IMPLEMENTASI PRINSIP PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI BPSK DITINJAU DARI UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.
IMPLEMENTASI PRINSIP PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI BPSK DITINJAU DARI
UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
ABSTRAK
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen telah diatur di dalam
UU. No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan
peraturan pelaksananya. UUPK sebagai lex specialis dari Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur secara berbeda proses
pembuktian dalam penyelesaian sengketa konsumen di BPSK. Pasal 28
UUPK mengatur mengenai pembuktian terbalik, yaitu dengan
membebankan pembuktian atas unsur kesalahan kepada pelaku usaha.
Akan tetapi, prinsip pembuktian terbalik dalam UUPK tidak cukup jelas
dan tegas diatur, sehingga pelaksanaan proses pembuktian dalam
penyelesaian sengketa konsumen di BPSK masih menimbulkan berbagai
permasalahan. Adapun permasalahan hukum yang dikaji dalam penelitian
ini adalah mengenai pembagian beban pembuktian dalam proses
penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dikaitkan dengan prinsip
pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUPK dan
implikasi yuridis suatu putusan BPSK yang diputus tidak sesuai dengan
proses pembuktian yang telah diatur dalam UUPK.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan
yuridis normatif, yaitu dengan menitikberatkan pada data sekunder berupa
asas dan norma hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan.
Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis, yaitu dengan
menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang ada dikaitkan
dengan peraturan perundang-undangan yang relevan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa prinsip
pembuktian terbalik tidak dapat diterapkan secara gamblang tanpa melihat
terlebih dahulu kasus yang sedang dihadapi. Implementasi prinsip
pembuktian terbalik harus tetap memperhatikan asas umum pembuktian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata. Ketentuan ini
memberikan wewenang kepada Majelis BPSK untuk memerintahkan salah
satu pihak melakukan pembuktian atas hal-hal yang didalilkannya dengan
tetap berpedoman pada prinsip pembuktian terbalik. Selain itu,
pengecualian-pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (5)
dan Pasal 27 UUPK harus tetap diperhatikan. Suatu putusan BPSK dapat
diterima dan dilaksanakan oleh para pihak atau dapat pula ditolak akibat
proses pembuktian tidak sesuai dengan prinsip pembuktian terbalik
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUPK. Ketidaksesuaian tata cara
pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK
menimbulkan implikasi hukum berupa pembatalan putusan yang hanya
dapat ditempuh melalui upaya hukum keberatan hingga kasasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) dan Pasal 58 Ayat (2) UUPK.
iv
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI BPSK DITINJAU DARI
UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
ABSTRAK
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen telah diatur di dalam
UU. No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan
peraturan pelaksananya. UUPK sebagai lex specialis dari Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur secara berbeda proses
pembuktian dalam penyelesaian sengketa konsumen di BPSK. Pasal 28
UUPK mengatur mengenai pembuktian terbalik, yaitu dengan
membebankan pembuktian atas unsur kesalahan kepada pelaku usaha.
Akan tetapi, prinsip pembuktian terbalik dalam UUPK tidak cukup jelas
dan tegas diatur, sehingga pelaksanaan proses pembuktian dalam
penyelesaian sengketa konsumen di BPSK masih menimbulkan berbagai
permasalahan. Adapun permasalahan hukum yang dikaji dalam penelitian
ini adalah mengenai pembagian beban pembuktian dalam proses
penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dikaitkan dengan prinsip
pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUPK dan
implikasi yuridis suatu putusan BPSK yang diputus tidak sesuai dengan
proses pembuktian yang telah diatur dalam UUPK.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan
yuridis normatif, yaitu dengan menitikberatkan pada data sekunder berupa
asas dan norma hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan.
Spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis, yaitu dengan
menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang ada dikaitkan
dengan peraturan perundang-undangan yang relevan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa prinsip
pembuktian terbalik tidak dapat diterapkan secara gamblang tanpa melihat
terlebih dahulu kasus yang sedang dihadapi. Implementasi prinsip
pembuktian terbalik harus tetap memperhatikan asas umum pembuktian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata. Ketentuan ini
memberikan wewenang kepada Majelis BPSK untuk memerintahkan salah
satu pihak melakukan pembuktian atas hal-hal yang didalilkannya dengan
tetap berpedoman pada prinsip pembuktian terbalik. Selain itu,
pengecualian-pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (5)
dan Pasal 27 UUPK harus tetap diperhatikan. Suatu putusan BPSK dapat
diterima dan dilaksanakan oleh para pihak atau dapat pula ditolak akibat
proses pembuktian tidak sesuai dengan prinsip pembuktian terbalik
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUPK. Ketidaksesuaian tata cara
pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK
menimbulkan implikasi hukum berupa pembatalan putusan yang hanya
dapat ditempuh melalui upaya hukum keberatan hingga kasasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) dan Pasal 58 Ayat (2) UUPK.
iv