Perlindungan hukum bagi konsumen Muslim terkait penyelesaian sengketa sebelum dan sesudah disahkannya undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang janinan produk halal

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA SEBELUM DAN SESUDAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NO. 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh: ANDRIO 1111048000015

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M F A K U L T A S S Y A R I A H D A N H U K U M

U N I V E R S I T A S I S L A M N E G E R I S Y A R I F H I D A Y A T U L L A H J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

ANDRIO. NIM 1111048000015. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA SEBELUM DAN SESUDAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTENG JAMINAN PRODUK HALAL. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M, xi + 80 halaman + lampiran + daftar pustaka.

Skripsi ini menganalisis mengenai penyelesaian sengketa konsumen setelah disahkannya Undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Analisa skripsi ini memfokuskan pada penyelesaian sengketa konsumen yang mengaitkan antara Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian yuridis normatif dengan jenis deskriptif dan bersifat kualitatif. Penulis juga mendasari penulisan skripsi ini dangan landasan Al Quran yaitu surat As Shad ayat 26, Al Baqoroh ayat 168, dan Al Baqoroh ayat 173.Hasil Penelitian menyimpulkan bahwa sebelum disahkannya Undang-undang Jaminan Produk Halal maka penyelesaian sengketa konsumenn menggunakan ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen yakni upaya hukum dalam penyelesaian sengketa yang konsumen dapat dilakukan dengan 2 cara. Yaitu dengan melalui jalur litigasi dan jalur non litgasi. Kemudian penyelesaian sengketa konsumen setelah disahkannya Undang-undang Jaminan Produk Halal. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa konsumen belum diatur secara khusus oleh UU ini. Jadi secara otomatis mekanisme penyelesaian sengketa konsumen masih menggunakan mekanisme lama yaitu merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Ketidak adaanya ketentuan dalam hal penyelesaian konsumen dalam Undang-undang Jaminan Produk halal merupakan sesuatu yang amat disayangkan sebab undang-undang ini mengangkat suatu hal yang khusus yaitu perlindungan konsumen muslim.

Kata Kunci : Jaminan Produk Halal, Perlindungan Konsumen, Sengketa Konsumen, Penyelesaian Sengketa, BPSK

Pembimbing : 1. Dra. Hj. Hafni Muchtar, MH., MM. 2. Andi Syafrani, SH., MLLC


(6)

ِمـــــــــْسِب

ِﷲ

ِنَمْحّرلا

مي ِح ّرلا

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terkait Penyelesaian Sengketa Sebelum Dan Sesudah Disahkannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal” ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, para thabi‟in, dan para umatnya.

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Tidak mudah bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dikarenakan halangan, ujian, dan dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Namun hal tersebut tidak membuat penulis menyerah untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari elaborasi keilmuan penulis serta dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH, dan Drs. Abu Thamrin, SH., M.Hum, selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dra. Hj. Hafni Muchtar, M.M., M.H., dan Andi Syafrani, S.H., M.L.L.C.,

selaku dosen pembimbing skripsi 1 dan dosen pembimbing skripsi 2 yang dengan sabar telah memberikan ilmu, waktu serta arahan kepada penulis. 4. Bapak Djawahir Hejjaziey S.H., M.H,. M.A serta seluruh dosen Fakultas

Syariah dan Hukum yang telah mengajari penulis, memberikan ilmu yang bermanfaat selama kuliah, dan tidak lupa seluruf staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum.

5. Bapak Edi Achmadi serta Mama Rohana ibunda penulis yang sangat penulis cintai, yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan nasehat, doa, semangat, serta dukungan materil maupun immateril sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

6. Andrian Ahmad Arrifai, Andrey Arya Ibrahim, Andriana Rachmah, Androy adik serta kakak penulis Terima kasih untuk doa dan bantuan kalian semua. 7. Shinta Susanti sebagai teman diskusi serta penyemangat hati penulis yang

setia menemani penulis dikala menemukan kejenuhan dan memberikan semangat secara psikologis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

8. Barra Muhammad Hilma Iskandar, Moh. Rifki Alpiandi, Kurnialif Triono, Ilyas Aghnini, Nevo Amaba, DanG, Febyo Hartanto, Rudi Hartono, Idham Katiasan Robbi, Angga Ariyana, Moh. Nurdiansyah, Dwi Afif Rifai. Sebagai sahabat penulis yang telah banyak memberikan hiburan,


(8)

tempat penulis mencurahkan keresahan untuk di diskusikan terkait skripsi ini yang telah penulis anggap sebagai abang sendiri.

10. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum (HMI Komfaksy) Cabang Ciputat.

11. Teman-teman Program Studi Ilmu Hukum Angkatan 2011, Fadillah Haidar, Muhammad Khadafi, Muhammad Iqbal Hidayatullah dan yang lainnya yang tidak dapat di ketik satu persatu nama kalian namun tidak mengurangi segala memori 4 tahun lebih bersama kalian.

12. Keluarga besar HIAWATA (Himpunan Siswa Pecinta Alam SMA HUTAMA) yang telah memberikan banyak pelajaran dan pengalaman kepada penulis.

13. Risky Arianto Marman, Randi, Sofi Ari Wibowo, Muh. Risky Engelen, Rama Irlangga, Denny Nurmansyah, Achmad Amirudin, Kurniawan, Maya Puspita, Agung Suulistyanto, Wahyu Tri, Dedeh Kurnia, Gita Aprilia, Della Anindya, Ayu Aprilia. sahabat dekat penulis saat diluar urusan perkuliahan.. 14. Keluarga besar KIBAR (Komunitas Indonesia Baru) sebagai sekolah yang

telah memberikan pelajaran serta pengalaman berpolitik bagi penulis.

15. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.


(9)

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan penulis masih terbatas, untuk itu penulis selalu terbuka atas kritik dan juga saran yang bersifat membangun demi kesempurnannya.Tidak ada yang penulis bisa berikan kecuali doa dan ucapan terima kasih kepada kalian, semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua yang membacanya. Billahitaufiqwalhidayah

Ciputat, September 2015


(10)

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... .... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... .... iii

ABSTRAK ... ... iv

KATA PENGANTAR ... .... v

DAFTAR ISI ... .... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 9

E. Kerangka teori dan kerangka konsep... ... . 10

F. Metode penelitian... ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian perlindungan konsumen... 18

B. Sejarah singkat perlindunfan konsumen... 20

C. Jenis-jenis perlindungan konsumen... 24

D. Asas-asas perlindungan konsumen... 25

E. Tanggung jawab konsumen dan produsen 1. Hak dan kewajiban Konsumen... 28

2. Hak dan kewajiban produsen... 30

F. Sengketa konsumen 1. Pengertian sengketa konsumen ... 32

2. Pihak-pihak damam sengketa konsumen... 33


(11)

BAB III URGENSI PRODUK HALAL

A. Pengertian Jaminan Produk Halal ... 39

B. Sejarah dan perkembangan LPPOM MUI ... 41

C. Asas-Asas Dan Tujuan Jaminan Produk Halal ... 42

D. Pelanggaran Jaminan Produk Halal ... 43

E. Kasus dan Penjelasanya ... 45

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SEBELUM DAN SESUDAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL A. Penyelesaian sengketa konsumen sebelum disahkannya undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal ... ... 58

B. Penyelesaian sengketa konsumen sesudah disahkannya undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal ... ... 74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN


(12)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang

Suatu perkembangan baru dalam masyarakat dewasa ini melihat pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian di dunia usaha baik secara nasional maupun internasional khususnya di negara-negara maju adalah mengenai perhatian terhadap masalah perlindungan konsumen. Apabila di masa lalu pihak produsen atau industriawan yang dipandang sangat berjasa bagi perkembangan perekonomian negara yang mendapat perhatian lebih besar, maka dewasa ini perlindungan terhadap konsumen lebih mendapat perhatian sejalan dengan makin meningkatnya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Pihak konsumen yang dipandang lebih lemah perlu mendapat perlindungan lebih besar dibanding masa-masa yang lalu.

Aspek pertama dari perlindungan konsumen adalah persoalan tentang tanggung jawab produsen atas kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh produknya. Dengan singkat persoalan ini lazim disebut dengan tanggung jawab produk (product liability).1 Secara historis tanggung jawab produsen (product

liability) lahir karena adanya ketidakseimbangan kedudukan dan tanggung jawab

antara produsen dan konsumen. Oleh karena itu, produsen yang pada awalnya menerapkan strategi yang berorientasi pada produk dalam pemasaran produknya harus mengubah strategi menjadi pemasaran yang berorientasi pada konsumen, di

1

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), H.11.


(13)

2

mana produsen harus hati-hati dengan produk yang dihasilkan olehnya. Oleh karena itu masalah tanggung jawab produsen (product liability) telah mendapat perhatian yang semakin meningkat dari berbagai kalangan, baik kalangan industri, asuransi, pedagang, pemerintah dan para ahli hukum. Dalam perkembanganya, hukum tentang tanggung jawab produsen menjadi masalah yang melampaui batas-batas negara maju di dunia internasional. Sehingga diperlukan penambahan-penambahan terutama dalam rangka mempermudah pemberian kompensasi bagi konsumen yang menderita kerugian akibat produk yang merugikan masyarakat.2 Kurangnya kesadaran dan tanggung jawab sebagai produsen akan berakibat fatal dan menghadapi resiko bagi kelangsungan hidup dan kredibilitas usahanya. Rendahnya kualitas produk atau adanya cacat pada produk yang dipasarkan akan menyebabkan kerugian bagi konsumen, di samping produsen itu juga akan menghadapi tuntutan kompensasi yang pada akhirnya akan bermuara pada kalah bersaingnya produk tersebut dalam merebut pangsa pasar.

Permasalahan tersebut akan terasa semakin penting dalam era perdagangan bebas dan era globalisasi. Hal ini disebabkan persaingan yang dihadapi bukan hanya di antara produk-produk pada level domestik tapi juga pada level dunia internasional. Demikian juga permasalahan hukum yang berkaitan dengan masalah tanggung jawab produsen bukan hanya berdasarkan pada hukum nasional Indonesia, namun akan berhadapan juga dengan sistem hukum asing, belum lagi apabila dikaitkan dengan jumlah kompensasi yang memungkinkan lebih besar sesuai dengan standar hidup para konsumen di negara yang bersangkutan.

2

Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah Dan Perkembangannya Di Beberapa Negara, (Bandung: Alumni, 1988), h.105.


(14)

Hans W. Misklitz, menyatakan bahwa dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh 2 (dua) model kebijakan, yaitu:

Pertama kebijakan yang bersifat komplementer yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas

kesehatan dan keamanan).3

Dalam berbagai kasus, konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasarkan kebijakan komplementer (memberikan informasi) tetapi juga harus ditindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris (meminimalkan resiko yang harus ditanggung konsumen). Konsumen memiliki risiko yang lebih besar daripada pelaku usaha, dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan. Hal ini disebabkan karena posisi tawar konsumen yang lemah, maka hak-hak konsumen sangat riskan untuk dilanggar. Hal ini dikemukakan oleh Edmon Makarim pada buku “Hukum Perlindungan Konsumen”.4

Terhadap posisi konsumen tersebut, ia harus dilindungi oleh hukum, karena salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Perlindungan kepada masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum yang menjadi hak konsumen.

Demi terwujudnya kepastian hukum ini bertolak dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi bukan hanya oleh konsumen di Indonesia bahkan juga seperti yang dialami oleh konsumen di negara-negara berkembang lainnya,

3

Hans W. Micklitz, Rencana Undang-Undang Perlindungan Konsumen Di Mata Pakar

Jerman, (Warta Konsumen XXIV No. 12 Desember), h.3-4.

4


(15)

4

tidak hanya sekedar bagaimana konsumen memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu menyangkut kepada bagaimana menyadarkan semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah, maupun konsumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen.

Ketentuan perundang-undangan mengharapkan agar para pengusaha menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang atau jasa yang berkualitas, aman dimakan / digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Untuk itu pemerintah diharapkan juga menyadari bahwa diperlukan regulasi yang berkaitan dengan perpindahan barang dan/ atau jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi jalannya regulasi tersebut dengan baik. Sedangkan konsumen harus menyadari hak-hak mereka sehingga konsumen dapat melakukan sosial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah.

Lahirnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjtnya disingkat UUPK) bertujuan untuk memberikan perlindungan konsumen di Indonesia yang selama ini kurang mendapat perhatian agar bisa lebih baik dari sebelumnya. Pada era ekonomi global saat ini masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat, selama ini masih banyak konsumen yang dirugikan karena perilaku-perilaku curang oleh pelaku usaha.

Untuk mencegah pelaku usaha terus-menerus berlaku curang, UUPK telah memberikan ruang bagi konsumen untuk menuntut hak-haknya yang telah


(16)

dilanggar. UUPK Pasal 45 ayat (1), setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Gugatan terhadap masalah pelanggaran hak konsumen perlu dilakukan karena posisi kosumen dan pelaku usaha sama-sama berimbang di mata hukum.

Pada awalnya konsumen yang merasa dirugikan karena memakai produk / jasa pelaku usaha hanya disediakan satu instrumen hukum untuk menuntut hak-haknya tersebut yaitu konsumen hanya bisa mengajukan gugatannya melalui pengadilan saja, namun dengan lahirnya undang-undang perlindungan konsumen sekarang ini, konsumen telah diberikan instrumen baru dalam membela hak-hak konsumen yang dilanggar. Instrumen tersebut dengan melalui jalur litigasi (melaluai peradilan) atau dengan jalur non-litigasi ( jalur diluar peradilan). Dengan kata lain untuk perkara tersebut diserahkan kembali kepada para pihak untuk memilih salah satu dari kedua instrumen tersebut.

Terkait dengan jaminan terhadap konsumen muslim Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 29 ayat (1) mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Tentang jaminan produk halal Allah Swt telah berfirman dalam surat Al Baqoroh ayat 168 sebagai berikut:


(17)

6

Artinya: Wahai manusia makanlah dari makanan yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sungguh syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.

Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik


(18)

disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat.

Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai Jaminan Produk Halal perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetika serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik untuk meneliti tentang PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA SEBELUM DAN SESUDAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NO. 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah


(19)

8

Agar masalah yang dibahas Penulis tidak melebar sehingga dapat mengakibatkan ketidakjelasan pembahasan masalah, maka Penulis akan membatasi masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah tersebut adalah tentang perlindungan hukum bagi konsumen muslim terkait penyelesaian sengketa sebelum dan sesudah disahkannya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka Penulis mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana penyelesaian sengketa konsumen sebelum disahkannya UU.No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ?

b. Bagaimana penyelesaian sengketa konsumen Sesudah disahkannya UU.No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal ?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa konsumen sebelum disahkannya UU.No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

b. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa konsumen Sesudah disahkannya UU.No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.


(20)

Berawal dari rumusan penelitian yang telah dijelaskan diatas, terdapat beberapa manfaat yang ingin Penulis, yaitu :

a. Manfaat Teoitis

1). Untuk lebih memperkaya ilmu Penulis baik di bidang hukum maupun di bidang bisnis.

2). Untuk mengelaborasikan ilmu yang diperoleh Penulis di perkuliahan dengan fakta hukum yang terjadi di masyarakat.

3). Untuk menambah khasanah keilmuan di bidang hukum bisnis bagi pembacanya.

b. Manfaat Praktis

1). Penelitian ini bermanfaat bagi praktisi hukum, pengamat, dan mahasiswa ilmu hukum khusunya tentang hukum perlindungan konsumen.

2). Agar penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan bagi semua pihak khususnya yang hidup di lingkungan Hukum Bisnis.

D. Tinjauan ( Review ) Kajian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penilitian ini, Penulis akan menyertakan beberapa hasil penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Pertama adalah Analisis yang dikemukakan oleh Hj. Muskibah S.H.,M.H yang berjudul “Analisis Mengenai Cara Penyelesaian Sengketa” sebuah jurnal yang ditulis oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi. Jurnal yang di tulis


(21)

10

tersebut menjelaskan tentang penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yang termaktub dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Kemudian yang kedua adalah penelitian skripsi yang dilakukan Oleh Andi Syafrani mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Hukum Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Hukum Islam” yang dibuat pada tahun 2002, tujuan dari penulisan skripsi tersebut adalah untuk mengelaborasikan antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan Hukum islam.

E.Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori

Disini Penulis membahas beberapa definisi, di antaranya :

a. Teori hukum

Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya, proses pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut Negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji pembentukan undang-undang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) menurut Lawrence M.Friedman dalam sistem hukum mengandung 3 (tiga) komponen, yaitu : a. Struktur hukum (legal structure) b. Subtansi hukum (legal substance) c.


(22)

Budaya hukum (legal culture).5Struktur hukum mengacu pada bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum.6 Hubungan antar lembaga tinggi Negara. Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi (lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu diantara institusi tersebut adalah peradilan dengan berbagai perlengkapannya.

b. Teori keadilan

Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil, keadilan ditandai oleh hubungan yang baik antara satu dengan yang lain, tidak mengutamakan diri sendiri, tapi juga pihak lain serta adanya kesamaan.7 Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.8 Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Adam Smith yang hanya menerima satu konsep keadilan yaitu keadilan komutatif. Menurut Adam Smith keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu keadilan komutatif yg menyangkut kesetaraan dan keharmonisan hubungan antara satu orang dengan orang lain. Ketidakadilan berarti pincangnya hubungan antar

5

Lawrence M.Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), (Bandung: Nusa Media 2009) h. 12

6

Lawrence M.Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj) h.15

7

Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogjakarta: Genta Publishing, 2010) h. 44

8


(23)

12

manusia karena kesetaraan yg terganggu. Keadilan legal sudah terkandung dalam keadilan komutatif, karena keadilan legal hanya konsekuensi lebih lanjut dari prinsip keadilan komutatif. Demi menegakkan keadilan komutatif, negara harus bersikap netral dan memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali.

c. Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. (UUPK Pasal 1 ayat (2) )

d. Konsumen Muslim

Konsumen muslim adalah setiap orang beragama islam pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

e. Produk Halal

Produk halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.

f. Sengketa

Sengketa berawal pada situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya dimulai dari perasaan tidak puas, bersifat subjektif dan tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok.


(24)

Apabila perasaan kecewa atau tidak puas disampaikan kepada pihak kedua dan pihak kedua menanggapi dan dapat memuaskan pihak pertama maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, apabila perbedaan pendapat tersebut harus berkelanjutan maka akan terjadi apa yang disebut sengketa. Sengketa dalam pengertian sehari-hari dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak atau tidak berlaku demikian.

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penulisan ini Penulis ambil dari Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, diantaranya:

a. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

b. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.

c. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.


(25)

14

d. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan Produk.

e. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

f. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH.

g. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat yuridis normatif. Dalam sebuah penelitian hukum diperlukan metode-metode ilmiah dalam pengumpulan data untuk diteliti yang berdasarkan pada sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gelaja hukum dengan cara menganalisanya.9 Sifat dari penelitian ini adalah kualitatif yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan matematis, statistik dan lain sebagainya, melainkan menggunakan penekanan ilmiah.10 Penelitian menggunakan metode kepustakaan, bahwa penelitian hukum normatif sama dengan penelitian hukum

9

Soerjono Soekanto, Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cetakan kesepuluh (Jakarta : Grafindo Persada, 2007) h. 43.

10

Lexy Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi, (Bandung : PT. Remaja Rosyada Karya, 1997), h. 6.


(26)

kepustakaan yang menitikberatkan perhatiannya pada data seunder.11 Studi literatur ini akan meliputi pengindentifikasian, penjelasan dan penguraian secara sistematis bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah yang dikaji maka disebut dengan penelitian yuridis normatif.

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif yaitu12: pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, dan pendekatan konseptual.

3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian hukum normatif menitikberatkan studi kepustakaan atau metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi (documentary

method).13 Maka data yang dijadikan bahan penelitian adalah data sekunder yang

meliputi ketiga bahan sebagai berikut:14

a. Bahan hukum primer. Penulis peroleh dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Poduk Halal, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta undang-undang lain yang terkait

11

Nico Ngani, Metodologi Penelitian Hukum Dan Penulisan Hukum, cetakan pertama (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2012), h. 71.

12

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 93.

13

Nico Ngani, Metodologi Penelitian Hukum Dan Penulisan Hukum, cetakan pertama, (Jakarta : Pustaka Yustisia, 2012), h. 180.

14

Nico Ngani, Metodologi Penelitian Hukum Dan Penulisan Hukum, cetakan pertama. h. 78-79.


(27)

16

penyelesaian sengketa konsumen dan tidak terkecuali peraturan pemerintah.

b. Bahan hukum sekunder diperoleh Penulis dari Buku-buku terkait pembahasan hukum perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa konsumen, keterangan, kajian, makalah seminar,dll.

c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan Penulis sebagai bahan yang mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Indonesia,Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum. 4. Metode Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh Penulis dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.”

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah penjabaran dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk memberikan gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut:

Pada bab pendahuluan ini Penulis berusaha menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, kemudian sedikit memberikan Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Kerangka Konseptual, kajian terdahulu berupa skripsi atau jurnal ilmiah Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.


(28)

Pada bab Tinjauan Umum Hukum Perlindungan Konsumen ini Penulis menguraiakan beberapa tinjauan umum terkait hukum perlindungan konsumen. Seperti pengertian, jenis-jenis perlindungan konsumen, sejarah singkat perlindungan konsumen di Indonesia, asas-asas perlindungan konsumen serta Tanggung jawab konsumen dan produsen

Pada bab Jaminan Produk Halal Dan Sengketa Konsumen ini Penulis menguraikan tentang jaminan produk halal meliputi pengertian, sejarah perkembangan LPPOM MUI dalam jaminan produk halal, asas-asas dan tujuan jaminan produk halal serta beberapa kajian terhadap sengketa konsumen meliputi pengertian, para pihak serta, jenis-jenis sengketa konsumen, terlebih penulis juga mengulas sedikit mengenai Small Claim Court yang telah diterbitkan sebagai PERMA nomor 2 tahun 2015.

Pada bab Penyelesaian Sengketa Konsumen Sebelum Dan Sesudah Disahkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Penulis disini membahas Penyelesaian Sengketa Konsumen Sebelum Dan Sesudah Disahkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal berupa analisis yang bersumber pada ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 serta Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

Bab Penutup disini Penulis memberikan berupa kesimpulan dari apa yang Penulis tulis serta beberapa saran yang bisa Penulis berikan terkait apa yang menjadi permasalahan.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.Pengertian Perlindungan Konsumen

Sebelum Pembahasan perlindungan konsumen penulis terlebih dahulu membahas apa itu konsumen? Konsumen menurut UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berarti konsumen memiliki peranan yang tidak bisa di elakkan dalam dunia bisnis khususnya perdagangan. Konsumen sendiri dalam perjalanannya harus mendapat perlindungan oleh negara karena setiap apa yang dibeli oleh konsumen terdapat pendapatan negara berupa pajak penghasilan negara (PPN).

Terlebih adanya perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia yang dapat ditemukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945), oleh karena itu maka setiap produk hukum yang dihasilkan oleh badan legislatif harus mampu memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat. Terdapat beberapa pendapat para sarjana mengenai perlindungan hukum, diantaranya Satjipto Rahardjo yang mengungkapkan perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi


(30)

kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.1

Kemudian Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.2

Serta Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum diartikan sebagai tindakan melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek hukum dengan perangkat-perangkat hukum. Bila melihat pengertian perlindungan hukum di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur dari perlindungan hukum, yaitu: subyek yang melindungi, obyek yang akan dilindungi, alat atau instrumen maupun upaya yang digunakan untuk tercapainya perlindungan tersebut.3

Dari beberapa pengertian mengenai perlindungan hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu upaya untuk melindungi kepentingan individu atas kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai hak untuk menikmati martabatnya, dengan memberikan kewenangan padanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.

1

Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003) h.121.

2

Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia,(Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,Surakarta 2003)h. 14.

3

Philipus M. Hadjon,dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, ( Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2011) h.10


(31)

21

Pasal 1 angka 1 UUPK menyatakan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dalam pasal tersebut, perhatian penulis tertuju pada kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, kalimat tersebut diharapkan mampu menjadi benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang pelaku usaha demi melindungi konsumen.

B.Sejarah Singkat Perlindungan Konsumen

Perkembangan ekonomi yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Bervariasinya produk yang semakin luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, jelas terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik maupun yang berasal dari luar negeri.

Perkembangan yang demikian tersebut, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta semakin terbukanya kesempatan dan kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Kondisi dan fenomena tersebut, pada sisi lainnya dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada di posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya


(32)

oleh pelaku usaha melalui jalan promosi, cara penjualan, serta perjanjian standar yang merugikan konsumen.4 Hal tersebut bukan hanya gejala regional saja, tetapi menjadi permasalahan yang mengglobal dan melanda seluruh konsumen di dunia. Timbulnya kesadaran konsumen, telah melahirkan salah satu cabang baru dalam ilmu hukum yaitu hukum Perlindungan Konsumen yang dikenal juga dengan hukum konsumen (consumers law).

Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun kalau dilihat dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk hukum adat.5

Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai dikenal dari gerakan serupa di Amerika Serikat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini cukup merespon terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 Tentang Perlindungan Konsumen.

Setelah YLKI kemudian muncul organisasi-organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang tahun 1985, Yayasan Bina Lembaga Konsumen Indonesia (YBLKI) di Bandung dan beberapa perwakilan di berbagai propinsi tanah air. Keberadaan YLKI sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen karena

4

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) h. 11-12.

5

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, h. 11-12.


(33)

23

lembaga ini tidak hanya sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan dan menerima pengaduan, tapi juga sekaligus mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.

YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat memberi hasil, sebab pemerintah mengkhawatirkan bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Pada awal tahun 1990-an, kembali diusahakan lahirnya Undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Salah satu ciri pada masa ini adalah pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan sudah memiliki kesadaran tentang arti penting adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hal ini diwujudkan dalam dua naskah Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu yang pertama adalah hasil kerjasama dengan fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan yang kedua adalah hasil kerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.

Tetapi hasilnya sama saja, kedua naskah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut tidak dibahas di DPR. Pada akhir tahun 1990-an, Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya diperjuangkan oleh lembaga konsumen dan Departemen Perdagangan, tetapi adanya tekanan di lembaga keuangan internasional (IMF/International Monetary Fund). Berdasarkan desakan dari IMF itulah akhirnya Undang-Undang Perlindungan


(34)

Konsumen dapat dibentuk.6 Keberadaan Undang-undang Perlindunga Konsumen merupakan simbol kebangkitan hak-hak sipil masyarakat, sebab hak konsumen pada dasarnya juga adalah hak-hak sipil masyarakat. Undang-undang Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detail dari hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, walaupun judulnya mengenai perlindungan konsumen tetapi materinya lebih banyak membahas mengenai pelaku usaha dengan tujuan melindungi konsumen. Hal ini disebabkan pada umumnya kerugian yang diderita oleh konsumen merupakan akibat perilaku dari pelaku usaha, sehingga perlu diatur agar tidak merugikan konsumen.

Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Az Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Sedangkan hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak atau satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa di dalam pergaulan hidup.7

6

Sudaryatmo, Memahami Hak Anda Sebagai Konsumen, PIRAC, Cetakan I, (Jakarta, 2001), h 23.

7

Az Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 72


(35)

25

C.Jenis – Jenis Perlindungan Konsumen

Dalam ketentuan UUPK, wujud dari upaya penyelenggaraan perlindungan konsumen meliputi tiga tahapan yakni pada masa pra-jual, pada saat transaksi penjualan dan perlindungan purna jual. Dari beberapa tahapan yang ada tersebut, pada dasarnya bentuk perlindungan yang ideal untuk diberikan kepada konsumen adalah perlindungan yang bersifat preventif dan bukan yang bersifat represif.

Untuk mewujudkan perlindungan konsumen yang bersifat preventif, pemerintah melalui UUPK telah mengamanatkan pembentukan lembaga yang akan menyelenggarakan perlindungan konsumen di Indonesia yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) terdapat dalam BAB VIII UUPK, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) terdapat dalam BAB IX UUPK, dan Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM)8.

Sementara itu, bentuk perlindungan konsumen yang bersifat represif, dalam ketentuan UUPK diatur dalam pasal 19 sampai dengan pasal 28 UUPK, di mana di dalamnya mengatur perihal tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen atau yang lebih dikenal sebagai tanggung jawab perdata. Selain itu, UUPK juga mengamanatkan perihal adanya suatu lembaga khusus yang bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) terdapat dalam XI UUPK.

8

Erna Widjajati dan Yessy Kusumadewi, Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta : Roda Inti Media, 2010), hal. 107.


(36)

D.Asas – Asas Perlindungan Konsumen

Tugas dari hukum itu sendiri khususnya hukum ekonomi adalah menciptakan keseimbangan baru antara kepentingan-kepentingan konsumen, para produsen, masyarakat dan pemerintah. Dinamika yang reaksioner, khususnya dengan globalisasi ekonomi, membuat kita berpikir proaktif termasuk di dalamnya dengan melakukan pembaruan hukum.9

Komitmen konstitusional bangsa dengan jelas menyebutkan, seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh kesejahteraan dan keadilan. Tapi harapan itu berhadapan dengan kenyataan mengenai perkembangan ekonomi yang semakin terbuka. Pada situasi seperti ini, daya saing kondisi perekonomian Indonesia perlu terus ditingkatkan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan, pembangunan ekonomi nasional pada era globalisasi harus mampu menghasilkan aneka barang dan jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat menjadi sarana penting kesejahteraan rakyat, dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.

Konsiderans selanjutnya mengatakan, semakin terbukanya pasar nasional

sebagai akibat proses globalisasi ekonomi, harus tetap menjamin peningkatan

9

N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cetakan ke-1. (Jakarta : Panta Re, 2005), h .81.


(37)

27

kesejahteraan masyarakat. Demikian juga kepastian tentang mutu, jumlah dan keamanan barang dan yang diperolehnya dari pasar.

Upaya menjaga harkat dan martabat konsumen, perlu didukung peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Penjelasan Umum UUPK pada alinea delapan menyebutkan, undang-undang ini mengacu pada filosofi pembangunan nasional, termasuk pembangunan hukum di dalamnya yang memberikan perlindungan terhadap konsumen yang berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945. Ada lima asas perlindungan konsumen yang ditetapkan UUPK pasal 2. Asas-asas tersebut meliputi, yakni:

1. Asas manfaat, dimana asas ini mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan


(38)

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan dan berimbang.

2. Asas Keadilan, asas ini memberikan ruang partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

3. Asas keseimbangan, asas yang memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan Negara.


(39)

29

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, asas yang memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.

5. Asas kepastian hukum, asas yang mengatur baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum, artinya Undang-undang perlindungan konsumen mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung didalam Undang-undang perlindungan konsumen harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya Undang-undang perlindungan konsumen sesuai dengan yang diharapkan. E.Tanggung Jawab Konsumen dan Produsen

1. Hak dan Kewajiban Konsumen

Ketentuan mengenai hak-hak konsumen terdapat dalam Pasal 4 UUPK, Hak-hak Konsumen tersebut ialah:

a. Hak konsumen mendapatkan keamanan


(40)

c. Hak untuk didengar

d. Hak untuk memilih

e. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikan

f. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian

g. Hak untuk mendapat penyelesaian hukum

h. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

i. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang

j. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen

Dari sepuluh butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang


(41)

31

merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.

Sedangkan hak-hak konsumen harus seiring sejalan dengan kewajiban. Berbicara tentang konsumen hendaknya membahas pula masalah produsen beserta hak-hak dan kewajibannya. Kewajiban konsumen menurut UUPK sebagaiman diatur dalam pasal 5, yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2. Hak dan Kewajiban Produsen

Hak-hak dan kewajiban pelaku usaha diatur dalam Bab III tentang Hak dan Kewajiban sebagaimana terdapat dalam pasal 6 dan 7 UUPK. Hak-hak produsen dalam pasal 6 adalah sebagai berikut :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;


(42)

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan mengenai kewajiban produsen sebagaimana termuat dalam pasal 7, UUPK memberikan 7 kewajiban produsen, yakni :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat pengguanaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;


(43)

33

g. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

F. Sengketa Konsumen

1. Pengertian Sengketa Konsumen

Asal mula sengketa berawal pada situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya dimulai dari perasaan tidak puas, bersifat subjektif dan tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok. Apabila perasaan kecewa atau tidak puas disampaikan kepada pihak kedua dan pihak kedua menanggapi dan dapat memuaskan pihak pertama maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, apabila perbedaan pendapat tersebut harus berkelanjutan maka akan terjadi apa yang disebut sengketa. Sengketa dalam pengertian sehari-hari dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak atau tidak berlaku demikian.

Lebih lanjut terdapat perbedaan ruang lingkup sengketa konsumen dengan sengketa transaksi konsumen yakni: Ruang lingkup sengketa konsumen lebih luas dibandingkan dengan sengketa transaksi konsumen. Sengketa konsumen dapat mencakup semua segi hukum bagi keperdataan, pidana, maupun tata negara.


(44)

Sedangkan istilah sengketa transaksi konsumen lingkupnya lebih sempit, hanya mencakup aspek hukum keperdataan.10

Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 bahwa konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan umum, bukan ke peradilan tata usaha negara. Dengan demikian sengketa konsumen dalam hal ini hanya mencakup aspek hukum perdata dan pidana saja.

Menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Keputusan Nomor: 350 / MPP / Kep / 12 / 2001 tanggal 10 Desember 2001, yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.11

Berdasarkan uraian di atas dan kaitannya dengan hak-hak konsumen, maka dapat diartikan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa yang terjadi antara konsumen sebagai pengguna barang/jasa dengan pelaku atau produsen yang telah melanggar hak-hak konsumen.

2. Pihak-Pihak dalam Sengketa Konsumen

10 Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen “Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran. (Bandung; Nusa Media, 2008) h.108.

11

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.


(45)

35

Sengketa konsumen adalah sengketa yang terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha atau produsen. Konsumen sebagai pengguna/ pemakai barang atau jasa dan pelaku usaha atau produsen sebagai penyedia barang atau jasa. Barang atau jasa yang dapat menjadi objek sengketa adalah produk konsumen, yaitu barang yang umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup konsumen dan tidak untuk diperdagangkan.12 Berikut siapa-siapa saja yang terlibat dalam sengketa konsumen:

a. Konsumen

Sebagai pengguna/pemakai barang atau jasa, konsumen dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu : pertama yaitu konsumen yang membeli produk barang/jasa untuk di olah kembali kemudian diperdagangkan. Kedua yaitu konsumen yang memakai barang/jasa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (untuk tujuan non komersial).13

Berdasarkan penjelasan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, kelompok pertama dapat dikategorikan sebagai konsumen antara. Dikatakan sebagai konsumen antara karena konsumen ini menggunakan atau memakai produk barang/jasa untuk meneruskan proses produksi menjadi produk lainnya dan selanjutnya hasil produksi tersebut akan dijual kembali ke masyarakat. Sedangkan kelompok kedua adalah diartikan sebagai konsumen akhir, dikatakan sebagai konsumen akhir karena konsumen ini merupakan pengguna atau

12 Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen “Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran. (Bandung; Nusa Media, 2008)h.109.

13

M Sadar, Moh. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. (Jakarta: Akademia 2012) h. 57.


(46)

pemanfaat akhir dari suatu produk barang/jasa. Selanjutnya sesuai dengan uraian diatas, maka dengan demikian pengertian konsumen dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir yang menggunakan produk barang/jasa.

b. Pelaku Usaha

Salah satu pihak yang ada dalam sengketa konsumen lainnya adalah pelaku usaha sebagai penyedia barang/jasa. Pelaku usaha dalam arti yang lebih sempit, biasanya dikatakan sebagai produsen. Menurut Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebutkan bahwa ada empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha baik privat maupun publik).14 kelompok tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan usaha. Seperti perbankan, usaha leasing tengkulak, penyedia dana, dan lain sebagainya.

b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang atau jasa dari barang-barang atau jasa-jasa lainnya (bahan baku, bahan tambahan / penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang / badan usaha yang memproduksi sandang, orang/usaha berkaitan dengan pembangunan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan / perasuransian, perbankan.

14 Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen “Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran. (Bandung; Nusa Media, 2008) h.111.


(47)

37

c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang atau jasa tersebut kepada masyarakat seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, kedai, toko supermaket, hypermarket, rumah sakit, warung dokter, kantor pengacara, dan sebagainya.

Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 Butir 3, Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun. bukan badan hukum yang mendirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Penjelasan mengenai Pasal tersebut adalah dikatakan sebagai pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah Perusahaan, Koorporasi, Badan Usaha Milik Negara, Koperasi, Importir, Pedagang, Distributor, dan lain-lain.

3. Bentuk Sengketa Konsumen

Sengketa konsumen terjadi karena adanya ketidak-puasan konsumen terhadap suatu produk atau kerugian yang dialami konsumen karena penggunaan atau pemakaian barang atau jasa. Setiap kali konsumen membeli dan menggunakan barang konsumen hendaknya waspada agar tidak dirugikan. Bentuk sengketa konsumen yang disebabkan oleh kerugian yang diderita oleh konsumen adalah sebagai berikut:


(48)

Adalah cacat fisik atau kerugian yang melekat pada diri konsumen sebagai akibat dari mengkonsumsi suatu produk.

b. Cacat Fisik (Injury to The Product it Self / Some Other Property)

Adalah kerugian yang diderita akibat rusaknya produk barang atau tidak berfungsinya produk yang sudah dibeli.

c. Kerugian Ekonomi (Pure Economic Loss)

Adalah kerugian yang langsung berkaitan dengan produk yang dibelinya yang muncul ketika produk itu tidak sesuai dengan tingkat performance yang diharapkan. Kerugian semacam ini ada dua tipe yaitu:

Pertama adalah Kerugian Ekonomi Langsung, (Direct Economic Loss /

Diminution Value of The Product), yaitu kerugian yang dialami oleh konsumen

karena pengurangan nilai dari produk yang dibelinya.

Kedua adalah Kerugian Ekonomi Tidak Langsung (Indirect Economic

Loss / Resulting From The Performace of Product), adalah kerugian yang

disebabkan oleh performance dari produk yang dibelinya atau produk yang cacat sehingga tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas maka dengan demikian kita dapat melihat bahwa penyebab sengketa konsumen itu terjadi bukan hanya karena kerugian yang secara langsung diderita oleh konsumen dalam penggunaan/pemakaian produk pelaku usaha tetapi juga menunjukkan bahwa


(49)

39

sengekta konsumen ini bisa terjadi akibat kerugian yang diderita konsumen secara tidak langsung dalam penggunaan suatu produk atau barang tertentu.

Pada prinsipnya setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan umum, apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen secara damai dan penyelesaian di luar pengadilan (melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana di atur dalam Undang-Undang.15

Kewenangan menyelesaikan sengketa konsumen melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku di lingkungan peradilan umum tersebut. Hal ini berarti tatacara pengajuan gugatan dalam masalah perlindungan konsumen mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku.16

15

Rachmad Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan, 2004) h.224.

16


(50)

A.Pengertian Jaminan Produk Halal

Jaminan Produk Halal menurut UUJPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik.

Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai Jaminan Produk Halal perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Ketika kita sebagai penduduk Indonesia yang notabennya sebagai mayoritas pemeluk agama Islam terbesar di dunia yang sudah sepatutnya negara memberikan kepastian hukum bagi penduduk muslim terkait jaminan halal produk


(51)

41

yang beredar masyarakat. Terlebih bila di sandingkan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat ke 173 sebagai berikut:

Artinya “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,

darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al Baqoroh ayat 173).

Sejalan dengan ayat diatas, negara Indonesia memang harus memiliki dasar perlindungan terhadap produk halal sebagai jaminan untuk rakyat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Maka secara moral negara harus bisa menjawab permasalahan jaminan terhadap produk halal yang beredar di masyarakat. Terlebih bila mengacu pada Pasal 29 UUD 1945 sebagai fundamental norm maka negara Indonesia berkewajiban membuat produk hukum berupa undang-undang untuk menjawab permasalahan jaminan produk halal.

Sebagai upaya hukum untuk memberikan perlindungan bagi konsumen muslim dalam konteks produk halal, di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak akhir tahun 1980-an dimana tonggak awalnya dengan didirikannya LPPOM MUI


(52)

sebagai pengkaji produk obat-obatan, kosmetik dan makanan yang beredar di masyarakat. LPPOM MUI sendiri merupakan lembaga khusus yang di bentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim.

B.Sejarah dan Perkembangan LPPOM MUI

Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan kosmetika Majelis Ulama Indonesia (kemudian selanjutnya disebut LPPOM MUI) dibentuk oleh MUI sebagai respon atas merebaknya isu lemak babi yang sangat meresahkan masyarakat. Isu yang berawal dari kajian Tris Susanto, dosen teknologi pangan pada Universitas Brawijaya Malang, mempublikasikan penelitiannya terhadap sejumlah produk makanan di Buletin Canopy edisi Januari 1989. Tris Susanto mendaftarkan 34 (tiga puluh empat) makanan yang mengandung lemak babi1. Informasi ini kemudian terus meluas sampai ke masjid-masjid dengan jumlah produk yang terus betambah. Jika daftar awal dilandasi dengan penelitian, maka daftar yang belakangan muncul karena asas dugaan. Yang mengandung lecithin

dan emulsifier dianggap mengandung lemak babi, termasuk produk susu ternama.

Orang lalu memboikot produk susu ini, tapi tidak berhenti di sini saja. Perusahaan juga menghentikan pasokan susu yang diperoleh dari petani perah, lalu petani tidak terima, marah dan membuang susunya tersebut diselokan.

Ternyata isu ini membuat pemerintah was-was dan berkembang sangat cepat dalam skala yang sangat massif. Sehingga jika dibiarkan berlarut-larut

1

Ali Mustafa Yakub. Kriteria Halal –Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika menurut Al-Qur’an dan Hadis.H 256.


(53)

43

dapat mengganggu perekonomian nasional, karena banyak produk makanan dan minuman yang dijauhi konsumen. Presiden Soeharto (almarhum) meminta MUI untuk mengatasi carut marut ini, maka kemudian untuk menjaga sekaligus meningkatkan ketentraman batin umat, maka didirikanlah sebuah lembaga bernama LPPOM MUI. Melalui Surat Keputusan Nomor : 018/MUI/I/1989 tertanggal 6 januari 1989 yang beranggotakan ahli agama dan ilmuawan yang berkompeten.2

C.Asas-Asas Dan Tujuan Jaminan Produk Halal

Dalam penjelasan mengenai asas-asas dan tujuan yang terkandung dalam jaminan produk halal, penulis mengutip dari penjelasan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014, di antaranya sebagai berikut:

a. Asas “perlindungan” adalah bahwa dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal bertujuan melindungi masyarakat muslim.

b. Asas “keadilan” adalah bahwa dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

c. Asas “kepastian hukum” adalah bahwa penyelenggaraan Jaminan Produk Halal bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

d. Asas “akuntabilitas dan transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang

2


(54)

kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

e. Asas “efektivitas dan efisiensi” adalah bahwa penyelenggaraan Jaminan Produk Halal dilakukan dengan berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau terjangkau. f. Asas “profesionalitas” adalah bahwa penyelenggaraan Jaminan Produk

Halal dilakukan dengan mengutamakan keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik.

D.Pelanggaran Jaminan Produk Halal

Pelanggaran adalah suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan dan situasi yang tertentu oleh undang-undang dinyatakan terlarang, yang karenanya telah terjadi dapat mengakibatkan penghukuman badan dan atau moral bahkan perampasan sebagian kekayaan bagi pelakunya.

Bahwa Pelanggaran atas Jaminan produk halal, adalah serangkaian perbuatan terlarang dan tercela oleh undang-undang, dalam kaitan dengan kegiatan untuk menjamin kehahalan suatu produk, yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, Penjualan dan penyajian produk berupa barang atau jasa yang terkait makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologi, produk rekayasa genetika, serta barang gunaan yang dipakai atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Selanjutnya bahwa keHalalan suatu produk adalah ditentukan berdasarkan syariat islam dan sertifikat


(55)

45

halal. Lebih lanjut bahwa Proses Produk Halal adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kahalalan produk. Sedangkan Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) berdasarkan fatwa Halal Tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Bahwa salah satu urgensi pembentukan Undang-Undang tentang jaminan produk halal adalah untuk meningkatkan situasi dan kondisi keamanan dan ketenteramana umum masyarakat serta sebagai sarana pengawasan dan pengendalian sosial terhadap sikap prilaku konsumen dan produsen atas suatu produk yang jaminan kepastian hukumnya telah terlebih dahulu ditentukan oleh hukum agama islam (syariat islam).

Bahwa Ketentuan tentang larangan dalam menjamin kepastian hukum kehalalan suatu produk , terdapat dalam pasal 56 dan pasal 57, Undang Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, sebagai berikut :

Pertama Pasal 56 yang menyebut bahwa Pelakau Usah yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana dimaksud pasal 25 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun atau denda palinh banyak Rp.2.000.000.000,-(dua miliar rupiah). Sedangkan pasal 25 huruf b, menyatakan pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal.

Kemudian yang kedua Pasal 57 menyebut bahwa Setiap orang yang terlibat dalam proses jaminan produk halal yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan pelaku usaha


(56)

sebagaimana dimaksud pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2(dua) tahun atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,-(dua miliar rupiah). Sedangkan pasal 43 menyatakan setiap orang yang terlibat dalam proses jaminan produkhalal (JPH) wajib merahasiakan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh pelaku usaha.

E.Kasus dan Penjelasannya

Kali ini penulis memberikan beberapa kasus terkait pelanggaran jaminan produk halal, Berikut ini rangkuman dari kasus-kasus peredaran barang haram yang pernah terjadi di Indonesia.3 Banyak motif yang melatar belakangi tindakan curang ini, diantaranya untuk mendapatkan keuntungan berlipat tanpa memperdulikan dampak negatif bagi konsumennya. Namun karena kurangnya pengetahuan dan pengawasan dari konsumen, maka mereka dengan bebas memproduksi dan mengedarkan makanan haram tersebut.

1. Kasus Lemak Babi

Umat Islam pernah digegerkan oleh hasil temuan DR. Tri Soesanto tentang kasus lemak babi pada era tahun 1980-an, di mana kandungan gelatin terdapat pada beberapa produk makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Saat itu DR.Tri Soesanto (Dosen Teknologi Pangan Universitas Brawijaya, Malang) bersama sejumlah mahasiswanya melakukan penelitian dan menemukan banyaknya makanan yang memakai bahan dari babi. Langsung saja umat Islam Indonesia tersentak atas hasil penelitian tersebut.

3


(57)

47

Waktu itu Tri berkesimpulan banyak orang yang tidak tahu bahwa makanan yang dikonsumsinya memakai bahan dari babi atau barang yang diharamkan dalam Islam. Selanjutnya Tri menindaklanjuti dengan melakukan penelitian produk-produk yang ada di pasar swalayan atau pasar tradisional, khususnya produk yang memakai gelatin, shortening, lard dan alkohol.

Gelatin adalah protein yang diturunkan dari kulit, jaringan urat dan tulang binatang. Gelatin umumnya berasal dari babi, karena tulang babi lunak. Sedangkan shortening semacam margarine yang berasal dari lemak hewan, bisa dari minyak tumbuhan yang ditambahkan ke lemak babi. Sedangkan lard adalah minyak babi. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil yang mencengangkan, Tri menemukan 34 jenis makanan dan minuman yang mengandung barang haram, dengan sendirinya menghebohkan masyarakat Muslim di Indonesia.

Akibat yang muncul adalah banyak produsen biskuit yang mengklaim bahwa produknya tidak haram, dan mengiklankan produknya di beberapa media massa, bahkan ada yang harus mengeluarkan dana ratusan juta rupiah untuk mengiklankan produknya tidak haram.

Saking hebohnya masyarakat Muslim kala itu, Sekjen Departemen Agama (ketika itu) Tarmizi Taher bersama tim MUI secara demonstratif minum susu di pabrik Dancow di Pasuruan untuk meredam keresahan masyarakat.

2. Kasus Ajinomoto

Kasus Ajinomoto mencuat tahun 2001, dan sempat menghebohkan masyarakat Muslim akibat Fatwa MUI yang yang mengharamkan bumbu


(58)

masakan ini karena ditengarai bahan baku pembuatannya dicampur dengan lemak babi. Tentu saja masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim tersentak dengan adanya fatwa dari MUI ini. Namun oleh aparat keamanan, empat pemimpin PT Ajinomoto langsung diamankan untuk meredam gejolak massa, dengan tuduhan melanggar UU konsumen.

Sebenarnya PT.Ajinomoto sudah memiliki serifikat halal dari MUI, namun berlakunya hanya 2 tahun dan berakhir Juni 2000. Setelah tanggal tersebut pihak Ajinomoto tak lagi melakukan pemeriksaan ke MUI, mereka malah mengubah bahan bakunya, yang ditengarai mengandung ekstrak lemak babi.

PT. Ajinomoto Indonesia membantah bahwa produk akhir MSG Ajinomoto mengandung unsur porcine. Hal tersebut dikemukakan oleh Tjokorda Bagus Sudarta dari manajemen Ajinomoto dalam siaran persnya. Sebelumnya Tjokorda melalui media masa mengakui menggunakan bactosoytune yang diekstraksi dari daging babi untuk menggantikan olypeptone yang biasa di ektraksi dari daging sapi.

Penggunaan bactosoytune karena lebih ekonomis. Menurutnya, penggunaan ekstrak daging babi itu hanyalah sebagai medium dan sebenarnya tidak berhubungan dengan produk akhir. Untuk menjaga ketenangan dan keresahan yang sudah meluas di masyarakat pihak Ajinomoto menarik secara serentak seluruh produk MSG Ajinomoto dalam 3 minggu terhitung mulai 3 Januari 2001 sebanyak 10 ribu ton. Akibat kasus ini PT. Ajinomoto harus


(59)

49

menanggung kerugian dengan memberi ganti rugi kepada para pedagang sebesar Rp 55 miliar.

PT. Ajinomoto juga minta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia, dan menyatakan seluruh produk MSG Ajinomoto stok baru hanya boleh dipasarkan setelah mendapat sertifikat halal yang baru dari MUI.

3. Kasus Ayam Tiren dan Bakso Ayam Tiren

Perdagangan bangkai ayam atau yang populer disebut sebagai ayam mati kemaren (tiren) sudah berlangsung lama, terutama di kota-kota besar dan di wilayah Jabodetabek. Di pasar-pasar tradisional, ayam-ayam tiren ini biasanya dijual sudah dipotong-potong dan dikamuflase dengan bumbu berwarna kuning, sehingga warna pucat daging ayam tersebut tersamar.

Ciri-ciri ayam tiren di antaranya adalah dagingnya agak amis, kebiru-biruan, dan licin karena dilumuri formalin. Bekas pemotongan pada leher tidak lebar dan ada bercak-bercak darah di kepala maupun lehernya. Hal yang jelas adalah ayam tiren ini harganya murah. Sejumlah razia yang dilakukan aparat terkait di sejumlah kota di Indonesia menemukan sejumlah kasus perdagangan ayam tiren. Terakhir adalah kasus ayam tiren di daerah Bantul, DI Yogyakarta. Aparat gabungan menggerebek rumah Sugiyoto di Dusun Pungkuran Wetan, Pleret, Bantul, akhir Agustus 2012. Sugiyoto yang selama ini berbisnis memproduksi bakso dari daging ayam tiren itu selanjutnya dijadikan sebagai tersangka. Di rumah Sugiyoto aparat menemukan barang bukti berupa ayam tiren dan bakso.


(1)

- 21 - Pasal 50

Pengawasan JPH dilakukan terhadap: a. LPH;

b. masa berlaku Sertifikat Halal; c. kehalalan Produk;

d. pencantuman Label Halal;

e. pencantuman keterangan tidak halal;

f. pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,

pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;

g. keberadaan Penyelia Halal; dan/atau h. kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.

Pasal 51

(1) BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

(2) Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 52

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.


(2)

- 22 - BAB VIII

PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 53

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan

b. mengawasi Produk dan Produk Halal yang

beredar.

(3) Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.

Pasal 54

BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.

Pasal 55

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB IX KETENTUAN PIDANA

Pasal 56

Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).


(3)

- 23 - Pasal 57

Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

BAB X KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 58

Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir.

Pasal 59`

Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 60

MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.

Pasal 61

LPH yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak BPJPH dibentuk.


(4)

- 24 - Pasal 62

Auditor halal yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Auditor Halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 63

Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Penyelia Halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 28 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan.

BAB XI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 64

BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 65

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus

ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.


(5)

- 25 - Pasal 66

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini.

Pasal 67

(1) Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

(2) Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis Produk yang bersertifikat halal diatur secara bertahap.

(3) Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 68

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


(6)

- 26 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang-Undang ini dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 17 Oktober 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 17 Oktober 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN


Dokumen yang terkait

Pemberian Jaminan Produk Halal Terhadap Konsumen Muslim Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

1 79 111

Pelaksanaan Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Terkait Adanya Sengketa-Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 37 116

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Mengimplementasikan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

6 80 130

KEKUATAN HUKUM EKSEKUTORIAL PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

0 6 17

Perlindungan Hukun Terhadap Produsen Farmasi Pada Era Pasar Tunggal ASEAN Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

0 8 120

Kedudukan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

1 1 53

UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2 014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

0 0 40

BAB II PENGATURAN PEMBERIAN JAMINAN PRODUK HALAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL A. Kewajiban Muslim untuk Mengkonsumsi Produk Halal berdasarkan Al- quran dan Hadist - Pemberian Jaminan Produk Halal Terhadap Kons

1 1 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pemberian Jaminan Produk Halal Terhadap Konsumen Muslim Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

0 0 15

PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN -

0 1 61