berusia antara 10-14 tahun.64 Seperti terlihat pada

gambar 5 di bawah ini, para pekerja perempuan sebagian besar berusia antara 10-14 tahun.

Gambar 3. 6. Para Pekerja Kontrak Jawa di Perkebuan Deli Sekitar Tahun 1891.

Sumber: Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) No. 241-16, No. Inventaris

F.3, Arsip Nasional Republik Indonesia.

63

Notulen Sidang Staten Generaal, Handelingan Tweede Kamer

1898-1899, hlm 168. 64

J.A.I. Tshudnowsky adalah seorang dokter Rusia yang bekerja di perkebunan milik Mij Arenburg, Deli Sumatera Timur. Dalam konperensi di Paris, ia memaparkan keadaan kesehatan di Perkebunan Deli Sumatera Timur,

dalam artikel berjudul Contribution a la Geographie Medicale de L’archipel


(26)

94 Usia mereka yang relatif muda dinyatakan oleh seorang dokter yang memeriksa kesehatan mereka pada tahun 1896. Dokter tersebut menyadari bahwa telah terjadi hal yang memalukan, yaitu telah terjadi perdagangan anak-anak. Kedatangan mereka bersamaan dengan pekerja laki- laki yang didatangkan dari Jawa. Di antara jumlah ribuan tenaga kerja laki- laki hanya sekitar 15 orang tenaga

kerja perempuan yang didatangkan ke perkebunan.65 Mereka datang dengan

menggunakan kapal dagang yang kebetulan singgah di Deli.

Masuknya tenaga kerja perempuan ke dalam proses kerja dibatasi oleh persyaratan yang tertera dalam ordonansi kuli. Mereka hanya boleh mengerjakan pekerjaan ringan, seperti memilah dan mengikat daun tembakau di dalam lumbung, menyiangi pesemaian di ladang, menyapu jalan, dan pekerjaan lain yang memerlukan kesabaran tetapi tidak menguras tenaga.

Mereka menyadari bahwa upah kerja yang diterima sangat kurang untuk keperluan hidup yang paling dasar sekalipun. Apabila tidak ada pekerjaan, pengusaha perkebunan tidak bersedia membayarkan upah apapun. Tenaga kerja perempuan diposisikan sebagai tenaga kerja paling murah untuk perkebunan. Seperti terlihat pada gambar3. 7 di bawah ini, tampak pekerja perempuan sedang menyortir tembakau.


(27)

95 Gambar 3. 7. Para Pekerja Perempuan Sedang Menyortir Tembakau, Tanpa Tahun

Sumber: Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) No. 0290-046, No. Inventaris

F.3, Arsip Nasional Republik Indonesia

Sebagai ikatan kerja, mereka diberi uang muka melalui agen tenaga kerja. Tenaga kerja perempuan yang menjadi sasaran agen pencari kerja adalah perempuan yang masih gadis, atau perempuan muda yang ditinggal pergi oleh

suaminya untuk mencari kerja.66 Tujuannya supaya mereka dapat bekerja secara

terus- menerus dan tidak terpengaruh reproduksi.

Berbagai bentuk kesewenangan dan penyelewengan seringkali menyertai keberadaan pekerja di perkebunan-perkebunan khususnya terhadap pekerja perempuan. Para pekerja sebagai lapisan terbawah dalam hirarki perkebunan seakan menjadi kelompok yang paling mudah diperdaya. Meskipun berbagai bentuk derita diterima, para pekerja perkebunan terpaksa bertahan karena kebutuhan hidup dan kemiskinan yang menimpa di daerah tempat asal mereka.

66


(28)

96 C. Sistem Pekerja Kontrak

Penggunaan pekerja kontrak sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur mulai dilakukan sejak maraknya perkebunan tembakau tahun 1863. Pada masa awal perkembangannya, perkebunan tembakau kesulitan mencari tenaga kerja karena

penduduk setempat tidak bersedia sebagai pekerja.67 Mapannya industri

tembakau, karet, dan kelapa sawit menjadi daya tarik migrasi pekerja dari luar Sumatera Timur. Bertambahnya areal perkebunan yang dibuka, ditanami, dan akhirnya berproduksi secara teratur menyebabkan permintaan akan tenaga kerjapun bertambah sesuai dengan perkembangan tersebut.

Sistem pekerja kontrak menjadi sistem yang relatif populer di kalangan

pengusaha (planters). Sebagian besar pekerja perkebunan di Sumatera Timur

merupakan pekerja kontrak, dan selebihnya adalah pekerja bebas. Pekerja yang terikat kontrak biasanya berasal dari C ina, Jawa, dan India (Keling). Sementara itu pekerja lepas berasal dari penduduk setempat, seperti suku Batak dan Melayu.

Sistem kontrak mengatur bahwa pihak penguasa atau majikan mengurus dan menanggung semua biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan para pekerja dari tempat asalnya ke tempat mereka dipekerjakan. Adapun para pekerja harus menandatangani kontrak untuk bekerja beberapa tahun. Lamanya kontrak

67Kebijaksanaan liberalisasi sistem penyediaan tenaga kerja yang

diterapkan pemerintah Kolonial Belanda melonggarkan kegiatan Deli Planters

Vereeniging (DPV) hingga ke luar Sumatera Timur. Tenaga kerja dipasok dari luar daerah terutama dari Madura, Jawa Tengah, hingga Cina. Kedatangan para pekerja dari Jawa ke perkebunan Deli sangat erat kaitannya dengan kondisi penyempitan lahan pertanian Jawa akibat penguasaan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan gula dan berkurangnya peranan kuli kontrak Cina dalam perkebunan. Pekerja Jawa menguntungkan karena dibayar dengan upah murah, bertambahnya waktu kerja berkaitan hutang dan jaringan perjudian. Lihat Bambang Purwanto, op.cit.,hlm. 12.


(29)

97 biasanya hanya tiga 3 (tiga) tahun sesuai dengan perjanjian yang ditentukan,

dengan upah yang telah ditentukan pula.68 Para pekerja yang bekerja berdasarkan

kontrak dilengkapi dengan peraturan yang disebut Koeli Ordonnantie yang

dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda pada bulan Juli tahun 1880. Para pekerja

yang terikat dengan peraturan tersebut dinamakan contract koeli atau koeli

kontrak.

Setelah habis masa kontraknya sebagian besar pekerja kembali ke daerah

asalnya.69 Beberapa di antara para pekerja ada yang selamat tanpa menghabiskan

uang simpanannya di pesta pasar malam. Salah satunya adalah mereka yang tergabung dalam kelompok masyarakat Pasundan. Mereka kemudian mengirim

pengaduan kepada Algemeene Secretarie akan adanya poenale sanctie yang

dilakukan oleh para pengusaha perkebunan.70 Banyak para pekerja yang

melarikan diri karena tidak tahan menderita akibat poenale sanctie. Sebagian

lainnya menetap di beberapa daerah di Sumatera karena mereka tidak punya

ongkos kembali pulang ke daerah asalnya.71

68

Hla Myint, The Economi of the Developing Countries (New york: F. A

Prager, 1965), hlm. 62. 69

Mailrapporten, op.cit., No. 843. 70

Ibid. 71


(30)

98 Pada permulaan pendirian perkebunan terdapat sekitar 10-20% pekerja lepas, namun pada tahun-tahun berikutnya turun menjadi 4-5 %, sebagaimana

terlihat dalam tabel 3. 8 di bawah ini.72

Tabel 3. 8. Jumlah Pekerja Kontrak dan Pekerja Lepas di Perkebunan Sumatera Timur Tahun 1873, 1881-1902

Tahun Kuli Kontrak Kuli Bebas Jumlah

1873 1881 1882 1883 1884 1885 1886 1887 1888 1889 1890 1891 1892 1893 1894 1895 1896 1897 1898 1899 1900 1901 1902 1.525 23.080 24.003 25.772 29.704 35.600 39.330 43.119 58.675 64.396 74.722 74.375 53.109 54.882 59.049 67.201 69.421 72.949 77.893 87.000 93.987 89.306 94.337 358 2.877 5.332 5.732 6.230 7.900 7.619 6.675 9.813 8.001 6.230 7.958 6.109 6.825 8.312 7.872 6.489 5.896 6.418 7.000 4.758 3.876 4.303 1.883 25.957 29.335 31.454 35.934 43.500 46.949 49.794 68.488 72.397 80.952 83.933 59.218 61.707 67.361 75.073 75.910 78.845 84.311 94.000 98.745 93.182 98.640

Sumber : Koloniaal Verslag Tahun 1881-1902

Tindakan yang dilakukan untuk menahan mereka di Deli dilaksanakan melalui kebijakan perekrutan berdasarkan jenis kelamin, pembagian upah, dan

alokasi pekerjaan.73 Perekrutan tenaga kerja ini dilakukan dengan landasan hukum

72Jan Breman, op. cit., hlm. 139.

73


(31)

99 seperti kontrak kerja, organisasi kerja, jaringan kerja serta hak dan kewajiban

tenaga kerja, semua peraturan tersebut dituangkan dalam Ordonnantie Koeli.74

Para pekerja kontrak yang kembali ke Jawa sebagian mendaftar kembali menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar pada agen tenaga kerja. Selanjutnya mereka akan diberangkatkan kembali sebagai kuli kontrak ke perusahaan

perkebunan lainnya. Mereka diharapkan tidak akan melarikan diri sebelum

kontrak kerjanya berakhir.

D. Kehidupan Ekonomi Para Pekerja

Pemukiman yang tercipta di areal perkebunan merupakan suatu kompleks yang terdiri atas unsur- unsur sosial ekonomis yang berbeda. Perbedaan kehidupan sosial ekonomi di perkebunan terjadi antara administrator, kelompok staf dan non staf perkebunan dengan masyarakat sekeliling perkebunan. Unsur Eropa selalu mendominasi kedudukan di lapisan atas berdasarkan peranannya sebagai pemilik modal. Tenaga kerja yang didatangkan dari luar daerah diperlakukan sebagai lapisan terbawah untuk dieksploitasi tenaganya. Kondisi dalam perkebunan memperlihatkan dengan jelas ketimpangan kesejahteraan antara lapisan atas dan lapisan bawah.

Hirarki terdapat dalam semua hubungan sosial di perkebunan,75 selain

struktur sosial dan struktur kekuasaan. Keadaan sosial ekonomi para pekerja

74

Jan Breman, op. cit., hlm. 42

75Elsbeth Locher-Scholten, “The Nyai in Colonial Deli: A Case of

Supposed Mediation” dalam Sita van Bemmelen, dkk.(ed.), Women and Mediation in Indonesia (Leiden: KITLV Press, 1992), hlm. 269.


(32)

100 dipengaruhi oleh hirarki yang ada di perkebunan, demikian pula upah yang di

terima oleh masyarakat perkebunan juga dibayar sesuai dengan hirarkinya.

Kondisi sosial ekonomi para pekerja yang hidupnya bergantung kepada perkebunan tergolong sangat rendah. Pekerja mendapat perlakuan sewenang-wenang dari mandor atau asisten. Masalah perbaikan nasib demikian menjadi alat bagi para pekerja yang tidak puas untuk mengajukan tuntutan kepada pihak majikan agar diadakan perubahan.

1. Sistem Upah

Pada awalnya sistem upah di perkebunan dilakukan dengan sistem borongan, terutama untuk para pekerja ladang. Pekerja ladang bertugas sebagai penanam tembakau. Jumlah dan mutu produksi tembakau tergantung kepada pekerjaan mereka. Seluruh proses budi daya tembakau dilakukan oleh pekerja Cina, mulai dari merawat, memanen sampai mengolah daun tembakau yang sudah dipetik (mengeringkan, meragi, dan menyortir). Semua pekerjaan itu dibayar dengan

sistem borongan.76 Mereka sering bekerja sampai larut malam, melebihi sepuluh

jam, jumlah yang ditetapkan dalam kontrak. Sistem kerja kontrak ditambah dengan pengawasan yang keras menjadi ciri disiplin kerja di perkebunan tembakau pada masa awal perintisan perkebunan.

76Upah borongan yaitu upah yang dibayar berdasarkan hasil kerja. Para

pekerja dibayar bukan atas setiap pohon tembakau yang ditanam melainkan atas setiap pohon yang dipanen. Cuaca buruk, tanah yang kurang subur, dan berbagai keadaan lainnya dapat menagkibatkan naik turunnya penghasilan para pekerja.

Lihat H.J. Bool, De arbeidswetgeving in de residentie Oostkust van Sumatra


(33)

101 Para pekerja borongan menerima upah pada hari-hari tertentu, biasanya tanggal 1, 15 atau 16 setiap bulan. Upah tersebut akan dipotong dari upah borongan selama setahun. Mereka menerima tunjangan hidup sehari- hari sebesar 2 sampai 2,5 dollar sebulan dan harus cukup untuk biaya hidup sebulan. Pada akhir tahun kerja, berlangsung penghitungan pada waktu gajian besar, dan pada saat itulah pekerja ladang akan diberitahu jumlah bayaran mereka yang masih

tersisa pada musim sebelumnya.77

Pekerja ladang dalam melakukan pekerjaannya dibantu oleh seorang pekerja pembantu yang dianggap belum berpengalaman. Secara hirarki dalam

perkebunan status pekerja pembantu berada di tempat paling bawah.78 Upah yang

diberikan kepada pekerja pembantu diambil dari upah borongan pekerja ladang selama setahun. Hal inilah yang sering menyebabkan terjadinya perdebatan di antara mereka. Apabila sudah cukup berpengalaman pekerja pembantu akan diserahi sejumlah ladang untuk ditanami samp ai dipetik hasilnya.

Upah pekerja Cina yang berhasil menanam sampai 16.000 batang pohon tembakau adalah 112 dollar pertahun. Pendapatan tersebut dipotong 3 dollar untuk pakaian dan sepatu, 5 dollar untuk perkakas kerja, 8 dollar untuk pekerja pembantunya, dan 60 dollar pertahun untuk panjar, sehingga mereka menerima

upah bersih sebesar 34 dollar pertahun.79

77

Jan Breman, op.cit., hlm. 112.

78

Ibid., hlm. 112.

79


(34)

102

Upah tandil yang berfungsi sebagai koordinator dan mengurus kebutuhan

sehari- hari para pekerja Cina adalah 319 dollar pertahun. Pemberian upah tenaga kerja ternyata tidak ada yang sama. Seorang pekerja lapangan akan mendapat upah sebesar 135 dollar, seorang pekerja yang bertugas di bangsal-bangsal hanya mendapat 72 dollar pertahun, seorang Keling mendapat 96 dollar pertahun, pekerja Benggali mendapat 115 dollar pertahun. Upah mandor besar orang Jawa sebesar 258 dollar pertahun, mandor biasa mendapat 135 dollar, dan pekerja biasa

hanya mendapat 85 dollar.80

Kondisi dalam perkebunan memperlihatkan dengan jelas ketimpangan

kesejahteraan antara tandil, mandor, dan pekerja. Penerimaan upah yang rendah

menyebabkan keadaan sosial ekonomi para pekerja sangat terpuruk. Kehidupan mereka jauh lebih miskin dibandingkan ketika mereka masih berada di daerah asalnya.

Kehidupan pekerja kontrak memang tidak dapat lepas dari kondisi mereka

yang “dijerat” dengan hutang, perjudian, pencanduan dan pelacuran. Uang panjar yang mereka terima pada saat penandatangan kontrak sebelum mereka

diberangkatkan ketempat tujuan biasanya sudah habis, sehingga para pekerja akan

terus- menerus memperpanjang kontrak.81

Para pekerja perkebunan memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya

dengan berhutang di kedai-kedai yang di persiapkan oleh para Tandil.

Kedai-kedai tersebut menjual kebutuhan sehari-hari dan menyediakan barang-barang

80

Ibid.

81


(35)

103 yang dapat diambil dengan cara berhutang. Para pekerja laki- laki sering bermain judi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya atau membiarkan isteri- isteri mereka melacurkan diri baik kepada sesama pekerja Cina atau kepada administrator

Eropa.82 Selain itu di lingkungan pekerja Cina juga terdapat orang-orang

yangmeminjamkan uang dengan bunga cukup tinggi. Kondisi demikian sengaja diciptakan oleh para pengusaha perkebunan, karena para pekerja yang terjerat hutang akan lebih mudah diikat kontrak baru sesudah selesai masa kontrak nya selama 3 (tiga) tahun.

Penipuan bahkan memainkan peran utama dalam pembayaran upah

pekerja kontrak di perkebunan,83 seperti manipulasi yang dilakukan terhadap

satuan nilai uang transaksi yang dihitung dalam ringgit. Nilai ringgit di Jawa

setara dengan rijksdaalder yaitu 2,5 gulden. Pengusaha perkebunan di Deli

menggunakan dollar Meksiko yang pada waktu itu bernilai 1,15 gulden. Hal ini berarti untuk upah 5 ringgit per bulan para pekerja hanya menerima 5,75 gulden. Seharusnya para pekerja kontrak Jawa me nerima sebesar 12,5 gulden per bulan seperti yang diharapkan. Ketentuan yang berlaku di Deli tentu saja tidak diumumkan pada saat penandatanganan kontrak.

Para pekerja juga tidak selalu menerima upah dalam bentuk uang, kadang-kadang tanpa sepengetahuan mereka, seluruh atau sebagian upah dialihkan dalam

82

M.H. Szekely- Lulofs, Trofic Fever: The Adventure of a Planter in

Sumatera (New York: Harpe, 1937 ), hlm. 101-111. 83


(36)

104

bentuk estate-bons (kupon perkebunan).84 Para pengusaha akan menggunting

kaleng bekas biskuit menjadi kepingan bulat pipih, dan menulis angka-angka di atasnya seperti uang logam. Kepingan-kepingan tersebut kemudian dibayarkan

kepada para pekerja sebagai pembayaran upah yang dapat ditukarkan di Malaka.85

Hal ini tentu saja merugikan para pekerja karena uang logam tersebut bukan alat pembayaran yang sah, tetapi hanya dapat ditukarkan dan dibelanjakan di keda i-kedai perkebunan. Para pekerja dipaksa hanya dapat membelanjakan upahnya di kedai perkebunan. Keuntungan akan mengalir kepada npengusaha perkebunan, mengingat barang-barang yang diperjualbelikan di dalam perkebunan lebih mahal

dibandingkan di luar perkebunan.86

Tidak jauh berbeda dengan pekerja laki- laki, pekerja perempuan juga menerima upah yang sangat rendah, bahkan lebih rendah yaitu hanya seperdua dari upah pekerja laki- laki. Apabila pekerja laki- laki menerima upah 6 dollar per bulan, maka pekerja perempuan hanya menerima 3 dollar. Mereka hanya menerima 2,20 dollar per bulan untuk semua kebutuhan hidupnya, setelah

dipotong uang panjar 0,50 dollar, dan harga cangkul 0,30.87 Mereka juga sangat

rentan terhadap pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh pengusaha

84

Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (Jakarta:

Komunitas Bamboe, 2010), hlm.134. 85

Broersma I, op.cit, hlm. 147.

86

Muhammad Said, op. cit., hlm. 80. Lihat juga Ann Laura Stoler, op.cit.,

hlm. 54. 87

Hoe verdient eene Javaansche Vrouw Haar Sarong? De Javaansche vrouw niets kan wegleggen om kleeding te koopen. Lihat van den Brand, op. cit., hlm. 66.


(37)

105 perkebunan, para pengawas bahkan para suami mereka sendiri. Oleh karena itu seorang wanita terpaksa melacurkan diri hanya untuk membeli selembar pakaian

atau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.88

2. Pemukiman

Selain perbedaan upah yang mencolok, terdapat juga perbedaan tempat tinggal untuk pekerja Jawa dan pekerja Cina yang ditempatkan dalam barak yang terpisah. Barak yang satu dan barak yang lain dibangun saling berjauhan, namun tetap berada di sekitar perkebunan. Hal ini sengaja dibangun agar para pekerja dapat segera sampai ketempat kerja masing- masing. Pemisahan barak pekerja Jawa dan Cina menunjukakan bahwa pekerja Jawa dan pekerja Cina di perkebunan tidak diperbolehkan untuk berbaur. Pemisahan tersebut bertujuan untuk mempermudah pengontrolan apabila ada kerusuhan, agar cepat dapat diketahui dan ditindak. Adanya pemisahan tempat tinggal, muncul nama- nama perkampungan seperti kampung Jawa, Melayu, Bantam, Batak, dan Cina sesuai

dengan nama suku bangsa yang terdapat di daerah tersebut.89

Pihak perkebunan menyediakan fasilitas tempat tinggal bagi pekerja Cina maupun Jawa. Tempat tinggal berbentuk bangsal panjang yang dibangun tanpa sekat dan dihuni oleh ratusan pekerja. Bangunan yang disebut barak tersebut berdiri berjajar atau berupa bujursangkar mengelilingi lapangan. Dindingnya

88

Ibid

89

Telegram Zeer Geheim/Tzg. Agenda Mei 1921, Arsip Nasional Republik Indonesia.


(38)

106 terbuat dari bambu dengan atapnya ilalang atau daun rumbia. Sebuah lapangan yang berada ditengah-tengah digunakan untuk membangun dapur umum. Barak- barak selain digunakan sebagai tempat menyimpan dan memproses daun

tembakau juga untuk hunian para pekerja.90

Satu barak biasanya dihuni oleh ratusan kuli. Oleh sebab itu setiap orang tidak mempunyai privasi. Seperti halnya pekerja perempuan dari Jawa tidak mendapat tempat tersendiri, walaupun jumlah pekerja perempuan Jawa semakin bertambah banyak. Hal ini disebabkan para pekerja perempuan Jawa yang baru datang akan dialokasikan sesuai dengan hirarki di perkebunan. Mereka akan ditempatkan berdasarkan ras dan senioritas, yang tentu saja kalangan Eropa akan mendapatkan hak lebih dahulu terhadap pekerja perempuan yang baru didatangkan dari Jawa. Selebihnya mereka akan di tempatkan pada pekerja

laki-laki senior yang sudah menetap lebih dari 6 (enam) tahun di perkebunan.91

Pekerja perempuan yang belum menikah atau lajang akan tinggal di barak tempat

pekerja laki- laki yang sudah ditentukan alokasinya.92 Pasangan yang hidup

bersama sedapat mungkin memisahkan diri dengan menyekat petak mereka

menggunakan karung-karung tua.93

Pemukiman para pekerja sangat kontras dengan perumahan administrator.

Rumah-rumah besar dengan fasilitas lengkap ada dalam perkebunan. Kehidupan

90

Jan Bremnan, op. cit., hlm. 125.

91

Szekely- Lulofs, op.cit.,hlm. 33.

92

J. van de Brand, op. cit., hlm 69.

93


(39)

107 yang serba mewah sangat mencolok dibandingkan dengan kehidupan miskin pada masyarakat di sekitar perkebunan yang hidup di barak-barak.

Telah disinggung di depan bahwa pada masa awal pembukaan perkebunan, Jacobus Nienhuys pernah tinggal bersama para pekerjanya di bawah

satu atap.94 Kenyataan tersebut mencerminkan bahwa hubungan sosial pada

tahun-tahun permulaan merupakan hubungan yang akrab, bahkan hampir terasa sebagai hubungan kekeluargaan. Ciri-ciri paternalistik pada waktu itu masih ada, namun jarak antara tuan kebun dan pekerja bagaimanapun besar sekali. Unsur keakraban yang mewarnai hubungan antara majikan dan bawahan mulai hilang. Penyebabnya adalah berubahnya bentuk penguasaan yaitu tuan kebun yang sekaligus sebagai pemilik perkebunan digantikan oleh pe mimpin perusahaan atau manajer. Meningkatnya jumlah tenaga kerja dari beberapa puluh menjadi beberapa ribu menuntut manajemen yang rasional dan efisien sesuai dengan tujuan peningkatan produktivitas setinggi-setingginya.

3. Kesehatan Para Pekerja

Kebersihan selalu menjadi masalah di manapun para pekerja ditempatkan. Sisa sampah dan air yang tergenang manambah bau dan kotornya lingkungan tempat

tinggal, sehingga menjadi sumber penyakit yang berbahaya.95 Barak-barak yang

94

Jan Breman, loc. cit.

95


(40)

108

sangat kotor dan pengap, sering menjadi daerah epidemi penyakit seperti malaria,

beri-beri, tipus, cacingan, bahkan disentri.96

Barak-barak yang tidak dilengkapi dengan sirkulasi udara menyebabkan udara sangat pengap. Jamban tidak tersedia dan mereka membuang kotorannya ke dalam tong-tong tinja. Situasi ini menyebabkan datangnya penyakit dan kematian bagi para pekerja.

Perawatan yang tersedia terutama penyediaan rumah sakit di perkebunan tidak layak, sehingga mempercepat kematian pasien-pasien. Jumlah kematian

pasien di perkebunan menurut kesaksian Hoetink97 tidak wajib dilaporkan.98

Mayat- mayat para pekerja yang meninggal tidak dikebumikan secara layak dan dilemparkan ke perkebunan untuk dijadikan pup uk. Hal ini membuat Assisten Residen mengeluarkan Surat Edaran tanggal 5 Juli 1899 yang ditujukan kepada administrator perkebunan agar menguburkan para pekerja yang meninggal sesuai

dengan adat kebiasaan bangsa tersebut.99 Koeli Ordonnantie sudah mengatur

bahwa perusahaan wajib memberi perawatan kesehatan, namun dalam kenyataannya para pekerja tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya.

96

Telegram Zeer Geheim/Tzg. Agenda, op.cit., Mei 1921. Lihat juga J.

Tidenan, Penampungan Kuli Kontrak di Pantai Timur Sumatra (Kolonial

Studien, 1919), hlm.129. 97

Hoetink adalah Kepala Inspeksi Perburuhan (Arbeids Inspectie) pertama

(1904). 98

Jan Breman, op.cit., hlm. 125.

99


(41)

109 Eksploitasi tenaga tanpa diimbangi jaminan kerja, kesehatan, upah yang

memadai menyebabkan angka kematian para pekerja sangat tinggi.100 Pada tahun

1901 jumlah pekerja kontrak mencapai 93.468 orang dan selama setahun yang meninggal sebanyak 4.403 orang atau 44 orang dari setiap 1000 pekerja. Angka kematian pekerja tertinggi terjadi di Tamiang sebanyak 125 pekerja yang meninggal dari 1000 pekerja, di Langkat Hulu 123 pekerja yang meninggal dari 1000 pekerja, orang Timur Asing 38 pekerja yang meninggal dari 1000 pekerja. Kematian pekerja kontrak di Sumatera Timur disebabkan oleh penyakit seperti

terlihat dalam tabel 3. 9 di bawah ini.101

Tabel 3. 9. Penyebab Kematian Pekerja Kontrak di Sumatera Timur (1917-1924)

No Penyakit 1917 1918 1920 1921 1922 1923 1924

100

Ibid. 101

Verslag van den Dienst der Arbeidsinspectie in Nederlandsch-Indie over het jaar 1917-1924. Lihat juga Telegram Zeer Geheim/Tzg., op.cit., Mei


(42)

110 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Amoeba Dysentri Bacillaire Dysentri Cholera Typhus Pseudo/radang usus Malaria Pneumonie/Influenza Meningitis/radang selaput syaraf pusat Tuberculose Anchylostomiasis /parasit Shypilis Beri-beri

Leverkanker/ kanker hati Enteritis/diare

Longbloeding/pendarahan Vergiftig ing/keracunan Verdronken/ mabuk Zelfmoord/bunuh diri Gewe lddadige /Keke rasan Bevalling/me lahirkan Andere Ziekten 163 82 196 196 196 196 196 196 214 214 34 301 163 1522 1522 1522 1522 1522 1522 389 389 1 272 114 114 107 20 203 520 84 266 95 73 19 1454 121 52 52 81 8 112 464 46 245 35 37 11 7 33 58 17 61 5 76 273 31 210 20 7 33 33 399 22 9 9 48 48 34 209 11 132 10 5 24 6 3 1 1 12 24 14 18 397 28 13 13 38 38 30 258 21 136 28 11 7 4 2 - - 18 26 19 13 386

Sumber: Verslag van den Dienst der Arbeidsinspectie in Nederlandsch-Indie over het jaar 1917-1924


(43)

(1)

106

terbuat dari bambu dengan atapnya ilalang atau daun rumbia. Sebuah lapangan yang berada ditengah-tengah digunakan untuk membangun dapur umum. Barak- barak selain digunakan sebagai tempat menyimpan dan memproses daun tembakau juga untuk hunian para pekerja.90

Satu barak biasanya dihuni oleh ratusan kuli. Oleh sebab itu setiap orang tidak mempunyai privasi. Seperti halnya pekerja perempuan dari Jawa tidak mendapat tempat tersendiri, walaupun jumlah pekerja perempuan Jawa semakin bertambah banyak. Hal ini disebabkan para pekerja perempuan Jawa yang baru datang akan dialokasikan sesuai dengan hirarki di perkebunan. Mereka akan ditempatkan berdasarkan ras dan senioritas, yang tentu saja kalangan Eropa akan mendapatkan hak lebih dahulu terhadap pekerja perempuan yang baru didatangkan dari Jawa. Selebihnya mereka akan di tempatkan pada pekerja laki-laki senior yang sudah menetap lebih dari 6 (enam) tahun di perkebunan.91 Pekerja perempuan yang belum menikah atau lajang akan tinggal di barak tempat pekerja laki- laki yang sudah ditentukan alokasinya.92 Pasangan yang hidup bersama sedapat mungkin memisahkan diri dengan menyekat petak mereka menggunakan karung-karung tua.93

Pemukiman para pekerja sangat kontras dengan perumahan administrator. Rumah-rumah besar dengan fasilitas lengkap ada dalam perkebunan. Kehidupan

90

Jan Bremnan, op. cit., hlm. 125.

91

Szekely- Lulofs, op.cit.,hlm. 33.

92

J. van de Brand, op. cit., hlm 69.

93


(2)

107

yang serba mewah sangat mencolok dibandingkan dengan kehidupan miskin pada masyarakat di sekitar perkebunan yang hidup di barak-barak.

Telah disinggung di depan bahwa pada masa awal pembukaan perkebunan, Jacobus Nienhuys pernah tinggal bersama para pekerjanya di bawah satu atap.94 Kenyataan tersebut mencerminkan bahwa hubungan sosial pada tahun-tahun permulaan merupakan hubungan yang akrab, bahkan hampir terasa sebagai hubungan kekeluargaan. Ciri-ciri paternalistik pada waktu itu masih ada, namun jarak antara tuan kebun dan pekerja bagaimanapun besar sekali. Unsur keakraban yang mewarnai hubungan antara majikan dan bawahan mulai hilang. Penyebabnya adalah berubahnya bentuk penguasaan yaitu tuan kebun yang sekaligus sebagai pemilik perkebunan digantikan oleh pe mimpin perusahaan atau manajer. Meningkatnya jumlah tenaga kerja dari beberapa puluh menjadi beberapa ribu menuntut manajemen yang rasional dan efisien sesuai dengan tujuan peningkatan produktivitas setinggi-setingginya.

3. Kesehatan Para Pekerja

Kebersihan selalu menjadi masalah di manapun para pekerja ditempatkan. Sisa sampah dan air yang tergenang manambah bau dan kotornya lingkungan tempat tinggal, sehingga menjadi sumber penyakit yang berbahaya.95 Barak-barak yang

94

Jan Breman, loc. cit.

95


(3)

108

sangat kotor dan pengap, sering menjadi daerah epidemi penyakit seperti malaria, beri-beri, tipus, cacingan, bahkan disentri.96

Barak-barak yang tidak dilengkapi dengan sirkulasi udara menyebabkan udara sangat pengap. Jamban tidak tersedia dan mereka membuang kotorannya ke dalam tong-tong tinja. Situasi ini menyebabkan datangnya penyakit dan kematian bagi para pekerja.

Perawatan yang tersedia terutama penyediaan rumah sakit di perkebunan tidak layak, sehingga mempercepat kematian pasien-pasien. Jumlah kematian pasien di perkebunan menurut kesaksian Hoetink97 tidak wajib dilaporkan.98 Mayat- mayat para pekerja yang meninggal tidak dikebumikan secara layak dan dilemparkan ke perkebunan untuk dijadikan pup uk. Hal ini membuat Assisten Residen mengeluarkan Surat Edaran tanggal 5 Juli 1899 yang ditujukan kepada administrator perkebunan agar menguburkan para pekerja yang meninggal sesuai dengan adat kebiasaan bangsa tersebut.99 Koeli Ordonnantie sudah mengatur bahwa perusahaan wajib memberi perawatan kesehatan, namun dalam kenyataannya para pekerja tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya.

96

Telegram Zeer Geheim/Tzg. Agenda, op.cit., Mei 1921. Lihat juga J. Tidenan, Penampungan Kuli Kontrak di Pantai Timur Sumatra (Kolonial Studien, 1919), hlm.129.

97

Hoetink adalah Kepala Inspeksi Perburuhan (Arbeids Inspectie) pertama (1904).

98

Jan Breman, op.cit., hlm. 125.

99


(4)

109

Eksploitasi tenaga tanpa diimbangi jaminan kerja, kesehatan, upah yang memadai menyebabkan angka kematian para pekerja sangat tinggi.100 Pada tahun 1901 jumlah pekerja kontrak mencapai 93.468 orang dan selama setahun yang meninggal sebanyak 4.403 orang atau 44 orang dari setiap 1000 pekerja. Angka kematian pekerja tertinggi terjadi di Tamiang sebanyak 125 pekerja yang meninggal dari 1000 pekerja, di Langkat Hulu 123 pekerja yang meninggal dari 1000 pekerja, orang Timur Asing 38 pekerja yang meninggal dari 1000 pekerja. Kematian pekerja kontrak di Sumatera Timur disebabkan oleh penyakit seperti terlihat dalam tabel 3. 9 di bawah ini.101

Tabel 3. 9. Penyebab Kematian Pekerja Kontrak di Sumatera Timur (1917-1924)

No Penyakit 1917 1918 1920 1921 1922 1923 1924

100

Ibid.

101

Verslag van den Dienst der Arbeidsinspectie in Nederlandsch-Indie over het jaar 1917-1924. Lihat juga Telegram Zeer Geheim/Tzg., op.cit., Mei 1921 dan Szekely- Lulofs, (1931), op.cit., hlm. 73.


(5)

110 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Amoeba Dysentri Bacillaire Dysentri Cholera Typhus Pseudo/radang usus Malaria Pneumonie/Influenza Meningitis/radang selaput syaraf pusat Tuberculose Anchylostomiasis /parasit Shypilis Beri-beri

Leverkanker/ kanker hati Enteritis/diare

Longbloeding/pendarahan Vergiftig ing/keracunan Verdronken/ mabuk Zelfmoord/bunuh diri Gewe lddadige /Keke rasan Bevalling/me lahirkan Andere Ziekten 163 82 196 196 196 196 196 196 214 214 34 301 163 1522 1522 1522 1522 1522 1522 389 389 1 272 114 114 107 20 203 520 84 266 95 73 19 1454 121 52 52 81 8 112 464 46 245 35 37 11 7 33 58 17 61 5 76 273 31 210 20 7 33 33 399 22 9 9 48 48 34 209 11 132 10 5 24 6 3 1 1 12 24 14 18 397 28 13 13 38 38 30 258 21 136 28 11 7 4 2 - - 18 26 19 13 386

Sumber: Verslag van den Dienst der Arbeidsinspectie in Nederlandsch-Indie over het jaar 1917-1924


(6)